BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi atau alat
interaksi yang hanya dapat dimiliki manusia. Dalam kehidupan masyarakat,
sebenarnya manusia juga dapat menggunakan alat komunikasi lain, selain bahasa.
Namun tampaknya bahasa merupakan alat
komunikasi yang paling baik, paling sempurna, dibandingkan alat komunikasi lain
termasuk juga alat komunikasi yang digunakan hewan.
Secara objektf hakikat keberadaan bahasa
tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hakikat makna bahasa dan
keberadaan bahasa senantiasa memproyeksikan kehidupan manusia yang sifatnya
tidak terbatas dan kompleks. Bahasa (language) merupakan sistem lambang bunyi
yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 2001:
21). Dengan perkataan lain semua manusia di dunia ini sama-sama berbudaya
dengan fasilitas bahasa. Di mana pun bahasa dihasilkan dengan alat-alat ujaran
yang sama dan dipakai untuk kepentingan komunikasi; jelasnya untuk berbicara. Berdasarkan gejala
ini, nampaknya gagasan universal grammar atau universal language sederhana
sekali. Kenyataanya orang-orang dari berbagai tempat tidak selamanya saling
mengerti sewaktu berbicara. Kita sendiri
mengalami adanya ketidaklancaran dalam komunikasi, sehingga saling pengertian
tidak sepenuhnya tercapai. Andaikan kita memiliki (banyak) persamaan dalam kode
linguistik, maka saling pengertian
(mutual intelligibility) bisa dicapai. Untunglah ada yang kita kenal dengan paralinguistik
(paralanguage) seperti isyarat dan mimik air muka yang bisa mengkomunikasi,
walaupun masing-masing dari yang sedang berkomunikasi itu tidak sebahasa. Pada
sisi lain kita mengenal orang-orang yang ada di sekeliling kita. Dengan mereka
kita berkomunikasi dengan mudahnya karena sebahasa dalam satu masyarakat
ujaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masyarakat Bahasa (Speech Community)
Masyarakat bahasa adalah sekumpulan
manusia yang menggunakan sistem syarat bahasa yang sama Bloomfield (dikutip
Nababan, 1991:5) pengertian masyarakat bahasa menurut Bloomfield oleh para ahli
sosisolinguistik dianggap terlalu sempit karena setiap orang menguasai dan
menggunakan lebih dari satu bahasa. Sementara menurut Corder (dikutip Aslinda
& Syafyahya, 2007:8) mengatakan bahwa masyarakat bahasa adalah sekelompok
orang yang satu sama lain biasa saling mengerti sewaktu mereka berbicara.
Senada dengan pendapat Firshman (dikutip Alwasilah, 1985:42) masyarakat bahasa
adalah masyarakat yang semua anggotanya memilih bersama paling tidak satu ragam
ujaran dan norma-norma untuk pemakainya yang cocok.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
masyarakat bahasa itu dapat terjadi dalam sekelompok orang yang menggunakan
bahasa yang sama dan sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang berbeda
dengan syarat di antara mereka terjadi saling pengetian.
Untuk dapat disebut masyarakat bahasa
adalah adanya perasaan di antara penuturnya bahwa mereka menggunakan bahasa
yang sama (Djokokentjono 1982). Pada pokoknya masyarakat bahasa itu terbentuk
karena adanya saling pengertian (mutual intelligibility), terutama karena
adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik secara terinci dalam
aspek-aspeknya, yaitu system bunyi, sintaksis dan semantick. Dalam saling
pengertian itu ternyata ada dimensi sosialpisikologi yang subyektif. Dalam
setiap populasi ada terdapat banyak speech community dengan demikian sudah
barang tentu, adanya tumpang tindih keanggotaan dan sistem kebahasaan. Ada tiga
macam masyarakat ujaran (speech community) yaitu:
·
sebahasa
dan saling mengerti
·
sebahasa
tapi tidak saling mengerti
·
berbeda
bahasa tapi saling mengerti
Dengan catatan bahwa mereka yang saling
tidak mengerti tapi sebahasa, adalah sangat mungkin tadinya ‘sebahasa’ dan
kedau bahasa itu bisa kita anggap sebagai varian yang sudah mempunyai
kemandirian. Kemudian yang berbeda
bahasa tapi saling mengerti, bisa kita anggap sebagi satu speech community
karena meraka mempunyai mutual intelligibility yang dalam sosialisasi merupakan
jaminan bagi terciptanya speech community dan komunikasi. Kalau mereka saling mengerti walu berbeda
bahasa itu adalah interaksi. Dua bahasa yang berbeda ini bisa dianggap sebagai
dua dialek atau varian (ragam bahasa) bahasa yang sama.
B.
Bahasa
dan Tutur
Ferdinand de Saussure (1916) membedakan
antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah yang berasal
bahasa Prancis itu, dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim,
dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai
pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama
bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan
untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk
berkomunikasi dan berinteraksi secara
verbal di antara sesama. Langage bersipat abstrak. Barang kali istilah langage
dapat dipadankan dengan kata bahsa seperti terdapat dalam kalimat “Manusia
mempunyai bahasa, binatang tidak”
Istilah kedua dari langue
dimaksudkan sebagi sebuah sitem lambang bunyi yang diugnakan oleh sekelompok
anggota masyarat tertentu untuk
berkomikasi dan berinteraksi sesamanya. Jadi, langue mengacu pada
seistem lambang bunyi tententu yang digunakan oleh anggota masyarakat tertentu,
yang barangkali dapat dipadankan dengan
kata bahasa dalam kalimat “Nita belajara bahasa Jepang, sedangkan Dika belajara
bahasa Inggis” langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun langage
adalah suatu sistem pola, keteraturan, atau kaidah yang ada atau dimiliki
manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
Berbeda dengan parole bersifat konkret,
karena parole itu merupakan pelaksana dari langue dalam bentuk ujaran atau
tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraki atau
berkomunikasi sesamnya. Parole disini barangkali dapat diapadankan dengan kata
bahasa dalam kalimat. Kalau beliau
berbicaa bahasanya penuh dengan kata daripada dan akhiran ken. Jadi, sekali
lagi parole itu tidak bersifat abstrak, nyata ada, dan dapat diamati secara
empiris.
Dari pembahasan di atas terlihat
bahwa kata atau istilah bahasa dalam bahasa Indoensia menanggung beban konsep
yang amat berat, karena ketiga istilah yang berasal dari bahasa Prancis itu
dapat dipandakan dengan satu kata bahasa itu, meskipun harus dalam konteks yang
berbeda. Beban konsep atau makna yang ditangung kata bahasa itu, memang sangat
berat, karena selaian menangung konsep istilah langage, langue, dan parole itu
juga menanggung konsep atau pengertian lain. Perhatikan kalimat-kalimat
berikut!
–
Sesama aparat penegak hukum haruslah ada
kesamaan bahasa, agar keputusan yang diambil tidak bertentangan.
–
Bahasa meliter tak perlu digunakan dalam
menghadapi kerusuhan disana.
–
Nyatakanlah cintamu dalam bahasa bunga.
Hasilnya pasti akan lebih baik.
–
Sang Raja yang sedang dimabuk kemenangan
itu tidak mengetahui bahasa sang permaisuri telah tiada.
Keempat
kalimat di atas tidak ada hubungannya baik dengan kata langage, langue, dan
parole. Yang pertama berarti kebijakan, pandangan; yang kedua berarti ‘cara’;
yang ketiaga berati ‘alat komunikasi’ dan yang keempat berarti bahwa.
Sebagai langage bahasa itu bersifat
universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia
pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Tetapi
sebagai langue bahasa itu, meskikpun ada
ciri-ciri keunivesrsalannya, bersifat terbatas pada suatu masyarakat tertentu.
Satu masyakat tentu memang agak sukar rumusannya; namun adanya ciri saling mengerti (mutual
intelligibility) barang kali bisa dipakai batasan adanya satu bahasa. Jadi,
misalnya penduduk yang ada di Garut Selatan dengan yang ada di Karawang dan
dilereng Gunung Salak, Bogor, masih berada dalam satu masyarakat bahasa dan
dalam satu bahasa, karena meraka masih dapat mengerti denga alat verbalnya.
Bergitu juga penduduk yang berada di Banyumas dengan yang berada di Semarang
dan yang berada di Surabaya, masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat
bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya.
Adanya saling mengerti antara penduduk
di Garut Selatan dengan penduduk di Karawang adalah karena adanya kesamaan
sistem subsistem (fonologi, morfologi, sintaksi, leksikon, dan semantik) di
antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang ada
di Banyumas, Semarang dan Surabaya, mereka saling mengerti tentunya karena adanya
kesamaan-kesamaan sistem dan subsistem dalam parole-parole yang mereka gunakan.
Tetapi antara penduduk di Garut Selatan dengan penduduk di Banyumas tidak ada
saling mengerti secara verbal di atara mereka sesamnya. Hal ini terjadi karena
parole-parole yang digunakan di antara penduduk di kedua tempat itu tidak
mempunyai kesamaan sistem maupun subsistem. Ketiadaan kesamaan sistem dan
subbsistem di antara kedua masyarakat bahasa ini yang menyebabkan tidak
terjadinya saling mengerti menadai dan dua sistem langue yang bebeda. Maka
dalam kasus-kasus parole yang digunakan penduduk di Garut Selatan dan di
Banyumas itu, kita menyebutnya ada dua buah bahasa sistem langue, yaitu bahasa
Sunda di Garaut Selatan dan bahasa Jawa di Banyumas.
Dengan demikian kita menyebut dua prole
dari dua masyarakat bebeda sebagai dua bahasa yang bebeda adalah karena
tiadanya saling mengerti secara verbal. Penamaan ini adalah bedasarkan kriteria
linguistik. Namun, dalam berbagai kasus
ada ditemukan adanya dua masyarakat bahasa yang bisa saling mengerti, tetapi
mengaku menggunakan dua bahasa yang berbeda dengan mana yang berbeda, misalnya,
penduduk Malaysia dapat saling mengerti dengan penduduk Indonesia karen
secara linguistik ada perasaan sistem dan sudsistem diantara
kedua prole yang digunakan. Tetapi penduduk Malaysia menyatakan dirinya
berbahasa Malasysia, sedangkan penduduk Indonesia menyatakan dirinya bebahasa
Indonesia maka dalam kasus ini penamaan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia
bukanlah bedasarkan kriteria linguistik, melainkan dengan kriteria politik
bahasa yang digunakan di Malaysia adalah bahasa Malaysia dan digunakan di
Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Di atas sudah dikemukanakan bahwa parole
yang digunakan penduduk di Garut Selatan, Karawang, dan di Bogor adalah berbeda,
meskipun mereka saling mengerti, karena masih terdapatnya kesamaan sistem atau
subsistem di atara parole di ketiga tempat tersebut. Jadi, di dalam
“keberadaan’ mereka masih terdapat “kesaling-mengertian”. Dalam kasus ini,
parole-parole yang digunakan di ketiga tempat itu disebut sebagai dialek-dialek
dari sebuah bahasa yang sama. Secara konkret lazim dikatakan sebagai: bahasa
Sunda dialek Garut, bahasa Sunda dialek Karawang, dan bahasa Sunda dialek
Bogor. Begitu juga dalam contoh di atas kita menemukan bahasa Jawa Banyumas,
bahasa Jawa dialek Semarang, dan bahasa Jawa dialek Surabaya.
Setiap orang secara konkret memiliki
kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara atau menulis). Kekhasan ini
dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksi, dan penggunaan
unsur-unsur bahasa lain. Itu lah sebabnya, kalau kita akrab dengan seorang,
kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan mendengar suaranya saja
(orangnya tidak Nampak), atau hanya dengan membaca tulisannya saja (namanya
tidak tampak). Ciri khas seseorang disebut dengan idiolek. Jadi, kalua ada 100
orang, maka akan ada 100 idolek.
C.
Ragam
Bahasa, dan Verbal Reportaire Dalam Komunikasi
1.
Ragam
Bahasa
Alwasilah (1985:51) menjelaskan batasan
kategori yang termasuk jenis ragam bahasa yaitu styles, slang, kolokial,
jargon, argot, dan register
a. Styles
Dalam pembahasan sosiolinguistik, keenam
istilah di atas banyak disebut. Kesemuanya itu ada pada setiap penutur bahasa
apa pun. Artinya semua itu ada dalam verbal repertoire anda sendiri. Sewaktu
anda bersama teman, anda berbahasa dengan gaya tersendiri. Sewaktu menjawab
pertanyaan dalam wawancara, gaya bicara andapun berbeda dengan cara anda merayu
sibuah hati. Gaya dan cara berbahasa yang bermacam-macan dan situasional ini
dinamai styles. Menurut Hartman & Stork (dikutip alwasilah 1985) style
adaah gaya perorang yang ditempuh dalam ujaran maupun tulisan sesuai dengan
tulisan dengan penguasaan kebahasaan. Pilihan-pilihan penutur atau penulis akan
sumber-sumber fonologis, dramatik dan lesikal bahannya merupakan pokok
pembahasan bermacam pendekatan dalam stailistik, dan banyak definisi style yang
telah diturunkan. Sedangkan menurut De Vito
(1970) menyatakan bahwa style
adalah cara seorang pembicara atau penulis mendayagunakan sumber-sumber kebahasaannya-pilihan
yang ditempuhnya dan penyusunan-penyusunan serta pola-pola yang nampak.
Dari batasan-batasan di atas bahwa
stylistics, sebagai cabang linguistik yang
mempelajari gaya atau cara berbahasa seseorang dalam performannya baik
lisan maupun tulisan. Pada kenyataan sehari-hari, setiap penutur selalu
meloncat-loncat dari satu style lain, dalam pengamatan kita tidak ada penutur
yang hanya memiliki style tunggal. Maksudnya ialah mendekatkan diri pada
penanggap tuturnya; mengusir segala kendala penyampaian amanat (message).
Pergantian style ke style lain ini disebut juga code switching ( pindah kode ).
Code switching bisa terjadi antara style, dialek atau bahasa seperti pada para
penutup bilingual atau multilingual.
b. Slang
Menurut Chaer dan Agustina (2004:67)
slang atau prokem adalah variasi sosial yang bersifat kusus dan rahasia.
Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan
tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Sementara menurut Pei
& Gaynor (dikutip Alwasilah, 1985:57) mengatakan bahwa slang merupakan
suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum, dibuat dengan adaptasi yang popular
dan pengulasan makna dari kata-kata yang ada dan dengan menyusun kata-kata baru
tanpa memperhatikan standar-standar skolastik dan kaidah-kaidah linguistik
dalam pembentukan kata-kata pada umumnya terbatas pada kelompok-kelompok sosial
atau kelompok tertentu. Misalnya kata bentar disingkat jadi bntr. Karena slang
ini bersipat kelompok dan rahasia, maka timbul kesan bahwa slang ini adalah
bahasa rahasianya para pencopet atau penjahat, padahal sebenarnya tidaklah
demikian.
c.
Kolokial
Slang ini berkaitan erat dengan
kolokial. Kolokial adalah variasi bahasa sosial yang digunakan dalam percakapan
sehari-hari. Kata kolokial berasal dari kata colloquium (percakapan, konpensi)
. Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis (Chaer &
Agustina, 2004:67). Juga tidak tepat kalau kolokial ini disebut bersifat
“kampungan” atau bahasa kelas golongan bawah kolokial ini menyentuh ukuran
slang. Sekarang ia lazim diajukan pada bahasa yang cocok pada pemakaian
informal baik dalam ujaran maupun tulis, seperti dok (dokter), prof (profesor),
let (letnan) ndak ada (tidak ada). Dalam pembicaraan atau tulisan formal
ungkapan-ungkapan seperti contoh di atas harusnya dihindarkan.
d.
Jargon
, Argot, Cant, dan Register
Jargon adalah variasi sosial yang
digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu (Chaer &
Agustina, 2004:68). Sementara menurut hartman & Stork (dikutip Alwasilah,
1985:61) menyatakan bahwa jargon adalah seperangkat istilah-ilstilah dan
ungkapan-ungkapan yang dipakai satu kelompok sosial atau kelompok pekerja, tapi
tidak dipakai dan sering tidak dimengerti oleh masyarakat ujaran secara
keseluruhan. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia.
Misalnya, dalam kelompok montir atau pembengkelan ada ungkapan-ungkpan seperti
roda gila, didongkrak, dices, dipoles dan lain sebagainya. Dalam kelompok
tukang batu dan bangunan ada ungkapan, seperti
disipat, disiku dan ditimbang.
Menurut
Zeigher (dikutip Alwasialah, 1985:61) argot adalah bahasa rahasia, atau
bahasa khas para pencuri. Senada dengan pendapat Chaer & Agustina (2004:68)
argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi
tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada kosakata.
Umpamnya, dalam dunia kejahatan (pencuri dan tukang copet) seperti barang
atinya ‘mangsa’, kacamata dalam arti ‘polisi’, daun artinya ‘uang’, gemuk
artinya ‘mangsa besar’, tepe artinya ‘mangsa empuk’.
Yang dimaksud dengan ken (inggris =
cant) variasi bahasa tertentu yang bernada “memelas”, dibuat merengek-rengek,
penuh kepura-puraan Chaer & Agustina (2004:62). Biasanya digukan oleh para pengemis, seperti
tercemin dalam ungkapan the cant of beggar (bahas pengemis). Kita melihat bahwa
jargon, argot dan cant pada pokoknya mengacu pada bahasa yang khusus dalam
kelompok sosial tertentu.
Disini juga perlu disebut istilah
vulgar atau vulgate (rakyat jelata) menurut Willis (1964) istilah vulgate menyifati bahasa
dengan bentuk-bentuk gramatik tertentu
dan pengucapan-pengucapan yang tidak ada pada ujaran orang bependidikan, ini
berarti terbatas dalam diksinya, tetapi tidak berarti tidak terhormat. Senada
dengan pendapat Chaer & Agustina (2004:66) mengatakan bahwa vulgar adalah
variasi sosial yang ciri-cirinya tanpak
pemakai bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dan kalangan mereka
yang tidak berpendidikan. Misalnya bahasa tukang becak dan bahasa pemulung.
Sementara yang dimaksud dengan
register adalah satu ragam bahasa yang digunakan untuk maksud tertentu, sebagai
kebalikan dari dialek sosial atau regional (yang bervariasi karena penuturnya).
Register bisa dibatasi lebih sempit dengan acuan pada pokok ujaran (pokok
pembicaraan), misalnya istilah mengail, dan judi atau tingkat keformalannya
(tingkat wacana) seperti formal, biasa, intim dan sebagainya).
2. Verbal
Repertoire Dalam Komunikasi
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak
membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai
keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative
competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki oleh
penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan fungsi
dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya. Kemampuan
komunikatif meliputi kemampuan struktural untuk membedakan kalimat gramatikal
dan non-gramatikal dan keterampilan untuk memilih bentuk bahasa yang sesuai
dengan situasi, menyesuaikan ungkapan dengan setiap tingkah laku, tidak hanya
menginterpretasikan makna referensial, melainkan mempertimbangkan norma sosial
dan nilai afektifnya. Seluruh kemampuan komunikatif diperhitungkan dalam
pemerian bahasa secara menyeluruh, bulat, dan utuh, sebab semua aspek saling
berhubungan. Kemampuan komunikatif ini
dimiliki oleh setiap anggota masyarakat dan menjadi milik kelompok. Kemampuan
komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok disebut verbal repertoire.
Jadi verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal repertoire
yang dimiliki individu dan yang dimiliki masyarakat. Jika suatu masyarakat
memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama
terhadap pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat
bahasa.
Berdasarkan verbal repertoire yang
dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu (1)
masyarakat monolingual, (2) masyarakat bilingual, dan (3) masyarakat
multilingual. Rata-rata orang Indonesia yang pernah menduduki bangku sekolah menguasai bahasa ibunya dan
bahasa Indonesia. Selain itu, mungkin
menguasai satu bahasa daerah lain atau lebih dan juga bahasa asing, bahasa
Inggris, atau bahasa lainnya, apabila mereka telah memiliki pendidikan menengah
atau pendidikan tinggi. Semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau
dikuasai seorang penutur ini bisa disebut dengan istilah repertoir bahasa atau
verbal repertoir dari orang itu.
Dalam setiap komunikasi menggunakan
bahasa, penutur menyampaikan informasi yang terjadi dalam peristiwa tutur,
karena interaksi berbahasa tersebut melibatkan penutur dan mitra tutur dengan
suatu pokoktuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan
Agustina, 1995:61). Jadi terjadinya interaksi kebahasaan untuk saling
menyampaikan informasi antara penutur dan mitra tutur tentang suatu topik atau
pokok bahasan pada waktu, tempat, dan situasi tertentu disebut peristiwa tutur.
Hymes (dikutip Aslinda & Safyahya, 2007:32) merumuskan bahwa suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen tutur, yaitu SPEAKING. (1)
Setting berhubungan dengan waktu dan tempat pertuturan berlangsung dan Scene
mengacu kepada situasi pertuturan. Waktu, tempat, dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi
bahasa yang berbeda. Misalnya percapan dilapangan sepak bola ketika ada
pertandingan dengan situasi yang ramai tentu akan berbeda dengan percakapan
yang dilakukan di perpustakaan pawaktu banyak orang yang sedang membaca dalam
situasi yang sunyi. Perbedaan setting
dan scene mengakibatkan variasi bahasa. (2) Participant adalah peserta tutur,
yaitu penutur, mitra tutur dengan status sosialnya. Misalnya seorang jaksa
dalam persidangan akan berbeda ragam bahasa yang digunakan ketika berbicara
dengan anak-anaknya di rumah. (3) Ends mengacu pada maksud dan tujuan tuturan.
Misalnya dalam ruang seminar penyaji akan berusaha menjelaskan maksud yang
dibuatnya, sementara pendengar atau peserta
sebagai mitra tutur berusaha mempertanyakan makalah yang disajikan. (4)
Act Sequences berhubungan dengan bentuk ujaran dan isi ujaran. (5) Key
berkaitan dengan nada suara/tone, penjiwaan/spirit, sikap atau cara/manner saat
suatu tuturan diucapkan. Misalnya dengan gembira, santai dan serius (6)
Instrumentalities berkaitan dengan saluran/channel dan bentuk bahasa (the form
of speech) yang digunakan dalam tuturan. (7) Norms of Interaction and
Interpretation adalah norma atau aturan yang harus dipahami dalam berinteraksi.
(8) Genre mengacu pada bentuk penyampaian, seperti puisi, peribahasa, prosa.
Ada yang membedakan genre ke dalam tiga jenis, yaitu percakapan di dalam
gedung, di luar gedung, dan melaui media. Keseluruhan komponen dan peranan
komponen tutur dalam sebuah peristiwa berbahasa disebut peristiwa tutur (speech
event).
D.
Bahasa
Pingin Dan Bahasa Kreol
1. Bahasa
Pingin
Bahasa pada kenyataannya tidak
tunggal melainkan berbeda-beda. Selain itu, dalam sebuah bahasa memiliki
berbagai wujud variasi, antara lain variasi standar dan nonstandar. Variasi-variasi
tersebut muncul karena faktor sosial budaya, tempat individu atau kelompok
individu itu berada. Bentuk atau wujud bahasa seseorang atau kelompok
masyarakat sedikit banyak dipengaruhi oleh lingkungan atau faktor ekstralingual
yang bersentuhan dengannya. Oleh karena faktor ekstralingual inilah sehingga
wujud bahasa menjadi beragam-ragam sesuai dengan kenyataan sosial yang
direfleksikannya. Pendapat ini membantah konsep Chomsky ihwal masyarakat bahasa
homogen. Wardhaugh (1986: 113) mengevaluasi pandangan masyarakat homogen
Chomsky seperti kutipan berikut ini.
“For
purely theoretical purposes, linguist may want to hypotezise the existence of
some kind of “ideal” speech community. This is actually what Chomsky proposes,
his ‘completely homogenous speech community’. However, such a community can not
be our concern: it is theoretical construct employed for a narrow purpose. Our
speech community, whatever they are, exist in a ‘real world’. Consequently,
some alternative view must be developed of speech community, one helpful to
investigation of a language in society rahter than necessitated by more
abstract linguistic theorizing”.
Berdasarkan pendapat Wardhaugh di
atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan masyarakat bahasa yang heterogen lebih
masuk akal. Ihwal masyarakat homogen, kelihatannya hal ini susah untuk
dibayangkan. Andaikata ada, jumlahnya sangat terbatas. Oleh karena
keheterogenan masyarakat bahasa, faktor-faktor yang bersifat individual,
regional, sosial dan situasional sangat mempengaruhi variasi bahasa. Berpijak
dari pendapat di atas, para pakar sosiolinguistik berpendapat bahwa bahasa itu
ada bermacam-macam. Di antara berbagai macam bahasa itu adalah bahasa pijin dan
bahasa kreol.
Wardhaugh (1988) dan Holmes (2001)
mendefinisikan pijin adalah bahasa yang tidak mempunyai penutur asli. Wardhaugh
(1988:15) menambahkan bahwa pijin kadang-kadang dianggap sebagai sebuah variasi
yang mengurangi bahasa normal, dengan penyederhanaan tata bahasa dan kosa kata,
variasi fonologi, dan pencampuran kosa kata bahasa lokal. Oleh karena itu
pijinisasi meliputi penyederhanaan bahasa, seperti pengurangan sistem morfologi
(struktur kata) dan sintaksis (struktur gramatikal), toleran terhadap perbedaan
pelafalan, pengurangan sejumlah fungsi bahasa, dan perluasan peminjaman
kata-kata dari bahasa lokal. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Fasold (1996)
yang menyatakan bahwa pijin merupakan penyederhanaan dari pelafalan dan
aspek-aspek tertentu tata bahasa.
Dari beberapa pendapat di atas,
definisi pijin dapat disarikan menjadi dua, yaitu:
o
Pijin merupakan variasi bahasa yang
tidak memiliki pentur asli.
o
Pijin adalah variasi bahasa yang
bercirikan penyederhanaan (simplification), dan lazimnya aspek yang mengalami
penyederhanaan adalah tata bahasa dan kosa kata.
Apabila diamati secara etimologis,
istilah bahasa Inggris pijin kemungkinan besar diambil dari kata benda business
yang berarti perdagangan. Mula-mula, kata ini merupakan ragam yang penting
sebagai bahasa bantu dalam sebuah kontak bahasa. Oleh karena pengaruh
substratum Cina, perkembangan kata pijin kemungkinannya adalah seperti berikut:
/bisnis/ > /pizin/ > /pizin/ > /pidgin/ (Suhardi dkk, 1995). Selaras
dengan pendapat Suhardi, Holmes (2001) menyatakan bahwa kata pijin mungkin
berasal dari business yang dilafalkan dalam bahasa Inggris pijin yang
berkembang pada bangsa Cina, atau mungkin dari bahasa Yahudi yaitu pidjom yang
berarti perdagangan atau pertukaran. Kemungkinan juga kata pijin berasal dari
kombinasi dua huruf bahasa Cina yaitu péi dan tsˉi n yang bermakna membayar
dengan uang. Bahasa pijin akan muncul apabila dua penutur atau lebih
mempergunakan sistem bahasa yang timbul akibat adanya situasi kebahasaan
darurat sebagai media komunikasi. Struktur bahasa tersebut disederhanakan dan
kosa katanya dibatasi. Bahasa tersebut akan disebut bahasa pijin jika bahasa
tersebut untuk kedua belah pihak bukan merupakan bahasa ibu (Suhardi dkk, 1995:
3). Pendapat senada juga dikemukakan Bell (dikutip Ibrahim, 1995). Bell berpendapat
bahwa dalam suatu situasi kontak dimana dua kelompok yang tidak memiliki bahasa
yang sama atau umum dan keduanya ingin berkomunikasi. Pada saat inilah tumbuh
medium yang tampaknya tidak dapat dihindarkan lagi. Pengertian bahasa pijin di
atas dilatarbelakangi oleh adanya ekspansi kolonialisme dan imperialisme bangsa
Eropa serta perkembangan perdagangan akibat ekspansi tersebut. Akibat situasi
tersebut lalu muncul kebutuhan untuk berkomunikasi di antara bangsa-bangsa yang
tidak saling mengenal bahasa masing-masing, yaitu bahasa Eropa di satu pihak
dan bahasa penduduk lokal di pihak lain. Terdorong oleh keinginan untuk saling
mengerti, bangsa Eropa menyederhanakan bahasanya dalam bidang tata bahasa dan
kosa kata. Tujuannya adalah agar dapat berinteraksi dengan penduduk lokal.
Sebaliknya, penduduk lokal berusaha untuk mempermudah sistem bahasanya agar
bangsa Eropa dapat mengerti bahasa mereka. Berdasarkan situasi ini timbullah
suatu bahasa campuran dengan sebuah konvens kebahasaan yang lebih ketat. Bahasa
campuran ini kerap muncul dalam daerah kontak bahasa dari dua budaya yang
berbeda. Pada bahasa campuran itu, bahasa yang berprestise sosial yang lebih
tinggi akan berkembang menjadi bahasa penyumbang yang dominan (Suhardi dkk,
1995).
Ihwal definisi bahasa pijin, terdapat
tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek linguistik, aspek sosial, dan
aspek historis (Suhardi dkk, 1995). Dari aspek linguistik, bahasa pijin dapat
dilihat dari dua sudut pandang, yaitu bahasa kedua dan bahasa penyumbang.
Pertama, bahasa pijin merupakan bahasa kedua bagi seorang penutur yang
melakukan pengurangan kosa kata secara ketat, kecenderungan menguraikan sesuatu
dan mempunyai metaforis yang sangat luas. Kedua, bahasa penyumbang memiliki
perbendaharaan fonem yang telah dipermudah dan diubah, sistem fleksi telah
dihapus. Jika dibandingkan dengan bahasa ibu telah mengalami kontraksi
sintaksis, misalnya penyatuan preposisi, artikel, dan konjungsi.
Senada dengan pendapat di atas, Holmes
(2001) menyatakan bahwa bahasa pijin dibuat dari kombinasi antara orang-orang
yang bertutur dengan bahasa yang berbeda. Kelompok orang pertama berbicara dengan bahasa dunia yang
prestisius, sedangkan kelompok kedua menggunakan bahasa lokal/vernakular.
Bahasa yang prestisius menyumbangkan lebih banyak kosa kata, sedang bahasa
lokal mempengaruhi tata bahasanya. Bahasa yang menyumbangkan lebih kosa kata
disebut sebagai lexifier/superstrate, sedangkan bahasa yang mempengaruhi
struktur tata bahasa disebut substrate. Misalnya seperti di Papua New Guinea, bahasa
Inggris adalah bahasa lexifier untuk bahasa Tok Pisin, sedangkan bahasa Tolai
menjadi bahasa substrate.
Ihwal stuktur linguistik bahasa
pijin, terdapat dua ciri. Ciri yang pertama adalah penyederhanaan struktur.
Misalnya kata tidak memiliki sistem infleksi, penanda plural atau kala dalam
kata kerja sebagaimana bahasa Inggris. Tidak terdapat afiks yang menjadi
penanda gender seperti bahasa Spanyol atau Italia. Holmes (2001) membuat contoh
seperti berikut ini yang berkaitan dengan bentuk verba antara bahasa pijin
dengan bahasa yang normal. Tabel Perbandingan bentuk verba empat bahasa Bahasa
Perancis Bahasa Inggris Bahasa Tok Pisin Bahasa Pijin Kamerum.
Ciri yang kedua adalah jumlah kosa
kata yang terbatas. Oleh karena pijin hanya dipergunakan untuk perdagangan,
jumlah kosa katanya hanya beberapa ratus saja. Oleh karena kosa katanya tidak
banyak, satu kata dalam bahas pijin bisa mengandung beberapa arti. Misalnya
kata pas dalam bahasa Tok Pisin dapat berarti a pass, a letter, a permit,
ahead, fast, firmly, to be dense, crowded, tight, to be block, atau shut. Hal
ini berbeda dengan bahasa normal (bahasa orang dewasa yang monolingual) yang
memiliki kosa kata sekitar 25.000–30.000 kata. Terkait dengan aspek sosial,
bahasa pijin adalah bahasa yang oleh penuturnya dipergunakan sebagai bahasa
ibu. Pemerolehannya berlangsung dalam proses belajar bahasa secara bebas.
Selain itu, dipengaruhi oleh kekuatan petutur. Oleh karena itu, bahasa pijin
hanya dapat menutupi kebutuhan akan ragam bahasa yang diperlukan untuk
pemahakan bahasa pertama saja (misalnya dalam bidang perdagangan, peraturan
yang sederhana). Dengan demikian, sistem bahasa pijin dapat dipahami memiliki
status sosiolinguitik yang rendah di antara kedua mitra bicara/petutur. Adapun
dilihat dari aspek historis, bahasa pijin muncul karena adanya kontak bahasa
antara bangsa Eropa dan bangsa bukan Eropa. Sejalan dengan pendapat di atas,
Holmes (2001) berpendapat bahwa bahasa pijin bukanlah bahasa yang status
sosialnya tinggi atau prestis. Orang-orang banyak yang tidak menggunakan bahasa
pijin untuk berbicara. Mereka merasa bahasa pijin adalah bahasa yang
menggelikan. Pada dasarnya menurut Holmes (2001) bahasa pijin memiliki beberapa
fungsi, diantaranya adalah untuk perdagangan atau untuk administrasi. Di
samping itu, bahasa pijin dipergunakan secara eksklusif untuk fungsi bahasa
referensial (penyampaian informasi) daripada fungsi afektif (menjaga hubungan
sosial). Oleh karena itu, bahasa pijin dituturkan untuk fungsi atau tujuan
khusus seperti membeli dan menjual bijih padi atau hewan langka daripada
dituturkan untuk menandakan perbedaan sosial atau ekspresi kesantunan.
2.
Bahasa
Kreol
Kreol adalah bahasa pijin yang mempunyai
penutur asli (Hudson: 1996, Holmes: 2001, Wardhaugh: 1988). Wardhaugh (1988)
mengibaratkan kreol seperti bahasa normal yang memiliki penutur asli. Definis
lain ihwal kreol adalah bahasa yang terbentuk jika suatu sistem komunikasi yang
pada awalnya merupakan bahasa pijin kemudian menjadi bahasa ibu suatu
masyarakat (Suhardi dkk: 1995). Pendapat ini dikuatkan oleh Holmes (2001) yang
mengatakan bahwa semua bahasa yang disebut pijin pada kenyataannya sekarang ini
menjadi bahasa kreol baru. Bahasa kreol tersebut dipelajari oleh anak sebagai
bahasa pertama dan dipergunakan pada domain yang luas. Holmes (2001)
mencontohkan seperti bahasa Tok Pisin yang mulanya adalah bahasa pijin dan
berkembang menjadi bahasa kreol. Bagi Wardhaugh (1988), penutur bahasa kreol
sama seperti halnya penutur bahasa pijin. Kesamaan itu bisa dilihat jika mereka
bertutur, mereka merasa ada yang kurang tidak seperti pada bahasa yang normal
sebab cara bertutur mereka dan yang lain dibandingkan dengan bahasa Perancis
dan Inggris.
Bagi Holmes (2001) bahasa kreol berbeda
dengan bahas pijin. Perbedaan itu tampak fungsi, struktur, dan ekspresi
perilaku terhadap bahasa kreol. Menurut Holmes (2001) kreol adalah pijin yang
strukturnya diperluas, kosa katanya mengekspresikan sejumlah arti dan berfungsi
sebagai pemerolehan bahasa pertama. Selaras dengan pendapat Holmes, Wardhaugh
(1988) berpendapat bahwa kreolisasi meliputi perluasan sistem morfologi dan
sintaksis, keteraturan sistem fonologi, pertambahan fungsi-fungsi bahasa yang
dipergunakan, dan perkembangan rasional serta sistem yang stabil bagi kosa kata
Bagaimana perbedaan antara pidgin dan creole.
Perbedaannya pada vitalitas (vitality). Berbeda denga creole, pidgin tidak
memiliki masyarakat ujaran, tapi ia seperti creole dan ragam-ragam lainya
mempunyai norma-norma pemakaianya. Walaupun tadinya pidgin itu tadinya lingua
franca ia mengarah terbentuknya masyarakat bahasa. Hingga bagi anak-anak
mereka, pidgin menjadi bahasa ibu. Sekarang namanya creole. Suatu cirri
pemerlain dari pidgin adalah bahwa tak seorang pun mempelajar sebagaimana para
penutur asli memperlajari bahasa ibunya. Kendatipun demikian satu pidgin bisa
diangkat sebagai bahasa ibu oleh sekelompok penutur. (dalam kasus bahasa
Indonesia, pidgin melayu diangkat menjadi bahasa nasional). Anak-anak
mempelajarinya sebagi bahasa pertama.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Bahasa
merupakan sebuah sistem, artinya bahasa
itu dibentuk oleh komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan.
Bahasa juga merupakan alat yang digunakan untuk berinteraksi yang diugnakan
oleh sekeolompok anggota masyarat tertentu untuk berkomikasi dan berinteraksi sesamanya.
Masyarakat bahasa dapat terjadi dalam sekelompok orang yang menggunakan bahasa
yang sama dan sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan
syarat di antara mereka terjadi saling pengetian.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah,
A. chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Aslinda
dan Syafyahya, Leni. 2007. Pengantar
Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama.
Chaer,
Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Ibrahim,
Abd, Syukur. 1995. Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Nasional.
Nababan,
P.W.J. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suhardi,
Basuki dkk. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar