BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Bank merupakan lembaga keuangan yang memilki fungsi
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat.
Berdasarkan fungsi tersebut maka bank banyak melakukan banyak interaksi
langsung dengan masyarakat, apabila bank melakukan banyak kesalahan maka risiko
yang akan muncul adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat dan rusaknya
reputasi bank.
Setiap bank pasti akan menghadapi risiko, baik bank
konvensional maupun bank islam, hanya saja risiko yang hadapi sedikit berbeda. Oleh
karena besarnya risiko yang harus dihadapi bank, maka bank harus melakukan
menejemen risiko terhadap masalah yang muncul, risiko itu dapat dihilangkan
atau dikurangi dampaknya. Menejemen risiko penting bagi bank agar bank dapat
tumbuh dan berkembang. Karena pentingnya menejemen risiko bagi
kelangsungansuatu lembaga keuangan, maka penulis akan membahas tentang “Sejarah
Perkembangan Menejemen Risiko pada Bank Islam”.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana proses muncul dan berkembangnya menejemen
risiko pada bank islam?
2. Tujuan diterbitkannya Basel?
C.
Tujuan
1. Kita mengetahui dan memahami proses muncul dan
berkembangnya menejemen risiko pada bank islam
2. Kita mengetahui tujuan diterbitkannya Basel
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Menejemen Risiko Bank Islam
1. Mengapa
Bank Perlu Diatur dan Diawasi?
Menejemen
risiko dalam sector perusahaan mempunyai sejarah yang panjang. Hal ini bisa
dilihat dari regulasi yang mengaturnya. Berbagai peraturan diterbitkan untuk
memastikan usaha perbankan bisa berjalan dengan hati-hati (prudent). Bank perlu
diawasi karena bank merupakan institusi yang menjalankan fungsi intermediasi
yaitu fungsi mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kemali dalam
bentuk pembiayaan. Dalam proses inilah akan muncul berbagai potensi risiko yang
harus dihhadapi bank, seperti risiko gagal bayar, risiko operasional, risiko
likuiditas, dan sebagainya.
Misalkan
risiko gagal bayar, jika debitur inti mengalami gagal bayar maka akan
mengganggu likuiditas bank, minimal menggerus modal yang dimiliki bank. Kenyataannya
saat ini, bank satu dengan yang lainnya memilki hubungan yang saling terkait,
interaksi antar bank dapat berupa hubungan saling meminjam. Jika ada bank yang
mengalami gagal bayar, maka akan merembet ke bank lain, menjadikan bank lain
juga mengalami kerugian. Inilah yang sering disebut dengan efek domino.
Akibat
adanya efek domino, gagal bayar debitur inti dari suatu bank dapat menyebabkan
bank tersebut mengalami masalah keuangan, seperti tergerusnya modal, kesulitan
memenuhi liabilitas yang jatuh tempo, gagal mmengembalikan dana nasabah, dan
sebagainya. Dampak yang ditimbulkan oleh risiko gagal bayar di sebuah bank di suatu Negara dapat menyeret
bank-bank di Negara lain dan menyebabkan terjadinya krisis global. Misalnya,
bangkrutnya Lehman Brother, salah satu bank investasi terbesar di Amerika
Serikat, pada 2008.
Mengingat
dahsyatnya dampak dari risiko bagi institusi keuangan, terutama bank, para
regulator merasa perlu untuk membuat aturan bersama untuk menjaga bank tetap
prudent. Masing-masing Negara membuat regulasi untuk mengatur industry
perbankan mereka, seperti Peraturan Bank Indonesiadi Indonesia. Disamping itu
mereka juga berkumpul dan bersepakat untuk membuat aturan mainbersama bagi
bank-bank yang ingin berinteraksi secara global. Disusunlah Basel I (1988), dan
kemudian direvisi menjadi Basel II (2004) dan Basel III (2010). Demikian pula
dengan perbankan islam, mereka merasa perlu menjaga agar industry perbankan
islam juga dalam kondisi prudent, untuk itu didirikanlah International Financialand
Services Board. Untuk mencapai standarisasi pelaporan keuangan diantara
institusi keuangan, AAOIFI didirikan untuk membuat aturan standar tersebut.
2. Basel
I dan Sejarah Perkembangannya
Mengapa BCBS dan Basel I muncul?
Basel
merupakan peraturan mengenai perbankan yang menjadi rujukan utama dalam praktik
perbankan internasional. Regulasi ini diterbitkan sebagai hasil kesepakatan
Negara-negara yang bergabung dalam Basel Commite in Banking Supervision. BCBS
didirikan pada 1974 oleh Negara-negara G10. Tujuannya adalah untuk menciptakan
perfaturan bersama dalam rangka memperkuat stabilitas dan kesehatan system
perbankan internasional, menciptakan kerangka system yang adil dalam mengukur
kecukupan modal secara internasional, dan mendapatkan kerangka yang konsisten
untuk mengurangi ketidaksamaan kompetisi antar bank yang bermain di tingkat
internasional.
Kerangka regulasi Basel I
Salah
satu peraturan yang penting bagi bank adalah peraturan permodalan bank sebagai
penyangga apabila terjadi kerugian. Untuk itu pada Juli 1988, BCBS mengeluarkan
suatu konsep permodalan dalam laporan berjudul International Convergence of
Capital Measurement and Capital Standard. Laporan ini kemudian dikenal dengan
Basel I.
Basel
I diterbitkan sebagai peraturan dan standar internasional dalam pengolahan
kecukupan modal bank untuk menyerap kerugian yang terjadi sehingga mencegah
terjadinya masalah yang sistemis. Selain itu aturan inin juga menciptakan
keseragaman aturan main bagi bank dan regulator perbankan dalam pengelolaan
risiko yang dihadapi oleh bank untuk seluruh bank dimanapun negaranya. Dalam
Basel I, cakupan risiko yang diatur hanya risiko kredit. Risiko kredit dianggap
sebagai factor risiko yang paling dominan dalam perbankan.
Dalam
Basel I dijelaskan bahwa modal bank dibagi menjadi 2 kelompok, pertama modal
lapis satu, terdiri atas cadangan kas dan modal lain yang berasal dari saham,
kedua modal lapis dua yang merupakan cadangan untuk menutupi kerugian akibat
pinjaman yang tidak kembali (gagal bayar).
Basel
I member arahan pada bank agar memperhitungkan risiko dan kecukupan modal untuk
mencukupinya. Dalam perhitungan besarnya risiko dan kecukiupan modal, Basel I
menggunakan metode pengukuran tunggal (one single size fits all approach), tanpa membedakan
kemampuan membayar dan risiko masing-masing individu beditur. Untuk mengukur
kecukupan modal bank, Basel I menggunakan Capital Adequacy Ratio atau disebut
leverage ratio. CAR merupakan rasio modal terhadap total risiko. Pengukuran
kecukupan modal menurut risiko kredit dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu
bobot asset berisiko, penyertaan dengan risiko kredit, target rasio modal,
kalkulasi modal yang memenuhi syarat, dan kecukupan hasil pada modal yang
memenuhoi syarat serta struktur modal. Basel I menetapkan CAR harus 8% dari
aktiva tertimbang menurut ATMR. Basel I juga membahas tentang kesepakatan
implementasi dan transisi regulasi ini. Masing-masing bank sentral diminta
untuk menciptakan pengawasan yang kuat dan mekanisme pelaksanaan untuk
memastikan bahwa kesepakatan Basel diikuti dan dijalankan denga baik.
Evolusi Basel I
Setelah
hanya memperhitungkan risiko kredit, pada tahun 1996, Basel I diamandemen
dengan memasukkan perhitungan risiko pasar. Pada Januari 1996, BCBS
mempublikasikan “The Market Risk Amandement to the Origunal Accord”. Risiko
pasar dipertimbangkan untuk diperhitungkan karena selama periode 1980an, banyak
bank yang memperjualbelikan instrument derivative, seperti swap, forward
contract, dan option. Transaksi tersebut dilakukan untuk kepentingan bank
sendiri maupun dalam rangka memfasilitasi transaksi nasabah.
Transaksi
derivatife ini menggelembungkan catatan pada off-ballence sheet. Dalam
menanggulangi risiko pasar BCBS menganjurkan modal risk based pricing.
Pengukurannya menggunakan dua pendekatan (twin track approach), yaitu
pengukuran standar (standardized measurement method dan model internal (IRB).
Metode
pengukuran standar merupakan perhitungan rasio pasar yang berlaku umum bagi
semua bank. Pada dasrnya, metode ini mrirp dengan perhitungan ATMR, yaitu
dengan menggunakan pembobotan risiko untuk setiap jenis asset produktif. Hanya
saja dalam metode ini, system pembobotannya menggunakan lembaga pemeringkat
eksternal yang diakui regulator. Persyaratan kecukupan modal untuk risiko
ppasar tergantung pada dua hal, yaitu risiko suku bunga dan harga ekuitas pada
buku transaksi serta risiko nilai tukat, logam berharga dan komoditas pada
seluruh aktivitas bank. Sedangkan IRB adalah metode dengan system pemeringkatan
internal terhadap asset yang dimiliki. Parameter yang digunakan dalah
probabilitas gagal (PD), kerugian jika terjadi gagal bayar (LGD), perkiraan
nilai eksposur ketka terjadi gagal bayar (EAD), serta jangka waktu efektif
(maturity).
Seiring
perubahan drastic pada industry perbankan, Basel I menunjukkan danya beberapa
kelemahan. Pertama, belum diakomodasinya pendekatan portofolio. Kedua, masih
belum jelasnya peraturan untuk menghitung eksposur risiko. Ketiga, pembobotan
yang sama asset berisiko terhadap semua pinjaman korporasi tanpa memperdulikan
peringkat kredit dari debitur. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, muncul
peraturan Basel II yang lebih komperhensif dibandingkan dengan Basel I.
3. Basel
II dan Sejarah Perkembangannya
Latar belakang terbitnya Basel II
Setelah
hampir dua decade diterapkannya Basel I, terjadi banyak perubahan dalam system
keuanga dunia. Perubahan tersebut misalnya:makin berkembangnya produk-produk
perbankan. Semua ini memicu ketidakstabilam pasar keuangan. Apalagi setelah
terjadi goncangan ekonomi yang menimbulkan krisi keuangna, seperti krisis Asia
pada 1977 dan Eropa Timur pada 1988. Peraturan Basel I dirarsa kurang mencukupi
sehingga perlu direvisi serta dikembangkan. Akhirnya pada Juni 2004, BCBS
kembali menyempurnakan kerangka permodalan pada Basel I dengan menerbitkan
konsep permodalan baru yang lebih dikenal dengan Basel II.
Basel
II memberikan panduan yang sangat komperhensif bagii bak dalam mengolah
risikonya. Ada beberapa tujuan yang ditebitkan. Pertama, mempertahankan
keamanandan kesehahtan bank dalam system keuangan. Kedua, mempertahankan
tingkat modal minimum yang harus dipenuhi oleh bank. Ketiga meningkatkan
persaingan antar bank yang seimbang. Keempat, memperkenalkan kerangka risiko
yang lebih sensitive yang selaras antara modal internal dan modal yang sesuai
profil risiko bnak. Kelima, memfokuskan pada bank yang aktif secara
internasional. Meskipun rekomendasi Basel II ini lebih ditujukan bagi bank-bank
yang berkiprah aktif dalam linkup internasional, namunprinsip-prinsip dasar
kerangka Basel II dinilai layak untuk diterapkan pada berbagai jenis bank
sesuai tingkat kompleksitas usaha yang dijalankan dan profil risiko bank
dimiliki.
Cakupan risiko Basel II
Terkait
cakupan risiko, Basel I hanya memperhitungkan risiko secara sederhana, sedikit
mempertimbangkan risiko pasar, dan sama sekali tidak menyinggung risiko
operasional. Sangat berbeda dengan Basel II, dimana ketiga risiko tersebut
telah diperhitungkan secara komprehensif. U ntuk risiko kredit, persyaratan
modalnya makin dtingkatkan. Terdapat tiga metode untuk menghitung persyaratan
modal yang diminta dan disesuaikan dengan kompleksitas dan sensitivitas risiko.
Ketiga metode tersebut adalah simplified standardized approach (SSA),
standrdise approach (SA), dan internal rating-based (IRB).
Kerangka kerja Basel II
Dalam
Basel II, terdapat tiga pilar utama, yaitu kewajiban penyediaan modal minimum,
tinjauan pengawasan, dan disiplin pasar yang efektif. Dalam pilar pertama, bank
diminta unuk memperhitungkan modal minimum untunk tiga komponen utama risiko
yang dihadapi bank yakni risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
Risiko lainnya, seperti likuiditas, risiko strategis, risiko legal dan
sebagainya, belum diperhitungkan dalam Basel II.
Pilar
kedua mengatur tentang pengawasan. Dalam
hal ini, regulator diminta untuk menyusun kerangka kerja pengawasan bank
berdasarkan praktik terbaik. Terdapat
empat prinsip pengawasan. Pertama,
bank harus memiliki proses pengukuran kecukupan modal sesuai dengan profil
resikonya. Bank juga harus mempunyai
strategi dalam mempertahankan tingkat modalnya.
Oleh karena itu, manajemen bank harus memastikan bahwa modal yang
dimiliki bank dalam keadaan cukup. Modal
harus konsisten dengan profil resiko.
Kedua,
regulator atau otoritas pengawas harus meninjau dan mengevaluasi pengukuran
kecukupan modal secara internal sesuai dengan strategi bank. Bank harus mampu memantau dan memastikan
kepatuhan terhadap rasio modal yang ditetapkan.
Otoritas pengawas harus mengambil tindakan yang diperlukan bila hasil
proses tersebut tidak memuaskan. Proses
peninjauan menggunakan kombinasi informasi yang diperoleh dari visitasi
lapangan, review data dan
dokumentasi, pertemuan dengan manajemen bank, laporan berkala dari audit
eksternal, serta ketentuan laporan berkala.
Ketiga,
otoritas pengawas bank meminta bank beroprasi di atas modal minimal dan mampu
memelihara modal di atas ketentuan minimal.
Bank memiliki sistem pengendalian yang memadai, memiliki resiko
portofolio yang terdiversifikasi, serta seluruh aktivitas bisnisnya telah
memperhitungkan resiko bisnis sesuai pilar 1.
Keempat,
otoritas pengawas harus melakukan intervensi sedini mungkin untuk mencegah
penurunan modal dibawah ketentuan minimal.
Tindakan penyelamatan perlu dilakukan agar kembali di atas modal yang
diwajibkan. Pengawas dapat mengambil
tindakan yang diperlukan, antara lain meningkatkan minimal modal dalam jangka
pendek.[1]
3 PILAR BASEL II
|
PILAR I
Pemenuhan Modal
Minimum
|
Memenuhi level modal minimum.
Peningkatan metode untuk risiko
kredit.
Perlakuan eksplisit pada risiko
oprasional.
Kerangka risiko pasar.
|
Pengungkapan struktur modal.
Pengungkapan pengukuran risiko dan
manajemennya.
Pengungkapan risiko profil.
Pengungkapan kecukupan modal.
|
Menilai solvency vs provil risiko.
Pengawasan pada perhitungan bank dan
strategi modal.
Bank harus menahan kelebihan dari
modal minimum.
Regulator akan intervensi pada tahap
awal jika modal menurun
|
PILAR III
Disiplin pasar
|
PILAR II
Proses Review Pengawasan
|
Signifikansi
Basel II
Basel II ini membawa paling tidak dua
perubahan dalam perbankan. Pertama, perubahan dalam pendekatan dasar
peraturan perbankan terkait pemenuhan persyaratan modal minimum sebagai inti
pengawasan bank yang prudensial. Kedua, perlunya koordinasi dan
harmonisasi dalam menjalankan regulasi internasional yang belum pernah ada
sebelumnya.
Keberhasilan praktik regulasi Basel ini
sangat tergantung pada kerjasama berkelanjutan di antara para regulator dan
pengawas perbankan dimasing-masing negara. Secara bertahap, bank diminta untuk
terus meningkatkan persyaratan manajemen risiko untuk menerapkan peraturan
dalam Basel II. Terkait
denganpermodalan, bank harus memiliki cadangan modal yang cukup untuk
menghadapi risiko yang mungkin timbul akibat praktik pemberian kredit atau
pinjaman dan investasi yang dilakukan.
Dampaknya, makin besar risiko yang dihadapi bank, makin besar pula modal
yang dibutuhkan untuk menjaga kebutuhan likuiditas bank.
4.
Sejarah Terbitnya Basel III
Basel
II merupakan peraturan yang lengkap dalam mengatur dan mengawasi jalannya
bank. Akan tetapi, bayang-bayang
terjadinya krisis keuangan masih menghantui.
Terbukti dengan terjadinya krisis ekonomi dan keuangan pada
2007-2008. Faktor pemicu utamanya karena
banyaknya bank yang terlilit utang, pada laporan keuangan yang di laporkan (on-balance sheet) maupun posisi keuangan
yang tidak dilaporkan (off-balance sheet),
yang mengakibatkan terjadinya penggerusan dan tingkat dan kualitas modal yang
dimiliki bank.
Berdasarkan
persamaan yang menyebabkan krisis inilah muncul pemikiran untuk menyempurnakan
, BCBS mempublikasikan dokumen yang berjudul Basel III: Global Regulatory Frameworkfor More Resilient Banks and Banking
Sistem.
Tujuan Diterbitkannya dan Cakupan
Basel III
Pada
dasarnya, Basel III terbit sebagai penyempurnaan atas Basel II. Secara khususnya ada beberapa tujuan
diterbitkannya Basel III. Pertama, untuk
memperkuat peraturan permodalan dan likuiditas.
Kedua, untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan ektor perbankan dengan
menambahkan cadangan modal untuk menyerap goncangan dari tekanan ekonomi dan
keuangan serta mencegah menjalarnya krisis derivativ keuangan ke derivativ
ekonomi. Ketiga, untuk meningkatkan
kualitas manajemen risiko,tata kelola, transparansi dan keterbukaan. Keempat, memberikan resolusi terbaik bagi
risiko sistemis bank lintas batas negara.
Dalam
rangka penyempurnaan Basel II, Basel III menyarankan bank untuk memperkuat sisi
pengaturan mikroprudensial dalam upaya peningkatan kesehatan dan daya tahan
individual bank dalam menghadapi krisis.
Syarat yang harus dipenuhi adalah kualitas dan level permodalan yang
lebih tinggi dari fokus utama pada komponen permodalan saham dan pentingnya
ketersediaan kecukupan cadangan modal yang harus dimiliki oleh individu bank
dengan membentuk conservation buffer.
Resolusi Kerangka Kerja pada Basel
III
Ada
tiga point utama dalam Basel III, yakni pengaturan cadangan modal konservasi,
pengenaan ratio utang, dan penguatan manajemen likuiditas. Basel III seharusnya sudah harus
diimplementasikan pada 2013. Bahwa semua
bank diwajibkan untuk memperkuat cadangan modal dengan menambah total cadangan
inti, di mana saat ini 2% menjadi 7%.
Pada 2015, bank harus mengalokasikan modal inti (lapis 1) minimum 4,5%
dari DPK. Selanjutnya, pada 2018 bank
wajib menyediakan modal konversasi sebagai dana cadangan minimum 2,5%. Sehingga total modal berkualitas yang harus
dihimpun bank pada 2019 menjadi 8%.
5.
Standar
Akuntansi Bank Islam
Urgensi Adanya Standar Pelaporan
Keuangan Bank Islam
Tujuan
pelaporan bank adalah untuk meningkatkan transparansi bisnis yang dilakukan
bank dan perkembangannya kepada publik.
Apalagi bisnis penuh yang dilakukan oleh bank, misalnya transaksi
komoditas di pasar keuangan. Transaksi
ini tidak dilaporkan di buku bank, namun di catat di buku transaksi.
Informasi
yang berguna dan lengkap terkait bisnis dan transaksi yang dilakukan oleh bank
menjadi unsur yang penting bagi terbentuknya pasar yang terbit dan
efisien. Selain itu untuk pengawasan dan
manajemen bank yang efektif, perlu informasi yang in time dan on time bagi
seluruh pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak
yang berkepentingan tersebut meliputi pihak yang berwenang membuat pengaturan
dan pengawas bank (seperti BI,Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, DSN-MUI, dan
DPS), nasabah pemegang saham, rekanan bank, auditor eksternal, serta masyarakat
luas. Selain itu pihak internal bank
yang membutuhkan informasi tersebut, meliputi komisaris, dewan direksi,
manajemen eksekutif, komite audit, dan auditor internal.
Dalam
meningkatkan transparansi, BI sebagai regulator perbankan di Indonesia,
mewajibkan semua bank menyampaikan laporan keuangan. Laporan ini tidak hanya
dilaporkan kepada BI tetapi juga kepada publik.
Laporan kepada publik disampaikan melalui publikasi di media massa yang
memiliki peredaran luas di masyarakat.
Dalam laporan publikasi tersebut, bank juga wajib menyampaikan hal-hal
yang berhubungan dengan penerapan manajemen risiko, seperti kebijakan manajemen
risiko yang dilakukan oleh bank, strategi yang ditetapkan dalam manajemen
risiko serta limit yang terkait dengan risiko-risiko yang dihadapi oleh bank.
Cakupan Transparansi Dan
Keterbukaan Informasi
Laporan
keuangan yang harus dibuat oleh bank meliputi laporan posisi keuangan, laporan
laba rugi, laporan arus kas, laporan kualitas asset, dan sebagainya. Laporan keuangan disusun dengan asumsi bahwa usaha
yang dilakukan bank bersifat going
concern, kecuali ada rencana melikuiditas atau menjual bank, dan setiap
transaksi yang dilakukan dicatat dengan dasar on accrual basis.
Selain
laporan keuangan, bank juga harus mengungkapkan laporan risiko secara
periodik. Hal ini sangat diperlukan
terutama oleh regulator untuk pengawasan risiko yang lebih efisien. Pelaporan risiko meliputi laporan rasio
kecukupan modal (CAR), laporan risiko kredit, laporanagregat risiko pasar,
laporan risiko likuiditas, laporan risiko valuta asing ( bukan dalam konteks
investasi aktif ), laporan posisi komoditas dan ekuitas, laporan risiko
operasional, dan laporan risiko negara atau pasar. Dari pelaporan risiko dapat dipeoleh
informasi mengenai kegiatan operasional bank terutama terkait solvabilitas dan
posisi likuiditas bank serta tingkat risiko yang dihadapi bank pada berbagai
kegiatan bisnis yang digelutinya.
Regulasi dan Standar Pelaporan
Keuangan Bank Islam
Pelaporan
yang dilakuakn oleh bank Islam sesuai dengan PBI Nomor 13/23/PBI/2011. Seluruh bank Islam di Indonesia harus membuat
laporan keuangan terkait usaha yang dilakukannya. Penyampaian laporan keuangan harus dilaporkan
secara periodik, yakni bulanan, triwulan maupun tahunan. Laporan keuangan triwulan, selain ke BI juga
disampaikan ke Bapepam-LK. Sedangkan
laporan profil risiko harus dilaporkan triwulanan, yakni akhir Maret, Juni,
September, dan Desember pada setiap tahun.
Substansi
laporan profil risiko yang disampaikan ke BI harus sama dengan laporan Profil
risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada Direktur
Utama (atau Direktur yang ditugaskan secara khusus) dan Komite Manajemen
Risiko. Selain laporan profil risiko,
bank juga diwajibkan menyampaikan laporan peluncuran produk dan jasa baru yang
ditawarkan kepada nasabah.
Relevansi Tata Kelola yang Baik dan
Manajemen Risiko
Menurut
PBI Nomor 8/4/PBO/2006, tata kelola yang baik didefinisikan sebagai suatu tata
kelola yang menerapkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
independensi dan kewajaran. Tata kelola
yang baik merupakan rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan
institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengendalian suatu
bank. Tata kelola yang baik mencakup
hubungan antara para pemangku kepentingan yang terlibat serta tujuan
pengelolaan bank.
BI
mewajibkan seluruh bank untuk melaksanakan prinsip tata kelola yang baik. Mewujudkan kepercayaan dari para pemangku
kepentingan merupakan tantangan utama bank islam. Dalam kaitannya dengan tata kelola yang baik
AAOIFI mempunyai standar tata kelola yakni Governance
Standart For Islamic Financial Institution (GSIFI). GSIFI bertujuan untuk meningkatkan peran DPS
dalam struktur dan proses tata kelola bank.
GSIFI memberikan pedoman dalam mengangkat dan memberhentikan anggota
DPS, serta format dan kandungan isi laporan.
GSIFI menjelaskan prosedur yang harus dijalankan oleh DPS dalam
melakukan proses review untuk memberi
opini apakah bank islam telah mematuhi prinsip syariah. GSIFI terdiri dari empat standar. Pertama, memberikan pedoman dalam hal
definisi, pengangkatan, pemberhentian, komposisi dan laporan dari DPS. Kedua, memberikan pedoman bagi DPS untuk
melaksanakan tinjauan syariah untuk meyakinkan bahwa bank islam telah mematuhi
prinsip syariah. Ketiga, memberikan
pedoman review syariah di internal
Bank Islam. Keempat, mendefinisikan
peran dan tanggung jawab komite audit
6. Kerangka
Kerja Menejemen Riisko dalam IFSB
Untuk
Apa Di Dirikan IFSB?
Islamic
financial service boart (IFSB) didirikan di malaysia pada
2002. IFSB merupakan organisasi internasional yang menerbitakn berbagai prinsip
dan standar tata kelola sebagai panduan untuk institusi keuangan islam, seperti
bank, asuransi dan pasar modal, untuk mendukung stabilitas dalam industri jasa
dan keuangan islam selain itu IFSB secara khusus bertujuan untuk:
a)
Memberikan panduan pengaturan dan
pengawasan bank secara efektif
b)
Prosesur pengembangan instrumen,prosedur
manajemen resiko,dan operasi bank yang efisien
c)
Meningkatkan
kerjasama diantara negara anggota
d)
Memfalisitasi
pembangunan kapasita(capacity building)
dan mengembangkan kapasitas sumber daya manusia
e)
Melakukan
riset dan mempublikasi hasil kajian dan survei
f)
Membangun
database ban dan lembaga keungan islam dan para ahli di industri tersebut.
IFSB
menetapkan lima belas prinsip manajemen risiko yang bisa ditetapkan pada bank
komersial,bank investasi,serta lembaga keuangan lainnya.Kelima belas prinsip
tersebut tercangkup dalam enam risiko,yaitu risiko kredit,risiko
investasi,risiko likuiditas,risiko operasional,risiko imbal hasil,dan risiko
pasar.
Model Manajemen Risiko IFSB
Implementasi
manajemen risiko memperoleh pengawasan aktif dari dewan komisaris dan direksi
bank. Seluruh proses manajemen risiko,mulai dari penetapan
tujuan,strategi,kebijakan dan prosedur yang konsisten dengan kondisi keuangan
harus mendapat persetujuan dari dewan komisaris. Persetujuan tersebut harus
dikomunikasikan terhadap semua tingkatan manajemen demi keberhasilan
implementasi kebijakan yang diambil. Oleh karena itu,diperlukan struktur
organisasi bank yang efektif dalam mengatur dan mengarahkan kegiatan bank
islam,termasuk ketersediaan sistem memadai dalam mengukur, memantau, melaporkan, dan mengendalikan eksposur risiko bank.
Menurut
IFSB,manajemen risiko adalah proses dalam mengeksekusi semua elemen manajemen
risiko yang terdiri dari identifikasi,pengukuran,mitigasi,pemantauan,pelaporan
dan pengendalian risiko. Diantara syarat keberhasilan proses manajemen risiko
ini adalah adanya implementasi kebijakan,limit,prosedur yang sesuai,dan
manajemen sistem informasi yang efektif dalam pelaporan risiko.
Manajemen Risiko Kredit
Menurut
IFSB,risiko kredit adalah potensi kegagalan debitur atau sekutu bisnis dalam
memenuhi kewajiban sesuai kewajibansesuai perjanjianyang disepakati. Ini
meliputi meliputi seluruh transaksi pembiayaan,seperti jual beli(murabahah,salam dan istishna),utang-piutang(qardhul
hasan),dan sewa(ijarah).Tujuan
pengelolaan risiko kredit adalah membatasi taua mengurangi risiko
kredit,mengklafikasi aset dan mengevaluasi secara priodik kualitas
kolektibilitas portofolio pembiayaan,menetapkan provisi kerugian,dan
menyediakan cadangan modal untuk menyerap kerugian yang mungkin terjadi.Dalam
mengelola risiko kredit,bank harus memperhatikan potensi kegagalan pemenuhan
kewajiban pembayaran debitur, penurunan
kualiatas pembiayaan, konsentrasi
pembiayaan, dan risiko yang
timbul dari aktivitas penyelesaian dan kliring transaksi.
Manajemen Risiko Investasi
IFSB
mendefinisikan risiko investasi sebagai risiko yang muncul dari kontrak kerja
sama partisipasi modal dalam pembiayaan atau kegiatan bisnis dimana bank
ikut menanggung risiko. Risiko ini
muncul pada bank yang menggunakan akad mudharabah
dan musyarakah.Profil risiko ini
meliputi catatan masa lalu dari tim manajemen,kualitas rencana bisnis,sumber
daya manusia yang dilibatkan,dan proposal bisnis yang diajukan.
Dalam
IFSB,dibolehkan membentuk escrow account
untuk menahan sebagian profit selama periode investasi yang dicatat dan
disetujui oleh semua sekutudengan tujuan untuk menstabilkan laba usaha pada
suatu periode akutansi. Namun,akun ini cocok jika jumlah sekutu tetap sama
selama periode investasi dan akuntansi. Sebaliknya,jika berbeda maka perlu disampaikan
terlebih dahulu hak dan kewajiban sekutu lama sebelum masuknya sekutu baru ke
dalam syirkah. Selain itu,kondisi yang harus terpenuhi juga adalah semua sekutu
berkontribusi pada modal dan laba dibagi sesuai porsi modal. Jika tidak,maka
perlu dibuat catatan penyesuaian atas hak dan kewajiban setiap sekutu.
Bank
juga perlu menetapkan kriteria untuk keluar(exit
strategy),termasuk penyelamatan investasi,penghapusan investasi yang
macet,alternatif jalan keluar,dan waktu keluar yang tepat. Bila terjadi kerugian,namun
masih ada prospek peningkatan bisnis,bank bisa memperpanjang periode
investasi.Dengan pertimbangan bahwa akan ada periode pemulihan bisnis dan
investasi pada waktunya akan menghasilkan laba dan dapat menutup kerugian.
Manajemen Risiko Pasar
Risiko
pasar menurut IFSB adalah risiko kerugian pada posisi laporan posisi keuangan (on dan off balance sheet) yang timbul
akibat pergerakan harga pasar,seperti fluktuasi harga komoditas(salam) dan aset yang dimiliki (murabahah dan istihna),sekuritas yang
dimiliki(saham atau sukuk),kurs nilai tukar(bukan
untuk transaksi aktif), dan dalam portofolio individual pada sisi off
balance sheet(rekening investasi terbatas).Dalam
memenuhi liabilitas atau membiayai peningkatan aset pada saat jatuh tempo
dengan kerugian dan atau di bebani biaya diluar kemampuan. Kebijakan
terkait risiko likuiditas,meliputi
faktor kuantitatif dan kualitatif. Faktor kuantitatif ini termasuk didalamnya
adalah keberagaman sumber dan,konsentrasi sumber dana,kemampuan aset untuk
dilikuiditasi,dan ketersediaan fasilitas pinjaman dari eksternal.Yang termasuk
faktor kualitatif ,seperti penilaian terhadap kemampuan manajemen secara
umum,kemampuan khusus manajemen pengelolaan dana (treasury) dan hubungan luar (public
relation),kualitas sistem informasi manajemen,reputasi bank dipasar,kamauan
dan kemampuan pemegang saham untuk menyediakan tambahan modal dan dalam kasus
pendanaan cabang atau anak perusahaan,kemauan dan kemampuan kantor pusat atau
induk perusahaan dalam penyediaan fasilitas likuiditas.
Manajemen Risiko Imbal Hasil
Risiko
imbal hasil menurut IFSB adalah risiko akibat peningkatan pada “imbal hasil
acuan” yang dapat memengaruhi ekspektasi tingkat imbal hasil yang diminta
nasabah. Risiko ini dapat menimbulkan displaced comersial risk akibat adanya
tekanan kompetisi di industri perbankkan islam,terutama untuk menarik dan
mempertahankan nasabah bank. ISFB menyarankan untuk membentuk profit
equalisation reserve (PER).PER merupakan sejumlah dana yang disisihkan oleh
bank dan pendapatan bruto,sebelum dialokasikan ke mudharib,untuk mempertahankan
imbal hasil dan tentu saja meningkatkan equitas. Dasar perhitungan PER harus
ditetapkan terlebih dahulu sesuai kesepakatan nasabah(investasi) dan disetujui oleh dewan komisaris.
Selain
PER,IFSB juga menyarankan bank islam untuk menyisihkan dana yang disebut
investment risk reserve(IRR). Syarat dan kondisi penyisihan dan penggunaan IRR
harus mendapat persetujuan dewan komisaris.Beberapa strategi yang dapat
dilakukan oleh bank islam untuk meminimalisasi eksposur risiko imbal
hasil,misalnya menentukan dan meragamkan rasio laba yang akan datang sesuai
syariah.
Manajemen Risiko Operasional
Menurut
IFSB,risiko operasional adalah potensi kerugian akibat ketidakcukupan atau
kegagalan proses internal,orang dan sistem atau akibat kejadian eksternal.
Termasuk didalamnya adalah kerugian akibat ketidakpatuhan terhadap syariah dan
risiko fidusia.
IFSB
mendefinisikan risiko kepatuhan syariah yang timbul dari kegagalan bank dalam
mematuhi hukum-hukum dan prinsip-prinsip syariah yang ditetapkan oleh dewan
syariah atau lembagalain yang sejenis dimana bank beroperasi. IFSB juga
membahas mengenai risiko fidusia. Risiko fidusia muncul ketika bank gagal dalam
mengemban tanggungjawab atas kepercayaan pengelola dana yang diberikan
nasabah,seperti kegagalan membayar kembali dana mereka atau tidak mengamankan
kepentingan nasabah. Dampaknya antara lain penarikan dana oleh penyedia
dana,kehilangan pendapatan,kekosongan kontrak yang mengarah pada penurunan
reputasi atau pembatasan terhadap kesmpatan bisnis.
Prinsip Tata Kelola Bank Versi IFSB
Menurut
IFSB, tata kelola adalah bagaimana bank
dikelola, dimonitor, dan dipertanggungjawabkan. Tata kelola
bank menurut perpektif pengaturan merupakan sistem hukum,aturan,serta berbagai
faktor yang mengontrol operasi pada sebuah bank. Pengertian lain dari tata
kelola bank adalah sistem check and balances dengan tujuan menciptakan dan
meningkatkan keberlanjutan nilai pemegang saham,serta melindungi kepentingan
pemangku kepentingan lain.
Empat
prinsip tata kelola bank:
a)
Metode tata kelola bank islam
b)
Kepatuhan terhadap peraturan dan prinsip
syariah islam
c)
Hak pemegang dana investasi
d)
Transparansi laporan keuangan
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah muncul dan berkembangnya menejemen risiko dapat
diketahui melalaui regulasi yang dibuat, dimulai dengan diterbitkannya Basel I,
Basel II, hingga sampai pada Basel III. Dalam perjalanannya, dari Basel I terus
mengalami perkembangan dan kemudian disempurnakan oleh Basel II hingga Basel
III.
Sedangkan tujuan diterbitkannya Basel adalah untuk mengatur
sistem keuangan dunia
[1]Basel
Commite on Banking Supervision, 2004,international convegence of capital
measurement and capital standards: A Revised fraversionmework comprehensive