A.
Permasalahan
Pada
prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta
membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang
antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas
bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria dengan
wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah,
mawadah serta saling menyantuni antara keduanya.[1]
Suatu
akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah, hal
ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan
syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama.
Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai
dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada
kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya
saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan
yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan
salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara
Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib
pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama.[2]
Agar
terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh
petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda.
Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah
masyarakat.[3]
B.
Fokus
Masalahan
1. Apa
pengerian umum perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974?
2. Apa
arti dan syarat-syarat dalam perkawinan?
3. Bagaimana
hubungan hukum dalam perkawinan?
4. Apa
asas monogami dalam pernikahan?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengerian perkawinan
menurut UU No.1 Tahun 1974
2. Agar
dapat lebih memahami arti dan syarat-syarat dalam perkawinan serta hubungan
hukum dalam perkawinan dan asas yang terkandung dalam UU No.1 Tahun 1974
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perkawinan
Negara
Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila
yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan
bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau
rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting.[4]
Pengertian
Perkawinan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 dan KUH Perdata atau BW. Dalam Pasal
1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan pengertian
Perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan
rumusan :
“Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”[5]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai Perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering diartikan pula
sebagai perkawinan. Mulanya kata “nikah” berasal dari bahasa Arab. Sedangkan di
dalam Al-Quran menggunakan kata“zawwaja” dan kata “zauwj”, yang berarti
pasangan. Hal ini dikarenakan pernikahan menjadikan seseorang memiliki
pasangan.[6]
Pada
prinsip perkawinan atau nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan
hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong-menolong antara laki-laki
dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi
hukum tampak jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara
laki-laki dan perempuan yang menjadi sahnya status sebagai suami istri dan di
halalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh
kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni antara keduanya. [7]
Perkawinan
menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah dan
ada yang tidak sah. Akad perkawinan dikatakan sah, apabila akad tersebut
dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan
ketentuan Agama. Sebaliknya, akad perkawinan dikatakan tidak sah bila tidak
dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan
ketentuan Agama. Sementara dalam pandangan ulama suatu perkawinan telah
dianggap sah apabila telah terpenuhi baik dalam syarat maupun rukun
perkawinan. [8]
KUHP
atau BW memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata
(Pasal26). Hal ini berarti bahwa undang-undangnya mengakui perkawinan perdata
ialah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam KUHP, sedang syarat-syarat atau ketentuan agama tidaklah
diperhatikan tau dikesampingkan.[9]
Dengan
demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas terlihat adanya unsur ikatan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Hal ini
menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengandung asas Monogami tidak mutlak yang secara tegas dinyatakan di dalam
Dasar Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang suami hanya
boleh mempunyai seorang isteri sedangkan seorang isteri hanya boleh mempunyai
seorang suami. Akan tetapi Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang yang lazim dikenal dengan Poligami, izin ini
diberikan apabila Poligami ini dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dengan kata lain Poligami dapat dilaksanakan sepanjang Hukum Agama yang
bersangkutan mengizinkan dan itupun dibatasi oleh alasan dan persyaratan yang
ketat yaitu dengan izin Pengadilan. [10]
B.
Arti
dan Syarat-syarat perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974
1. Arti
perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974
Arti
perkawinan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 dan KUH Perdata. Dalam Pasal 1
Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan pengertian
Perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan
rumusan :
“Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”[11]
Pada
prinsip perkawinan atau nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan
hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolongmenolong antara laki-laki dan
perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum
tampak jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki
dan perempuan yang menjadi sahnya status sebagai suami istri dan di halalkannya
hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang dan
kebajikan serta saling menyantuni antara keduanya. [12]
Dengan
demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas terlihat adanya unsur ikatan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Hal ini
menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengandung asas Monogami tidak mutlak yang secara tegas dinyatakan di dalam
Dasar Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang suami hanya
boleh mempunyai seorang isteri sedangkan seorang isteri hanya boleh mempunyai
seorang suami.[13]
Dari
uraian diatas diketahui bahwa rumusan dalam Pasal 1 UU No.1 th 1974 merupakan
rumusan perkawinan yang telah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia, dasar
falsafah negara Pancasila dan UUD 1945.
2. Syarat-syarat
perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 di atur adalam pasal 6 yaitu :
a. Perkawinan
harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
b. Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tua
c. Dalam
hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin di maksud ayat 2 pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya
d. Dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan khusus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya
e. Dalam
hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3, dan
4 pasal ini atau salah seorag atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka peradilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapatbmembari izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3, dan 4
pasal in
f. Ketentuan
tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain[14]
Adapun
syarat perkawinan berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata terdiri dari :
1. Syarat
materil
2. Syarat
formal.
Adapun
yang dimaksud dengan syarat materil absolut adalah syarat-syarat yang
menyangkut pribadi seseorang yang terdiri dari :
1. Monogami
2. Persetujuan
antara kedua calon suami istri
3. Memenuhi
syarat umur minimal
4. Perempuan
yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari
setelah perkawinan yang terdahulu di bubarkan
5. Izin
dari orang tertentu di dalam melakukan perkawinan
Syarat formil berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah:
Syarat ini mengandung
Tata Cara Perkawinan, baik sebelum maupun setelah perkawinan. Misalnya sebelum
perkawinan dilangsungkan , maka kedua mempelai harus memberikan Pemberitahuan /
aangifte tentang kehendak kawin kepada pegawai catatan sipil, yaitu pegawai
yang nantinya akan melangsungkan pernikahan. Sedang syarat lainnya, yaitu
larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan
sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah
melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian
jika belum lewat waktu 1 tahun.[15]
C.
Hubungan
hukum dalam perkawinan
Menurut
UU No.1 Tahun 1974 hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Dari rumusan diatas jelaslah bahwa
ikatan lahir dan batin harus ada dalam setiap perkawinan. Terjalinnya
ikatan lahir dan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga
yang bahagia dan kekal.[16]
Dengan
demikian, bahwa hakikat perkawinan itu bukan sekedar ikatan formal belaka,
tetapi juga ikatan batin. Hendaknya pasangan yang sudah resmi sebagai
suami istri juga merasakan adanya ikatan batin, ini harus ada sebab tanpa itu
perkawinan tak akan punya arti, bahkan akan menjadi rapuh. Hal ini lah
yang membedakan dengan haikat perkawinan menurut KUHP. Apabila kita membaca KUHP
dapat diketahui bahwa hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara
subjek-subjek yang mengikatkan diri dalam perkawinan (dalam hal ini yang
dimaksud adalah antara seorang pria dan seorang wanita). Hubungan tersebut
didasarkan pada persetujuan diantara mereka dan dengan adanya tujuan tesebut
mereka menjadi terikat. [17]
D.
Asas
monogami dalam perkawinan dan akibat hukum dalam perkawinan
1. Asas
monogami
Asas
perkawinan adalah monogami, bahwa dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya
dioperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang
perempuan hanya boleh mempunyai satu orang laki-laki sebagai suaminya. hal ini
tercantum dalam Pasal 3 UU No.1/1974 dan juga pada Pasal 27 KUHP.[18]
Undang-undang
perkawinan No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami, yaitu suatu perkawinan
antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai istri dan seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami. [19]
Dengan
adanya asas monogami serta tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
maka suatu tindakan yang akan mengakibatkan putusnya suatu perkawinan (dalam
hal ini yang dimaksud adalah perceraian) harus benar-benar dipikirkan serta
dipertimbangkan masak-masak. Sebab jika itu terjadi maka akan membawa akibat
yang luas, tidak hanya menyagkut diri suami atau istri tetapi nasib anak-anak
juga harus diperhatikan. dengan demikian diharapkan pula agar tidak begitu
mudah melangsungkan perkawinan serta begitu mudah bercerai (kawin-cerai
berulang-ulang).[20]
2. Akibat
Hukum dari Perkawinan
Akibat
Hukum dari Perkawinan terhadap Suami Istri menurut UU No.1/1974 dan KUHPdt/BW. Pasal
30 sampai dengan 34 UU No.1/1974, yang isinya:
1.
Suami istri memikul kewajiban hukum
untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
2.
Suami istri wajib saling cinta
mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-batin yang satu
kepada yang lain.
3.
Hak dan kedudukan istri seimbang dengan
suami dalah kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.
4.
Suami istri sama-sama berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
5.
Suami adalah kepala rumah tangga dan
istri adalah ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri
wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
6.
Suami istri harus mempunyai tempat
kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama. [21]
Akibat
lain yang timbul dari hubungan suami istri yang terdapat dalam KUHPdt/BW:
1.
Suami istri wajib tinggal bersama dalam
satu rumah. Istri harus tunduk patuh kepada suaminya, ia wajib mengikuti kemana
suami memandang baik untuk bertempat tinggal.
2.
Suami wajib menerima istrinya dalam satu
rumah, yang ia diami. Suami juga wajib melindungi istrinya dan member padanya
segala apa yang perlu dan berpanutan dengan kedudukan dan kemampuannya.
3.
Suami istri saling mengikatkan diri
secara timbale balik untuk memelihara dan mendidik anak-anak. [22]
Asas-asas
atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-Undang ini adalah sebagai
berikut :
Tujuan
Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
materiil.[23]
Dalam
Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu
tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta yang juga
dimuat dalam daftar pencatatan.[24]
Undang-undang
menganut asas Monogami. Hanya apabila dikehedaki oleh yang bersangkutan karena
Hukum dan Agama yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri
lebih dari satu. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon
suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.
Karena perkawinan yang dilakukan wanita di bawah umur mengakibatkan tingkat
kelahiran semakin tinggi. Oleh karena itu Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun.[25]
Karena
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
sejahtera maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit perceraian.
Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus
dilakukan di depan pengadilan.[26]
Hak
dan kedudukan seorang isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan dapat
diputuskan bersama antara suami isteri.[27]
Untuk
menjamin kepastian hukum maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dilaksanakan menurut hukum yang ada
pada saat itu maka Perkawinan tersebut dinyatakan sah menurut Hukum.[28]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkawinan
merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum dalam
hukum tertulis (hukum negara) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat).
Menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah sebagai
berikut : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pemerintah
telah mengeluarkan suatu bentuk Undang-Undang Perkawinan Nasional yang telah
lama dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia pada tanggal 2 Januari 1974,
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang kemudian demi
kelancaran pelaksanaannya dikeluarkan suatu Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan
mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara efektif pada tanggal 1
Oktober 1975.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 mengandung isi yang sangat luas, yaitu mengatur masalah
perkawinan, perceraian, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak, dan juga mengatur masalah perwalian serta mengatur masalah pembuktian
asal-usul anak.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami maupun calon isteri itu
harus masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, dengan
maksud agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir pada perceraian dan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
Maka dari itudalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah
ditentukan batas umuruntuk melangsungkan perkawinan bagi pria maupun
wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Daftar Pustaka
Slamet Abidin,
Aminuddin, Mamman Abd. Djaliel, Fiqh Munakahat. Bandung CV Pustaka Setia, 1999
Rusli SH.An R.
Tama SH, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Santika Dharma. Bandung 1974
Mohammad Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Indonesia, Bumi Aksara. Jakarta 1996
Abd. Rahman
Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Grougp, 2006
Prodjodikoro
Wirjono,Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Sumur. 1974
Reksopadoto
Wibowo, Hukum Perkawinan Nasional Jilid I, Tentang Perkawinan.
Bandung:
Rajawali Pers. 2009
Sudarsono.
Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1994
Tim
Media Focus, Undang-undang Perkawinan. Bandung: Focus Media. 2005
Ramulyo
Idris Mohammad. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.1996
[1] Slamet Abidin, Aminuddin, Maman Abd. Djaliel, Fiqih Munakahat Bandung: CV Pustaka Setia, 1999
hlm. 121
[2] Rusli,
SH. An R. Tama, SH. Perkawinan atar agama dan masalahnya, Shantika Dharma.
Bandung, hlm 10.
[3] Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional, PT Rineke cipta. Jakarta, 1991, hlm 5
[4] Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta, 1994. Hal 7
[5] Focus Media Tim, Undang-undang
Perkawinan. Focus Media. Bandung, 2005.hal 71
[6] Focus Media Tim, Undang-undang
Perkawinan. Focus Media. Bandung, 2005.hal 83
[7]Abd.
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Grougp, 2006 hlm 285
[8] Abd.
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Grougp, 2006 hlm 290
[9] Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta, 1994. Hal 48
[10] Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan
Indonesia. Sumur. Bandung, 1974. hlm. 87
[11] Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta, 1994. Hlm 35
[12]Abd.
Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Grougp, 2006 hlm 285
[13] Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan
Indonesia. Sumur. Bandung, 1974. hlm. 87
[14] Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta, 1994. Hal 46
[15] Wibowo Reksopadoto, Hukum Perkawinan Nasional
Jilid I, Tentang Perkawinan. Bandung: Rajawali Pers. 2009 hlm 38
[16] Wibowo. Reksopadoto, Hukum Perkawinan
Nasional Jilid I, Tentang Perkawinan. Bandung: Rajawali Pers. 2009 Hlm 43
[17] Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional. PT Rineka Cipta. Jakarta, 1994.Hlm 38
[18] Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Perkawinan Indonesia. Sumur, Bandung1974 hlm 95
[19] Wirjono Prodjodikoro,Hukum
Perkawinan Indonesia. Sumur. Bandung, 1974. Hlm10
[20] Wirjono Prodjodikoro Hukum
Perkawinan Indonesia Sumur, Bandung 1974 Hal
[21]
Tim
Media Focus, Undang-undang Perkawinan. Bandung: Focus Media. 2005
[22] Tim Media Focus, Undang-undang
Perkawinan. Bandung: Focus Media. 2005
[23]Wibowo
Reksopadotto, Hukum Perkawinan Nasional jilid I, tentang Perkawinan. Rajawali
Pers, Bandun. 2009, Hlm 35
[24]
Wibowo Reksopadoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid I, Tentang Perkawinan.
Rajawali Pers. Bandung. 2009. Hal 37
[25] Wirjono Prodjodikoro Hukum
Perkawinan Indonesia Sumur, Bandung 1974 hlm 37
[26] Wirjono Prodjodikoro Hukum
Perkawinan Indonesia Sumur, Bandung 1974 Hal
[27]
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1996, hal
2.
[28] Mohammad Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1996, hal 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar