Senin, 30 September 2019

SEJARAH PERKEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO PADA BANK ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Bank merupakan lembaga keuangan yang memilki fungsi menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat. Berdasarkan fungsi tersebut maka bank banyak melakukan banyak interaksi langsung dengan masyarakat, apabila bank melakukan banyak kesalahan maka risiko yang akan muncul adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat dan rusaknya reputasi bank.
Setiap bank pasti akan menghadapi risiko, baik bank konvensional maupun bank islam, hanya saja risiko yang hadapi sedikit berbeda. Oleh karena besarnya risiko yang harus dihadapi bank, maka bank harus melakukan menejemen risiko terhadap masalah yang muncul, risiko itu dapat dihilangkan atau dikurangi dampaknya. Menejemen risiko penting bagi bank agar bank dapat tumbuh dan berkembang. Karena pentingnya menejemen risiko bagi kelangsungansuatu lembaga keuangan, maka penulis akan membahas tentang “Sejarah Perkembangan Menejemen Risiko pada Bank Islam”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses muncul dan berkembangnya menejemen risiko pada bank islam?
2.      Tujuan diterbitkannya Basel?

C.     Tujuan
1.      Kita mengetahui dan memahami proses muncul dan berkembangnya menejemen risiko pada bank islam
2.      Kita mengetahui tujuan diterbitkannya Basel

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perkembangan Menejemen Risiko Bank Islam
1.      Mengapa Bank Perlu Diatur dan Diawasi?
Menejemen risiko dalam sector perusahaan mempunyai sejarah yang panjang. Hal ini bisa dilihat dari regulasi yang mengaturnya. Berbagai peraturan diterbitkan untuk memastikan usaha perbankan bisa berjalan dengan hati-hati (prudent). Bank perlu diawasi karena bank merupakan institusi yang menjalankan fungsi intermediasi yaitu fungsi mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kemali dalam bentuk pembiayaan. Dalam proses inilah akan muncul berbagai potensi risiko yang harus dihhadapi bank, seperti risiko gagal bayar, risiko operasional, risiko likuiditas, dan sebagainya.
Misalkan risiko gagal bayar, jika debitur inti mengalami gagal bayar maka akan mengganggu likuiditas bank, minimal menggerus modal yang dimiliki bank. Kenyataannya saat ini, bank satu dengan yang lainnya memilki hubungan yang saling terkait, interaksi antar bank dapat berupa hubungan saling meminjam. Jika ada bank yang mengalami gagal bayar, maka akan merembet ke bank lain, menjadikan bank lain juga mengalami kerugian. Inilah yang sering disebut dengan efek domino.
Akibat adanya efek domino, gagal bayar debitur inti dari suatu bank dapat menyebabkan bank tersebut mengalami masalah keuangan, seperti tergerusnya modal, kesulitan memenuhi liabilitas yang jatuh tempo, gagal mmengembalikan dana nasabah, dan sebagainya. Dampak yang ditimbulkan oleh risiko gagal bayar di sebuah bank di suatu Negara dapat menyeret bank-bank di Negara lain dan menyebabkan terjadinya krisis global. Misalnya, bangkrutnya Lehman Brother, salah satu bank investasi terbesar di Amerika Serikat, pada 2008.
Mengingat dahsyatnya dampak dari risiko bagi institusi keuangan, terutama bank, para regulator merasa perlu untuk membuat aturan bersama untuk menjaga bank tetap prudent. Masing-masing Negara membuat regulasi untuk mengatur industry perbankan mereka, seperti Peraturan Bank Indonesiadi Indonesia. Disamping itu mereka juga berkumpul dan bersepakat untuk membuat aturan mainbersama bagi bank-bank yang ingin berinteraksi secara global. Disusunlah Basel I (1988), dan kemudian direvisi menjadi Basel II (2004) dan Basel III (2010). Demikian pula dengan perbankan islam, mereka merasa perlu menjaga agar industry perbankan islam juga dalam kondisi prudent, untuk itu didirikanlah International Financialand Services Board. Untuk mencapai standarisasi pelaporan keuangan diantara institusi keuangan, AAOIFI didirikan untuk membuat aturan standar tersebut.
2.      Basel I dan Sejarah Perkembangannya
Mengapa BCBS dan Basel I muncul?
Basel merupakan peraturan mengenai perbankan yang menjadi rujukan utama dalam praktik perbankan internasional. Regulasi ini diterbitkan sebagai hasil kesepakatan Negara-negara yang bergabung dalam Basel Commite in Banking Supervision. BCBS didirikan pada 1974 oleh Negara-negara G10. Tujuannya adalah untuk menciptakan perfaturan bersama dalam rangka memperkuat stabilitas dan kesehatan system perbankan internasional, menciptakan kerangka system yang adil dalam mengukur kecukupan modal secara internasional, dan mendapatkan kerangka yang konsisten untuk mengurangi ketidaksamaan kompetisi antar bank yang bermain di tingkat internasional.
Kerangka regulasi Basel I
Salah satu peraturan yang penting bagi bank adalah peraturan permodalan bank sebagai penyangga apabila terjadi kerugian. Untuk itu pada Juli 1988, BCBS mengeluarkan suatu konsep permodalan dalam laporan berjudul International Convergence of Capital Measurement and Capital Standard. Laporan ini kemudian dikenal dengan Basel I.
Basel I diterbitkan sebagai peraturan dan standar internasional dalam pengolahan kecukupan modal bank untuk menyerap kerugian yang terjadi sehingga mencegah terjadinya masalah yang sistemis. Selain itu aturan inin juga menciptakan keseragaman aturan main bagi bank dan regulator perbankan dalam pengelolaan risiko yang dihadapi oleh bank untuk seluruh bank dimanapun negaranya. Dalam Basel I, cakupan risiko yang diatur hanya risiko kredit. Risiko kredit dianggap sebagai factor risiko yang paling dominan dalam perbankan.
Dalam Basel I dijelaskan bahwa modal bank dibagi menjadi 2 kelompok, pertama modal lapis satu, terdiri atas cadangan kas dan modal lain yang berasal dari saham, kedua modal lapis dua yang merupakan cadangan untuk menutupi kerugian akibat pinjaman yang tidak kembali (gagal bayar).
Basel I member arahan pada bank agar memperhitungkan risiko dan kecukupan modal untuk mencukupinya. Dalam perhitungan besarnya risiko dan kecukiupan modal, Basel I menggunakan metode pengukuran tunggal (one single size  fits all approach), tanpa membedakan kemampuan membayar dan risiko masing-masing individu beditur. Untuk mengukur kecukupan modal bank, Basel I menggunakan Capital Adequacy Ratio atau disebut leverage ratio. CAR merupakan rasio modal terhadap total risiko. Pengukuran kecukupan modal menurut risiko kredit dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu bobot asset berisiko, penyertaan dengan risiko kredit, target rasio modal, kalkulasi modal yang memenuhi syarat, dan kecukupan hasil pada modal yang memenuhoi syarat serta struktur modal. Basel I menetapkan CAR harus 8% dari aktiva tertimbang menurut ATMR. Basel I juga membahas tentang kesepakatan implementasi dan transisi regulasi ini. Masing-masing bank sentral diminta untuk menciptakan pengawasan yang kuat dan mekanisme pelaksanaan untuk memastikan bahwa kesepakatan Basel diikuti dan dijalankan denga baik.
Evolusi Basel I
Setelah hanya memperhitungkan risiko kredit, pada tahun 1996, Basel I diamandemen dengan memasukkan perhitungan risiko pasar. Pada Januari 1996, BCBS mempublikasikan “The Market Risk Amandement to the Origunal Accord”. Risiko pasar dipertimbangkan untuk diperhitungkan karena selama periode 1980an, banyak bank yang memperjualbelikan instrument derivative, seperti swap, forward contract, dan option. Transaksi tersebut dilakukan untuk kepentingan bank sendiri maupun dalam rangka memfasilitasi transaksi nasabah.
Transaksi derivatife ini menggelembungkan catatan pada off-ballence sheet. Dalam menanggulangi risiko pasar BCBS menganjurkan modal risk based pricing. Pengukurannya menggunakan dua pendekatan (twin track approach), yaitu pengukuran standar (standardized measurement method dan model internal (IRB).
Metode pengukuran standar merupakan perhitungan rasio pasar yang berlaku umum bagi semua bank. Pada dasrnya, metode ini mrirp dengan perhitungan ATMR, yaitu dengan menggunakan pembobotan risiko untuk setiap jenis asset produktif. Hanya saja dalam metode ini, system pembobotannya menggunakan lembaga pemeringkat eksternal yang diakui regulator. Persyaratan kecukupan modal untuk risiko ppasar tergantung pada dua hal, yaitu risiko suku bunga dan harga ekuitas pada buku transaksi serta risiko nilai tukat, logam berharga dan komoditas pada seluruh aktivitas bank. Sedangkan IRB adalah metode dengan system pemeringkatan internal terhadap asset yang dimiliki. Parameter yang digunakan dalah probabilitas gagal (PD), kerugian jika terjadi gagal bayar (LGD), perkiraan nilai eksposur ketka terjadi gagal bayar (EAD), serta jangka waktu efektif (maturity).
Seiring perubahan drastic pada industry perbankan, Basel I menunjukkan danya beberapa kelemahan. Pertama, belum diakomodasinya pendekatan portofolio. Kedua, masih belum jelasnya peraturan untuk menghitung eksposur risiko. Ketiga, pembobotan yang sama asset berisiko terhadap semua pinjaman korporasi tanpa memperdulikan peringkat kredit dari debitur. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, muncul peraturan Basel II yang lebih komperhensif dibandingkan dengan Basel I.
3.      Basel II dan Sejarah Perkembangannya
Latar belakang terbitnya Basel II
Setelah hampir dua decade diterapkannya Basel I, terjadi banyak perubahan dalam system keuanga dunia. Perubahan tersebut misalnya:makin berkembangnya produk-produk perbankan. Semua ini memicu ketidakstabilam pasar keuangan. Apalagi setelah terjadi goncangan ekonomi yang menimbulkan krisi keuangna, seperti krisis Asia pada 1977 dan Eropa Timur pada 1988. Peraturan Basel I dirarsa kurang mencukupi sehingga perlu direvisi serta dikembangkan. Akhirnya pada Juni 2004, BCBS kembali menyempurnakan kerangka permodalan pada Basel I dengan menerbitkan konsep permodalan baru yang lebih dikenal dengan Basel II.
Basel II memberikan panduan yang sangat komperhensif bagii bak dalam mengolah risikonya. Ada beberapa tujuan yang ditebitkan. Pertama, mempertahankan keamanandan kesehahtan bank dalam system keuangan. Kedua, mempertahankan tingkat modal minimum yang harus dipenuhi oleh bank. Ketiga meningkatkan persaingan antar bank yang seimbang. Keempat, memperkenalkan kerangka risiko yang lebih sensitive yang selaras antara modal internal dan modal yang sesuai profil risiko bnak. Kelima, memfokuskan pada bank yang aktif secara internasional. Meskipun rekomendasi Basel II ini lebih ditujukan bagi bank-bank yang berkiprah aktif dalam linkup internasional, namunprinsip-prinsip dasar kerangka Basel II dinilai layak untuk diterapkan pada berbagai jenis bank sesuai tingkat kompleksitas usaha yang dijalankan dan profil risiko bank dimiliki.
Cakupan risiko Basel II
Terkait cakupan risiko, Basel I hanya memperhitungkan risiko secara sederhana, sedikit mempertimbangkan risiko pasar, dan sama sekali tidak menyinggung risiko operasional. Sangat berbeda dengan Basel II, dimana ketiga risiko tersebut telah diperhitungkan secara komprehensif. U ntuk risiko kredit, persyaratan modalnya makin dtingkatkan. Terdapat tiga metode untuk menghitung persyaratan modal yang diminta dan disesuaikan dengan kompleksitas dan sensitivitas risiko. Ketiga metode tersebut adalah simplified standardized approach (SSA), standrdise approach (SA), dan internal rating-based (IRB).
Kerangka kerja Basel II
Dalam Basel II, terdapat tiga pilar utama, yaitu kewajiban penyediaan modal minimum, tinjauan pengawasan, dan disiplin pasar yang efektif. Dalam pilar pertama, bank diminta unuk memperhitungkan modal minimum untunk tiga komponen utama risiko yang dihadapi bank yakni risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional. Risiko lainnya, seperti likuiditas, risiko strategis, risiko legal dan sebagainya, belum diperhitungkan dalam Basel II.
Pilar kedua mengatur tentang pengawasan.  Dalam hal ini, regulator diminta untuk menyusun kerangka kerja pengawasan bank berdasarkan praktik terbaik.  Terdapat empat prinsip pengawasan. Pertama, bank harus memiliki proses pengukuran kecukupan modal sesuai dengan profil resikonya.  Bank juga harus mempunyai strategi dalam mempertahankan tingkat modalnya.  Oleh karena itu, manajemen bank harus memastikan bahwa modal yang dimiliki bank dalam keadaan cukup.  Modal harus konsisten dengan profil resiko.
Kedua, regulator atau otoritas pengawas harus meninjau dan mengevaluasi pengukuran kecukupan modal secara internal sesuai dengan strategi bank.  Bank harus mampu memantau dan memastikan kepatuhan terhadap rasio modal yang ditetapkan.  Otoritas pengawas harus mengambil tindakan yang diperlukan bila hasil proses tersebut tidak memuaskan.  Proses peninjauan menggunakan kombinasi informasi yang diperoleh dari visitasi lapangan, review data dan dokumentasi, pertemuan dengan manajemen bank, laporan berkala dari audit eksternal, serta ketentuan laporan berkala.
Ketiga, otoritas pengawas bank meminta bank beroprasi di atas modal minimal dan mampu memelihara modal di atas ketentuan minimal.  Bank memiliki sistem pengendalian yang memadai, memiliki resiko portofolio yang terdiversifikasi, serta seluruh aktivitas bisnisnya telah memperhitungkan resiko bisnis sesuai pilar 1.
Keempat, otoritas pengawas harus melakukan intervensi sedini mungkin untuk mencegah penurunan modal dibawah ketentuan minimal.  Tindakan penyelamatan perlu dilakukan agar kembali di atas modal yang diwajibkan.  Pengawas dapat mengambil tindakan yang diperlukan, antara lain meningkatkan minimal modal dalam jangka pendek.[1]





3 PILAR BASEL II
PILAR I
Pemenuhan Modal Minimum

Memenuhi level modal minimum.
Peningkatan metode untuk risiko kredit.
Perlakuan eksplisit pada risiko oprasional.
Kerangka risiko pasar.

Pengungkapan struktur modal.
Pengungkapan pengukuran risiko dan manajemennya.
Pengungkapan risiko profil.
Pengungkapan kecukupan modal.
Menilai solvency vs provil risiko.
Pengawasan pada perhitungan bank dan strategi modal.
Bank harus menahan kelebihan dari modal minimum.
Regulator akan intervensi pada tahap awal jika modal menurun

PILAR III
Disiplin pasar
PILAR II
Proses Review Pengawasan
 










Signifikansi Basel II
Basel II ini membawa paling tidak dua perubahan dalam perbankan.  Pertama, perubahan dalam pendekatan dasar peraturan perbankan terkait pemenuhan persyaratan modal minimum sebagai inti pengawasan bank yang prudensial.  Kedua, perlunya koordinasi dan harmonisasi dalam menjalankan regulasi internasional yang belum pernah ada sebelumnya.
Keberhasilan praktik regulasi Basel ini sangat tergantung pada kerjasama berkelanjutan di antara para regulator dan pengawas perbankan dimasing-masing negara. Secara bertahap, bank diminta untuk terus meningkatkan persyaratan manajemen risiko untuk menerapkan peraturan dalam Basel II.  Terkait denganpermodalan, bank harus memiliki cadangan modal yang cukup untuk menghadapi risiko yang mungkin timbul akibat praktik pemberian kredit atau pinjaman dan investasi yang dilakukan.  Dampaknya, makin besar risiko yang dihadapi bank, makin besar pula modal yang dibutuhkan untuk menjaga kebutuhan likuiditas bank.
4.             Sejarah Terbitnya Basel III
Basel II merupakan peraturan yang lengkap dalam mengatur dan mengawasi jalannya bank.  Akan tetapi, bayang-bayang terjadinya krisis keuangan masih menghantui.  Terbukti dengan terjadinya krisis ekonomi dan keuangan pada 2007-2008.  Faktor pemicu utamanya karena banyaknya bank yang terlilit utang, pada laporan keuangan yang di laporkan (on-balance sheet) maupun posisi keuangan yang tidak dilaporkan (off-balance sheet), yang mengakibatkan terjadinya penggerusan dan tingkat dan kualitas modal yang dimiliki bank.
Berdasarkan persamaan yang menyebabkan krisis inilah muncul pemikiran untuk menyempurnakan , BCBS mempublikasikan dokumen yang berjudul Basel III: Global Regulatory Frameworkfor More Resilient Banks and Banking Sistem.
Tujuan Diterbitkannya dan Cakupan Basel III
Pada dasarnya, Basel III terbit sebagai penyempurnaan atas Basel II.  Secara khususnya ada beberapa tujuan diterbitkannya Basel III.  Pertama, untuk memperkuat peraturan permodalan dan likuiditas.  Kedua, untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan ektor perbankan dengan menambahkan cadangan modal untuk menyerap goncangan dari tekanan ekonomi dan keuangan serta mencegah menjalarnya krisis derivativ keuangan ke derivativ ekonomi.  Ketiga, untuk meningkatkan kualitas manajemen risiko,tata kelola, transparansi dan keterbukaan.  Keempat, memberikan resolusi terbaik bagi risiko sistemis bank lintas batas negara.
Dalam rangka penyempurnaan Basel II, Basel III menyarankan bank untuk memperkuat sisi pengaturan mikroprudensial dalam upaya peningkatan kesehatan dan daya tahan individual bank dalam menghadapi krisis.  Syarat yang harus dipenuhi adalah kualitas dan level permodalan yang lebih tinggi dari fokus utama pada komponen permodalan saham dan pentingnya ketersediaan kecukupan cadangan modal yang harus dimiliki oleh individu bank dengan membentuk conservation buffer.


Resolusi Kerangka Kerja pada Basel III
Ada tiga point utama dalam Basel III, yakni pengaturan cadangan modal konservasi, pengenaan ratio utang, dan penguatan manajemen likuiditas. Basel III seharusnya sudah harus diimplementasikan pada 2013.  Bahwa semua bank diwajibkan untuk memperkuat cadangan modal dengan menambah total cadangan inti, di mana saat ini 2% menjadi 7%.  Pada 2015, bank harus mengalokasikan modal inti (lapis 1) minimum 4,5% dari DPK.  Selanjutnya, pada 2018 bank wajib menyediakan modal konversasi sebagai dana cadangan minimum 2,5%.  Sehingga total modal berkualitas yang harus dihimpun bank pada 2019 menjadi 8%.
5.             Standar Akuntansi Bank Islam
Urgensi Adanya Standar Pelaporan Keuangan Bank Islam
Tujuan pelaporan bank adalah untuk meningkatkan transparansi bisnis yang dilakukan bank dan perkembangannya kepada publik.  Apalagi bisnis penuh yang dilakukan oleh bank, misalnya transaksi komoditas di pasar keuangan.  Transaksi ini tidak dilaporkan di buku bank, namun di catat di buku transaksi.
Informasi yang berguna dan lengkap terkait bisnis dan transaksi yang dilakukan oleh bank menjadi unsur yang penting bagi terbentuknya pasar yang terbit dan efisien.  Selain itu untuk pengawasan dan manajemen bank yang efektif, perlu informasi yang in time dan on time bagi seluruh pihak yang berkepentingan.  Pihak-pihak yang berkepentingan tersebut meliputi pihak yang berwenang membuat pengaturan dan pengawas bank (seperti BI,Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, DSN-MUI, dan DPS), nasabah pemegang saham, rekanan bank, auditor eksternal, serta masyarakat luas.  Selain itu pihak internal bank yang membutuhkan informasi tersebut, meliputi komisaris, dewan direksi, manajemen eksekutif, komite audit, dan auditor internal.
Dalam meningkatkan transparansi, BI sebagai regulator perbankan di Indonesia, mewajibkan semua bank menyampaikan laporan keuangan. Laporan ini tidak hanya dilaporkan kepada BI tetapi juga kepada publik.  Laporan kepada publik disampaikan melalui publikasi di media massa yang memiliki peredaran luas di masyarakat.  Dalam laporan publikasi tersebut, bank juga wajib menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan penerapan manajemen risiko, seperti kebijakan manajemen risiko yang dilakukan oleh bank, strategi yang ditetapkan dalam manajemen risiko serta limit yang terkait dengan risiko-risiko yang dihadapi oleh bank.
Cakupan Transparansi Dan Keterbukaan Informasi
Laporan keuangan yang harus dibuat oleh bank meliputi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan kualitas asset, dan sebagainya.  Laporan keuangan disusun dengan asumsi bahwa usaha yang dilakukan bank bersifat going concern, kecuali ada rencana melikuiditas atau menjual bank, dan setiap transaksi yang dilakukan dicatat dengan dasar on accrual basis.
Selain laporan keuangan, bank juga harus mengungkapkan laporan risiko secara periodik.  Hal ini sangat diperlukan terutama oleh regulator untuk pengawasan risiko yang lebih efisien.  Pelaporan risiko meliputi laporan rasio kecukupan modal (CAR), laporan risiko kredit, laporanagregat risiko pasar, laporan risiko likuiditas, laporan risiko valuta asing ( bukan dalam konteks investasi aktif ), laporan posisi komoditas dan ekuitas, laporan risiko operasional, dan laporan risiko negara atau pasar.  Dari pelaporan risiko dapat dipeoleh informasi mengenai kegiatan operasional bank terutama terkait solvabilitas dan posisi likuiditas bank serta tingkat risiko yang dihadapi bank pada berbagai kegiatan bisnis yang digelutinya.
Regulasi dan Standar Pelaporan Keuangan Bank Islam
Pelaporan yang dilakuakn oleh bank Islam sesuai dengan PBI Nomor 13/23/PBI/2011.  Seluruh bank Islam di Indonesia harus membuat laporan keuangan terkait usaha yang dilakukannya.  Penyampaian laporan keuangan harus dilaporkan secara periodik, yakni bulanan, triwulan maupun tahunan.  Laporan keuangan triwulan, selain ke BI juga disampaikan ke Bapepam-LK.  Sedangkan laporan profil risiko harus dilaporkan triwulanan, yakni akhir Maret, Juni, September, dan Desember pada setiap tahun.
Substansi laporan profil risiko yang disampaikan ke BI harus sama dengan laporan Profil risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada Direktur Utama (atau Direktur yang ditugaskan secara khusus) dan Komite Manajemen Risiko.  Selain laporan profil risiko, bank juga diwajibkan menyampaikan laporan peluncuran produk dan jasa baru yang ditawarkan kepada nasabah.
Relevansi Tata Kelola yang Baik dan Manajemen Risiko
Menurut PBI Nomor 8/4/PBO/2006, tata kelola yang baik didefinisikan sebagai suatu tata kelola yang menerapkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran.  Tata kelola yang baik merupakan rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengendalian suatu bank.  Tata kelola yang baik mencakup hubungan antara para pemangku kepentingan yang terlibat serta tujuan pengelolaan bank.
BI mewajibkan seluruh bank untuk melaksanakan prinsip tata kelola yang baik.  Mewujudkan kepercayaan dari para pemangku kepentingan merupakan tantangan utama bank islam.  Dalam kaitannya dengan tata kelola yang baik AAOIFI mempunyai standar tata kelola yakni Governance Standart For Islamic Financial Institution (GSIFI).  GSIFI bertujuan untuk meningkatkan peran DPS dalam struktur dan proses tata kelola bank.  GSIFI memberikan pedoman dalam mengangkat dan memberhentikan anggota DPS, serta format dan kandungan isi laporan.  GSIFI menjelaskan prosedur yang harus dijalankan oleh DPS dalam melakukan proses review untuk memberi opini apakah bank islam telah mematuhi prinsip syariah.  GSIFI terdiri dari empat standar.  Pertama, memberikan pedoman dalam hal definisi, pengangkatan, pemberhentian, komposisi dan laporan dari DPS.  Kedua, memberikan pedoman bagi DPS untuk melaksanakan tinjauan syariah untuk meyakinkan bahwa bank islam telah mematuhi prinsip syariah.  Ketiga, memberikan pedoman review syariah di internal Bank Islam.  Keempat, mendefinisikan peran dan tanggung jawab komite audit
6.      Kerangka Kerja Menejemen Riisko dalam IFSB
Untuk Apa Di Dirikan IFSB?
Islamic financial service boart (IFSB) didirikan di malaysia pada 2002. IFSB merupakan organisasi internasional yang menerbitakn berbagai prinsip dan standar tata kelola sebagai panduan untuk institusi keuangan islam, seperti bank, asuransi dan pasar modal, untuk mendukung stabilitas dalam industri jasa dan keuangan islam selain itu IFSB secara khusus bertujuan untuk:
a)             Memberikan panduan pengaturan dan pengawasan bank secara efektif
b)            Prosesur pengembangan instrumen,prosedur manajemen resiko,dan operasi bank yang efisien
c)              Meningkatkan kerjasama diantara negara anggota
d)             Memfalisitasi pembangunan kapasita(capacity building) dan mengembangkan kapasitas sumber daya manusia
e)              Melakukan riset dan mempublikasi hasil kajian dan survei
f)              Membangun database ban dan lembaga keungan islam dan para ahli di industri tersebut.
IFSB menetapkan lima belas prinsip manajemen risiko yang bisa ditetapkan pada bank komersial,bank investasi,serta lembaga keuangan lainnya.Kelima belas prinsip tersebut tercangkup dalam enam risiko,yaitu risiko kredit,risiko investasi,risiko likuiditas,risiko operasional,risiko imbal hasil,dan risiko pasar.


Model Manajemen Risiko IFSB
Implementasi manajemen risiko memperoleh pengawasan aktif dari dewan komisaris dan direksi bank. Seluruh proses manajemen risiko,mulai dari penetapan tujuan,strategi,kebijakan dan prosedur yang konsisten dengan kondisi keuangan harus mendapat persetujuan dari dewan komisaris. Persetujuan tersebut harus dikomunikasikan terhadap semua tingkatan manajemen demi keberhasilan implementasi kebijakan yang diambil. Oleh karena itu,diperlukan struktur organisasi bank yang efektif dalam mengatur dan mengarahkan kegiatan bank islam,termasuk ketersediaan sistem memadai dalam mengukur, memantau, melaporkan, dan mengendalikan eksposur risiko bank.
Menurut IFSB,manajemen risiko adalah proses dalam mengeksekusi semua elemen manajemen risiko yang terdiri dari identifikasi,pengukuran,mitigasi,pemantauan,pelaporan dan pengendalian risiko. Diantara syarat keberhasilan proses manajemen risiko ini adalah adanya implementasi kebijakan,limit,prosedur yang sesuai,dan manajemen sistem informasi yang efektif dalam pelaporan risiko.
Manajemen Risiko Kredit
Menurut IFSB,risiko kredit adalah potensi kegagalan debitur atau sekutu bisnis dalam memenuhi kewajiban sesuai kewajibansesuai perjanjianyang disepakati. Ini meliputi meliputi seluruh transaksi pembiayaan,seperti jual beli(murabahah,salam dan istishna),utang-piutang(qardhul hasan),dan sewa(ijarah).Tujuan pengelolaan risiko kredit adalah membatasi taua mengurangi risiko kredit,mengklafikasi aset dan mengevaluasi secara priodik kualitas kolektibilitas portofolio pembiayaan,menetapkan provisi kerugian,dan menyediakan cadangan modal untuk menyerap kerugian yang mungkin terjadi.Dalam mengelola risiko kredit,bank harus memperhatikan potensi kegagalan pemenuhan kewajiban pembayaran debitur, penurunan kualiatas pembiayaan, konsentrasi pembiayaan, dan risiko yang timbul dari aktivitas penyelesaian dan kliring transaksi.
Manajemen Risiko Investasi
IFSB mendefinisikan risiko investasi sebagai risiko yang muncul dari kontrak kerja sama partisipasi modal dalam pembiayaan atau kegiatan bisnis dimana bank ikut  menanggung risiko. Risiko ini muncul pada bank yang menggunakan akad mudharabah dan musyarakah.Profil risiko ini meliputi catatan masa lalu dari tim manajemen,kualitas rencana bisnis,sumber daya manusia yang dilibatkan,dan proposal bisnis yang diajukan.
Dalam IFSB,dibolehkan membentuk escrow account untuk menahan sebagian profit selama periode investasi yang dicatat dan disetujui oleh semua sekutudengan tujuan untuk menstabilkan laba usaha pada suatu periode akutansi. Namun,akun ini cocok jika jumlah sekutu tetap sama selama periode investasi dan akuntansi. Sebaliknya,jika berbeda maka perlu disampaikan terlebih dahulu hak dan kewajiban sekutu lama sebelum masuknya sekutu baru ke dalam syirkah. Selain itu,kondisi yang harus terpenuhi juga adalah semua sekutu berkontribusi pada modal dan laba dibagi sesuai porsi modal. Jika tidak,maka perlu dibuat catatan penyesuaian atas hak dan kewajiban setiap sekutu.
Bank juga perlu menetapkan kriteria untuk keluar(exit strategy),termasuk penyelamatan investasi,penghapusan investasi yang macet,alternatif jalan keluar,dan waktu keluar yang tepat. Bila terjadi kerugian,namun masih ada prospek peningkatan bisnis,bank bisa memperpanjang periode investasi.Dengan pertimbangan bahwa akan ada periode pemulihan bisnis dan investasi pada waktunya akan menghasilkan laba dan dapat menutup kerugian.


Manajemen Risiko Pasar
Risiko pasar menurut IFSB adalah risiko kerugian pada posisi laporan posisi keuangan (on dan off balance sheet) yang timbul akibat pergerakan harga pasar,seperti fluktuasi harga komoditas(salam) dan aset yang dimiliki (murabahah dan istihna),sekuritas yang dimiliki(saham atau sukuk),kurs nilai tukar(bukan untuk transaksi aktif), dan dalam portofolio individual pada sisi off balance sheet(rekening investasi terbatas).Dalam memenuhi liabilitas atau membiayai peningkatan aset pada saat jatuh tempo dengan kerugian dan atau di bebani biaya diluar kemampuan. Kebijakan terkait  risiko likuiditas,meliputi faktor kuantitatif dan kualitatif. Faktor kuantitatif ini termasuk didalamnya adalah keberagaman sumber dan,konsentrasi sumber dana,kemampuan aset untuk dilikuiditasi,dan ketersediaan fasilitas pinjaman dari eksternal.Yang termasuk faktor kualitatif ,seperti penilaian terhadap kemampuan manajemen secara umum,kemampuan khusus manajemen pengelolaan dana (treasury) dan hubungan luar (public relation),kualitas sistem informasi manajemen,reputasi bank dipasar,kamauan dan kemampuan pemegang saham untuk menyediakan tambahan modal dan dalam kasus pendanaan cabang atau anak perusahaan,kemauan dan kemampuan kantor pusat atau induk perusahaan dalam penyediaan fasilitas likuiditas.
Manajemen Risiko Imbal Hasil
Risiko imbal hasil menurut IFSB adalah risiko akibat peningkatan pada “imbal hasil acuan” yang dapat memengaruhi ekspektasi tingkat imbal hasil yang diminta nasabah. Risiko ini dapat menimbulkan displaced comersial risk akibat adanya tekanan kompetisi di industri perbankkan islam,terutama untuk menarik dan mempertahankan nasabah bank. ISFB menyarankan untuk membentuk profit equalisation reserve (PER).PER merupakan sejumlah dana yang disisihkan oleh bank dan pendapatan bruto,sebelum dialokasikan ke mudharib,untuk mempertahankan imbal hasil dan tentu saja meningkatkan equitas. Dasar perhitungan PER harus ditetapkan terlebih dahulu sesuai kesepakatan nasabah(investasi) dan disetujui oleh dewan komisaris.
Selain PER,IFSB juga menyarankan bank islam untuk menyisihkan dana yang disebut investment risk reserve(IRR). Syarat dan kondisi penyisihan dan penggunaan IRR harus mendapat persetujuan dewan komisaris.Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh bank islam untuk meminimalisasi eksposur risiko imbal hasil,misalnya menentukan dan meragamkan rasio laba yang akan datang sesuai syariah.
Manajemen Risiko Operasional
Menurut IFSB,risiko operasional adalah potensi kerugian akibat ketidakcukupan atau kegagalan proses internal,orang dan sistem atau akibat kejadian eksternal. Termasuk didalamnya adalah kerugian akibat ketidakpatuhan terhadap syariah dan risiko fidusia.
IFSB mendefinisikan risiko kepatuhan syariah yang timbul dari kegagalan bank dalam mematuhi hukum-hukum dan prinsip-prinsip syariah yang ditetapkan oleh dewan syariah atau lembagalain yang sejenis dimana bank beroperasi. IFSB juga membahas mengenai risiko fidusia. Risiko fidusia muncul ketika bank gagal dalam mengemban tanggungjawab atas kepercayaan pengelola dana yang diberikan nasabah,seperti kegagalan membayar kembali dana mereka atau tidak mengamankan kepentingan nasabah. Dampaknya antara lain penarikan dana oleh penyedia dana,kehilangan pendapatan,kekosongan kontrak yang mengarah pada penurunan reputasi atau pembatasan terhadap kesmpatan bisnis.
Prinsip Tata Kelola Bank Versi IFSB
Menurut IFSB, tata kelola adalah bagaimana bank dikelola, dimonitor, dan dipertanggungjawabkan. Tata kelola bank menurut perpektif pengaturan merupakan sistem hukum,aturan,serta berbagai faktor yang mengontrol operasi pada sebuah bank. Pengertian lain dari tata kelola bank adalah sistem check and balances dengan tujuan menciptakan dan meningkatkan keberlanjutan nilai pemegang saham,serta melindungi kepentingan pemangku kepentingan lain.
Empat prinsip tata kelola bank:
a)             Metode tata kelola bank islam
b)            Kepatuhan terhadap peraturan dan prinsip syariah islam
c)             Hak pemegang dana investasi
d)            Transparansi laporan keuangan




















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sejarah muncul dan berkembangnya menejemen risiko dapat diketahui melalaui regulasi yang dibuat, dimulai dengan diterbitkannya Basel I, Basel II, hingga sampai pada Basel III. Dalam perjalanannya, dari Basel I terus mengalami perkembangan dan kemudian disempurnakan oleh Basel II hingga Basel III.
Sedangkan tujuan diterbitkannya Basel adalah untuk mengatur sistem keuangan dunia


[1]Basel Commite on Banking Supervision, 2004,international convegence of capital measurement and capital standards: A Revised fraversionmework comprehensive

MANAJEMEN RESIKO SEBAGAI SEBUAH SISTEM TERINTEGRASI


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manajemen resiko merupakan suatu cara bagaimana mengendalikan atau menghadapi resiko-resiko yang mungkin akan terjadi di masa mendatang pada suatu perusahaan-perusahaaan, ataupun suatu perbankan baik bank konvensional maupun bank syariah. Perbankan sebagai salah satu pilar keuangan dalam melaksanakan fungsi intermediasi dan pelayanan jasa keuangan sangat memerlukan adanya distribusi resiko yang efisien. Oleh karena itu, dalam sector perbankan di tuntut untuk mampu secara efektif dalam mengelola resiko yang dihadapi. Karena resiko-resiko tersebut tidak dapat dihindari tetapi dapat dikelola dan dikendalikan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Bank Sebagai Penghubung Resiko
2.      Bagaimana Bank Sebagai Bisnis Kepercayaan Pengelolaan Resiko
3.      Resiko Apa Saja Yang di Hadapi Bank
4.      Bagaimana Urgensi Manajemen Resiko Bagi Bank Islam
5.      Bagaimana Pentingnya Internalisasi Resiko Bagi Bank
6.      Bagaimana Manajemen Resiko Sebagai Kultur dan Nilai yang Harus di Pegang Dalam Bisnis Bank Islam




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Bank Islam Sebagai Penghubung Resiko
Bank islam sebagai penghubung resiko karena berkaitan dengan DPK (Dana Pihak Ketiga) atau dapat dikatakan sebagai nasabah. Karena, fungsi dari bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan ke masyarakat. Oleh karena itu, bank dikatakan sebagai salah satu pihak yang menjadi penghubung resiko dengan DPK karena keduanya saling berkaitan langsung. Dalam penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan bank konvensional maupun bank syariah yaitu dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito. Penghimpunan dana pada bank syariah berdasarkan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) prinsip yang digunakan yaitu:
1.      Menghimpun Dana Dengan Prinsip wadiah
Yaitu titipan dari satu pihak ke pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan oleh penerima titipan kepada yang menitipkan. Wadiah dibagi menjadi dua yaitu
a.    Wadiah yad amanah
Bentuk titipan yang mana bank tidak boleh memanfaatkan atau menggunakan dana titipan tersebut untuk mendapatkan keuntungan.
b.    Wadiah yad dhamanah
Bentuk titipan yang mana bank boleh memanfaatkan dana tersebut untuk mendapatkan keuntungan. Bentuk akad ini titipan dan hutang.

2.      Menghimpun Dana Dengan Prinsip Mudharabah
Yaitu perjanjian atas suatu kerjasama usaha dimana pihak pertama menyediakan dana dan pihak medua bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Dan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah bagi hasil yang telah disepakati bersama sejak awal, akad ini bersifat investasi. Karena sifatnya investasi, bank islam harus menyalurkan kepada pembiayaan atau investasi yang dapat mendatangkan keuntungan[1]
Dapat disimpulkan bahwa nasabah sebagai penyumbang dana pihak ketiga memiliki hak dan bank sebagai pengelola harus bertanggung jawab atas dana yang telah dipercayakan oleh nasabah kepada bank tersebut.
B.     Bank Sebagai Bisnis Kepercayaan Pengelolaan Resiko
Menurut undang-undang perbankan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau dalam bentuk lainnya. Dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sebagai lembaga intermediasi keuangan berbasis kepercayaan maka bank harus menerapkan system manajemen resiko. Hal ini sesuai dengan peraturan BI No.5/8/PBI/2003 tentang penerapan manajemen resiko bagi bbank umum yang mengatur agar masing-masing bank menerapkan manajemen risiko. Kepercayaan dari masyarakat atau nasabah merupakan factor utama dalam menjalankan bisnis perbankan. Dengan demikian manajemen bank akan dihadapkan pada usaha untuk menjaga kepercayaan tersebut, agar memperoleh simpati dari calon nasabahnya[2]

C.    Resiko Yang di Hadapi Bank Islam
Pada dasarnya mayoritas resiko yang dihadapi lembaga keuangan konvensional seperti resiko kredit, resiko pasar, resiko likuiditas, resiko operasional dan lainnya juga dihadapi oleh lembaga keuangan syariah. Berdasarkan PBI No.13/23/PBI/2013 tentang penerapan Manajemen Resiko bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah terdapat sepuluh jenis resiko yang dihadapi bank Islam yaitu[3]:

1.        Resiko kredit
Risiko kredit muncul akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi liabilitas kepada bank Islam sesuai kontrak. Risiko ini disebut juga risiko gagal bayar. Tujuan pengelolaan risiko pembiayaan adalah mencegah terjadinya risiko gagal bayar yang berdampak sangat besar dan mengakibatkan kebangkrutan bank.
Risiko kredit yang dihadapi bank Islam sangat terkait dengan bentuk akad pembiayaannya. Pada akad murabahah atau istishna risiko terjadi saat bank Islam telah menyerahkan asset kepada debitur tetapi tidak menerima pembayaran tepat pada waktunya. Sedangkan pada investasi mudharabah risiko kredit terkait kemampuan menghasilkan keuntungan dari debitur atau akibat ketidak jelasan informasi. Ketidak simetrisan informasi ini dapat manipulasi laporan keuangan
2.       Resiko pasar
Risiko pasar muncul akibat adanya pergerakan harga pasar dari portofolio asset yang dimiliki oleh bank dan dapat merugikan bank. Risiko ini hanya muncul jika bank memegang asset namun tidak untuk dimiliki atau dipegang hingga jatuh tempo melainkan untuk dijual kembali. Pada umumnya cakupan risiko pasar meliputi risiko nilai tukar, risiko komoditas, dan risiko ekuitas. Risiko pasar yang dihadapi bank konvensional dan tidak dihadapi oleh bank Islam adalah risiko suku bunga. Namun karena pemberlakuan dual banking system dalam perbankan di Indonesia, peningkatan tingkat suku Bunga di bank konvensional bisa berdampak merugikan pada bank Islam. bank Islam bisa mengalami risiko likuiditas akibat penarikan dana nasabah. Nasabah menarik dananya dari bank islam dan dipindahkan ke bank konvensional untuk mendapatkan bunga lebih tinggi dibandingkan bagi hasil dari bank Islam.
3.       Resiko likuiditas
Risiko liukuiditas terjadi akibat ketidakmampuan bank Islam dalam memenuhi liabilitas yang jatuh tempo. Likuiditas dapat diartikan sebagai  kemampuan bank dalam memenuhi dana  dengan segera.
4.      Resiko operasional
Risiko operasional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh pengendalian internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal , kesalahan manusia, kegagalan system, atau adanya kejadian-kejadian eksternal  yang mempengaruhi operasional bank.
5.       Resiko hokum
Risio ini timbul antara lain karena adanya tuntutan secara hukum dan ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna.
6.       Resiko reputasi
Risiko reputasi terjadi akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan yang  berpresepsi negatif terhadap bank. Pemangku kepentingan  bank meliputi nasabah, debitur, investor, regulator dan masyarakat umum. Hal-hal yang sangat berpengaruh pada reputasi bank adalah manajemen, pelayanan, ketaatan pada peraturan, kompetensi dan sebagainya.
7.       Resiko sterategis
Risiko strategis terjadi akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan pelasanaan dalam suatu keputusan  strategis serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Risiko ini timbul antara lain bank menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank, melakukan analisis lingkungan strategis yang tidak komprehensif, adanya perubahan kondisi ekonomi makro, perubahan teknologi dan perubahan kebijakan otoritas sekitar.
8.       Resiko kepatuhan
Risiko kepatuhan muncul akibat bank tidak mematuhi dan tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip syariah. Bank Islam diharuskan memenuhi prinsip-prinsip syariah dalam aktivitas bisnisnya. Bank Islam harus benar-benar beroperasi murni pada syariat Islam. Risiko kepatuhan dalam bank Islam melekat pada semua a b ktivitas bank, termasuk dalam aktivitas pembiayaan bank.  Bank Islam harus memastikan bahwa seluruh dokumen kontrak yang dibuat benar-benar telah patuh pada aturan dan prinsip syariah.
9.       Resiko imbal hasil
Risiko imbal hasil ini terjadi akibat perubahan imbal hasil yang dibayarkan bank  kepada nasabah  dan memengaruhi perilaku nasabah. Bagi nasabah rasional, perubahan imbak hasil ini memengaruhi perilakunya. Perubahan ekspektasi ini dapat disebabkan oleh factor internal seperti menurunya nilai asset bank, turunnya pendapatan bagi hasil bank dari debitur, dan gagal bayar debitur. Selain factor internal, ada pula factor eksternal yang mempengaruhi seperti naiknya imbal hasil yang ditawarkan oleh bank lain.
10.    Resiko investasi
Risiko investasi muncul akibat bank ikut menanggung kerugian usaha debitur yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil.  Risiko investasi ini makin besar jika basis bagi hasilnya berdasarkan atas laba operasi atau laba neto usaha debitur. Bahkan apabila usaha yang dilakukan oleh debitur bangkrut, maka bank dapat kehilangan pokok pembiayaan yang diberikan kepada  debitur[4].




D.    Urgensi Manajemen Resiko Bagi Bank Islam
Sasaran kebijakan manajemen resiko adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat resiko yang wajar secara terarah, terintregasi dan berkesinambungan. Penerapan manajemen resiko bertujuan untuk menghindari suatu kerugian yang disebabkan oleh terjadinya resiko. Timbulnya resiko pada perusahaan ataupun organisasi disebabkan kurangnya pemahaman dan ketidakpedulian pimpinan perusahaan terhadap resiko[5].
Tujuan dari manajemen resiko itu sendiri adalah sabagai berikut:
a.       Menyediakan informasi tentang resiko kepada pihak regulator
b.      Memastikan bank tidak mengalami kerugian yang bersifat unacceptable
c.       Meminimalisasi kerugian dari berbagai resiko yang bersifat uncontrolled
d.      Mengukur pemusatan resiko
e.       Mengalokasikan modal dan membatasi resiko

E.     Pentingnya Internalisasi Resiko Bagi Bank
Pengelolaan resiko merupakan tugas dan tanggung jawab seluruh elemen bank dari level atas sampai level bawah harus saling bekerja sama dalam menghadapi resiko yang mungkin terjadi. Tingkat resiko ini akan mempengaruhi bank dalam menyusun rencana strateggis, rencana bisnis dan teknis pelaksanaan. Mengingat pentingnya kesadaran semua pihak dalam bank atas resiko, bank harus berhasil menginternalisasi konsep manajemen resiko seluruh line yang ada di bank.
Setiap individu yang bekerja di bank apapun posisinya bias mempunyai andil menjadi penyebab terjadinya resiko yang merugikan bank. Misalnya keteledoran satpam dalam menjaga keamanan asset bank dan kenyamanan transaksi nasabah. Sering terjadi pencurian asset bank yang mengakibatkan kerugian material dan dapat menyebabkan rusaknya reputasi bank di mata masyarakat. Pelayanan bank yang mengecewakan nasabah bias menyebabkan nasabah beralih ke bank lain. Para pegawai bank dituntut agar melayani nasabahnya dengan baik.
Dengan terinternalisasinya manajemen resiko pada bank, memungkinkan bank dapat mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi secara tepat waktu. Dengan adanya rasa tanggung jawab atas resiko pada setiap karyawan pada semua line bisnis, tingkatan manajemen dan fungsional akan meminimalisasi terjadinya resiko, terutama resiko operasional. Selain itu berjalannya prinsip kehati-hatian dalam menjalankan operasi bisnis bank.

F.     Manajemen Resiko Sebagai Kultur dan Nilai yang Harus di Pegang Dalam Bisnis Bank Islam
Setiap elemen yang ada dalam bank islam mulai dari Direktur sampai karyawan harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap resiko.  Manajemen resiko sebagai kultur ataupun budaya yang mesti ada didalam sebuah bisnis perbankan syariah khususnya. Karena, ada beberapa hal yang menjadikan manajemen resiko menjadi penting dalam perbankan yaitu:
1.      Bank adalah perusahaan jasa yang pendapatannya diperoleh dari interaksi dengan nasabah sehingga resiko tidak mungkin tidak ada.
2.      Dengan mengetahui resiko maka dapat mengantisipasi dan mengambil tindakan yang diperlukan dalam menghadapi permasalahan.
3.      Dapat lebih mengutamakan pemahaman pengawasan yang sangat penting dalam aktivitas operasional.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa resiko yaitu suatu hal yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Sebagai penghubung risiko, bank harus memperhatikan apa-apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Dengan memperhatikan risiko yang akan terjadi bank lebih mudah dalam mengelola risiko yang terjadi, karena suatu risiko tidak dapat dihindari melainkan dapat dikelola. Sehingga dapat meminimalisasi kerugian yang besar bagi suatu perbankan dalam menjalankan bisnisnya.













Daftar Pustaka
Adiwarman Karim, 2010 Bank Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Arviyan arifin, 2010 Islamic banking sebuah teori konsep dan aplikasi, PT Bumi Aksara, Jakarta
Imam wahyudi dkk, 2013 Manajemen Resiko Bank Islam, Salemba Empat, Jakarta
Tariqullah Khan dan Habib Ahmad, 2008 manajemen Resiko Lembaga Keuangan Syariah, Bumi Aksara, Jakarta


[1]imam Wahyudi dkk, manajemen Resiko Bank Islam. (Jakarta: Salemba Empat, 2013), hal. 19-20
[2]Arviyan Arifin, Islamic Banking Sebuah Teori Konsep dan Aplikasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), hal. 945
[3]Ibid., Imam Wahyudi, Manajemen Resiko Bank Islam
[4]Tariqullah Khan dan Habib Ahmad, Manajemen Resiko Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 193
[5]Adiwarman Karim, Bank Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 255