BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pada
dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu
“hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain.
Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus
seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum.
Semua
tindakan yang dilakukan oleh manusia yang selalu terikat oleh hukum. Hukum
adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh
pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk
mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya.
Perbuatan
melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan
perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan
tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan
ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari
perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi
kepada pihak yang dirugikan. “Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara
seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas”.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
konsep perbuatan melawan hukum dan apa pengertian dari perbuatan melawan hukum
itu sendiri ?
2. Apa
saja unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum ?
3. Bagaimana
pelaku PMH dalam hukum perdata dan apa faktor yang menyebabkan hilangnya
pertanggung jawaban PMH ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep
Perbuatan Melawan Hukum
Untuk memahami konsep “perbuatan melawan
hukum” (onrechtmatige daad), perlu
dibaca Pasal 1365 KUHPer yang sama rumusannya dengan Pasal 1401 BW Belanda yang
menentukan sebagai berikut:
“ Setiap perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya yang menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Berdasar pada rumusan Pasal ini, dapat
dipahami bahwa suatu peraturan dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat
unsur berikut :
·
Perbuatan itu harus
melawan hukum (onrechtmatige);
·
Perbuatan itu harus
menimbulkan kerugian;
·
Perbuatan itu harus
dilakukan dengan kesalahan; dan
·
Antara perbuatan dan
kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
Salah satu saja dari unsur-unsur di atas
ini tidak terpenuhi, perbuatan itu tidak dapat digolongkan perbuatan melawan
hukum.[1]
A.
Perbuatan
(daad)
Kata
“ perbuatan” meliputi perbuatan positif dan perbuatan negatif. Perbuatan
positif adalah perbuatan yang benar-benar dikerjakan diatur dalam Pasal 1365
KUHPer atau Pasal 1401 BW Belanda. Perbuatan negatif adalah perbuatan yang
benar-benar tidak dikerjakan, diatur dalam Pasal 1366 KUHPer. Oleh karena itu,
perbuatan positif dikerjakan oleh orang yang benar-benar berbuat, sedangkan
perbuatan negatif tidak dikerjakan sama sekali oleh orang yang bersangkutan.
Pelanggaran perbuatan dalam dua pasal tersebut mempunyai akibat hukum sama,
yaitu mengganti kerugian.
Rumusan
perbuatan positif dalam Pasal 1365 KUHPer dan perbuatan negatif dalam Pasal
1366 KUHPer hanya digunakan sebelum ada Putusan Hoge Raad Nederlands 31 Januari 1919 karena pada waktu itu
pengertian “melawan hukum” hanya bagi perbuatan positif, dalam arti sempit.
Setelah keluar Putusan Hoge Raad 31
Januari 1919, pengertian “melawan hukum” diperluas, mencakup juga perbuatan
negatif, tidak berbuat. Maka, pengertian “perbuatan melawan hukum” pada Pasal
1365 KUHPer diperluas yang mencakup juga perbuatan negatif pada Pasal 1366
KUHPer yaitu berbuat atau tidak berbuat. Jadi perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365
KUHPer adalah berbuat atau tidak berbuat merugikan orang lain. Berbuat,
contohnya merusak barang milik orang lain atau membakar kebun tetangga. Tidak
berbuat, contohnya tidak mengerjakan pekerjaan borongan yang telah disanggupi
atau membiarkan bayi tidak diberi susu. Kedua perbuatan tersebut menimbulkan
akibat hukum sama, yaitu merugikan orang lain. [2]
B.
Melawan
Hukum (onrechtmatige)
Sejak
tahun 1890 para penulis hukum telah menganut paham yang luas tentang pengertian
melawan hukum, sedangkan dunia peradilan (Mahkamah Agung) masih menganut paham
yang sempit. Hal itu dapat diketahui dari Putusan Hoge Raad Nederlands sebelum tahun 1919, yang merumuskan :
“Perbuatan
melawan hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain atau jika
orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.”
Dalam
rumusan ini, yang perlu dipertimbangkan hanya hak dan kewajiban hukum berdasar
pada undang-undang (wet). Jadi perbuatan itu harus melanggar hak orang lain
atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan
undang-undang (wet). Dengan demikian melanggar hukum (onrechtmatige) sama dengan melanggar undang-undang (onwetmatige). Melalui tafsiran sempit
ini banyak kepentingan masyarakat dirugikan, tetapi tidak dapat menuntut
apa-apa.[3]Semula
pengertian melawan hukum hanya diartikan secara sempit yaitu perbuatan yang
melanggar undang-undang saja. Akan tetapi, kemudian Hoge Raad dalam kasus yang terkenal Lindenbaum melawan Cohen
memperluas pengertian melawan hukum bukan hanya sebagai perbuatan yang
melanggar undang-undang, tetapi juga perbuatan yang melanggar kepatutan,
kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara sesama warga masyarakat dan
terhadap benda orang lain.[4]
Putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919
Setelah
beberapa tahun perkembangan praktik peradilan mengenai perbuatan melawan hukum,
akhirnya Hoge Raad mengikuti tafsiran
yang luas. Hal ini terbukti dari Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 yang
terkenal dengan Lindenbaum-Cohen Arrest.
Lindenbaum menggugat Cohen supaya membayar ganti kerugian dengan alasan bahwa
Cohen telah merugikannya dengan cara yang tidak patut. Perbuatan tidak patut
yang dimaksud adalah membujuk seorang pekerja perusahaan percetakan Lindenbaum
& Co. supaya membocorkan rahasia perusahaannya dengan memberi hadiah dan
janji-janji kepada pekerja itu sehingga memberikan keterangan yang
diperlukannya. Lindenbaum merasa dirugikan, akhirnya menggugat Cohen berdasar
pada perbuatan melawan hukum Pasal 1401 BW Belanda.
Dalam
tingkat pertama perkara itu diperiksa oleh Arrondissement
Rechtbank fi Amsterdam. Gugatan dinyatakan diterima dan Cohen tidak
menerima putusan dan naik banding ke Gerechtshof
di Amsterdam. Hof memutuskan bahwa putusan Rechtbank
dibatalkan dan menolak gugatan Lindenbaum. Kemudian, Lindenbaum mengajukan
kasasi ke Hoge Raad. Dalam putusan 31
Januari 1919 Hoge Raad membatalkan
putusan Gerechtshof Amsterdam dengan
pertimbangan bahwa perbuatan Cohen melawan hukum (onrechtmatige), yaitu “berbuat atau tidak berbuat yang melanggar
hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat itu
sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati sebagaimana
patutnya dalam hidup masyarakat, terhadap diri, atau benda orang lain”.
Berdasar
pada Putusan Hoge Raad 31 Januari
1919 tersebut di atas, ternyata Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) telah meninggalkan paham yang sempit dan beralih
menganut paham yang luas mengenai rumusan perbuatan melawan hukum Pasal 1401 BW
Belanda. Paham yang luas tersebut sebenarnya adalah rumusan pembuat
undang-undang yang dimuat dalam rancangan undang-undang sejak 1913, tetapi
belum sempat menjadi undang-undang. Rumusan tersebut diambil alih oleh Mahkamah
Agung Belanda (Hoge Raad) dalam
praktik peradilan perkara perdata. Dalam rumusan yang luas itu ternyata unsur
“kesusilaan” telah dimasukkan pula ke dalam lapangan hukum sehingga perbuatan
yang bertentangan dengan kesusilaan atau kesopanan dapat juga diberantas
melalui jalan hukum berdasar pada “perbuatan melawan hukum” Pasal 1401 BW
Belanda.[5]
C.
Ganti
Kerugian
Kerugian
yang dimaksud dalam pengertian ini dapat berupa kerugian materiel atau kerugian
imateriel. Menurut yurisprudensi, Pasal 1246-1248 KUHPer mengenai ganti
kerugian dalam hal terjadi wanprestasi tidak dapat diterapkan secara langsung
pada perbuatan pada perbuatan melawan hukum, tetapi dibuka kemungkinan
penerapan secara analogis.[6]
Dalam
pasal-pasal mengenai ganti kerugian akibat wanprestasi, kerugian itu meliputi
tiga unsur, yaitu biaya (ongkos), kerugian sesungguhnya, dan keuntungan
(bunga). Ukuran penilaian yang dipakai adalah uang. Pada perbuatan melawan
hukum, unsur-unsur kerugian dan ukuran penilaian dengan uang dapat diterapkan
secara analogis. Dengan demikian, perhitungan ganti kerugian pada perbuatan
melawan hukum didasarkan pada kemungkinan adanya tiga unsur tersebut dan
kerugian itu dihitung dengan sejumlah uang.
D.
Kesalahan,
Kelalaian
Pengertian
kesalahan disini adalah pengertian dalam hukum perdata, bukan dalam hukum
pidana. Kesalahan dalam rumusan Pasal 1365 KUHPer melingkupi semua gradiasi dari
kesalahan dalam arti “kesengajaan” sampai pada kesalahan dalam arti
“kelalaian”. Menurut konsep hukum perdata, seseorang dikatakan bersalah jika
kepadanya dapat disesalkan bahwa dia telah melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan atau
tidak dilakukan, itu tidak terlepas dari dapat tidaknya dikira-kirakan. Dapat
dikira-kirakan itu harus diukur secara objektif. Artinya, manusia normal dapat
mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu itu perbuatan seharusnya dilakukan atau
tidak dilakukan. Dapat dikira-kirakan itu harus juga dapat diukur secara
subjekif. Artinya, apa yang justru orang itu dalam kedudukannya dapat
mengira-ngirakan bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan.[7]
Selain
dari ukuran objektif dan subjektif, orang yang berbuat itu harus dapat
dipertanggungjawabkan (responsible).
Artinya, orang yang berbuat itu sudah dewasa, sehat akalnya, dan tidak berada
di bawah pengampuan. Dalam pengertian “tanggung jawab” itu termasuk juga akibat
hukum dari perbuatan orang yang berada di bawah pengawasannya, kekuasannya, dan
akibat yang timbul dari binatang yang berada dalam pemeliharaannya dan
benda-benda yang berada di bawah pengawasannya (Pasal 1367 dan 1368 KUHPer).
E.
Hubungan
Kausal
Hubungan
kausal itu ada, dapat disimpulkan dari kalimat Pasal 1365 KUHPer “ perbuatan
yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian”. Kerugian itu harus timbul
sebagai akibat dari perbuatan orang itu. Jika tidak ada perbuatan, tidak pula
ada akibat, dalam hal ini kerugian. Untuk mengetahui bahwa suatu perbuatan
adalah sebab dari suatu kerugian, perlu diikuti teori adequate veroorzaking yang dikemukakan oleh von
Kries. Menurut teori ini, yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang
menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan
akibat, dalam hal ini akibatnya adalah kerugian. Jadi, antara perbuatan dan
kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung (hubungan sebab akibat).
Sebagai contoh, seseorang lewat melalui pekarangan orang lain
kemudian pot kembang milik pekarangan itu tersentuh hingga jatuh dan pecah. Di
sini, antara perbuatan tersentuh (sebab) dan kerugian yang timbul, yaitu
pecahnya pot kembang (akibat) ada hubungan kausal. Akan tetapi , jika dia lewat
dalam pekarangan itu bertepatan dengan jatuhnya pot kembang karena tataannya
lapuk, di situ tidak ada hubungan kausal.[8]
2.2
Pengertian
Perbuatan Melawan Hukum
Istilah “perbuatan melawan hukum” dalam
istilah bahasa Belanda disebut dengan onrechtmatige
daad. Sebenarnya, istilah perbuatan melawan hukum ini bukanlah satu-satunya
yang dapat diambil sebagai terjemahan dari onrechtmatige
daad, akan tetapi masih ada istilah lainnya, seperti :[9]
1)
Perbuatan yang
bertentangan dengan hukum.
2) Perbuatan
yang bertentangan dengan asas-asas hukum.
3) Perbuatan
yang melanggar hukum.
4) Tindakan
melawan hukum.
5)
Penyelewengan perdata.
Sebenarnya, semua istilah tersebut pada
hakikatnya adalah bersumber dari ketentuan Pasal 1365 KUHPer yang mengatakan,
bahwa tiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut. Selanjutnya menurut Pasal 1366 KUHPer, setiap
orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Adapun menurut Pasal 1367 ayat (1) KUHPer, seseorang tidak saja bertanggung
jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasan.[10]
2.3
Unsur-unsur
Perbuatan Melawan Hukum
Dari ketentuan Pasal 1365KUHPer ini,
dapat diketahui bahwa suatu perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut
penggantian kerugian apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :[11]
A.
Perbuatan
itu harus melawan hukum
Suatu perbuatan adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum
apabila berlawanan dengan :
1. Hak
orang lain
Melanggar hak subjektif orang lain
berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.
Sifat hakikat dari hak subjektif wewenang khusus yang diberikan oleh hukum
kepada seseorang yang memperoleh demi kepentingannya.
2. Kewajiban
hukumnya sendiri
Menurut pandangan yang berlaku saat ini,
hukum diartikan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari norma-norma yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Yang dimaksud dengan suatu tindakan atau
kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku adalah suatu
tingkah laku yang bertentangan dengan suatu ketentuan undang-undang.
3. Kesusilaan
yang baik
Kaidah
kesusilaan diartikan sebagai norma-norma sosial dalam masyrakat, sepanjang
norma tersebut diterima oleh anggota masyarakat dalam bentuk peraturan-peraturan
hukum yang tidak tertulis.
4. Keharusan
yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup masyarakat mengenai orang lain atau
benda
Dalam
pengertian ini manusia harus mempunyai tenggang rasa dengan lingkungannya dan
sesama manusia, sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi tetapi
juga kepentingan orang lain sehingga dalam bertindak haruslah sesuai dengan,
ketelitian, dan kehati-hatian yang berlaku dalam masyarakat.
B.
Perbuatan
itu harus menimbulkan kerugian
Kerugian
yang disebabkan oleh karena perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian
materiel (dapat dinilai dengan uang) dan kerugian immateriel (tidak dapat
dinilai dengan uang). Dengan demikian, kerugian yang ditimbulkan karena
perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas pada kerugian yang ditujukan
kepada kekayaan harta benda, tetapi juga kerugian yang ditujukanpada tubuh,
jiwa, dan kehormatan manusia.[12]
1. Kerugian
materil
Kerugian
materil dapat berupa kerugian yang nyata diderita dari suatu perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya : kebakaran mobil
penumpang akibat perbuatan melawan hukum, mewajibkan si pembuat kerugian itu
tidak hanya membayar biaya perbaikan mobil
tersebut, akan tetapi juga bertanggungjawab untuk mengganti penghasilan
mobil penumpang itu yang akan diperoleh si pemilik sewaktu memperbaiki mobil
tersebut.
2. Kerugian
immaterial
Yang
termasuk dalam kerugian immaterial akibat perbuatan melawan hukum dapat berupa
:
·
Kerugian moral,
·
Kerugian yang tidak
dapat dihitung dengan uang.
C.
Perbuatan
itu harus dilakukan dengan kesalahan
Suatu
kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan berarti seseorang melakukan suatu
perbuatan dan perbuatan ini berniat untuk membuat suatu akibat. Adapun
kelalaian berarti seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, padahal menurut
hukum ia harus berbuat atau melakukan suatu perbuatan. Dengan kata lain dapat
disimpulkan, bahwa:[13]
1. Kesengajaan
adalah melakukan suatu perbuatan, dimana dengan perbuatan itu si pelaku
menyadari sepenuhnya akan ada akibat dari perbuatan tersebut.
2. Kelalaian
adalah seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, tetapi dengan bersikap
demikian pada hakikatnya ia telah
melawan hukum, sebab semestinya ia harus berbuat atau melakukan suatu
perbuatan. Jadi, ia lalai untuk melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya wajib
melakukan suatu perbuatan.
D.
Perbuatan
itu harus ada hubungan kausal (sebab-akibat)
Hubungan
kausal merupakan hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum dan
kerugian. Hubungan kausal ini tersimpul dalam Pasal 1365 KUHPer yang
mengatakan, bahwa perbuatan yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian.
Dengan demikian, kerugian itu harus timbul sebagai akibat dari perbuatan
seseorang. Jika tidak ada perbuatan (sebabnya), maka tidak ada kerugian
(akibatnya).[14]
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa akibat dari suatu perbuatan melawan
hukum adalah timbulnya kerugian. Kerugian
sebagai akibat perbuatan melawan hukum diharuskan supaya diganti oleh orang
yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu atau oleh si pelaku perbuatan
melawan hukum. Dengan demikian Pasal 1365 KUHPer mengatur tentang kewajiban si
pelaku perbuatan melawan hukum mengganti kerugian yang timbul karenanya di satu
pihak dan hak untuk menuntut penggantian kerugian bagi orang yang diragukan. Dengan
kata lain, kerugian yang diderita oleh korban haruslah benar-benar sebagai
akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bukan oleh akibat perbuatan
lain.
2.4
Pelaku
perbuatan melawan hukum
Dalam Pasal 1365 KUHPer, setiap
perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan
orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian
tersebut. Orang bersalah yang dimaksudkan adalah pelaku perbuatan melanggar
hukum, tidak hanya bertanggung jawab karena perbuatannya sendiri, tetapi juga
bertanggung jawab karena perbuatan orang lain yang berada di bawah kekuasaan
atau tanggung jawabnya, serta karena barang yang berada di bawah pengawasannya
(Pasal 1367 KUHPer).[15]
Pelaku perbuatan melawan hukum dapat
berupa manusia pribadi ataupun badan hukum. Ketentuan Pasal 1367 KUHPer
memberikan rincian orang yang mempunyai kekuasaan atau tanggung jawab atas
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain seperti diuraikan
berikut ini:[16]
· Orang
tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa
· Majikan
terhadap orang yang diangkat sebagai bawahannya
· Guru
terhadap murid selama berada di bawah pengawasannya
· Kepala
tukang terhadap tukang selama mereka berada di bawah pengawasannya
Namun, mereka ini dianggap tidak
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah
kekuasaan atau pengawasannya jika dapat membuktikan bahwa mereka tidak mungkin
dapat mencegah perbuatan itu.
a. Faktor-faktor yang Menyebabkan Hilangnya
Pertanggungjawaban Perbuatan Melawan Hukum
Rasa keadilan pada masyarakat akan
tercipta apabila tiap-tiap anggota masyarakat bertindak sesuai dengan
norma-norma dan hukum yang ada di masyarakat. Setiap anggota masyarakat harus
menggunakan haknya sesuai dengan tujuannya. Anggota masyarakat yang menggunakan
haknya tidak sesuai dengan tujuannya yang menimbulkan kerugian pada orang lain,
maka padanya akan dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Dalam praktek, hakim dalam
menentukan apakah seorang telah melanggar kepantasan, kesusilaan di
tengah-tengah masyarakat sering
menemui kesulitan karena perluasan pengertian perbuatan melawan hukum,
maka apabila seseorang melawan kesusilaan dan kepantasan dianggap telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Kalau hakim memenuhi kesulitan dalam
menentukan ini otomatis dalam menentukan ganti rugi hakim juga akan menemukan
kesulitan. Walaupun ada pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum namun ada juga hal-hal yang melenyapkan sifat
perbuatan melawan hukum dari suatu tuntutan, sehingga kepadanya tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban.
Hal-hal yang dapat melenyapkan
pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum dibedakan dalam 2 golongan
yaitu :[17]
·
Yang berasal dari
undang-undang
·
Yang berasal dari hukum
tidak tertulis
b. Yang
Berasal Dari Undang-Undang
a)
Hak Pribadi
Pada umumnya seseorang tidak dapat
membuat sesuatu perjanjian atas nama orang lain tanpa sepengetahuannya,
misalnya, menyewakan barang kepada orang lain atau pihak ketiga. Kalau hal
menyewakan barang tersebut, dinamakan perbuatan melawan hukum semacam itu yaitu
kalau pada suatu saat barang milik orang lain tidak terurus sama sekali dan si
pemilik tidak diketahui tempatnya, supaya barang itu tidak terlantar seorang tadi berinisiatif
mengurus barang tersebut untuk kepentingan si pemilik barang, inilah yang
dimaksud dengan zaakwarneming, berdasarkan pasal 1357 KUH Perdata si pengurus
barang tersebut berhak memperjanjikan pada pihak ketiga yang mengikat si
pemilik walau tanpa kuasanya.
b) Pembelaan
Diri
Dalam hal ini harus ada seorang dari
pihak lain baru bisa dilakukan pembelaan diri. Sifat melawan hukum lenyap
bilamana seseorang dalam melakukan perbuatannya dapat mendalilkan bahwa hak
pribadi yang menjadi dasar perbuatannya. Contoh pasal 1354 KUH Perdata dengan
pasal 1358 KUH Perdata tentang zaakwarneming.
Kalau pada waktu pembelaan diri
tergolong pada perbuatan melawan hukum, maka sifat melawan hukumnya menjadi
lenyap. Harus diperhatikan bahwa harus benar-benar ada keadaan yang memerlukan
seseorang untuk membela diri juga harus diperhatikan bahwa pembelaan diri ini
tidak berakibat serangan baru terhadap yang menyerang.[18]
c) Keadaan
Memaksa (Overmacht)
Menurut
Subekti, “Untuk dapat
dikatakan keadaan memaksa (overmacht), keadaan itu diluar kekuasaan manusia dan
memaksa. Yang mana kerugian yang timbul akibat keadaan memaksa, kerugian
tersebut tidak dapat dipastikan terjadi sebelumnya karena keadaan itu di luar
kekuasaan manusia”.
Selanjutnya beliau mengatakan,
keadaan memaksa ini terbagi 2 yaitu:
·
Bersifat mutlak
(absolut) : Dalam hal ini tidak mungkin lagi melaksanakan suatu perjanjian.
Jadi tidak mungkin lagi untuk menuntut ganti rugi.
·
Bersifat relatif (tidak
mutlak) : Yaitu berupa keadaan dimana perjanjian masih dapat dilaksanakan
tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari pihak yang melakukan kesalahan.
d) Perintah
Jabatan
Perintah
jabatan adalah melaksanakan tugas pekerjaan berdasarkan perbuatan yang berlaku
dalam lingkungannya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
A.
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks hukum
perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang
berbunyi : “
Setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannya yang menimbulkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.
B.
Berdasar pada rumusan Pasal ini, dapat dipahami bahwa suatu peraturan
dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur berikut :
·
Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatige);
·
Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;
·
Perbuatan itu harus
dilakukan dengan kesalahan; dan
·
Antara perbuatan dan
kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
C.
Pelaku perbuatan
melawan hukum ialah :
·
Manusia Pribadi, atau
·
Badan Hukum.
Hal-hal
yang dapat melenyapkan pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum
dibedakan dalam 2 golongan yaitu:
·
Yang berasal dari
undang-undang, dan
·
Yang berasal dari hukum tidak
tertulis
DAFTAR
PUSTAKA
Simanjuntak,
P.N.H. 2015. Hukum Perdata Indonesia.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Muhammad, Abdulkadir. 2014. Hukum
Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Prayogo,
Sedyo. 2016. Penerapan Batas-Batas
Wanprestasi dan Perbuatan
Melawan Hukum Dalam
Perjanjian. Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III
No. 2
Fuady,
Munir. 2005. Perbuatan Melawan Hukum.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2014), hlm. 259-260.
[2] Ibid., hlm. 260-261.
[3] Ibid.,
hlm. 261.
[4] Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan
Melawan Hukum Dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III No. 2, 2 Mei-Agustus 2016.
[5] Abdulkadir
Muhammad, Op. cit., hlm. 262
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 263.
[8] Ibid., hlm. 264-265.
[9] P.N.H.
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm.
[10] Ibid
[11] Ibid., hlm.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm.
[14] Ibid.
[15] Abdulkadir
Muhammad, Op. cit., hlm. 269.
[16] Ibid.
[17] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2005) hlm.
[18] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar