Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH MADZHAH DAN BERMADZHAB

 

A. Pengertian Madzhab

Mazhab (bahasa Arabمذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.

Pengertian ulama fiqih

Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.

Apa itu Mazhab ? Pengertian Mazhab bisa dibagi 2. Ada arti menurut bahasa, ada arti menurut istilah. Berdasarkan bahasa atau dilihat dari kosa kata, mazhab merupakan bentuk isim makan dari kata “dzahaba”, artinya jalan atau tempat yang dilalui, sedangkan menurut istilah ulama ahli fiqih, mazhab adalah mengikuti sesuatu yang dipercayai. 

Lebih lengkapnya pengertian mazhab menurut fiqih adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum sesuatu masalah yang belum ditegaskan oleh nash. Jadi, masalah yang bisa menggunakan metode ijtihad ini adalah yang termasuk kategori dzonni atau prasangka, bukan hal yang qoth’i atau pasti. Jadi tidak benar kalau ada istilah hukum shalat 5 waktu adalah wajib menurut mazhab Syafi’i, karena hukum shalat wajib termasuk kategori qoth’i yang tidak bisa dibantah wajibnya oleh mazhab manapun. Berbeda jika masalah yang dihadapi tentang hal-hal yang asalnya masih samar seperti hukum menyentuh kulit wanita yang bukan muhrim. Karena perbedaan pandangan itulah, maka terjadi perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam lainnya. Hasilnya dinamakan ijtihad Imam Syafi’i yang pasti berbeda dengan ijtihad Imam Hanafi dan Imam lainnya yang menentukan batal atau tidaknya wudhu ketika menyentuh wanita muhrim.

Nah, bagi seorang yang mampu berijtihad dalam menghadapi suatu masalah, maka dia boleh berijtihad dan melaksanakan hasil ijtihad yang ia lakukan, sedangkan bagi mereka yang tidak mampu melakukan ijtihad atau orang awam, maka ia harus mengikuti hasil ijtihad dari salah seorang mujtahid yang ia percayai. Hal ini sejalan dengan Al Qura’an surat An-Nahl ayat 42 43, yang artinya “Bertanyalah kepada ahli dzikri/ulama jika kamu tidak mengerti”.

Menurut Abu Hasan Alkayya, bermazhab ini hukumnya wajib bagi :
1. Orang awam
2. Ulama/ahli fiqih yang belum mencapai derajat mujtahid.

B. Pengertian Bermadzhab

Pada dasarnya untuk mengetahui pengertian “bermadzhab”, adalah sama halnya dengan dua pengertian yang terkandung dalam kata “madzhab”, yang masing-masing dari keduanya berdasarkan pada arti kata “madzhab” itu sendiri, yaitu:

·         Berdasarkan pengertian kata “madzhab” yang pertama; Bermadzhab adalah mengikuti jalan atau metode berfikirnya salah seorang mujtahid dalam mengistinbathkan hukum dari sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.

 

·         Berdasarkan pengertian kata “madzhab” yang kedua; Bermadzhab ialah mengikatkan diri kepada salah seorang imam madzhab (mujtahid) dalam mengamalkan syari’ah Islam berdasarkan fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat imam madzhab tersebut.

 

Dari kedua pengertian ini, maka yang dimaksud dengan bermadzhab di sini adalah bermadzhab dalam pengertian kedua disebabkan pengertian pertama. Para ‘ulama bersepakat bahwa hal tersebut boleh dan tidak akan ada kemungkinan untuk munculnya sikap ta’assub madzhab dikarenakan mengikuti metode atau cara berijtihad para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum syara, yang merupakan perbuatan yang diperintahkan agama. Oleh karena itu, bermadzhab ialah menjalankan syari’ah agama sesuai dengan hasil ijtihadnya imam madzhab (mujtahid) dan hal ini berarti sama dengan bertaqlid dengan hasil ijtihadnya para mujtahid tersebut.

 

Karena itulah, hukum bermadzhab bagi mereka yang belum atau bahkan tidak mampu melakukan ijtihad adalah wajib. Bermadzhab seperti ini bukan berarti tidak mengikuti al-Qur’an dan al-Hadits, sebab dasar ijtihadnya para mujtahid tersebut adalah berasal dari kedua sumber hukum tersebut, yang mereka lakukan jika tidak ditemukan “kepastian hukumnya” dari keduanya secara jelas, dan dalam pengambilan hukumnya tetap berasal dari ajaran Rasul. Jika dianalogikan hal ini laksana orang yang meminum air dari gelas, yang airnya diambil dari sebuah sumur. Bukan berarti orang tersebut tidak meminum air sumur, namun karena orang tersebut tidak langsung minum dari sumur. Sama halnya rakyat yang tunduk kepada pemerintah desa, maka rakyat tersebut tidak bisa dikatakan membangkang atau tidak tunduk kepada pemerintah kecamatan, kabupaten, dan seterusnya.

 

C. Hukum Bermadzhab

Pada beberapa tahun yang silam di Jepang tepatnya di Tokyo diadakan koferensi Islam. Dalam acara itu ada seseorang yang menanyakan bagaimana hukumnya bermazhab, apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti salah satu mazhab yang empat. Pada kesempatan itu tampil Syaikh Muhammad Sulthan Alma’sumi Al Khajandi, seseorang pengajar di Masjidil Haram Makkah. Beliau menyerukan kaum muslimin untuk kembali kepada yang pernah dilakukan oleh umat yang terbaik para sahabat. Beliau menyeru untuk tidak bertaqlid buta (fanatik) pada salah satu mazhab tertentu. Akan tetapi dipersilakan mengambil dari tiap mujtahid atau ahli ijtihad dengan berdasarkan pada Al Quran dan Sunnah sebagai rujukan. Sebab sebenarnya mazhab-mazhab adalah pendapat dan pemahaman orang-orang berilmu dalam beberapa masalah. Pendapat, ijtihad dan pemahaman ini tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk mengikutinya. Karena di dalamnya terdapat kemungkinan betul dan salah. Karena tidak ada pendapat yang seratus persen benar kecuali yang berasal dari Rasulullah SAW.

Sementara itu mengikuti salah satu mazhab yang empat atau lainnya bukanlah persoalan wajib atau sunnah. seseorang muslim tidak diharuskan mengikuti salah satunya. Dan bahkan orang yang mengharuskan untuk mengikuti salah satunya sebenarnya ia seseorang fanatik. Begitulah menurut syekh Sulthan.

Lain lagi pendapat syekh Ramadhan Al Buthi dalam bukunya “Alla Mazhabiyyah, Akhtaru Bida’in Fil Islam” (tidak bermazhab adalah bid’ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyur (mazhab empat). Sebab mazhab-mazhab itu sudah teruji kevalidannya. Namun kendati begitu tidak boleh bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan orang diluar mazhabnya.

Dalam buku tersebut beliau membagi kaum muslimin sekarang menjadi dua golongan. Golongan muttabi’ dan golongan muqallid. Orang yang telah faham (mengerti) Al Quran dan sunnah wajib mengikuti mazhab tertentu sebagai kerangka berfikir, supaya ia tidak jatuh pada kesalahan. Golongan inilah yang disebut muttabi’ sementara orang yang belum faham terhadap Al Quran dan sunnah diharuskan mengikuti Ulama yang dianggap mengerti dalam masalah agama. Golongan yang kedua ini disebut muqallid. Secara implisit beliau meniadakan kelompok yang ketiga, yaitu kelompok mujtahidin. Dengan kata kata lain beliau menutup pintu ijihad untuk masa sekarang. Inilah yang kemudian ditentang oleh Muhammad Abu Abbas dalam bukunya “Al Mazhahibul Muta’ashshabah hiyal Bid’ah aw Bid’atut Ta’ashshubi Al Mazhabi” beliau berpendapat justru pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah membuka pintu ijtihad dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya tidak ada seorangpun yang berhak menutup pintu ijtihad tersebut.

Oleh karena itu Muhammad Abu Abbas membagi kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu mujtahid, muttabi dan muqallid. Bagi mereka  yang telah mampu untuk mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari Al Quran dan Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya bertaklid dalam masalah tersebut (golongan mujtahid). Sedangkan bagi mereka yang hanya mampu untuk mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui metode istimbath (pengambilan hukum) mereka dari Al Quran dan Sunnah maka kewajiban mereka adalah ittiba’. Jelasnya ittiba’ –mengutip perkataan abu Syamah- adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan shah mazhabnya.”

Adapun bagi orang yang betul-betul awam (tidak mengerti dalam masalah agama) BOLEH bagi mereka bertaklid dengan syarat, sebagaimana dikatakan Imam Asysyatibi dalam ali’tishom- (pertama) tidak boleh bertaklid kecuali pada orang yang benar-benar ahli dibidang agama. (kedua) tidak boleh mengikat dirinya serta menutup dirinya dari mengikuti selain mazhabnya, jika telah jelas padanya bahwa pendapat mazhabnya itu salah, maka wajib baginya mengikuti yang telah jelas kebenarannya.

Pendapat yang terakhir inilah yang wasath (pertengahan). Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikkan mereka yang benar-benar awam terhadap agama. Sedangkan mewajibkan taklid dan menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa relevan terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tak bisa dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.

Berarti fenomena bermazhab adalah sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang per orang yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa diharuskan secara mutlak dan tidak bisa dilarang secara mutlak pula. Berkaitan dengan bermazhab ini ada dua hal yang  perlu dijauhi oleh setiap muslim:

1.   Fanatisme (ta’ashshub) terhadap suatu mazhab tertentu seraya memonopoli kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang kecuali Nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid. Karenanya Rasul bersabda: “Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala”

2.   Tatabbu’ rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya. Wallahu a’lam bishawab.

Hukum Bermazhab Dengan Mazhab Tertentu

 1.   Umat Islam pada abad pertama dan abad kedua Hijriah tidak mengenal taklid kepada mazhab dan tidak ada mazhab yang empat pada waktu itu, mereka hanya mengjkuti Sunnah Rasulullah SAW dan mengikuti sunnah Khulafaurrasyidin, mereka melaksanakan ibadah kepada Allah langsung berdasarkan Al Quran dan Hadits, jika mereka tidak mengerti tentang sesuatu hukum mereka akan bertanya pada Ulama, bagaimana hukum ini dan itu menurut Al Quran dan Al Hadits. Mereka tidak menanyakan bagaimana hukumnya ini dan itu menurut pendapat anda.

Bermazhab atau mengenepikan mazhab tertentu itu tidak wajib dan tidak sunnah karena yang dikatakan wajib dan sunnah itu apa-apa yang diwajibkan atau disunnahkan oleh Allah dan Rasulnya. Allah dan Rasul tidak mewajibkan seseorang untuk bermazhab dengan mazhab seseorang lantas dia bertaklid kepadanya dalam  urusan agamanya, kalau bermazhab tertentu itu wajib bagaimana umat Islam yang hidup pada abad pertama dan abad kedua Hijriah, waktu itu belum ada mazhab yang empat. Apakah mereka tidak sah Islamnya karena tidak mengikuti mazhab yang empat? Padahal mereka adalah para sahabat Nabi, Tabi’in, Wa’aman Tabi’ahum, apakah justru mereka yang beribadah kepada Allah langsung berdasarkan Al-Quran dan Al Hadits itu yang sesat dan orang yang mengikuti mazhab tertentu walaupun yang menyalahi Sunnah Rasul itu benar dan dapat hidayah? Fikirkanlah!

2.   Orang yang bertaklid kepada mazhab tidak bertanya bagaimana hukum Allah dan Rasulnya tetapi mereka menanyakan bagaimana pendapat Imam mazhab mengenai ini dan itu. Jika pendapat Imamnya bertentangan dengan kitab Allah dan Rasulnya mereka tidak mau kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul melainkan mereka tetap memegangi pendapat Imam mereka dan meninggalkan Al-Quran dan Sunnah.     Perbuatan mereka yang demikian itu sangat tidak benar karena seolah-olah pendapat Ulama kedudukannya melebihi Al-Quran dan Sunnah. Ini dapat dibayangkan betapa besar dosa dan kesalahan orang yang menganggap lebih mulia pendapat manusia daripada Allah dan Rasul.

“Imam Syafi’i berkata: umat Islam tidak ijmak, bahwa orang yang telah jelas baginya Sunnah Rasul, maka tidak halal baginya meninggalkan Sunnah Rasul karena memegangi ucapan seseorang”. (Halil Muslim, hal. 20)

          Orang yang meninggalkan ucapan Rasul karena ucapan seseorang, berarti menganggap ucapan seseorang itu yang menjadi pokok agamanya, adapun Sunnah Rasul kalau cocok/sesuai dengan ucapan seseorang dari Ulama mazhabnya diterima, kalau tidak cocok/sesuai tidak diterima. Ini berarti pula bahwa orang itu beranggapan seorang Ulama nilainya lebih tinggi daripada Nabi Muhammad SAW.

          Kita membayangkan betapa besar dosanya orang yang berpendapat begitu. Perbuatan yang demikian itu sama halnya dengan perbuatan Yahudi Nasrani yang telah menjadikan Ulama mereka (Pendeta) menjadi Tuhan selain Allah bukan karena mereka menganggap Ulama sebagai Tuhan tetapi karena mereka bertaklid kepada Ulama mereka, menerima dan mengikuti ucapan Ulama tentang hukum agama walaupun bertentangan dengan kitab suci mereka.

          Pada suatu hari Ady Ibnu Hatim seorang pemimpin kaum Tho’yi datang ke Madinah menghadap Rasulullah SAW dan dileher Ady terdapat salib yang terbuat dari perak, waktu itu Nabi sedang membaca Surat At-Taubah ayat 30 “Orang Yahudi berkata:”Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? Berkata Ady innahum lam yak buduhum yang artinya: sesungguhnya Yahudi dan Nasrani itu tidak menyembah kepada mereka (Ulama) atau Pendeta, maka Rasulullah menjawab:

“Bahkan mereka menyembah Ahbar dan Ruhban, sesungguhnya mereka mengharamkan atas mereka barang yang halal dan menghalalkan untuk mereka barang yang haram, maka orang Yahudi dan Nasrani mengikuti mereka, maka yang demikian itu ibadah mereka kepada Ahbar dan Ruhban” (Hadits Riwayat Ahmad)

          Jadi taklid kepada Ulama/mazhab tertentu itu hukumnya sama dengan menjadikan Ulama-Ulama menjadi Tuhan selain Allah. Sebagaimana penjelasan tersebut diatas, bahkan Imam Syafi’i juga berkata:

“Barang siapa taklid kepada orang tertentu didalam mengharamkan sesuatu atau menghalalkannya sedangkan telah tetap Hadits Shahih menyalahinya dan perbuatan taklid itu mencegah dia dari mengamalkan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan orang yang ditaklid itu menjadi Tuhan selain Allah Ta’ala, dia telah mengharamkan atasnya apa-apa yang telah dihalalkan oleh Allah.”

 

Dasar Hukum Haramnya Taklid Kepada Madzhab-madzhab Tertentu / Orang-orang Tertentu

Firman Allah dalam Al-Quran:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al-Israa’:36)

 

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am:153)

 

Dan lagi:

  • “Jauhilah perkara baru dalam agama karena tiap-tiap perkara baru dalam agama itu   bid’ah dan tiap-tiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Daud)

·           “Telah tetap dari Imam Abi Hanfiah, Malik, Syafi’i dan Ahmad serta lain-lain Rahimahumullah, sesungguhnya mereka berkata: tidak halal bagi seseorang berfatwa dengan ucapan kami atau mengambil ucapan kami selagi belum mengerti dari (dalil) mana kami mengambilnya”

  •  “Dikatakan kepada Abi Hanafiah, mudah-mudahan Allah Ta’ala memberi rahmat kepadanya, jika engkau berkata suatu perkataan dan Kitabullah itu menyalahinya. Dia berkata: tinggalkanlah perkataanku karena Kitabullah, maka dikatakan: jika khabar dari Rasulullah itu menyalahinya. Dia berkata: tinggalkanlah perkataanku karena khabar dari Rasulullah, maka dikatakan kepadanya, jika ada perkataan Sahabat Radiallahuanhum itu menyalahinya dia berkata: tinggalkanlah perkataanku karena perkataan Sahabat Radiallahuanhum. (Halil Muslim. Hal.21)

 

Dasar Hukum Bermadzhab

Madzhab menurut bahasa berarti jalan, aliran, pendapat atau paham, sedangkan menurut istilah madzhab adalah metode dan hukum-hukum tentang berbagai macam masalah yang telah dilakukan, diyakini dan dirumuskan oleh imam mujtahid.

 

Jadi, bermadzhab adalah mengikuti jalan berpikir salah seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari sumber Al-Qur’an dan hadits. Setiap orang Islam diwajibkan mempelajari ajaran agamanya dan memahami hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits. Namun kenyataannya tidak setiap orang mampu memahami dan mengamalkan isi kandungan dari dua sumber tersebut. Hanya sebagian saja yang mampu melakukan hal tersebut, dengan beberapa persyaratan yang ketat agar hasil ijtihadnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

 

 

Keterangan, dari kitab Al Mizan Al Sya’rani Fatawi Kubra dan Nihayatussul :

 

كان سيدي علي الخواص رحمه الله إﺫسأله انسان عن التقيد بمﺬهب معين الآن . هل هو واجب أولا . يقول له يجب عليك التقيد بمﺬهب مادمت لم تصل إلى شهود عين الشريعة الأولى خوفا من الوقوع فى الضلال وعليه عمل الناس اليوم (الميزان الشعراني)

 

Jika tuanku yang mulia Ali Al Khawash r.h. ditanya oleh seorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata : ”Anda harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan ia harus melaksanakan apa yang dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.

وبأن التقليد متعين للأئمة الأربعة . وقال لأن مﺬهبهم انتشرت حتى ظهر تقييد مطلقها وتخصيص عامها بخلاف غيرهم (الفتوي الكبرى في باب القضاء في الجزء الربع)

Sesungguhnya bertaklid (mengikuti suatu madzhab) itu tertentu kepada Imam yang empat (Maliki, Syafi’I, Hanafi, Hanbali), karena madzhab-madzhab mereka terlah tersebar luas sehingga Nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain.

قال صلى الله عليه وسلم "اتبعوا السواد الأعظم" . ولما اندرست المﺬاهب الحقة بانقراض . أئمتها إلا المﺬهب الأربعة التى انتشرت أتباعها كان أتباعها أتباعا للسواد الأعظم والخرج عنها خروجا عن السواد الأعظم (سلم الأصول شرح نهاية ؛ الجزء الربع)

Nabi SAW bersabda : ”Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali 4 (empat) madzhab yang mengikutinya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.

 

 

 

 

 

 

 

 

D.   Dalil Tentang Bermadzhab:

            1. Dalil Pertama         :

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻜُﻢْ

artinya ‘’hai orang-orang yang beriman! Turutilah Allah dan turutilah Rasul dan ulil amri dari kamu’’ 

2. Dalil Kedua            :

Sebaik-baik manusia ialah yang berada di kurun aku, kemudian mereka yang selepas kurun itu, kemudian mereka yang mengiringi kurun itu pula. (Riwayat Al Bukhari dan Muslim).

3. Dalil Ketiga                        :

Sesungguhnya ALLAH Azza Wajalla tidak akan mencabut ilmu dari seseorang manusia selepas diberikan kepadanya. Akan tetapi dicabut (ilmu itu dengan dimatikan para ulama. Setiap kali matinya ulama ikutlah ilmu itu bersamanya sehinggalah (satu ketika tiada lagi ulama) kecuali pemimpin (ulama) yang jahil. Jika ditanya hukum, mereka akan memberi fatwa tanpa ilmu, mereka sesat lalu menyesatkan orang lain. (Riwayat Al Bukhari dan Muslim).

Sabdanya lagi:

Tidaklah datang satu tahun atau hari kepada kamu melainkan hari yang selepasnya itu lebih buruk dari sebelumnya sehingalah kamu semua bertemu ALLAH. (Riwayat Al Bukhari, Ahmad dan Ibnu Majah).

4. Dalil Ke Empat:

Berselisih faham di kalangan umatku itu adalah rahmat. (Riwayat Al Baihaqi).

5.      Dalil ke Lima

Bertanyalah kepada ahli ilmu (alim ulama; orang yang tahu) kalau kamu tidak mengetahui. (An Nahl: 43)

 

 

 

 

 

 

E.     Empat Madzhab yang Tersohor

 

Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa dasar hukum bermadzhab adalah wajib bagi orang-orang yang tidak mengerti inti dari agama. Hal ini dikarenakan pada sebuah kekhawatiran akan tersesat dalam proses memahami agama.

Madzhab yang tersohor dan aliran madzhabnya telah dikodifisikan (mudawwan) digolongkan menjadi 4 (empat) madzhab. Empat madzhab tersebut adalah :

 

1.      Madzhab Hanafi,

Madzhab yang dinisbahkan kepada Imamnya, yakni Imam Abu Hanifah Al Nu’man bin Tsabit, beliau lahir di kota Kuffah pada tahun 80 Hijriyah dan meninggal dunia pada tahun 150 Hijriyah dan madzhab hanafi sebenarnya kumpulan serta pendapat Imam Abu Hanifah Al Nu’man bin Tsabit beserta murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak. Maka disebut juga, mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama tabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.

a.       Dasar-dasar Mazhab Hanafi. Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh

terdiri dari tujuh pokok, yaitu :

1.      Al Kitab.

2.      As Sunnah.

3.      Perkataan para Sahabat.

4.      Al Qiyas.

5.      Al Istihsan.

6.      Ijma’ dan

7.      Uruf.

 

2.          Madzhab Maliki,

Madzhab Maliki yaitu kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia. Pendiri madzhab Maliki adalah Imam Malik bin Anas bin Malik, beliau lahir di kota Madinah Al Munawarah pada tahun 90 Hijriyah dan beliau meninggal dunia pada tahun 179 Hijriyah. Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah, yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.

a.       Dasar-dasar Mazhab Maliki. Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok yaitu :

1.      Nashul Kitab

2.      Dzaahirul Kitab

3.      Dalilul Kitab

4.      Mafhum muwafaqah

5.      Tanbihul Kitab, terhadap illat

6.      Nash-nash Sunnah

7.      Dzahirus Sunnah

8.      Dalilus Sunnah

9.      Mafhum Sunnah

10.  Tanbihus Sunnah

11.  Ijma’

12.  Qiyas

13.  Amalu Ahlil Madinah

14.  Qaul Shahabi

15.  Istihsan

16.  Muraa’atul Khilaaf

17.  Saddud Dzaraa’i.

 

3.      Madzhab Syafi’i

Madzhab Syafi’i, yaitu madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi’i, beliau lahir di kota Gazza pada tahun 150 Hijriyah dan beliau meninggal dunia pada tahun 204 Hijriyah. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir ; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.

Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam ; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.

Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah : Al-Um.

a.       Dasar-dasar Mazhab Syafi’I, Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum syara’ adalah :

1.      Al Kitab.

2.      Sunnah Mutawatirah.

3.      Al Ijma’.

4.      Khabar Ahad.

5.      Al Qiyas.

6.      Al Istishab.

 

4.      Madzhab Hambali

Madzhab Hambali, yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hambal, lahir di Marwaz pada tahun 164 Hijriyah dan beliau meninggal dunia pada tahun 241 Hijriyah. Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain : Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah. Dan beliau menghimpun 40.000 hadist dalam kitab Musnadnya.

a.       Dasar-dasar Mazhabnya. Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah :

1.      Nash Al Qur-an atau nash hadits.

2.      Fatwa sebagian Sahabat.

3.      Pendapat sebagian Sahabat.

4.      Hadits Mursal atau Hadits Doif.

5.      Qiyas.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Sumber  : Ahkamul Fuqaha : Solusi Problematika Aktual Hukum Islam.
Penerbit : Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur bekerja sama dengan

     Khalista Surabaya

Sumber : Wikipedia

Sumber : Belajar Fiqih blogspot.ac.id

Sumber : //aboutmiracle.wordpress.com

Sumber : albanjari.eramulti.com

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar