BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Islam sebagai agama, memerintahkan
penganutnya untuk mengikuti sunnah Rasulnya. Salah satu sunnah Rasul yang perlu
diikuti adalah menikah bagi yang mampu secara jasmaniah maupun rohaniah.
Prinsip pernikahan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah dunia dan akhirat. Meskipun demikian, keluarga dalam
konteks keduniaan bukanlah suatu yang abadi. Artinya, keluarga memiliki awal
dan akhir. Berakhirnya suatu keluarga memiliki beberapa faktor, diantaranya
terjadinya perceraian, hilang salah satu pasangan dalam kurun waktu yang sangat
lama, dan meninggal salah satu pasangan. Disamping itu, pernikahan merupakan
salah satu penyebab terjadinya harta bersama.
Perceraian, baik cerai mati atau
cerai hidup mengandung berbagai akibat hukum. Salah satunya berkaitan dengan
harta bersama atau harta gono-gini. Harta bersama atau harta gono-gini ini ada
ketika perkawinan berlangsung, sedangkan harta bawaan yang diperoleh sebelum
berlangsungnya pernikahan tidak termasuk harta gono-gini. Bila pernikahan
terputus, diakibatkan meninggalnya salah satu pasangan, maka hak-hak dan
kewajibannya diambil alih oleh keturunannya (Prodjodikoro, 2013:102). Harta
bersama atau harta gono-gini tidak mudah untuk diketahui, sebab hampir semua
masyarakat Indonesia tidak membedakan harta bersama dengan harta bawaan. Oleh
karena itulah ketika keluarga putus sangat susah memisahkan harta bawaan dan
harta gono-gini. Hal ini diakibatkan oleh minimnya pemahaman masyarakat tentang
pentingnya hukum yang mengatur harta kepemilikan.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, berikut ini dijelaskan secara rinci beberapa rumusan masalah
yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini:
1. Apa
yang dimaksud Kedudukan Harta Bersama dalam
Perkawinan ?
2. Apa
saja Akibat Perceraian Terhadap Harta?
3. Bagaimana
Eksekusi Pembagian Harta Bersama?
1.3
Metode
Penulisan
Penulisan ini bersifat pustaka (Library
Research), penulis ini menggunakan metode mengumpulkan buku-buku, jurnal
atau dari berbagai sumber-sumber lain yang baik bersifat sekunder maupun
primer. Untuk sumber primer, penulis menggunakan berbagai buku, serta sekunder
penulis menggunakan jurnal serta berbagai ebook
, artikel, majalah yang dapat ditemukan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kedudukan Harta Bersama
dalam Perkawinan
2.1.1
Pengertian Harta
Bersama
1.
Harta Bersama Menurut
Hukum Islam
Dalam kitab-kitab fiqih
tradisional, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang di hasilkan oleh suami istri selama mereka diikati oleh
tali perkawinan, atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan syirkah antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat di beda-bedakan lagi.[1]
Adanya Harta bersama
dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami
istri. Harta bersama tersebut dapat berupa
benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga, sedang yang tidak berwujud bisa
berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan
jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan
dari pihak lainnya. Suami istri, tanpa persetujuan
dari salah satu pihak, tidak diperbolehkan
menjual atau memindahkan harta bersama
tersebut. Dalam hali ini, baik suami istri, mempunyai
pertanggung jawaban untuk menjaga harta
bersama.[2]
Dalam Ensiklopedi Hukum
Islam, dijelaskan bahwa harta gono gini adalah harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Dalam masyarakat Indonesia, hamper semua daerah mempunyai
pengertian, bahwa harta bersma antara suami
istri memang ada dengan istilah yang berbeda untuk
masing-masing daerah. Dalam Hukum Islam, harta
bersama suami istri pada dasarnya tidak
dikenal, karena hal ini tidak dibicarakan
secara khusus dalam kitab fikih. Hal ini sejalan
dengan asas pemilikan harta secara individual
(pribadi). Atas dasar ini, suami wajib memberikan
nafkah dalam bentuk biaya hidup dengan segala
kelengkapannya untuk anak dari istrinya dari
harta suami sendiri Harta Bersama dalam Islam
lebih identik diqiyaskan dengan Syirkah abdan
mufawwadhah yang berarti perkongsian
tenaga dan perkongsian tak terbatas.[3] Meskipun gono gini tidak diatur
dalam fikih Islam secara jelas, tetapi keberadaannya,
paling tidak dapat diterima oleh sebagian
ulama Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa banyak suami istri, dalam masyarakat
Indonesia, sama-sama bekerja, berusaha untuk
mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari- hari
dan sekedar harta untuk simpanan (tabungan) untuk
masa tua mereka. Bila keadaan memungkinkan ada
juga peninggalan untuk anak- anak sudah mereka
meninggal dunia.
Pencaharian bersama itu
termasuk kedalam kategori
syirkah mufawwadhah karena perkongsingan suami
istri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka
hasilkan selama dalam masa perkawinan menjadi
harta bersama, kecuali yang mereka terima
sebagai harta warisan atau pemberi secara
khusus kepada suami istri tersebut. Harta
bersama adalah harta yang diperoleh suami atau
istri karena usahanya dalam masa perkawinan,
baik mereka bekerja besama-sama untuk mendapatkan harta ataupun hanya sang
suami saja yang bekerja sedangkan istri hanya
berada dirumah untuk mengurus rumah tangga
beserta anak-anak di rumah.[4]
Tentang harta bersama
ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta
tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama. Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu didaftarkan.
2.
Pengertian Harta
Bersama menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35). Mengenai harta
bersama, suami atau istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta
bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya (Pasal 36). Bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan „hukumnya‟ masing-masing
ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.[5]
3.
Pengertian Harta
Bersama menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Indonesia, pengertian harta bersama sejalan dengan
pengertian harta bersama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 35 yaitu harta benda yang diperoleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan. Dalam pasal 85 KHI disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri, bahkan dalam pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta bersama dan istri karena perkawinan.
4. Harta
Bersama menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Di dalam KUH Perdata (BW), tentang Harta
Bersama menurut Undang-Undang dan Pengurusnya, diatur dalam Bab VI Pasal 119-138, yang terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama tentang
Harta Bersama menurut Undang-Undang (Pasal 119-123),
Bagian Kedua tentang Pengurusan Harta Bersama
(Pasal 124-125) dan Bagian Ketiga tentang Pembubaran
Gabungan Harta Bersama dan Hak Untuk Melepaskan
Diri Padanya (Pasal 126-138).[6]
Menurut KUH Perdata „Sejak saat
dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara pihak suam istri,
sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian
perkawinan. Harta bersama itu selama
perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan
atau dirubah dengan suatu persetujuan antara
suami-istri (Pasal 119). Berkenaan dengan soal
keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang
bergerak dan barang-barang tak bergerak suami
istri itu, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada, juga barang-barang yang mereka
peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam
hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan
menentukan kebalikannya dengan tegas (Pasal
120).
Dalam Pasal 122 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata atau
Burgerlijk Wetboek “Mulai saat perkawinan
dilangsungkan demi hukum berlakukah persatuan
bulat antara harta kekayaan suami dan istri,
sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak
ditiadakan ketentuan lain. Peraturan itu sepanjang
perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah
dengan sesuatu persetujuan antara suami istri.
Segala utang dan rugi sepanjang perkawinan harus
diperhitungkan atas mujur malang persatuan.
Bagi mereka yang tunduk pada Hukum
Perdata Barat (BW)
mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan
dalam Pasal 119 BW (KUH Perdata) menyebutkan;
Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi
hukum berlakulah persatuan antara persatuan
bulan antara harta kekayaan suami dan istri,
sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin
tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu
sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau
diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami
dan istri. Dengan demikian, di dalam pasal ini
menunjukan bahwa sepanjang mengenai harta
menjadi harta bersama atau harta campuran itu demi
undang-undang menjadi hubungan bersama, atau
apabila suami istri sebelum melangsungkan perkawinan mengadakan surat
perjanjian di hadapan notaries mengenai
hartanya, maka suami istri dapat menempuh
penyimpangan.
Dengan demikian jelas di sini bagi
mereka yang tuduk
kepada BW mengenai persatuan harta ini adalah
bersifat memaksa, yang berarti setelah perkawinan
dilangsungkan maka sepanjang yang menyangkut
harta bersama tidak dapat diadakan perjanjian
lain. Di sini harus dapat kita bedakan bukan
berarti bahwa para pihak menjadi hak separo- separo
atas harta bersama, apabila kemudian salah satu
pihak meninggal dunia, apa yang kita kenal sebagai
barang gono gini di dalam Hukum Adat.
Ataupun percampuran harta ini akan lebih
tepat kalau kita
nyatakan, bahwa suami istri masing-masing mempunyai hak atas harta, namun bagi
mereka dapat tidak melakukan penguasaan (beschekking) atas bagian mereka masing-masing.[7]
2.1.2
Dasar Hukum Harta Bersama
1.
Al-Qur‟an
Dalam Al-Qur‟an dan Sunnah serta
berbagai kitab-kitab
hukum fiqh harta bersama tidak diatur dan
tidak ada pembahasannya secara rinci. Harta bersama
diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan
oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali
perkawinan, atau dengan perkataan lain disebut bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta satu dengan
harta yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi.[8]
Sebagaimana Firman Allah S.W.T dalam
surat An-Nisa ayat
32 :
Artinya : Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu
lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada
apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita
(pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Berdasarkan ayat
di atas bahwa setiap laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita dari apa yang mereka usahakan pula. Ayat tersebut menjelaskan adanya persamaan antara kaum pria dan wanita. Kaum wanita di syariatkan untuk mendapat mata pencaharian sebagaimana kamu pria. Keduanya dibimbing kepada karunia dan kebaikan yang berupa harta dengan jalan beramal dan tidak merasa iri hati
2.
Kompilasi Hukum Islam
Adapun pengaturan harta
bersama diatur dalam KHI dalam Bab XIII pasal 85 sampai dengan pasal 97. Peraturan yang paling baru berkenaan harta bersama ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut : Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
“Adanya harta bersama dalam perkawinan
itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing
suami atau istri”.[9]
Pasal 86
1) Pada dasarnya tidak ada percampuran
antara harta suami
dan harta isteri karena perkawinan.
2)
Harta
isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai
penuh olehnya, demikian juga harta suami tetapmenjadi
hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87
1.
Harta
bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2.
Suami
dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.[10]
Pasal 88
“Apabila terjadi
perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”.
Pasal 89
“Suami bertanggung jawab menjaga harta
bersam, harta isteri mupun hartanya sendiri”.
Pasal 90
“Istri turut
bertanggung jawab menjaga harta bersam maupun harta suami yang ada padanya”. Pengaturan kekayaan harta bersama diatur dalam Pasal 91 KHI :
1.
Harta
bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud,
2.
Harta
bersama yang berwujud dapat meliputi
benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga.
3.
Harta
bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
4.
Harta
bersama dapat dijadikan sebagai barang
jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan
pihak lainnya.
Pasal 92 KHI
mengatur menganai persetujuan penggunaan harta bersama : “suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau meminda-mindahkan harta
bersama.
Penggunaan harta
bersama, lebih lanjut diatur dalam Pasal 93, 94, 95, 96, dan 97 KHI. Pasal 93 KHI
1.
Pertanggung
jawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggung jawaban terhadap utang yang
dilakukan untuk kepentingan keluarga,
dibebankan kepada harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi,
dibebankan kepada harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau tidak
mencukupi dibebankan kepada
harta istri.
Pasal 94 KHI
1.
Harta
bersama dari perkawinan seorang suami
yang mempunyai istri lebih dari seorang,masing-masing
terpisah dan berdiri sendiri.
2.
Pemilikan
harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat.
Pasal 95 KHI
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal
24 ayat (2)
huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau istri
dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan
sita atau jaminan atas harta bersama tanpa
adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah
satu melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi,
mabuk, boros, dan sebagainnya.
2. Selama masa sita dapat dilakukan
penjualan atas harta
bersama untuk kepentingan keluarga dan izin
Pengadilan Agama.
Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separoh
harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebihlama.
2. Pembagian harta bersam bagi seorang
suami atau isteri yang
isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan
sampai adanya kepastian matinya yang hakiki
atau matinya secara hokum ata dasar putusan
Pengadilan Agama.
Pasal 97
“Janda atau duda
cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
2.1.3
Macam-Macam Harta
Bersama
Ada beberapa harta yang
berkenaan dengan harta bersama yang lazim dikenal di Indonesia antara lain :
a. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan
oleh para pihak
karena usaha mereka masing-masing, harta jerih
ini adalah hak dan dikuasai masing- masih
pihak suami atau istri.
b. Harta yang pada saat mereka menikah
diberikan kepada kedua
mempelai mungkin berupa modal usaha atau
perabotan rumah tanggaatau tempat tinggal,
apabila terjadi perceraian maka harta tersebut
kembali kepada orang tua atau keluarga yang
memberikan semula.
c. Harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung tetapi karena hibah atau warisan dari
orang tua mereka atau keluarga terdekat.
d.
Harta
yang diperoleh sesudah mereka dalam
hubungan perkawinan berlangsung atau usaha mereka berdua atau salah seorang dari mereka disebut juga harta matapencaharian, dan harta jenis ini
menjadi harta bersama.[11]
Tentang harta jenis
pertama, kedua dan ketiga tidak menjadi persoalan lagi karena sudah pasti statusnya dikuasi masing-masing pihak (jenis pertama).
Kembali kepada asal dari mana datangnya semula
(jenis kedua) dan tetap dikuasai mamak kepala waris
atau penguasa adat yang bersangkutan (jenis ketiga).
Yang menjadi
masalah sekarang adalah harta jenis
keempat yakni harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung. Untuk menjawab pertanyaan tersebut
diatas menurut Hukum Islam terdapat dua versi jawaban yang dapat dikemukakan tentang harta bersama yaitu :
1)
Tidak
dikenal harta bersama dalam lembaga
Hukum Islam kecuali dengan syirkah (pendapat pertama)
Berbeda dengan sistem hukum Perdata
Barat (BW) dalam
Hukum Islam tidak dikenal percampuran harta
kekayaan antara suami dan istri karena
perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi
milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri
tersebut, demikian juga harta kekayaan suami tetap
menjadi hak milik suami dan dikuasai sepenuhnya
olehnya, oleh karena itu pula wanita yang
bersuami tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan
suami dalam soal apapun juga termasuk mengurus
harta benda, sehingga ia dapat melakukan segala
perbuatan hukum dalam masyarakat.
Namun menurut Hukum Islam dengan
perkawinan menjadilah sang istri syarikatul rajuli
filhayati : perkongsi sekutu seorang suami dalam
melayani bahtera hidup, maka antara suami istri
dapat terjadi syarikah abdan (perkongsian tidak
terbatas).
Dalam hal ini harta kekayaan bersatu
karena syirqah
(syirkah) seakan-akan merupakan harta kekayaan
tambahan karena usaha bersama suami istri
selama perkawinan menjadi milik bersama, karena
itu apabila kelak perjanjian perkawinan itu terputus
karena perceraian atau talaq, maka harta syirqah
tersebut dibagi antara suami istri menurut pertimbangan
sejauh mana usaha mereka suami/istri turut
berusaha dalam syirkah.
2) Pendapat kedua menyatakan bahwa ada
harta bersama
antara suami istri menurut Hukum Islam
Hukum Islam tidak mengenal adanya
percampuran harta milik suami dengan harta milik
istri, masing-masing pihak bebas mengatur harta
milik masing-masing dan tidak diperkenakan adanya
campur tangan salah satu pihak dalam pengaturannya.
Ikut campurnya salah satu pihak hanya bersifat
nasihat saja, bukan penentu dalam pengelolaan
harta milik pribadi suami atau istri tersebut.
Ketentuan hukum Islam tersebut sangat realistis,
karna kenyataannya percampuran hak milik suami
istri menjadi harta bersama banyak menimbulkan
masalah dan kesulitan sehingga memerlukan
aturan khusus untuk menyelesaikannya.
Meskipun hukum Islam tidak mengenal
adanya percampuran
harta pribadi masing-masing ke dalam harta
bersama suami istri tetapi dianjurkan adanya saling
pengertian antara suami dan istri mengelola kekayaan
pribadi ini dapat merusak hubungan suami istri
yang menjurus keperceraian. Apabila di khawatirkan
akan timbul hal-hal yang tidak di harapkan,
maka hukum Islam memperbolehkan diadakan
perjanjian perkawinan sebelum pernikahan dilaksanankan.
Perjanjian itu dapat berupa penggabungan harta
milik pribadi masing-masing menjadi harta bersama.[12]
Harta besama itu termasuk ke dalam
kategori syirkah
mufawwadah, karena perkongsian suami atau
istri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai harta warisan atau pemberian secara khusus kepada suami istri tersebut.[13]
Apabila istri dari seorang suami hamil
kemudian melahirkan
anak mereka, tetapi suami tidak turut serta
dalam mendidik anak tersebut, maka tidak dapat
dikatakan anak si istri saja tentulah anak dari suami istri. Demikian pula pula apabila suaminya yang bekerja, berusaha dan mendapat harta tidak dapat dikatakan bahwa harta itu hanya harta suami
saja tentulah menjadi harta suami istri
bersama, apabila
terjadi putus hubungan perkawinan baik karena
cerai atas gugatan pihak isteri, atau karena talaq
atas permohonan suami maka harta bersama itu harus
dibagi antara suami istri itu. Demikian juga
apabila putusnya hubungan perkawinan karena
kematian maka sebelum harta peninggalan itu
dibagi antara para pihak ahli waris, haruslah
dikeluarkan lebih dahulu harta bersama antara
suami isteri itu, barulah kemudian dikeluarkan
utang si mayat dan wasiat kalau ada, terakhir
sisanya diserahkan kepada para dzulfaraidh dan
dzulqarabat (asabah).
2.1.4
Pembagian Harta Bersama
dalam Hukum Islam
Didalam Islam tidak ada aturan secara
khusus bagaimana
membagi harta gono-gini, Islam hanya memberikan
rambu-rambu secara umum didalam menyelesaikan
masalah bersama, diantaranya adalah: Pembagian
harta gono-gini tergantung kepada suami dan
istri. Kesepakatan ini didalam Al-Qur‟an disebut dengan istilah “Ash Shulhu” yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami-
istri) setelah mereka berselisih. Allah berfirman Q.S
An- Nisa 128 :
Artinya : “Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz
atau sikap tidak acuh dari suaminya Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar- benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Ayat diatas menerangkan tentang
perdamaian yang diambil
oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya
didalam perdamaian ini ada yang harus merelakan
hak-haknya, pada ayat diatas, istri merelakan
hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Saw :
Dari Amru‟ bin Auf al Muzani dari
bapaknya dari kakeknya
bahwa Rasulullah Saw bersabda : “perdamaian
adalah boleh diantara kaum muslimah, kecuali
perdamaian yang mengaharamkan yang halal dan
perdamaian yang meghalalkan yang haram”. (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah).
Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini,
salah satu dari
kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus
merelakan sebagian haknya demi untuk mencapai suatu
kesepakatan. Umumnya : suami istri yang sama sama bekerja dan membeli
barang-barang rumah tangga dengan uang mereka
berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa
istri mendapatkan 40% dari barang yang ada,
sedangkan suami mendapatkan 60%, atau istri
55% dan suami 45% atau dengan pembagian
lainnya, semuanya diserahkan kepada
kesepakatan bersama.[14]
2.2
Akibat Perceraian
terhadap Harta
Menurut ketentuan pasal 38 UUP,
perkawinan dapat putus
karena (a) kematian, (b) perceraian, (c) atas keputusan
Pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian
sering disebut oleh masyarakat dengan istilah “cerai
mati”. Sedangkan putusnya perkawinan karena perceraian
ada dua sebutan yaitu “cerai gugat” dan “cerai talak”. Putusnya perkawinan karena atas keputusan Pengadilan disebut “cerai batal”.[15]
Mengenai harta benda dalam perkawinan,
yang diatur dalam
Pasal 35 UUP dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Harta bersama
Harta bersama dikuasai
oleh suami istri. Suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas
persetujuan kedua belah pihak (pasal 36 ayat 1
UUP). Terhadap harta bersama suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Menurut ketentuan pasal 37 UUP, apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain.
Dengan demikian,
apabila terjadi perceraian, harta bersama dibagi berdasarkan hukum yang telah berlaku sebelumnya bagi suami istri,yaitu hukum agama, hukum adat, hukum B.W dan lain-lain. Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti penguasaan harta bersama, yang diperoleh selama perkawinan. Karena ada kecendrungan pembagiannya yang tidak sama, yang akan mengecilkan baik istri atas harta bersama.[16]
2. Harta bawaan
Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing
pemiliknya, yaitu suami atau istri. Masing-masing
atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri
menentukan lain, misalnya dengan perjanjian perkawinan, maka penguasaan harat bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian
juga apabila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkainan.
3. Harta perolehan
Harta perolehan masing-masing pada
dasarnya penguasaannya
sama seperti harta bawaan. Masing- masing
suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta perolehannya.
Apabila pihak suami dan istri menentukan lain
misalnya dengan perjanjian perkawianan, maka
penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai
dengan isi perjanjian. Demikian juga jika
terjadi perceraian, harta perolehan, dikuasai dan
dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
2.3 Eksekusi
Pembagian Harta Bersama
2.3.1
Pengertian Eksekusi
Secara etimologis
eksekusi berasal dari bahasa Belanda yang berarti menjalankan putusan hakim atau pelaksanaan putusan hakim atau pelaksanaan putusan (tenuitvoer van vonnissen), secara terminologis eksekusi
ialah melaksanakan putusan (vonis) Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[17]
Putusan Pengadilan yang
dapat dilaksanakan adalah putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial,
putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu putusan Pengadilan yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan yang bersifat declaratoir dan constitutife tidak memerlukan eksekusi
dalam menjalankannya.
Retno wulan Susanti
mengalihkan istilah eksekusi (executie) ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan” putusan. Pembakuan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab jika bertitik tolak dari
ketentuan bab kesepuluhan bagian kelima HIR atau
title keempat RBG, pengertian eksekusi sama
dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten
uitvoer legging van vonnissen). Menjalankan
putusan Pengadilan, tiada lain dari pada
melaksanakan ”secara paksa” putusan Pengadilan
dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak
yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela (vrijwillig, voluntary). [18]
2.3.2
Jenis-jenis Eksekusi
Salah satu asas
eksekusi adalah hanya dapat dijalankan terhadap putusan Pengadilan yang memiliki
kekuatan hukum tetap yang bersifat kondematoir, yakni
dalam amar putusan yang terdapat pernyataan “penghukuman” terhadap tergugat untuk melakukan salah satu perbuatan yaitu :
1)
Menyerahkan
sesuatu barang
2)
Mengosongkan
sebidang tanah atau rumah
3)
Melakukan
suatu perbuatan tertentu
4)
Menghentikan
suatu perbatan atau keadaan
5)
Membayar
sejumlah uang.[19]
Jika ditinjau
dari sasaran yang hendak dicapai oleh
hubungan hukum yang tercantum berdasarkan amar
putusan Pengadilan yang bersifat kondematoir, seperti
diatas, maka sejenis eksekusi dapat diklasifikasikan
menjadi 2 bentuk yaiu:
a. Eksekusi riil
Eksekusi riil hanya mungkin terjadi dan ditetapkan
berdasarkan putusan Pengadilan yang:
a) Telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(res judicata)
b) Bersifat dijalankan lebih dulu
(uitvoerbaar bij voorrad,
provisionally enforceable)
c) Bentuk provinsi (interlocutory
injunction) dan
d) Berbentuk akta perdamaian di siding
Pengadilan.
b. Eksekusi sejumlah uang
Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak
hanya didasarkan
atas putusan Pengadilan, tetapi dapat juga
didasarkan atas bentuk tertentu yang oleh undang-undang
“disamakan” nilainya dengan putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap antara lain
terdiri dari:
a) Grosse akta pengakuan utang
b) Grosse akta hipotek dan
c) Crediet verband
d) Hak tanggungan (HT)
e)
Jaminan
Fidusial (JF)
2.3.3
Tata
Cara Pelaksanaan Eksekusi
1)
Eksekusi
Riil
Secara prosedural pelaksaan eksekusi
riil adalahvsebagai
berikut :
a)
Permohonan
eksekusi oleh pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan Agama secara sukarela untuk dilaksanakan secara
paksa (Pasal 207 ayat (1) RBg/Pasal 196).
b)
Penaksiran
biaya eksekusi oleh petugas meja pertama. Biaya yang
diperlukan meliputi biaya pendaftaran
eksekusi, biasa saksi-saksi, biaya pengamanan,
dan biaya lainnya yang diperlukan. Setelah
biaya tersebut dibayar barulah didaftarkan
dalam register eksekusi.
c)
Telah
dilaksanakan teguran (aanmaning)Pengadilan Agama menegur kepada pihak
yang kalah agar melaksanakan putusan dan memanggil kedua belah pihak yang berpekara datang didepan Ketua Pengadilan Agama pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan. Pihak yang kalah diberikan tenggang waktu 8 (delapan) hari untuk berpikir, jika dalam waktu tersebut pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan, maka Pengadilan Agama dapat melaksanakan eksekusi putusan. (Pasal 196 HIR).
d)
Perintah
eksekusi Ketua
Pengadilan Agama mengeluarkan surat penetapan
yang intinya memerintahkan panitera/juru sita untuk
melaksanakan sita eksekusi dibantu oleh 2
(dua) orang saksi. Dalam penetapan tersebut
harus disebutkan nomor perkara yang hendak
dieksekusikan dan objeknya.
e)
Pelaksanaan
eksekusi riil Eksekusi
hanya dilaksanakan oleh panitia atau juru sita
dan dibantu oleh 2 (dua) orang saksi, dan
panitera/juru sita wajib hadir ke tempat objek
barang yang akan dieksekusikan. Eksekusi
dilaksanakan sesuai dengan amar putusan, serta
dibuatkan Acara
Eksekusi. Berita Acara Eksekusi memuat
hal-hal sebagai berikut :
a) Jenis barang yang akan dieksekusi
b) Letak, ukuran dan luas barang tetap
yang dieksekusikan
c) Hadir tidaknya pihak yang dieksekusi
d) Penegasan dan keterangan pengawai
barang
e) Penjelasan Non Bevinding bagi yang
tidak sesuai dengan amar putusan.
f) Penjelasan dapat atau tidaknya
eksekusi dijalankan.
g) Hari, tanggal, jam, bulan, dan tahun
pelaksanaan eksekusi.
h) Berita Acara Eksekusi ditandatangani
oleh petugas eksekusi, 2 (dua) orang saksi, kepala desa/lurah setempat dan tereksekusi.[20]
2)
Eksekusi
Pembayaran Sejumlah Uang
Eksekusi pembayaran sejumlah uang ialah
suatu eksekusi yang intinya agar pihak yang kalah
dalam beperkara membayar sejumlah uang yang telah ditetapkan pihak pengadilan kepada pihak
yang dimenangkan. Dalam Pengadilan Agama hal ini terjadi pada sengketa nafkah anak, nafkah beban istri selama masa iddah dan/atau sengketa lain yang dapat dinilai dengan uang. Apabila pihak yang sudah tidak melunasi pembayaran sejumlah uang, maka dapat dilakukan secara paksa dengan cara menjual lelang harta kekayaan tergugat. Hal ini berdasarkan Pasal 225 ayat (1) HIR prosedur eksekusi pembayaran sejumlah uang.
Dalam praktik Peradilan Agama eksekusi
pembayaran sejumlah uang mempunyai beberapa tahapan sebagai berikut :
a. Permohonan eksekusi dari pihak yang
menang. Permohonan
eksekusi tersebut ditunjukan kepada Ketua
Pengadilan Agama yang memutuskan perkara
tersebut.
b. Pengadilan mengeluarkan penetapan sita
eksekusi Setelah
Pengadilan Agama menerima surat permohonan
eksekusi dari pihak yang menang. Pengadilan
Agama segera memanggil pihak yang kalah untuk
mengikuti sidang dan aanmaning (teguran), agar pihak yang kalah segera melaksanakan putusan secara sukarela (Pasal 207 ayat (1) dan (2) RBg dan Pasal 196 HIR). Apabila pihak yang kalah tidak melaksanakan pula putusan, maka Pengadilan Agama mengeluarkan surat penetapan sita eksekusi (Pasal 208 RBg dan Pasal 197 HIR dan Pasal 439 Rv).
c. Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan
perintah eksekusi Surat
perintah eksekusi tersebut berisi tentang
perintah penjualan lelang barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusinya dengan menyebut objek yang dieksekusi dan menyebutkan putusan yang menjadi dasar eksekusi tersebut.
d. Pengumuman lelang
Pengumuman lelang tersebut melalui surat kabar atau masa medi terhadap barang-barang/benda-benda
yang akan dieksekusi (Pasal 200 a 6HIR dan
Pasal 217 a 1 RBg)
e. Ketua Pengadilan Agama meminta bantuan
kantor lelang Negara untuk menjual lelang barang-barang
yang telah diletakkan sita eksekusi dengan
lampiran :
1) Salinan surat putusan Pengadilan
Agama
2) Salinan penetapan sita eksekusi
3) Salinan Berita Acara Sita
4) Salinan penetapan lelang
5) Salinan surat pemberitahuan kepada
pihak yang berkepentingan
6) Perincian besarnya jumlah tagihan
7) Bukti pemilikan barang, misalnya
sertifikat tanah
8) Syarat-syarat lelang
9) Bukti pengumuman
f. Kantor lelang mendaftarkan permintaan
lelang tersebut dalam buku khusus
g. Kepada kantor lelang menetapkan waktu
pelaksanaan lelang
h. Penentuan syarat lelang dan floor price
(patokan harga).
Penentuan syarat lelang menjadi
kewenangan Ketua Pengadilan Agama yang bertindak sebagai penjual untuk dan atas nama termohon eksekusi. Misalnya, tata cara penawaran dan pembayaran. Sedangkan, untuk floor price (patokan harga terendah) disesuaikan dengan harga pasaran dan nilai ekonomis barang dan ini menjadi wewenang Kepala Kantor Lelang Negara
i.
Tata
cara penawaran
Pihak-pihak yang ikut dalam lelang harus
mengajukan penawaran secara tertulis dengan menyebutkan nama dan alamat penawar, menyebut harga yang disanggupinya dan ditandatangani oleh pihak-pihak penawar.
j. Menentukan pemenang
Pemenang
lelang adalah penawaran tertinggi.
k. Pembayaran harga lelang Pengadilan Agama
berhak menentukan syarat-syarat pembayaran lelang.
2.3.4
Putusan yang dapat di
Eksekusi
Putusan yang dapat
dieksekusi adalah putusan yang bersifat Condemnatoir. Artinya mengandung suatu penghukuman.[21] Putusan-putusan yang amar atau diktumnya adalah declaratoir atau konstitutif tidak perlu dieksekusikan atau dilaksanakan, karena begitu
putusan-putusan yang demikian itu diucapkan, maka
keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan declaratoir
mulai berlaku pada saat itu juga, atau dalam halnya
putusan konstitutif, keadaan baru sudah tercipta pada
detik itu pula. Putusan condematoir biasa berupa
penghukuman untuk :
a) Menyerahkan suatu barang
b) Mengosongkan sebidang tanah
c) Melakukan suatu perbuatan tertentu
d) Menghentikan suatu perbuatan/keadaan
e)
Membayar
sejumlah uang.
Dari kelima bentuk
putusan condemnatoir, dari a. s.d. d adalah penghukuman yang berbentuk eksekusi riil, sedangkan e adalah eksekusi pembayaran sejumlah
uang. Pada umumnya eksekusi riil sangat sederhana
dan hanya meliputi barang tertentu, misalnya barang
yang menjadi sengketa adalah sebidang tanah, maka
eksekusi riil nya hanya terbatas pada pengosongan dan
penyerahan tanah yang menjadi sengketa eksekusi riil
tidak dapat berkembang terhadap harta tergugat yang
lain. Berbeda dengan eksekusi pembayaran sejumlah
uang, berlaku asas obyek eksekusi meliputi semua
harta debitur, dengan patokan, sampai semua
hutang (tagihan) terlunasi. Ini sesuai dengan
prinsip hukum perdata yang menentukan semua
harta kekayaan debitur memikul beban untuk
melunasi hutang kepada kreditur sampai
terpenuhi seluruh pembayaran hutang.
BAB III
PENUTUPAN
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
tulisan yang telah dipaparkan diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Pengertian harta bersama (gono-gini) adalah harta
kekayaan yang didapatkan selama ikatan pernikahan terjalin dan diluar harta
waris dan hadiah. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa, harta yang didapat
selama terjalinnya ikatan pernikahan baik yang didapat secara bersama-sama
ataupun sendiri-sendiri disebut harta bersama.
2.
Adapun jenis-jenis harta bersama dalam pasal 91 Kompilasi Hukum Islam
Harta bersama dapat berupa benda berwujud yang meliputi benda bergerak dan
benda tidak bergerak , serta harta bersama dapat berbentuk surat-surat berharga
dan harta bersama dapat berupa benda tidak berwujud berupa hak dan kewajiban.
3.
Pembagian harta bersama
(gono gini) dilakukan atas dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, maka harta kekayaan yang diperoleh baik dari
pihak suami atau isteri menjadi hak bersama sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan dan jika
perkawinan putus, masing-masing berhak ½ (seperdua) dari harta tersebut, karena
selama perkawinan terdapat adanya harta bersama, maka Hakim disini memberikan
putusan mengenai besarnya bagian masing-masing. Pengadilan menetapkan pembagian
harta bersama tersebut ½ (seperdua) bagian untuk penggugat dan ½ (seperdua)
bagian untuk tergugat.
4.
Secara umum, hukum Islam tidak
melihat adanya harta gono-gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan
antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan
harta miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan oleh istri adalah
harta miliknya.
5.
Kendala-kendala yang
sering muncul dalam pelaksanaan pembagian harta bersama adalah sering sekali
para pihak itu tidak punya bukti yang lengkap. Apakah benar-benar hak bersama atau bukan. Bukti tulis (Sertipikat SKT).
Banyak sekali harta itu tidak lengkap contoh : ukuran 2009 © Elti Yunani, SH
luas tidak jelas, kalau tanah batas-batas tidak jelas, tempat membeli sudah
meninggal.
3.2.
Saran
Perlu
adanya penyuluhan hukum yang terjadwal dan terencana agar masyarakat awam dapat
mengerti akan hak dan kewajibannya, terutama hukum keluarga sekaligus mensosialisasikan
Kompilasi Hukum Islam agar dapat terwujud menjadi penegakan hukum di Pengadilan
Agama. Bagi mereka yang menjalani kehidupan berumah tangga, apabila mengalami
suatu masalah segera selesaikan secara kekeluargaan, jangan sampai masalah itu
dibawa berlarut-larut sehingga akan berakibat terjadi perceraian, karena
meskipun di dalam Agama Islam melakukan perceraian itu dibolehkan oleh Allah
SWT, tetapi hal itu merupakan sesuatu yang sangat dibenci Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata
Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008)
Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam
di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta, Kencana, 2006)
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,
Cetakan Ke- III,
(Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000)
Ahmad Zain An-Najah, Halal dan Haram
dalam Pernikahan, Cetakan Pertama,(Jakarta Timur, Puskafi, 2011)
Ash
Shiddieqy, Hasbi. 1993. Fiqh Waris: Hukum Pembagian Waris menurut Syari’at
Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan
Indonesia, menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cetakan 1 (Bandung,
Mandar Maju, 1990)
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup
Permasalahan eksekusi Bidang Perdata, edisi Kedua, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005)
Malisi,
Ali. Jurnal Studi Islam Ulul Albab. Vol. 14, No. 1. Cet. 1. Malang:
UIN-Maliki Press, 2013.
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010)
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum
Acara Perdata, Cetakan
Kedua, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009)
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam,
(Jakarta, Sinar Grafika, 2000)
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan,
Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama dan zakat menurut hukum Islam, Cet. (Jakarta, Sinar Grafika, 2004) h. 28
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan
Keluarga Persfektif Hukum Perdata Barat/BW Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi Revisi,
(Jakarta, Sinar Grafika) h. 26
Tihami & Sobari Sahrani, Fikih
Munakahat Kajian Fikih Lengkap, Ct. 3 (Jakarta, Rajawali Pers, 2013,
Yunani,
Elti. Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama dalam Praktik di Pengadilan Agama
Bandar Lampung- Lampung. Cet. 1. Semarang: Undip-Press, 2009.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006)
[1] Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Cetakan Kedua, (Jakarta, Kencana, 2006) h. 109
[2] Tihami & Sobari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih
Lengkap, Ct. 3 (Jakarta, Rajawali Pers, 2013,
h. 179
[3] Ibid, hlm. 181
[4] Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan,
Hukum Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam,
(Jakarta, Sinar Grafika, 2000) h. 34
[5] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, menurut
Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cetakan 1
(Bandung, Mandar Maju, 1990) h. 123
[6] Ibid, hlm. 122
[7] Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Persfektif Hukum
Perdata Barat/BW Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi
Revisi, (Jakarta, Sinar Grafika) h. 26
[8] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2008) h. 109
[9] Kompilasi Hukum Islam, hlm. 31
[10] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan
Pertama, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) h. 57
[11] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan,
Hukum Acara Peradilan Agama dan zakat menurut hukum
Islam, Cet. (Jakarta, Sinar Grafika, 2004) h.
28
[12] Abdul Manan, Op.Cit, hlm 112
[13] Tihami & Sobari Sahrani, Op.Cit. hlm 181
[14] Ahmad Zain An-Najah, Halal dan Haram dalam Pernikahan,
Cetakan Pertama,(Jakarta Timur, Puskafi, 2011) h. 129
[15] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ke-
III, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000) h. 108
[16] Ibid, hlm 102
[17] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010) h. 14
[18] M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan eksekusi
Bidang Perdata, edisi Kedua, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2005) h. 6
[19] Ibid, hlm. 24
[20] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyah, Cet 2, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010)
h.145
[21] Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata,
Cetakan Kedua, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009) h.
216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar