Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH TAFSIR AYAT TENTANG PRINSIP DASAR EKONOMI ISLAM (TAUHID, FALAH DAN KEADILAN)

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Pada dasarnya tujuan hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan, meskipun manusia memaknai “kesejahteraan” dengan prespektif yang berbeda-beda. Pola dan proses pembangunan ekonomi diarahkan semata-mata untuk peningkatan income perkapita, konsumsi fisik yang sarat dengan hedonism dan memompa produk-produk kepasaran tanpa mempertimbangkan dampak negative bagi kehidupan lain. Di lain pihak, ekonomis Islam datang dengan konsep Ketauhidan, al Al-Falah, Keadilan yang mengacu kepada konsep Islam tentang manusia itu sendiri. Al-Falah merupakan kesuksesan yang hakiki, berupa tercapainya kebahagiaan dalam segi material dan spiritual serta tercapainya kesejahteraan di dunia dan akhirat. Suatu kesuksesan dalam aspek material tidaklah menjadi sesuatu yang bermakna apabila mengakibatkan kerusakan dalam aspek kemanusiaan lainnya seperti persaudaraan dan moralitas. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Islam esensi manusia ada pada ruhaniahnya. Karena itu seluruh kegiatan duniawi termasuk dalam aspek ekonomi diarahkan tidak saja untuk memenuhi tuntutan fisik jasadiah melainkan juga memenuhi kebutuhan ruhani

dimana ruh merupakan esensi manusia.

2.1 Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dengan Prinsip Tauhid ?

2.      Apakah yang dengan Prinsip Al Falah ?

3.      Apakah yang dengan Prinsip Keadilan ?

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Prinsip Tauhid

Ayat-ayat al-Quran yang terkait dengan prinsip tauhid dalam menjalankan kegiatan ekonomi antara lain adalah Q.S Al-Ikhlash (1-4)

ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  

Artinya :

1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.

2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

Dalam konteks berusaha atau bekerja, surah al-Ikhlash ayat 1-4 dapat memberikan spirit kepada seseorang, bahwa segala bentuk usaha yang dilakukan manusia harus tetap bergantung kapada Allah. Al-Himshi, dalam bukunya, Tafsir wa Bayan Mufradat al-Quran, menterjemahkan ayat “Allah al-Shamad” dengan “Huwa wahduhu al-Maqshud fi al-Hawa’ij” (hanya Allah tempat mengadu dalam segala kebutuhan).[1]

Prinsip tauhid adalah dasar dari setiap bentuk aktivitas kehidupan manusia. Quraish Shihab menyatakan bahwa tauhid mengantar manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa kekayaan apapun yang dimiliki seseorang adalah milik Allah. Keyakinan demikian mengantar seseorang muslim untuk menyatakan:[2] “Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” Keyakinan atau pandangan hidup seperti ini, akan membawa pada keyakinan dunia akhirat secara simultan dan seimbang, sehingga seorang pengusaha tidak mengejar keuntungan materi semata. Kesadaran ketauhidan juga akan mengendalikan seorang atau pengusaha muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dipahami mengapa Islam melarang transaksi yang mengandung unsur riba, pencurian, penipuan terselubung, bahkan melarang menawarkan barang pada konsumen pada saat konsumen tersebut bernegosiasi dengan pihak lain.[3]

Dampak positif lainnya dari prinsip tauhid dalam system ekonomi Islam adalah antisipasi segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang atau satu kelompok saja. Atas dasar ini pulalah al-Quran membatalkan dan melarang melestarikan tradisi masyarakat Jahiliyah, yang mengkondisikan kekayaan hanya beredar pada kelompok tertentu saja,[4] firman Allah dalam Q.S Al-Hasyr ayat 7

!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqß§=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß§9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ  

Artinya : apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

 

Ayat di atas juga menjadi dalil yang besifat umum atas tidak boleh monopoli pada berbagai praktik ekonomi yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan semata, tanpa mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih luas. Secara faktual, seperti diakui oleh Quraish Shihab, sebagian manusia sangat sukar mengendalikan keinginannya untuk mendapatkan keuntungan meskipun pada waktu yang sama ia menganiaya manusia maupun makhluk lain. Karena itu, menurut Quraish, jika sepirit ketuhanan atau peran moral sebagian masyarakat pelaku ekonomi kurang memadai untuk mengendalikan keinginannya, maka demi kemaslahatan yang seimbang antara peluang dan kesulitan orang lain, pemerintah dibenarkan melakukan intervensi untuk mengontrol, misalnya, harga-harga kebutuhan pokok,[5] walaupun pada dasarnya harga barang termasuk kebutuhan pokok diserahkan pada mekanisme pasar.

 

2.2  Al falah

Falaah secara bahasa diambil dari kata dasar Al-Falah yang berarti kemenangan, keselamatan, dan baiknya keadaan. Dalam surah Al Mu’minuun, Allah Swt berfirman:

ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ  

Artinya:  Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

Menurut Ibn ‘Abdis Salam, yang dimaksud dengan “Aflaha” pada ayat tersebut adalah bahwa kaum mukmin memperoleh apa yang dicari dan selamat dari yang mereka hindari[6]. Tantawi menambahkan bahwa kata “Aflaha” mengumpulkan semua makna kebaikan dan kemanfaatan, karena makna al Al Falah adalah sampainya seseorang pada kebaikan dan manfaat yang dia inginkan. Sedangkan penggunaan kata “qad” pada ayat tersebut untuk menunjukkan kepastian akan diperolehnya Al-Falah tersebut oleh orang mukmin dengan anugerah dan rahmat Allah Swt.[7] Dengan redaksi sedikit berbeda Imam Mala ‘Ali Al Qari’ mengatakan bahwa arti Al-Falah adalah selamat dari setiap hal yang tidak disukai dan memperoleh sesuatu yang dikehendaki atau dengan kata lain selamat dari siksa dan memperoleh pahala serta kekal di surga.[8] Keberuntungan atau kebahagiaan itu berupa kebahagiaan di dunia dan akherat. Sebagaimana firman Allah Swt.: Q.S Al Imron 130

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

[228] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

 

Dalam menafsiri, Imam Tantawi menjelaskan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah agar kita bertaqwa kepada Allah Swt dengan menjauhi perbuatan haram supaya dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat. Dengan demikian ada dua kebahagiaan yang ingin diraih seorang mukmin dalam kehidupan ini, yakni kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akherat.

Menurut Abi Su‘ud, Al-Falah itu dikembalikan pada tiga hal; Pertama, menguasai nafsu sehingga tidak terbujuk rayuan hawa nafsu, mampu mengendalikan dunia sehingga tidak menjadi sombong karena bergelimang harta benda, mempu mengendalikan syaitan sehingga tidak terbujuk oleh godaannya, serta mampu mengendalikan teman yang buruk sehingga tidak terusik oleh tipu daya mereka; Kedua, selamat dari kekufuran, kesesatan, bid‘ah kebodohan, bujukan nafsu, godaan syetan, goyahnya iman, siksa kubur, terpeleset dari atas sirat, dan terhalang masuk surga; Ketiga, kekal dengan kenikmatan abadi, kenikmatan yang tak berubah, kebahagiaan yang tiada susah, muda yang tak berujung tua, sehat yang tak berujung sakit, memperoleh nikmat tanpa hisab, serta bertemu Allah Swt tanpa penghalang.[9]

Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa al Al-Falah berarti segala keberuntungan, kebahagiaan, kesejahteraan yang dirasakan oleh seseorang baik ketika hidup di dunia maupun di akherat nanti.

Didalam Islam, filosofi Al-Falah menuntut seorang muslim untuk berorientasi pada maslahah dalam setiap aktivitasnya. Jika seseorang menggunakan ukuran maslahah dalam aktivitas ekonominya baik dalam kegiatan produksi, konsusmsi maupun distribusi, maka diharapkan ia akan mencapai AlFalah; yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Sebab, seperti yang telah dikemukakan di awal tentang epistemologi Al-Falah dalam Islam, istilah Al-Falah diambil dari kata-kata Al Qur’an yang sering dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang, dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek material, namun justeru lebih ditekankan pada aspek spiritual.

Rasionalitas dalam Islam bukannya kemudian membatasi peluang untuk melakukan pemaksimalan kepentingan atau kebutuhan secara mutlak. Term “maksimisasi” bisa saja tetap digunakan, hanya ia dibatasi oleh kendala etika dan moral Islam. Maka istilah “kepuasan” pun mengalami transformasi pengertian dari “kepuasan tak terbatas” menjadi Al-Falah, dalam arti yang luas, dunia dan akhirat.

Al-Falah di akhirat adalah menjadi tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-menerus. Dalam relasi means-ends, bila diperbandingkan dengan pandangan sekular, material sebagai representasi Al-Falah di dunia adalah berfungsi sebagai the means, dalam rangka mencapai the ultimate ends, the real Al-Falah, di akhirat kelak (lihat Qs. al-Qashash /28, ayat 77). Dengan demikian pengejaran sarana material di dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan lebih sempurna. The ethical Islamic constraint dalam hal ini misalnya terealisasikan dalam institusi zakat, infaq dan shadaqah, yang dalam konsep Islam mampu memberikan peluang pada golongan yang lemah untuk berusaha, karena mereka memiliki hak yang inherently melekat dalam harta benda si-kaya.

 Bahwa konsep Al-Falah dan kebahagiaan bukan sesuatu yang mudah untuk dipahami dan diukur. Akan tetapi seluruh ilmuan sepakat bahwa tujuan semua amal manusia baik di tingkat pribadi atau masyarakat adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian. Dalam pandangan Islam, kesejahteraan dan kebahagiaan adalah aspek penting dalam kemajuan individu dan masyarakat. Itulah kebahagiaan yang dicita-citakan di dunia dan akhirat. Negara yang maju adalah negara yang mensejahterakan dan membahagiakan rakyatnya dengan mencapai maqasid al syari’ah. Itulah konsep negara sejahtera (baldatun tayyibah) yang diridhai Allah Azza wa Jalla.

 

2.3  Prinsip Keadilan

Di antara pesan-pesan al-Quran (sebagai sumber hokum Islam) adalah penegakan keadilan. Kata adil berasal dari kata Arab ‘Adl yang secara harfiyah bermakna sama. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, adil berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar dan sepatutnya.[10] Dengan demikian, seseorang disebut berlaku adil apabila ia tidak berat sebelah dalam menilai sesuatu, tidak berpihak kepada salah satu, kecuali keberpihakannya kepada siapa saja yang benar sehingga ia tidak akan berlaku sewenag-wenang.

Pembahasan tentang adil merupakan salah satu tema yang mendapat perhatian serius dari para ulama. Quraish Shihab dalam bukunya, Wawasan Al-Quran, ketika membahas perintah penegakan keadilan dalam al-Quran mengutip tiga kata yakni al- ‘Adl, al-Qisth dan al-Mizan.[11]

Kata al-‘Adl menunjuk kepada makna sama, yang memberi kesan adanya beberapa pihak. Kata al-Qisth menunjuk kepada makna bagian yang wajar dan patut. Sementara kata al-Mizan menunjuk kepada makna alat untuk menimbang yang berarti keadilan. Ketiganya, sekalipun berbeda bentuknya namun memiliki semangat yang sama yakni perintah kepada manusia untuk berlaku adil.

Di dalam al-Quran dijumpai sejumlah ayat yang menggunakan kata ‘Adl antara lain adalah ayat 58 surat an-Nisa’

* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  

Aritnya:  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.

Kata memutuskan (Hakamtum) dalam ayat di atas, tidak terbatas hanya pada pengertian memutuskan perkara di pengadilan atau memutuskan perselisihan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa, tetapi juga dalam dunia ekonomi. Keharusan adil di sini menyangkut sikap semua orang yang berada pada posisi membuat keputusan, pelayanan, dan lain-lain, baik di lingkungan keluarga, atau masyarakat dan negara, baik bidang hukum, ekonomi, politik, atau bidang-bidang lainnya.[12] Kata amaanaat jamak dari amaanah, yang berarti kepercayaan, mencakup segala bentuk kepercayaan dari masyarakat agar manusia bertindak adil sesuai dengan dengan tuntunan Allah. Misalnya dalam hal pelayanan, penjual (pedagang atau pengusaha) harus berlaku adil terhadap pelanggan atau konsumen. Perlakuan terhadap pelanggan yang bayar kontan dengan yang berutang seharusnya sama.

Penggunaan kata al-Qisth dan al-Mizan digunakan al-Quran dalam Q.S Ar-Rahman ayat 9

(#qßJŠÏ%r&ur šcøuqø9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ Ÿwur (#rçŽÅ£øƒéB tb#uÏJø9$# ÇÒÈ  

Artinya: dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

Keseimbangan alam diatur dan ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, pemilik alam semesta ini. Keseimbangan tercipta agar bumi dapat berputar pada porosnya, pergantian siang dan malam untuk keberlangsungan hidup, hujan dan panas untuk kehidupan bumi dan seisinya, ada Kutub Utara dan Kutub Selatan sebagai penyeimbang alam seluruh dunia, ada matahari dan bulan sebagai penyeimbang grafitasi dan penyubur kehidupan, dan semacamnya.

Keseimbangan menduduki peran yang sangat menentukan dalam kehidupan manusia untuk mencapai kemenangan. Falah, yang seharusnya menjadi obsesi setiap muslim dalam hidupnya dapat dicapai hanya jika manusia hidup dalam keseimbangan (equilibrium). Sebab, keseimbangan merupakan sunnah Allah. Kehidupan yang seimbang merupakan salah satu esensi ajaran Islam, sehingga umat Islam pun disebut sebagai umat pertengahan (Ummatan Wasthan). Ekonomi Islam bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang seimbang, yang mencakup antara lain keseimbangan fisik dengan mental, material dengan spiritual, individu dengan sosial, masa kini dengan masa depan, serta dunia dengan akhirat. Keseimbangan fisik dengan mental, atau material dengan spiritual akan menciptakan kesejahteraan holistik bagimanusia. Pembangunan ekonomi yang terlalu mementingkan aspek material dan mengabaikan aspek spiritual hanya akan melahirkan kebahagiaan semu, bahkan justeru menimbulkan petaka.

Keadilan maupun kezaliman bisa dilakukan oleh seseorang terhadap diri sendiri maupun orang lain. Contoh orang yang zalim terhadap diri sendiri adalah orang yang hanya mengejar dunia namun meninggalkan akhiratnya. Sibuk mengejar kebutuhan fisik dan melupakan kebutuhan rohaninya. Termasuk zalim terhadap diri sendiri adalah melanggar aturan agama dengan melakukan sesuatu yang diharamkan.

Implikasi dari prinsip keadilan ini, hukum harus diterapkan secara merata tanpa pandang bulu. Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum, tanpa membedakan asal keturunan, warna kulit maupun tingkat kebudayaan dan peradaban yang dicapai. Tidak ada kelompok, golongan, etnis, atau komunitas apapun yang dipandang lebih tinggi atau lebih mulia dari selainnya seperti yang terdapat dalam agama Hindu, umpamanya. Semua manusia sama. Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah derajat ketakwaannya.

Tentang menegakkan keadilan tanpa pandang bulu telah dicontohkan oleh Nabi sendiri. Pernah suatu hari Nabi menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seorang perempuan dalam kasus pencurian. Lalu keluarga terhukum meminta Usamah bin Zaid (salah seorang sahabat dekat Nabi) untuk meminta kepada Nabi agar hukuman diringankan. Ketika Usamah bin Zaid menghadap kepada Nabi dan menyampaikan persolan itu, Nabi bukan saja menolak permohonan Usamah, bahkan menegurnya dan bersabda:[13]Apakah Anda akan memberikan dispensasi terhadap seseorang dalam menjalankan keputusan hukum (had) dari hukum-hukum Alllah?! Andaikan Fathimah, putri Muhammad yang mencuri, maka saya tetap akan memotong tangannya.”

Hadis di atas menunjukkan bahwa hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu demi mewujudkan keadilan hukum. Untuk menerapkan keadilan yang merata juga, ditetapkan kewajiban membayar zakat. Di samping itu, syariat mengharuskan yang kaya menafkahi kerabatnya yang miskin. Bagi fakir miskin yang tidak mampu bekerja, negara harus memberikan tunjangan hidup bagi mereka[14] sepanjang negara memiliki kemampuan.

Adil memiliki makna, meletakkan sesuatu pada tempatnya; menempatkan secara proporsional; perlakuan setara atau seimbang. Dalam al-Quran, kata-kata adil sering dikontradiktifkan dengan makna zulm (zalim) dan itsm (dosa). Adapun makna keadilan di sisi lain sering diartikan sebagai sikap yang selalu menggunakan ukuran sama, bukan ukuran ganda. Dan sikap ini yang membentuk seseorang untuk tidak berpihak pada salah satu yang berselisih. Menurut Al-Ashfihani, “adil”, dinyatakan sebagai memperlakukan orang lain setara dengan perlakuan terhadap diri sendiri. Di mana ia berhak mengambil semua yang menjadi haknya, dan atau memberi semua yang menjadi hak orang lain.[15] Allah swt. berfirman dalam surah al-Ma’idah ayat 8

$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ  

Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Berdasarkan beberapa muatan makna adil dan penggunaannya, yang telah disebutkan di atas, maka dalam konteks ekonomi Islam yang dimaksud dengan adil adalah adanya keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1         Kesimpulan

Al Qur’an memberi arahan dan ketetapan yang sangat unggul, lengkap dan mendasar ekonomi untuk dipahami dan dilaksanakan oleh segenap manusia. Adalah peluang dan tantangan para ulama, ilmuwan muslim dan praktisi ekonomi Islam untuk terus mengembangkannya. Seorang muslim untuk berorientasi pada Prinsip Tauhid, Al-Falah serta keadilan dalam aktivitasnya. Jika seseorang menggunakan prinsip dalam aktivitasnya maka aktivitasnya ekonominya akan baik dari segi produksi, konsumsi maupun distribusi, maka ia akan mencapai kemuliaan serta adil dalam aktivitas ekonomi. Pada dasarnya tujuan hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan, meskipun manusia memaknai “kesejahteraan” dengan prespektif yang berbeda-beda. Pola dan proses pembangunan ekonomi diarahkan semata-mata untuk peningkatan income perkapita, konsumsi fisik yang sarat dengan hedonism dan memompa produk-produk kepasaran tanpa mempertimbangkan dampak negative bagi kehidupan lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Muhammad Hasan Al-Himshi, Tafsir wa Bayan Mufradat al-Quran, (Damaskus: Dar ar-Rasyid, 1984)

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Cet. Ke-13, (Bandung, Mizan, 2009),

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur`an, Cet. Ke-2, vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2004)

Ibn ‘Abdis Salam, Tafsir Ibn ‘Abdis Salam, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-is dar as - sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 4

Tantawi, Al Wasit Lisayyid Tantawi, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as- sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 1

Al Mala ‘Ali Al- Qari’, Mirqatul Mafatih, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as- sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 2,

Abi Su‘ud, Tafsir Abi Su‘ud, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2.08.website:http://www.shamela.ws., juz 1,

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus

Muhammad Syaltut, Tafsir al-Qur`an al-Karim, jilid III, terj. A. Dahlan. dkk. (Bandung: CV. Diponegoro, 1990)

Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusairi al-Naisaburi, al-Jami’ al-Shahih, Juz 5, (t.t.p., t.t)

Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)

 

 



[1] Muhammad Hasan Al-Himshi, Tafsir wa Bayan Mufradat al-Quran, (Damaskus: Dar ar-Rasyid, 1984), hlm. 34.

[2] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Cet. Ke-13, (Bandung, Mizan, 2009), hlm. 410.Mursal dan Suhadi

[3] Ibid., hlm. 411.

[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur`an, Cet. Ke-2, vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), hlm. 113.

[5] M. Quraish Shihab, Wawasan, hlm. 412

[6] Ibn ‘Abdis Salam, Tafsir Ibn ‘Abdis Salam, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-is dar as - sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 4, h. 94

[7] Tantawi, Al Wasit Lisayyid Tantawi, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as- sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 1, h. 4490.

[8] Al Mala ‘Ali Al- Qari’, Mirqatul Mafatih, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as- sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 2, h. 269

[9] Abi Su‘ud, Tafsir Abi Su‘ud, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2.08. website:
http://www.shamela.ws., juz 1, h. 47

[10] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus, hlm. 10

[11] M. Quraish Shihab, Wawasan…, hlm. 111

[12] Muhammad Syaltut, Tafsir al-Qur`an al-Karim, jilid III, terj. A. Dahlan. dkk. (Bandung: CV. Diponegoro, 1990), hlm. 783

[13] Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusairi al-Naisaburi, al-Jami’ al-Shahih, Juz 5, (t.t.p., t.t), hlm. 14

[14] Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). hlm. 72

[15] M. Quraish Shihab, Wawasan, hlm. 116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar