Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH “PERBUATAN MELAWAN HUKUM”

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang

Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum.

Semua tindakan yang dilakukan oleh manusia yang selalu terikat oleh hukum. Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.

Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. “Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undang-undang, sehingga sifatnya terbatas”.

 

1.2    Rumusan Masalah

1.    Bagaimanakah konsep perbuatan melawan hukum dan apa pengertian dari perbuatan melawan hukum itu sendiri ?

2.    Apa saja unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum ?

3.    Bagaimana pelaku PMH dalam hukum perdata dan apa faktor yang menyebabkan hilangnya pertanggung jawaban PMH ?

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Konsep Perbuatan Melawan Hukum

Untuk memahami konsep “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad), perlu dibaca Pasal 1365 KUHPer yang sama rumusannya dengan Pasal 1401 BW Belanda yang menentukan sebagai berikut:

“ Setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya yang menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Berdasar pada rumusan Pasal ini, dapat dipahami bahwa suatu peraturan dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur berikut :

·         Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatige);

·         Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;

·         Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan; dan

·         Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.

Salah satu saja dari unsur-unsur di atas ini tidak terpenuhi, perbuatan itu tidak dapat digolongkan perbuatan melawan hukum.[1]

A.    Perbuatan (daad)

   Kata “ perbuatan” meliputi perbuatan positif dan perbuatan negatif. Perbuatan positif adalah perbuatan yang benar-benar dikerjakan diatur dalam Pasal 1365 KUHPer atau Pasal 1401 BW Belanda. Perbuatan negatif adalah perbuatan yang benar-benar tidak dikerjakan, diatur dalam Pasal 1366 KUHPer. Oleh karena itu, perbuatan positif dikerjakan oleh orang yang benar-benar berbuat, sedangkan perbuatan negatif tidak dikerjakan sama sekali oleh orang yang bersangkutan. Pelanggaran perbuatan dalam dua pasal tersebut mempunyai akibat hukum sama, yaitu mengganti kerugian.

   Rumusan perbuatan positif dalam Pasal 1365 KUHPer dan perbuatan negatif dalam Pasal 1366 KUHPer hanya digunakan sebelum ada Putusan Hoge Raad Nederlands 31 Januari 1919 karena pada waktu itu pengertian “melawan hukum” hanya bagi perbuatan positif, dalam arti sempit. Setelah keluar Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, pengertian “melawan hukum” diperluas, mencakup juga perbuatan negatif, tidak berbuat. Maka, pengertian “perbuatan melawan hukum” pada Pasal 1365 KUHPer diperluas yang mencakup juga perbuatan negatif pada Pasal 1366 KUHPer yaitu berbuat atau tidak berbuat.  Jadi perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer adalah berbuat atau tidak berbuat merugikan orang lain. Berbuat, contohnya merusak barang milik orang lain atau membakar kebun tetangga. Tidak berbuat, contohnya tidak mengerjakan pekerjaan borongan yang telah disanggupi atau membiarkan bayi tidak diberi susu. Kedua perbuatan tersebut menimbulkan akibat hukum sama, yaitu merugikan orang lain. [2]

B.     Melawan Hukum (onrechtmatige)

   Sejak tahun 1890 para penulis hukum telah menganut paham yang luas tentang pengertian melawan hukum, sedangkan dunia peradilan (Mahkamah Agung) masih menganut paham yang sempit. Hal itu dapat diketahui dari Putusan Hoge Raad Nederlands sebelum tahun 1919, yang merumuskan :

“Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.”

   Dalam rumusan ini, yang perlu dipertimbangkan hanya hak dan kewajiban hukum berdasar pada undang-undang (wet). Jadi perbuatan itu harus melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan undang-undang (wet). Dengan demikian melanggar hukum (onrechtmatige) sama dengan melanggar undang-undang (onwetmatige). Melalui tafsiran sempit ini banyak kepentingan masyarakat dirugikan, tetapi tidak dapat menuntut apa-apa.[3]Semula pengertian melawan hukum hanya diartikan secara sempit yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang saja. Akan tetapi, kemudian Hoge Raad dalam kasus yang terkenal Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan hanya sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang, tetapi juga perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.[4]

 

Putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919

     Setelah beberapa tahun perkembangan praktik peradilan mengenai perbuatan melawan hukum, akhirnya Hoge Raad mengikuti tafsiran yang luas. Hal ini terbukti dari Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 yang terkenal dengan Lindenbaum-Cohen Arrest. Lindenbaum menggugat Cohen supaya membayar ganti kerugian dengan alasan bahwa Cohen telah merugikannya dengan cara yang tidak patut. Perbuatan tidak patut yang dimaksud adalah membujuk seorang pekerja perusahaan percetakan Lindenbaum & Co. supaya membocorkan rahasia perusahaannya dengan memberi hadiah dan janji-janji kepada pekerja itu sehingga memberikan keterangan yang diperlukannya. Lindenbaum merasa dirugikan, akhirnya menggugat Cohen berdasar pada perbuatan melawan hukum Pasal 1401 BW Belanda.

     Dalam tingkat pertama perkara itu diperiksa oleh Arrondissement Rechtbank fi Amsterdam. Gugatan dinyatakan diterima dan Cohen tidak menerima putusan dan naik banding ke Gerechtshof di Amsterdam. Hof memutuskan bahwa putusan Rechtbank dibatalkan dan menolak gugatan Lindenbaum. Kemudian, Lindenbaum mengajukan kasasi ke Hoge Raad. Dalam putusan 31 Januari 1919 Hoge Raad membatalkan putusan Gerechtshof Amsterdam dengan pertimbangan bahwa perbuatan Cohen melawan hukum (onrechtmatige), yaitu “berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat itu sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati sebagaimana patutnya dalam hidup masyarakat, terhadap diri, atau benda orang lain”.

     Berdasar pada Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 tersebut di atas, ternyata Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) telah meninggalkan paham yang sempit dan beralih menganut paham yang luas mengenai rumusan perbuatan melawan hukum Pasal 1401 BW Belanda. Paham yang luas tersebut sebenarnya adalah rumusan pembuat undang-undang yang dimuat dalam rancangan undang-undang sejak 1913, tetapi belum sempat menjadi undang-undang. Rumusan tersebut diambil alih oleh Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) dalam praktik peradilan perkara perdata. Dalam rumusan yang luas itu ternyata unsur “kesusilaan” telah dimasukkan pula ke dalam lapangan hukum sehingga perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau kesopanan dapat juga diberantas melalui jalan hukum berdasar pada “perbuatan melawan hukum” Pasal 1401 BW Belanda.[5]

C.    Ganti Kerugian

   Kerugian yang dimaksud dalam pengertian ini dapat berupa kerugian materiel atau kerugian imateriel. Menurut yurisprudensi, Pasal 1246-1248 KUHPer mengenai ganti kerugian dalam hal terjadi wanprestasi tidak dapat diterapkan secara langsung pada perbuatan pada perbuatan melawan hukum, tetapi dibuka kemungkinan penerapan secara analogis.[6]

   Dalam pasal-pasal mengenai ganti kerugian akibat wanprestasi, kerugian itu meliputi tiga unsur, yaitu biaya (ongkos), kerugian sesungguhnya, dan keuntungan (bunga). Ukuran penilaian yang dipakai adalah uang. Pada perbuatan melawan hukum, unsur-unsur kerugian dan ukuran penilaian dengan uang dapat diterapkan secara analogis. Dengan demikian, perhitungan ganti kerugian pada perbuatan melawan hukum didasarkan pada kemungkinan adanya tiga unsur tersebut dan kerugian itu dihitung dengan sejumlah uang.

D.    Kesalahan, Kelalaian

   Pengertian kesalahan disini adalah pengertian dalam hukum perdata, bukan dalam hukum pidana. Kesalahan dalam rumusan Pasal 1365 KUHPer melingkupi semua gradiasi dari kesalahan dalam arti “kesengajaan” sampai pada kesalahan dalam arti “kelalaian”. Menurut konsep hukum perdata, seseorang dikatakan bersalah jika kepadanya dapat disesalkan bahwa dia telah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan, itu tidak terlepas dari dapat tidaknya dikira-kirakan. Dapat dikira-kirakan itu harus diukur secara objektif. Artinya, manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu itu perbuatan seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan. Dapat dikira-kirakan itu harus juga dapat diukur secara subjekif. Artinya, apa yang justru orang itu dalam kedudukannya dapat mengira-ngirakan bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan.[7]

   Selain dari ukuran objektif dan subjektif, orang yang berbuat itu harus dapat dipertanggungjawabkan (responsible). Artinya, orang yang berbuat itu sudah dewasa, sehat akalnya, dan tidak berada di bawah pengampuan. Dalam pengertian “tanggung jawab” itu termasuk juga akibat hukum dari perbuatan orang yang berada di bawah pengawasannya, kekuasannya, dan akibat yang timbul dari binatang yang berada dalam pemeliharaannya dan benda-benda yang berada di bawah pengawasannya (Pasal 1367 dan 1368 KUHPer).

 

 

 

 

E.     Hubungan Kausal

   Hubungan kausal itu ada, dapat disimpulkan dari kalimat Pasal 1365 KUHPer “ perbuatan yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian”. Kerugian itu harus timbul sebagai akibat dari perbuatan orang itu. Jika tidak ada perbuatan, tidak pula ada akibat, dalam hal ini kerugian. Untuk mengetahui bahwa suatu perbuatan adalah sebab dari suatu kerugian, perlu diikuti teori adequate veroorzaking yang dikemukakan oleh von Kries. Menurut teori ini, yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini akibatnya adalah kerugian. Jadi, antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung (hubungan sebab akibat).

   Sebagai contoh, seseorang lewat melalui pekarangan orang lain kemudian pot kembang milik pekarangan itu tersentuh hingga jatuh dan pecah. Di sini, antara perbuatan tersentuh (sebab) dan kerugian yang timbul, yaitu pecahnya pot kembang (akibat) ada hubungan kausal. Akan tetapi , jika dia lewat dalam pekarangan itu bertepatan dengan jatuhnya pot kembang karena tataannya lapuk, di situ tidak ada hubungan kausal.[8]

2.2  Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Istilah “perbuatan melawan hukum” dalam istilah bahasa Belanda disebut dengan onrechtmatige daad. Sebenarnya, istilah perbuatan melawan hukum ini bukanlah satu-satunya yang dapat diambil sebagai terjemahan dari onrechtmatige daad, akan tetapi masih ada istilah lainnya, seperti :[9]

1)    Perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

2)    Perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum.

3)    Perbuatan yang melanggar hukum.

4)    Tindakan melawan hukum.

5)    Penyelewengan perdata.

Sebenarnya, semua istilah tersebut pada hakikatnya adalah bersumber dari ketentuan Pasal 1365 KUHPer yang mengatakan, bahwa tiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Selanjutnya menurut Pasal 1366 KUHPer, setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Adapun menurut Pasal 1367 ayat (1) KUHPer, seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasan.[10]

 

2.3  Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum

Dari ketentuan Pasal 1365KUHPer ini, dapat diketahui bahwa suatu perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut penggantian kerugian apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :[11]

A.    Perbuatan itu harus melawan hukum

     Suatu perbuatan adalah  merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila berlawanan dengan :

1.      Hak orang lain

        Melanggar hak subjektif orang lain berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Sifat hakikat dari hak subjektif wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang yang memperoleh demi kepentingannya.

2.      Kewajiban hukumnya sendiri

        Menurut pandangan yang berlaku saat ini, hukum diartikan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari norma-norma yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Yang dimaksud dengan suatu tindakan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku adalah suatu tingkah laku yang bertentangan dengan suatu ketentuan undang-undang.

3.      Kesusilaan yang baik

Kaidah kesusilaan diartikan sebagai norma-norma sosial dalam masyrakat, sepanjang norma tersebut diterima oleh anggota masyarakat dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis.

4.      Keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup masyarakat mengenai orang lain atau benda

Dalam pengertian ini manusia harus mempunyai tenggang rasa dengan lingkungannya dan sesama manusia, sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan orang lain sehingga dalam bertindak haruslah sesuai dengan, ketelitian, dan kehati-hatian yang berlaku dalam masyarakat.

B.     Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian

Kerugian yang disebabkan oleh karena perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian materiel (dapat dinilai dengan uang) dan kerugian immateriel (tidak dapat dinilai dengan uang). Dengan demikian, kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas pada kerugian yang ditujukan kepada kekayaan harta benda, tetapi juga kerugian yang ditujukanpada tubuh, jiwa, dan kehormatan manusia.[12]

1.    Kerugian materil

Kerugian materil dapat berupa kerugian yang nyata diderita dari suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya : kebakaran mobil penumpang akibat perbuatan melawan hukum, mewajibkan si pembuat kerugian itu tidak hanya membayar biaya perbaikan mobil  tersebut, akan tetapi juga bertanggungjawab untuk mengganti penghasilan mobil penumpang itu yang akan diperoleh si pemilik sewaktu memperbaiki mobil tersebut.

2.      Kerugian immaterial

Yang termasuk dalam kerugian immaterial akibat perbuatan melawan hukum dapat berupa :

·           Kerugian moral,

·           Kerugian yang tidak dapat dihitung dengan uang.

C.    Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan

Suatu kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kelalaian.  Kesengajaan berarti seseorang melakukan suatu perbuatan dan perbuatan ini berniat untuk membuat suatu akibat. Adapun kelalaian berarti seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, padahal menurut hukum ia harus berbuat atau melakukan suatu perbuatan. Dengan kata lain dapat disimpulkan, bahwa:[13]

1.      Kesengajaan adalah melakukan suatu perbuatan, dimana dengan perbuatan itu si pelaku menyadari sepenuhnya akan ada akibat dari perbuatan tersebut.

2.      Kelalaian adalah seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, tetapi dengan bersikap demikian  pada hakikatnya ia telah melawan hukum, sebab semestinya ia harus berbuat atau melakukan suatu perbuatan. Jadi, ia lalai untuk melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya wajib melakukan suatu perbuatan.

D.    Perbuatan itu harus ada hubungan kausal (sebab-akibat)

Hubungan kausal merupakan hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum dan kerugian. Hubungan kausal ini tersimpul dalam Pasal 1365 KUHPer yang mengatakan, bahwa perbuatan yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian. Dengan demikian, kerugian itu harus timbul sebagai akibat dari perbuatan seseorang. Jika tidak ada perbuatan (sebabnya), maka tidak ada kerugian (akibatnya).[14]

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa akibat dari suatu perbuatan melawan hukum  adalah timbulnya kerugian. Kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum diharuskan supaya diganti oleh orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu atau oleh si pelaku perbuatan melawan hukum. Dengan demikian Pasal 1365 KUHPer mengatur tentang kewajiban si pelaku perbuatan melawan hukum mengganti kerugian yang timbul karenanya di satu pihak dan hak untuk menuntut penggantian kerugian bagi orang yang diragukan. Dengan kata lain, kerugian yang diderita oleh korban haruslah benar-benar sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bukan oleh akibat perbuatan lain.

2.4    Pelaku perbuatan melawan hukum

Dalam Pasal 1365 KUHPer, setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Orang bersalah yang dimaksudkan adalah pelaku perbuatan melanggar hukum, tidak hanya bertanggung jawab karena perbuatannya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab karena perbuatan orang lain yang berada di bawah kekuasaan atau tanggung jawabnya, serta karena barang yang berada di bawah pengawasannya (Pasal 1367 KUHPer).[15]

Pelaku perbuatan melawan hukum dapat berupa manusia pribadi ataupun badan hukum. Ketentuan Pasal 1367 KUHPer memberikan rincian orang yang mempunyai kekuasaan atau tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain seperti diuraikan berikut ini:[16]

·       Orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa

·       Majikan terhadap orang yang diangkat sebagai bawahannya

·       Guru terhadap murid selama berada di bawah pengawasannya

·       Kepala tukang terhadap tukang selama mereka berada di bawah pengawasannya

Namun, mereka ini dianggap tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah kekuasaan atau pengawasannya jika dapat membuktikan bahwa mereka tidak mungkin dapat mencegah perbuatan itu.

              a.     Faktor-faktor yang Menyebabkan Hilangnya Pertanggungjawaban Perbuatan Melawan Hukum

Rasa keadilan pada masyarakat akan tercipta apabila tiap-tiap anggota masyarakat bertindak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada di masyarakat. Setiap anggota masyarakat harus menggunakan haknya sesuai dengan tujuannya. Anggota masyarakat yang menggunakan haknya tidak sesuai dengan tujuannya yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka padanya akan dimintakan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dalam praktek, hakim dalam menentukan apakah seorang telah melanggar kepantasan, kesusilaan di tengah-tengah  masyarakat  sering  menemui kesulitan karena perluasan pengertian perbuatan melawan hukum, maka apabila seseorang melawan kesusilaan dan kepantasan dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kalau hakim memenuhi kesulitan dalam menentukan ini otomatis dalam menentukan ganti rugi hakim juga akan menemukan kesulitan. Walaupun ada pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum  namun ada juga hal-hal yang melenyapkan sifat perbuatan melawan hukum dari suatu tuntutan, sehingga kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Hal-hal yang dapat melenyapkan pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum dibedakan dalam 2 golongan yaitu :[17]

·         Yang berasal dari undang-undang

·         Yang berasal dari hukum tidak tertulis

             b.     Yang Berasal Dari Undang-Undang

a)         Hak Pribadi

Pada umumnya seseorang tidak dapat membuat sesuatu perjanjian atas nama orang lain tanpa sepengetahuannya, misalnya, menyewakan barang kepada orang lain atau pihak ketiga. Kalau hal menyewakan barang tersebut, dinamakan perbuatan melawan hukum semacam itu yaitu kalau pada suatu saat barang milik orang lain tidak terurus sama sekali dan si pemilik tidak diketahui tempatnya, supaya barang itu  tidak terlantar seorang tadi berinisiatif mengurus barang tersebut untuk kepentingan si pemilik barang, inilah yang dimaksud dengan zaakwarneming, berdasarkan pasal 1357 KUH Perdata si pengurus barang tersebut berhak memperjanjikan pada pihak ketiga yang mengikat si pemilik walau tanpa kuasanya.

b)      Pembelaan Diri

Dalam hal ini harus ada seorang dari pihak lain baru bisa dilakukan pembelaan diri. Sifat melawan hukum lenyap bilamana seseorang dalam melakukan perbuatannya dapat mendalilkan bahwa hak pribadi yang menjadi dasar perbuatannya. Contoh pasal 1354 KUH Perdata dengan pasal 1358 KUH Perdata tentang zaakwarneming.

Kalau pada waktu pembelaan diri tergolong pada perbuatan melawan hukum, maka sifat melawan hukumnya menjadi lenyap. Harus diperhatikan bahwa harus benar-benar ada keadaan yang memerlukan seseorang untuk membela diri juga harus diperhatikan bahwa pembelaan diri ini tidak berakibat serangan baru terhadap yang menyerang.[18]

c)      Keadaan Memaksa (Overmacht)

Menurut Subekti, Untuk dapat dikatakan keadaan memaksa (overmacht), keadaan itu diluar kekuasaan manusia dan memaksa. Yang mana kerugian yang timbul akibat keadaan memaksa, kerugian tersebut tidak dapat dipastikan terjadi sebelumnya karena keadaan itu di luar kekuasaan manusia”.

            Selanjutnya beliau mengatakan, keadaan memaksa ini terbagi 2 yaitu:

·           Bersifat mutlak (absolut) : Dalam hal ini tidak mungkin lagi melaksanakan suatu perjanjian. Jadi tidak mungkin lagi untuk menuntut ganti rugi.

·           Bersifat relatif (tidak mutlak) : Yaitu berupa keadaan dimana perjanjian masih dapat dilaksanakan tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari  pihak yang melakukan kesalahan.

d)     Perintah Jabatan

Perintah jabatan adalah melaksanakan tugas pekerjaan berdasarkan perbuatan yang berlaku dalam lingkungannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

A.    Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berbunyi : “ Setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya yang menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

B.     Berdasar pada rumusan Pasal ini, dapat dipahami bahwa suatu peraturan dinyatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur berikut :

·           Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatige);

·           Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;

·           Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan; dan

·           Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.

C.     Pelaku perbuatan melawan hukum ialah :

·           Manusia Pribadi, atau

·           Badan Hukum.

Hal-hal yang dapat melenyapkan pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum dibedakan dalam 2 golongan yaitu:

·      Yang berasal dari undang-undang, dan

·      Yang berasal dari hukum tidak tertulis


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Simanjuntak, P.N.H. 2015. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.

 

Muhammad, Abdulkadir. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

 

Prayogo, Sedyo. 2016. Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan

Melawan Hukum Dalam Perjanjian. Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III No. 2

 

Fuady, Munir. 2005. Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.



[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 259-260.

[2] Ibid., hlm. 260-261.

[3] Ibid., hlm. 261.

[4] Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum  Volume III No. 2, 2 Mei-Agustus 2016.

[5] Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hlm. 262

[6] Ibid.

[7] Ibid., hlm. 263.

[8] Ibid., hlm. 264-265.

[9] P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm.

[10] Ibid

[11] Ibid., hlm.

[12] Ibid.

[13] Ibid., hlm.

[14] Ibid.

[15] Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hlm. 269.

[16] Ibid.

[17] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005) hlm.

[18] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar