BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw melalui malaikat jibril sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Di
dalamnya terdiri dari berbagai surat yang kesemuanya itu sarat akan makna.
Ibarat sebuah buku cerita, berjuta kata lafadz yang ada di dalamnya mengandung
makna yang berbeda-beda. Namun dari setiap makna kata (lafadz) tersebut tak jarang
dijumpai sebuah kata (lafadz) yang maknanya begitu luas tanpa batasan,
yang mana sebelumnya sudah dikaji
terlebih dahulu oleh para ulama sehingga menghasilkan perluasan makna yang
lebih meluas dari makna asalnya. Ada juga sebuah kata yang cakupan maknanya
terbatas dan terkesan terpaku pada satu makna saja (makna asal). Untuk itulah
dalam makalah ini kami akan membahas mengenai pembagian lafadz dari segi
kandungan pengertiannya. Yang diantaranya membahas mengenai Mutlaq dan Muqayyad.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian Mutlaq dan Muqayyad?
2.
Bagaimana
macam - macam Mutlaq dan Muqayyad?
3.
Bagaimana
hukum lafadz mutlaq dan muqayyad?
4.
Apa
saja hal- hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian mutlaq dan muqayyad.
2.
Untuk
mengetahui macam-macam mutlaq dan muqayyad.
3.
Untuk
mengetahui hukum lafadz mutlaq dan muqayyad.
4.
Untuk
mengetahui hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mutlaq dan Muqayyad
a)
Mutlaq
ialah suatu lafadz yang menunjukkan
hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit kekuasaan artinya.
Misalnya kata Raqabah yang
terdapat pada firman Allah SWT dalam surat Al- Mujadilah.
tûïÏ%©!$#urtbrãÎg»sàãƒ`ÏBöNÍkɲ!$|¡ÎpS§NèOtbrߊqãètƒ$yJÏ9(#qä9$s%ãƒÌóstGsù7pt7s%u‘`ÏiBÈ@ö6s%br&$¢™!$yJtFtƒ4ö/ä3Ï9ºsŒšcqÝàtãqè?¾ÏmÎ/4ª!$#ur$yJÎ/tbqè=yJ÷ès?׎Î7yzÇÌÈ
Lafadz tersebut termasuk mutlaq karena tidak dibatasi dengan
sifat tertentu.[1]
Pernyataan ini meliputi
pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin
maupun yang kafir. Lafadz raqabah adalah nakiroh dari konteks positif.
Karena itu pengertian ayat ini adalah wajib atasnya memerdekakan seorang budak
dengan jenis apapun juga. Oleh karena itu sebagian ulama’ ushul mendefinisikan
mutlaq dengan “suatu ungkapan dengan isim nakiroh dalam konteks positif”.
Kata-kata nakiroh mengecualikan isim ma’rifah dan semua lafadz
menunjukkak sesuatu yang tertentu. Dan kata-kata “dalam konteks positif”
mengecualikan isim nakiroh dalam konteks negatif (nafy), karena nakiroh
dalam konteks negatif mempunyai arti umum, meliputi semua individu ynag termasuk
jenisnya.[2]
b)
Muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi
dengan sesuatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
Misalnya, kata raqabah disifati dengan kata mu’minah
pada surat An-Nisa’ 93.[3]
$tBuršc%x.?`ÏB÷sßJÏ9br&Ÿ@çFø)tƒ$·ZÏB÷sãBžwÎ)$\«sÜyz4`tBurŸ@tFs%$·YÏB÷sãB$\«sÜyzãƒÌóstGsù7pt7s%u‘7poYÏB÷s•B×ptƒÏŠurîpyJ¯=|¡•B#’n<Î)ÿ¾Ï&Î#÷dr&HwÎ)br&(#qè%£‰¢Átƒ4bÎ*sùšc%x.`ÏBBQöqs%5ir߉tãöNä3©9uqèdurÑÆÏB÷sãBãƒÌóstGsù7pt6s%u‘7poYÏB÷s•B(bÎ)uršc%Ÿ2`ÏB¤Qöqs%öNà6oY÷t/OßgoY÷t/ur×,»sV‹ÏiB×ptƒÏ‰sùîpyJ¯=|¡•B#’n<Î)¾Ï&Î#÷dr&ãƒÌøtrBur7pt6s%u‘7poYÏB÷s•B(`yJsùöN©9ô‰ÉftƒãP$u‹ÅÁsùÈûøïtôgx©Èû÷üyèÎ/$tFtFãBZpt/öqs?z`ÏiB«!$#3šc%x.urª!$#$¸JŠÎ=tã$VJŠÅ6ymÇÒËÈ
Ayat tersebut yang digaris bawahi ialah kata raqabah yang
(budak) yang dibatasi dengan mu’minah.
B.
Macam-macam
Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq dan nuqayyad mempunyai bentuk-bentuk ‘aqliyah, dan
sebagian realitas bentuknya kami kemukakan berikut ini:
1.
Sebab
dan hukumnya sama, seperti “puasa”
untuk kafarah sumpah. Lafadz itudalam qira’ah mutawatir yang terdapat
dalam mushaf diungkapkan secara mutlaq:
`yJsùóO©9ô‰Ågs†ãP$u‹ÅÁsùÏpsW»n=rO5Q$ƒr&4y7Ï9ºsŒäot»¤ÿx.öNä3ÏY»yJ÷ƒr&#sŒÎ)óOçFøÿn=ym
)Barang siapa
tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kafaratnya puasa selama tiga
hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan
kamu langgar]..). Dan ia muqayyad atau dibatasi dengan “tatabu’
(berturut-turut)” dalam qira’ah ibnu mas’ud.
فصيام ثلاثة ايلم متتابعات(maka kafarahnya puasa selama tiga
hari berturut-turut). Dalam hal seperti ini, pengertian lafadz yang mutlaq
dibawa kepada yang muqayyad (dengan arti, bahwa yang dimaksud oleh
lafadz mutlaq adalah sama dengan yang dimaksud oleh lafadz muqayyad).
karena “sebab” yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan.
2.
Sebab
sama namun hukum berbeda, seperti
kata “tangan” dalam wudlu dan tayamum. Membasuh tangan dalam wudlu dibatasi
sampai dengan siku. Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 6
$pkš‰r'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä#sŒÎ)óOçFôJè%’n<Î)Ío4qn=¢Á9$#(#qè=Å¡øî$$sùöNä3ydqã_ãröNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur’n<Î)È,Ïù#tyJø9$#
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
Sedang menyaputangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlak,
sebagaimana dijelaskan dalam firmannya dalam surah Al-Maidah ayat 6
(#qßJ£Ju‹tFsù#Y‰‹Ïè|¹$Y6ÍhŠsÛ(#qßs|¡øB$$sùöNà6Ïdqã_âqÎ/Nä3ƒÏ‰÷ƒr&urçm÷YÏiB
Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu.
3.
Sebab
berbeda tetapi hukumnya sama. Dan
dalam hal ini ada dua bentuk:
Pertama,
taqyid atau batasan hanya satu. Misalnya pembebasan budak dalam hal kafarah.
Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak “beriman” dalam kafarah pembunuhan
tak sengaja. Allah berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 92
$tBuršc%x.?`ÏB÷sßJÏ9br&Ÿ@çFø)tƒ$·ZÏB÷sãBžwÎ)$\«sÜyz4`tBurŸ@tFs%$·YÏB÷sãB$\«sÜyzãƒÌóstGsù7pt7s%u‘7poYÏB÷s•B
Dan tidak
layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Sedang
dalam kafarah zihar ia diungkapkan secara mutlaq surah Al-Mujadilah
ayat 3
tûïÏ%©!$#urtbrãÎg»sàãƒ`ÏBöNÍkɲ!$|¡ÎpS§NèOtbrߊqãètƒ$yJÏ9(#qä9$s%ãƒÌóstGsù7pt7s%u‘`ÏiBÈ@ö6s%br&$¢™!$yJtFtƒ
orang-orang yang menzhihar isteri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikian juga dalam kafarah sumpah surah Al-Maidah ayat 89
ŸwãNä.ä‹Ï{#xsリ!$#Èqøó¯=9$$Î/þ’ÎûöNä3ÏZ»yJ÷ƒr&`Å3»s9urNà2ä‹Ï{#xsãƒ$yJÎ/ãN›?‰¤)tãz`»yJ÷ƒF{$#(ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sùãP$yèôÛÎ)ÍouŽ|³tãtûüÅ3»|¡tBô`ÏBÅÝy™÷rr&$tBtbqßJÏèôÜè?öNä3ŠÎ=÷dr&÷rr&óOßgè?uqó¡Ï.÷rr&ãƒÌøtrB7pt6s%u‘
Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, Maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan
sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.[4]
C.
Hukum
Lafadz Mutlaq dan Muqayyad[5]
Pada prinsipnya para ulama’ sepakat bahwa hukum lafadz mutlaq
itu wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya.
Begitu juga hukum lafadz muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya.
Adapun hukum lafadz mutlaq dan muqayyad ialah sebagai berikut:
1)
Hukum
dan sebabnya sama, di sini para ulama’ sepakat bahwa wajibnya membawa lafadz mutlaq
kepada muqayyad.
2)
Hukum
dan sebabnya berbeda. Di dalam hal ini, para ulama’ sepakat wajibnya
memberlakukan masing- masing lafadz, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya
dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
3)
Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk
ini, para ulama’ sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafadz mutlaq
kepada muqayyad, masing- masing tetap berlaku pada kemutlakannya
dan kemuqayyadannya.
D.
Hal-Hal
yang Diperselisihkan dalam Mutlaq dan muqayyad
a.
Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun,
masalah dan hukumnya sama. Menurut Jumhur ulama’ dari kalangan Syafi’iyah,
Malikiyyah, dan Hanafiyyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq
kepada muqayyad.
Oleh sebab itu mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba
sahaya. Sedangkan ulama’ Hanafiyyah tidak mewajibkan membawa lafadz mutlaq
dan muqayyad. Oleh sebab itu, ulama’ Hanafiyyah mewajibkan zakat fitrah
atas hamba sahaya secara mutlaq.
b.
mutlaq dan muqayyadterdapat pada nash yang sama hukumnya, namun
sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan menurut ulama’ Hanafiyyah
tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing-
masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyyah,
pada kafarat dzihar tidak mensyaratkan hamba mu’min. Sebaliknya, menurut
jumhur ulama’ harus membawa mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Namun menurut sebagian
ulama’ Syafi’iyah, mutlaq dibawa
pada muqayyad apabila ada illat hukum yang sama, yakni dengan
jalan qiyas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mutlaq ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa
pembatasan yang dapat mempersempit kekuasaan artinya.
Muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi
dengan sesuatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
Macam-macam mutlaq dan muqayyad ialah:
1.
Sebab
dan hukumnya sama, seperti “puasa”
untuk kafarah sumpah.
2.
Sebab
sama namun hukum berbeda, seperti
kata “tangan” dalam wudlu dan tayamum.
3.
Sebab
berbeda tetapi hukumnya sama
Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyadialah sebagai
berikut:
1.
Hukum
dan sebabnya sama, di sini para ulama’ sepakat bahwa wajibnya membawa lafadz mutlaq
kepada muqayyad.
2.
Hukum
dan sebabnya berbeda. Di dalam hal ini, para ulama’ sepakat wajibnya memberlakukan
masing- masing lafadz.
3.
Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Para ulama’
sepakat bahwa tidak boleh membawa lafadz
mutlaq kepada muqayyad.
Hal-Hal yang Diperselisihkan dalam Mutlaq dan muqayyadadalah:
1.
Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun,
masalah dan hukumnya sama. Menurut Jumhur ulama’ dari kalangan Syafi’iyah,
Malikiyyah, dan Hanafiyyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq
kepada muqayyad.Sedangkan ulama’ hanafiyyah tidak mewajibkan membawa
lafadz mutlaq dan muqayyad.
2.
mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun
sebabnya berbeda. Menurut ulama’
Hanafiyyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad. Sedangkan Menurut
jumhur ulama’ harus membawa mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Namun menurut sebagian
ulama’ Syafi’iyah, mutlaq dibawa
pada muqayyad apabila ada illat hukum yang sama.
Daftar Pustaka
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Pustaka Setia,
2007 ).
Manna’ Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa,2010)
[1]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Pustaka Setia, 2007 ), hal. 212.
[2] Manna’ Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa,2010), hal. 350-351.
[3] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,,,,,,,,hal. 212.
[4]Manna’ Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,,,,,,,hal.351-353.
[5] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,,,,,,,,hal. 213.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar