SEJARAH HUKUM
ISLAM DI INDONESIA
1. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia
adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat
Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang
berkumpul dalamsatu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat
menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah
komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa
jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan
hukum Islam di Tanah Air misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah
hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di
Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam
secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam
mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah
hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan
juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan
yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi
bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa
proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
2.
Rumusan Masalah
a. Bagaimana proses perkembangan Hukum islam pada masa
kerajaan Islam?
b. Bagaimana proses perkembangan Hukum islam pada masa
penjajahan Belanda?
c. Bagaimana proses perkembangan Hukum islam pada masa
pendudukan Jepang?
3.
Tujuan Makalah
a. Agar mampu memahami tentang perkembangan hukum islam
pada masa kerajaan Islam di Indonesia.
b. Agar mampu memahami tentang perkembangan hukum islam
pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.
c. Agar mampu memahami tentang perkembangan hukum islam
pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Hukum Islam pada Masa Kerajaan Islam
Akar
sejarah hukum Islam di kawasan Nusantara, menurut sebagian ahli sejarah,
dimulai pada abad pertama hijriyah atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelaan
masehi. Berkembangnya komunitas muslim diwilayah itu diikuti oleh berdirinya
kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini
dikenal dengan nama Samuedera Pasai. Kerajaan ini terletak di wilayah Aceh
Utara.[1] Madzhab
hukum islam di kerajaan ini adalah madzhab Syafi’i. dari kerajaan Samudera
pasai, madzhab syafi’I tersebar keseluruh wilayah Nusantara. Pada tahun
1400-1500 M, para pakar hukum islam dari malaka datang ke Samudera Pasai untuk
meminta keputusan hukum Islam.[2]
Pengaruh
dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah Nusantara
menyebabkan beberapa kerajaan islam berdiri, menyusul berdirinya kerajaan
Samudera Pasai di Aceh. Di Pulau Jawa, berdiri Kesultanan Demak,
Kerajaan Tuban dan kerajaan Giri. Ketiga kerajaan ini dibantu oleh Wali Songo
dalam menengakkan hukum Islam. Kerajaan Mataram juga mempunyai pengadilan
Serambi Masjid Agung yang mengadili perkara perdata maupun pidana dangan hukum
islam. Begitu pula, Kerajaan Cirebon mempunyai penghulu di masing-masing daerah
yang menegakkan hukum Islam. Di Kerajaan Banten, pengalaman hukum Islam
dibimbing oleh Molana Judah, seorang ulama yang berasal dari Jeddah.[3]
Di
luar pulau Jawa juga berdiri beberapa kerajaan Islam. Penerapan hukum Islam di
Kerajaan Banjar, berajalan dengan baik, terdapat adagium yang terkenal di
Kerajaan Banjar, yaitu “Patih Baraja’an Dika, Andika Badayan Sra” yang artinya
“Saya tunduk ada perintah Tuanku, karena tuanku berhukumkan hukum Syara”. Fungsi
dari adagium ini tidak lain adalah menangani masalah perdata maupun pidana.
Selain itu, ada kitab kodifikasi hukum Islam yang dikenal dengan Undang-Undang
Sultan Adam.[4]Di
Sulawesi dan Maluku, berdiri Kerajaan Gowa, Kesultanan Ternate, serta Tidore.
Masing-masing kerajaan Islam ini juga mengkaji, menerapkan, dan menegakkan
hukum Islam, baik aspek pidana maupun perdata.
Semua
kesultanan-kesultanan tersebut menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif
yang berlaku. Penetapan ini menguatkan pengamalannya yang memang telah
berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Kebenaran ini dibuktikan
dengan adanya literature-literatur studi hukum Islam yang ditulis oleh para
ulama Nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.
Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Penjajahan
Belanda di Nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi perdagangan Belandan
Hindia Timur. Organisasi ini lebih dikenal dengan sebutan VOC. VOC adalah
sebuah organisasi dagang, dapat juga dikatakan memiliki peran yang melebihi
fungsinya, maksudnya adalah selain menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga
mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja,
pelaksanaannya menggunakan hukum Belanda.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa
“kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC. Pertama, dalam statute Batavia yang
ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku
bagi para pemeluk agama Islam. Kedua, adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan
Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada
tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Ketiga,
adanya upaya kompilasi serupa diberbagai wilayah lain. Di Semarang, hasil
kompilasi itu dikena dengan nama kitab hukum Mogharraer, kompilasi yang satu
ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga
memuat kaidah-kaidah hukum pidana.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung,
bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan inggris kepada
Kerajaan Belanda kembali. Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk
menyelesaikan masalah perbedaan agama antara penjajah dengan rakyat jajahannya,
khususnya umat islam.
Adapun pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh
Pemerintah Hindia Belanda yaitu:
a.
Pada pertengahan
abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik hukum yang sadar.
b.
Atas dasar nota
yang disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, pemerintah Belanda
menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga, dan kebiasaan
pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi antara mereka, selama tidak
bertentangan dengan asa kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
c.
Atas dasar teori
resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda pada tahun
1922, membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa
dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan.
d.
Pada tahhun
1925, dilakukan perubahan terhadap passal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling
yang isinya sama dengan pasal 78 Regerringsreglement.
Lemahnya posisi hukum islam terus terjadi hingga
menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun
1942.[6] Meski
demikian, pengaruh hukum Belanda masih sangat kuat hingga saat ini.
Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa
syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8
Maret 1942, segera Pemerintahan Jepang mengeluarkan berbagai peraturan.
Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi pemberlakuan
hukum Islam sebagaimana kondisi penduduk Belanda pada masa yang terakhir.
Pemerintah pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai
kebijakan untuk menarik simpati umat islam di Indonesia. Diantara kebijakan
tersebut yaitu:
a.
Janji Panglima
Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas
penduduk pulau Jawa.
b.
Mendirikan
Shumubu yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
c.
Mengizinkan
berdirinya ormas Islam.
d.
Menyetujui
berdirinya majelis Syura Muslim Indonesia.
e.
Menyetujui
berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
f.
Berupaya
memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan pengadilan
agama.
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti
bagi posisi hukum islam selam masa pendudukan jepang di Tanah air. Masa
pendudukan jepang lebih baik dari pada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru
bagi para pemimpin islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada dasarnya
ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat Islam sendiri serta kebijakan
pemerintah yang berkuasa. Ketika kedua hal tersebut bergayut, maka
pemberlakuan hukum Islam menjadi mudah. Namun sebaliknya, jika kedua hal
tersebut bertentangan orientasinya, maka pemerintah menjadi pihak yang menentukan
kedudukan hukum Islam. Kondisi inilah yang mewarnai sejarah perkembangan hukum
Islam di Indonesiasejak masa awal hingga masa kontemporer sekarang. Seberapa
besar keinginan umat Islam dan seberapa kuat bargaining powernya menjadi faktor
yang menentukan eksistensi hukum Islam.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah tentangSejarah Hukum Islam di Indonesia I yang mencangkup tentang seperti
apa proses Hukum Islam di Indonesia pada jaman kerajaan Islam, Penjajahan
Belanda, dan pendudukan Jepang ini tentu masih belum
sempurna. Penyusun mengharapkan masukan dan kritik yang membangun. Penyusun dan
pembaca haruslah berfikir kritis atas ilmu-ilmu yang didapat,
termasuk pengertian komunikasi, proses komunikasi, dan unsur-unsur proses
komunikasi serta tahap-tahap dalam proses komunikasi.Berfikir kritis yang penyusun maksud haruslah
mempunyai dasar dalam berargumentasi dan tidak untuk menjatuhkan satu dengan
yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Cammark Mark, “Hukum Islam dalam Politik Hukum Orde Baru”, dalam
Sudiman Tebba (ed)
S. Lev. Daniel, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta:
PT. Intermassa, 1980).Sumitro Warkum, Perkembangan Hukum Islam di
Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, (Malang:
Bayu Media, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar