Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH KONSEP PEMINANGAN (KHITBAH) DALAM HUKUM ISLAM

 

BAB II

 

KONSEP PEMINANGAN (KHITBAH) DALAM HUKUM ISLAM

 

 

A.        Pengertian Peminangan (Khitbah)

 

Al-Khitbah berasal dari lafadz Khathiba, yakhthibu, khithbatun. Terjemahannya ialah lamaran atau pinangan. Al-Khithbah ialah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri menurut cara-cara yang berlaku di kalangan masyarakat. Dalam pelaksanaan khithbah (lamaran) biasanya masing-masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya dan keluarganya. Khithbah merupakan pendahuluan perkawinan, disyari‟atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masingmasing pihak.1

Peminangan mengakar pada kata pinang-meminang yang artinya melamar, meminta, mempersunting, dan menanyakan.2

Kata khitbah merupakan bentuk masdar dari kata khataba yang diartikan sebagai meminang atau melamar.3 Kata khitbah dalam istilah bahasa Arab merupakan akar dari kata al- khitbah dan al- khatbu. Al- khitab berarti pembicaraan. Jika al- khitab (pembicaraan) ada kaitannya dengan perempuan, maka makna eksplisit yang bisa kita tangkap adalah pembicaraan yang menyinggung ihwal pernikahan. Sehingga, makna meminang bila ditinjau


1 Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al- Ikhlas, 2008), h. 15

2 Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 477.

3 Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP al-Munawir, 1984), h. 376.

20


 

 

 

 

 

dari akar katanya adalah pembicaraan yang berhubungan dengan lamaran atau permohonan untuk menikah.4

Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan wali.5

Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.6

Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.7

Al-Hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau seseorang


4 Abd. Nashir Taufik al- Athar, Saat Anda Meminang, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), h. 15-16. Selanjutnya ditulis Taufik al- Athar, Saat Anda Meminang.

5 Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, h. 6492

6 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2, (Beirut: Darul Fikri, 1998), h. 462

7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h.

49-50


 

 

 

 

 

perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.8

Sedangkan makna al- khatbu adalah persoalan, kepentingan dan keadaan. Sehingga makna peminangan dalam hal ini adalah permohonan oleh seorang kepada perempuan tentang suatu persoalan atau kepentingan yang berada di tangan pihak wanita. Al- hasil, asosiasi makna yang kali pertama dapat ditangkap dan dipahami oleh wanita itu adalah persoalan atau kepentingan yang berhubungan dengan pernikahan.9

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.

Sedangkan menurut ilmu fiqh, peminangan artinya “permintaan”. Secara terminologi adalah pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki- laki itu secara langsung atau lewat perantara pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan agama.10 Tentu hal itu dilakukan berdasar pada kaidah-kaidah umum yang telah berlaku di masyarakat. Prosesi peminangan merupakan langkah awal untuk menuju ke jenjang serius pernikahan. Allah SWT menggariskan agar masing-masing pasangan yang hendak menikah


8 Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002 ),h. 31

9 al- Athar, Saat Anda Meminang, h. 15-16.

10 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), h. 59.


 

 

 

 

 

lebih awal saling mengenal sebelum dilakukan akad nikahnya sehingga pelaksanaan perkawinan benar-benar berdasarkan pada pandangan dan penilaian yang jelas.11

Pengertian yang lain dari peminangan, dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, dijelaskan bahwa peminangan ialah identik dengan lamaran atau peminangan. Langkah lamaran seorang laki-laki yang hendak memperistri seorang wanita, baik wanita itu masih gadis ataupun sudah janda. Dalam hal ini peminangan bisa dilakukan oleh pihak laki-laki ataupun pihak wanita sesuai dengan adat yang berlaku pada masyarakat atau lingkungannya.12

Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1, Bab 1 huruf a, memberi pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita yang dapat dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya. Namun dalam praktiknya, peminangan dapat dilakukan secara terang-terangan terhadap wanita yang masih sendiri. Bila peminangan terhadap wanita yang masih dalam masa „iddah wafat ataupun „iddah talak ba‟in dilakukan dengan kinayah (sindiran) untuk menghormati perasaan wanita tersebut.13

Dalam hal ini, peminangan menjadi langkah-langkah persiapan untuk menuju perkawinan yang disyariatkan Allah SWT. Sebelum


11 Muhammad Thalib, 40 Petujunk Menuju Perkawinan Islam, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), h. 60.

12 Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 555-556.

13 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos, 1999), h. 139.


 

 

 

 

 

terlaksananya akad nikah, guna lebih menambah pengetahuan dan pengenalan masing-masing, calon suami dan isteri itu mengetahui tentang watak mereka masing-masing, perilaku, dan kecenderungan satu sama lain dengan harapan dapat memasuki kehidupan perkawinan kelak dengan hati dan perasaan yang lebih mantap. Dengan demikian, peminangan dapat dikatakan sebagai permintaan atau pernyataan dari seorang laki-laki kepada perempuan secara baik-baik sesuai dengan kebiasaan (adat) yang berlaku di daerah tersebut baik secara sharih (terang-terangan) ataupun secara kinayah (sindiran) yang dapat dilakukan sendiri ataupun melalui perantara.14

Apabila prosesi peminangan sudah konkret dan pinangan itu diterima oleh pihak-pihak yang dipinang (perempuan), berarti bahwa secara tidak langsung kedua belah pihak disertai dengan kerelaan hati telah mengadakan perjanjian untuk melaksanakan akad nikah. Dengan adanya perjanjian yang langsung atau tidak langsung itu berarti calon mempelai telah terikat dengan pertunangan. Masa antara menerima pinangan dengan pelaksanaan „aqad nikah (jika tidak ada pembatalan) disebut pertunangan.15

 

B.        Dasar Hukum

 

Telaah di atas mengandung pemahaman bahwa, peminangan menjadi landasan awal untuk menuju ke jenjang perkawinan. Memang, peminangan bukan merupakan sesuatu yang wajib, namun hal ini sudah

 


14 M. Baqir al-Habsyi, Fikih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), h. 42.

15 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), h. 34.


 

 

 

 

 

menjadi suatu tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Desa Kepunduhan Kecamtan Kramat Kabupaten Tegal.

Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum Islam, baik dalam al- Qur‟an maupun al- Hadiś. Dalam al- Qur‟an surat al- Baqarah ayat 235 menjadi dasar dari peminangan, yang berbunyi:

 



 







  






y


      


 











 


 


 



y






   


   


 




 



  





      


“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu16 dengan sindiran17 atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf18. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.

 

Berkenaan dengan prosesi khiţbah, hadis yang diriwayatkan oleh Imam            Ahmad,              Abu           Dawud,                Hakim     dari     Jabir     bin     Abdullah

Radhiyallahu‟anhu sebagai berikut:

 

َعَهْ جَابِرْ رَضًَُِهَّللا عَىًُْ قَاَل: (اِذَا خَطَبَ اَحَُدكُمْ

اَْنمَرَْاَة,  فَاِوِسْتَطَاعَ َاْن ٌَىْظُرَ مِىٍْاَ انىَ ماَ

 

 


16 Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah.

17 Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.

18 Perkataan sindiran yang baik.


 

 

 

 

 

ٌَْدعُُُْي انًَ ِوكَاحٍِاَ َفْهٍَفْعَمْ) رََاُي احمد َابُ

داَد َرجانً ثقة َصحٍحً انحاكم.

“Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan.” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadis shahih menurut Hakim).19

Mayoritas fuqahā berpendapat bahwa orang yang meminang boleh memandang pinangannya. imam malik, imam syafi‟i dan imam ahmad memberikan batasan pada telapak tangan dan wajah saja20. Karena wajah cukup untuk bukti kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan dan kehalusan kulit badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk mengetahuinya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya dan badannya, serta keindahan rambutnya. Sebagaimana Nabi SAW pernah mengutus seseorang untuk mendatangi perempuan dengan sabdanya:

اوظري إنى عرقُبٍا َشمً إنى معاطٍا:

َفً رَاٌة: شمً عُارضٍا

Lihatlah urat kentirnya dan ciumlah kuduknya” dan dalam riwayat lain: “dan ciumlah gigi depannya”. (HR. Ahmad, Hakim, Tabrani dan Baihaqi)21

Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan

 

 


19 Al- Asqolani, Ibn Hajr, Bulugh al-Maram, (Semarang: Karya Toha Putrah, 1378 H), h.

209.

20 Azzam, 2009: 11).

21 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 2, h. 37


 

 

 

 

 

(khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.22

 

C.        Batasan Pergaulan antara Laki-laki dan Wanita dalam Masa Khitbah

 

Pergaulan dalam bahasa Arab disebutkan ikhţilat berakar dari kalimat“khalaţa-yakhluţu-khalţan” yang berarti bercampur. Beberapa kata mempunyai makna baru dan bahkan ada yang meluas penggunaannya. salah satunya adalah kata “percampuran atau pergaulan”. Dari perkataan berkenaan dengan percampuran antara laki-laki dan wanita dalam satu tempat, atau berbagai tempat.23

Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa karena bagi keduanya masih seperti halnya orang lain yang bukan mahramnya. Maka tidak diperkenankan bagi keduanya untuk bergaul secara bebas yang mana akan terjadi hal-hal yang dikhawatirkan akan melampaui kode etik dalam agama. Oleh karena itu, dalam peminangan pun ada batas-batas tersendiri agar tidak terjadi pergaulan yang bebas di mana sudah di luar kode etik dalam agama. Tidak dapat dimungkiri bahwa setiap muslim berlaku dengan etika-etika pada setiap perbuatannya, yang disebut dengan qubh (keindahan atau kesopanan). Akan tetapi, nilai etika itu selamanya dapat dinalar dengan otak manusia

 

 

 

 

 


22 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II, (Beirut: Darul Fikri, 2005), h.

3

23 Yusuf Qardhawi, Fiqh Wanita Segala Hal Mengenai Wanita, (Bandung: Jabal, 2006), cet

ke-1, h. 99.


 

 

 

 

 

sehingga pada suatu saat manusia sepenuhnya terikat dengan wahyu Tuhan yang kemudian mengantarkan pada sesuatu yang tidak sopan.24

Untuk kepentingan perkawinan itu sendiri, Islam sudah mengaturnya, yang apabila dilakukan dan dipelihara, niscaya akan menjadikan sebagai sumber kekuatan dan menjauhkan dari renik-renik kehidupan yang dapat menghancurkan kekokohan keluarga. Selain itu, ada juga yang menjadi perhatian utama sebelum memasuki perkawinan, yaitu mengesampingkan sikap egois dari masing-masing dan tidak hanya memandang perkawinan hanya sebelah mata, yang hanya menurut pada kebutuhan. Dengan begitu, keduanya dapat saling mengenal dan menerima dengan ikhlas kekurangan masing-masing.25 Hal ini sesuai dengan kaidah


ushuliyah:


َماابٍح نضرَراة ٌقدر بقدرٌا26


 

Namun dalam kehidupan masyarakat, tidak jarang yang hanya memberikan foto sebagai pengganti melihat secara langsung oleh pihak peminang atau pihak laki-laki. Dalam Islam pun juga diperbolehkan hanya menunjukkan foto pihak wanita, tapi terkadang apa yang ada dalam foto berbeda dengan apa yang ada dalam kenyataannya, dan itu tidak bisa mengetahui sifat atau karakter dari wanita tersebut.27

 

 


24 J.N.D, Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: Tiara Wacana 1994), h.

3. Selanjutnya ditulis Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern.

25 Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, h. 157.

26 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: al-Hidayah, 1956 ), h. 13.

27 Abd. Nashir Taufk al-Athar, Saat Anda Yang Meminang, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001),

h. 134.


 

 

 

 

 

M. Fauzil Adhim berpendapat sehubungan dengan keistimewaan di saat ingin melihat wanita yang dipinang. Pertama, sudah seharusnya tidak lagi ada peraturan khusus untuk melihat wanita yang hendak dipinang. Kedua, melihat wanita yang akan dipinang bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan, selama semua dalam batas kewajaran. Ketiga, andaikata melihat wanita yang akan dipinangnya setelah perkawinan dengan maksud agar tidak malu seandainya pernikahan itu tidak jadi, maka akan tiadanya rasa sayang dan simpati dalam pasangan tersebut atau bahkan ada dampak yang lebih besar lagi, mungkin sampai pada perceraian, karena adanya cacat pada pasangan atau aib yang tersembunyi.28

Menurut Abd. Nashir Taufiq al-Athar, pihak laki-laki diperbolehkan berkunjung, namun sebatas berbincang-bincang untuk mencari informasi dari pihak perempuan. Dari sebagian orang ada yang tidak mengizinkan bagi pihak laki-laki atau peminang mengunjungi pihak wanita atau yang dipinang, apalagi sampai duduk berdua atau menemani ke suatu acara, hal ini karena kedua belah pihak hanya mengetahui sisi luarnya saja, yaitu dari apa yang dilihat dan apa yang didengarnya. Di satu sisi, ada sebagian dari masyarakat yang tidak memberikan batasan apapun kepada kedua belah pihak, diizinkan untuk bertemu, bercengkrama, atau menemani keluar hingga larut malam. Islam bersifat netral, maksudnya tidak cenderung kepada salah satu pendapat. Islam membolehkan bagi laki-laki berkunjung ke wanita yang hendak dipinang, mengajaknya berbincang-bincang atau menemaninya ke suatu


28 M.Fauzil Adhim, Saatnya Untuk Menikah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 126-

127.


 

 

 

 

 

acara, tapi tentunya wanita tersebut juga bersama dengan laki-laki yang menjadi muhrimnya. Dengan duduk bersama diharapkan dapat menyingkap tabiat di antara keduanya. Muhrim disini, bertindak sebagai pencegah jika ada penyimpangan di antara keduanya. Khalwat (menyepi) bersama dengan wanita dalam ajaran Islam tidak diperbolehkan karena bukan muhrimnya. Pengharaman antara peminang dan yang dipinang ini kembali pada dasar, yaitu bahwa keduanya belum ada ikatan atau belum menjadi pasangan suami istri, sehingga tidak ada hubungan muhrim untuk mencegah dari hal-hal yang keluar dari etika pergaulan dan perbuatan yang akan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan.29

Dengan pengakraban melalui bincang-bincang antara pihak laki-laki dengan pihak wanita, bukan lantas akan terjerumus pada pergaulan yang terlampau sebelum pernikahan, tapi hal ini diharapkan akan menumbuhkan cinta kasih dan kematangan rasa di antara keduanya. Quraish Sihab sebagaimana dikutip Ashad Kusuma Jaya, meski perkawinan belum dilangsungkan, antara laki-laki dan wanita yang dalam masa peminangan menjalani hubungan kasih sayang bukanlah hal yang salah. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam aturan itu tidak kaku, karena dengan adanya hubungan yang jauh lebih akrab di saat penantian perkawinan atau masih dalam masa peminangan, keduanya bisa lebih menyesuaikan diri, mulai dari lingkungan

 

 

 

 


29 Abd. Nashir Taufiq al-Athar, Saat Anda Yang Meminang, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001),

h. 166-167. Selanjutnya ditulis al-Athar, Saat Anda Yang Meminang.


 

 

 

 

 

keluarga ataupun masyarakat sekitar, agar nantinya di saat perkawinan itu benar terjadi sudah terbiasa dengan kondisi tersebut.30

 

D.       Hikmah dan Tujuan Khiţbah

 

1.    Hikmah Khiţbah

 

Peminangan merupakan terbentuknya hal yang utuh yang awalnya terpisah laki-laki dan perempuan. Peminangan juga untuk lebih menguatkan ikatan yang dilakukan sesudah peminangan, yaitu perkawinan, karena kedua belah pihak sudah mengenal. Seperti halnya bangunan agar terciptanya suatu ciptaan yang utuh dan yang kokoh, dibutuhkan suatu fondasi, yaitu mulai dari perhitungan yang akurat, pelajaran, serta perencanaan yang matang. Begitu pula dengan suatu ikatan perkawinan, tidak hanya sebagai bahan pelampiasan nafsu yang akhirnya “habis manis sepah dibuang,” tapi lebih dari itu, perkawinan selain sebagai sunnatullah juga untuk membangun keluarga dan menjalin silaturahim. Setiap manusia yang hendak melangsungkan perkawinan, harus mencari pasangan yang cocok sesuai dengan apa yang menjadi idamannya. Nantinya akan menjadi satu keluarga, di mana pihak dari perempuan akan menjadi keluarga dari pihak laki-laki, sedang anak dari hasil hubungan di antara keduanya adalah anak mereka, dari situ timbullah keluarga yang harmonis dan kokoh. Wali sah dari calon wanita juga jangan sampai hanya terpikat dengan penampilan luar dari calon mempelai laki-laki, baik dari


30 Ashad Kusuma Jaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama: Menuju Pernikahan Barokah, (Yogyakarta: Kreasi Wacana), h. 102.


 

 

 

 

 

harta kekayaan yang dimiliki maupun ketampanan, karena itu hanya akan timbul kebahagiaan yang sesaat. Wali itu sendiri harus mengetahui bibit, bebet, serta bobot dari calon, apakah cocok dengan anak wanitanya. Pertimbangan keluarga dari calon menantu juga jadi pertimbangan, apakah sesuai dengan keluarganya. Sudah jelas, bahwa peminangan memilki hikmah yang luar biasa sebelum perkawinan dilakukan. Ini sebagai ajang penyesuaian bagi kedua belah pihak untuk mengetahui perilaku hidup dan segala kemungkinan yang mungkin ada dalam masing-masing pihak, sehingga akan tumbuh cinta kasih dan kematangan dalam keyakinan untuk mengarungi bersama sebuah ikatan yang sakral. Peminangan ini memberikan kesempatan bagi pihak wanita maupun laki-laki untuk lebih arif dalam menghadapi segala sesuatu yang baik dan buruk yang belum diketahui. Al- A‟masyi berpendapat, bahwa setiap pernikahan yang sebelumnya tidak saling mengetahui, biasanya berakhir dengan penyesalan atau caci-maki. Sedangkan disyari‟atkan peminangan ini untuk menghindari penyesalan serta caci-maki itu.31

Dengan begitu, keduanya dapat terlebih dahulu mengenal sisi baik ataupun buruk dari pasangan, baik dari segi ruhani maupun jasmani. Sehingga akan ada suatu tujuan bersama dalam keluarga, dan dapat mengetahui tujuan dari pasangan. Seperti apa yang dikatakan orang,

 

 

 

 


31 Mualif Sahlani, Perkawinan dan Problematikanya (Yogyakarta: Sumbangsih Offset, 1991), h. 33.


 

 

 

 

 

bahwa jiwa yang berkenalan itu bisa berpadu jika ada persamaan dan langsung berpisah jika amat jauh perbedaannya.32

2.      Tujuan Khiţbah

 

Pada dasarnya tujuan dari peminangan dengan perkawinan tidaklah jauh berbeda. Secara eksplisit, tujuan dari peminangan memang tidak disebutkan seperti halnya dalam perkawinan, namun secara implisit, tujuan daripada peminangan dapat dilihat dari syarat-syarat yang ada dalam peminangan. Peminangan itu sendiri mempunyai tujuan, tidak lain yaitu untuk menghindar dari kesalahpahaman antara kedua belah pihak, dan juga, agar perkawinan itu sendiri berjalan atas pemikiran yang mendalam dan mendapat hidayah. Lebih jauh lagi, suasana kekeluargaaan nantinya akan berjalan erat antara suami istri, dan anggota keluarga lainnya.33

Selain itu, Soerojo Wignjodipoero menyatakan, yang menjadi landasan orang melakukan peminangan tidak sama di semua daerah, lazimnya adalah:

a.    Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu sudah dapat dilangsungkan dalam waktu dekat.

b.    Khususnya di daerah-daerah yang pergaulannya sangat bebas antara pergaulan muda-mudi maka dibatasi dengan pertunangan.

 

 

 


32 Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari‟at dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 159.

33 Abdullah Nashih „Ulwan, Tata Cara Meminang dalam Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1993 ), h. 29.


 

 

 

 

 

c.    Suatu pemberian kesempatan bagi kedua belah pihak untuk mengenal lebih jauh lagi calon suami, agar nantinya menjadi pasangan yang harmonis.34

Dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan peminangan tidak lain adalah sebagai ajang, bahwasanya pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan dapat saling melihat antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki agar tidak terjadi suatu penyesalan, karena dikatakan bahwa melihat merupakan cara terbaik untuk mengetahui akan suatu hal.35

Yang terpenting dari tujuan peminangan bila ditinjau secara umum adalah:

Pertama: Lebih mempermudah dan memperlancar jalannya masa perkenalan antara pihak peminang dan yang dipinang beserta dengan kelurga masing-masing. Hal ini dikarenakan tidak jarang bagi pihak peminang atau yang dipinang sering salah atau kurang dewasa dalam menjalani proses pengenalan kepada calon pendampingnya.

Kedua: Supaya di antara keduanya rasa cinta dan kasih lebih cepat tumbuh.

Ketiga: Menimbulkan efek ketentraman jiwa dan kemantapan hati bagi pihak yang akan menikahi atau yang akan dinikahi, dan tanpa adanya pihak-pihak yang mendahului.36


34 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT Gunung Agung, 1995), h. 125.

35 Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al- Syakhsiyyah (Beirut: Daral-Fikr), h. 29.

36 al-Athar, Saat Anda Yang Meminang, h. 170.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar