BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sebuah alinea kitab al-Madkhal
al-Fiqhi, karya Dr. Musthafa az-Zarqa` (w. 1375 H) menulis: “seandainya kaidah
fiqih tidak ada, maka hukum-hukum fiqih akan tetap menjadi cecaran-cecaran
hukum yang secara lahir saling bertentangan satu sama lain.”
Mustafa
az-Zarqa benar, sebab apabila kita terus-menerus berkutat mempelajari hukum-hukum
fiqih secara parsial (sepotong-sepotong), maka kita akan merasakan adanya
kontradiksi antara satu hukum dengan hukum lainnya. Kita sering dibuat bingung saat
mempelajari persoalan-persoalan hukum yang karakternya sama tetapi ketentuan
hukumnya berbeda.
Salah satu solusi untuk mengurai benang kusut itu adalah dengan
mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syari’at. Jadi, selain kita
mempelajari hukum-hukum yang sudah jadi, kita juga dituntut untuk menguasai
pangkal persoalan atau substanti hukumnya. Caranya adalah degan mempelajari
kaidah fiqih, baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah. Dengan kedua
kaidah tersebut nilai-nilai esensial syari’at terurai dengan sangat lugas, logis,
tuntas, dan rasional.[1]
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa Pengertian kaidah-kaidah
fiqhiyah?
2) Apa saja macam-macam kaidah
fiqhiyah?
3) Apa perbedaan antara kaidah fiqhiyah
dan kaidah ushuliyah?
1.3 Tujuan Pembahasan
1) Mengetahui dan memahami pengertian
kaidah fiqhiyah.
2) Mengetahui dan memahami macam-macam
kaidah fiqhiyah.
3) Mengetahui dan memahami perbedaan
kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah.
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kaidah Fiqhiyah
Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah
dan fiqhiyyah. Qa’idah
kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan
kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah
berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf,
yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.
Pengertian
Qa’idah fiqhiyyah menurut Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa ialah:
اُصُوْلٌ فِقْهِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ فىِ
نُصُوْصٍ مُوْجِزَةٍ دُسْتُوْرِيَّةٍ تَضْمَنُ أَحْكَامًا تَشْرِيْعِيَّةً
عَامَّةً فِى الْحَوَادِثِ الَّتِى تَذْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهَا
“Dasar-dasar yang bertalian dengan
hukum syara’ yang bersifat mencangkup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam
bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang
mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat
dimasukkan pada permasalahannya.”
Menurut
Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, qa’idah fiqhiyyah itu ialah:
“qa’idah-qa’idah yang bersifat kully
dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy syar’i) pada
mukalaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.”[2]
2.2 Macam-macam Kaidah Fiqhiyah
Kaidah
fiqhiyyah dibagi menjadi 3 macam yaitu:
·
Lima
kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh, lima kaidah ini memiliki
ruang lingkup Furi’iyyah yang sangat luas, komprehensif, dan universal, sehingga hampir menyentuh
semua elemen hukum fiqih.
·
Kaidah-kaidah
yang mempunyai cangkupan furu’ cukup banyak, tetapi tak seluas yang pertama,
kaidah ini biasa disebut sebagai al-qawa’id al-aghlabiyah.
·
Kaidah
yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawa’id al-qaliliyah) bahkan cenderung sangat sedikit.[3]
2.3 Perbedaan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah
Perbedaan
antara keduanya adalah sebagi berikut:
o
Kaidah
ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para
mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah
ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum.
Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum,
ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i.
Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum
syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita
bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan
sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum
(layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub”
bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung
suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa
setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan
wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti
dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib
dihilangkan.
o
Kaidah
ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i)
tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya
terkandung kedua hal tersebut.
o
Kaidah
ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di
bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau
bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat
istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
o
Perbedaan
antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek).
Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih
maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti
sholat, zakat dan lain-lain.
o
Kaidah-kaidah
ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
o
Kaidah-kaidah
ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa
kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang
qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah
bagi mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan
bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
o
Kaidah-kaidah
ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
o
Kaidah
Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif. Kaidah
ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah,
sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh
kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu
al-masa’il –alfiqhiyawa tashiliha.[4]
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Qawaidul
fiqhiyah adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu.
Qawaid ushuliyah adalah hukum kulliyah (umum) yang dibentuk
dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan
fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.
Dengan
berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Haq, Abdul dkk, “Formulasi Nalar
Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009.
Kurdi, Muliadi, “Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal”, cet.1, Lembaga Kajian Agama
dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011.
Mu’in, A. dkk, “Ushul Fiqih 1”,
Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986.
[1] Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”,
Surabaya: Santri Salaf, 2009, hal,3.
[2]
A. Mu’in, dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta:
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986, hal, 181.
[3] Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”,
Surabaya: Santri Salaf, 2009, hal,82.
[4]
Muliadi Kurdi, “Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal”, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial
(LKAS), Banda Aceh: 2011, hal. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar