BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sosiolinguistik ialah studi atau
pembahasan dari bahasa sehubungan dengan
penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat (Nababan, 1993 : 2).
Sosiolinguistik mengkaji bahasa, masyarakat dan hubungan bahasa dengan
masyarakat. Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat
interaksi yang hanya dimiliki manusia.
Di dalam kehidupannya bermasyarakat, sebenarnya manusia dapat juga
menggunakan alat komunikasi lain, selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa
merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna, dibandingkan
dengan alat-alat komunikasi lain termasuk juga alat komunikasi yang digunakan
para hewan.
Bahasa di jumpai dimana-mana. Bahasa memegang
peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini harus benar-benar, khususnya para
guru dan guru pada bidang studi pada umumnyaa (Tarigan, 2009 : 2). Kehidupan
manusia normal tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Bahasa menyerap masuk ke
dalam pemikiran-pemikiran kita, menjembatani hubungan kita dengan orang lain.
Perangkat pengetahuan manusia yang demikian banyak juga disimpan dan
disebarluaskan melalui bahasa. Hadirnya bahasa dalam kehidupan manusia demikian
pentingnya. Bahasa juga salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang
membedakan dari makluk lain.
Sebagai objek dalam sosiolinguistik,
bahasa tidak hanya dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan
oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi
atau komunikasi didalam masyarakat manusia (Chaer dan Agustina, 2004:3). Salah
satunya yaitu ilmu fisika. Bahasa juga sangat berhubungan erat dengan ilmu
lainnya. Sehingga pada penyajian ini di arahkan dalam upaya memahami bahasa.
Maka jelaslah, bahwa sosiolinguistik tidak akan terlepas dari persoalan
hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan.
Sosiolinguistik mengkaji bahasa
dimasyarakat yang berfungsi sebagai alat komunikasi. Untuk memperdalam dan
memahami tentang ilmu sosiolinguistik tentang bahasa dan masyarakat inilah,
kita perlu mempelajari tentang pandangan sosiolinguistik tentang bahasa dan dan
hubungan bahasa dengan bahasa lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Bahasa dan Tutur
Ferdinand de Saussure membedakan
antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah ini berasal
dari bahasa Prancis, dalam bahasa Indonesia lazim dipadankan dengan istilah
bahasa. Padahal, ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda meskipun
ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa.
Dalam bahasa Prancis istilah
langage digunakan untuk menyebutkan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang
digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara
sesamanya. Istilah langage dapat dipadankan dengan kata bahasa, misalnya
manusia mempunyai bahasa, binatang tidak. Jadi, istilah bahasa dalam kalimat
tersebut sepadan dengan kata langage, tidak mengacu pada salah satu bahasa
tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya sebagai alat komunikasi
manusia. Istilah kedua adalah langue, digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Sementara
itu, parole bersifat konkret karena ia merupakan pelaksaan dari langue dalam
bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam
berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole dapat dipadankan dengan kata
ujaran.
Langage dan langue terkait dengan
sistem yang ada pada pikiran manusia sebagai pengguna bahasa. Jadi, bersifat
abstrak. Langue adalah bagian sosial dari langage. Langage bersifat homogen
sedangkan langue bersifat heterogen. Konsep langue dapat dipadankan dengan
“competence”, sedangkan langage dengan “performance”. Kedua istilah terakhir
ini berasal dari Noam Chomsky, Bapak aliran tata bahasa transformasi generatif.
Sebagai langage bahasa itu bersifat
universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia
pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Akan
tetapi, sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya,
bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarakat tertentu memang
agak sukar dirumuskan, tetapi adanya ciri saling mengerti barangkali bisa
dipakai sebagai batasan adanya suatu bahasa. Misalnya penduduk yang berada di
Bulukumba dengan yang berada di Takalar dan yang di Jeneponto,masih berada
dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti
di antara mereka sesamanya. Begitu pun penduduk yang ada di Soppeng dengan
Sidrap masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih
ada saling mengerti dengan alat verbanya.
Adanya saling mengerti antara penduduk
yang berada di Bulukumba dengan yang berada di Jeneponto karena adanya kesamaan
sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik)
di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang
berada di Soppeng dan yang berada di Sidrap bisa saling mengerti tentunya
karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis,
leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Akan tetapi,
di antara penduduk Soppeng (tentu dengan bahasa Bugis) dengan Bulukumba (dengan
bahasa Makassar) tidak ada saling mengerti karena tidak mempunyai kesamaan
sistem dan subsistem.
Parole yang digunakan penduduk
Soppeng dan Sidrap berbeda tetapi mereka saling mengerti karena terdapatnya
kesamaan sistem dan subsistem. Parole yang digunakan di tempat-tempat tersebut
disebut dialek.
Setiap orang mempunyai kekhasan
tersendiri-sendiri dalam bahasa (berbicara dan menulis) kekhasan ini dapat mengenai
volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, tulisan dan unsur-unsur bahasa
lainnya. Ciri khas bahasa seseorang disebut idiolek. Jadi, kalau 10000 orang,
maka akan ada 10000 idiolek.
Dari uraian tersebut secara
linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri
dari sejumlah dialek dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun,
perlu juga diketahui bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah
bahasa karena anggota dari kedua dialek tersebut saling mengerti, tetapi secara
politis bisadisebut sebagai dua buah nahasa yang berbeda. Misalnya bahasa
Indonesia dan Bahsa Malaysia hampir sama, tetapi secara politis bahasa yang
digunakan di Malaysia bahasa Malaysia dan bahasa yang digunakan di Indonesia
adalah bahasa Indonesia.
B.
Verbal
Repertoar
Repertoar bahasa atau verbal
repertoar adalah semua bahasa beserta ragam-ragam bahasa yang dimiliki atau
dikuasai seorang penutur. Misalnya melalui hasil pendidikan atau pergaulannya
dengan penutur bahasa di luar lingkungannya, seseorang menguasai bahasa ibunya
dan bahasa indonesia, selain itu, dia menguasai pula satu bahasa daerah lain
atau lebih, juga menguasai bahasa asing, bahasa Inggris atau bahasa lainnya.
Jika dikelompokkan, verbal
repertoar sebenarnya ada dua macam yakni yang dimiliki setiap penutur secara
individual (verbal repertoar individu) dan yang merupakan milik masyarakat
tutur secara keseluruhan (verbal revertoar sosial). Verbal repertoar individu
mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk
kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan
fungsinya. Verbal repertoar sosial mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal
yang ada di dalam masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi
yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian
yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara
para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau
sosiolinguistik mikro, sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam
hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat disebut
sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro (Appel, 1976:22). Kedua
jenis sosiolinguistik makro dan mikro ini mempunyai hubungan yang sangat erat,
tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling bergantung. Maksudnya, verbal
repertoar setiap penutur ditentukan oleh masyarakat tempat dia berada;
sedangkan verbal repertoar suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal
repertoar semua penutur di dalam masyarakat itu.
C.
Masyarakat
Tutur
Secara sosiologis orang selalu
memandang satu komunitas sebagai satu organisasi sosial. Organisasi sosial
selalu suatu proses pembentukan kelompok-kelompok dan pengembangan pola-pola
asosiasi dan perilaku tetap yang kita sebut sebagai lembaga sosial (Harton
& Hunt, 1984). Kedua ahli sosiologi dari Amerika Serikat ini mendefinisikan
kelompok sebagai setiap kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggoataan dan saling berinteraksi.
Istilah masyarakat tutur sering
pula disebut masyarakat bahasa atau komunitas bahasa. Kalau suatu masyarakat
mempunyai verbal repertoar yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian
yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam
masyarakat itu,maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu adalah sebuah
masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang
menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma
yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa.
Untuk dapat disebut satu masyarakat
tutur mesti ada perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka merasa
menggunakan tutur yang sama (Djoko Kentjoo, 1982). Dengan konsep adanya perasaan
menggunakan tutur yang sama ini, maka dua buah dialek yang secara linguistik
merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua bahasa dari dua masyarakat tutur
yang berbeda. Fishman (1976:28) mendefinisikan bahwa “masyarakat tutur adalah
suatu suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu
variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.”
Sementara itu, Bloomfield (1933:29)
membatasi dengan “sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama.”
Batasan ini dianggap terlalu sempit oleh masyarakat modern karena banyak orang
yang menguasai lebih dari satu ragam bahasa, dan di dalam masyarakat itu
terdapat lebih dari satu bahasa. Sebaliknya, definisi Labov (1972:158) yang
mengatakan “ sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa”
dianggap terlalu luas dan terbuka.
Masyarakat tutur yang besar dan
beragam memperoleh verbal repertoar dari pengalaman atau dari adanya interaksi
verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga diperoleh secara
referensial yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik. Dalam hal tertentu
saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat
tutur tertentu dalam hubungannya dengan variasi kebahasaan. Contoh, setiap hari
ratusan tenaga kerja yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai bahasa
daerah yang berlainan, bekerja di pabrik-pabrik di Makassar, dan mereka sesama
rekan sekerjanya menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi. Jadi,
meskipun mereka berbahasa ibu yang berbeda, mereka adalah pendukung masyarakat
tutur bahasa Indonesia.
Kalau kita melihat kasus masyarakat
tutur bahasa Indonesia di atas, maka dapat dikatakan bahwa sisa terjadi suatu
masyarakat tutur itu bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa
yang sama, melainkan suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi
atau karena integrasi siimbolisdengan tetap mengakui kemampuan komuniasi
penuturnya tanpa megingat jumlah bahasa atauvariasi bahasa yang digunakan
(Gumperz, 1976:37-53). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kompleksnya suatu
masyarakat tutur ditentukan oelh banyaknya pengalaman dan sikap para penutur
tempat variasi itu berada. Lalu verbal repertoar seluruh penuturnya sebagai
anggota masyarakat itu (Fishman, 1972:32).
Dilihat dari sempit dan luasnya
repertoanya, masyarakat tutur dapat dibedakan atas dua macam, yakni:
(1)
masyarakat tutur yang repertoar pemekaiannya lebih luas dan
(2)
masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan
aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang
lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.
Kedua jenis masyarakat tutur ini
terdapat, baik dalam masyarakat yang terkacil atau tradisional maupun besar
atau modern. Meskipun demikian, masyarakat modern mempunyai kecendrungan
memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai
veriasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih
tertutup dan cenderung menggunakan variasi dari beberapa bahasa yang berlainan.
Penyebab kecenderungan itu adalah faktor sosial dan kultural.
Komunitas bahasa adalah suatu
konsep sosiolinguistik yang pernah dibahas oleh Hudson (1980) Savillae Troike
(1982) dan teristimewa Brauthwaite (1984). Menurut bloomfield (1933) komunitas
bahasa dibentuk mereka (kumpulan orang) yang secara bersama-sama memiliki
aturan-aturan bahasa yang sama. Labov lebih menekankan pada kriteria
norma-norma yang dianut bersama dari ciri-ciri bahasa yang digunakan bersama.
Fishman (1972) memandang suatu komunitas bahasa sebagai masyarakat yang
anggota-anggotanya bersama-sama menganut aturan-aturan fungsional yang sama.
Dari uraian di atas diketahui bahwa terdapat tiga pendekatan
dalam memahami konsep komunitas bahasa. Pertama, dipandang dari sudut
bentuk-bentuk bahasa yang dimiliki bersama; kedua, dari segi kaidah-kaidah yang
mengatur sistem bahasa yang dimiliki bersama; ketiga, dari sudut pandang konsep
yang dianut bersama.
Bahasalah yang menjadikan suatu
masyarakat menjadi sentripetal, artinya bahasa cenderung mengabsorbsi
masyarakat menjadi satu kesatuankesatuan masyarakat karena menganut norma-norma
linguistik yang sama ini kita namai komuntas bahasa.
D.
Peristiwa Tutur
dan Tindak Tutur
Berdasarkan pendapat ahli ini dapat
disimpulkan bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orangatau individu yang
memiliki kesamaan atau menggunakan sistem bahasa yang sama berdasarkan
norma-norma bahasa yang sama. Dengan kata lain inilah pembeda dan menjadi ciri
khas sebuah masyarakat satu dengan yang lainnya.Berhubungan dengan itu,
sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Indonesia memiliki banyak suku bangsa
sehingga otomatis masyarakat tutur dan masyarakat kita juga sangat beragam,
dari keberagaman inilah menimbulkan berbagai macam dialek dan bahasa yang
berbeda. Setiap daerah memiliki bahasanya masing- masing. Kenyataan bahwa
adanya perbedaan dalam berkomunikasi tidak akan menjadi halangan dalam
berinteraksi sejauh penututur bahasa tersebut berasal dari masyarakat tutur
yang sama. Akan tetapi, tidak dengan hal interaksi antar kelompok yang sudah
memilki bahasa dan budaya masing- masing, dimana para pentur yang berinteraksi
disini tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa daerah masing- masing. Untuk
mengatasi hal ini maka muncul bahasa pemersatu yaitu Bahasa Indonesia. Inti
dari keberhasilan dalam berkomunikasi adalah ketika para penuturnya dapat
memahami satu sama lain maksud yang ingin disampaikan. Mereka harus mampu
memahami situasi dan kondisi lawan tutur dan keadaan yang melatar belakangi
terjadinya interaksi ini. Oleh karena itu, yang menjadi patokan disini adalah
peran peristiwa tutur (speech event) yangmendahului adanya tindak tutur (speech
act) terjadi dalam masyarakat.
1.
Peristiwa Tutur
Setiap komunikasi masyarakat tutur dalam
menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, dalam setiap
proses komunikasi berbahasa terjadilah apa yang disebut peristiwa tutur.
Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi
linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak,
yaitu penutur dan lawan tutur, dengan suatu pokok tuturan di dalam waktu,
tempat dan situasi tertentu (Chaer 1995:61).Di dalam setiap peristiwa interaksi
verbal selalu terdapat beberapa faktor (unsur) yang mengambil peranan dalam
peristiwa itu. Faktor-faktor itu seperti: penutur (speaker), lawan bicara
(hearer, receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara (setting), suasana
bicara (situationscene) dan sebagainya. Dalam pemakaian bahasanya, setiap
penutur akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, dimana, mengenai
masalah apa dan dalam suasana bagaimana. Dengan demikian maka tempat bicara
akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur; demikian pula pokok pembicaraan
dan situasi bicara akan memberikan warna pula terhadap pembicaraan yangsedang
berlangsung.Dell Hymes,(1972) seorang pakar sosiolinguistik, mengatakan bahwa
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang diakronimkan menjadi SPEAKING,
yakni:
Setting and scene, yaitu komponen yang
berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Umpamanya percakapan
yang terjadi dikantin kantor pada waktu istirahat tentu berbeda dengan yang
terjadi diruang meeting ketika rapat berlangsung.
Participants, yaitu orang-orang yang
terlibat dalam percakapan seperti pembicara, lawan bicara dan pendengar.
Umpamanya, antara siswa dengan gurunya. Percakapan siswa dan gurunya ini tentu
berbeda kalau partisipannya bukan siswa dan guru, melainkan antara siswa dan
siswa.
Ends, yaitu mengacu pada maksud dan
hasil percakapan. Contohnya, seorang pimpinan bertujuan memberikan perintah
(instruksi) secara jelas kepada bawahannya tetapi hasil yang didapat
malahsebaliknya, pegawainya tidak menuruti perintah atasannya dengan baik dan
benar.
Act Sequences, mengacu pada hal yang
menunjuk pada bentuk dan isi percakapan. Dengan katalain suatu peristiwa dimana
seorang pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicara.Misalnya dalam kalimat
: dia berkata dalam hati “ mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik”.
Perkataan mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik” pada kalimat adalah
bentuk percakapan.
Key, yaitu mengacu pada cara atau
semangat dalam melaksanakan percakapan. Misalnya, pelajaran linguistik dapat
diberikan dengan cara yang santai, tetapi dapat juga dengan semangatyang
menyala-nya.
Instrumentalities, yaitu merujuk pada
jalur percakapan atau alat menyampaikan pendapat. Sepertiapakah secara lisan
atau bukan.
Norms of interaction and interpretation,
yaitu merujuk pada norma perilaku percakapan yang patutditaati.
Genres, yaitu yang merujuk pada kategori
atau ragam bahasa yang digunakan. Jenis kegiatandiskusi yang mempunyai
sifat-sifat lain dari jenis kegiatan lain.Dari yang dikemukakan Hymes itu dapat
kita lihat betapa kompleksnya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami
sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Delapan unsur diatas dapatdijadikan untuk
mendeteksi kontek situasi yang sedang dipakai oleh lawan tutur guna mengetahui
maksud dan tujuan darinya.
2.
Tindak Tutur
Untuk menentukan pemahaman dalam
komunikasi perlu diketahui hubungan antara bahasa dan konteksnya. Artinya,
untuk mengetahui atau memahami makna yang dimaksudkan oleh peneliti atau
penulis, tidak hanya dengan memahami makna yang dimaksud atau kalimat
yangdigunakan, tetapi dituntut untuk mengambil pengetahuan dan kesimpulan
tentang apa yangdikatakan atau ditulis berdasarkan pemakaian konteks yang ada.
Sehingga hal-hal yang berkenaandengan ini disebut dengan konteks situasi yang
melatarbelakangi tindak tutur (speech act) dalam berkomunikasiharus mengkaji
konteks dan tuturan, panutur dan mitra tutur juga harus memiliki latar belakang
pengetahuan yang sesuai dengan apa yang ada pada tuturan.Kemudian Searle (1975:
59-82) mengembangkanteori tindak tutur ini menjadi 5 bentuk yaitu;
1. Representative/asertif,
yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apayang diujarkan
2. Direktif/impositif,
yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan
tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak
tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannyadiartikan sebagai evaluasi
tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
3. Komisif,
yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yangdisebutkan
di dalam tuturannya.5.Deklarasi / establisif / isbati, yaitu tindak tutur yang
dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.
Contoh:
“Bagaimana kalau kita…kita kawin!”
Tindak
tutur di atas termasuk ke dalam beberapa kategorisekaligus yaitu : tindak tutur
perlokusi karena digunakan untuk membujuk mitra tutur agar mau diajak kawin
direktif karena mitra tutur diharapkan melakukan tindakan yang disebutkan di
dalamtuturan itu (kawin dengan penutur) komisif karena mengikat penuturnya
untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalamtuturannya (kawin dengan mitra
tutur) deklarasi karena menciptakan status/keadaan yang baru (perkawinan)tindak
tutur taklangsung harfiah karena kata tanya ‘bagaimana’ tidak digunakan
secarakonvensional untuk menanyakan sesuatu, melainkan untuk mengajak mitra
tutur melakukan sesuatu yang disebutkan dalam tindak tutur.
Kemudian
dalam tindak tutur ini juga menyinggung istilah Implikatur percakapan mengacukepada
jenis “kesepakatan bersama”antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam
pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan. Hubungan atau
keterkaitan itusendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya, makna
keterkaitan itu tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu.Secara
jelasnya, Grice dalam Leech (1983: 16) mengemukakan bahwa percakapan
yangterjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar,
yaitu prinsip kerja sama.Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud
dalam empat maksim, yaitu
(1)
maksim kuantitas, memberi informasi sesuai yang diminta;
(2)
maksim kualitas, menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup
buktikebenarannya;
(3)
maksim relasi, memberi sumbangan informasi yang relevan;
(4)
maksim cara, menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari
ketaksaan,mengungkap-kan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan.
Keempat
konsep yang terdapat di masyarakat tutur minangkanau itu memiliki makna
yangdalam yaitu masayarakat yang menjunjung tinggi kesopansantunan terhadap
sesama anggotamasyarakatnya berdasarkan usia dan posisinya di masyarakat.
Sehingga aturan tersebutdiaplikasikan dalam melakukan tindak tutur. Setiap
orang mempercayai dan mentaati normakesopansantunan ini ketika berinteraaksi
antar anggotanya.
Ini
sangat sejalan dengan pernyataan Gumperz (1978:16) inilah yang disebut social
rules. Social rulesatau aturan- aturan sosial adalah pengikat seseorang dalam
bertindak tutur dan menjadiacuan ketika beradaptasi dengan lingkungan dimana
tuturan harus sesuai dengan niat/ tujuan,tempat, dan hubungan identitas antar
penutur. Aturan- aturan social ini diperoleh melalui prosessosialisasi dalam
masyarakat yang kemudian dipelajari secara natural dan inilah yang disebutkemampuan
komunikatif. Setiap manusia memiliki kompetensi bahasa dalam pikirannya
yangsecara tidak lansung terbentuk oleh social budaya dimana dia tumbuh dan
berkembang. Dengankata lain aturan sosial sebagai parameter yang menuntun
keberterimaan dalam prilaku komunikasi.KesimpulanSecara normal, seorang
individu tidak hanya berhubungan dengan individu lain dalammasyarakat tuturnya,
sebaliknya dia juga berhubungan dengan orang lain pada masyaarakat tutur yang
berbeda pula. Ini kemudian menyebabkan munculnya variasi bahasa dan aktifitas
bahasakerena didukung oleh latar belakang situasi yang berbeda. Penggabungan
penutur- penutur dari latar belakang yang berbeda dan saling berinteraksi akan
menciptakan sebuah komunitasmasyarakat baru yang memilki norma dan aturannya
sendiri pula.Untuk itu, guna menilik lebih jauh sebuah komunitas masyarakat
tutur, seseorang harus melihat budaya, aturan, dan kepercayaan yang diyakini
bersama dalam masyarakat itu. Hal tersebutsangat berbeda dengan komunitas lain
tergantung dimana komunitas itu berada. Setiap komunitas memiliki identitasnya
masing- masing. Adanya pengaruh variasi sosial dalam konteks berkomunikasi
menyebabkan penyusunan strategi yang berbeda oleh penutur bahasa untuk
menyampaikan informasi pada lawan tuturnya. Prilaku interaksi setiap penutur
berbeda satudengan yang lainnya, karena setiap penutur memiliki budaya
masing-masing sehingga tindak tutur yang keluar adalah refleksi dari mana
seseorang itu berasal. Fishman (1968) dan Gumperz(1978:37-53) mengatakan,
masyarakat modern mempunyai kecenderungan masyarakat tutur yanglebih terbuka
dan cenderung tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai
variasi dalam bahasa yang sama; sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih
tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Bahasa adalah ciri khas yang dimiliki
manusia yang membedakan dengan makluk lain. Bahasa juga yang menjembatani
hubungan antar masyarakat. Sehingga bahasa sangat dekat sekali dengan
masyarakat dalam kehidupan masyarakat. Bahasa mengambil peran penting dalam
kehidupan masyarakat. Ciri-ciri bahasa-pun beragam yaitu bahasa sebagai sistem,
bahasa sebagai lambang, bahasa bersifat arbiter, bahasa bersifat produktif,
bahasa bersifat dinamis, bahasa bersifat bersifat manusiawi, dan lain-lain.
pada hakikatnya bahasa merupakan suatu alat yang terdiri dari susunan kata-kata
memiliki makna yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan interaksi ataupun
komunikasi. Karena bahasa tidak lepas dari kehidupan manusia.
Fungsi bahasa bisa kita lihat dari segi
penutur, dari segi pendengar, dari segi kontak antara penutur dan pendengar,
dari segi topik ujaran, dari segi kode yang digunakan dan dilihat dari segi
amanat. Adapun bahasa juga berhubungan dengan disiplin ilmu lainnya. Hal itu
dikarenakan bahasa merupakan bagian yang sangat erat dan dekat dengan kehidupan
manusia.
B.
SARAN
Setiap individu harus menutur atau
berbicara dengan menggunakan bahasa yang benar, sopan, bijaksana dan memiliki
etika dalam berbahasa, apalagi saat berada di kalangan masyarakat. Dan
hendaklah bagi penutur bahasa harus bisa menyesuaikan bahasanya ketika berada
di suatu tempat, baik di lingkungan formal maupun di lingkungan non formal.
DAFTAR PUSTAKA
Saleh
Muhammad & Mahmudah. 2006
Sosiolinguistik. Badan penerbit UNM. Makassar
Sumber
:https://id.scribd.com/doc/97896807/Masyarakat-Tutur-Dan-Tindak-Tutur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar