BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan
metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk
membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan
dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan
keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan
dalil lainnya. Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid, ittiba’,
dan ifta. Keempatnya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda.
Makalah ini mencoba
menguraikan masalah yang berkenaan dengan Talfiq, taqlid, ittiba’, dan ifta
yang ramai dan tetap hangat untuk didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita
butuhkan, terutama juga masyarakat kita di Indonesia, oleh karena itu kita
dituntut agar mengetahui, meneliti dan mendalami ilmu usul fiqh terutama untuk
materi ini, sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan
atau pertanyaan tentang masalah ini. Makalah ini hanyalah sebagai pengantar,
agar nantinya kita bisa lebih mendalami dengan mengkaji khazanah-khazanah
keilmuan yang ada di negeri ini.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ittiba) ( اَلاِتِبَاع
1. Pengertian Ittiba’
Kata “Berasal dari Bahasa Arab, yakni dari
kata kerja atau fi’il “Ittiba’a”, “Yattabiu”, “Ittiba’an”, yang
artinya mengikuti atau menurun.
Ittiba’ yang dimaksudkan di sini adalah:
فَبُوْل قَولِ اْلقَائِلِ
وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
"Menerima
perkataan orang lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan
perkataannya."
Disamping
itu ada juga yang memberi definisi:[2]
فَبُوْلُ قَولِ اْلقَائِلِ بِدَلِيلٍ رَاجِعٍ .
“Menerima perkataan
seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan
definisi-definisi diatas, dapatkah kita simpulkan bahwa, Ittiba’ adalah,
menerima perkataan seorang faqih atau mustahid, dengan mengetahui alasannya
serta tidak terikat pada salah satu mahzab dalam mengambikl suatu hukum
berdasarkan alasan yanh dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.
2.
Hukum Ittiba’
Dari pengertian tersebut diatas,
jelaslah bahwa yang dinamakan Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama
tanpa alasan Agama. Adapun orang yang mengambil ataupun mengikuti pendapat
ulama dengan disertai alasan-alasan, dinamakan “Muttabiاَلْمُتَّبِعُ ) " ( .
Hukum
Ittiba’ adalah wajib bagi setiap muslim, karena Ittiba’ adalah perintah Allah,
sebagaimana firman-Nya:
ٱتَّبِعُواْ
مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ
أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ
(الأعراف:3)
Ikuti
apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
peminpin-peminpin selain-Nya. (Al-A’raf:3)
Dalam
ayat tersebut kita diprintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah
mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalilyang
merubahnya.
Disamping
itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرِّ
شِدِيْنَ مِنْ بَعْدِىز.
(ربو دواود وغيره)
”Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan
perjalanan/sunah Khulafaur Rasyiddin sesudahku.” (H.R. Abu Daud)
Selain itu, banyak pula fatwa Imam Mazhab yang
menunjukan akan wajibnya “Ittiba’” memang demikianlah praktik-praktik
para Sahabat Nabi SAW.[3]
B.
B.
Taqlid[4]
1)
Pengertian Taqlid
Taqlid
secara Bahasa terambil dari al-qalladah yang berarti mengalungkan,
sedangkan menurut istilah sebagaimana yang diungkapkan Imam Al-Ghazali
(al-Mustasfa: 370: tth) adalah:
قبول قول بلا حجة
“Menerima
ucapan tanpa adanya hujjah atau dalil”.
Sedangkan
Ibnu Subki mendefinisikan Taqlid adalah:
قبول قول الغير من غير حجة
“Mengambil
suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Taqlid secara istilah adalah mengambil
pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya serta tidak mengetahui apakah
dalilnya itu kuat atau tidak.
2) Hukum Taqlid[5]
Pada
asalnya menurut hukum Islam bertaqlid itu dicela atau dilarang karena ia hanya
mengikuti tanpa mengetahui alasan dan dalilnya, karena hal itu akan membuat
orang yang bertaqlid menjadi fanatic yang berlebihan kepada orang yang
bertaqlidinya.
Dalam
menghukumi Taqlid menurut para Ulama terdapat tiga macam hukum: pertama, Taqlid
yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, ketiga, taqlid
yang dibolehkan.
a. Taqlid yang diharamkan
Ulama
sepakat haram melakukan taqlid ini. taqlid ini ada tiga macam:
Ø Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan
atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Hadis.
Ø Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa
dia pantas diambil perkataannya.
Ø Taqlid kepada perkataan atau pendapat
seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat
itu salah.
b. Taqlid yang dibolehkan
Adalah
Taqlidnya seseorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa
yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang
tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang
seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela, dia mendapar pahala dan tidak
berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian Mujtahid
kepada Mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan
suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada Ulama.
Ulama
mutaakhirin dalam kaitan bertaqlid kepada Imam, membagi kelompok masyarakat ke
dalam sua golongan:
Ø Golongan awam atau orang yang berpendidikan
wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat mahzab.
Ø Golongan yang memenuhi syarat-syarat
berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama. Golongan
awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar
pendapat itu (Taqlid dalam pengertian Bahasa).[6]
c. Taqlid yang diwajibkan
Adalah
taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu
perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw. juga apa yang dikatakan oleh Ibnul
Qayyim: Sesungguhnya Allah Swt. Telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahli
Dzikr adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis yang Allah Swt. Perintahkan agar para istri
Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam Firman-Nya:
وَٱذۡكُرۡنَ
مَا يُتۡلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ وَٱلۡحِكۡمَةِۚ إِنَّ
ٱللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu
dari ayat-ayat Allah Swt. Dan hikmah (Sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah
Maha Halus lagi Maha mengetahui.(QS
AL-Ahzab [33]:34)
Inilah
Adz-Dzikr yang Allah Swt. Perintahkan agar kita selalu ittiba’ (mengikuti)
kepadanya, dan Allah Swt. Perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar
bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya
kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah Swt. Turunkan kepada Rasul-Nya
agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Ka;au dia sudah beritahu tentang
Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.
3. Taqlid di Indonesia
Taqlid
yang berkembang di Indonesia adalah Taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada
imam-imam mujtahid yang terkenal (Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi’i
dan Hambali). Jamaludin al-Qosini (w. 1332 H) mengatakan: “Segala perkataan
atau pendapat dalam suatu mahzab itu tidak dapat dipandang sebagai mahzab
tersebut, tetapihanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari
orang yang mengatakan perkataan itu” dengan demikian taqlid yang seperti itu
tidak dilarang.
Taqlid
kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid terkenal, sambil menyisipkan
pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini
tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
4. Pendapat Imam Mahzab tentang
Taqlid[7]
Ø Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau
merupakan cikal bakal ulama fikih. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa
jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
Ø Imam Malik Bin Anas (93-179 H)
Beliau
melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang
terpandang atau memiliki kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai
kepada kita harus diteliti dulu sebelum diamalkan.
Ø Imam Asy Syafi’i (150-204)
Beliau
adalah murid dari Imam Maliki. Beliau mengatakan bahwa “Beliau akan
meninggalkan pendapatnya setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya tidak
sesuai dengan hadis Nabi Saw.”
Ø Imam Ahmad bin Hambal (164-241)
Beliau
melarang bertaqlid kepada Imam manapun dan menyuruh orang agar mengikuti semua
yang berasal dari Nabi Saw. dan para Sahabatnya. Sedangkan yang berasal dari
Tabi’in dan orang-orang sesudahnya agar diteliti lebih dulu. Mana yang benar
diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.[8]
Allah
Swt. Telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya. Diantaranya:
بَلۡ قَالُوٓاْ
إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم
مُّهۡتَدُونَ وَكَذَٰلِكَ مَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ فِي قَرۡيَةٖ مِّن
نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ
أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّقۡتَدُونَ ۞قَٰلَ أَوَلَوۡ جِئۡتُكُم
بِأَهۡدَىٰ مِمَّا وَجَدتُّمۡ عَلَيۡهِ ءَابَآءَكُمۡۖ قَالُوٓاْ إِنَّا بِمَآ
أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ كَٰفِرُونَ
22. Bahkan mereka
berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu
agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan
(mengikuti) jejak mereka".
23. Dan
demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun
dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu
agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".
24. (Rasul
itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa
untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu
dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya
kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya". (QS
Az-Zukhruf [43] : 22-24).
5. Perbedaan Taqlid dan Ittiba’
Terdapat perbedaan yang paling
mendasar antara Taqlid dan Ittiba’ adalah larangan para Imam kepada para
pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar
selalu ittiba’:
a)
Imam Abu Hanafiah berkata, “Tidak
halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu darimana
kami mengambilnya.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu
dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”
b)
Imam Malik berkata: “Sesungguhnya
aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang
sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai
dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”
c)
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Jika
kalian menjumpai Sunnah Rasulullah Saw., ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian
menoleh kepada perkataan siapapun” Beliau juga berkata, “Setiap yang aku
katakan, kemudian ada Hadis sahih yang menyelisihinya, maka Hadis Nabi lebih
utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”
d)
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
“Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang
datang dari Nabi dan para Sahabatnya ambillah.” Beliau juga berkata, “Ittiba’
adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Saw. dan para
Sahabatnya”.
C. Talfiq
a)
Pengertian Talfiq[9]
Secara Bahasa Talfiq berarti melipat antara yang satu
dengan yang lain sedangkan istilah dapat diartikan mencampuradukkan dua
pendapat atau lebih dalam sebuah permasalahan yang mempunyai hukum, sehingga
akan melahirkan pendapat ketiga yang antara kedua pendapat tadi sama-sama tidak
mengakui kebenarannya. Sehingga terjadilah sebuah hukum baru yang membatalkan
antara kedua pendapat tersebut.
b)
Ruang Lingkup Talfiq[10]
Adapun ruang lingkup talfiq adalah seperti halnya
ruang lingkup talfiq seperti halnya ruang lingkup laqlid, yaitu hanya terbatas
pada yaitu [11]hanya
terbatas pada permasalahan ijtihad yang bersifat dzhanniyah (Yang meragukan)
sedangkan segala sesuatu yang telah diketahui dan jelas menurut nash Al-Qur’an
dan agama atau telah disepakati keharamannya tidak termasuk dalam ruang lingkup
taqlid dan talfiq sebagai mana haramnya khamar, karena telah jelas paparannya
dalam nash, maka disana tidak ada ruang talfiq yang menyebabkan timbulnya
kebolehan agar keluar dari keharamannya.
c)
Talfiq yang dilarang[12]
Tidak ada perkataan dibolehkannya
talfiq secara mutlak, tetapi bergantung pada batas tertentu, karena disebabkan
bathil secara dzatnya, seperti keharamannya khamar, zina dan lain-lain. Tetapi
ada pula yang hukumnya bathil yang bukan pada dzatnya seperti contoh hal
dibawah ini.
Ø
Sengaja mengikuti rukshah
(Keringanan), demi terjaganya dan terhindar dari kerusakan terhadap hukum
syariat yang dibebankan kepada seorang hamba.
Ø
Talfiq yang menjadikan batalnya
hukum hakim, karena hukumnya menimbulkan terjadinya perbedaan yang akhirnya
menyebabkan keributan.
Ø
Talfiq yang mengharuskan ia
mengikuti terhadap apa yang ia ikuti dalam madzhabnya halini hanya disyaratkan kepada
selain ibadah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan
seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya, serta tidak terikat
pada salah satu madzhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang di
anggap lebih kuat dengan jalan membanding.
Taqlid adalah mengikuti
pendapat seorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara
pengambilan pendapat tersebut.
Secara Bahasa Talfiq berarti melipat antara yang satu
dengan yang lain sedangkan istilah dapat diartikan mencampuradukkan dua
pendapat atau lebih dalam sebuah permasalahan yang mempunyai hukum, sehingga
akan melahirkan pendapat ketiga yang antara kedua pendapat tadi sama-sama tidak
mengakui kebenarannya.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat
menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Arsjad Rasyida, “Talfiq Dalam Pelaksanaan Ibadah Dalam
Persepektif Empat Madzhab”, Jurnal Studi Keislaman, nomor 1( Juni 2015)
63-70
Djalil
Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarata: Prenada Media Grup
Sanusi Ahmad, Sohari.
2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers
Anonim.01Januari
2010. Ittiba Taqlid Dan Talfiq. https://himaprodiesystais.wordpress.com Diakses 26 September 2019
[1]
Anonim.01Januari 2010. Ittiba Taqlid Dan
Talfiq. https://himaprodiesystais.wordpress.com Diakses 26 September 2019
[2] Djalil Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. (Jakarata: Prenada Media
Grup, 2010) hlm., 196
[3]
Basiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqih.
(Jakarata: Prenada Media Grup, 2010) hlm., 197
[4]
Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hlm.,
239
[5]
Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh, hlm.239
[6]
Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh, hlm.239
[7]
Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hlm.,
241
[8]
Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh, hlm.241
[9]
Rasyid Arsjad, Jurnal Studi Keislaman “Talfiq
dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Mahdzab” Volume 1, (Juni 2015:
Cendekia), hlm. 63
[10]
Rasyid Arsjad, Jurnal Studi Keislaman “Talfiq
dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Mahdzab” Volume 1, (Juni
2015: Cendekia), hlm. 64
[12]
Rasyid Arsjad, Jurnal Studi Keislaman “Talfiq
dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Mahdzab” Volume 1, (Juni
2015: Cendekia), hlm. 69-70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar