BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang
Bahasa merupakan alat
komunikasi verbal yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesama.
Bahasa merupakan ciri khas yang dimiliki manusia yang membedakan dengan makluk
lain. Pada umumnya manusia hidup dalam ikatan suatu masyarakat. Karena manusia
senantiasa bergaul, gotong royong dan bekerja sama untuk kepentingan bersama
pula, sehingga manusia membutuhkan pemakaian bahasa. Tanpa adanya bahasa
manusia akan mengalami berbagai kendala, dalam menyelesaikan segala keperluan
dan kepentingannya.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling
praktis dan sempurna untuk mengungkapkan ide, gagasan, maksud, realitas dan
perasaan. Bahasa dalam masyarakat sosial selalu mengalami perubahan seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi dalam suatu
masyarakat.
Bahasa Indonesia memiliki
status sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang kebanggaan nasional, (b) lambang
identitas nasional, (c) alat pemersatu masyarakat, (d) alat perhubungan budaya.
Sedangkan sebagai bahasa negara bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) bahasa
resmi kenegaraan, (b) bahasa pengantar resmi lembaga pendidikan, (c) bahasa
resmi perhubungan nasional, (d) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan
dan teknologi modern Tasai (2000:10-11.
Bahasa sebagai media komunikasi tidak terlepas
dari kegiatan manusia sebagai makhluk bermasyarakat dan berbudaya. Arifin
(2011:96) menyatakan ‘Language is always developed and changed’ yang berarti
bahasa akan selalu berkembang dan berubah. Kehidupan manusia dalam masyarakat
akan selalu berubah, maka bahasa menjadi turut berubah, tidak tetap, tidak
statis.
Perubahan bahasa bisa
terjadi dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikon.
Dalam fonologi misalnya, dulu bahasa Indonesia belum mengenal fonem /sy/, /f/,
dan /kh/. Fonem itu dianggap sebagai /s/, /p/, dan /k/. Perubahan paling banyak
terjadi dalam bidang leksikon dan semantik, yang diakibatkan adanya perubahan
budaya dan ilmu, atau adanya kata-kata lama muncul dengan makna baru (Chaer,
2007:53).
Indonesia merupakan
negara multilingual. Jumlah penduduk yang besar serta adanya beragam suku dan
budaya dengan sendirinya terdapat beragam bahasa untuk berkomunikasi terdapat
lebih dari 400 suku dan lebih dari 200 bahasa juga dialek di Indonesia. Selain
bahasa Indonesia terdapat beragam bahasa daerah, dialek, bahkan bahasa asing
yang digunakan oleh masyarakat. Anggota masyarakat akan cenderung menggunakan
dua bahasa atau lebih sesuai dengan kebutuhannya. Bahasa-bahasa tersebut akan
saling mempengaruhi hingga terjadi yang disebut bilingualisme dan
multilinguisme serta beragam kasusnya seperti alih kode, interferensi,
integrasi, dan campurkode.
Kondisi kebahasaan karena pengaruh
bahasa lain ini memunculkan adanya variasi pemakaian bahasa yang menyebabkan
situasi kebahasaan dalam masyarakat menjadi cukup rumit. Adanya variasi
tersebut menunjukkan bahwa pemakaian bahasa itu bersifat heterogen. Pemakai
bahasa dituntut dapat memilih kode bahasa dengan tepat sehingga komunikasi
dapat berjalan dengan lancar.
b.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud situasi kebahasaan?
2. Apa permasalahan bahasa yang sering
muncul di Indonesia ?
3. Jelaskan tata cara bahasa yang baik
dan benar !
c.
Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui situasi kebahasaan
2. Untuk mengetahui permasalahan bahasa
yang sering muncul di Indonesia
3. Untuk mengetahui tata cara bahasa
yang baik dan benar
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Situasi Kebahasaan
Situasi
kebahasaan di Indonesia meliputi ,Aspek Sosiolinguistik Bahasa adalah sesuatu
yang hidup. Sebagai sesuatu yang hidup, ia tentu mengalami perkembangan. Dan,
perkembangan berarti perubahan. Perubahan itu terjadi, oleh karena bahasa
adalah satu-satunya milik manusia yang tak pernah lepas dari segala kegiatan
dan gerak manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Keterikatan
dan keterkaitan bahasa dengan manusia itulah yang mengakibatkan bahasa itu
menjadi tidak statis, atau meminjam istilah Chaer (1994:53) bahwa bahasa itu
dinamis. Dalam perkembangannya, studi-studi yang dilakukan terhadap bahasa
tidak lagi terbatas hanya pada aspek kaidah-kaidahnya (sistem linguistiknya)
saja, namun telah berkembang pada kajian bahasa dengan melihat aspek sosialnya.
Demikian pula prinsip kodifikasi bahasa semakin terbuka berdasarkan pada bahasa
yang digunakan oleh masyarakat. Situasi kebahasaan memiliki perlakuan yang
berbeda mengenai pemakaiannya. Para ahli sepakat bahwa bahasa merupakan gejala
sosial sehingga lahirlah suatu cabang ilmu yang disebut sosiolinguistik.
Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa itu
dinamis dan bahkan demokratis sehingga untuk menyikapi bahasa itu mestilah
terbuka terhadap perkembangan atau perubahan bahasa. Tallei (1997), juga
memberi penjelasan bahwa pembahasan aspek sosiolinguistik dalam studi bahasa
dikembangkan sejak dimunculkannya istilah konteks dan komunikatif dalam
pembelajaran bahasa. Dari uraian di atas jelaslah bahwa sosiolinguistik
memberikan penekanan pada aspek pemakaian bahasa yang aktual di masyarakat.
Artinya, bahasa dalam pandangan sosiolingiustik adalah keaktifan kemasyaratakan
yang berkembang dari ke hari. Bahasa dapat berkembang dengan menerima
unsur-unsur pinjaman dari luar ataupun secara kreatif mengembangkan unsur-unsur
yang telah lama ada dalam dirinya; memperkaya dirinya, untuk memperoleh
perkenalan yang lebih luas.
Sosiolinguistik bertujuan untuk memahami:
1. pemakai
bahasa pada umumnya dalam konteks sosial dan kebudayaan.
2. hubungan unsur unsur kebudayaan dengan situasi
unsur-unsur sosial budaya. 3. ragam bahasa yang disebabkan oleh diversifikasi
pemakai bahasa.
4. ragam bahasa yang disebabkan oleh
tingkat-tingkat sosial pemakai bahasa.
5. sikap
bahasa.
6.
fungsi-fungsi sosial bahasa.
7.
keutuhan bahasa.
Guru pada umumnya perlu mempelajari
sosiolinguistik akan sangat membantu guru ketika menghadapi siswanya yang
mempunyai latar bahasa yang berbeda sehingga membuat guru perlu mempelajari
sosiolinguistik agar dapat menghadapi masalah kebahasaan yang digunakan oleh
siswanya, kedwibahasaan dan variasi bahasa yang mempunyai relevansi terhadap
pengajaran bahasa. Diharapkan bahwa dengan hasil pengkajian sosiolinguistik
dapat membuat guru menyesuaikan bahasa yang digunakannya terhadap siswanya dan juga agar
guru tidak terbawa oleh arus sosiolinguistik yang tidak terikat oleh kaidah
kebahasaan. Karena yang terpenting adalah bahasa yang digunakan tersebut dapat
mencapai tujuan fungsional bahasa. Seorang guru harus dapat semaksimal mungkin
menggunakan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yaitu guru yang mempunyai
tugas sebagai Pembina bahasa harus dapat menggunakan bahasa yang baik dan benar
dengan tidak menyimpang dari kaidah, efektif, dan tepat pilihan kata-katanya
sehingga siswanya mampu berkomunikasi dengan baik juga mudah untuk dipahami
serta enak didengar.
Ancangan sosiolinguistik di dalam Kajian Perencanaan Bahasa Labov
(1972) mengemukakan bahwa sebuah variabel sosiolinguistik mempunyai hubungan
yang bersifat serentak dengan sejumlah variable nonlinguistik dalam konteks
sosial tertentu misalnya penutur, lawan tutur, pendengar, dan latar. Sejalan
dengan hal tersebut, Nababan menyebutkan tiga bidang pokok kajian
sosiolinguistik yaitu:
a. Pengaruh masyarakat
dan/atau anggota masyarakat atas bahasa yang menghasilkan pengetahuan tentang
variasi dan/atau ragam bahasa baik yang bersifat internal misalnya variasi yang
terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan sebagainya maupun yang
bersifat eksternal misalnya dialek, sosiolek, fungsiolek, dan kronolek.
b. Fungsi bahasa dalam masyarakat yaitu sosiolinguistik
mengembangkan pengertian tentang berbagai kategori bahasa nasional, bahasa
resmi,dan bahasa pendidikan.
c. Tata cara penggunaan bahasa oleh masyarakat dan dalam
masyarakat yang meliputi:
·
hubungan bahasa dan budaya
·
pragmatik bahasa
·
kewibahasaan
·
perencanaan bahasa
Wujud penerapan sosiologi
seperti yang dikemukakan oleh Fishman (1972) pada kajian bahasa yang cenderung
makin lama makin mengarah ke dalam lingkup persoalan bahasa makin berfokus pada
soal perbedaan reaksi atau tanggapan yang muncul atau tampak di pusat-pusat
kekuasaan dan di dalam pemantauan usaha pembaruan bahasa yaitu seperti yang
ditegaskan oleh Moeliono bahwa sebagaimana perubahan perilaku kemasyarakatan
dapat dipengaruhi maka sosiolinguistik pun percaya bahwa perilaku kebahasaan
seseorang dapat diubah dan dipengaruhi kebahasaannya. Dalam kaitannya dengan
perencanaan bahasa ia memberikan pula penegasan bahwa perbedaan ancangan
terhadap bahasa yang dipandang dari sudut struktur dan fungsi kemasyarakatan
yang menimbulkan cabang ilmu yang baru disebut perencanaan bahasa.
Ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa ancangan sosiolinguisitik
kurang dapat diandalkan untuk memecahkan masalah-masalah perencanaan bahasa
atau hubungannya dengan manusia dengan bahasa dengan pemakaian bahasanya. Salah
satunya yaitu Suharmo (1985) yang lebih cenderung kepada penggunaan ancangan
linguistik struktural karena beberapa alasan yaitu: Bahasa adalah suatu bagian
dari fenomena tingkah laku manusia yang terikat erat dengan nilai oleh suatu
hubungan yang serasi dan semua terjadi oleh adanya pemancar dan penerima yaitu
anggota masyarakat sehingga istilah sosiolinguistiknya terlalu berlebihan.
B. Permasalahan bahasa yang ada di
Indonesia
Situasi kebahasaan di Indonesia amat kompleks karena
terdapat sejumlah besar bahasa di Indonesia tercinta ini. Di dalam kehidupan
sosial serta aktivitas sehari-hari anggota masyarakatnya, di samping BI,
dipakai juga bahasa-bahasa daerah (BD) yang konon lebih dari 760-an jumlahnya,
beserta variasi-variasinya, dan bahasa asing (BA) tertentu sesuai dengan
fungsi, situasi, serta konteks berbahasa. BI berkedudukan sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara/bahasa resmi, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai
bahasa komunikasi intraderah, dan bahasa asing berfungsi sebagai bahasa
komunikasi internasional umum.
Situasi kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan
di atas, jika dipandang dari sudut masyarakat itu atau adanya lebih dari satu
bahasa dalam masyarakat itu, dapatdisebut bilingualisme.. Sehubungan
dengan kedudukan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, serta
adanya kontak antarbahasa daerah di dalam daerah atau wilayah yang sama, banyak
anggota masyarakat Indonesia merupakan bilingual secara
perseorangan/individual bilingualism. Selain itu, jika
dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat,
masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi tinggi” dan bahasa daerah
sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan umum, BI
seyogyanya dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa
daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu
bahasa daerah.
Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual
menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara
bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau
kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih
disebut bilingualitas. Kontak yang
intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang
bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung
mengakibatkan timbulnya gejala alih kode
(code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain,
ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk
bilingualisme/multilingualisme.
Alih kode adalah penggunaan
dua bahasa atau variasi bahasa secara berganti-ganti di dalam wacana yang sama.
Ini berarti bahwa si pembicara/bilingual itu beralih dari perangkat sistem
bahasa yang satu ke perangkat sistem bahasa yang lain, seperti dari BI ke BD
atau ke BA; dapat juga dari ragam formal ke ragam santai atau dari satu dialek
ke dialek lainnya. Dengan kata lain, penutur yang menggunakan alih
kode itu merupakan seorang bilingual tinggi (imbang). Alih
kode terjadi karena dorongan psikologis serta faktor sosial dan situasional,
seperti tuntutan suasana tutur, misalnya emosional, ingin berpamer/prestise,
atau karena identitas dan hubungan interlokutor, misalnya
sama etniknya, atau karena seting/domain peristiwa
tutur dan topik pembicaraan dari
yang resmi ke takresmi; misalnya dari dalam ke luar studio, seperti di lapangan
TKP, dari topik kedinasan ke topik umum, atau sebaliknya. Bentuk linguistiknya
bisa terjadi dalam tataran intra- dan antarkalimat; dalam intrakalimat alih
kode itu berupa frasa atau klausa; dalam antarkalimat berupa kalimat. (Contoh
dapat dilihat dalam Bagian II.)
Campur kode berbeda dari alih
kode; campur kode adalah pengambilan elemen secara tetap dari bahasa lain ke
dalam bahasa yang sedang dipakai karena tidak ada elemen yang tepat dalam
bahasa yang dipakainya itu. Dengan kata lain, elemen yang diambil itu milik
sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk
menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor
situasional .
seorang
bilingual/multilingual. Inteferensi terjadi pada semua tingkat unsur
kebahasaan: pada tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, atau tata arti
kata. Timbulnya ragam bahasa takresmi dapat dikatakan sebagai akibat
interferensi ini. Gejala ini tidak menguntungkan bagi perkembangan BI karena
mengacaukan norma BI.
Dengan gambaran situasi kebahasaan dikemukakan di
atas, tampak bahwa bilingualisame/multilingualisme itu sendiri sudah menjadi
permasalahan utama dalam berbahasa. Begitu juga domain/ranah pemakaian bahasa, yaitu tingkah laku
kebahasaan dalam hubungannya dengan situasi atau tempat suatu ragam bahasa
tertentu digunakan. Ranah pemakaian bahasa terdiri dari sembilan jenis:
(1) keluarga/family,
(2) tempat bermain/play group dan jalan,
(3) sekolah/school,
(4) gereja (church),
(5)kesusatraan/literature,
(6) media massa/the press,
(7) pengadilan/court,
(8) militer/military, dan
(9) administrasi pemerintahan/office (Fishman, 1972).
Hymes berpandangan bahwa
faktor sosial yang mempengaruhi perbedaan-perbedaan kebahasaan itu adalah apa
yang disebut komponen SPEAKING, yaitu:
Setting: tempat (di
warteg, kantin, kafe, restoran; tempat ibadat; tempat rekreasi; di rumah,
pasar, sekolah, kantor, studio penyiaran, pengadilan, tempat olahraga); waktu (waktu senggang/waktu kerja); situasi (resmi/takresmi)
Participants: orang yang
terlibat dalam tidakkomunikasi (khususnya lawan bicara) dengan variabel umur
(kanak-kanak,remaja, dewasa, orang tua); jenis kelamin/gender: lelaki dan
perempuan; lokasi (sekolah/liuar sekolah); keadaan sosial ekonomi (kaya,
menegah, miskin); pendidikan (TK/SD/SLTP/SLTA/PT/Universitas); pekerjaan
(pegawai/karyawan, buruh, PNS/Swasta/ABRI); organisasi, suku, agama, dan
keturunan; jarak sosial (atasan/bawahan), buta huruf, terdidik; etnik/bahasa
ibu:Jawa, Sunda, Bali, Makassar, dan Bugis; bangsa:Arab, Cina, dst.
Ends: tujuan yang hendak
dicapai, harapan terhadap tujuan yang dikomunikasikan; sekadar menyampaikan
informasi/untuk mempengaruhi
Act sequence: yang hendak
dikomunikasikan (pikiran, perasaan, keinginan, keluhan, makian; medium
komunikasi (lisan/tulis)
Key: bagaimana
komunikasi itu berlangsung: santai, akrab, resmi, berjarak, lama tidak
berjumpa, jujur, ada yang harus disembunyikan
Instruments: saluran yang
dipilih: verbal, nonverbal (dengan dialek, idiolek, sosiolek, fungsiolek)
Norms: membuka suatu
komunikasi; bagaimana menjaga agar komunikasi tetap berlangsung; bagaimana
menyelesaikan sebuah komunikasi
Genres: bentuk yang harus
dipilih: puisi, doa, surat resmi, surat pribadi, cerita, peribahasa, pidato,
laporan, tanya-jawab, diskusi, ceramah
C.Tata cara bahasa yang baik dan
benar
Ada lima laras bahasa
yang dapat digunakan sesuai situasi. Berturut-turut sesuai derajat
keformalannya, ragam tersebut dibagi sebagai berikut.
1. Ragam beku (frozen); digunakan pada situasi hikmat dan sangat
sedikit memungkinkan keleluasaan seperti pada kitab suci, putusan pengadilan,
dan upacara pernikahan.
2. Ragam resmi (formal); digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada
pidato, rapat resmi, dan jurnal ilmiah.
3. Ragam konsultatif (consultative); digunakan dalam pembicaraan yang
terpusat pada transaksi atau pertukaran informasi seperti dalam percakapan di
sekolah dan di pasar.
4. Ragam santai (casual); digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat
digunakan oleh orang yang belum tentu saling kenal dengan akrab.
5. Ragam akrab (intimate). digunakan di antara orang yang memiliki
hubungan yang sangat akrab dan intim.
Bahasa yang benar adalah bahasa
yang sesuai dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah untuk bahasa baku tertulis
maupun bahasa baku lisan. Ciri-ciri ragam bahasa baku adalah sebagai berikut.
Penggunaan kaidah tata bahasa normatif.
Misalnya dengan penerapan pola kalimat yang baku: acara itu sedang kami ikuti dan bukan acara itu kami sedang ikuti.
1. Penggunaan kata-kata baku.
Misalnya cantik sekali dan
bukan cantik banget; uang dan bukan duit;
serta tidak mudah dan bukan nggak gampang.
2. Penggunaan ejaan resmi dalam
ragam tulis. Ejaan yang kini berlaku dalam bahasa Indonesia adalah ejaan yang disempurnakan (EYD). Bahasa baku harus mengikuti aturan ini.
3. Penggunaan lafal baku dalam
ragam lisan. Meskipun hingga saat ini belum ada lafal baku yang sudah
ditetapkan, secara umum dapat dikatakan bahwa lafal baku adalah lafal yang
bebas dari ciri-ciri lafal dialek setempat atau bahasa daerah. Misalnya: /atap/
dan bukan /atep/; /habis/ dan bukan /abis/; serta /kalaw/ dan bukan /kalo/.
4. Penggunaan kalimat secara
efektif. Di luar pendapat umum yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia itu
bertele-tele, bahasa baku sebenarnya mengharuskan komunikasi efektif: pesan
pembicara atau penulis harus diterima oleh pendengar atau pembaca persis sesuai
maksud aslinya.
Dari semua ciri bahasa baku tersebut, sebenarnya
hanya nomor 2 (kata baku) dan nomor 4 (lafal baku) yang paling sulit dilakukan
pada semua ragam. Tata bahasa normatif, ejaan resmi, dan kalimat efektif dapat
diterapkan (dengan penyesuaian) mulai dari ragam akrab hingga ragam beku.
Penggunaan kata baku dan lafal baku pada ragam konsultatif, santai, dan akrab
malah akan menyebabkan bahasa menjadi tidak baik karena tidak sesuai dengan
situasi.
Berbahasa
Indonesia yang baik dan benar Published : Anna Gustiana Sumpah Pemuda merupakan jaringan
pernyataan kebulatan tekad yang dijalin oleh tiga unsur yang berkaitan erat dan
memiliki hubungan timbal balik. Tiga unsur tersebut adalah bertanah air satu
tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa
persatuan bahasa Indonesia. Amran Halim berpendapat bahwa penghayatan dan
penerapan isi dan semangat ketiga unsur itulah yang dimaksud dengan pembinaan
bahasa Indonesia. Dengan kata lain, pembinaan bahasa Indonesia adalah proses sosial
budaya dan kebahasaan yang bertujuan menempatkan bahasa Indonesia pada
kedudukannya yang terhormat dalam kemasyarakatan bangsa Indonesia. Masalah
pembinaan bahasa Indonesia adalah masalah yang menyangkut pemeliharaan bahasa
Indonesia. Sedangkan salah satu wujud pembinaan bahasa Indonesia adalah
terselenggaranya pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar oleh masyarakat
Indonesia.
Dengan demikian,
masalah pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah masalah nasional
Indonesia. Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa cocok dengan situasi
pemakaiannya. Ada dua situasi pemakaian bahasa, yaitu situasi resmi dan tidak
resmi. Situasi resmi adalah situasi kebahasaan yang berkaitan dengan masalah
kedinasan, keilmuan, berbicara di depan umum dan berbicara dengan orang
dihormati misalnya mengajar, surat-menyurat, membuat laporan, karya ilmiah,
berbicara dengan atasan dan guru. Pada situasi seperti ini selain sebagai alat
komunikasi, bahasa juga sebagai alat untuk menyampaikan gagasan. Karena itu,
perlu menggunakan bahasa baku. Sedangkan situasi tidak resmi adalah pemakaian
bahasa dalam pergaulan sehari-hari dengan masalah pokok keseharian. Obrolan di
warung, tawar-menawar di pasar adalah contoh situasi kebahasaan tidak resmi.
Pada situasi seperti ini, bahasa hanyalah merupakan alat komunikasi. Asal lawan
bicara memahami maksud pembicaraan memadailah bahasa tersebut.
Penyimpangan
kaidah bukanlah hal yang tercela benar, asal pelanggaran tidak mengubah makna.
Bahkan penyisipan bahasa asing atau daerah bukanlah suatu hal yang tidak
mustahil. Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang
penggunaannya selalu menaati kaidah bahasa Indonesia (baku). Menurut Suwito,
ada beberapa ciri kebahasaan ragam baku antara lain kebakuan ejaan, peristilahan,
kosakata, tata bahasa dan lafal. Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa
Indonesia yang tata cara dan tertib penulisannya mengikuti ejaan bahasa
Indonesia yang disempurnakan serta tertib dalam pembentukan istilahnya yang
berpedoman kepada pedoman umum pembentukan istilah bahasa Indonesia.
Bahasa baku harus
menggunakan kata-kata baku seperti bagaimana, mengapa, memberi bukannya gimana,
kenapa, kasih dan sebagainya. Selain itu, bahasa baku harus taat asas pada
kaidah ketatabahasaan yaitu konsisten menggunakan hukum diterangkan menerangkan
pada pembentukan kata serta menggunakan subjek predikat dalam pembentukan
kalimat. Pada bahasa lisan, ragam baku bahasa Indonesia adalah ragam bahasa
yang relatif bebas dari atau sesedikit mungkin diwarnai oleh lafal bahasa
daerah atau dialek setempat. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
adalah penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai situasinya dan sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia. Berdasar asumsi ini, ada dua syarat utama yang harus
dipenuhi pemakai bahasa Indonesia agar pemakaian bahasa Indonesia-nya baik dan
benar.
Syarat tersebut
adalah memahami secara baik kaidah bahasa Indonesia dan memahami benar situasi
kebahasaan yang dihadapi. Seseorang yang menggunakan bahasa baku dalam situasi
resmi dan menggunakan ragam tidak baku dalam situasi tidak resmi adalah orang
yang mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar karena sesuai
dengan fungsi dan situasinya. Agar bisa memakai bahasa Indonesia secara baik
dan benar, maka perlu adanya sikap positif para pemakai bahasa Indonesia.
Menurut Garvin dan Mathiot, sikap ini setidaknya mengandung tiga ciri pokok
yaitu kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa dan kesadaran akan adanya norma
bahasa.
Kesetiaan adalah
sikap yang mendorong masyarakat untuk mempertahankan kemandirian bahasanya.
Kebanggaan bahasa adalah sikap yang mendorong orang atau sekelompok menjadikan
bahasanya sebagai identitas pribadi atau kelompoknya sekaligus membedakan
dengan yang lain. Sedangkan kesadaran adanya norma adalah sikap yang mendorong
penggunaan bahasa secara cermat, korek, santun dan layak. Kesadaran demikian
merupakan faktor yang menentukan dalam perilaku tutur. Sikap tidak ada gairah
untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, mengalihkan kebanggaan kepada
bahasa lain yang bukan miliknya dan sikap tidak memelihara cermat bahasa dan
santun bahasanya harus dicegah karena akan merugikan pertumbuhan dan
perkembangan bahasa Indonesia. Karena itu, sebagai wujud penghargaan dan
perhormatan terhadap pahlawan bangsa yang telah mencetuskan ikrar Sumpah
Pemuda, marilah kita tumbuh kembangkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia
dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Situasi
kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan di atas, jika dipandang dari sudut masyarakat
itu atau adanya lebih dari satu bahasa dalam masyarakat itu, dapat
disebut bilingualisme secara kemasyarakatan/societal
bilingualism. Sehubungan dengan kedudukan BI sebagai bahasa
nasional dan bahasa resmi kenegaraan, serta adanya kontak antarbahasa daerah di
dalam daerah atau wilayah yang sama, banyak anggota masyarakat Indonesia
merupakan bilingual secara perseorangan/individual bilingualism. Selain
itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam
masyarakat, masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi tinggi” dan bahasa daerah
sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan umum, BI
seyogianya dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa
daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu
bahasa daerah.
Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual
menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara
bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau
kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih
disebut bilingualitas. Kontak yang
intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang
bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung
mengakibatkan timbulnya gejala alih kode
(code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain,
ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk
bilingualisme/multilingualisme.
Ada lima laras bahasa
yang dapat digunakan sesuai situasi. Berturut-turut sesuai derajat
keformalannya, ragam tersebut dibagi sebagai berikut.
1. Ragam beku (frozen); digunakan pada situasi hikmat dan sangat
sedikit memungkinkan keleluasaan seperti pada kitab suci, putusan pengadilan,
dan upacara pernikahan.
2. Ragam resmi (formal); digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada
pidato, rapat resmi, dan jurnal ilmiah.
3. Ragam konsultatif (consultative); digunakan dalam pembicaraan yang
terpusat pada transaksi atau pertukaran informasi seperti dalam percakapan di
sekolah dan di pasar.
4. Ragam santai (casual); digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat
digunakan oleh orang yang belum tentu saling kenal dengan akrab.
5. Ragam akrab (intimate). digunakan di antara orang yang memiliki
hubungan yang sangat akrab dan intim.
B SARAN
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga
bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti,
dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan
kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.ums.ac.id/53776/3/BAB%20I.pdf
https://lpds.or.id/kajian/bahasa-media/permasalahan-berbahasa-bagian-i/
file:///C:/Users/user/Downloads/adoc.pub_situasi-kebahasaan-dalam-bahasa-indonesia-a-aspek-.pdf
https://beritagar.id/artikel/tabik/bahasa-indonesia-yang-baik-dan-benar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar