BAB II
KONSEP PEMINANGAN (KHITBAH)
DALAM HUKUM ISLAM
A.
Pengertian Peminangan (Khitbah)
Al-Khitbah berasal dari lafadz Khathiba, yakhthibu, khithbatun. Terjemahannya ialah lamaran atau pinangan. Al-Khithbah ialah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan
untuk dijadikan istri menurut cara-cara
yang berlaku di kalangan masyarakat. Dalam pelaksanaan khithbah (lamaran)
biasanya masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya dan keluarganya. Khithbah merupakan pendahuluan perkawinan, disyari‟atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki
perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masingmasing pihak.1
Peminangan mengakar pada kata pinang-meminang yang artinya melamar,
meminta, mempersunting, dan menanyakan.2
Kata khitbah merupakan bentuk masdar dari kata khataba yang
diartikan sebagai meminang atau melamar.3 Kata khitbah dalam istilah bahasa Arab merupakan akar dari kata al- khitbah dan al- khatbu. Al- khitab berarti pembicaraan. Jika al- khitab (pembicaraan) ada kaitannya dengan perempuan, maka makna eksplisit
yang bisa kita tangkap adalah pembicaraan yang menyinggung ihwal
pernikahan. Sehingga, makna meminang bila ditinjau
![]() |
1 Dahlan Idhamy,
Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al- Ikhlas,
2008), h. 15
2 Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2006), h. 477.
3 Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP
al-Munawir, 1984), h. 376.
20
dari akar katanya adalah pembicaraan yang berhubungan dengan lamaran atau permohonan untuk menikah.4
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat
dalam pendefinisian peminangan. Beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan
seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut
maupun kepada walinya.
Penyampaian maksud ini boleh
secara langsung ataupun dengan perwakilan wali.5
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas
mendefinisikan pinangan (khitbah)
sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan
ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum
mengadakan pernikahan agar kedua calon
pengantin saling mengetahui.6
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan
disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.7
Al-Hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya
permintaan seseorang laki-laki
kepada anak perempuan orang lain atau seseorang
![]() |
4 Abd. Nashir Taufik al- Athar, Saat Anda Meminang, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), h. 15-16. Selanjutnya ditulis Taufik
al- Athar, Saat Anda Meminang.
5 Wahbah Zuhaili,
Fiqhul Islami wa Adillatuhu, h. 6492
6 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid
2, (Beirut: Darul
Fikri, 1998), h. 462
7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),
h.
49-50
perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.8
Sedangkan makna al- khatbu adalah persoalan, kepentingan dan keadaan. Sehingga makna peminangan dalam
hal ini adalah permohonan oleh seorang
kepada perempuan tentang suatu persoalan atau kepentingan yang berada di tangan pihak wanita. Al- hasil, asosiasi makna yang kali
pertama dapat ditangkap dan dipahami
oleh wanita itu adalah persoalan
atau kepentingan yang berhubungan
dengan pernikahan.9
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan
bahwa pinangan (khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang,
lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun
dengan perwalian. Pinangan
(khitbah) ini dilakukan sebelum
acara pernikahan
dilangsungkan.
Sedangkan menurut ilmu fiqh,
peminangan artinya “permintaan”. Secara terminologi adalah pernyataan atau permintaan dari
seorang laki-laki kepada pihak
seorang wanita untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki- laki itu secara langsung atau lewat
perantara pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan agama.10 Tentu hal itu dilakukan berdasar
pada kaidah-kaidah umum yang
telah berlaku di masyarakat. Prosesi peminangan merupakan langkah awal untuk menuju ke jenjang serius
pernikahan. Allah SWT menggariskan agar masing-masing pasangan yang hendak menikah
![]() |
8 Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani,
2002 ),h. 31
9 al- Athar, Saat Anda
Meminang, h. 15-16.
10 Kamal Mukhtar, Asas-asas
Hukum Islam tentang Perkawinan, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), h. 59.
lebih awal saling mengenal sebelum
dilakukan akad nikahnya
sehingga pelaksanaan perkawinan benar-benar berdasarkan pada pandangan dan penilaian yang jelas.11
Pengertian yang lain dari peminangan, dalam Ensiklopedi
Islam Indonesia, dijelaskan bahwa peminangan ialah identik
dengan lamaran atau peminangan.
Langkah lamaran seorang laki-laki yang hendak memperistri seorang wanita, baik wanita itu masih
gadis ataupun sudah janda. Dalam hal ini peminangan bisa dilakukan oleh pihak laki-laki
ataupun pihak wanita
sesuai dengan adat yang berlaku pada masyarakat atau lingkungannya.12
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1, Bab 1
huruf a, memberi pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita yang dapat dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan, tetapi dapat
pula dilakukan oleh perantara yang
dapat dipercaya. Namun dalam praktiknya, peminangan dapat dilakukan
secara terang-terangan terhadap
wanita yang masih sendiri.
Bila peminangan terhadap wanita yang masih dalam masa „iddah wafat
ataupun „iddah talak ba‟in dilakukan dengan
kinayah (sindiran) untuk menghormati
perasaan wanita tersebut.13
Dalam hal ini, peminangan menjadi
langkah-langkah persiapan untuk menuju perkawinan yang disyariatkan Allah
SWT. Sebelum
![]() |
11 Muhammad Thalib,
40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam, (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 1995), h. 60.
12 Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 555-556.
13 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional,
(Jakarta: Logos, 1999), h. 139.
terlaksananya akad nikah, guna lebih menambah pengetahuan dan pengenalan masing-masing, calon suami dan isteri
itu mengetahui tentang watak mereka masing-masing,
perilaku, dan kecenderungan satu sama lain dengan harapan dapat memasuki kehidupan perkawinan kelak
dengan hati dan perasaan yang lebih mantap.
Dengan demikian, peminangan dapat dikatakan sebagai
permintaan atau pernyataan dari seorang laki-laki kepada perempuan
secara baik-baik sesuai dengan
kebiasaan (adat) yang berlaku di daerah tersebut baik secara sharih (terang-terangan) ataupun secara kinayah (sindiran) yang dapat dilakukan
sendiri ataupun melalui perantara.14
Apabila prosesi peminangan sudah konkret dan pinangan itu diterima
oleh pihak-pihak yang dipinang (perempuan), berarti bahwa secara tidak langsung kedua belah pihak disertai dengan kerelaan hati telah mengadakan perjanjian untuk melaksanakan akad nikah. Dengan adanya perjanjian yang langsung atau tidak
langsung itu berarti calon mempelai telah terikat dengan pertunangan. Masa antara menerima
pinangan dengan pelaksanaan „aqad nikah (jika tidak ada pembatalan) disebut pertunangan.15
B.
Dasar Hukum
Telaah di atas mengandung pemahaman
bahwa, peminangan menjadi
landasan awal untuk menuju ke jenjang perkawinan. Memang, peminangan bukan merupakan sesuatu yang wajib, namun hal ini sudah
![]() |
14 M. Baqir al-Habsyi, Fikih Praktis (Bandung:
Mizan, 2002), h. 42.
15 Kamal Mukhtar, Asas-asas
Hukum Islam tentang
Perkawinan, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), h. 34.
menjadi suatu tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Desa Kepunduhan Kecamtan Kramat
Kabupaten Tegal.
Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum Islam,
baik dalam al- Qur‟an maupun al- Hadiś.
Dalam al- Qur‟an surat al- Baqarah ayat 235 menjadi
dasar dari peminangan, yang berbunyi:
y
y
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita itu16 dengan sindiran17
atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada
itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan
yang ma'ruf18. dan
janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang
ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun”.
Berkenaan dengan prosesi khiţbah, hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Jabir bin Abdullah
Radhiyallahu‟anhu sebagai
berikut:
َعَهْ جَابِرْ رَضًَُِهَّللا عَىًُْ قَاَل: (اِذَا خَطَبَ اَحَُدكُمْ
اَْنمَرَْاَة, فَاِوِسْتَطَاعَ َاْن ٌَىْظُرَ مِىٍْاَ انىَ ماَ
![]() |
16 Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah.
17 Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang
dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak
bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun
dengan sindiran.
18 Perkataan sindiran
yang baik.
ٌَْدعُُُْي انًَ ِوكَاحٍِاَ َفْهٍَفْعَمْ) رََاُي احمد َابُ
داَد
َرجانً ثقة َصحٍحً
انحاكم.
“Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu
melamar perempuan, jika ia bisa memandang
bagian yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan.” (Riwayat
Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadis shahih menurut
Hakim).19
Mayoritas fuqahā
berpendapat bahwa orang yang meminang boleh memandang pinangannya. imam malik, imam syafi‟i dan imam ahmad memberikan
batasan pada telapak tangan dan wajah saja20. Karena wajah cukup untuk bukti kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan dan kehalusan kulit badannya.
Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka hendaknya orang yang meminang
mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk mengetahuinya, seperti
bau mulutnya, bau ketiaknya dan badannya, serta keindahan rambutnya. Sebagaimana Nabi SAW pernah mengutus
seseorang untuk mendatangi perempuan dengan
sabdanya:
اوظري إنى عرقُبٍا َشمً إنى معاطٍا:
َفً
رَاٌة: شمً عُارضٍا
Lihatlah urat kentirnya dan ciumlah kuduknya” dan dalam riwayat
lain: “dan ciumlah gigi depannya”. (HR. Ahmad, Hakim, Tabrani dan Baihaqi)21
Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat
imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini
mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan
![]() |
19 Al- Asqolani, Ibn Hajr, Bulugh al-Maram, (Semarang: Karya Toha Putrah,
1378 H), h.
209.
20 Azzam, 2009: 11).
21 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2, h. 37
(khitbah) ini merupakan perbuatan
dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.22
C.
Batasan Pergaulan
antara Laki-laki dan Wanita dalam Masa
Khitbah
Pergaulan dalam bahasa Arab disebutkan ikhţilat berakar dari kalimat“khalaţa-yakhluţu-khalţan” yang
berarti bercampur. Beberapa
kata mempunyai makna baru
dan bahkan ada yang meluas penggunaannya. salah satunya adalah kata “percampuran atau pergaulan”. Dari perkataan
berkenaan dengan percampuran antara laki-laki dan wanita dalam satu tempat,
atau berbagai tempat.23
Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa karena bagi
keduanya masih seperti halnya orang lain yang bukan mahramnya. Maka tidak diperkenankan bagi keduanya untuk bergaul
secara bebas yang mana akan terjadi
hal-hal yang dikhawatirkan akan melampaui kode etik dalam agama. Oleh karena itu, dalam peminangan pun ada
batas-batas tersendiri agar tidak terjadi
pergaulan yang bebas di mana sudah di luar kode etik dalam agama. Tidak dapat dimungkiri bahwa setiap muslim
berlaku dengan etika-etika pada setiap
perbuatannya, yang disebut dengan qubh (keindahan atau kesopanan). Akan tetapi, nilai etika itu selamanya dapat dinalar dengan
otak manusia
![]() |
22 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid
wa Nihayatul Muqtasid
II, (Beirut: Darul
Fikri, 2005), h.
3
23 Yusuf Qardhawi, Fiqh Wanita Segala Hal
Mengenai Wanita, (Bandung: Jabal, 2006), cet
ke-1, h. 99.
sehingga pada suatu saat manusia sepenuhnya terikat dengan wahyu Tuhan yang kemudian
mengantarkan pada sesuatu
yang tidak sopan.24
Untuk kepentingan perkawinan itu sendiri, Islam sudah mengaturnya, yang apabila dilakukan
dan dipelihara, niscaya
akan menjadikan sebagai
sumber kekuatan dan menjauhkan dari renik-renik kehidupan yang dapat menghancurkan
kekokohan keluarga. Selain itu, ada juga yang menjadi perhatian utama sebelum
memasuki perkawinan, yaitu mengesampingkan sikap egois dari masing-masing dan tidak hanya memandang perkawinan hanya sebelah mata, yang hanya menurut pada kebutuhan.
Dengan begitu, keduanya dapat saling mengenal dan menerima dengan
ikhlas kekurangan masing-masing.25 Hal ini sesuai
dengan kaidah
ushuliyah:
َماابٍح نضرَراة ٌقدر
بقدرٌا26
Namun dalam kehidupan
masyarakat, tidak jarang yang hanya memberikan foto sebagai pengganti
melihat secara langsung
oleh pihak peminang atau pihak laki-laki. Dalam
Islam pun juga diperbolehkan hanya menunjukkan
foto pihak wanita, tapi terkadang apa yang ada dalam foto berbeda
dengan apa yang ada dalam kenyataannya, dan itu tidak bisa mengetahui sifat atau karakter dari wanita tersebut.27
![]() |
24 J.N.D, Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: Tiara Wacana 1994), h.
3. Selanjutnya ditulis
Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern.
25 Anderson, Hukum Islam di Dunia
Modern, h. 157.
26 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: al-Hidayah, 1956 ), h. 13.
27 Abd. Nashir Taufk al-Athar, Saat Anda Yang Meminang, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001),
h. 134.
M. Fauzil Adhim berpendapat sehubungan dengan
keistimewaan di saat ingin melihat
wanita yang dipinang. Pertama, sudah seharusnya tidak lagi ada peraturan khusus untuk melihat
wanita yang hendak dipinang. Kedua, melihat
wanita yang akan dipinang bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan, selama semua dalam batas kewajaran.
Ketiga, andaikata melihat wanita yang akan dipinangnya setelah perkawinan dengan maksud agar tidak malu seandainya
pernikahan itu tidak jadi, maka akan tiadanya rasa sayang dan simpati dalam pasangan tersebut atau
bahkan ada dampak yang lebih besar lagi,
mungkin sampai pada perceraian, karena adanya cacat pada pasangan atau aib yang tersembunyi.28
Menurut Abd. Nashir Taufiq al-Athar, pihak laki-laki
diperbolehkan berkunjung, namun
sebatas berbincang-bincang untuk mencari informasi dari pihak perempuan. Dari sebagian orang ada yang tidak mengizinkan bagi pihak laki-laki
atau peminang mengunjungi pihak wanita atau yang dipinang, apalagi sampai duduk berdua atau menemani
ke suatu acara, hal ini karena kedua
belah pihak hanya mengetahui sisi luarnya saja, yaitu dari apa yang dilihat dan apa yang didengarnya. Di satu
sisi, ada sebagian dari masyarakat yang
tidak memberikan batasan apapun kepada kedua belah pihak, diizinkan untuk bertemu, bercengkrama, atau menemani
keluar hingga larut malam. Islam
bersifat netral, maksudnya tidak cenderung kepada salah satu pendapat. Islam membolehkan bagi laki-laki berkunjung ke wanita yang hendak dipinang,
mengajaknya berbincang-bincang atau menemaninya ke suatu
![]() |
28 M.Fauzil Adhim, Saatnya Untuk Menikah, (Jakarta: Gema Insani Press,
2000), h. 126-
127.
acara, tapi tentunya
wanita tersebut juga bersama dengan laki-laki yang menjadi
muhrimnya. Dengan duduk bersama diharapkan dapat menyingkap tabiat di antara keduanya. Muhrim disini,
bertindak sebagai pencegah jika ada penyimpangan di antara keduanya.
Khalwat (menyepi) bersama dengan wanita
dalam ajaran Islam tidak diperbolehkan
karena bukan muhrimnya. Pengharaman
antara peminang dan yang dipinang ini kembali pada dasar, yaitu bahwa keduanya belum ada ikatan atau
belum menjadi pasangan suami istri,
sehingga tidak ada hubungan muhrim untuk mencegah dari hal-hal yang keluar dari etika pergaulan dan perbuatan yang akan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan.29
Dengan pengakraban melalui bincang-bincang antara
pihak laki-laki dengan pihak wanita, bukan lantas akan terjerumus pada pergaulan yang terlampau
sebelum pernikahan, tapi hal ini diharapkan akan menumbuhkan cinta kasih dan kematangan rasa di antara keduanya. Quraish
Sihab sebagaimana dikutip
Ashad Kusuma Jaya, meski perkawinan belum dilangsungkan, antara laki-laki dan wanita yang dalam masa peminangan menjalani hubungan kasih sayang bukanlah
hal yang salah. Ini menunjukkan bahwa
dalam Islam aturan itu tidak kaku, karena dengan adanya hubungan yang jauh lebih akrab di saat penantian
perkawinan atau masih dalam masa peminangan, keduanya
bisa lebih menyesuaikan diri, mulai dari lingkungan
![]() |
29 Abd. Nashir Taufiq
al-Athar, Saat Anda Yang Meminang, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001),
h. 166-167. Selanjutnya ditulis al-Athar, Saat Anda Yang Meminang.
keluarga ataupun
masyarakat sekitar, agar nantinya di saat perkawinan itu benar terjadi sudah terbiasa dengan kondisi tersebut.30
D. Hikmah dan Tujuan Khiţbah
1.
Hikmah Khiţbah
Peminangan merupakan terbentuknya hal yang utuh yang awalnya terpisah laki-laki dan perempuan.
Peminangan juga untuk lebih menguatkan ikatan yang dilakukan
sesudah peminangan, yaitu perkawinan,
karena kedua belah pihak sudah mengenal. Seperti halnya bangunan agar terciptanya suatu ciptaan yang utuh dan yang kokoh, dibutuhkan suatu fondasi, yaitu mulai dari perhitungan yang akurat, pelajaran, serta perencanaan yang matang.
Begitu pula dengan suatu ikatan perkawinan,
tidak hanya sebagai bahan pelampiasan nafsu yang akhirnya “habis manis sepah dibuang,” tapi lebih
dari itu, perkawinan selain sebagai sunnatullah
juga untuk membangun keluarga dan menjalin
silaturahim. Setiap manusia yang
hendak melangsungkan perkawinan, harus mencari
pasangan yang cocok sesuai dengan apa yang menjadi idamannya. Nantinya akan menjadi satu keluarga, di mana pihak dari
perempuan akan menjadi keluarga dari
pihak laki-laki, sedang anak dari hasil hubungan di antara keduanya adalah anak mereka, dari situ timbullah keluarga
yang harmonis dan kokoh. Wali sah
dari calon wanita juga jangan sampai hanya
terpikat dengan penampilan luar dari calon
mempelai laki-laki, baik dari
![]() |
30 Ashad Kusuma Jaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama: Menuju Pernikahan Barokah, (Yogyakarta:
Kreasi Wacana), h. 102.
harta kekayaan yang dimiliki maupun ketampanan, karena itu hanya akan timbul kebahagiaan yang sesaat. Wali itu
sendiri harus mengetahui bibit, bebet, serta bobot dari calon, apakah cocok dengan anak wanitanya. Pertimbangan keluarga dari calon menantu juga jadi pertimbangan,
apakah sesuai dengan keluarganya. Sudah jelas, bahwa peminangan memilki
hikmah yang luar biasa sebelum perkawinan dilakukan. Ini sebagai ajang penyesuaian bagi kedua belah pihak untuk
mengetahui perilaku hidup dan segala kemungkinan yang mungkin ada dalam masing-masing pihak, sehingga akan
tumbuh cinta kasih dan kematangan dalam keyakinan untuk mengarungi bersama sebuah ikatan yang sakral. Peminangan ini memberikan
kesempatan bagi pihak wanita maupun laki-laki untuk lebih arif dalam menghadapi segala sesuatu yang
baik dan buruk yang belum diketahui. Al- A‟masyi berpendapat, bahwa setiap pernikahan yang sebelumnya tidak
saling mengetahui, biasanya berakhir dengan penyesalan atau caci-maki. Sedangkan
disyari‟atkan peminangan ini untuk menghindari penyesalan serta caci-maki itu.31
Dengan begitu, keduanya dapat terlebih dahulu
mengenal sisi baik ataupun buruk dari
pasangan, baik dari segi ruhani maupun jasmani. Sehingga akan ada suatu tujuan bersama dalam keluarga, dan dapat mengetahui tujuan dari pasangan. Seperti apa yang dikatakan orang,
![]() |
31 Mualif Sahlani,
Perkawinan dan Problematikanya (Yogyakarta: Sumbangsih Offset, 1991),
h. 33.
bahwa jiwa yang berkenalan itu bisa berpadu
jika ada persamaan
dan langsung berpisah jika amat jauh perbedaannya.32
2. Tujuan Khiţbah
Pada dasarnya tujuan dari peminangan dengan perkawinan tidaklah jauh berbeda. Secara eksplisit,
tujuan dari peminangan memang tidak
disebutkan seperti halnya dalam perkawinan, namun secara implisit, tujuan daripada peminangan dapat dilihat dari syarat-syarat yang ada dalam peminangan. Peminangan itu sendiri
mempunyai tujuan, tidak lain yaitu untuk menghindar dari kesalahpahaman antara
kedua belah pihak,
dan juga, agar perkawinan itu sendiri berjalan
atas pemikiran yang mendalam
dan mendapat hidayah. Lebih jauh lagi, suasana kekeluargaaan nantinya
akan berjalan erat antara suami istri, dan anggota keluarga
lainnya.33
Selain itu, Soerojo Wignjodipoero menyatakan, yang
menjadi landasan orang melakukan peminangan tidak sama di semua daerah,
lazimnya adalah:
a.
Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu
sudah dapat dilangsungkan dalam waktu dekat.
b.
Khususnya di
daerah-daerah yang pergaulannya sangat bebas antara pergaulan muda-mudi
maka dibatasi dengan pertunangan.
![]() |
32 Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari‟at dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),
h. 159.
33 Abdullah Nashih „Ulwan, Tata Cara Meminang dalam Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1993 ),
h. 29.
c.
Suatu pemberian kesempatan bagi kedua belah pihak
untuk mengenal lebih jauh lagi calon suami, agar nantinya menjadi
pasangan yang harmonis.34
Dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan peminangan tidak
lain adalah sebagai ajang, bahwasanya pasangan
yang hendak melangsungkan pernikahan dapat saling melihat antara pihak perempuan dengan
pihak laki-laki agar tidak terjadi
suatu penyesalan, karena dikatakan bahwa melihat merupakan cara terbaik
untuk mengetahui akan suatu
hal.35
Yang terpenting dari tujuan peminangan bila ditinjau secara
umum adalah:
Pertama: Lebih
mempermudah dan memperlancar jalannya masa
perkenalan antara pihak peminang dan yang dipinang beserta dengan kelurga
masing-masing. Hal ini dikarenakan tidak jarang bagi pihak peminang
atau yang dipinang
sering salah atau kurang dewasa dalam menjalani
proses pengenalan kepada calon pendampingnya.
Kedua: Supaya
di antara keduanya rasa cinta dan kasih lebih
cepat tumbuh.
Ketiga: Menimbulkan
efek ketentraman jiwa dan kemantapan hati
bagi pihak yang akan menikahi atau yang akan dinikahi, dan tanpa adanya pihak-pihak yang mendahului.36
![]() |
34 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat (Jakarta: PT Gunung Agung,
1995), h. 125.
35 Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al- Syakhsiyyah (Beirut: Daral-Fikr), h. 29.
36 al-Athar,
Saat Anda Yang Meminang, h. 170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar