Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH MUTLAQ DAN MUQAYYAD

 

BAB 1

PENDAHULUAN

A.              Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Di dalamnya terdiri dari berbagai surat yang kesemuanya itu sarat akan makna. Ibarat sebuah buku cerita, berjuta kata lafadz yang ada di dalamnya mengandung makna yang berbeda-beda. Namun dari setiap makna kata (lafadz) tersebut tak jarang dijumpai sebuah kata (lafadz) yang maknanya begitu luas tanpa batasan, yang    mana sebelumnya sudah dikaji terlebih dahulu oleh para ulama sehingga menghasilkan perluasan makna yang lebih meluas dari makna asalnya. Ada juga sebuah kata yang cakupan maknanya terbatas dan terkesan terpaku pada satu makna saja (makna asal). Untuk itulah dalam makalah ini kami akan membahas mengenai pembagian lafadz dari segi kandungan pengertiannya. Yang diantaranya membahas mengenai Mutlaq dan Muqayyad.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pengertian Mutlaq dan Muqayyad?

2.      Bagaimana macam - macam Mutlaq dan Muqayyad?

3.      Bagaimana hukum lafadz mutlaq dan muqayyad?

4.      Apa saja hal- hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad?

 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian mutlaq dan muqayyad.

2.      Untuk mengetahui macam-macam mutlaq dan muqayyad.

3.      Untuk mengetahui hukum lafadz mutlaq dan muqayyad.

4.      Untuk mengetahui hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad.

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mutlaq dan Muqayyad

a)      Mutlaq ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit kekuasaan artinya.

Misalnya kata Raqabah  yang terdapat pada firman Allah SWT dalam surat Al- Mujadilah.

tûïÏ%©!$#urtbrãÎg»sàãƒ`ÏBöNÍkɲ!$|¡ÎpS§NèOtbrߊqãètƒ$yJÏ9(#qä9$s%㍃̍óstGsù7pt7s%u`ÏiBÈ@ö6s%br&$¢!$yJtFtƒ4ö/ä3Ï9ºsŒšcqÝàtãqè?¾ÏmÎ/4ª!$#ur$yJÎ/tbqè=yJ÷ès?׎Î7yzÇÌÈ

Lafadz tersebut termasuk mutlaq karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu.[1]

      Pernyataan ini meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin maupun yang kafir. Lafadz raqabah adalah nakiroh dari konteks positif. Karena itu pengertian ayat ini adalah wajib atasnya memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga. Oleh karena itu sebagian ulama’ ushul mendefinisikan mutlaq dengan “suatu ungkapan dengan isim nakiroh dalam konteks positif”. Kata-kata nakiroh mengecualikan isim ma’rifah dan semua lafadz menunjukkak sesuatu yang tertentu. Dan kata-kata “dalam konteks positif” mengecualikan isim nakiroh dalam konteks negatif (nafy), karena nakiroh dalam konteks negatif mempunyai arti umum, meliputi semua individu ynag termasuk jenisnya.[2]

b)      Muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan sesuatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.

Misalnya, kata raqabah disifati dengan kata mu’minah pada surat An-Nisa’ 93.[3]

 

$tBuršc%x.?`ÏB÷sßJÏ9br&Ÿ@çFø)tƒ$·ZÏB÷sãBžwÎ)$\«sÜyz4`tBurŸ@tFs%$·YÏB÷sãB$\«sÜyz㍃̍óstGsù7pt7s%u7poYÏB÷sB×ptƒÏŠurîpyJ¯=|¡B#n<Î)ÿ¾Ï&Î#÷dr&HwÎ)br&(#qè%£¢Átƒ4bÎ*sùšc%x.`ÏBBQöqs%5irßtãöNä3©9uqèdurÑÆÏB÷sãB㍃̍óstGsù7pt6s%u7poYÏB÷sB(bÎ)uršc%Ÿ2`ÏB¤Qöqs%öNà6oY÷t/OßgoY÷t/ur×,»sVÏiB×ptƒÏsùîpyJ¯=|¡B#n<Î)¾Ï&Î#÷dr&㍃̍øtrBur7pt6s%u7poYÏB÷sB(`yJsùöN©9ôÉftƒãP$uÅÁsùÈûøïtôgx©Èû÷üyèÎ/$tFtFãBZpt/öqs?z`ÏiB«!$#3šc%x.urª!$#$¸JŠÎ=tã$VJŠÅ6ymÇÒËÈ

Ayat tersebut yang digaris bawahi ialah kata raqabah yang (budak) yang dibatasi dengan mu’minah.

B.     Macam-macam Mutlaq dan Muqayyad

Mutlaq dan nuqayyad mempunyai bentuk-bentuk ‘aqliyah, dan sebagian realitas bentuknya kami kemukakan berikut ini:

1.      Sebab dan hukumnya sama, seperti “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafadz itudalam qira’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan secara mutlaq:

`yJsùóO©9ôÅgsãP$uÅÁsùÏpsW»n=rO5Q$­ƒr&4y7Ï9ºsŒäot»¤ÿx.öNä3ÏY»yJ÷ƒr&#sŒÎ)óOçFøÿn=ym

)Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kafaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan kamu langgar]..). Dan ia muqayyad atau dibatasi dengan “tatabu’ (berturut-turut)” dalam qira’ah ibnu mas’ud.

 فصيام ثلاثة ايلم متتابعات(maka kafarahnya puasa selama tiga hari berturut-turut). Dalam hal seperti ini, pengertian lafadz yang mutlaq dibawa kepada yang muqayyad (dengan arti, bahwa yang dimaksud oleh lafadz mutlaq adalah sama dengan yang dimaksud oleh lafadz muqayyad). karena “sebab” yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan.

2.      Sebab sama namun hukum berbeda, seperti kata “tangan” dalam wudlu dan tayamum. Membasuh tangan dalam wudlu dibatasi sampai dengan siku. Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 6

 

$pkšr'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä#sŒÎ)óOçFôJè%n<Î)Ío4qn=¢Á9$#(#qè=Å¡øî$$sùöNä3ydqã_ãröNä3tƒÏ÷ƒr&urn<Î)È,Ïù#tyJø9$#

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,

Sedang menyaputangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlak, sebagaimana dijelaskan dalam firmannya dalam surah Al-Maidah ayat 6

(#qßJ£JutFsù#YÏè|¹$Y6ÍhŠsÛ(#qßs|¡øB$$sùöNà6Ïdqã_âqÎ/Nä3ƒÏ÷ƒr&urçm÷YÏiB

Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.

3.      Sebab berbeda tetapi hukumnya sama. Dan dalam hal ini ada dua bentuk:

Pertama, taqyid atau batasan hanya satu. Misalnya pembebasan budak dalam hal kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak “beriman” dalam kafarah pembunuhan tak sengaja. Allah berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 92

 

$tBuršc%x.?`ÏB÷sßJÏ9br&Ÿ@çFø)tƒ$·ZÏB÷sãBžwÎ)$\«sÜyz4`tBurŸ@tFs%$·YÏB÷sãB$\«sÜyz㍃̍óstGsù7pt7s%u7poYÏB÷sB

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.

Sedang dalam kafarah zihar ia diungkapkan secara mutlaq surah Al-Mujadilah ayat 3

tûïÏ%©!$#urtbrãÎg»sàãƒ`ÏBöNÍkɲ!$|¡ÎpS§NèOtbrߊqãètƒ$yJÏ9(#qä9$s%㍃̍óstGsù7pt7s%u`ÏiBÈ@ö6s%br&$¢!$yJtFtƒ

 orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikian juga dalam kafarah sumpah surah Al-Maidah ayat 89

 

ŸwãNä.äÏ{#xsリ!$#Èqøó¯=9$$Î/þÎûöNä3ÏZ»yJ÷ƒr&`Å3»s9urNà2äÏ{#xsãƒ$yJÎ/ãN?¤)tãz`»yJ÷ƒF{$#(ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sùãP$yèôÛÎ)ÍouŽ|³tãtûüÅ3»|¡tBô`ÏBÅÝy÷rr&$tBtbqßJÏèôÜè?öNä3ŠÎ=÷dr&÷rr&óOßgè?uqó¡Ï.÷rr&㍃̍øtrB7pt6s%u

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.[4]

 

C.    Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad[5]

Pada prinsipnya para ulama’ sepakat bahwa hukum lafadz mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafadz muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Adapun hukum lafadz mutlaq dan muqayyad ialah sebagai berikut:

1)      Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama’ sepakat bahwa wajibnya membawa lafadz mutlaq kepada muqayyad.

2)      Hukum dan sebabnya berbeda. Di dalam hal ini, para ulama’ sepakat wajibnya memberlakukan masing- masing lafadz, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.

3)      Hukumnya  berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama’ sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafadz mutlaq kepada muqayyad, masing- masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.

D.    Hal-Hal yang Diperselisihkan dalam Mutlaq dan muqayyad

a.       Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah dan hukumnya sama. Menurut Jumhur ulama’ dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyyah, dan Hanafiyyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.

Oleh sebab itu mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama’ Hanafiyyah tidak mewajibkan membawa lafadz mutlaq dan muqayyad. Oleh sebab itu, ulama’ Hanafiyyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.

b.      mutlaq dan muqayyadterdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan menurut ulama’ Hanafiyyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing- masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyyah, pada kafarat dzihar tidak mensyaratkan hamba mu’min. Sebaliknya, menurut jumhur ulama’ harus membawa mutlaq kepada muqayyad  secara mutlaq. Namun menurut sebagian ulama’ Syafi’iyah, mutlaq  dibawa pada muqayyad apabila ada illat hukum yang sama, yakni dengan jalan qiyas.


 

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Mutlaq ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit kekuasaan artinya.

Muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan sesuatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.

Macam-macam mutlaq dan muqayyad ialah:

1.      Sebab dan hukumnya sama, seperti “puasa” untuk kafarah sumpah.

2.      Sebab sama namun hukum berbeda, seperti kata “tangan” dalam wudlu dan tayamum.

3.      Sebab berbeda tetapi hukumnya sama

Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyadialah sebagai berikut:

1.      Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama’ sepakat bahwa wajibnya membawa lafadz mutlaq kepada muqayyad.

2.      Hukum dan sebabnya berbeda. Di dalam hal ini, para ulama’ sepakat wajibnya memberlakukan masing- masing lafadz.

3.      Hukumnya  berbeda sedangkan sebabnya sama. Para ulama’ sepakat  bahwa tidak boleh membawa lafadz mutlaq kepada muqayyad.

Hal-Hal yang Diperselisihkan dalam Mutlaq dan muqayyadadalah:

1.      Kemutlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah dan hukumnya sama. Menurut Jumhur ulama’ dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyyah, dan Hanafiyyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.Sedangkan ulama’ hanafiyyah tidak mewajibkan membawa lafadz mutlaq dan muqayyad.

2.      mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda.  Menurut ulama’ Hanafiyyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad. Sedangkan Menurut jumhur ulama’ harus membawa mutlaq kepada muqayyad  secara mutlaq. Namun menurut sebagian ulama’ Syafi’iyah, mutlaq  dibawa pada muqayyad apabila ada illat hukum yang sama.

Daftar Pustaka

 

Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Pustaka Setia, 2007 ).

 

Manna’ Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,2010)



[1]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Pustaka Setia, 2007 ), hal. 212.

[2] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,2010), hal. 350-351.

[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,,,,,,,,hal. 212.

[4]Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,,,,,,,hal.351-353.

[5] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,,,,,,,,hal. 213.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar