BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dalam
mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil suatu keputusan dalam
menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan masalah-masalah yang rumit dan
sedikit memainkan otak untuk bisa menjawabnya dengan benar, misalnya:
hukum-hukum yang terdapat pada masa Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW apakah
masih wajib kita laksanakan ataukah kita tinggalkan? Banyak para ulama berbeda
pendapat mengenai hal ini, dan untuk memahami hal tersebut kita harus punya
dasar dalam penetapan hukum.
Banyak
orang islam yang menjalankan amal ibadah itu karena faktor taqlid (ikut-ikutan),
bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi hal tersebut maka judul
ini dirasa penting untuk diangkat, dalam rangka menyiapkan umat islam yang
beramal berdasarkan ilmu.
Maka
dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang pendapat para ulama mengenai Syar’u
Man Qablana (syariat-syariat sebelum kita/Islam).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan syar'u man
qablana?
2. Bagaimana pendapat para ulama tentang
syar'u man qablana?
3. Jelaskan pengelompokan syar'u man
qablana!
4. Bagaimana kehujjahan syar'u man
qablana?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syar`u Man Qablana
Syar`u
secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa`ilnya, secara bahasa adalah
tempat yang didatangi orang yang ingin minum yang dilintasi manusia untuk
menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga diartikan sebagai jalan yang lurus
atau thariqatun mustaqimatun sebagaimana diisyarakan dalam Alquran Surat
Al-Jatsiyah: 18.
Syar’u
man qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran Nabi-nabi sebelum Islam yang
berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi
Isa as.[1]
Secara
istilah Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt yang
disyariatkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam,
mengikuti hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada
dalil-dalil yang menghapusnya.
Contoh
dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 183:
ياَاَيُّهَا
الَّذِينَ أَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Sebelum
membahas secara terperici mengenai pendapat para ulama tentang syar'u man
qablana, pengelompokan dari Syar’u man qablana, serta kehujjahan syaru man
qablana. Sebagai muslim, kita harus mengetahui bahwa syariat-syariat (agama)
samawi secara prinsipil adalah satu. Allah menerangkan sendiri dalam surah
A-Syura ayat 13.
شَرَعَ
لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ
اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ
اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ
مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ
وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ
‘’Dia
telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya)’’.
Apabila yang
menurunkan syariat syariat samawi adalah satu yaitu Allah, maka esensinya juga
satu. Nash diatas jelas menerangkan hal itu, diperkuat dengan ijma’ ulama.
Hanya saja memang Allah mengharamkan sebagian perkara atau perbuatan atas
sebagian kaum tertentu. Pengharaman ini dimaksudkan untuk mencegah dari
tenggelam dalam kehidupan yang diliputi nafsu syahwat, sebagaimana firman Allah
yang berkaitan dengan kaum Yahudi, seperti dalam surat Al-An’am ayat 146.[2]
وَعَلَى
الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍۚ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ شُحُوْمَهُمَآ اِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُوْرُهُمَآ اَوِ الْحَوَايَآ اَوْ
مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍۗ ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِبَغْيِهِمْۚ وَاِنَّا لَصٰدِقُوْنَ
‘’Dan
kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari
sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain
lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau
yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan
kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar’’.
Selain itu juga
bentuk maupun cara ibadah masing-masing syariat samawi juga berbeda-beda, meski
esensinya tetap sama, yaitu menyembah Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Begitu pula mengenai perincian sebagian masalah-masalah juziyyat seperti
pengaturan zakat dan lain sebagainya.[3]
Oleh karena
itu, terdapat beberapa hukum syariat umat terdahulu yang dinasakh dengan
syariat Nabi Muhammad, di samping sebagian diantaranya masih tetap dilestarikan.
Syariat tentang qishas dan sebagaimana hukum had (dera) misalnya masih tetap
berlaku dalam islam sebagaimana tercantum didalam Taurat.[4]
B.
Pendapat Para Ulama Tentang Syar'u Man Qablana
1.
Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang
dari Allah juga oleh karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi
terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW.
2.
Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh
mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
ثُمَّ
أَوْ حَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِحْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا
“Kemudian Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl:123).[5]
Para ulama
Ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam,
karena datang syari’at Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat
terdahulu. Demikian pula para ulama Ushul Fiqih sepakat, bahwa syari’at sebelum
Islam yang di cantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat Islam bilamana
ada ketegasan bahwa syari’at itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun
keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syari’at sebelum Islam
tetapi karena di tetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa Ramadhan yang di
wajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum Islam.[6]
Para ulama
Ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam,
karena datang syari’at Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat
terdahulu. Demikian pula para ulama Ushul Fiqih sepakat, bahwa syari’at sebelum
Islam yang di cantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat Islam bilamana
ada ketegasan bahwa syari’at itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun
keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syari’at sebelum Islam
tetapi karena di tetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa Ramadhan yang di
wajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum Islam.[7]
C.
pengelompokan Syar’u Man Qablana
Pengelompokan
Syar’u Man Qablana Syariat sebelum kita dalam pengertian di atas, dapat dibagi
dalam tiga kelompok:
Pertama,
Syariat terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau penjelasan Nabi yang
disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Alquran
atau Hadis Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi
umat Nabi Muhammad. Umpamanya firman Allah dalam surat AlAn`am: 146
وَعَلَى
الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا
اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
‘’Dan
kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari
sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain
lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau
yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan
kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar’’.
Ayat
ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. Kemudian
dijelaskan pula dalam Alquran bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi
Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An`am: 145
قُلْ
لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Hadis
Nabi:
اﺣﻠﺖ
ﱃ اﻟﻐﻨﺎم وﱂ
ﲢﻞ ﻻﺣﺪ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻰ
‘’Dihalalkan
untukku harta rampasan yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku’’.
Hadis
Nabi ini menjelaskan bahwa ghanimah (harta rampasan perang) itu tidak halal
untuk umat terdahulu, namun kemudian dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad.
Ulama
telah sepakat menyatakan bahwa syariat terdahulu yang dalam bentuk ini (yang
telah dinasakh) tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad.
Kedua, Hukum-hukum
dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis Nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya
dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku
untuk selanjutnya. Umpamanya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 183
ياَاَيُّهَا
الَّذِينَ أَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk terdahulu dan diwajibkan
atas umat Nabi Muhammad. Contoh dalam Hadis Nabi adalah tentang berkurban yang
dijelaskan disyariatkan untuk Nabi Ibrahim, juga disyariatkan untuk umat Nabi
Muhammad. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi:
ﺿﺤﻮا
ﻓﺎﺎ ﺳﻨﺔ اﺑﻴﻜﻢ اﺑﺮاﻫﻴﻢ
‘’Berkurbanlah karena yang demikian itu
adalah sunah bapakmu, Ibrahim’’.
Hukum-hukum
dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini telah disepakati
oleh semua ulama. Pemberlakuan hukum untuk umat Nabi Muhammad bukan karena ia
adalah syara’Hukum-hukum dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi Muhammad. Hal
ini telah disepakati oleh semua ulama. Pemberlakuan hukum untuk umat Nabi
Muhammad bukan karena ia adalah syara’sebelum kita yang harus berlaku untuk
kita, tetapi karena kewajiban tersebut ditetapkan pemberlakuannya unutk kita
dalam Alquran atau Hadis Nabi.
Ketiga,
Hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau hadis Nabi dijelaskan berlaku
untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku
untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh. Dari
ketiga kelompok syariat sebelum kita, bentuk pertama sudah jelas kedudukannya
yaitu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad. Demikian juga dengan bentuk
kedua yang disepakati telah menjadi hukum Islam. Bentuk ketiga inilah sebenarnya
yang disebut “syariat sebelum kita” yang menjadi bahan kajian ulama Ushul pada
waktu membicarakan dalil-dalil syara` atau metode ijtihad. Pembahasan tentang
syariat “syariat sebelum kita” ini mucul karena di satu sisi ia terdapat
(disebut) dalam Alquran yang tentu dengan sendirinya mengikat untuk umat Nabi
Muhammad, namun di sisi lain Alquran itu sendiri menyebutkan bahwa hukum itu
berlaku untuk umat tertentu sebelum Nabi Muhammad. Ayat Alquran dalam hal ini
mengisahkan isi sebuah kitab suci terdahulu yang menetapkan hukum bagi umatnya.
Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Maidah: 45
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ
بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
ۚ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
‘’Dan
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa
yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus
dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim’’.
Ayat
ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa dahulu kala. Hukum-hukum
dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi disyari’atkan untuk umat
sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan berlaku
untuk selanjutnya.
D.
Kehujjahan Syar’u Man Qaablana
Para
ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita itu menjadi dalil
dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad. Kaidah Syar`u Man Qablana ini
dimasukkan Al-Ghazali ke dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para
ulama Ushul. Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian
Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah
berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk yang ketiga
tersebut di atas tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak
dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya
adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya syariat
yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum dan
menasakh syariat sebelumnya.
2. Sebagian
sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang
disebutkan dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk umat
Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula
untuk umat Nabi Muhammad[8].
Dari sini muncul kaidah
ﺷﺮع
ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻨﺎ ﺷﺮع ﻟﻨﺎ
Alasan
yang mereka kemukakan adalah beberapa petunjuk dari ayat Alquran yang
diantaranya:
a.
Surah As-Su’ara: 13
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ
بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ
وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ
مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ
مَنْ يُنِيبُ
‘’Dia
telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya)’’.
b.
Surat al-Nahl: 123
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ
مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah
agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan’’.
Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah
memberlakukan hukum qishash yang seimbang sebagaimana tersebut dalam surat Al-Maidah:
45 bagi umat Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi.
Berdasarkan pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir dzimmi dikenai
qishash sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang Islam. Sedangkan kalangan
ulama Syafi’iyah yang tidak memberlakukan syariat umat Yahudi itu untuk umat
Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada keseimbangan dalam
pelaksanaan qishash antara mushlim dan non-muslim sebagaimana yang diberlakukan
terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh kafir
dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash. Tetapi bila kafir dzimmi yang
membunuh orang Islam, maka diberlakukan qishash. Sebenarnya perbedaan pendapat
dalam soal qishash itu tidak semata disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam
hal pemberlakuan syariat sebelum kita tersebut, tetapi ada beberapa faktor
(pertimbangan) lainnya. Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat,
namun yang berpendapat bahwa syariat sebelum kita itu dapat menjadi syariat
bagi kita adalah bukan karena ia adalah syariat sebelum kita tetapi karena ia
terdapat dalam Alquran dan Sunah Nabi yang harus dijadikan pedoman. Demikian,
kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam tidak berdiri sendiri. Nabi
Muhammad Saw. sampai usia 40 tahun belum menerima risalah dari Allah untuk
diberlakukan bagi umatnya. Selama masa menjelang menerima risalah itu, apakah
beliau beramal mengikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini
ulama ushul berbeda pendapat, yaitu:
1.
Sebagian ulama, termasuk Abu Husein al-Bashri,
berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti syariat manapun dari
syariat nabi-nabi sebelumnya ketika beliau belum menerima wahyu. Alasannya
karena sekiranya Nabi Muhammad beramal dengan salah satu syariat yang dibawa
Nabi dan Rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan dari beliau dan akan dikenal
luas (populer) tentang beramalnya dengan syariat itu, serta Nabi Muhammad
sendiri akan bergabung dan berbaur dengan sesama umat yang menjalankan syariat
tersebut.
2. Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar
Bakry yang mengutip para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah
mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan
peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika Nabi Saw. terikat dengan syari’at
sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkannya. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad
mengikuti salah satu syariat yang dibawa oleh Nabi dan Rasul sebelumnya
menjelang beliau menerima risalah. Alasannya ialah bahwa Muhammad sebelum
menerima risalah telah thawaf di Baitullah, dan biasa makan daging
kurban. Hal ini bukanlah suatu amalan yang dapat ditetapkan dengan akal. Dengan
demikian mesti ada petunjuk wahyu yang diikuti beliau, yaitu syariat dari Nabi
dan Rasul terdahulu.
Di kalangan ulama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad
mengikuti suatu syariat sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syariat Nabi yang
diikutinya itu:
a. Ada yang menyatakan beliau mengikuti syariat Nabi Nuh dengan
alasan bahwa Nuh adalah Nabi yang paling awal disebut membawa syariat, sebagai
tersebut dalam surat al-Syura: 13 yang artinya:
‘’Disyariatkan kepadamu dari agama
apa yang diwasiatkan dengannya kepada Nuh dan Kami wahyukan kepadamu’’.
b. Ada yang mengatakan bahwa Muhammad mengikuti syariat Nabi Ibrahim,
karena Nabi Ibrahim adalah yang mengasaskan agama Islam, sebagaimana firman
Allah dalam QS. Ali Imran: 67 yang artinya:
‘’Ibrahim itu bukan beragama Yahudi
dan bukan pulaberagama Nasrani, tetapi ia adalah orang yang lurus lagi
muslim’’.
c. Ada
juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syariat Nabi Musa, karena
Nabi Musa adalah yang pertama disebut sebagai pembawa kitab.
3. Pendapat
ulama yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan sikap tentang
apakah Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya atau
tidak, meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syariat lama tersebut.
Pendapat ini adalah yang terpilih menurut Al-Amidi dan Qadhi Abdul Jabbar dan
ulama lain yang sependapat.
Pembahasan
ulama ushul berikutnya berkembang kepada kemungkinan Nabi Muhammad mengikuti
syariat sebelumnya sesudah beliau menerima risalah. Dalam hal ini timbul
beberapa pendapat:
1. Abu Hanifah, Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan
sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat
sebelumnya yang sah yang diterimanya melalui wahyu, dan tidak melalui kitab
suci para nabi dan rasul terdahulu yang sudah diperbarui Allah atau diubah oleh
para pendetanya, selama syariat tersebut belum dinasakh. Mereka
mengajukan argumen dengan beberapa ayat Alquran dan Hadis yang diantaranya
adalah:
a. Surat
al-Nahl: 123
‘’Kemudian
Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif’’.
b. Surat
Al-Maidah: 44
‘’Kami
telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang para
nabi berhukum berhukum dengannya’’.
2. Ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa
Nabi setelah menerima risalah (wahyu) tidak pernah mengikuti syariat
sebelumnya. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a. Dalam
dialog yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal tentang cara Mu’az
menyelesaikan perkara sewaktu tidak menemukan jawabannya dalam Alquran dan
Sunah, Mu’az mengatakan bahwa ia akan menggunakan ijtihad dengan akal
pikirannya (ra’yu). Dia tidak menyinggung untuk mengambil ketentuan dari
syariat sebelumnya. Jawaban Mu’az itu mendapat pujian (persetujuan) Nabi.
b. Kalau
Nabi dan umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah, tentu
mempelajari syariat sebelumnya itu menjadi wajib kifayah dan Nabi sendiri wajib
merujuknya, dan Nabi sendiri tidak akan berhenti memberikan jawaban terhadap
suatu masalah saat tidak (belum) menerima wahyu. Kenyataannya menunjukkan bahwa
Nabi tidak pernah berpedoman pada syariat sebelumnya.
c. Ijma’
ulama menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu menasakh
syariat sebelumnya. Seandainya Nabi pernah mengikuti syariat sebelumnya, maka
tentu syariat Islam akan memberikan pengakuan terhadap syariat-syariat
sebelumnya, dan tidak akan menasakhnya.
BAB
III
KESIMPULAN
Pada
prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas
yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu
adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji,
dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda
sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh
karena agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama terakhir maka
akan ditemukan beberapa hal berkaitan syariat sebelum Islam, pertama
penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita sehingga tidak
berlaku lagi, kedua sebagian hukum-hukum umat yang terdahulu ada yang
dinyatakan masih berlaku melalui Alquran atau Hadis, dan sebagian dinyatakan
namun tidak dijelaskan masih berlaku atau tidak.
Para
ulama berpendapat bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak
membatalkannya dengan catatan tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Sedangkan
syariat sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak
menjadi syariat bagi Rasulullah Saw dan umatnya kecuali yang dinyatakan dalam
Alquran dan Sunnah melahirkan kaidah tersendiri dalam perumusan hukum
Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh,Depok: Kencana.
Abu Zahrah, Muhammad. 1994. Ushul Fiqh. Pustaka Firdaus.
Haroen,
Nasrun. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta:
Kencana, Jakarta.
AL
MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Kencana, Depok,
2009, hlm.
162-163.
[2] Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, 1994,
hlm. 465
[3] Prof Muhammad
Abu Zahrah, op. cit, hlm. 465
[4] Ibid, hlm. 465
[5] Satria Effendi, op. cit., hlm. 165-166.
[6] Ibid., hlm. 144
[7] Ibid., hlm. 144
[8] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008, hlm, 392-395
Tidak ada komentar:
Posting Komentar