Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH SITUASI KEBAHASAAN DI INDONESIA

 

BAB  I

PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesama. Bahasa merupakan ciri khas yang dimiliki manusia yang membedakan dengan makluk lain. Pada umumnya manusia hidup dalam ikatan suatu masyarakat. Karena manusia senantiasa bergaul, gotong royong dan bekerja sama untuk kepentingan bersama pula, sehingga manusia membutuhkan pemakaian bahasa. Tanpa adanya bahasa manusia akan mengalami berbagai kendala, dalam menyelesaikan segala keperluan dan kepentingannya.

 Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling praktis dan sempurna untuk mengungkapkan ide, gagasan, maksud, realitas dan perasaan. Bahasa dalam masyarakat sosial selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi dalam suatu masyarakat.

Bahasa Indonesia memiliki status sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang kebanggaan nasional, (b) lambang identitas nasional, (c) alat pemersatu masyarakat, (d) alat perhubungan budaya. Sedangkan sebagai bahasa negara bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) bahasa resmi kenegaraan, (b) bahasa pengantar resmi lembaga pendidikan, (c) bahasa resmi perhubungan nasional, (d) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi modern Tasai (2000:10-11.

 Bahasa sebagai media komunikasi tidak terlepas dari kegiatan manusia sebagai makhluk bermasyarakat dan berbudaya. Arifin (2011:96) menyatakan ‘Language is always developed and changed’ yang berarti bahasa akan selalu berkembang dan berubah. Kehidupan manusia dalam masyarakat akan selalu berubah, maka bahasa menjadi turut berubah, tidak tetap, tidak statis.

Perubahan bahasa bisa terjadi dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikon. Dalam fonologi misalnya, dulu bahasa Indonesia belum mengenal fonem /sy/, /f/, dan /kh/. Fonem itu dianggap sebagai /s/, /p/, dan /k/. Perubahan paling banyak terjadi dalam bidang leksikon dan semantik, yang diakibatkan adanya perubahan budaya dan ilmu, atau adanya kata-kata lama muncul dengan makna baru (Chaer, 2007:53).

Indonesia merupakan negara multilingual. Jumlah penduduk yang besar serta adanya beragam suku dan budaya dengan sendirinya terdapat beragam bahasa untuk berkomunikasi terdapat lebih dari 400 suku dan lebih dari 200 bahasa juga dialek di Indonesia. Selain bahasa Indonesia terdapat beragam bahasa daerah, dialek, bahkan bahasa asing yang digunakan oleh masyarakat. Anggota masyarakat akan cenderung menggunakan dua bahasa atau lebih sesuai dengan kebutuhannya. Bahasa-bahasa tersebut akan saling mempengaruhi hingga terjadi yang disebut bilingualisme dan multilinguisme serta beragam kasusnya seperti alih kode, interferensi, integrasi, dan campurkode.

Kondisi kebahasaan karena pengaruh bahasa lain ini memunculkan adanya variasi pemakaian bahasa yang menyebabkan situasi kebahasaan dalam masyarakat menjadi cukup rumit. Adanya variasi tersebut menunjukkan bahwa pemakaian bahasa itu bersifat heterogen. Pemakai bahasa dituntut dapat memilih kode bahasa dengan tepat sehingga komunikasi dapat berjalan dengan lancar.

b.      Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud situasi kebahasaan?

2.      Apa permasalahan bahasa yang sering muncul di Indonesia ?

3.      Jelaskan tata cara bahasa yang baik dan benar !

 

 

c.       Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui situasi kebahasaan

2.      Untuk mengetahui permasalahan bahasa yang sering muncul di Indonesia

3.      Untuk mengetahui tata cara bahasa yang baik dan benar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Situasi Kebahasaan

 Situasi kebahasaan di Indonesia meliputi ,Aspek Sosiolinguistik Bahasa adalah sesuatu yang hidup. Sebagai sesuatu yang hidup, ia tentu mengalami perkembangan. Dan, perkembangan berarti perubahan. Perubahan itu terjadi, oleh karena bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Keterikatan dan keterkaitan bahasa dengan manusia itulah yang mengakibatkan bahasa itu menjadi tidak statis, atau meminjam istilah Chaer (1994:53) bahwa bahasa itu dinamis. Dalam perkembangannya, studi-studi yang dilakukan terhadap bahasa tidak lagi terbatas hanya pada aspek kaidah-kaidahnya (sistem linguistiknya) saja, namun telah berkembang pada kajian bahasa dengan melihat aspek sosialnya. Demikian pula prinsip kodifikasi bahasa semakin terbuka berdasarkan pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Situasi kebahasaan memiliki perlakuan yang berbeda mengenai pemakaiannya. Para ahli sepakat bahwa bahasa merupakan gejala sosial sehingga lahirlah suatu cabang ilmu yang disebut sosiolinguistik.

Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa itu dinamis dan bahkan demokratis sehingga untuk menyikapi bahasa itu mestilah terbuka terhadap perkembangan atau perubahan bahasa. Tallei (1997), juga memberi penjelasan bahwa pembahasan aspek sosiolinguistik dalam studi bahasa dikembangkan sejak dimunculkannya istilah konteks dan komunikatif dalam pembelajaran bahasa. Dari uraian di atas jelaslah bahwa sosiolinguistik memberikan penekanan pada aspek pemakaian bahasa yang aktual di masyarakat. Artinya, bahasa dalam pandangan sosiolingiustik adalah keaktifan kemasyaratakan yang berkembang dari ke hari. Bahasa dapat berkembang dengan menerima unsur-unsur pinjaman dari luar ataupun secara kreatif mengembangkan unsur-unsur yang telah lama ada dalam dirinya; memperkaya dirinya, untuk memperoleh perkenalan yang lebih luas.

Sosiolinguistik bertujuan untuk memahami:

 1. pemakai bahasa pada umumnya dalam konteks sosial dan kebudayaan.

2. hubungan unsur unsur kebudayaan dengan situasi unsur-unsur sosial budaya. 3. ragam bahasa yang disebabkan oleh diversifikasi pemakai bahasa.

4. ragam bahasa yang disebabkan oleh tingkat-tingkat sosial pemakai bahasa.

 5. sikap bahasa.

 6. fungsi-fungsi sosial bahasa.

 7. keutuhan bahasa.

Guru pada umumnya perlu mempelajari sosiolinguistik akan sangat membantu guru ketika menghadapi siswanya yang mempunyai latar bahasa yang berbeda sehingga membuat guru perlu mempelajari sosiolinguistik agar dapat menghadapi masalah kebahasaan yang digunakan oleh siswanya, kedwibahasaan dan variasi bahasa yang mempunyai relevansi terhadap pengajaran bahasa. Diharapkan bahwa dengan hasil pengkajian sosiolinguistik dapat membuat guru menyesuaikan bahasa yang digunakannya terhadap siswanya dan juga agar guru tidak terbawa oleh arus sosiolinguistik yang tidak terikat oleh kaidah kebahasaan. Karena yang terpenting adalah bahasa yang digunakan tersebut dapat mencapai tujuan fungsional bahasa. Seorang guru harus dapat semaksimal mungkin menggunakan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yaitu guru yang mempunyai tugas sebagai Pembina bahasa harus dapat menggunakan bahasa yang baik dan benar dengan tidak menyimpang dari kaidah, efektif, dan tepat pilihan kata-katanya sehingga siswanya mampu berkomunikasi dengan baik juga mudah untuk dipahami serta enak didengar.

Ancangan sosiolinguistik di dalam Kajian Perencanaan Bahasa Labov (1972) mengemukakan bahwa sebuah variabel sosiolinguistik mempunyai hubungan yang bersifat serentak dengan sejumlah variable nonlinguistik dalam konteks sosial tertentu misalnya penutur, lawan tutur, pendengar, dan latar. Sejalan dengan hal tersebut, Nababan menyebutkan tiga bidang pokok kajian sosiolinguistik yaitu:

 a. Pengaruh masyarakat dan/atau anggota masyarakat atas bahasa yang menghasilkan pengetahuan tentang variasi dan/atau ragam bahasa baik yang bersifat internal misalnya variasi yang terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan sebagainya maupun yang bersifat eksternal misalnya dialek, sosiolek, fungsiolek, dan kronolek.

b. Fungsi bahasa dalam masyarakat yaitu sosiolinguistik mengembangkan pengertian tentang berbagai kategori bahasa nasional, bahasa resmi,dan bahasa pendidikan.

c. Tata cara penggunaan bahasa oleh masyarakat dan dalam masyarakat yang meliputi:

·         hubungan bahasa dan budaya

·         pragmatik bahasa

·         kewibahasaan

·         perencanaan bahasa

 Wujud penerapan sosiologi seperti yang dikemukakan oleh Fishman (1972) pada kajian bahasa yang cenderung makin lama makin mengarah ke dalam lingkup persoalan bahasa makin berfokus pada soal perbedaan reaksi atau tanggapan yang muncul atau tampak di pusat-pusat kekuasaan dan di dalam pemantauan usaha pembaruan bahasa yaitu seperti yang ditegaskan oleh Moeliono bahwa sebagaimana perubahan perilaku kemasyarakatan dapat dipengaruhi maka sosiolinguistik pun percaya bahwa perilaku kebahasaan seseorang dapat diubah dan dipengaruhi kebahasaannya. Dalam kaitannya dengan perencanaan bahasa ia memberikan pula penegasan bahwa perbedaan ancangan terhadap bahasa yang dipandang dari sudut struktur dan fungsi kemasyarakatan yang menimbulkan cabang ilmu yang baru disebut perencanaan bahasa.

Ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa ancangan sosiolinguisitik kurang dapat diandalkan untuk memecahkan masalah-masalah perencanaan bahasa atau hubungannya dengan manusia dengan bahasa dengan pemakaian bahasanya. Salah satunya yaitu Suharmo (1985) yang lebih cenderung kepada penggunaan ancangan linguistik struktural karena beberapa alasan yaitu: Bahasa adalah suatu bagian dari fenomena tingkah laku manusia yang terikat erat dengan nilai oleh suatu hubungan yang serasi dan semua terjadi oleh adanya pemancar dan penerima yaitu anggota masyarakat sehingga istilah sosiolinguistiknya terlalu berlebihan.

B. Permasalahan bahasa yang ada di Indonesia

Situasi kebahasaan di Indonesia amat kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa di Indonesia tercinta ini. Di dalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari-hari anggota masyarakatnya, di samping BI, dipakai juga bahasa-bahasa daerah (BD) yang konon lebih dari 760-an jumlahnya, beserta variasi-variasinya, dan bahasa asing (BA) tertentu sesuai dengan fungsi, situasi, serta konteks berbahasa. BI berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara/bahasa resmi, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa komunikasi intraderah, dan bahasa asing berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional umum.

Situasi kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan di atas, jika dipandang dari sudut masyarakat itu atau adanya lebih dari satu bahasa dalam masyarakat itu, dapatdisebut bilingualisme.. Sehubungan dengan kedudukan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, serta adanya kontak antarbahasa daerah di dalam daerah atau wilayah yang sama, banyak anggota masyarakat Indonesia merupakan bilingual secara perseorangan/individual bilingualism. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi tinggi” dan bahasa daerah sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan umum, BI seyogyanya dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.

Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih disebut bilingualitas. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme.

Alih kode adalah penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa secara berganti-ganti di dalam wacana yang sama. Ini berarti bahwa si pembicara/bilingual itu beralih dari perangkat sistem bahasa yang satu ke perangkat sistem bahasa yang lain, seperti dari BI ke BD atau ke BA; dapat juga dari ragam formal ke ragam santai atau dari satu dialek ke dialek lainnya. Dengan kata lain, penutur yang menggunakan alih kode itu merupakan seorang bilingual tinggi (imbang). Alih kode terjadi karena dorongan psikologis serta faktor sosial dan situasional, seperti tuntutan suasana tutur, misalnya emosional, ingin berpamer/prestise, atau karena identitas dan hubungan interlokutor, misalnya sama etniknya, atau karena seting/domain peristiwa tutur dan topik pembicaraan dari yang resmi ke takresmi; misalnya dari dalam ke luar studio, seperti di lapangan TKP, dari topik kedinasan ke topik umum, atau sebaliknya. Bentuk linguistiknya bisa terjadi dalam tataran intra- dan antarkalimat; dalam intrakalimat alih kode itu berupa frasa atau klausa; dalam antarkalimat berupa kalimat. (Contoh dapat dilihat dalam Bagian II.)

Campur kode berbeda dari alih kode; campur kode adalah pengambilan elemen secara tetap dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang dipakai karena tidak ada elemen yang tepat dalam bahasa yang dipakainya itu. Dengan kata lain, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor situasional .

seorang bilingual/multilingual. Inteferensi terjadi pada semua tingkat unsur kebahasaan: pada tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, atau tata arti kata. Timbulnya ragam bahasa takresmi dapat dikatakan sebagai akibat interferensi ini. Gejala ini tidak menguntungkan bagi perkembangan BI karena mengacaukan norma BI.

Dengan gambaran situasi kebahasaan dikemukakan di atas, tampak bahwa bilingualisame/multilingualisme itu sendiri sudah menjadi permasalahan utama dalam berbahasa. Begitu juga domain/ranah pemakaian bahasa, yaitu tingkah laku kebahasaan dalam hubungannya dengan situasi atau tempat suatu ragam bahasa tertentu digunakan. Ranah pemakaian bahasa terdiri dari sembilan jenis:

(1) keluarga/family, 

(2) tempat bermain/play group dan jalan,

(3) sekolah/school, 

(4) gereja (church),

(5)kesusatraan/literature,

 (6) media massa/the press, 

(7) pengadilan/court, 

(8) militer/military, dan

 (9) administrasi pemerintahan/office (Fishman, 1972).

Hymes berpandangan bahwa faktor sosial yang mempengaruhi perbedaan-perbedaan kebahasaan itu adalah apa yang disebut komponen SPEAKING, yaitu:
Setting: tempat (di warteg, kantin, kafe, restoran; tempat ibadat; tempat rekreasi; di rumah, pasar, sekolah, kantor, studio penyiaran, pengadilan, tempat olahraga); waktu (waktu senggang/waktu kerja); situasi (resmi/takresmi)

Participants: orang yang terlibat dalam tidakkomunikasi (khususnya lawan bicara) dengan variabel umur (kanak-kanak,remaja, dewasa, orang tua); jenis kelamin/gender: lelaki dan perempuan; lokasi (sekolah/liuar sekolah); keadaan sosial ekonomi (kaya, menegah, miskin); pendidikan (TK/SD/SLTP/SLTA/PT/Universitas); pekerjaan (pegawai/karyawan, buruh, PNS/Swasta/ABRI); organisasi, suku, agama, dan keturunan; jarak sosial (atasan/bawahan), buta huruf, terdidik; etnik/bahasa ibu:Jawa, Sunda, Bali, Makassar, dan Bugis; bangsa:Arab, Cina, dst.

Ends: tujuan yang hendak dicapai, harapan terhadap tujuan yang dikomunikasikan; sekadar menyampaikan informasi/untuk mempengaruhi

Act sequence: yang hendak dikomunikasikan (pikiran, perasaan, keinginan, keluhan, makian; medium komunikasi (lisan/tulis)

Key: bagaimana komunikasi itu berlangsung: santai, akrab, resmi, berjarak, lama tidak berjumpa, jujur, ada yang harus disembunyikan

Instruments: saluran yang dipilih: verbal, nonverbal (dengan dialek, idiolek, sosiolek, fungsiolek)

Norms: membuka suatu komunikasi; bagaimana menjaga agar komunikasi tetap berlangsung; bagaimana menyelesaikan sebuah komunikasi

Genres: bentuk yang harus dipilih: puisi, doa, surat resmi, surat pribadi, cerita, peribahasa, pidato, laporan, tanya-jawab, diskusi, ceramah

 

 

C.Tata cara bahasa yang baik dan benar

Ada lima laras bahasa yang dapat digunakan sesuai situasi. Berturut-turut sesuai derajat keformalannya, ragam tersebut dibagi sebagai berikut.

1.      Ragam beku (frozen); digunakan pada situasi hikmat dan sangat sedikit memungkinkan keleluasaan seperti pada kitab suci, putusan pengadilan, dan upacara pernikahan.

2.      Ragam resmi (formal); digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato, rapat resmi, dan jurnal ilmiah.

3.      Ragam konsultatif (consultative); digunakan dalam pembicaraan yang terpusat pada transaksi atau pertukaran informasi seperti dalam percakapan di sekolah dan di pasar.

4.      Ragam santai (casual); digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat digunakan oleh orang yang belum tentu saling kenal dengan akrab.

5.      Ragam akrab (intimate). digunakan di antara orang yang memiliki hubungan yang sangat akrab dan intim.

Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah untuk bahasa baku tertulis maupun bahasa baku lisan. Ciri-ciri ragam bahasa baku adalah sebagai berikut.

Penggunaan kaidah tata bahasa normatif. Misalnya dengan penerapan pola kalimat yang baku: acara itu sedang kami ikuti dan bukan acara itu kami sedang ikuti.

1.      Penggunaan kata-kata baku. Misalnya cantik sekali  dan bukan cantik bangetuang dan bukan duit; serta tidak mudah dan bukan nggak gampang.

2.      Penggunaan ejaan resmi dalam ragam tulis. Ejaan yang kini berlaku dalam bahasa Indonesia adalah ejaan yang disempurnakan (EYD). Bahasa baku harus mengikuti aturan ini.

3.      Penggunaan lafal baku dalam ragam lisan. Meskipun hingga saat ini belum ada lafal baku yang sudah ditetapkan, secara umum dapat dikatakan bahwa lafal baku adalah lafal yang bebas dari ciri-ciri lafal dialek setempat atau bahasa daerah. Misalnya: /atap/ dan bukan /atep/; /habis/ dan bukan /abis/; serta /kalaw/ dan bukan /kalo/.

4.      Penggunaan kalimat secara efektif. Di luar pendapat umum yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia itu bertele-tele, bahasa baku sebenarnya mengharuskan komunikasi efektif: pesan pembicara atau penulis harus diterima oleh pendengar atau pembaca persis sesuai maksud aslinya.

Dari semua ciri bahasa baku tersebut, sebenarnya hanya nomor 2 (kata baku) dan nomor 4 (lafal baku) yang paling sulit dilakukan pada semua ragam. Tata bahasa normatif, ejaan resmi, dan kalimat efektif dapat diterapkan (dengan penyesuaian) mulai dari ragam akrab hingga ragam beku. Penggunaan kata baku dan lafal baku pada ragam konsultatif, santai, dan akrab malah akan menyebabkan bahasa menjadi tidak baik karena tidak sesuai dengan situasi.

Berbahasa Indonesia yang baik dan benar Published :  Anna Gustiana Sumpah Pemuda merupakan jaringan pernyataan kebulatan tekad yang dijalin oleh tiga unsur yang berkaitan erat dan memiliki hubungan timbal balik. Tiga unsur tersebut adalah bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Amran Halim berpendapat bahwa penghayatan dan penerapan isi dan semangat ketiga unsur itulah yang dimaksud dengan pembinaan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, pembinaan bahasa Indonesia adalah proses sosial budaya dan kebahasaan yang bertujuan menempatkan bahasa Indonesia pada kedudukannya yang terhormat dalam kemasyarakatan bangsa Indonesia. Masalah pembinaan bahasa Indonesia adalah masalah yang menyangkut pemeliharaan bahasa Indonesia. Sedangkan salah satu wujud pembinaan bahasa Indonesia adalah terselenggaranya pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar oleh masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, masalah pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah masalah nasional Indonesia. Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa cocok dengan situasi pemakaiannya. Ada dua situasi pemakaian bahasa, yaitu situasi resmi dan tidak resmi. Situasi resmi adalah situasi kebahasaan yang berkaitan dengan masalah kedinasan, keilmuan, berbicara di depan umum dan berbicara dengan orang dihormati misalnya mengajar, surat-menyurat, membuat laporan, karya ilmiah, berbicara dengan atasan dan guru. Pada situasi seperti ini selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga sebagai alat untuk menyampaikan gagasan. Karena itu, perlu menggunakan bahasa baku. Sedangkan situasi tidak resmi adalah pemakaian bahasa dalam pergaulan sehari-hari dengan masalah pokok keseharian. Obrolan di warung, tawar-menawar di pasar adalah contoh situasi kebahasaan tidak resmi. Pada situasi seperti ini, bahasa hanyalah merupakan alat komunikasi. Asal lawan bicara memahami maksud pembicaraan memadailah bahasa tersebut.

Penyimpangan kaidah bukanlah hal yang tercela benar, asal pelanggaran tidak mengubah makna. Bahkan penyisipan bahasa asing atau daerah bukanlah suatu hal yang tidak mustahil. Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya selalu menaati kaidah bahasa Indonesia (baku). Menurut Suwito, ada beberapa ciri kebahasaan ragam baku antara lain kebakuan ejaan, peristilahan, kosakata, tata bahasa dan lafal. Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang tata cara dan tertib penulisannya mengikuti ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan serta tertib dalam pembentukan istilahnya yang berpedoman kepada pedoman umum pembentukan istilah bahasa Indonesia.

Bahasa baku harus menggunakan kata-kata baku seperti bagaimana, mengapa, memberi bukannya gimana, kenapa, kasih dan sebagainya. Selain itu, bahasa baku harus taat asas pada kaidah ketatabahasaan yaitu konsisten menggunakan hukum diterangkan menerangkan pada pembentukan kata serta menggunakan subjek predikat dalam pembentukan kalimat. Pada bahasa lisan, ragam baku bahasa Indonesia adalah ragam bahasa yang relatif bebas dari atau sesedikit mungkin diwarnai oleh lafal bahasa daerah atau dialek setempat. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai situasinya dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Berdasar asumsi ini, ada dua syarat utama yang harus dipenuhi pemakai bahasa Indonesia agar pemakaian bahasa Indonesia-nya baik dan benar.

Syarat tersebut adalah memahami secara baik kaidah bahasa Indonesia dan memahami benar situasi kebahasaan yang dihadapi. Seseorang yang menggunakan bahasa baku dalam situasi resmi dan menggunakan ragam tidak baku dalam situasi tidak resmi adalah orang yang mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar karena sesuai dengan fungsi dan situasinya. Agar bisa memakai bahasa Indonesia secara baik dan benar, maka perlu adanya sikap positif para pemakai bahasa Indonesia. Menurut Garvin dan Mathiot, sikap ini setidaknya mengandung tiga ciri pokok yaitu kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa dan kesadaran akan adanya norma bahasa.

Kesetiaan adalah sikap yang mendorong masyarakat untuk mempertahankan kemandirian bahasanya. Kebanggaan bahasa adalah sikap yang mendorong orang atau sekelompok menjadikan bahasanya sebagai identitas pribadi atau kelompoknya sekaligus membedakan dengan yang lain. Sedangkan kesadaran adanya norma adalah sikap yang mendorong penggunaan bahasa secara cermat, korek, santun dan layak. Kesadaran demikian merupakan faktor yang menentukan dalam perilaku tutur. Sikap tidak ada gairah untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, mengalihkan kebanggaan kepada bahasa lain yang bukan miliknya dan sikap tidak memelihara cermat bahasa dan santun bahasanya harus dicegah karena akan merugikan pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Karena itu, sebagai wujud penghargaan dan perhormatan terhadap pahlawan bangsa yang telah mencetuskan ikrar Sumpah Pemuda, marilah kita tumbuh kembangkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.     KESIMPULAN

            Situasi kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan di atas, jika dipandang dari sudut masyarakat itu atau adanya lebih dari satu bahasa dalam masyarakat itu, dapat disebut bilingualisme secara kemasyarakatan/societal bilingualism. Sehubungan dengan kedudukan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, serta adanya kontak antarbahasa daerah di dalam daerah atau wilayah yang sama, banyak anggota masyarakat Indonesia merupakan bilingual secara perseorangan/individual bilingualism. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi tinggi” dan bahasa daerah sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan umum, BI seyogianya dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.

Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih disebut bilingualitas. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme.

Ada lima laras bahasa yang dapat digunakan sesuai situasi. Berturut-turut sesuai derajat keformalannya, ragam tersebut dibagi sebagai berikut.

1.      Ragam beku (frozen); digunakan pada situasi hikmat dan sangat sedikit memungkinkan keleluasaan seperti pada kitab suci, putusan pengadilan, dan upacara pernikahan.

2.      Ragam resmi (formal); digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato, rapat resmi, dan jurnal ilmiah.

3.      Ragam konsultatif (consultative); digunakan dalam pembicaraan yang terpusat pada transaksi atau pertukaran informasi seperti dalam percakapan di sekolah dan di pasar.

4.      Ragam santai (casual); digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat digunakan oleh orang yang belum tentu saling kenal dengan akrab.

5.      Ragam akrab (intimate). digunakan di antara orang yang memiliki hubungan yang sangat akrab dan intim.

 

B  SARAN

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://eprints.ums.ac.id/53776/3/BAB%20I.pdf

https://docplayer.info/49895962-Situasi-kebahasaan-dalam-bahasa-indonesia-a-aspek-sosiolinguistik-bahasa-adalah-sesuatu-yang-hidup-sebagai-sesuatu-yang-hidup-ia-tentu-mengalami.html

https://lpds.or.id/kajian/bahasa-media/permasalahan-berbahasa-bagian-i/

file:///C:/Users/user/Downloads/adoc.pub_situasi-kebahasaan-dalam-bahasa-indonesia-a-aspek-.pdf

https://beritagar.id/artikel/tabik/bahasa-indonesia-yang-baik-dan-benar

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar