Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH ITTIBA’, TAQLID DAN TALFIQ

 

BABI

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

 

Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya. Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid, ittiba’, dan ifta. Keempatnya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda.

Makalah ini mencoba menguraikan masalah yang berkenaan dengan Talfiq, taqlid, ittiba’, dan ifta yang ramai dan tetap hangat untuk didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama juga masyarakat kita di Indonesia, oleh karena itu kita dituntut agar mengetahui, meneliti dan mendalami ilmu usul fiqh terutama untuk materi ini, sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan atau pertanyaan tentang masalah ini. Makalah ini hanyalah sebagai pengantar, agar nantinya kita bisa lebih mendalami  dengan mengkaji khazanah-khazanah keilmuan yang ada di negeri ini.[1]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Ittiba)  ( اَلاِتِبَاع

1.      Pengertian Ittiba’

Kata “Berasal dari Bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittiba’a”, “Yattabiu”, “Ittiba’an”, yang artinya mengikuti atau menurun.

Ittiba’ yang dimaksudkan di sini adalah:

فَبُوْل قَولِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .

"Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya."

Disamping itu ada juga yang memberi definisi:[2]

 

فَبُوْلُ قَولِ اْلقَائِلِ بِدَلِيلٍ رَاجِعٍ .

“Menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”

Jika kita gabungkan definisi-definisi diatas, dapatkah kita simpulkan bahwa, Ittiba’ adalah, menerima perkataan seorang faqih atau mustahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mahzab dalam mengambikl suatu hukum berdasarkan alasan yanh dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.

2.      Hukum Ittiba’

Dari pengertian tersebut diatas, jelaslah bahwa yang dinamakan Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan Agama. Adapun orang yang mengambil ataupun mengikuti pendapat ulama dengan disertai alasan-alasan, dinamakan “Muttabiاَلْمُتَّبِعُ )  " ( .

Hukum Ittiba’ adalah wajib bagi setiap muslim, karena Ittiba’ adalah perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:

ٱتَّبِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ   (الأعراف:3)

Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti peminpin-peminpin selain-Nya. (Al-A’raf:3)

Dalam ayat tersebut kita diprintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalilyang merubahnya.

Disamping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرِّ شِدِيْنَ مِنْ بَعْدِىز.

(ربو دواود وغيره)

”Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunah Khulafaur Rasyiddin sesudahku.” (H.R. Abu Daud)

Selain itu, banyak pula fatwa Imam Mazhab yang menunjukan akan wajibnya “Ittiba’” memang demikianlah praktik-praktik para Sahabat Nabi SAW.[3]

 

B.     بَن وَسُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الَbunyi:

B.     h adalah wajib, dan tidak terdapat dalilyang merubahnya "ap lebih kuat dengan jalan membaTaqlid[4]

1)      Pengertian Taqlid

Taqlid secara Bahasa terambil dari al-qalladah yang berarti mengalungkan, sedangkan menurut istilah sebagaimana yang diungkapkan Imam Al-Ghazali (al-Mustasfa: 370: tth) adalah:

 

قبول قول بلا حجة

“Menerima ucapan tanpa adanya hujjah atau dalil”.

 

Sedangkan Ibnu Subki mendefinisikan Taqlid adalah:

قبول قول الغير من غير حجة

“Mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Taqlid secara istilah adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya serta tidak mengetahui apakah dalilnya itu kuat atau tidak.

 

 

 

2)      Hukum Taqlid[5]

Pada asalnya menurut hukum Islam bertaqlid itu dicela atau dilarang karena ia hanya mengikuti tanpa mengetahui alasan dan dalilnya, karena hal itu akan membuat orang yang bertaqlid menjadi fanatic yang berlebihan kepada orang yang bertaqlidinya.

Dalam menghukumi Taqlid menurut para Ulama terdapat tiga macam hukum: pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, ketiga, taqlid yang dibolehkan.

a.       Taqlid yang diharamkan

Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. taqlid ini ada tiga macam:

Ø  Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis.

Ø  Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.

Ø  Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.

b.      Taqlid yang dibolehkan

Adalah Taqlidnya seseorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela, dia mendapar pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian Mujtahid kepada Mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada Ulama.

Ulama mutaakhirin dalam kaitan bertaqlid kepada Imam, membagi kelompok masyarakat ke dalam sua golongan:

Ø  Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat mahzab.

Ø  Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama. Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (Taqlid dalam pengertian Bahasa).[6]

c.       Taqlid yang diwajibkan

Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw. juga apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim: Sesungguhnya Allah Swt. Telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahli Dzikr adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis yang Allah Swt. Perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam Firman-Nya:

وَٱذۡكُرۡنَ مَا يُتۡلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ وَٱلۡحِكۡمَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا 

Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah Swt. Dan hikmah (Sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Halus lagi Maha mengetahui.(QS AL-Ahzab [33]:34)

Inilah Adz-Dzikr yang Allah Swt. Perintahkan agar kita selalu ittiba’ (mengikuti) kepadanya, dan Allah Swt. Perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah Swt. Turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Ka;au dia sudah beritahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

 

 

3.     Taqlid di Indonesia

Taqlid yang berkembang di Indonesia adalah Taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal (Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi’i dan Hambali). Jamaludin al-Qosini (w. 1332 H) mengatakan: “Segala perkataan atau pendapat dalam suatu mahzab itu tidak dapat dipandang sebagai mahzab tersebut, tetapihanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu” dengan demikian taqlid yang seperti itu tidak dilarang.

Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

 

4.      Pendapat Imam Mahzab tentang Taqlid[7]

Ø  Imam Abu Hanifah (80-150 H)

Beliau merupakan cikal bakal ulama fikih. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.

Ø  Imam Malik Bin Anas (93-179 H)

Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau memiliki kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti dulu sebelum diamalkan.

Ø  Imam Asy Syafi’i (150-204)

Beliau adalah murid dari Imam Maliki. Beliau mengatakan bahwa “Beliau akan meninggalkan pendapatnya setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya tidak sesuai dengan hadis Nabi Saw.”

Ø  Imam Ahmad bin Hambal (164-241)

Beliau melarang bertaqlid kepada Imam manapun dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi Saw. dan para Sahabatnya. Sedangkan yang berasal dari Tabi’in dan orang-orang sesudahnya agar diteliti lebih dulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.[8]

 

Allah Swt. Telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya. Diantaranya:

بَلۡ قَالُوٓاْ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّهۡتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ فِي قَرۡيَةٖ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّقۡتَدُونَ ۞قَٰلَ أَوَلَوۡ جِئۡتُكُم بِأَهۡدَىٰ مِمَّا وَجَدتُّمۡ عَلَيۡهِ ءَابَآءَكُمۡۖ قَالُوٓاْ إِنَّا بِمَآ أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ كَٰفِرُونَ 

22.  Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka".

23.  Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".

24.  (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya". (QS Az-Zukhruf [43] : 22-24).

 

 

 

 

5. Perbedaan Taqlid dan Ittiba’

Terdapat perbedaan yang paling mendasar antara Taqlid dan Ittiba’ adalah larangan para Imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

a)      Imam Abu Hanafiah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu darimana kami mengambilnya.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”

b)      Imam Malik berkata: “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”

c)      Imam Asy-Syafi’i berkata: “Jika kalian menjumpai Sunnah Rasulullah Saw., ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada Hadis sahih yang menyelisihinya, maka Hadis Nabi lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”

d)     Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para Sahabatnya ambillah.” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Saw. dan para Sahabatnya”.

 

C. Talfiq

a)      Pengertian Talfiq[9]

Secara Bahasa Talfiq berarti melipat antara yang satu dengan yang lain sedangkan istilah dapat diartikan mencampuradukkan dua pendapat atau lebih dalam sebuah permasalahan yang mempunyai hukum, sehingga akan melahirkan pendapat ketiga yang antara kedua pendapat tadi sama-sama tidak mengakui kebenarannya. Sehingga terjadilah sebuah hukum baru yang membatalkan antara kedua pendapat tersebut.

 

b)      Ruang Lingkup Talfiq[10]

Adapun ruang lingkup talfiq adalah seperti halnya ruang lingkup talfiq seperti halnya ruang lingkup laqlid, yaitu hanya terbatas pada yaitu [11]hanya terbatas pada permasalahan ijtihad yang bersifat dzhanniyah (Yang meragukan) sedangkan segala sesuatu yang telah diketahui dan jelas menurut nash Al-Qur’an dan agama atau telah disepakati keharamannya tidak termasuk dalam ruang lingkup taqlid dan talfiq sebagai mana haramnya khamar, karena telah jelas paparannya dalam nash, maka disana tidak ada ruang talfiq yang menyebabkan timbulnya kebolehan agar keluar dari keharamannya.

 

c)      Talfiq yang dilarang[12]

Tidak ada perkataan dibolehkannya talfiq secara mutlak, tetapi bergantung pada batas tertentu, karena disebabkan bathil secara dzatnya, seperti keharamannya khamar, zina dan lain-lain. Tetapi ada pula yang hukumnya bathil yang bukan pada dzatnya seperti contoh hal dibawah ini.

Ø  Sengaja mengikuti rukshah (Keringanan), demi terjaganya dan terhindar dari kerusakan terhadap hukum syariat yang dibebankan kepada seorang hamba.

Ø  Talfiq yang menjadikan batalnya hukum hakim, karena hukumnya menimbulkan terjadinya perbedaan yang akhirnya menyebabkan keributan.

Ø  Talfiq yang mengharuskan ia mengikuti terhadap apa yang ia ikuti dalam madzhabnya halini hanya disyaratkan kepada selain ibadah.

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya, serta tidak terikat pada salah satu madzhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang di anggap lebih kuat dengan jalan membanding.

Taqlid adalah mengikuti pendapat seorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut.

Secara Bahasa Talfiq berarti melipat antara yang satu dengan yang lain sedangkan istilah dapat diartikan mencampuradukkan dua pendapat atau lebih dalam sebuah permasalahan yang mempunyai hukum, sehingga akan melahirkan pendapat ketiga yang antara kedua pendapat tadi sama-sama tidak mengakui kebenarannya.

B.     Saran

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Arsjad Rasyida, “Talfiq Dalam Pelaksanaan Ibadah Dalam Persepektif Empat Madzhab”, Jurnal Studi Keislaman, nomor 1( Juni 2015) 63-70

Djalil Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarata: Prenada Media Grup

Sanusi Ahmad, Sohari. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers

Anonim.01Januari 2010. Ittiba Taqlid Dan Talfiq. https://himaprodiesystais.wordpress.com Diakses 26 September 2019

 

 

 



[1] Anonim.01Januari 2010. Ittiba Taqlid Dan Talfiq. https://himaprodiesystais.wordpress.com Diakses 26 September 2019

 

[2] Djalil Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. (Jakarata: Prenada Media Grup, 2010) hlm., 196

[3] Basiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqih. (Jakarata: Prenada Media Grup, 2010) hlm., 197

[4] Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hlm., 239

[5] Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh, hlm.239

[6] Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh, hlm.239

[7] Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hlm., 241

 

[8] Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh, hlm.241

[9] Rasyid Arsjad, Jurnal Studi Keislaman “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat       Mahdzab” Volume 1, (Juni 2015: Cendekia), hlm. 63

[10] Rasyid Arsjad, Jurnal Studi Keislaman “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Mahdzab” Volume 1, (Juni 2015: Cendekia), hlm. 64

 

 

[12] Rasyid Arsjad, Jurnal Studi Keislaman “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Mahdzab” Volume 1, (Juni 2015: Cendekia), hlm. 69-70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar