Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH SYAR’U MAN QABLANA (SYARI’AT SEBELUM ISLAM)

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. LATAR BELAKANG

Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil suatu keputusan dalam menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan masalah-masalah yang rumit dan sedikit memainkan otak untuk bisa menjawabnya dengan benar, misalnya: hukum-hukum yang terdapat pada masa Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW apakah masih wajib kita laksanakan ataukah kita tinggalkan? Banyak para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, dan untuk memahami hal tersebut kita harus punya dasar dalam penetapan hukum.

Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah itu karena faktor taqlid (ikut-ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini dirasa penting untuk diangkat, dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu.

Maka dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang pendapat para ulama mengenai Syar’u Man Qablana (syariat-syariat sebelum kita/Islam).

B.        Rumusan Masalah

1.         Apa yang dimaksud dengan syar'u man qablana?

2.         Bagaimana pendapat para ulama tentang syar'u man qablana?

3.         Jelaskan pengelompokan syar'u man qablana!

4.         Bagaimana kehujjahan syar'u man qablana?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 A. Pengertian Syar`u Man Qablana

        Syar`u secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa`ilnya, secara bahasa adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum yang dilintasi manusia untuk menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga diartikan sebagai jalan yang lurus atau thariqatun mustaqimatun sebagaimana diisyarakan dalam Alquran Surat Al-Jatsiyah: 18.

Syar’u man qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran Nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa as.[1]

Secara istilah Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt yang disyariatkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam, mengikuti hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada dalil-dalil yang menghapusnya.

Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 183:

ياَاَيُّهَا الَّذِينَ أَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُونَ                    

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Sebelum membahas secara terperici mengenai pendapat para ulama tentang syar'u man qablana, pengelompokan dari Syar’u man qablana, serta kehujjahan syaru man qablana. Sebagai muslim, kita harus mengetahui bahwa syariat-syariat (agama) samawi secara prinsipil adalah satu. Allah menerangkan sendiri dalam surah A-Syura ayat 13.

شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ

‘’Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)’’.

Apabila yang menurunkan syariat syariat samawi adalah satu yaitu Allah, maka esensinya juga satu. Nash diatas jelas menerangkan hal itu, diperkuat dengan ijma’ ulama. Hanya saja memang Allah mengharamkan sebagian perkara atau perbuatan atas sebagian kaum tertentu. Pengharaman ini dimaksudkan untuk mencegah dari tenggelam dalam kehidupan yang diliputi nafsu syahwat, sebagaimana firman Allah yang berkaitan dengan kaum Yahudi, seperti dalam surat Al-An’am ayat 146.[2]

وَعَلَى الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍۚ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُوْمَهُمَآ اِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُوْرُهُمَآ اَوِ الْحَوَايَآ اَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍۗ ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِبَغْيِهِمْۚ وَاِنَّا لَصٰدِقُوْنَ

‘’Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar’’.

Selain itu juga bentuk maupun cara ibadah masing-masing syariat samawi juga berbeda-beda, meski esensinya tetap sama, yaitu menyembah Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Begitu pula mengenai perincian sebagian masalah-masalah juziyyat seperti pengaturan zakat dan lain sebagainya.[3]

Oleh karena itu, terdapat beberapa hukum syariat umat terdahulu yang dinasakh dengan syariat Nabi Muhammad, di samping sebagian diantaranya masih tetap dilestarikan. Syariat tentang qishas dan sebagaimana hukum had (dera) misalnya masih tetap berlaku dalam islam sebagaimana tercantum didalam Taurat.[4]

B. Pendapat Para Ulama Tentang Syar'u Man Qablana

1.      Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW.

2.      Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:

ثُمَّ أَوْ حَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِحْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl:123).[5]

Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena datang syari’at Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula para ulama Ushul Fiqih sepakat, bahwa syari’at sebelum Islam yang di cantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syari’at itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syari’at sebelum Islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa Ramadhan yang di wajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum Islam.[6]

Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena datang syari’at Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula para ulama Ushul Fiqih sepakat, bahwa syari’at sebelum Islam yang di cantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syari’at itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syari’at sebelum Islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa Ramadhan yang di wajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum Islam.[7]

C. pengelompokan Syar’u Man Qablana

Pengelompokan Syar’u Man Qablana Syariat sebelum kita dalam pengertian di atas, dapat dibagi dalam tiga kelompok:

 Pertama, Syariat terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Alquran atau Hadis Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad. Umpamanya firman Allah dalam surat AlAn`am: 146

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

‘’Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar’’.

Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam Alquran bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An`am: 145

 قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Hadis Nabi:

  اﺣﻠﺖ اﻟﻐﻨﺎم و ﻞ ﻻﺣﺪ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻰ

‘’Dihalalkan untukku harta rampasan yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku’’.

 Hadis Nabi ini menjelaskan bahwa ghanimah (harta rampasan perang) itu tidak halal untuk umat terdahulu, namun kemudian dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad.

Ulama telah sepakat menyatakan bahwa syariat terdahulu yang dalam bentuk ini (yang telah dinasakh) tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad.

Kedua, Hukum-hukum dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis Nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Umpamanya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 183

ياَاَيُّهَا الَّذِينَ أَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183) 

         Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad. Contoh dalam Hadis Nabi adalah tentang berkurban yang dijelaskan disyariatkan untuk Nabi Ibrahim, juga disyariatkan untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi:

  ﺿﺤﻮا ﻓﺎﺎ ﺳﻨﺔ اﺑﻴﻜﻢ اﺑﺮاﻫﻴﻢ

 ‘’Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunah bapakmu, Ibrahim’’.

Hukum-hukum dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini telah disepakati oleh semua ulama. Pemberlakuan hukum untuk umat Nabi Muhammad bukan karena ia adalah syara’Hukum-hukum dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini telah disepakati oleh semua ulama. Pemberlakuan hukum untuk umat Nabi Muhammad bukan karena ia adalah syara’sebelum kita yang harus berlaku untuk kita, tetapi karena kewajiban tersebut ditetapkan pemberlakuannya unutk kita dalam Alquran atau Hadis Nabi.

 Ketiga, Hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau hadis Nabi dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh. Dari ketiga kelompok syariat sebelum kita, bentuk pertama sudah jelas kedudukannya yaitu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad. Demikian juga dengan bentuk kedua yang disepakati telah menjadi hukum Islam. Bentuk ketiga inilah sebenarnya yang disebut “syariat sebelum kita” yang menjadi bahan kajian ulama Ushul pada waktu membicarakan dalil-dalil syara` atau metode ijtihad. Pembahasan tentang syariat “syariat sebelum kita” ini mucul karena di satu sisi ia terdapat (disebut) dalam Alquran yang tentu dengan sendirinya mengikat untuk umat Nabi Muhammad, namun di sisi lain Alquran itu sendiri menyebutkan bahwa hukum itu berlaku untuk umat tertentu sebelum Nabi Muhammad. Ayat Alquran dalam hal ini mengisahkan isi sebuah kitab suci terdahulu yang menetapkan hukum bagi umatnya. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Maidah: 45

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

‘’Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim’’.

Ayat ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa dahulu kala. Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan berlaku untuk selanjutnya.

D. Kehujjahan Syar’u Man Qaablana

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad. Kaidah Syar`u Man Qablana ini dimasukkan Al-Ghazali ke dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para ulama Ushul. Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1.      Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk yang ketiga tersebut di atas tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum dan menasakh syariat sebelumnya.

2.      Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad[8]. Dari sini muncul kaidah

ﺷﺮع ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻨﺎ ﺷﺮع ﻟﻨﺎ

Alasan yang mereka kemukakan adalah beberapa petunjuk dari ayat Alquran yang diantaranya:

a. Surah As-Su’ara: 13

 

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ

’Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)’’.

b. Surat al-Nahl: 123

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan’’.

Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah memberlakukan hukum qishash yang seimbang sebagaimana tersebut dalam surat Al-Maidah: 45 bagi umat Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi. Berdasarkan pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir dzimmi dikenai qishash sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang Islam. Sedangkan kalangan ulama Syafi’iyah yang tidak memberlakukan syariat umat Yahudi itu untuk umat Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada keseimbangan dalam pelaksanaan qishash antara mushlim dan non-muslim sebagaimana yang diberlakukan terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh kafir dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash. Tetapi bila kafir dzimmi yang membunuh orang Islam, maka diberlakukan qishash. Sebenarnya perbedaan pendapat dalam soal qishash itu tidak semata disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam hal pemberlakuan syariat sebelum kita tersebut, tetapi ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya. Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang berpendapat bahwa syariat sebelum kita itu dapat menjadi syariat bagi kita adalah bukan karena ia adalah syariat sebelum kita tetapi karena ia terdapat dalam Alquran dan Sunah Nabi yang harus dijadikan pedoman. Demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam tidak berdiri sendiri. Nabi Muhammad Saw. sampai usia 40 tahun belum menerima risalah dari Allah untuk diberlakukan bagi umatnya. Selama masa menjelang menerima risalah itu, apakah beliau beramal mengikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini ulama ushul berbeda pendapat, yaitu:

1.      Sebagian ulama, termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti syariat manapun dari syariat nabi-nabi sebelumnya ketika beliau belum menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya Nabi Muhammad beramal dengan salah satu syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan dari beliau dan akan dikenal luas (populer) tentang beramalnya dengan syariat itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan bergabung dan berbaur dengan sesama umat yang menjalankan syariat tersebut.

2.      Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar Bakry yang mengutip para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika Nabi Saw. terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkannya. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti salah satu syariat yang dibawa oleh Nabi dan Rasul sebelumnya menjelang beliau menerima risalah. Alasannya ialah bahwa Muhammad sebelum menerima risalah telah thawaf di Baitullah, dan biasa makan daging kurban. Hal ini bukanlah suatu amalan yang dapat ditetapkan dengan akal. Dengan demikian mesti ada petunjuk wahyu yang diikuti beliau, yaitu syariat dari Nabi dan Rasul terdahulu.

Di kalangan ulama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti suatu syariat sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syariat Nabi yang diikutinya itu:

a.       Ada yang menyatakan beliau mengikuti syariat Nabi Nuh dengan alasan bahwa Nuh adalah Nabi yang paling awal disebut membawa syariat, sebagai tersebut dalam surat al-Syura: 13 yang artinya:

‘’Disyariatkan kepadamu dari agama apa yang diwasiatkan dengannya kepada Nuh dan Kami wahyukan kepadamu’’. 

b.      Ada yang mengatakan bahwa Muhammad mengikuti syariat Nabi Ibrahim, karena Nabi Ibrahim adalah yang mengasaskan agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran: 67 yang artinya:

‘’Ibrahim itu bukan beragama Yahudi dan bukan pulaberagama Nasrani, tetapi ia adalah orang yang lurus lagi muslim’’. 

c.       Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syariat Nabi Musa, karena Nabi Musa adalah yang pertama disebut sebagai pembawa kitab.

3.      Pendapat ulama yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan sikap tentang apakah Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya atau tidak, meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syariat lama tersebut. Pendapat ini adalah yang terpilih menurut Al-Amidi dan Qadhi Abdul Jabbar dan ulama lain yang sependapat.

Pembahasan ulama ushul berikutnya berkembang kepada kemungkinan Nabi Muhammad mengikuti syariat sebelumnya sesudah beliau menerima risalah. Dalam hal ini timbul beberapa pendapat:

1.      Abu Hanifah, Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat sebelumnya yang sah yang diterimanya melalui wahyu, dan tidak melalui kitab suci para nabi dan rasul terdahulu yang sudah diperbarui Allah atau diubah oleh para pendetanya, selama syariat tersebut belum dinasakh. Mereka mengajukan argumen dengan beberapa ayat Alquran dan Hadis yang diantaranya adalah:

a.       Surat al-Nahl: 123

‘’Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif’’.

b.      Surat Al-Maidah: 44

‘’Kami telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang para nabi berhukum berhukum dengannya’’. 

2.      Ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi setelah menerima risalah (wahyu) tidak pernah mengikuti syariat sebelumnya. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:

a.       Dalam dialog yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal tentang cara Mu’az menyelesaikan perkara sewaktu tidak menemukan jawabannya dalam Alquran dan Sunah, Mu’az mengatakan bahwa ia akan menggunakan ijtihad dengan akal pikirannya (ra’yu). Dia tidak menyinggung untuk mengambil ketentuan dari syariat sebelumnya. Jawaban Mu’az itu mendapat pujian (persetujuan) Nabi.

b.      Kalau Nabi dan umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah, tentu mempelajari syariat sebelumnya itu menjadi wajib kifayah dan Nabi sendiri wajib merujuknya, dan Nabi sendiri tidak akan berhenti memberikan jawaban terhadap suatu masalah saat tidak (belum) menerima wahyu. Kenyataannya menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah berpedoman pada syariat sebelumnya.

c.       Ijma’ ulama menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu menasakh syariat sebelumnya. Seandainya Nabi pernah mengikuti syariat sebelumnya, maka tentu syariat Islam akan memberikan pengakuan terhadap syariat-syariat sebelumnya, dan tidak akan menasakhnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.

Oleh karena agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama terakhir maka akan ditemukan beberapa hal berkaitan syariat sebelum Islam, pertama penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita sehingga tidak berlaku lagi, kedua sebagian hukum-hukum umat yang terdahulu ada yang dinyatakan masih berlaku melalui Alquran atau Hadis, dan sebagian dinyatakan namun tidak dijelaskan masih berlaku atau tidak.

Para ulama berpendapat bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak membatalkannya dengan catatan tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Sedangkan syariat sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak menjadi syariat bagi Rasulullah Saw dan umatnya kecuali yang dinyatakan dalam Alquran dan Sunnah melahirkan kaidah tersendiri dalam perumusan hukum Islam. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh,Depok: Kencana.

Abu Zahrah, Muhammad. 1994. Ushul Fiqh.  Pustaka Firdaus.

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.

Syarifuddin,  Amir. 2008. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Kencana, Jakarta.

AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM



[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Kencana, Depok, 2009,  hlm. 162-163.

[2] Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 465

[3] Prof Muhammad Abu Zahrah, op. cit, hlm. 465

[4] Ibid, hlm. 465

[5] Satria Effendi, op. cit., hlm. 165-166.

[6] Ibid., hlm. 144

[7] Ibid., hlm. 144

[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008, hlm, 392-395

Tidak ada komentar:

Posting Komentar