Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH TENTANG PERKAWINAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang

Islam sebagai agama, memerintahkan penganutnya untuk mengikuti sunnah Rasulnya. Salah satu sunnah Rasul yang perlu diikuti adalah menikah bagi yang mampu secara jasmaniah maupun rohaniah. Prinsip pernikahan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah dunia dan akhirat. Meskipun demikian, keluarga dalam konteks keduniaan bukanlah suatu yang abadi. Artinya, keluarga memiliki awal dan akhir. Berakhirnya suatu keluarga memiliki beberapa faktor, diantaranya terjadinya perceraian, hilang salah satu pasangan dalam kurun waktu yang sangat lama, dan meninggal salah satu pasangan. Disamping itu, pernikahan merupakan salah satu penyebab terjadinya harta bersama.

Perceraian, baik cerai mati atau cerai hidup mengandung berbagai akibat hukum. Salah satunya berkaitan dengan harta bersama atau harta gono-gini. Harta bersama atau harta gono-gini ini ada ketika perkawinan berlangsung, sedangkan harta bawaan yang diperoleh sebelum berlangsungnya pernikahan tidak termasuk harta gono-gini. Bila pernikahan terputus, diakibatkan meninggalnya salah satu pasangan, maka hak-hak dan kewajibannya diambil alih oleh keturunannya (Prodjodikoro, 2013:102). Harta bersama atau harta gono-gini tidak mudah untuk diketahui, sebab hampir semua masyarakat Indonesia tidak membedakan harta bersama dengan harta bawaan. Oleh karena itulah ketika keluarga putus sangat susah memisahkan harta bawaan dan harta gono-gini. Hal ini diakibatkan oleh minimnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya hukum yang mengatur harta kepemilikan.

 

 

 

 

1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, berikut ini dijelaskan secara rinci beberapa rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini:

1.      Apa yang dimaksud Kedudukan Harta Bersama dalam Perkawinan ?

2.      Apa saja Akibat Perceraian Terhadap Harta?

3.      Bagaimana Eksekusi Pembagian Harta Bersama?

 

1.3    Metode Penulisan

Penulisan ini bersifat pustaka (Library Research), penulis ini menggunakan metode mengumpulkan buku-buku, jurnal atau dari berbagai sumber-sumber lain yang baik bersifat sekunder maupun primer. Untuk sumber primer, penulis menggunakan berbagai buku, serta sekunder penulis menggunakan jurnal serta berbagai ebook , artikel, majalah yang dapat ditemukan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Kedudukan Harta Bersama dalam Perkawinan

2.1.1        Pengertian Harta Bersama

1.      Harta Bersama Menurut Hukum Islam

Dalam kitab-kitab fiqih tradisional, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang di hasilkan oleh suami istri selama mereka diikati oleh tali perkawinan, atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan syirkah antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat di beda-bedakan lagi.[1]

Adanya Harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Harta bersama tersebut dapat berupa benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, sedang yang tidak berwujud bisa berupa hak dan kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya. Suami istri, tanpa persetujuan dari salah satu pihak, tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut. Dalam hali ini, baik suami istri, mempunyai pertanggung jawaban untuk menjaga harta bersama.[2]

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, dijelaskan bahwa harta gono gini adalah harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Dalam masyarakat Indonesia, hamper semua daerah mempunyai pengertian, bahwa harta bersma antara suami istri memang ada dengan istilah yang berbeda untuk masing-masing daerah. Dalam Hukum Islam, harta bersama suami istri pada dasarnya tidak dikenal, karena hal ini tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab fikih. Hal ini sejalan dengan asas pemilikan harta secara individual (pribadi). Atas dasar ini, suami wajib memberikan nafkah dalam bentuk biaya hidup dengan segala kelengkapannya untuk anak dari istrinya dari harta suami sendiri Harta Bersama dalam Islam lebih identik diqiyaskan dengan Syirkah abdan mufawwadhah  yang berarti perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas.[3] Meskipun gono gini tidak diatur dalam fikih Islam secara jelas, tetapi keberadaannya, paling tidak dapat diterima oleh sebagian ulama Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak suami istri, dalam masyarakat Indonesia, sama-sama bekerja, berusaha untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari- hari dan sekedar harta untuk simpanan (tabungan) untuk masa tua mereka. Bila keadaan memungkinkan ada juga peninggalan untuk anak- anak sudah mereka meninggal dunia.

Pencaharian bersama itu termasuk kedalam kategori syirkah mufawwadhah karena perkongsingan suami istri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai harta warisan atau pemberi secara khusus kepada suami istri tersebut. Harta bersama adalah harta yang diperoleh suami atau istri karena usahanya dalam masa perkawinan, baik mereka bekerja besama-sama untuk mendapatkan harta ataupun hanya sang suami saja yang bekerja sedangkan istri hanya berada dirumah untuk mengurus rumah tangga beserta anak-anak di rumah.[4]

Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta
tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama. Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu didaftarkan.

2.      Pengertian Harta Bersama menurut Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Menurut UU No. 1 Tahun 1974 bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami istri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35). Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan „hukumnya‟ masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.[5]

3.      Pengertian Harta Bersama menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia, pengertian harta bersama sejalan dengan pengertian harta bersama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 35 yaitu harta benda yang diperoleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan. Dalam pasal 85 KHI disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri, bahkan dalam pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta bersama dan istri karena perkawinan.

4.      Harta Bersama menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Di dalam KUH Perdata (BW), tentang Harta Bersama menurut Undang-Undang dan Pengurusnya, diatur dalam Bab VI Pasal 119-138, yang terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama tentang Harta Bersama menurut Undang-Undang (Pasal 119-123), Bagian Kedua tentang Pengurusan Harta Bersama (Pasal 124-125) dan Bagian Ketiga tentang Pembubaran Gabungan Harta Bersama dan Hak Untuk Melepaskan Diri Padanya (Pasal 126-138).[6]

Menurut KUH Perdata „Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara pihak suam istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri (Pasal 119). Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami istri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas (Pasal 120).

Dalam Pasal 122 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek “Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakukah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak ditiadakan ketentuan lain. Peraturan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami istri. Segala utang dan rugi sepanjang perkawinan harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan.

Bagi mereka yang tunduk pada Hukum Perdata Barat (BW) mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan dalam Pasal 119 BW (KUH Perdata) menyebutkan; Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan antara persatuan bulan antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri. Dengan demikian, di dalam pasal ini menunjukan bahwa sepanjang mengenai harta menjadi harta bersama atau harta campuran itu demi undang-undang menjadi hubungan bersama, atau apabila suami istri sebelum melangsungkan perkawinan mengadakan surat perjanjian di hadapan notaries mengenai hartanya, maka suami istri dapat menempuh penyimpangan.

Dengan demikian jelas di sini bagi mereka yang tuduk kepada BW mengenai persatuan harta ini adalah bersifat memaksa, yang berarti setelah perkawinan dilangsungkan maka sepanjang yang menyangkut harta bersama tidak dapat diadakan perjanjian lain. Di sini harus dapat kita bedakan bukan berarti bahwa para pihak menjadi hak separo- separo atas harta bersama, apabila kemudian salah satu pihak meninggal dunia, apa yang kita kenal sebagai barang gono gini di dalam Hukum Adat.

Ataupun percampuran harta ini akan lebih tepat kalau kita nyatakan, bahwa suami istri masing-masing mempunyai hak atas harta, namun bagi mereka dapat tidak melakukan penguasaan (beschekking) atas bagian mereka masing-masing.[7]

2.1.2        Dasar Hukum Harta Bersama

1.      Al-Qur‟an

Dalam Al-Qur‟an dan Sunnah serta berbagai kitab-kitab hukum fiqh harta bersama tidak diatur dan tidak ada pembahasannya secara rinci. Harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan perkataan lain disebut bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami dan istri sehingga terjadi percampuran harta satu dengan harta yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi.[8]

Sebagaimana Firman Allah S.W.T dalam surat An-Nisa ayat 32 :

Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Berdasarkan ayat di atas bahwa setiap laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita dari apa yang mereka usahakan pula. Ayat tersebut menjelaskan adanya persamaan antara kaum pria dan wanita. Kaum wanita di syariatkan untuk mendapat mata pencaharian sebagaimana kamu pria. Keduanya dibimbing kepada karunia dan kebaikan yang berupa harta dengan jalan beramal dan tidak merasa iri hati

2.      Kompilasi Hukum Islam

Adapun pengaturan harta bersama diatur dalam KHI dalam Bab XIII pasal 85 sampai dengan pasal 97. Peraturan yang paling baru berkenaan harta bersama ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut : Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

“Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”.[9]

Pasal 86

1)   Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

2)   Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetapmenjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

Pasal 87

1.     Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

2.     Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.[10]

Pasal 88

“Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”.

Pasal 89

“Suami bertanggung jawab menjaga harta bersam, harta isteri mupun hartanya sendiri”.

Pasal 90

“Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersam maupun harta suami yang ada padanya”. Pengaturan kekayaan harta bersama diatur dalam Pasal 91 KHI :

1.        Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud,

2.        Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.

3.        Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

4.        Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 92 KHI mengatur menganai persetujuan penggunaan harta bersama : “suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau meminda-mindahkan harta bersama.

Penggunaan harta bersama, lebih lanjut diatur dalam Pasal 93, 94, 95, 96, dan 97 KHI. Pasal 93 KHI

1.   Pertanggung jawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing.

2.   Pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga,
dibebankan kepada harta bersama.

3.   Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.

4.   Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri.

Pasal 94 KHI

1.     Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

2.     Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat.

Pasal 95 KHI

1.      Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita atau jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainnya.

2.      Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dan izin Pengadilan Agama.

Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam

1.      Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebihlama.

2.      Pembagian harta bersam bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hokum ata dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97

“Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

2.1.3        Macam-Macam Harta Bersama

Ada beberapa harta yang berkenaan dengan harta bersama yang lazim dikenal di Indonesia antara lain :

a.       Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usaha mereka masing-masing, harta jerih ini adalah hak dan dikuasai masing- masih pihak suami atau istri.

b.      Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai mungkin berupa modal usaha atau perabotan rumah tanggaatau tempat tinggal, apabila terjadi perceraian maka harta tersebut kembali kepada orang tua atau keluarga yang memberikan semula.

c.       Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tetapi karena hibah atau warisan dari orang tua mereka atau keluarga terdekat.

d.      Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam hubungan perkawinan berlangsung atau usaha mereka berdua atau salah seorang dari mereka disebut juga harta matapencaharian, dan harta jenis ini menjadi harta bersama.[11]

Tentang harta jenis pertama, kedua dan ketiga tidak menjadi persoalan lagi karena sudah pasti statusnya dikuasi masing-masing pihak (jenis pertama). Kembali kepada asal dari mana datangnya semula (jenis kedua) dan tetap dikuasai mamak kepala waris atau penguasa adat yang bersangkutan (jenis ketiga).

Yang menjadi masalah sekarang adalah harta jenis keempat yakni harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas menurut Hukum Islam terdapat dua versi jawaban yang dapat dikemukakan tentang harta bersama yaitu :

1)   Tidak dikenal harta bersama dalam lembaga Hukum Islam kecuali dengan syirkah (pendapat pertama)

Berbeda dengan sistem hukum Perdata Barat (BW) dalam Hukum Islam tidak dikenal percampuran harta kekayaan antara suami dan istri karena perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri tersebut, demikian juga harta kekayaan suami tetap menjadi hak milik suami dan dikuasai sepenuhnya olehnya, oleh karena itu pula wanita yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan suami dalam soal apapun juga termasuk mengurus harta benda, sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat.

Namun menurut Hukum Islam dengan perkawinan menjadilah sang istri syarikatul rajuli filhayati : perkongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup, maka antara suami istri dapat terjadi syarikah abdan (perkongsian tidak terbatas).

Dalam hal ini harta kekayaan bersatu karena syirqah (syirkah) seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama suami istri selama perkawinan menjadi milik bersama, karena itu apabila kelak perjanjian perkawinan itu terputus karena perceraian atau talaq, maka harta syirqah tersebut dibagi antara suami istri menurut pertimbangan sejauh mana usaha mereka suami/istri turut berusaha dalam syirkah.

2)   Pendapat kedua menyatakan bahwa ada harta bersama antara suami istri menurut Hukum  Islam

Hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta milik suami dengan harta milik istri, masing-masing pihak bebas mengatur harta milik masing-masing dan tidak diperkenakan adanya campur tangan salah satu pihak dalam pengaturannya. Ikut campurnya salah satu pihak hanya bersifat nasihat saja, bukan penentu dalam pengelolaan harta milik pribadi suami atau istri tersebut. Ketentuan hukum Islam tersebut sangat realistis, karna kenyataannya percampuran hak milik suami istri menjadi harta bersama banyak menimbulkan masalah dan kesulitan sehingga memerlukan aturan khusus untuk menyelesaikannya.

Meskipun hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta pribadi masing-masing ke dalam harta bersama suami istri tetapi dianjurkan adanya saling pengertian antara suami dan istri mengelola kekayaan pribadi ini dapat merusak hubungan suami istri yang menjurus keperceraian. Apabila di khawatirkan akan timbul hal-hal yang tidak di harapkan, maka hukum Islam memperbolehkan diadakan perjanjian perkawinan sebelum pernikahan dilaksanankan. Perjanjian itu dapat berupa penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta bersama.[12]

Harta besama itu termasuk ke dalam kategori syirkah mufawwadah, karena perkongsian suami atau istri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai harta warisan atau pemberian secara khusus kepada suami istri tersebut.[13]

Apabila istri dari seorang suami hamil kemudian melahirkan anak mereka, tetapi suami tidak turut serta dalam mendidik anak tersebut, maka tidak dapat dikatakan anak si istri saja tentulah anak dari suami istri. Demikian pula pula apabila suaminya yang bekerja, berusaha dan mendapat harta tidak dapat dikatakan bahwa harta itu hanya harta suami

saja tentulah menjadi harta suami istri bersama, apabila terjadi putus hubungan perkawinan baik karena cerai atas gugatan pihak isteri, atau karena talaq atas permohonan suami maka harta bersama itu harus dibagi antara suami istri itu. Demikian juga apabila putusnya hubungan perkawinan karena kematian maka sebelum harta peninggalan itu dibagi antara para pihak ahli waris, haruslah dikeluarkan lebih dahulu harta bersama antara suami isteri itu, barulah kemudian dikeluarkan utang si mayat dan wasiat kalau ada, terakhir sisanya diserahkan kepada para dzulfaraidh dan dzulqarabat (asabah).

2.1.4        Pembagian Harta Bersama dalam Hukum Islam

Didalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini, Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum didalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah: Pembagian harta gono-gini tergantung kepada suami dan istri. Kesepakatan ini didalam Al-Qur‟an disebut dengan istilah “Ash Shulhu” yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami- istri) setelah mereka berselisih. Allah berfirman Q.S An- Nisa 128 :

 

 

Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar- benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Ayat diatas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya didalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat diatas, istri merelakan
hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Saw :

Dari Amru‟ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw bersabda : “perdamaian adalah boleh diantara kaum muslimah, kecuali perdamaian yang mengaharamkan yang halal dan perdamaian yang meghalalkan yang haram”. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah).

Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian haknya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umumnya : suami istri yang sama sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40% dari barang yang ada, sedangkan suami mendapatkan 60%, atau istri 55% dan suami 45% atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan bersama.[14]

 

2.2      Akibat Perceraian terhadap Harta

Menurut ketentuan pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena (a) kematian, (b) perceraian, (c) atas keputusan Pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian sering disebut oleh masyarakat dengan istilah “cerai mati”. Sedangkan putusnya perkawinan karena perceraian ada dua sebutan yaitu “cerai gugat” dan “cerai talak”. Putusnya perkawinan karena atas keputusan Pengadilan disebut “cerai batal”.[15]

Mengenai harta benda dalam perkawinan, yang diatur dalam Pasal 35 UUP dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

1.      Harta bersama

Harta bersama dikuasai oleh suami istri. Suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 36 ayat 1 UUP). Terhadap harta bersama suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Menurut ketentuan pasal 37 UUP, apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain.

Dengan demikian, apabila terjadi perceraian, harta bersama dibagi berdasarkan hukum yang telah berlaku sebelumnya bagi suami istri,yaitu hukum agama, hukum adat, hukum B.W dan lain-lain. Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti penguasaan harta bersama, yang diperoleh selama perkawinan. Karena ada kecendrungan pembagiannya yang tidak sama, yang akan mengecilkan baik istri atas harta bersama.[16]

2.      Harta bawaan

Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya, yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya dengan perjanjian perkawinan, maka penguasaan harat bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian juga apabila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkainan.

 

3.      Harta perolehan

Harta perolehan masing-masing pada dasarnya penguasaannya sama seperti harta bawaan. Masing- masing suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya. Apabila pihak suami dan istri menentukan lain misalnya dengan perjanjian perkawianan, maka penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian juga jika terjadi perceraian, harta perolehan, dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

2.3      Eksekusi Pembagian Harta Bersama

2.3.1        Pengertian Eksekusi

Secara etimologis eksekusi berasal dari bahasa Belanda yang berarti menjalankan putusan hakim atau pelaksanaan putusan hakim atau pelaksanaan putusan (tenuitvoer van vonnissen), secara terminologis eksekusi ialah melaksanakan putusan (vonis) Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[17]

Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu putusan Pengadilan yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan yang bersifat declaratoir dan constitutife tidak memerlukan eksekusi dalam menjalankannya.

Retno wulan Susanti mengalihkan istilah eksekusi (executie) ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “pelaksanaan” putusan. Pembakuan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab jika bertitik tolak dari ketentuan bab kesepuluhan bagian kelima HIR atau title keempat RBG, pengertian eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen). Menjalankan putusan Pengadilan, tiada lain dari pada melaksanakan ”secara paksa” putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela (vrijwillig, voluntary). [18]

2.3.2        Jenis-jenis Eksekusi

Salah satu asas eksekusi adalah hanya dapat dijalankan terhadap putusan Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang bersifat kondematoir, yakni dalam amar putusan yang terdapat pernyataan “penghukuman” terhadap tergugat untuk melakukan salah satu perbuatan yaitu :

1)        Menyerahkan sesuatu barang

2)        Mengosongkan sebidang tanah atau rumah

3)        Melakukan suatu perbuatan tertentu

4)        Menghentikan suatu perbatan atau keadaan

5)        Membayar sejumlah uang.[19]

Jika ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum berdasarkan amar putusan Pengadilan yang bersifat kondematoir, seperti diatas, maka sejenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi 2 bentuk yaiu:

a.       Eksekusi riil

Eksekusi riil hanya mungkin terjadi dan ditetapkan berdasarkan putusan Pengadilan yang:

a)      Telah memperoleh kekuatan hukum tetap (res judicata)

b)      Bersifat dijalankan lebih dulu (uitvoerbaar bij voorrad, provisionally enforceable)

c)      Bentuk provinsi (interlocutory injunction) dan

d)     Berbentuk akta perdamaian di siding Pengadilan.

b.      Eksekusi sejumlah uang

Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas putusan Pengadilan, tetapi dapat juga didasarkan atas bentuk tertentu yang oleh undang-undang “disamakan” nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap antara lain terdiri dari:

a)      Grosse akta pengakuan utang

b)      Grosse akta hipotek dan

c)      Crediet verband

d)     Hak tanggungan (HT)

e)      Jaminan Fidusial (JF)

2.3.3        Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi

1)      Eksekusi Riil

Secara prosedural pelaksaan eksekusi riil adalahvsebagai berikut :

a)        Permohonan eksekusi oleh pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan Agama secara sukarela untuk dilaksanakan secara paksa (Pasal 207 ayat (1) RBg/Pasal 196).

b)       Penaksiran biaya eksekusi oleh petugas meja pertama. Biaya yang diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biasa saksi-saksi, biaya pengamanan, dan biaya lainnya yang diperlukan. Setelah biaya tersebut dibayar barulah didaftarkan dalam register eksekusi.

c)        Telah dilaksanakan teguran (aanmaning)Pengadilan Agama menegur kepada pihak yang kalah agar melaksanakan putusan dan memanggil kedua belah pihak yang berpekara datang didepan Ketua Pengadilan Agama pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan. Pihak yang kalah diberikan tenggang waktu 8 (delapan) hari untuk berpikir, jika dalam waktu tersebut pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan, maka Pengadilan Agama dapat melaksanakan eksekusi putusan. (Pasal 196 HIR).

d)       Perintah eksekusi Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan surat penetapan yang intinya memerintahkan panitera/juru sita untuk melaksanakan sita eksekusi dibantu oleh 2 (dua) orang saksi. Dalam penetapan tersebut harus disebutkan nomor perkara yang hendak dieksekusikan dan objeknya.

e)        Pelaksanaan eksekusi riil Eksekusi hanya dilaksanakan oleh panitia atau juru sita dan dibantu oleh 2 (dua) orang saksi, dan panitera/juru sita wajib hadir ke tempat objek barang yang akan dieksekusikan. Eksekusi dilaksanakan sesuai dengan amar putusan, serta dibuatkan Acara

Eksekusi. Berita Acara Eksekusi memuat hal-hal sebagai berikut :

a)      Jenis barang yang akan dieksekusi

b)      Letak, ukuran dan luas barang tetap yang dieksekusikan

c)      Hadir tidaknya pihak yang dieksekusi

d)     Penegasan dan keterangan pengawai barang

e)      Penjelasan Non Bevinding bagi yang tidak sesuai dengan amar putusan.

f)       Penjelasan dapat atau tidaknya eksekusi dijalankan.

g)      Hari, tanggal, jam, bulan, dan tahun pelaksanaan eksekusi.

h)      Berita Acara Eksekusi ditandatangani oleh petugas eksekusi, 2 (dua) orang saksi, kepala desa/lurah setempat dan tereksekusi.[20]

2)      Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang

Eksekusi pembayaran sejumlah uang ialah suatu eksekusi yang intinya agar pihak yang kalah dalam beperkara membayar sejumlah uang yang telah ditetapkan pihak pengadilan kepada pihak
yang dimenangkan. Dalam Pengadilan Agama hal ini terjadi pada sengketa nafkah anak, nafkah beban istri selama masa iddah dan/atau sengketa lain yang dapat dinilai dengan uang. Apabila pihak yang sudah tidak melunasi pembayaran sejumlah uang, maka dapat dilakukan secara paksa dengan cara menjual lelang harta kekayaan tergugat. Hal ini berdasarkan Pasal 225 ayat (1) HIR prosedur eksekusi pembayaran sejumlah uang.

Dalam praktik Peradilan Agama eksekusi pembayaran sejumlah uang mempunyai beberapa tahapan sebagai berikut :

a.   Permohonan eksekusi dari pihak yang menang. Permohonan eksekusi tersebut ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutuskan perkara tersebut.

b.   Pengadilan mengeluarkan penetapan sita eksekusi Setelah Pengadilan Agama menerima surat permohonan eksekusi dari pihak yang menang. Pengadilan Agama segera memanggil pihak yang kalah untuk mengikuti sidang dan aanmaning (teguran), agar pihak yang kalah segera melaksanakan putusan secara sukarela (Pasal 207 ayat (1) dan (2) RBg dan Pasal 196 HIR). Apabila pihak yang kalah tidak melaksanakan pula putusan, maka Pengadilan Agama mengeluarkan surat penetapan sita eksekusi (Pasal 208 RBg dan Pasal 197 HIR dan Pasal 439 Rv).

c.   Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan perintah eksekusi Surat perintah eksekusi tersebut berisi tentang perintah penjualan lelang barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusinya dengan menyebut objek yang dieksekusi dan menyebutkan putusan yang menjadi dasar eksekusi tersebut.

d.  Pengumuman lelang Pengumuman lelang tersebut melalui surat kabar atau masa medi terhadap barang-barang/benda-benda yang akan dieksekusi (Pasal 200 a 6HIR dan Pasal 217 a 1 RBg)

e.   Ketua Pengadilan Agama meminta bantuan kantor lelang Negara untuk menjual lelang barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusi dengan lampiran :

1)      Salinan surat putusan Pengadilan Agama

2)      Salinan penetapan sita eksekusi

3)      Salinan Berita Acara Sita

4)      Salinan penetapan lelang

5)      Salinan surat pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan

6)      Perincian besarnya jumlah tagihan

7)      Bukti pemilikan barang, misalnya sertifikat tanah

8)      Syarat-syarat lelang

9)      Bukti pengumuman

f.    Kantor lelang mendaftarkan permintaan lelang tersebut dalam buku khusus

g.   Kepada kantor lelang menetapkan waktu pelaksanaan lelang

h.   Penentuan syarat lelang dan floor price (patokan harga).

Penentuan syarat lelang menjadi kewenangan Ketua Pengadilan Agama yang bertindak sebagai penjual untuk dan atas nama termohon eksekusi. Misalnya, tata cara penawaran dan pembayaran. Sedangkan, untuk floor price (patokan harga terendah) disesuaikan dengan harga pasaran dan nilai ekonomis barang dan ini menjadi wewenang Kepala Kantor Lelang Negara

i.     Tata cara penawaran

Pihak-pihak yang ikut dalam lelang harus mengajukan penawaran secara tertulis dengan menyebutkan nama dan alamat penawar, menyebut harga yang disanggupinya dan ditandatangani oleh pihak-pihak penawar.

j.     Menentukan pemenang

Pemenang lelang adalah penawaran tertinggi.

k.   Pembayaran harga lelang Pengadilan Agama berhak menentukan syarat-syarat pembayaran lelang.

2.3.4        Putusan yang dapat di Eksekusi

Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang bersifat Condemnatoir. Artinya mengandung suatu penghukuman.[21] Putusan-putusan yang amar atau diktumnya adalah declaratoir atau konstitutif tidak perlu dieksekusikan atau dilaksanakan, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu diucapkan, maka keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan declaratoir mulai berlaku pada saat itu juga, atau dalam halnya putusan konstitutif, keadaan baru sudah tercipta pada detik itu pula. Putusan condematoir biasa berupa penghukuman untuk :

a)      Menyerahkan suatu barang

b)      Mengosongkan sebidang tanah

c)      Melakukan suatu perbuatan tertentu

d)     Menghentikan suatu perbuatan/keadaan

e)      Membayar sejumlah uang.

Dari kelima bentuk putusan condemnatoir, dari a. s.d. d adalah penghukuman yang berbentuk eksekusi riil, sedangkan e adalah eksekusi pembayaran sejumlah uang. Pada umumnya eksekusi riil sangat sederhana dan hanya meliputi barang tertentu, misalnya barang yang menjadi sengketa adalah sebidang tanah, maka eksekusi riil nya hanya terbatas pada pengosongan dan penyerahan tanah yang menjadi sengketa eksekusi riil tidak dapat berkembang terhadap harta tergugat yang lain. Berbeda dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang, berlaku asas obyek eksekusi meliputi semua harta debitur, dengan patokan, sampai semua hutang (tagihan) terlunasi. Ini sesuai dengan prinsip hukum perdata yang menentukan semua harta kekayaan debitur memikul beban untuk melunasi hutang kepada kreditur sampai terpenuhi seluruh pembayaran hutang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUPAN

 

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan tulisan yang telah dipaparkan diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1.         Pengertian harta bersama (gono-gini) adalah harta kekayaan yang didapatkan selama ikatan pernikahan terjalin dan diluar harta waris dan hadiah. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa, harta yang didapat selama terjalinnya ikatan pernikahan baik yang didapat secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri disebut harta bersama.

2.         Adapun jenis-jenis harta bersama dalam pasal 91 Kompilasi Hukum Islam Harta bersama dapat berupa benda berwujud yang meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak , serta harta bersama dapat berbentuk surat-surat berharga dan harta bersama dapat berupa benda tidak berwujud berupa hak dan kewajiban.

3.         Pembagian harta bersama (gono gini) dilakukan atas dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, maka harta kekayaan yang diperoleh baik dari pihak suami atau isteri menjadi hak bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan dan    jika perkawinan putus, masing-masing berhak ½ (seperdua) dari harta tersebut, karena selama perkawinan terdapat adanya harta bersama, maka Hakim disini memberikan putusan mengenai besarnya bagian masing-masing. Pengadilan menetapkan pembagian harta bersama tersebut ½ (seperdua) bagian untuk penggugat dan ½ (seperdua) bagian untuk tergugat.

4.         Secara umum, hukum Islam tidak melihat adanya harta gono-gini. Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan oleh istri adalah harta miliknya.

5.         Kendala-kendala yang sering muncul dalam pelaksanaan pembagian harta bersama adalah sering sekali para pihak itu tidak punya bukti yang lengkap. Apakah benar-benar hak bersama  atau bukan. Bukti tulis (Sertipikat SKT). Banyak sekali harta itu tidak lengkap contoh : ukuran 2009 © Elti Yunani, SH luas tidak jelas, kalau tanah batas-batas tidak jelas, tempat membeli sudah meninggal.

 

3.2. Saran

Perlu adanya penyuluhan hukum yang terjadwal dan terencana agar masyarakat awam dapat mengerti akan hak dan kewajibannya, terutama hukum keluarga sekaligus mensosialisasikan Kompilasi Hukum Islam agar dapat terwujud menjadi penegakan hukum di Pengadilan Agama. Bagi mereka yang menjalani kehidupan berumah tangga, apabila mengalami suatu masalah segera selesaikan secara kekeluargaan, jangan sampai masalah itu dibawa berlarut-larut sehingga akan berakibat terjadi perceraian, karena meskipun di dalam Agama Islam melakukan perceraian itu dibolehkan oleh Allah SWT, tetapi hal itu merupakan sesuatu yang sangat dibenci Allah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008)

Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta, Kencana, 2006)

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ke- III, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000)

Ahmad Zain An-Najah, Halal dan Haram dalam Pernikahan, Cetakan Pertama,(Jakarta Timur, Puskafi, 2011)

Ash Shiddieqy, Hasbi. 1993. Fiqh Waris: Hukum Pembagian Waris menurut Syari’at Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cetakan 1 (Bandung, Mandar Maju, 1990)

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan eksekusi Bidang Perdata, edisi Kedua, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005)

Malisi, Ali. Jurnal Studi Islam Ulul Albab. Vol. 14, No. 1. Cet. 1. Malang: UIN-Maliki Press, 2013.

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010)

Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Cetakan Kedua, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009)

Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2000)

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan zakat menurut hukum Islam, Cet. (Jakarta, Sinar Grafika, 2004) h. 28

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Persfektif Hukum Perdata Barat/BW Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi Revisi, (Jakarta, Sinar Grafika) h. 26

Tihami & Sobari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap, Ct. 3 (Jakarta, Rajawali Pers, 2013,

Yunani, Elti. Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama dalam Praktik di Pengadilan Agama Bandar Lampung- Lampung. Cet. 1. Semarang: Undip-Press, 2009.

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006)

 



[1] Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta, Kencana, 2006) h. 109

[2] Tihami & Sobari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap, Ct. 3 (Jakarta, Rajawali Pers, 2013, h. 179

[3] Ibid, hlm. 181

[4] Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2000) h. 34

[5] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cetakan 1 (Bandung, Mandar Maju, 1990) h. 123

[6] Ibid, hlm. 122

[7] Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Persfektif Hukum Perdata Barat/BW Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi Revisi, (Jakarta, Sinar Grafika) h. 26

[8] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008) h. 109

[9] Kompilasi Hukum Islam, hlm. 31

[10] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) h. 57

[11] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan zakat menurut hukum Islam, Cet. (Jakarta, Sinar Grafika, 2004) h. 28

[12] Abdul Manan, Op.Cit, hlm 112

[13] Tihami & Sobari Sahrani, Op.Cit. hlm 181

[14] Ahmad Zain An-Najah, Halal dan Haram dalam Pernikahan, Cetakan Pertama,(Jakarta Timur, Puskafi, 2011) h. 129

[15] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ke- III, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000) h. 108

[16] Ibid, hlm 102

[17] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010) h. 14

[18] M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan eksekusi Bidang Perdata, edisi Kedua, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005) h. 6

[19] Ibid, hlm. 24

[20] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Cet 2, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010) h.145

[21] Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Cetakan Kedua, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2009) h. 216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar