latar belakang
Perkawinan
merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara
seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah
tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga
tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut.
Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2
ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang
melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam
melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1
Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada
ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan
tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan
berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi
masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi
seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang
berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai
dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat
bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak
dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara
positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya
perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang
berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat
interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis
agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi didalam masyarakat, seperti
perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia Kandau, Katon Bagaskara
dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari
Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan
Amara, Sonny Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.
Perkawinan antar agama yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara
atau pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam
mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi
pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak
dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan
Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan diluar negeri.
Dari kenyataan yang terjadi di dalam
masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan
itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis
mencoba memberikan pendapat tentang Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum
Positif Indonesia.
II. Permasalahan
Dengan
memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam makalah ini bisa diperoleh
hasil yang diinginkan maka saya
mengemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut :
- Apakah
Perkawinan beda agama diindonesia dapat dikatakan sah menurut hukum
agama. ?
- Bagaimana
pendapat hukum terhadap perkawinan beda agama diindonesia. ?
- Adakah UU yang memperbolehkan perkawinan beda agama
diindonesia. ?
A. Pengertian
Perkawinan
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974
tentang Perkawinan, yang dimaksud
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan
pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena
itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau
pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu
persetujuan kekeluargaan”. Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan
hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan
kekal, yang diakui oleh negara”.
Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan-hubungan perdata. Hal
ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai
perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta
peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal
2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi perkawinan adalah suatu ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu
keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah
hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan
perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan
perkawinan tersebut.
B. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut
Peraturan Perundang-Undangan
a. Hakikat Perkawinan
Menurut UU No.
1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan
sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang
sudah resmi sebagai suami dan isteri.
Dalam KHI pasal
2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya
merupakan ibadah.
Sedangkan
menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara
subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut
didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan
tersebut mereka menjadi terikat.
b. Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas
monogami relatif, artinya boleh
sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang
dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan
kepada doktrin Kristen (Gereja).
c. Syarat Sahnya
Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa
perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI,
dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar
terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan
yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya
persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang
belum berusia 21 tahun, usia calon pria
berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang
tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada
larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak
dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata
adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon
mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin
harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat
material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di
dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan
orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah
adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
Menurut
pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri,
wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.
d. Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas
mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.
Dalam
pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan
kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
C.
Perkawinan Campuran
Dalam pasal 57 UU No. 1/1974
perkawinan campuran adalah antara dua orang di
Jadi unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur
adalah perkawinan dilakukan di wilayah hukum
Dan syarat-syarat perkawinan
campuran pada pasal pasal 59 ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan
prinsip Lex loci actus yaitu menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut
dilangsungkan. Hal ini berarti perkawinan campuran di Indonesia
dilakukan menurut hukum perkawinan Indonesia.
D. Perkawinan
di Luar Negeri
Menurut pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang
dilangsungkan di luar
Pada
pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan
oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya
adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing,
adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan
itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar UU ini.
Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun
setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan
harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
E.
Perkawinan Menurut Hukum Agama
Perkawinan hanya sah jika dilakukan
menurut hukum agama yang dianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan
pernikahan. Kedua pasangan suami isteri tersebut menganut agama yang sama. Jika
antara keduanya menganut agama yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat
dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya menganut agama calon lainnya
tersebut.
III. PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama
Menurut Hukum Positif
Sebagaimana telah disebutkan diatas
bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa
peraturan, diantaranya adalah :
- Buku
I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
- UU
No. 1/1974 tentang Perkawinan
- UU
No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
- PP
No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
- Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama
dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak
beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat
Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya
bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar
hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas
tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam.
Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk
melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama
dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut
dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak
berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan
campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut
masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami
isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1,
bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa,
perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua
orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama
menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama,
penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran
terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua,
bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang
berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama
sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal
66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada
peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang
perkawinan.
B. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran
terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan
Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan
pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan
adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal
2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus
dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama
berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof.
Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi
orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.,
demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa
perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan
campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua
orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan
campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada
beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa
perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum
yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan
bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan
agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak
diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974
maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan
campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal
66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang
telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu
perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya
beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No.
1/1974.
C. Pendapat Hukum
Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa
perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No.
1/1974, maka perkawinan beda agama di
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa
perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang
secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda
agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU
No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan
GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti
status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang
Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut
hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua
calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau
kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau
kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama
atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan
dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan
dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami
atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan
diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi
kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama.
Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama
pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak
memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon
isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal
27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga
negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan
bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah
sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara
kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No.
1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan
prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua
ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan
hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi
perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor
Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan
permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib
menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat
kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi
kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi,
sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan
putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di
Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk
melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan
Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu
pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara
Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan
tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal
8 point
f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan
perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama
Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima
permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai
mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan
salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain
untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan
perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri.
Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar
negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan
antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia,
paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat
didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya
perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat
diberikan akta perkawinan.
IV.PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut
diatas, dengan ini penulis kemukakan
beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1.
Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok
Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan
antar agama tidak dapat dilakukan
berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan
pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan
dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
2.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974
tidak secara tegas mengatur tentang
perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20
Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar
agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan
Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan
permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib
menerima permohonan perkawinan antar agama.
3.
Dalam
proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan
antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam
ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula
ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak
lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point
f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan
perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama
Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima
permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai
mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan
salah satu calon pasangannya.
4.
Perkawinan
antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara
B.
Saran
Bahwa dengan
ketidak tegasan pemerintah dalam mengatur perkawinan beda agama sebagaimana
tidak adanya aturan tersebut pada UU No.1/1974, maka bersama ini saya sarankan bahwa :
- Perlu
rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar agama, karena dalam UU
No. 1/1974 Tentang Hukum Perkawinan belum jelas dan tuntas dalam mengatur
perkawinan antar agama.
- Dalam
revisi terhadap Undang-undang Perkawinan perlu kejelasan tentang status
hukum bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan antar agama.
DAFTAR PUSTAKA
Ashshofa, Burhan, SH, Metode
Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996
Andi Hamzah, Dr., SH, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia Jakarta,
1986.
Hazairin,
Tinjauan Mengenai Undang-undang
Perkawinan No 1/1974, Jakarta, Tintamas, 1986
Kitab undang-undang Hukum Perdata
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974
Peraturan Tentang Perkawinan
Campuran (Gemengde Huwelijke Regeling)
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan
Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum
Keluarga, Bandung, Alumni, 1985
Prawirohamidjojo,
R. Soetojo, Pluralisme Dalam
Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia,
Satjitpto
Rahardjo,
Simanjuntak,
P.N.H., S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Soimin, Soedharyo, SH, Hukum Orang
dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, 2002
……………., Himpunan Yurisprudensi
Tentang Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 1996
Soejono, SH, MH & Abdurrahman, SH, MH, Metode Penelitian Hukum, Jakarta,
Rineka Cipta, 2003
Sudarsono, SH, Hukum Perkawinan
Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 1991
Sudikno Mertokusumo, Prof. Dr., SH, Mengenal
Hukum suatu pengantar, Liberty Yogyakarta, 2003.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Usman Adji, Sution, SH, Kawin Lari
dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta, Liberty, 1989
Yanggo, Chuzaimah T, DR,H & Hafiz Anshary, Drs, MA,
Editor, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1996
Zuhdi
, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakara,
Haji Masagung, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar