Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH MURADIF DAN MUSYTARAK

 

                                                        BAB I

                                                PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

       Ilmu ushul fiqh sebenarnya merupakan ilmu yang tidak bisa di abaikan oleh seorang mujtahid dalam upaya memberi penjelasanmengenai nash-nash syariat islam dan dalam mengali hukum islam yangtidak terdapat nash padanya.ia juga merupakan ilmu yang diperlukan bagi seorang Hakim (Qadhi) dalam usaha memahami materi secara sempurna.

      Untuk dapat memahami al-Quran secara tepat dan efektif maka merupakan keharusan memahami kaidah kebahasaan terlebih dahulu. Hal ini mengandung arti, seseorang pengkaji al-Quran harus memahami arti kata, maksud kalimat hingga apresiasi sastra.Kata adalah seni sehingga dalam memahami kata harus memahami unsur intrinsik kata itu sendiri.

      Sering kali dijumpai dalam al-Qur’an lafadh-lafadh yang berbeda namun memiliki arti yang sama atau yang disebut muradif, begitu pula sebaliknya yang disebut Musytarak, Muradif atau mutaradif al-Quran memiliki arti sinonim atau kata-kata yang searti. Namun dalam pembahasan ini apa yang dimaksud sebagai mutaradif al-Quran sebenarnya adalah merupakan kata-kata yang seakan-akan bersinonim namun sebenarnya tidak. Dan inilah maksud istilah yang terkandung di dalam berbagai literatur.Sedangkan lafadh yang musytarak sering kita jumpai seiring dengan siyaqul kalam yang mempengaruhi arti dari lafadh tersebut.

     Oleh karena itu makalah ini kami buat guna memahami aspek-aspek yang terdapat pada muradif dan musytarak, sehingga dapat memahami al-Qur’an secara mendalam dan tidak terjadi kesalahan dalam memahami ayat-ayat yang kiranya sulit dipahami.

      

 

 

 

 

B.  Rumusan Masalah

      Dari isi pembahasan yang terdapat dalam rumusan masalah ialah sebagai berikut:

1.  Apa yang dimaksud dengan Muradif dan Musytarak

2.  Bagaimana Penyebab Adanya Lafazh Musytarak

3.  Bagaimana  Bentuk-Bentuk Lafal Muradif dan Musytarak

C.  Tujuan Penulisan

        Tujuan penulisan dari isi makalah tersebut ialah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Muradif dan Musytarak

2. Untuk mengetahui Penyebab Adanya Lafadz Musytsrak

3. Untuk mengetahui Bentuk-Bentuk Lafadz Muradif dan Musytarak

 

 

                                                           

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                             BAB II

                                                       PEMBAHASAN

A. Pengertian Muradif dan Musytarak

       Menurut KH. Mahfudh Shiddiq, yang dimaksud muradif adalah yang memiliki arti satu, akan tetapi memiliki beberapa lafahz. Sedangkan yang dimaksud dengan musytarak adalah yang memiliki lafahz satu, akan tetapi memiliki arti lebih dari satu.

       Untuk lebih jelasnya dalam memahami pengertian muradif dan musytarak, adalah sebagai berikut:

1. Pengertian Muradif

      Yang dimaksud muradif ialah kalimat yang lafadznya banyak, sedangkan artinya sama, (sinonin), seperti lafadz al-asad dan al- laitis artinya singa.

2. Pengertian Musytarak

       Musytarak ialah lafadz yang digunakan untuk dua arti atau lebih dengan pengunaan yang bermacam-macam. Dalam definisi lain yaitu lafadz yang digunakan dua makna yang berbeda atau lebih. Seperti lafadz quruu’ yang memiliki arti berbeda, ada yang mengartikan suci, dan haidh.

       Lafadz musytarak diciptakan untuk beberapa makna yang penunjuknya kepada makna itu dengan jalan bergantian tidak sekaligus. Misalnya lafadz ‘ain yang diciptakan untuk beberapa makna. Yakni mata untuk melihat, mata air,dan lain sebagainya

       Jadi lafadz musytarak dapat diartikan lafadz yang diletakan atas dua makna atau lebih dengan peletakan bermacam-macam dimana lafadz itu menunjukan makna yangditetapkan secara bergantian, artinya lafadz itu menunjukan makna ini atau makna itu. Sebagaimana lafadz ain ditetapkan menurut bahasa untuk pandangan, untuk mata air yang bersumber, dan mata-mata. Lafadz alquru ditetapkan dalam bahasa untuk pengertian suci dan haidh.

       Ketika kita menjumpai suatu lafadz dalam al-qur’an dan ditemukan pemaknaian yang berbeda dari referensi yang lain maka lafadz tersebut termaksuk lafadz musytark.

 

B. Penyebab Adanya Lafadz Musytarak

      Penyebab adanya lafasz musytarak dalam bahasa banyak sekali, diantaranya yang terpenting ialah  perbedaan kabilah dalam mempergunakan lafazd untuk menenjukan kepada beberapa makna. Sebagian kabilah memutlakan lafadz yad pada seluruh hasta, sebagian kabilah yang lain memutlakan lafadz yad pada lengan dan telapak tangan. Dan sebagian lain kabilah memutlakannya pada telapak tangan secara khusus. Selanjutnya para ulama mengutip bahasa menetapkan bahwasanya tangan dalam bahasa arab adalah lafadz musytarak antara pengertian yang tiga tersebut. Dimana sebabnya lagi ialah penetapan suatu lafadz itu dipergunakan tidak pada penetapannya secara majas.

       Apapun yang menjadi persekutuan makna dalam bahasa maka sesungguhnya lafadz yang musytarak antara dua makna atau lebih tidaklah sedikit didalam bahasa, dan terdapat dalam nash-nash syar’iyyah, baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah.

1. Timbulnya Lafadz Musytarak

a. perbedaan beberapa suku di dalam lafadz-lafadz untuk menunjukan beberapa arti. Suku bangsa arab terdiri dari dua golongan, yaitu, golongan Adnan, dan golongan Qathan. Masing-masing golongan ini terdiri dari suku yang bermacam-macam dan dusun yang terpencar-pencar, yang berbeda-beda tempat dan lingkungannya. Kadang-kadang suatu suku membuat nama untuk suatu pengertian. Kemudian suku lain menamakan suku tersebut untuk suatu pengertian lainnya yang tidak dimaksuk dengan suku pertama. Kadang-kadang antara kedua pengertian itu tidak ada sangkut pautnya. Tatkala bahasa arab diambil orang lain dan dibukukan kedua pengertian itu diambil begitu saja tanpa memperhatikan hubungan dengan suku yang membuatnya semula.

        Misalnya sebagian suku mengartikan   ( اليد )  dengan keseluruhan hasta (tangan), yang lain mengartikan dengan lengan tangan atau telapak tangan, dan yang lain lagi mengartikan dengan tapak tangan saja. Maka para ahli bahasa menetapkan bahwa ( اليد )  menurut bahasa arab adalah lafadz yang mempunyai tiga arti yaitu lafadz yang digunakan untuk arti secara hakiki, kemudian digunakan untuk arti lain secara majas.

b. antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama. Karenanya satu lafadz bisa digunakan untuk kedua pengertian tersebut. Inilah yang di sebut isytarak ma’ani (persekutuan batin). Kadang-kadang orang lantas melupakan arti yang dapat mengumpulkan kedua pengertian tersebut, dan disangkanya hanya isytarak lafzi (persekutuan), lafadz saja. Sebagaimana lafadz qur’un yang artinya semula ialah waktu tertentu. Karena malaria disebut qur’un, karena mempunyai waktu yang tertentu. Orang perempuan dikatakan mempunyai qur’un sebab ia mempunyai datang bulan yang tertentu dan waktu suci yang tertentu.

       Arti dasar yang menghubunkan berbagai pengertian qur’un ialah waktu yang tertentu (isytirak ma’nawi). Tetapi arti yang menghubungkan arti kemudian dilupakan, sehingga tidak dikenal hubungan suci dan datang bulan dan dinamakan isytirak lafzi.

c. Mula-mula sesuatu lafadz digunakan untuk suatu arti, kemudian berpindah kepada arti yang lain dengan jalan majas, karena adanya ‘ alaqah (hubungannya). Alaqah ini kemudian dilupakan dan kemudian hilang maka disangka kata tersebut digunakan untuk kedua arti yang sebenarnya (haqiqi) tanpa mengetahui adanya alaqah tersebut.

2. Hukum Lafadz Musytarak dan Dalalahnya

       Maksud dari pada syar’at ialah agarkita beramal menurut ketentuan arti lafal-lafal yang datang dari padanya. Lafadz musytarak tidak menunjukan salah satu artinya yang tertentu. (dari arti-arti lafadz musytarak) selama tidak ada hal-hal (qarinah) yang menjelaskannya. Apabila ada lafadz musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh salah satu artinya maka dengan sendirinya lafadz musytarak tersebut ditinggalkan. Sebab tidak mungkin kita bisa beramal sesui dengan petunjuknya (lafal musytarak) selama kita tidak mengetahui maksud sebenarnya. Berhubungan dengan itu, tiap-tiap lafadz musytarak yang datang dari syari’at tentu disertai qarinah, baik qawliah (perkataan) atau haliyah (keadaan/suasana).

Contoh:  

وَالْمُطَلٌقَاتُ يَتَرَبَّصُنَ بِاَنْفُسِهِيْنَ ثَلَاثَةُ قُرُؤٍ   ) البقرة :  228(

Artinya:

            “Istri-istri yang diceraikan, hendaklah berdiam diri (beribadah) tiga kali suci. (QS. Al-baqarah : 228)

       Lafal qur’un memiliki dua arti, yaitu datang bulan (haid) dan suci. Mana yag dikehendaki ayat tersebut dari kedua arti ini. Yang dikendaki ialah datang bulan menurut satu pendapat. Keterangan adalah sebagai berikut.

       Sebagaimana yang telah diterangkan diatas, bahwa arti qur,un semula ialah waktu yang tertentu. Waktu yang tertentu hanya dapat dalam hal-hal yang bergiliran, yang datang kepada keadaan yang asal (pokok). Maka yang bergiliran disini tidak hanya yang datang bulan sebab suci adalah keadaan yang asal. Dapat pula ditambahkan keterangannya:

a. maksud Iddah ialah untuk mengetahui tantang tidak adanya kandungan. Tidak adanya kandungan hanya dapat diketahui dengan adanya datang bulan.

b. Qur’an tidak bisa menyebutkan hal-hal yang baik didengar.

       Dari contoh diatas kita mengetahui bahwa yang dimaksud lafadz musytarak disini hanya satu arti saja. Qarinah disini ialah haliyyah (keadaan).

Contoh lain:

     Kata yad (tangan) dalam firman Allah SWT.

 

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا اَيْدِيَهُمْ     ) المعدة : 38(

Artinya:

            “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonlah tangan keduanya” (QS, Al-Maidah : 38)

       Kata tersebut adalah musytarak antara dzira’ (Dari ujung jari hingga ujung bahu), antara telapak tangan dan lengan (Dari ujung jari hingga siku).dan antara tangan kiri dan kanan. Jumhum mujtahid beristidlal dengan sunah amaliyyah untuk menentukan yang dimaksud dengan tangan ayat itu, yakni dari ujung jari sampai dengan dua pengelangan pada tangan kanan.

       Tidaklah sah menghendaki suatu lafadz musytarak dengan dua makna atau lebih secara sekaligus, sekiranya hukum yang ada dalam satu waktu, karena sebenarnya suatu lafadz tidaklah dikehendaki oleh syar’i kecuali pada satu makna saja dari beberapa maknanya, artinya bahwa lafadz itu adaklanya menunjukan arti itu.

       Demikian pula dalam halnya nash perundang-undangan hukum positif, apabila lafadz musytarak didalamnya antara sejumlah makna kebiasaan, dan pembuat undang-undang tidak menjelaskan makna yang dikehendakidari lafadz itu, maka wajib dilakukan ijtihad untuk menentukan maknanya. Tidaklah sah memalsukan lebih dari satu makna pada lafadz musytarak yang terdapat dalam nash, karene lafadz musytarak tidaklah ditetapkan kecuali untuk satu makna saja,akan tetapi satu makna itu berkisar antara satu makna atau lebih.

       Jika lafadz musytarak ada dalam nash syara’ itu musytarak antara makna kebahasaan dan makna terminologi syar’i, maka wajib dimaksudkan sebagai maknanya yang bersifat terminologi syar’i. Kata sholat misalnya ditetapkan menurut bahasa untuk pengertiao doa, dan ia ditetapkan menurut syara’ untuk ibadah tertentu. Yang dimaksud lafadz itu adalah maknanya yang bersifat syar,i.yaitu ibadah tertentu. Bukan makna kebahasaan yaitu doa. Kata thalaq ditetapkan menurut bahasauntuk melepaskan ikatan saja, dan menurut syara’ ia diletakan untuk pelepasan ikatan pernikahan yang shahih. Maka yang dikehendaki adalah makna syaribukan makna secara bahasanya saja.

       Demikian lafadz musytarak antara makna lughowi dan makna syar’i apabila dalam nash syar,i maka maksud syar’idari lafadz itu adalah makna yang ditetapkannya untuknya. Sebabketika lafadz tersebut diindahkan dari pengertian kebahasaannya kepada pengertian khusus yang dipergunakannya, maka lafadz dalam bahasa syar’i dalalahnya atas pengertian yang ditetapkan syar’i kepadanya,demikian pula dalam nash perundang-undangan hukum positif apabila lafadz yang ada dalam nash mempunyai dua makna yaitu makan dalam bahasa dan makan dalam termininologi perundang-ungdangan, maka wilayah yang dikehendaki adalah pengertian yang bersifat perundang-undangan bukan kebahasaan, karena sebab yang telah kami jelaskan

       Apabila lafadz musytarak dalam nash syar’i adalah musytarak antara sejumlah makna kebahasaan, maka wajib dilakukan ijtihaduntuk menentukan makna yang dikehendaki dari padanya, karene syar’i tidaklah tidaklah menghendakipada suatu lafadz kecuali salah satu makna saja. Dan seorang mujtahid berkewajiban untuk mengambil penunjuk dengan berbagai qarinah dan tanda-tanda serta dalil-dalil untuk menentukan maksudnya itu.

       Hal-hal diatas dilakukan untuk tidak menimbulkan kebingunan pada masyatakat awan jika menjumpai lafadz musytarak. Tidaklah sah menghendaki lafadz musytarak dengan dua makna atau lebih secara sekaligus, sekiranya hukum yang ada dalam satu waktu karena sebenarnya suatu lafadz tidaklah dikehendaki oleh syar’i kecuali pada satu makna saja.dari beberapa maknanya.

 

C. Bentuk-Bentuk Lafal muradif dan musytarak.

       Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadz muradif dan musytarak, hal utama yang harus diperhatikan adalah siyaqul kalamnya.oleh kare itu kami akan berikan contoh-contoh sebagai berikut.

a. Contoh Lafadz Muradif

       dalam Al-Qur’an seorang akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti berikut:

1. Al-Khauf dan khasyah artinya ( Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia jika kata Al-Khasayah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya dari pada kata Al-Khauf. Seperti contoh berikut:

                               وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ

Artinya:

            “ Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah diperintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”

       Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyah di khususkan hanya untuk Allah SWT. Sebab lafadz al-khasyah berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadz al-khauf melemahkan atau dha’if.

2. Asy-syukh dan al-bukhl.artinya pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl dengan kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelanaan atau aibnya, namun al-bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut: 

                                                                                                وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ

Artinya:

              “Dan dia (muhammad) bukanlah orang yang bakhiluntuk menerangkan yang gaib.”

3. Hasad dan Al-Hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut:

 

     سَيَقُولُ الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا كَلَامَ اللَّهِ قُلْ لَنْ تَتَّبِعُونَ

Artinya:

              “ Orang-orang yang badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, biarlah kami niscaya kami mengikutimu, mereka hendak merubah janji Allah. Katakanlah: “kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya; mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada kami. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”

3. As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut:

                                                                                  وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

Artinya:

            “Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”

b. Contoh Lafadz musytarak

       contoh lafadz musytarak yang sering kita jumpai dalam surah Al-Baqarah : 288adalah sebagai berikut:

                                                                              وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Artinya:

             “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”

       Lafadz quruu’dalam ayat tersebut, dalam bahasa bahasa arab bisa berarti suci dan bisa berarti pula berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala.kemampuaanya untuk mengetahui arti yang dimaksud oleh syari’dalam ayat tersebut.

       Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’tersebut diatas. Sebagian ulama yaitu iman syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muanas pada adad’ (kata bilangan: tsalatsah) yang menurut kaidah bahasa ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan iman abu hanifah mengartikan masa haidh. Dalam hal ini beliau beralasan bahwa lafadz tsalasah adalah lafadz yang khas secara dzhirvmenunjukan sempurnanya masing-masing quru’dan tidak ada pengurangan dan tambahan.                                                         

 

 

 

 

                                                             BAB III

                                                            PENUTUP

A. Kesimpulan

    Dari isi makalah diatas yang menjadi kesimpulan pembahasan ialah sebagai berikut:

1. Yang dimaksud muradif ialah kalimah yang lafadznya banyak, sedangkan artinya sama, (sinonin), seperti lafadz al-asad dan al- laitis artinya singa. Musytarak ialah lafadz yang digunakan untuk dua arti atau lebih dengan pengunaan yang bermacam-macam. Dalam definisi lain yaitu lafadz yang digunakan dua makna yang berbeda atau lebih. Seperti lafadz quruu’ yang memiliki arti berbeda, ada yang mengartikan suci, dan haidh.

       Jadi lafadz musytarak dapat diartikan lafadz yang diletakan atas dua makna atau lebih dengan peletakan bermacam-macam dimana lafadz itu menunjukan makna yangditetapkan secara bergantian, artinya lafadz itu menunjukan makna ini atau makna itu. Sebagaimana lafadz ainditetapkan menurut bahasa untuk pandangan, untuk mata air yang bersumber, dan mata-mata. Lafadz alquru ditetapkan dalam bahasa untuk pengertian suci dan haidh.

2. Penyebab adanya lafasz musytarak dalam bahasa banyak sekali, diantaranya yang terpenting ialahperbedaan kabilahdalam mempergunakan lafazd untuk menenjukan kepada beberapa makna. Sebagian kabilah memutlakan lafadz yad pada seluruh hasta, sebagian kabilah yang lain memutlakan lafadz yad pada lengan dan telapak tangan. Dan sebagian lain kabilah memutlakannya pada telapak tangan secara khusus.

3.       dalam Al-Qur’an seorang akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti berikut:

1. Al-Khauf dan khasyah artinya ( Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia jika kata Al-Khasayah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya dari pada kata Al-Khauf. Seperti contoh berikut:

                               وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ

Artinya:

            “ Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah diperintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”

 

                                                 DAFTAR PUSTAKA

Al-Qathan, Manna’Khalil, Mudzakir As, 1992. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terjemahan, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa.

Shiddiq, Mahfudh, 1992. Ibanatun Nathiqi Fi Ilmi Mmanthiqi, Jepara: t.p

Yahya, Mukhtar, 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam, Bandung: Al-Ma’arif.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar