A. Pengertian Madzhab
Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab)
adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati,
sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu
dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri
khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab
adalah metode (manhaj)
yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang
menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya,
bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Pengertian ulama fiqih
Mazhab
menurut ulama fiqih, adalah
sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid,
yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah
hukum dalam kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara
umum, bukan suatu mazhab khusus.
Apa itu Mazhab ? Pengertian
Mazhab bisa dibagi 2. Ada arti menurut bahasa, ada arti menurut
istilah. Berdasarkan bahasa atau dilihat dari kosa kata, mazhab merupakan bentuk
isim makan dari kata “dzahaba”, artinya jalan atau tempat yang dilalui,
sedangkan menurut istilah ulama ahli fiqih, mazhab adalah mengikuti sesuatu yang
dipercayai.
Lebih
lengkapnya pengertian mazhab menurut fiqih adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid)
tentang hukum sesuatu masalah yang belum ditegaskan oleh nash. Jadi, masalah
yang bisa menggunakan metode ijtihad ini adalah yang termasuk kategori dzonni
atau prasangka, bukan hal yang qoth’i atau pasti. Jadi tidak benar kalau ada
istilah hukum shalat 5 waktu adalah wajib menurut mazhab Syafi’i, karena hukum
shalat wajib termasuk kategori qoth’i yang tidak bisa dibantah wajibnya oleh
mazhab manapun. Berbeda jika masalah yang dihadapi tentang hal-hal yang asalnya
masih samar seperti hukum menyentuh kulit wanita yang bukan muhrim. Karena
perbedaan pandangan itulah, maka terjadi perbedaan pendapat antara Imam
Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam lainnya. Hasilnya dinamakan ijtihad Imam Syafi’i
yang pasti berbeda dengan ijtihad Imam Hanafi dan Imam lainnya yang menentukan
batal atau tidaknya wudhu ketika menyentuh wanita muhrim.
Nah,
bagi seorang yang mampu berijtihad dalam menghadapi suatu masalah, maka dia
boleh berijtihad dan melaksanakan hasil ijtihad yang ia lakukan, sedangkan bagi
mereka yang tidak mampu melakukan ijtihad atau orang awam, maka ia harus mengikuti
hasil ijtihad dari salah seorang mujtahid yang ia percayai. Hal ini sejalan
dengan Al Qura’an surat An-Nahl ayat 42 43, yang artinya “Bertanyalah
kepada ahli dzikri/ulama jika kamu tidak mengerti”.
Menurut Abu
Hasan Alkayya, bermazhab ini hukumnya wajib bagi :
1. Orang awam
2. Ulama/ahli fiqih yang belum mencapai derajat mujtahid.
B. Pengertian
Bermadzhab
Pada
dasarnya untuk mengetahui pengertian “bermadzhab”, adalah sama halnya dengan
dua pengertian yang terkandung dalam kata “madzhab”, yang masing-masing dari
keduanya berdasarkan pada arti kata “madzhab” itu sendiri, yaitu:
·
Berdasarkan
pengertian kata “madzhab” yang pertama; Bermadzhab adalah mengikuti jalan atau metode
berfikirnya salah seorang mujtahid dalam mengistinbathkan hukum dari sumber
aslinya, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.
·
Berdasarkan
pengertian kata “madzhab” yang kedua; Bermadzhab ialah mengikatkan diri kepada salah seorang
imam madzhab (mujtahid) dalam mengamalkan syari’ah Islam berdasarkan
fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat imam madzhab tersebut.
Dari
kedua pengertian ini, maka yang dimaksud dengan bermadzhab di sini adalah
bermadzhab dalam pengertian kedua disebabkan pengertian pertama. Para ‘ulama
bersepakat bahwa hal tersebut boleh dan tidak akan ada kemungkinan untuk
munculnya sikap ta’assub madzhab dikarenakan mengikuti metode atau cara
berijtihad para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum syara, yang merupakan
perbuatan yang diperintahkan agama. Oleh karena itu, bermadzhab ialah
menjalankan syari’ah agama sesuai dengan hasil ijtihadnya imam madzhab
(mujtahid) dan hal ini berarti sama dengan bertaqlid dengan hasil ijtihadnya
para mujtahid tersebut.
Karena
itulah, hukum bermadzhab bagi mereka yang belum atau bahkan tidak mampu melakukan
ijtihad adalah wajib. Bermadzhab seperti ini bukan berarti tidak mengikuti
al-Qur’an dan al-Hadits, sebab dasar ijtihadnya para mujtahid tersebut adalah
berasal dari kedua sumber hukum tersebut, yang mereka lakukan jika tidak
ditemukan “kepastian hukumnya” dari keduanya secara jelas, dan dalam
pengambilan hukumnya tetap berasal dari ajaran Rasul. Jika dianalogikan hal ini
laksana orang yang meminum air dari gelas, yang airnya diambil dari sebuah
sumur. Bukan berarti orang tersebut tidak meminum air sumur, namun karena orang
tersebut tidak langsung minum dari sumur. Sama halnya rakyat yang tunduk kepada
pemerintah desa, maka rakyat tersebut tidak bisa dikatakan membangkang atau
tidak tunduk kepada pemerintah kecamatan, kabupaten, dan seterusnya.
C. Hukum Bermadzhab
Pada beberapa tahun yang silam di
Jepang tepatnya di Tokyo diadakan koferensi Islam. Dalam acara itu ada
seseorang yang menanyakan bagaimana hukumnya bermazhab, apakah wajib bagi
seseorang untuk mengikuti salah satu mazhab yang empat. Pada kesempatan itu
tampil Syaikh Muhammad Sulthan Alma’sumi Al Khajandi, seseorang pengajar di
Masjidil Haram Makkah. Beliau menyerukan kaum muslimin untuk kembali kepada
yang pernah dilakukan oleh umat yang terbaik para sahabat. Beliau menyeru untuk
tidak bertaqlid buta (fanatik) pada salah satu mazhab tertentu. Akan tetapi
dipersilakan mengambil dari tiap mujtahid atau ahli ijtihad dengan berdasarkan
pada Al Quran dan Sunnah sebagai rujukan. Sebab sebenarnya mazhab-mazhab adalah
pendapat dan pemahaman orang-orang berilmu dalam beberapa masalah. Pendapat,
ijtihad dan pemahaman ini tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk
mengikutinya. Karena di dalamnya terdapat kemungkinan betul dan salah. Karena
tidak ada pendapat yang seratus persen benar kecuali yang berasal dari
Rasulullah SAW.
Sementara itu mengikuti salah satu
mazhab yang empat atau lainnya bukanlah persoalan wajib atau sunnah. seseorang
muslim tidak diharuskan mengikuti salah satunya. Dan bahkan orang yang
mengharuskan untuk mengikuti salah satunya sebenarnya ia seseorang fanatik.
Begitulah menurut syekh Sulthan.
Lain lagi pendapat syekh Ramadhan Al
Buthi dalam bukunya “Alla Mazhabiyyah, Akhtaru Bida’in Fil Islam” (tidak
bermazhab adalah bid’ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib
bagi seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyur (mazhab
empat). Sebab mazhab-mazhab itu sudah teruji kevalidannya. Namun kendati begitu
tidak boleh bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan
orang diluar mazhabnya.
Dalam buku tersebut beliau membagi
kaum muslimin sekarang menjadi dua golongan. Golongan muttabi’ dan golongan
muqallid. Orang yang telah faham (mengerti) Al Quran dan sunnah wajib mengikuti
mazhab tertentu sebagai kerangka berfikir, supaya ia tidak jatuh pada
kesalahan. Golongan inilah yang disebut muttabi’ sementara orang yang belum
faham terhadap Al Quran dan sunnah diharuskan mengikuti Ulama yang dianggap
mengerti dalam masalah agama. Golongan yang kedua ini disebut muqallid. Secara
implisit beliau meniadakan kelompok yang ketiga, yaitu kelompok mujtahidin.
Dengan kata kata lain beliau menutup pintu ijihad untuk masa sekarang. Inilah
yang kemudian ditentang oleh Muhammad Abu Abbas dalam bukunya “Al Mazhahibul
Muta’ashshabah hiyal Bid’ah aw Bid’atut Ta’ashshubi Al Mazhabi” beliau
berpendapat justru pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan
Nabi telah membuka pintu ijtihad dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya
tidak ada seorangpun yang berhak menutup pintu ijtihad tersebut.
Oleh karena itu Muhammad Abu Abbas
membagi kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu mujtahid, muttabi dan muqallid.
Bagi mereka yang telah mampu untuk mengetahui dan mengkaji hukum-hukum
langsung dari Al Quran dan Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram
baginya bertaklid dalam masalah tersebut (golongan mujtahid). Sedangkan bagi
mereka yang hanya mampu untuk mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta
mengetahui metode istimbath (pengambilan hukum) mereka dari Al Quran dan Sunnah
maka kewajiban mereka adalah ittiba’. Jelasnya ittiba’ –mengutip perkataan abu
Syamah- adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan
shah mazhabnya.”
Adapun bagi orang yang betul-betul
awam (tidak mengerti dalam masalah agama) BOLEH bagi mereka bertaklid dengan
syarat, sebagaimana dikatakan Imam Asysyatibi dalam ali’tishom- (pertama) tidak
boleh bertaklid kecuali pada orang yang benar-benar ahli dibidang agama.
(kedua) tidak boleh mengikat dirinya serta menutup dirinya dari mengikuti
selain mazhabnya, jika telah jelas padanya bahwa pendapat mazhabnya itu salah,
maka wajib baginya mengikuti yang telah jelas kebenarannya.
Pendapat yang terakhir inilah yang
wasath (pertengahan). Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikkan
mereka yang benar-benar awam terhadap agama. Sedangkan mewajibkan taklid dan
menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa
relevan terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tak bisa
dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu
ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.
Berarti fenomena bermazhab adalah
sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang per orang yang tentunya
tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa diharuskan secara mutlak dan tidak bisa
dilarang secara mutlak pula. Berkaitan dengan bermazhab ini ada dua hal
yang perlu dijauhi oleh setiap muslim:
1. Fanatisme
(ta’ashshub) terhadap suatu mazhab tertentu seraya memonopoli kebenaran
apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang kecuali Nabi
memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid. Karenanya Rasul
bersabda: “Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua pahala, dan
barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala”
2. Tatabbu’ rukhas atau
mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai dengan seleranya.
Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia menggunakan dalih
agama untuk memperturutkan hawa nafsunya. Wallahu a’lam bishawab.
Hukum Bermazhab
Dengan Mazhab Tertentu
1. Umat Islam
pada abad pertama dan abad kedua Hijriah tidak mengenal taklid kepada mazhab
dan tidak ada mazhab yang empat pada waktu itu, mereka hanya mengjkuti Sunnah
Rasulullah SAW dan mengikuti sunnah Khulafaurrasyidin, mereka melaksanakan
ibadah kepada Allah langsung berdasarkan Al Quran dan Hadits, jika mereka tidak
mengerti tentang sesuatu hukum mereka akan bertanya pada Ulama, bagaimana hukum
ini dan itu menurut Al Quran dan Al Hadits. Mereka tidak menanyakan bagaimana
hukumnya ini dan itu menurut pendapat anda.
Bermazhab
atau mengenepikan mazhab tertentu itu tidak wajib dan tidak sunnah karena yang
dikatakan wajib dan sunnah itu apa-apa yang diwajibkan atau disunnahkan oleh
Allah dan Rasulnya.
Allah dan Rasul tidak mewajibkan seseorang untuk bermazhab dengan mazhab
seseorang lantas dia bertaklid kepadanya dalam urusan agamanya, kalau
bermazhab tertentu itu wajib bagaimana umat Islam yang hidup pada abad pertama
dan abad kedua Hijriah, waktu itu belum ada mazhab yang empat. Apakah mereka
tidak sah Islamnya karena tidak mengikuti mazhab yang empat? Padahal mereka
adalah para sahabat Nabi, Tabi’in, Wa’aman Tabi’ahum, apakah justru mereka yang
beribadah kepada Allah langsung berdasarkan Al-Quran dan Al Hadits itu yang sesat
dan orang yang mengikuti mazhab tertentu walaupun yang menyalahi Sunnah Rasul
itu benar dan dapat hidayah? Fikirkanlah!
2. Orang yang bertaklid kepada mazhab tidak
bertanya bagaimana hukum Allah dan Rasulnya tetapi mereka menanyakan bagaimana
pendapat Imam mazhab mengenai ini dan itu. Jika pendapat Imamnya bertentangan
dengan kitab Allah dan Rasulnya mereka tidak mau kembali kepada Al-Quran dan
Sunnah Rasul melainkan mereka tetap memegangi pendapat Imam mereka dan
meninggalkan Al-Quran dan Sunnah. Perbuatan mereka
yang demikian itu sangat tidak benar karena seolah-olah pendapat Ulama
kedudukannya melebihi Al-Quran dan Sunnah. Ini dapat dibayangkan betapa besar
dosa dan kesalahan orang yang menganggap lebih mulia pendapat manusia daripada
Allah dan Rasul.
“Imam Syafi’i berkata: umat Islam
tidak ijmak, bahwa orang yang telah jelas baginya Sunnah Rasul, maka tidak
halal baginya meninggalkan Sunnah Rasul karena memegangi ucapan seseorang”. (Halil Muslim, hal. 20)
Orang yang meninggalkan ucapan Rasul karena ucapan seseorang, berarti
menganggap ucapan seseorang itu yang menjadi pokok agamanya, adapun Sunnah
Rasul kalau cocok/sesuai dengan ucapan seseorang dari Ulama mazhabnya diterima,
kalau tidak cocok/sesuai tidak diterima. Ini berarti pula bahwa orang itu
beranggapan seorang Ulama nilainya lebih tinggi daripada Nabi Muhammad SAW.
Kita membayangkan betapa besar dosanya orang yang berpendapat begitu. Perbuatan
yang demikian itu sama halnya dengan perbuatan Yahudi Nasrani yang telah menjadikan
Ulama mereka (Pendeta) menjadi Tuhan selain Allah bukan karena mereka
menganggap Ulama sebagai Tuhan tetapi karena mereka bertaklid kepada Ulama
mereka, menerima dan mengikuti ucapan Ulama tentang hukum agama walaupun
bertentangan dengan kitab suci mereka.
Pada suatu hari Ady Ibnu Hatim seorang pemimpin kaum Tho’yi datang ke Madinah
menghadap Rasulullah SAW dan dileher Ady terdapat salib yang terbuat dari
perak, waktu itu Nabi sedang membaca Surat At-Taubah ayat 30 “Orang Yahudi
berkata:”Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu
putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru
perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana
mereka sampai berpaling? Berkata Ady innahum lam yak buduhum yang
artinya: sesungguhnya Yahudi dan Nasrani itu tidak menyembah kepada mereka
(Ulama) atau Pendeta, maka Rasulullah menjawab:
“Bahkan mereka menyembah Ahbar dan
Ruhban, sesungguhnya mereka mengharamkan atas mereka barang yang halal dan
menghalalkan untuk mereka barang yang haram, maka orang Yahudi dan Nasrani
mengikuti mereka, maka yang demikian itu ibadah mereka kepada Ahbar dan Ruhban” (Hadits Riwayat Ahmad)
Jadi taklid kepada Ulama/mazhab tertentu itu hukumnya sama dengan menjadikan
Ulama-Ulama menjadi Tuhan selain Allah. Sebagaimana penjelasan tersebut diatas,
bahkan Imam Syafi’i juga berkata:
“Barang siapa taklid kepada orang
tertentu didalam mengharamkan sesuatu atau menghalalkannya sedangkan telah
tetap Hadits Shahih menyalahinya dan perbuatan taklid itu mencegah dia dari
mengamalkan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan orang yang ditaklid
itu menjadi Tuhan selain Allah Ta’ala, dia telah mengharamkan atasnya apa-apa
yang telah dihalalkan oleh Allah.”
Dasar Hukum
Haramnya Taklid Kepada Madzhab-madzhab Tertentu / Orang-orang Tertentu
Firman Allah dalam Al-Quran:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al-Israa’:36)
وَأَنَّ
هَٰذَا
صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ
ۖ
وَلَا
تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ
عَنْ
سَبِيلِهِ
ۚ
ذَٰلِكُمْ
وَصَّاكُمْ
بِهِ
لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Dan bahwa (yang kami perintahkan
ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am:153)
Dan lagi:
- “Jauhilah perkara baru dalam
agama karena tiap-tiap perkara baru dalam agama itu bid’ah dan
tiap-tiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Daud)
·
“Telah tetap dari Imam Abi Hanfiah, Malik, Syafi’i
dan Ahmad serta lain-lain Rahimahumullah, sesungguhnya mereka berkata: tidak
halal bagi seseorang berfatwa dengan ucapan kami atau mengambil ucapan kami
selagi belum mengerti dari (dalil) mana kami mengambilnya”
- “Dikatakan kepada Abi
Hanafiah, mudah-mudahan Allah Ta’ala memberi rahmat kepadanya, jika engkau
berkata suatu perkataan dan Kitabullah itu menyalahinya. Dia berkata:
tinggalkanlah perkataanku karena Kitabullah, maka dikatakan: jika khabar dari
Rasulullah itu menyalahinya. Dia berkata: tinggalkanlah perkataanku karena
khabar dari Rasulullah, maka dikatakan kepadanya, jika ada perkataan
Sahabat Radiallahuanhum itu menyalahinya dia berkata: tinggalkanlah
perkataanku karena perkataan Sahabat Radiallahuanhum. (Halil Muslim.
Hal.21)
Dasar
Hukum Bermadzhab
Madzhab menurut bahasa berarti jalan, aliran, pendapat atau
paham, sedangkan menurut istilah madzhab adalah metode dan hukum-hukum tentang
berbagai macam masalah yang telah dilakukan, diyakini dan dirumuskan oleh imam
mujtahid.
Jadi, bermadzhab adalah mengikuti jalan berpikir salah
seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari sumber Al-Qur’an dan hadits. Setiap
orang Islam diwajibkan mempelajari ajaran agamanya dan memahami hukum-hukum
yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits. Namun kenyataannya tidak setiap orang
mampu memahami dan mengamalkan isi kandungan dari dua sumber tersebut. Hanya
sebagian saja yang mampu melakukan hal tersebut, dengan beberapa persyaratan
yang ketat agar hasil ijtihadnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Keterangan, dari kitab Al Mizan Al Sya’rani Fatawi Kubra dan
Nihayatussul :
كان سيدي علي الخواص رحمه الله إﺫسأله انسان
عن التقيد بمﺬهب معين الآن . هل هو واجب أولا . يقول له يجب عليك التقيد بمﺬهب
مادمت لم تصل إلى شهود عين الشريعة الأولى خوفا من الوقوع فى الضلال وعليه عمل
الناس اليوم (الميزان الشعراني)
Jika
tuanku yang mulia Ali Al Khawash r.h. ditanya oleh seorang tentang mengikuti
madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata : ”Anda
harus mengikuti suatu madzhab selama Anda belum sampai mengetahui inti agama,
karena khawatir terjatuh pada kesesatan”. Dan ia harus melaksanakan apa yang
dilaksanakan oleh orang lain sekarang ini.
وبأن التقليد متعين للأئمة الأربعة . وقال
لأن مﺬهبهم انتشرت حتى ظهر تقييد مطلقها وتخصيص عامها بخلاف غيرهم (الفتوي الكبرى
في باب القضاء في الجزء الربع)
Sesungguhnya
bertaklid (mengikuti suatu madzhab) itu tertentu kepada Imam yang empat
(Maliki, Syafi’I, Hanafi, Hanbali), karena madzhab-madzhab mereka terlah
tersebar luas sehingga Nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan
pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab-madzhab yang
lain.
قال صلى الله عليه وسلم "اتبعوا السواد
الأعظم" . ولما اندرست المﺬاهب الحقة بانقراض . أئمتها إلا المﺬهب الأربعة
التى انتشرت أتباعها كان أتباعها أتباعا للسواد الأعظم والخرج عنها خروجا عن
السواد الأعظم (سلم الأصول شرح نهاية ؛ الجزء الربع)
Nabi SAW bersabda :
”Ikutilah mayoritas (umat Islam)”. Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah
tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali 4 (empat) madzhab yang
mengikutinya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti
mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.
D. Dalil Tentang Bermadzhab:
1. Dalil Pertama :
ﻳَﺎ
ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻭَﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ
ﻣِﻨْﻜُﻢْ
artinya ‘’hai
orang-orang yang beriman! Turutilah Allah dan turutilah Rasul dan ulil amri
dari kamu’’
2. Dalil Kedua :
Sebaik-baik manusia ialah yang berada di kurun aku, kemudian mereka yang selepas kurun itu,
kemudian mereka yang mengiringi
kurun itu pula. (Riwayat Al Bukhari dan Muslim).
3. Dalil Ketiga :
Sesungguhnya ALLAH Azza Wajalla tidak akan mencabut ilmu dari seseorang manusia selepas diberikan
kepadanya. Akan tetapi dicabut
(ilmu itu dengan dimatikan para ulama. Setiap kali matinya ulama ikutlah ilmu
itu bersamanya sehinggalah (satu ketika tiada lagi ulama) kecuali pemimpin
(ulama) yang jahil. Jika ditanya hukum, mereka akan memberi fatwa tanpa ilmu,
mereka sesat lalu menyesatkan orang lain. (Riwayat Al
Bukhari dan Muslim).
Sabdanya
lagi:
Tidaklah datang satu tahun atau hari kepada kamu melainkan hari yang selepasnya itu lebih
buruk dari sebelumnya sehingalah
kamu semua bertemu ALLAH. (Riwayat Al Bukhari,
Ahmad dan Ibnu Majah).
4. Dalil Ke Empat:
Berselisih faham di kalangan umatku itu adalah rahmat. (Riwayat Al Baihaqi).
5.
Dalil ke Lima
Bertanyalah kepada ahli ilmu (alim ulama; orang yang tahu) kalau kamu tidak mengetahui.
(An Nahl: 43)
E.
Empat
Madzhab yang Tersohor
Dari
sini, dapat kita simpulkan bahwa dasar hukum bermadzhab adalah wajib bagi
orang-orang yang tidak mengerti inti dari agama. Hal ini dikarenakan pada
sebuah kekhawatiran akan tersesat dalam proses memahami agama.
Madzhab
yang tersohor dan aliran madzhabnya telah dikodifisikan (mudawwan)
digolongkan menjadi 4 (empat) madzhab. Empat madzhab tersebut adalah :
1.
Madzhab Hanafi,
Madzhab
yang dinisbahkan kepada Imamnya, yakni Imam Abu Hanifah Al Nu’man bin Tsabit,
beliau lahir di kota Kuffah pada tahun 80 Hijriyah dan meninggal dunia pada
tahun 150 Hijriyah dan madzhab hanafi sebenarnya kumpulan serta pendapat Imam
Abu Hanifah Al Nu’man bin Tsabit beserta murid-muridnya serta pendapat-pendapat
yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan
pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari
pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak. Maka disebut juga, mazhab
Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli
ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada
awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama tabi’in, seperti
Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.
a.
Dasar-dasar
Mazhab Hanafi. Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh
terdiri dari tujuh pokok, yaitu :
1.
Al
Kitab.
2.
As
Sunnah.
3.
Perkataan
para Sahabat.
4.
Al
Qiyas.
5.
Al
Istihsan.
6.
Ijma’
dan
7.
Uruf.
2.
Madzhab Maliki,
Madzhab Maliki yaitu kumpulan pendapat-pendapat yang berasal
dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.
Pendiri madzhab Maliki adalah Imam Malik bin Anas bin Malik, beliau lahir di
kota Madinah Al Munawarah pada tahun 90 Hijriyah dan beliau meninggal dunia
pada tahun 179 Hijriyah. Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah, yang
menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar
kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi
gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah
imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
a.
Dasar-dasar
Mazhab Maliki. Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh
belas pokok yaitu :
1.
Nashul
Kitab
2.
Dzaahirul
Kitab
3.
Dalilul
Kitab
4.
Mafhum
muwafaqah
5.
Tanbihul
Kitab, terhadap illat
6.
Nash-nash
Sunnah
7.
Dzahirus
Sunnah
8.
Dalilus
Sunnah
9.
Mafhum
Sunnah
10.
Tanbihus
Sunnah
11.
Ijma’
12.
Qiyas
13.
Amalu
Ahlil Madinah
14.
Qaul
Shahabi
15.
Istihsan
16.
Muraa’atul
Khilaaf
17.
Saddud
Dzaraa’i.
3.
Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’i, yaitu madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris
bin Syafi’i, beliau lahir di kota Gazza pada tahun 150 Hijriyah dan beliau
meninggal dunia pada tahun 204 Hijriyah. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah
Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al Qur-an
pada usia sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-an barulah mempelajari
bahasa dan syi’ir ; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Mazhab
Syafi’i terdiri dari dua macam ; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim.
Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di
Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau
hidup di Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan
Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan
peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya
dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah : Al-Um.
a.
Dasar-dasar
Mazhab Syafi’I, Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam
mengistinbat hukum syara’ adalah :
1.
Al
Kitab.
2.
Sunnah
Mutawatirah.
3.
Al
Ijma’.
4.
Khabar
Ahad.
5.
Al
Qiyas.
6.
Al
Istishab.
4.
Madzhab Hambali
Madzhab Hambali, yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hambal, lahir
di Marwaz pada tahun 164 Hijriyah dan beliau meninggal dunia pada tahun 241
Hijriyah. Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke
berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain : Siria, Hijaz,
Yaman, Kufah dan Basrah. Dan beliau menghimpun 40.000 hadist dalam kitab
Musnadnya.
a.
Dasar-dasar
Mazhabnya. Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah :
1.
Nash
Al Qur-an atau nash hadits.
2.
Fatwa
sebagian Sahabat.
3.
Pendapat
sebagian Sahabat.
4.
Hadits
Mursal atau Hadits Doif.
5.
Qiyas.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber : Ahkamul Fuqaha : Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam.
Penerbit : Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur bekerja sama dengan
Khalista Surabaya
Sumber : Wikipedia
Sumber : Belajar Fiqih blogspot.ac.id
Sumber : //aboutmiracle.wordpress.com
Sumber : albanjari.eramulti.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar