BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada dasarnya tujuan hidup
setiap manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan, meskipun manusia memaknai
“kesejahteraan” dengan prespektif yang berbeda-beda. Pola dan proses
pembangunan ekonomi diarahkan semata-mata untuk peningkatan income perkapita,
konsumsi fisik yang sarat dengan hedonism dan memompa produk-produk kepasaran
tanpa mempertimbangkan dampak negative bagi kehidupan lain. Di lain pihak,
ekonomis Islam datang dengan konsep Ketauhidan, al Al-Falah, Keadilan yang mengacu
kepada konsep Islam tentang manusia itu sendiri. Al-Falah merupakan kesuksesan yang
hakiki, berupa tercapainya kebahagiaan dalam segi material dan spiritual serta tercapainya
kesejahteraan di dunia dan akhirat. Suatu kesuksesan dalam aspek material tidaklah
menjadi sesuatu yang bermakna apabila mengakibatkan kerusakan dalam aspek
kemanusiaan lainnya seperti persaudaraan dan moralitas. Sebagaimana diketahui
bahwa dalam Islam esensi manusia ada pada ruhaniahnya. Karena itu seluruh
kegiatan duniawi termasuk dalam aspek ekonomi diarahkan tidak saja untuk memenuhi
tuntutan fisik jasadiah melainkan juga memenuhi kebutuhan ruhani
dimana ruh merupakan esensi manusia.
2.1 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dengan Prinsip
Tauhid ?
2. Apakah yang dengan Prinsip
Al Falah ?
3. Apakah yang dengan Prinsip
Keadilan ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Prinsip Tauhid
Ayat-ayat
al-Quran yang terkait dengan prinsip tauhid dalam menjalankan kegiatan ekonomi
antara lain adalah Q.S Al-Ikhlash (1-4)
ö@è% uqèd ª!$# î‰ymr& ÇÊÈ ª!$# ߉yJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ô‰s9qムÇÌÈ öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7‰ymr& ÇÍÈ
Artinya :
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan
Dia."
Dalam
konteks berusaha atau bekerja, surah al-Ikhlash ayat 1-4 dapat memberikan
spirit kepada seseorang, bahwa segala bentuk usaha yang dilakukan manusia harus
tetap bergantung kapada Allah. Al-Himshi, dalam bukunya, Tafsir wa Bayan
Mufradat al-Quran, menterjemahkan ayat “Allah al-Shamad” dengan “Huwa wahduhu
al-Maqshud fi al-Hawa’ij” (hanya Allah tempat mengadu dalam segala kebutuhan).[1]
Prinsip
tauhid adalah dasar dari setiap bentuk aktivitas kehidupan manusia. Quraish
Shihab menyatakan bahwa tauhid mengantar manusia dalam kegiatan ekonomi untuk
meyakini bahwa kekayaan apapun yang dimiliki seseorang adalah milik Allah.
Keyakinan demikian mengantar seseorang muslim untuk menyatakan:[2]
“Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam.” Keyakinan atau pandangan hidup seperti ini, akan membawa
pada keyakinan dunia akhirat secara simultan dan seimbang, sehingga seorang
pengusaha tidak mengejar keuntungan materi semata. Kesadaran ketauhidan juga
akan mengendalikan seorang atau pengusaha muslim untuk menghindari segala
bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dipahami mengapa
Islam melarang transaksi yang mengandung unsur riba, pencurian, penipuan
terselubung, bahkan melarang menawarkan barang pada konsumen pada saat konsumen
tersebut bernegosiasi dengan pihak lain.[3]
Dampak
positif lainnya dari prinsip tauhid dalam system ekonomi Islam adalah
antisipasi segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang
atau satu kelompok saja. Atas dasar ini pulalah al-Quran membatalkan dan
melarang melestarikan tradisi masyarakat Jahiliyah, yang mengkondisikan
kekayaan hanya beredar pada kelompok tertentu saja,[4]
firman Allah dalam Q.S Al-Hasyr ayat 7
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4’n?tã ¾Ï&Î!qß™u‘ ô`ÏB È@÷dr& 3“tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqß™§=Ï9ur “Ï%Î!ur 4’n1öà)ø9$# 4’yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# ö’s1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
Artinya : apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota
Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.
Ayat
di atas juga menjadi dalil yang besifat umum atas tidak boleh monopoli pada
berbagai praktik ekonomi yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan semata,
tanpa mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih luas. Secara faktual, seperti
diakui oleh Quraish Shihab, sebagian manusia sangat sukar mengendalikan
keinginannya untuk mendapatkan keuntungan meskipun pada waktu yang sama ia
menganiaya manusia maupun makhluk lain. Karena itu, menurut Quraish, jika
sepirit ketuhanan atau peran moral sebagian masyarakat pelaku ekonomi kurang
memadai untuk mengendalikan keinginannya, maka demi kemaslahatan yang seimbang
antara peluang dan kesulitan orang lain, pemerintah dibenarkan melakukan
intervensi untuk mengontrol, misalnya, harga-harga kebutuhan pokok,[5]
walaupun pada dasarnya harga barang termasuk kebutuhan pokok diserahkan pada
mekanisme pasar.
2.2 Al falah
Falaah secara bahasa diambil
dari kata dasar Al-Falah yang berarti kemenangan, keselamatan, dan baiknya
keadaan. Dalam surah Al Mu’minuun, Allah Swt berfirman:
ô‰s% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$#
ÇÊÈ
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman,
Menurut
Ibn ‘Abdis Salam, yang dimaksud dengan “Aflaha” pada ayat tersebut adalah bahwa
kaum mukmin memperoleh apa yang dicari dan selamat dari yang mereka hindari[6].
Tantawi menambahkan bahwa kata “Aflaha” mengumpulkan semua makna kebaikan dan
kemanfaatan, karena makna al Al Falah adalah sampainya seseorang pada kebaikan
dan manfaat yang dia inginkan. Sedangkan penggunaan kata “qad” pada ayat
tersebut untuk menunjukkan kepastian akan diperolehnya Al-Falah tersebut oleh
orang mukmin dengan anugerah dan rahmat Allah Swt.[7]
Dengan redaksi sedikit berbeda Imam Mala ‘Ali Al Qari’ mengatakan bahwa arti
Al-Falah adalah selamat dari setiap hal yang tidak disukai dan memperoleh
sesuatu yang dikehendaki atau dengan kata lain selamat dari siksa dan
memperoleh pahala serta kekal di surga.[8]
Keberuntungan atau kebahagiaan itu berupa kebahagiaan di dunia dan akherat.
Sebagaimana firman Allah Swt.: Q.S Al Imron 130
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä Ÿw
(#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$#
$Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ҕB
( (#qà)¨?$#ur
©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba
dengan berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.
[228] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian
besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat
ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran
lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran
suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena
orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan
emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba
nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman
jahiliyah.
Dalam
menafsiri, Imam Tantawi menjelaskan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah agar
kita bertaqwa kepada Allah Swt dengan menjauhi perbuatan haram supaya dapat
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat. Dengan demikian ada dua
kebahagiaan yang ingin diraih seorang mukmin dalam kehidupan ini, yakni
kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akherat.
Menurut
Abi Su‘ud, Al-Falah itu dikembalikan pada tiga hal; Pertama, menguasai nafsu
sehingga tidak terbujuk rayuan hawa nafsu, mampu mengendalikan dunia sehingga
tidak menjadi sombong karena bergelimang harta benda, mempu mengendalikan
syaitan sehingga tidak terbujuk oleh godaannya, serta mampu mengendalikan teman
yang buruk sehingga tidak terusik oleh tipu daya mereka; Kedua, selamat dari
kekufuran, kesesatan, bid‘ah kebodohan, bujukan nafsu, godaan syetan, goyahnya
iman, siksa kubur, terpeleset dari atas sirat, dan terhalang masuk surga;
Ketiga, kekal dengan kenikmatan abadi, kenikmatan yang tak berubah, kebahagiaan
yang tiada susah, muda yang tak berujung tua, sehat yang tak berujung sakit,
memperoleh nikmat tanpa hisab, serta bertemu Allah Swt tanpa penghalang.[9]
Dari
pemaparan di atas, diketahui bahwa al Al-Falah berarti segala keberuntungan,
kebahagiaan, kesejahteraan yang dirasakan oleh seseorang baik ketika hidup di
dunia maupun di akherat nanti.
Didalam
Islam, filosofi Al-Falah menuntut seorang muslim untuk berorientasi pada
maslahah dalam setiap aktivitasnya. Jika seseorang menggunakan ukuran maslahah
dalam aktivitas ekonominya baik dalam kegiatan produksi, konsusmsi maupun
distribusi, maka diharapkan ia akan mencapai AlFalah; yaitu kemuliaan dan
kemenangan dalam hidup. Sebab, seperti yang telah dikemukakan di awal tentang
epistemologi Al-Falah dalam Islam, istilah Al-Falah diambil dari kata-kata Al
Qur’an yang sering dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang, dunia dan
akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek material, namun justeru lebih ditekankan
pada aspek spiritual.
Rasionalitas
dalam Islam bukannya kemudian membatasi peluang untuk melakukan pemaksimalan
kepentingan atau kebutuhan secara mutlak. Term “maksimisasi” bisa saja tetap
digunakan, hanya ia dibatasi oleh kendala etika dan moral Islam. Maka istilah
“kepuasan” pun mengalami transformasi pengertian dari “kepuasan tak terbatas”
menjadi Al-Falah, dalam arti yang luas, dunia dan akhirat.
Al-Falah
di akhirat adalah menjadi tujuan akhir dari proses di dunia secara
terus-menerus. Dalam relasi means-ends, bila diperbandingkan dengan pandangan
sekular, material sebagai representasi Al-Falah di dunia adalah berfungsi
sebagai the means, dalam rangka mencapai the ultimate ends, the real Al-Falah,
di akhirat kelak (lihat Qs. al-Qashash /28, ayat 77). Dengan demikian pengejaran
sarana material di dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan pelaksanaan
ibadah kepada Allah dengan lebih sempurna. The ethical Islamic constraint dalam
hal ini misalnya terealisasikan dalam institusi zakat, infaq dan shadaqah, yang
dalam konsep Islam mampu memberikan peluang pada golongan yang lemah untuk
berusaha, karena mereka memiliki hak yang inherently melekat dalam harta benda
si-kaya.
Bahwa konsep Al-Falah dan kebahagiaan bukan sesuatu
yang mudah untuk dipahami dan diukur. Akan tetapi seluruh ilmuan sepakat bahwa
tujuan semua amal manusia baik di tingkat pribadi atau masyarakat adalah untuk
mencapai kesejahteraan dan kebahagian. Dalam pandangan Islam, kesejahteraan dan
kebahagiaan adalah aspek penting dalam kemajuan individu dan masyarakat. Itulah
kebahagiaan yang dicita-citakan di dunia dan akhirat. Negara yang maju adalah negara
yang mensejahterakan dan membahagiakan rakyatnya dengan mencapai maqasid al
syari’ah. Itulah konsep negara sejahtera (baldatun tayyibah) yang diridhai
Allah Azza wa Jalla.
2.3 Prinsip Keadilan
Di
antara pesan-pesan al-Quran (sebagai sumber hokum Islam) adalah penegakan
keadilan. Kata adil berasal dari kata Arab ‘Adl yang secara harfiyah bermakna
sama. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, adil berarti sama berat, tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar dan sepatutnya.[10]
Dengan demikian, seseorang disebut berlaku adil apabila ia tidak berat sebelah
dalam menilai sesuatu, tidak berpihak kepada salah satu, kecuali
keberpihakannya kepada siapa saja yang benar sehingga ia tidak akan berlaku
sewenag-wenang.
Pembahasan
tentang adil merupakan salah satu tema yang mendapat perhatian serius dari para
ulama. Quraish Shihab dalam bukunya, Wawasan Al-Quran, ketika membahas perintah
penegakan keadilan dalam al-Quran mengutip tiga kata yakni al- ‘Adl, al-Qisth
dan al-Mizan.[11]
Kata
al-‘Adl menunjuk kepada makna sama, yang memberi kesan adanya beberapa pihak.
Kata al-Qisth menunjuk kepada makna bagian yang wajar dan patut. Sementara kata
al-Mizan menunjuk kepada makna alat untuk menimbang yang berarti keadilan.
Ketiganya, sekalipun berbeda bentuknya namun memiliki semangat yang sama yakni
perintah kepada manusia untuk berlaku adil.
Di
dalam al-Quran dijumpai sejumlah ayat yang menggunakan kata ‘Adl antara lain
adalah ayat 58 surat an-Nisa’
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym
tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$# br&
(#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/
4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ
ÿ¾ÏmÎ/
3 ¨bÎ) ©!$# tb%x.
$Jè‹Ïÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
Aritnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.
Kata
memutuskan (Hakamtum) dalam ayat di atas, tidak terbatas hanya pada pengertian
memutuskan perkara di pengadilan atau memutuskan perselisihan antara dua pihak
atau lebih yang bersengketa, tetapi juga dalam dunia ekonomi. Keharusan adil di
sini menyangkut sikap semua orang yang berada pada posisi membuat keputusan,
pelayanan, dan lain-lain, baik di lingkungan keluarga, atau masyarakat dan
negara, baik bidang hukum, ekonomi, politik, atau bidang-bidang lainnya.[12]
Kata amaanaat jamak dari amaanah, yang berarti kepercayaan, mencakup segala bentuk
kepercayaan dari masyarakat agar manusia bertindak adil sesuai dengan dengan
tuntunan Allah. Misalnya dalam hal pelayanan, penjual (pedagang atau pengusaha)
harus berlaku adil terhadap pelanggan atau konsumen. Perlakuan terhadap pelanggan
yang bayar kontan dengan yang berutang seharusnya sama.
Penggunaan
kata al-Qisth dan al-Mizan digunakan al-Quran dalam Q.S Ar-Rahman ayat 9
(#qßJŠÏ%r&ur šcø—uqø9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ Ÿwur (#rçŽÅ£øƒéB tb#u”ÏJø9$# ÇÒÈ
Artinya: dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan
janganlah kamu mengurangi neraca itu.
Keseimbangan
alam diatur dan ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, pemilik alam semesta ini.
Keseimbangan tercipta agar bumi dapat berputar pada porosnya, pergantian siang
dan malam untuk keberlangsungan hidup, hujan dan panas untuk kehidupan bumi dan
seisinya, ada Kutub Utara dan Kutub Selatan sebagai penyeimbang alam seluruh
dunia, ada matahari dan bulan sebagai penyeimbang grafitasi dan penyubur
kehidupan, dan semacamnya.
Keseimbangan
menduduki peran yang sangat menentukan dalam kehidupan manusia untuk mencapai
kemenangan. Falah, yang seharusnya menjadi obsesi setiap muslim dalam hidupnya dapat
dicapai hanya jika manusia hidup dalam keseimbangan (equilibrium). Sebab, keseimbangan
merupakan sunnah Allah. Kehidupan yang seimbang merupakan salah satu esensi ajaran
Islam, sehingga umat Islam pun disebut sebagai umat pertengahan (Ummatan
Wasthan). Ekonomi Islam bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang seimbang,
yang mencakup antara lain keseimbangan fisik dengan mental, material dengan
spiritual, individu dengan sosial, masa kini dengan masa depan, serta dunia dengan
akhirat. Keseimbangan fisik dengan mental, atau material dengan spiritual akan
menciptakan kesejahteraan holistik bagimanusia. Pembangunan ekonomi yang
terlalu mementingkan aspek material dan mengabaikan aspek spiritual hanya akan melahirkan
kebahagiaan semu, bahkan justeru menimbulkan petaka.
Keadilan
maupun kezaliman bisa dilakukan oleh seseorang terhadap diri sendiri maupun
orang lain. Contoh orang yang zalim terhadap diri sendiri adalah orang yang
hanya mengejar dunia namun meninggalkan akhiratnya. Sibuk mengejar kebutuhan
fisik dan melupakan kebutuhan rohaninya. Termasuk zalim terhadap diri sendiri
adalah melanggar aturan agama dengan melakukan sesuatu yang diharamkan.
Implikasi
dari prinsip keadilan ini, hukum harus diterapkan secara merata tanpa pandang
bulu. Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum, tanpa membedakan asal
keturunan, warna kulit maupun tingkat kebudayaan dan peradaban yang dicapai.
Tidak ada kelompok, golongan, etnis, atau komunitas apapun yang dipandang lebih
tinggi atau lebih mulia dari selainnya seperti yang terdapat dalam agama Hindu,
umpamanya. Semua manusia sama. Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah
derajat ketakwaannya.
Tentang
menegakkan keadilan tanpa pandang bulu telah dicontohkan oleh Nabi sendiri.
Pernah suatu hari Nabi menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seorang
perempuan dalam kasus pencurian. Lalu keluarga terhukum meminta Usamah bin Zaid
(salah seorang sahabat dekat Nabi) untuk meminta kepada Nabi agar hukuman diringankan.
Ketika Usamah bin Zaid menghadap kepada Nabi dan menyampaikan persolan itu,
Nabi bukan saja menolak permohonan Usamah, bahkan menegurnya dan bersabda:[13]
“Apakah Anda akan memberikan dispensasi
terhadap seseorang dalam menjalankan keputusan hukum (had) dari hukum-hukum
Alllah?! Andaikan Fathimah, putri Muhammad yang mencuri, maka saya tetap akan
memotong tangannya.”
Hadis
di atas menunjukkan bahwa hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu demi mewujudkan
keadilan hukum. Untuk menerapkan keadilan yang merata juga, ditetapkan kewajiban
membayar zakat. Di samping itu, syariat mengharuskan yang kaya menafkahi
kerabatnya yang miskin. Bagi fakir miskin yang tidak mampu bekerja, negara
harus memberikan tunjangan hidup bagi mereka[14]
sepanjang negara memiliki kemampuan.
Adil
memiliki makna, meletakkan sesuatu pada tempatnya; menempatkan secara
proporsional; perlakuan setara atau seimbang. Dalam al-Quran, kata-kata adil
sering dikontradiktifkan dengan makna zulm (zalim) dan itsm (dosa). Adapun
makna keadilan di sisi lain sering diartikan sebagai sikap yang selalu
menggunakan ukuran sama, bukan ukuran ganda. Dan sikap ini yang membentuk seseorang
untuk tidak berpihak pada salah satu yang berselisih. Menurut Al-Ashfihani,
“adil”, dinyatakan sebagai memperlakukan orang lain setara dengan perlakuan
terhadap diri sendiri. Di mana ia berhak mengambil semua yang menjadi haknya,
dan atau memberi semua yang menjadi hak orang lain.[15]
Allah swt. berfirman dalam surah al-Ma’idah ayat 8
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#y‰pkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtBÌôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #’n?tã žwr& (#qä9ω÷ès? 4 (#qä9ωôã$# uqèd Ü>tø%r& 3“uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berdasarkan
beberapa muatan makna adil dan penggunaannya, yang telah disebutkan di atas,
maka dalam konteks ekonomi Islam yang dimaksud dengan adil adalah adanya keseimbangan
dalam setiap aspek kehidupan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Al
Qur’an memberi arahan dan ketetapan yang sangat unggul, lengkap dan mendasar
ekonomi untuk dipahami dan dilaksanakan oleh segenap manusia. Adalah peluang
dan tantangan para ulama, ilmuwan muslim dan praktisi ekonomi Islam untuk terus
mengembangkannya. Seorang muslim untuk berorientasi pada Prinsip Tauhid,
Al-Falah serta keadilan dalam aktivitasnya. Jika seseorang menggunakan prinsip
dalam aktivitasnya maka aktivitasnya ekonominya akan baik dari segi produksi,
konsumsi maupun distribusi, maka ia akan mencapai kemuliaan serta adil dalam
aktivitas ekonomi. Pada
dasarnya tujuan hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan,
meskipun manusia memaknai “kesejahteraan” dengan prespektif yang berbeda-beda.
Pola dan proses pembangunan ekonomi diarahkan semata-mata untuk peningkatan
income perkapita, konsumsi fisik yang sarat dengan hedonism dan memompa
produk-produk kepasaran tanpa mempertimbangkan dampak negative bagi kehidupan
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Hasan Al-Himshi, Tafsir wa Bayan Mufradat al-Quran, (Damaskus:
Dar ar-Rasyid, 1984)
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Cet. Ke-13, (Bandung, Mizan,
2009),
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
alQur`an, Cet. Ke-2, vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2004)
Ibn ‘Abdis Salam, Tafsir Ibn ‘Abdis Salam, dalam al-maktabah
asy-syamilah, al-is dar as - sani
2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 4
Tantawi, Al Wasit Lisayyid Tantawi, dalam al-maktabah asy-syamilah,
al-isdar as- sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 1
Al Mala ‘Ali Al- Qari’, Mirqatul Mafatih, dalam al-maktabah
asy-syamilah, al-isdar as- sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 2,
Abi Su‘ud, Tafsir
Abi Su‘ud, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2.08.website:http://www.shamela.ws.,
juz 1,
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Muhammad Syaltut, Tafsir al-Qur`an al-Karim, jilid III, terj. A.
Dahlan. dkk. (Bandung: CV. Diponegoro, 1990)
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusairi
al-Naisaburi, al-Jami’ al-Shahih, Juz 5, (t.t.p., t.t)
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
[1]
Muhammad Hasan Al-Himshi, Tafsir wa Bayan Mufradat al-Quran, (Damaskus: Dar
ar-Rasyid, 1984), hlm. 34.
[2]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Cet. Ke-13, (Bandung, Mizan, 2009), hlm.
410.Mursal dan Suhadi
[3] Ibid., hlm. 411.
[4]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur`an,
Cet. Ke-2, vol. 11, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), hlm. 113.
[5]
M. Quraish Shihab, Wawasan, hlm. 412
[6]
Ibn ‘Abdis Salam, Tafsir
Ibn ‘Abdis Salam, dalam al-maktabah
asy-syamilah, al-is dar as - sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 4, h. 94
[7]
Tantawi, Al Wasit Lisayyid Tantawi, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar
as- sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 1, h. 4490.
[8]
Al Mala ‘Ali Al- Qari’, Mirqatul Mafatih, dalam al-maktabah asy-syamilah,
al-isdar as- sani 2.08. website: http://www.shamela.ws., juz 2, h. 269
[9]
Abi Su‘ud, Tafsir
Abi Su‘ud, dalam al-maktabah asy-syamilah, al-isdar as-sani 2.08. website:
http://www.shamela.ws.,
juz 1, h. 47
[10]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus, hlm. 10
[11]
M. Quraish Shihab, Wawasan…, hlm. 111
[12]
Muhammad Syaltut, Tafsir al-Qur`an al-Karim, jilid III, terj. A. Dahlan. dkk.
(Bandung: CV. Diponegoro, 1990), hlm. 783
[13]
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusairi al-Naisaburi,
al-Jami’ al-Shahih, Juz 5, (t.t.p., t.t), hlm. 14
[14]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). hlm. 72
[15]
M. Quraish Shihab, Wawasan, hlm. 116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar