Selasa, 29 Maret 2022

Makalah Hukum Perkawinan

 

A.    Permasalahan

Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim.  Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu  akad yang suci dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab  sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan  tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah serta saling menyantuni antara  keduanya.[1]

Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada  yang tidak sah, hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan.  Akan tetapi pada kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.  Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama.[2]

Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat.[3]

 

 

 

B.     Fokus Masalahan

1.      Apa pengerian umum perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974?

2.      Apa arti dan syarat-syarat dalam perkawinan?

3.      Bagaimana hubungan hukum dalam perkawinan?

4.      Apa asas monogami dalam pernikahan?

 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengerian perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974

2.      Agar dapat lebih memahami arti dan syarat-syarat dalam perkawinan serta hubungan hukum dalam perkawinan dan asas yang terkandung dalam UU No.1 Tahun 1974

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perkawinan

Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja  mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting.[4]

Pengertian Perkawinan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 dan KUH Perdata atau BW. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan pengertian Perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan rumusan :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”[5]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering diartikan pula sebagai perkawinan. Mulanya kata “nikah” berasal dari bahasa Arab. Sedangkan di dalam Al-Quran menggunakan kata“zawwaja” dan kata “zauwj”, yang berarti pasangan. Hal ini dikarenakan pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.[6]

Pada prinsip perkawinan atau  nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum tampak jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sahnya status sebagai suami istri dan di halalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni antara keduanya. [7]

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah dan ada yang tidak sah. Akad perkawinan dikatakan sah, apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan Agama. Sebaliknya, akad perkawinan dikatakan tidak sah bila tidak dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan Agama. Sementara dalam pandangan ulama suatu perkawinan telah dianggap sah apabila telah terpenuhi baik dalam syarat maupun rukun perkawinan. [8]

KUHP atau BW memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata (Pasal26). Hal ini berarti bahwa undang-undangnya mengakui perkawinan perdata ialah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHP, sedang syarat-syarat atau ketentuan agama tidaklah diperhatikan tau dikesampingkan.[9]

Dengan demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas terlihat adanya unsur ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung asas Monogami tidak mutlak yang secara tegas dinyatakan di dalam Dasar Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri sedangkan seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang yang lazim dikenal dengan Poligami, izin ini diberikan apabila Poligami ini dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain Poligami dapat dilaksanakan sepanjang Hukum Agama yang bersangkutan mengizinkan dan itupun dibatasi oleh alasan dan persyaratan yang ketat yaitu dengan izin Pengadilan. [10]

 

 

 

B.     Arti dan Syarat-syarat perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974

1.      Arti perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974

Arti perkawinan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 dan KUH Perdata. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan pengertian Perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan rumusan :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”[11]

Pada prinsip perkawinan atau  nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolongmenolong antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum tampak jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sahnya status sebagai suami istri dan di halalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni antara keduanya. [12]

Dengan demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas terlihat adanya unsur ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung asas Monogami tidak mutlak yang secara tegas dinyatakan di dalam Dasar Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri sedangkan seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami.[13]

Dari uraian diatas diketahui bahwa rumusan dalam Pasal 1 UU No.1 th 1974 merupakan rumusan perkawinan yang telah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia, dasar falsafah negara Pancasila dan UUD 1945.

2.      Syarat-syarat perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 di atur adalam pasal 6 yaitu :

a.       Perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

b.      Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua

c.       Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin di maksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya

d.      Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan khusus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya

e.       Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini atau salah seorag atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka peradilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapatbmembari izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal in

f.       Ketentuan tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya  dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain[14]

Adapun syarat perkawinan berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata terdiri dari :

1.      Syarat materil

2.      Syarat formal.

Adapun yang dimaksud dengan syarat materil absolut adalah syarat-syarat yang menyangkut pribadi seseorang yang terdiri dari :

1.      Monogami

2.      Persetujuan antara kedua calon suami istri

3.      Memenuhi syarat umur minimal

4.      Perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu di bubarkan

5.      Izin dari orang tertentu di dalam melakukan perkawinan

          

 

 

 

          Syarat formil berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:

Syarat ini mengandung Tata Cara Perkawinan, baik sebelum maupun setelah perkawinan. Misalnya sebelum perkawinan dilangsungkan , maka kedua mempelai harus memberikan Pemberitahuan / aangifte tentang kehendak kawin kepada pegawai catatan sipil, yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan pernikahan. Sedang syarat lainnya, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.[15]

 

C.    Hubungan hukum dalam perkawinan

Menurut UU No.1 Tahun 1974 hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Dari rumusan diatas jelaslah bahwa ikatan lahir dan batin harus ada dalam setiap perkawinan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.[16]

Dengan demikian, bahwa hakikat perkawinan itu bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin. Hendaknya pasangan yang sudah resmi sebagai suami istri juga merasakan adanya ikatan batin, ini harus ada sebab tanpa itu perkawinan tak akan punya arti, bahkan akan menjadi rapuh. Hal ini lah yang membedakan dengan haikat perkawinan menurut KUHP. Apabila kita membaca KUHP dapat diketahui bahwa hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subjek-subjek yang mengikatkan diri dalam perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah antara seorang pria dan seorang wanita). Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan diantara mereka dan dengan adanya tujuan tesebut mereka menjadi terikat. [17]

D.    Asas monogami dalam perkawinan dan akibat hukum dalam perkawinan

1.      Asas monogami

Asas perkawinan adalah monogami, bahwa dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dioperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu orang laki-laki sebagai suaminya. hal ini tercantum dalam Pasal 3 UU No.1/1974 dan juga pada Pasal 27 KUHP.[18]

Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami, yaitu suatu perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. [19]

Dengan adanya asas monogami serta tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suatu tindakan yang akan mengakibatkan putusnya suatu perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah perceraian) harus benar-benar dipikirkan serta dipertimbangkan masak-masak. Sebab jika itu terjadi maka akan membawa akibat yang luas, tidak hanya menyagkut diri suami atau istri tetapi nasib anak-anak juga harus diperhatikan. dengan demikian diharapkan pula agar tidak begitu mudah melangsungkan perkawinan serta begitu mudah bercerai (kawin-cerai berulang-ulang).[20]

2.      Akibat Hukum dari Perkawinan

Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Suami Istri menurut UU No.1/1974 dan KUHPdt/BW. Pasal 30 sampai dengan 34 UU No.1/1974, yang isinya:

1.      Suami istri memikul kewajiban hukum untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

2.      Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-batin yang satu kepada yang lain.

3.      Hak dan kedudukan istri seimbang dengan suami dalah kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.

4.      Suami istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

5.      Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

6.      Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama. [21]

Akibat lain yang timbul dari hubungan suami istri yang terdapat dalam KUHPdt/BW:

1.      Suami istri wajib tinggal bersama dalam satu rumah. Istri harus tunduk patuh kepada suaminya, ia wajib mengikuti kemana suami memandang baik untuk bertempat tinggal.

2.      Suami wajib menerima istrinya dalam satu rumah, yang ia diami. Suami juga wajib melindungi istrinya dan member padanya segala apa yang perlu dan berpanutan dengan kedudukan dan kemampuannya.

3.      Suami istri saling mengikatkan diri secara timbale balik untuk memelihara dan mendidik anak-anak. [22]

Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :

Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.[23]

Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.[24]

Undang-undang menganut asas Monogami. Hanya apabila dikehedaki oleh yang bersangkutan karena Hukum dan Agama yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari satu. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. Karena perkawinan yang dilakukan wanita di bawah umur mengakibatkan tingkat kelahiran semakin tinggi. Oleh karena itu Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.[25]

Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan pengadilan.[26]

Hak dan kedudukan seorang isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan dapat diputuskan bersama antara suami isteri.[27]

Untuk menjamin kepastian hukum maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dilaksanakan menurut hukum yang ada pada saat itu maka Perkawinan tersebut dinyatakan sah menurut Hukum.[28]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum dalam hukum tertulis (hukum negara) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat).

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah sebagai berikut : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pemerintah telah mengeluarkan suatu bentuk Undang-Undang Perkawinan Nasional yang telah lama dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia pada tanggal 2 Januari 1974, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang kemudian demi kelancaran pelaksanaannya dikeluarkan suatu Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengandung isi yang sangat luas, yaitu mengatur masalah perkawinan, perceraian, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, dan juga mengatur masalah perwalian serta mengatur masalah pembuktian asal-usul anak.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami maupun calon isteri itu harus masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, dengan maksud agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Maka dari itudalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umuruntuk melangsungkan perkawinan bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.

 

 

 

Daftar Pustaka

Slamet Abidin, Aminuddin, Mamman Abd. Djaliel, Fiqh Munakahat. Bandung CV Pustaka Setia, 1999

Rusli SH.An R. Tama SH, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Santika Dharma. Bandung 1974

Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Indonesia, Bumi Aksara. Jakarta 1996

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Grougp, 2006

Prodjodikoro Wirjono,Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Sumur. 1974

Reksopadoto Wibowo, Hukum Perkawinan Nasional Jilid I, Tentang Perkawinan. Bandung: Rajawali Pers. 2009

Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1994

Tim Media Focus, Undang-undang Perkawinan. Bandung: Focus Media. 2005

Ramulyo Idris Mohammad. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.1996

 

 

 



[1]  Slamet Abidin, Aminuddin, Maman Abd. Djaliel, Fiqih Munakahat Bandung: CV Pustaka Setia, 1999 hlm. 121

[2] Rusli, SH. An R. Tama, SH. Perkawinan atar agama dan masalahnya, Shantika Dharma. Bandung, hlm 10.

[3] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, PT Rineke cipta. Jakarta, 1991, hlm 5

[4] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta, 1994. Hal 7

[5] Focus Media Tim, Undang-undang Perkawinan. Focus Media. Bandung, 2005.hal 71

[6] Focus Media Tim, Undang-undang Perkawinan. Focus Media. Bandung, 2005.hal 83

 

[7]Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Grougp, 2006 hlm 285

[8] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Grougp, 2006 hlm 290

[9] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta, 1994. Hal 48

 

[10] Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan Indonesia. Sumur. Bandung, 1974. hlm. 87

[11] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta, 1994. Hlm 35

 

[12]Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Grougp, 2006 hlm 285

 

[13] Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan Indonesia. Sumur. Bandung, 1974. hlm. 87

 

[14] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta, 1994. Hal 46

[15]  Wibowo Reksopadoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid I, Tentang Perkawinan. Bandung: Rajawali Pers. 2009 hlm 38

[16] Wibowo. Reksopadoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid I, Tentang Perkawinan. Bandung: Rajawali Pers. 2009 Hlm 43

 

[17] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta, 1994.Hlm 38

[18] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Indonesia. Sumur, Bandung1974 hlm 95

[19] Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan Indonesia. Sumur. Bandung, 1974. Hlm10

[20] Wirjono Prodjodikoro Hukum Perkawinan Indonesia Sumur, Bandung 1974 Hal

[21] Tim Media Focus, Undang-undang Perkawinan. Bandung: Focus Media. 2005

[22] Tim Media Focus, Undang-undang Perkawinan. Bandung: Focus Media. 2005

[23]Wibowo Reksopadotto, Hukum Perkawinan Nasional jilid I, tentang Perkawinan. Rajawali Pers, Bandun. 2009, Hlm 35

[24] Wibowo Reksopadoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid I, Tentang Perkawinan. Rajawali Pers. Bandung. 2009. Hal 37

[25] Wirjono Prodjodikoro Hukum Perkawinan Indonesia Sumur, Bandung 1974 hlm 37

[26] Wirjono Prodjodikoro Hukum Perkawinan Indonesia Sumur, Bandung 1974 Hal

[27] Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1996, hal 2.

[28] Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1996, hal 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar