BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh sebenarnya merupakan
ilmu yang tidak bisa di abaikan oleh seorang mujtahid dalam upaya memberi
penjelasanmengenai nash-nash syariat islam dan dalam mengali hukum islam
yangtidak terdapat nash padanya.ia juga merupakan ilmu yang diperlukan bagi
seorang Hakim (Qadhi) dalam usaha memahami materi secara sempurna.
Untuk dapat memahami al-Quran secara tepat dan
efektif maka merupakan keharusan memahami kaidah kebahasaan terlebih dahulu. Hal
ini mengandung arti, seseorang pengkaji al-Quran harus memahami arti kata,
maksud kalimat hingga apresiasi sastra.Kata adalah seni sehingga dalam memahami
kata harus memahami unsur intrinsik kata itu sendiri.
Sering kali dijumpai dalam
al-Qur’an lafadh-lafadh yang berbeda namun memiliki arti yang sama atau yang
disebut muradif, begitu pula sebaliknya yang disebut Musytarak, Muradif atau
mutaradif al-Quran memiliki arti sinonim atau kata-kata yang searti. Namun
dalam pembahasan ini apa yang dimaksud sebagai mutaradif al-Quran sebenarnya
adalah merupakan kata-kata yang seakan-akan bersinonim namun sebenarnya tidak.
Dan inilah maksud istilah yang terkandung di dalam berbagai literatur.Sedangkan
lafadh yang musytarak sering kita jumpai seiring dengan siyaqul kalam yang
mempengaruhi arti dari lafadh tersebut.
Oleh karena itu makalah ini kami
buat guna memahami aspek-aspek yang terdapat pada muradif dan musytarak,
sehingga dapat memahami al-Qur’an secara mendalam dan tidak terjadi kesalahan
dalam memahami ayat-ayat yang kiranya sulit dipahami.
B.
Rumusan Masalah
Dari isi pembahasan yang terdapat dalam
rumusan masalah ialah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Muradif dan Musytarak
2. Bagaimana Penyebab Adanya Lafazh Musytarak
3. Bagaimana
Bentuk-Bentuk Lafal Muradif dan Musytarak
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari isi makalah
tersebut ialah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui Muradif dan Musytarak
2.
Untuk mengetahui Penyebab Adanya Lafadz Musytsrak
3.
Untuk mengetahui Bentuk-Bentuk Lafadz Muradif dan Musytarak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muradif dan Musytarak
Menurut KH. Mahfudh Shiddiq, yang
dimaksud muradif adalah yang memiliki arti satu, akan tetapi memiliki beberapa
lafahz. Sedangkan yang dimaksud dengan musytarak adalah yang memiliki lafahz
satu, akan tetapi memiliki arti lebih dari satu.
Untuk lebih jelasnya dalam memahami
pengertian muradif dan musytarak, adalah sebagai berikut:
1.
Pengertian Muradif
Yang dimaksud muradif ialah kalimat yang lafadznya banyak, sedangkan artinya sama, (sinonin), seperti lafadz
al-asad dan al- laitis artinya singa.
2.
Pengertian Musytarak
Musytarak ialah lafadz yang digunakan
untuk dua arti atau lebih dengan pengunaan yang bermacam-macam. Dalam definisi
lain yaitu lafadz yang digunakan dua makna yang berbeda atau lebih. Seperti
lafadz quruu’ yang memiliki arti berbeda, ada yang mengartikan suci, dan haidh.
Lafadz musytarak diciptakan untuk
beberapa makna yang penunjuknya kepada makna itu dengan jalan bergantian tidak
sekaligus. Misalnya lafadz ‘ain yang diciptakan untuk beberapa makna. Yakni
mata untuk melihat, mata air,dan lain sebagainya
Jadi lafadz musytarak dapat diartikan
lafadz yang diletakan atas dua makna atau lebih dengan peletakan bermacam-macam
dimana lafadz itu menunjukan makna yangditetapkan secara bergantian, artinya
lafadz itu menunjukan makna ini atau makna itu. Sebagaimana lafadz ain ditetapkan menurut bahasa untuk pandangan, untuk mata air yang bersumber,
dan mata-mata. Lafadz alquru ditetapkan dalam bahasa untuk pengertian suci dan
haidh.
Ketika kita menjumpai suatu lafadz dalam
al-qur’an dan ditemukan pemaknaian yang berbeda dari referensi yang lain maka
lafadz tersebut termaksuk lafadz musytark.
B. Penyebab Adanya Lafadz Musytarak
Penyebab adanya lafasz musytarak dalam
bahasa banyak sekali, diantaranya yang terpenting ialah perbedaan
kabilah dalam
mempergunakan lafazd untuk menenjukan kepada beberapa makna. Sebagian kabilah
memutlakan lafadz yad pada seluruh hasta, sebagian kabilah yang lain memutlakan
lafadz yad pada lengan dan telapak tangan. Dan sebagian lain kabilah
memutlakannya pada telapak tangan secara khusus. Selanjutnya para ulama
mengutip bahasa menetapkan bahwasanya tangan dalam bahasa arab adalah lafadz
musytarak antara pengertian yang tiga tersebut. Dimana
sebabnya lagi ialah penetapan suatu lafadz itu dipergunakan tidak pada
penetapannya secara majas.
Apapun yang menjadi persekutuan makna
dalam bahasa maka sesungguhnya lafadz yang musytarak antara dua makna atau
lebih tidaklah sedikit didalam bahasa, dan terdapat dalam nash-nash syar’iyyah,
baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah.
1. Timbulnya
Lafadz Musytarak
a. perbedaan
beberapa suku di dalam lafadz-lafadz untuk menunjukan beberapa arti. Suku bangsa
arab terdiri dari dua golongan, yaitu, golongan Adnan, dan golongan Qathan. Masing-masing golongan ini terdiri dari suku yang bermacam-macam dan dusun
yang terpencar-pencar, yang berbeda-beda tempat dan lingkungannya. Kadang-kadang
suatu suku membuat nama untuk suatu pengertian.
Kemudian suku lain menamakan suku tersebut untuk suatu pengertian lainnya yang
tidak dimaksuk dengan suku pertama. Kadang-kadang antara kedua pengertian itu
tidak ada sangkut pautnya. Tatkala bahasa arab diambil orang lain dan dibukukan
kedua pengertian itu diambil begitu saja tanpa memperhatikan hubungan dengan
suku yang membuatnya semula.
Misalnya sebagian suku mengartikan ( اليد ) dengan keseluruhan hasta
(tangan), yang lain mengartikan dengan lengan tangan atau telapak tangan, dan
yang lain lagi mengartikan dengan tapak tangan saja. Maka para ahli bahasa
menetapkan bahwa ( اليد ) menurut bahasa
arab adalah lafadz yang mempunyai tiga arti yaitu lafadz yang digunakan untuk
arti secara hakiki, kemudian digunakan untuk arti lain secara majas.
b. antara
kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama. Karenanya satu lafadz bisa
digunakan untuk kedua pengertian tersebut. Inilah yang di sebut isytarak ma’ani
(persekutuan batin). Kadang-kadang orang lantas melupakan arti yang dapat
mengumpulkan kedua pengertian tersebut, dan disangkanya hanya isytarak lafzi
(persekutuan), lafadz saja. Sebagaimana lafadz qur’un yang artinya semula ialah
waktu tertentu. Karena malaria disebut qur’un, karena mempunyai waktu yang
tertentu. Orang perempuan dikatakan mempunyai qur’un sebab ia mempunyai datang
bulan yang tertentu dan waktu suci yang tertentu.
Arti dasar yang menghubunkan berbagai
pengertian qur’un ialah waktu
yang tertentu (isytirak ma’nawi). Tetapi arti yang menghubungkan arti kemudian
dilupakan, sehingga tidak dikenal hubungan suci dan datang bulan dan dinamakan
isytirak lafzi.
c. Mula-mula
sesuatu lafadz digunakan untuk suatu arti, kemudian berpindah kepada arti yang
lain dengan jalan majas, karena adanya ‘ alaqah (hubungannya). Alaqah ini
kemudian dilupakan dan kemudian hilang maka disangka kata tersebut digunakan
untuk kedua arti yang sebenarnya (haqiqi) tanpa mengetahui adanya alaqah
tersebut.
2. Hukum
Lafadz Musytarak dan Dalalahnya
Maksud dari pada syar’at ialah agarkita
beramal menurut ketentuan arti lafal-lafal yang datang dari padanya. Lafadz
musytarak tidak menunjukan salah satu artinya yang tertentu. (dari arti-arti
lafadz musytarak) selama tidak ada hal-hal (qarinah) yang menjelaskannya.
Apabila ada lafadz musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh
salah satu artinya maka dengan sendirinya lafadz musytarak tersebut
ditinggalkan. Sebab tidak
mungkin kita bisa beramal sesui dengan petunjuknya (lafal musytarak) selama
kita tidak mengetahui maksud sebenarnya. Berhubungan dengan itu, tiap-tiap
lafadz musytarak yang datang dari syari’at tentu disertai qarinah, baik qawliah
(perkataan) atau haliyah (keadaan/suasana).
Contoh:
وَالْمُطَلٌقَاتُ يَتَرَبَّصُنَ بِاَنْفُسِهِيْنَ
ثَلَاثَةُ قُرُؤٍ ) البقرة
: 228(
Artinya:
“Istri-istri yang diceraikan,
hendaklah berdiam diri (beribadah) tiga kali suci. (QS. Al-baqarah : 228)
Lafal qur’un memiliki dua arti, yaitu
datang bulan (haid) dan suci. Mana yag dikehendaki ayat tersebut dari kedua
arti ini. Yang dikendaki ialah datang bulan menurut satu pendapat. Keterangan
adalah sebagai berikut.
Sebagaimana yang telah diterangkan
diatas, bahwa arti qur,un semula ialah waktu yang tertentu. Waktu yang tertentu
hanya dapat dalam hal-hal yang bergiliran, yang datang kepada keadaan yang asal (pokok). Maka yang bergiliran disini tidak hanya yang datang
bulan sebab suci adalah keadaan yang asal. Dapat pula ditambahkan
keterangannya:
a. maksud
Iddah ialah untuk mengetahui tantang tidak adanya kandungan. Tidak adanya
kandungan hanya dapat diketahui dengan adanya datang bulan.
b. Qur’an
tidak bisa menyebutkan hal-hal yang baik didengar.
Dari contoh diatas kita mengetahui bahwa
yang dimaksud lafadz musytarak disini hanya satu arti saja. Qarinah disini ialah
haliyyah (keadaan).
Contoh lain:
Kata yad (tangan) dalam firman Allah SWT.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا اَيْدِيَهُمْ ) المعدة : 38(
Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonlah tangan keduanya” (QS, Al-Maidah : 38)
Kata tersebut adalah musytarak antara
dzira’ (Dari ujung jari hingga ujung bahu), antara telapak tangan dan lengan
(Dari ujung jari hingga siku).dan antara tangan kiri dan kanan. Jumhum mujtahid
beristidlal dengan sunah amaliyyah untuk menentukan yang dimaksud dengan tangan ayat itu, yakni dari ujung jari sampai dengan dua pengelangan pada tangan
kanan.
Tidaklah sah menghendaki suatu lafadz
musytarak dengan dua makna atau lebih secara sekaligus, sekiranya hukum yang
ada dalam satu waktu, karena sebenarnya suatu lafadz tidaklah dikehendaki oleh
syar’i kecuali pada satu makna saja dari
beberapa maknanya, artinya bahwa lafadz itu adaklanya menunjukan arti itu.
Demikian pula dalam halnya nash
perundang-undangan hukum positif, apabila lafadz musytarak didalamnya antara
sejumlah makna kebiasaan, dan pembuat undang-undang tidak menjelaskan makna
yang dikehendakidari lafadz itu, maka wajib dilakukan ijtihad untuk menentukan
maknanya. Tidaklah sah memalsukan lebih
dari satu makna pada lafadz musytarak yang terdapat dalam nash, karene lafadz
musytarak tidaklah ditetapkan kecuali untuk satu makna saja,akan tetapi satu
makna itu berkisar antara satu makna atau lebih.
Jika lafadz musytarak ada dalam nash
syara’ itu musytarak antara makna kebahasaan dan makna terminologi syar’i, maka
wajib dimaksudkan sebagai maknanya yang bersifat terminologi syar’i. Kata
sholat misalnya ditetapkan menurut bahasa untuk pengertiao doa, dan ia
ditetapkan menurut syara’ untuk ibadah tertentu. Yang dimaksud lafadz itu
adalah maknanya yang bersifat syar,i.yaitu ibadah tertentu. Bukan makna
kebahasaan yaitu doa. Kata thalaq ditetapkan menurut bahasauntuk melepaskan
ikatan saja, dan menurut syara’ ia diletakan untuk pelepasan ikatan pernikahan
yang shahih. Maka yang dikehendaki adalah makna syaribukan makna secara
bahasanya saja.
Demikian lafadz musytarak antara makna
lughowi dan makna syar’i apabila dalam nash syar,i maka maksud syar’idari
lafadz itu adalah makna yang ditetapkannya untuknya. Sebabketika lafadz
tersebut diindahkan dari pengertian kebahasaannya kepada pengertian khusus yang
dipergunakannya, maka lafadz dalam bahasa syar’i dalalahnya atas pengertian
yang ditetapkan syar’i kepadanya,demikian pula dalam nash perundang-undangan
hukum positif apabila lafadz yang ada dalam nash mempunyai dua makna yaitu
makan dalam bahasa dan makan dalam termininologi perundang-ungdangan, maka
wilayah yang dikehendaki adalah pengertian yang bersifat perundang-undangan
bukan kebahasaan, karena sebab yang telah kami jelaskan
Apabila lafadz musytarak dalam nash
syar’i adalah musytarak antara sejumlah makna kebahasaan, maka wajib dilakukan
ijtihaduntuk menentukan makna yang dikehendaki dari padanya, karene syar’i
tidaklah tidaklah menghendakipada suatu lafadz kecuali salah satu makna saja.
Dan seorang mujtahid berkewajiban untuk mengambil penunjuk dengan berbagai
qarinah dan tanda-tanda serta dalil-dalil untuk menentukan maksudnya itu.
Hal-hal diatas dilakukan untuk tidak
menimbulkan kebingunan pada masyatakat awan jika menjumpai lafadz musytarak.
Tidaklah sah menghendaki lafadz musytarak dengan dua makna atau lebih secara
sekaligus, sekiranya hukum yang ada dalam satu waktu karena sebenarnya suatu
lafadz tidaklah dikehendaki oleh syar’i kecuali pada satu makna saja.dari
beberapa maknanya.
C. Bentuk-Bentuk Lafal muradif dan musytarak.
Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadz
muradif dan musytarak, hal utama yang harus diperhatikan adalah siyaqul
kalamnya.oleh kare itu kami akan berikan contoh-contoh sebagai berikut.
a.
Contoh Lafadz Muradif
dalam Al-Qur’an seorang akan sering
menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti berikut:
1.
Al-Khauf dan khasyah artinya ( Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama
akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia jika kata Al-Khasayah adalah lebih
tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya dari pada kata Al-Khauf. Seperti
contoh berikut:
وَالَّذِينَ
يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
Artinya:
“ Dan orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang Allah diperintahkan supaya dihubungkan dan mereka
takut kepada tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”
Dalam ayat ini memberitahukan bahwa
sesungguhnya al-khasyah di khususkan hanya untuk Allah SWT. Sebab lafadz
al-khasyah berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadz al-khauf melemahkan atau
dha’if.
2. Asy-syukh
dan al-bukhl.artinya pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl
dengan kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelanaan atau aibnya,
namun al-bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut:
وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ
Artinya:
“Dan dia (muhammad) bukanlah
orang yang bakhiluntuk menerangkan yang gaib.”
3. Hasad dan Al-Hiqdu (dengki).
Seperti pada contoh berikut:
سَيَقُولُ
الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا
نَتَّبِعْكُمْ يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا كَلَامَ اللَّهِ قُلْ لَنْ
تَتَّبِعُونَ
Artinya:
“ Orang-orang yang badwi yang
tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang
rampasan, biarlah kami niscaya kami mengikutimu, mereka hendak merubah janji
Allah. Katakanlah: “kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian Allah
telah menetapkan sebelumnya; mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada
kami. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”
3. As-sabil dan at-thariq (jalan).
Seperti pada contoh berikut:
وَكَذَلِكَ
نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
Artinya:
“Dan demikianlah kami terangkan
ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas
(pula) jalan orang-orang yang berdosa.”
b. Contoh Lafadz musytarak
contoh lafadz musytarak yang sering kita
jumpai dalam surah Al-Baqarah : 288adalah sebagai berikut:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
Lafadz quruu’dalam ayat tersebut,
dalam bahasa bahasa arab bisa berarti suci dan bisa berarti pula berarti masa
haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala.kemampuaanya
untuk mengetahui arti yang dimaksud oleh syari’dalam ayat tersebut.
Para ulama berbeda pendapat dalam
mengartikan lafadz quru’tersebut diatas. Sebagian ulama yaitu iman syafi’i
mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya
indikasi tanda muanas pada adad’ (kata bilangan: tsalatsah) yang menurut kaidah
bahasa ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan iman
abu hanifah mengartikan masa haidh. Dalam hal ini beliau beralasan bahwa lafadz
tsalasah adalah lafadz yang khas secara dzhirvmenunjukan sempurnanya masing-masing
quru’dan tidak ada pengurangan dan tambahan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari isi makalah diatas yang menjadi kesimpulan pembahasan ialah sebagai
berikut:
1. Yang
dimaksud muradif ialah kalimah yang lafadznya banyak, sedangkan artinya sama,
(sinonin), seperti lafadz al-asad dan al- laitis artinya singa. Musytarak ialah
lafadz yang digunakan untuk dua arti atau lebih dengan pengunaan yang
bermacam-macam. Dalam definisi lain yaitu lafadz yang digunakan dua makna yang
berbeda atau lebih. Seperti lafadz quruu’ yang memiliki arti berbeda, ada yang
mengartikan suci, dan haidh.
Jadi lafadz musytarak dapat diartikan
lafadz yang diletakan atas dua makna atau lebih dengan peletakan bermacam-macam
dimana lafadz itu menunjukan makna yangditetapkan secara bergantian, artinya
lafadz itu menunjukan makna ini atau makna itu. Sebagaimana lafadz
ainditetapkan menurut bahasa untuk pandangan, untuk mata air yang bersumber,
dan mata-mata. Lafadz alquru ditetapkan dalam bahasa untuk pengertian suci dan
haidh.
2. Penyebab
adanya lafasz musytarak dalam bahasa banyak sekali, diantaranya yang terpenting
ialahperbedaan kabilahdalam mempergunakan lafazd untuk menenjukan kepada
beberapa makna. Sebagian kabilah memutlakan lafadz yad pada seluruh hasta,
sebagian kabilah yang lain memutlakan lafadz yad pada lengan dan telapak
tangan. Dan sebagian lain kabilah memutlakannya pada telapak tangan secara
khusus.
3. dalam Al-Qur’an seorang akan sering
menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti berikut:
1.
Al-Khauf dan khasyah artinya ( Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama
akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia jika kata Al-Khasayah adalah lebih
tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya dari pada kata Al-Khauf. Seperti
contoh berikut:
وَالَّذِينَ
يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
Artinya:
“ Dan orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang Allah diperintahkan supaya dihubungkan dan mereka
takut kepada tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan,
Manna’Khalil, Mudzakir As, 1992. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemahan, Jakarta:
Pustaka Litera Antar Nusa.
Shiddiq,
Mahfudh, 1992. Ibanatun Nathiqi Fi Ilmi Mmanthiqi, Jepara: t.p
Yahya,
Mukhtar, 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam, Bandung: Al-Ma’arif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar