BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH.
Dapat mengetahui pengertian ,dasar, pembentukan , dan
berlakunya hukum perdata . Hal ini mengingat keadaan hukum perdata yang berlaku
diindonesia , baik sebelum maupun sesudah indonesia merdeka.
Dengan demikian , pembahasan mengenai istilah dan pengertian
hukum perdata, luas lapangan ,hukum perdata material, sumber hukum perdata
,sejarah terjadinya KUHP,berlakunya KUHP di dindonesia ,sistematika hukum
perdata , subyek hukum, domisili hukum , catatan sipil ,perkawinan, harta dalam
perkawinan,putusnya perkawinan, tempat dan mengatur hukum kebendaan dan
lain-lain.
B.
RUMUSAN
MASALAH.
Kita
dapat mengetahui pengertian dan istilah hukum perdata itu seperti apa?
Apasaja
yang mengatur hukum tentang orang?
Hukum
keluarga itu seperti apa?
Dan
dapat mengetahui hukum kebendaan dan hukum perikatannya?
C.
TUJUAN.
Agar
dapat mempermudah dalam belajar mahasiswa dalam mengetahui hukum perdata.
BAB II
HUKUM PERIKATAN
A. Tempat Pengaturan Dan
Sistem Hukum Perikatan.
Tempat
Pengaturan Hukum Perikatan
Ada perbedaan mengenai tempat hukum perikatan
dalam HukumPerdata.Apabila dilihat lebih jauh dari segi sistematikanya,
ternyata hukumperdata di Indonesia mengenal dua sitematika yaitu menurut
doktrin atau ilmupengetahuan hukum dan menurut KUH Perdata.
Pembagian
menurut doktrin atau ilmu pengetahuan hukum, yaitu
a.Hukum
tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi.
b.Hukum tentang keluarga/hukum keluarga
c.Hukum tentang harta kekayaan/hukum harta kekayaan/hukum harta benda.
Hak Kekayaan Absolut
Hak Kebendaan
Hak Atas Benda-benda immateriil.
Hak Kekayaan Relatif
d.
Hukum waris.
Berdasarkan pembagian sistematika
hukum perdata di Indonesia menurut doktrin atau ilmu pengetahuan, diketahui
bahwa tempat hukum perikatan ada di bagian hukum tentang harta kekayaan/hukum
hartakekayaan/hukum harta benda.Mengenai hak-hak kekayaan yang absolut sebagian
diatur dalam Buku II KUH Perdata dan sisanya diatur diluar, didalam
undang-undang tersendiri,
sedangkan hak-hak kekayaan yang relatif mendapat
pengaturannya dalam Buku III KUH Perdata. Perlu diingat, bahwa pembagian
menurut KUH Perdata atau BW tidak sejalan
dengan pembagian menurut doktrin atau ilmu pengetahuan.
Pembagian menurut KUH Perdata yaitu :
a.Buku I tentang orang.
b.Buku II tentang benda
c.Buku III tentang perikatan
d.Buku IV tentang pembuktian dan daluwarsa.
Berdasarkan pembagian sistemtika
hukum perdata di Indonesiamenurut KUH Perdata telah jelas dimana letak hukum
perikatan yaitu padaBuku III yaitu tentang perikatan.
Hukum perikatan diatur dalam Buku
III BW. Dalam Buku III BWterdiri dari 18 bab dan tiap-tiap bab dibagi lagi
menjadi bagian-bagian yaituketentuan-ketentuan umum dan ketentuan-ketentuan
khusus. Ketentuan-ketentuan umum diatur dalam bab I, bab II, bab III, (hanya
pasal 1352 dan1353) dan bab IV. Sedangkan ketentuan-ketentuan khusus diatur
dalam bab III(kecuali pasal 1352 dan 1353) dan bab V s/d bab XVIII.
Ketentuan-ketentuankhusus ini memuat tentang perikatan atau perjanjian bernama.
Termasuk dalam ketentuan umum yaitu :
Bab I mengatur tentang perikatan pada umumnya.
Bab II mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian.
Bab
III mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-
undang.
Bab
IV mengatur tentang hapusnya perikatan.
Bagian khusus adalah
perjanjian-perjanjian khusus atau perjanjian-perjanjian bernama yang telah
diatur dalam KUH Perdata dan KUHD.Hubungan antara KUH Perdata dan KUHD dapat
diketahui dalam pasal 1KUHD.KUHD mengatur perjanjian-perjanjian khusus yang
lebih modernyang belum ada pada zaman romawi dulu, karena adanya pengaruhhubunganperdagangan
internasional yang lebih efektif.
Bagian umum tersebut di atas
merupakan asas-asas dari hukumperikatan, sedangkan bagian khusus mengatur lebih
lanjut dari asas-asas iniuntuk peristiwa-peristiwa khusus.
Pengaturan
hukum perikatan dilakukan dengan sistem ”terbuka”,artinya setiap orang boleh
mengadakan perikatan apa saja baik yang sudahditentukan namanya maupun yang
belum ditentukan namanya dalam undang-undang. Inilah yang disebut kebebasan
berkontrak.Tetapi keterbukaan itudibatasi dengan pembatasan umum, yaitu yang
diatur dalam pasal 1337 KUHPerdata.Pembatasan tersebut yaitu sebabnya harus
halal, tidak dilarang olehundang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan,
dan tidak bertentangandengan ketertiban umum. Serta dibatasi dengan pasal 1254
KUH Perdata yaitusyaratnya harus mungkin terlaksana dan harus susila
B. Sumber-Sumber Perikatan.
Sumber-sumber
Hukum Perikatan
Dari bagan di
atas dapat diketahui bahwa sumber pokok dari perikatan adalah perjanjian dan
undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapatdibagi lagi menjadi
undang-undang & perbuatan manusia dan undang-undangsaja.Sedangkan sumber
dari undang-undang dan perbuatan manusiadibagilagi menjadi perbuatan yang
melawan hukum dan perbuatan yang menurut hukum.
Pasal pertama dari Buku III
undang-undang menyebutkan tentangterjadinya perikatan-perikatan dan
mengemukakan bahwa perikatan-perikatantimbul dari persetujuan atau
undang-undang. Pasal 1233 :”Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”.
Perikatan yang berasal dari
undang-undang dibagi lagi menjadiundang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal initergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet
allen) atau dariundang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten
gevolge van’smensen toedoen).Perikatan yang timbul dari undang-undang saja
adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104
KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang
Perikat lain
dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan
kewajiban
pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan.
Di
luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas
terdapat
pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan
fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio
naturalis), legaat (hibah
wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka
hal-hal
tersebut termasuk sebagai sumber-sumber perikatan.
D.
Perikatan
Dan Unsur-Unsur Perikatan.
Unsur-
Unsur Perikatan:
Perikatan:
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih
didalam lapangan harta kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang
lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi. Sedangkan perjanjian adalah
perbuatan hukum. Unsur-unsur perikatan :
1. Hubungan hukum.
2. Harta kekayaan.
3. Pihak yang berkewajiban dan
pihak yang berhak.
4. Prestasi.
Unsur-unsur
Perikatan:
Dari
pengertian-pengertian mengenai perikatan ,maka dapat diuraikanlebih jelas
unsur-unsur yang terdapat dalam perikatan yaitu :
1.
Hubungan Hukum
Hubungan
hukum adalah hubungan yang didalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan
melekat kewajiban pada pihak lainnya.Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang
artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum.Hubungan hukum ini perlu
dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup
berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan.Pengingkaran terhadap
hubungan- hubungan tersebut tidak menimbulkan akibat hukum.
Kenyataan
hukum adalah suatu kenyataan yang menimbulkan akibat hukum yaitu terjadinya,
berubahnya, hapusnya, beralihnya hak subyektif, baik dalam bidang hukum
keluarga, hukum benda, maupun hukum perorangan.
Kelahiran
adalah kenyataan hukum sedangkan akibat hukum adalah kewajiban-kewajiban untuk
memelihara dan memberikan pendidikan; perikatan adalah akibat hukum dari
persetujuan.
Perbuatan-perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan
dengan mana orang yang melakukan perbuatan itu bermaksud untuk menimbulkan
suatu akibat hukum.
Perbuatan-perbuatan
hukum yang bukan merupakan perbuatan- perbuatan hukum. Adakalanya undang-undang
memberi akibat hukum kepada perbuatan-perbuatan, dimana orang yang melakukannya
tidak memikirkan sama sekali kepada akibat-akibat hukumnya. Pada pokoknya tidak
bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum.Perbuatan-perbuatan yang bukan
merupakan perbuatan hukum ini dibagi lagi menjadi dua yaitu perbuatan-perbuatan
menurut hukum (misalnya, perwakilan sukarela dan pembayaran tidak terutang) dan
perbuatan-perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 s/d 1380 KUH Perdata).
Peristiwa-peristiwa
hukum. Adakalanya undang-undang memberi akibat hukum pada suatu keadaan atau
peristiwa yang bukan terjadi karena perbuatan manusia : pekarangan yang
bertetangga, kelahiran, dan kematian.
2.
Kekayaan
Hukum
perikatan merupakan bagian dari Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht) dan
bagian lain dari Hukum Harta Kekayaan adalah Hukum Benda.
Untuk
menentukan bahwa suatu hubungan itu merupakan perikatan, pada mulanya para
sarjana menggunakan ukuran dapat ”dinilai dengan uang”. Suatu hubungan dianggap
dapat dinilai dengan uang, jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai
dengan uang.Akan tetapi nyatanya ukuran tersebut tidak dapat memberikan
pembatasan, karena dalam kehidupan bermasyarakat sering kali terdapat
hubungan-hubungan yang sulit untuk dinilai dengan uang, misalnya cacat badaniah
akibat perbuatan seseorang.
Jadi
kriteria ”dapat dinilai dengan uang” tidak lagi dipergunakan sebagi suatu
kriteria untuk menentukan adanya suatu perikatan. Namun, walaupun ukuran
tersebut sudah ditinggalkan, akan tetapi bukan berarti bahwa ”dapat dinilai
dengan uang” adalah tidak relevan, karena setiap perbuatan hukum yang dapat
dinilai dengan uang selalu merupakan perikatan.
3.
Pihak-pihak
Perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang tertentu yaitu kreditur dan
debitur.Para pihak pada suatu perikatan disebut subyek- subyek perikatan, yaitu
kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi.Kreditur
biasanya disebut sebagai pihak yang aktif sedangkan debitur biasanya pihak yang
pasif.Sebagai pihak yang aktif kreditur dapat melakuka tindakan-tindakan
tertentu terhadap debitur yang pasif yang tidak mau memenuhi
kewajibannya.Tindakan-tindakan kreditur dapat berupa memberi
peringatan-peringatan menggugat dimuka pengadilan dan sebagainya.
Debitur
harus selalu dikenal atau diketahui, hal ini penting karenaberkaitan dalam hal
untuk menuntut pemenuhan prestasi.
Pada
setiap perikatan sekurang-kurangnya harus ada satu orang kreditur dan
sekurang-kurangnya satu orang debitur.Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam
suatu perikatan itu terdapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang
debitur.
4.
Objek Hukum (Prestasi)
Objek
dari perikatan adalah apa yang harus dipenuhi oleh si berutang dan merupakan
hak si berpiutang. Biasanya disebut penunaian atau prestasi, yaitu debitur
berkewajiban atas suatu prestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi.Wujud
dari prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesutau dan tidak berbuat sesuatu
(Pasal 1234 BW).
Pada
perikatan untuk memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu
barang atau berkewajiban memberikan kenikmatan atas sesuatu barang, misalnya
penjual berkewajiban menyerahkan 7 barangnya atau orang yang menyewakan
berkewajiban memberikankenikmatan atas barang yang disewakan.
Pada
perikatan berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukansesuatu yang
bukan berupa memberikan sesuatu misalnya pelukis,penyanyi, penari, dll.
Pada
perikatan tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukanperbuatan tertentu
yang telah dijanjikan.Misalnya tidak mendirikanbangunan ditanah orang lain,
tidak membuat bunyi yang bising yang dapatmengganggu ketenangan orang lain,
dll.
Objek
perikatan harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu :
a. Obyeknya
harus tertentu.
Dalam
Pasal 1320 sub 3 BW menyebutkan sebagai unsur terjadinya persetujuan suatu
obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat
ditentukan.Karena perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui
sah.Sebagai contoh yaitu Pasal 1465 BW yang menetukan bahwa pada jual beli
harganya dapat ditentukan oleh pihak ketiga.Perikatan adalah tidak sah
jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan.Misalnya,
sesorang menerima tugas untuk membangun sebuah rumah tanpa disebutkan
bagaimana bentuknya dan berapa luasnya.
b. Obyeknya
harus diperbolehkan
Menurut
Pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika
obyeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika
dilarang oleh undang-undang. Pasal 23 AB menentukan bahwa semua
perbuatan-perbuatan dan persetujuan-persetujuan adalah batal jika bertentangan
dengan undang-undang yang menyangkut ketertiban umum atau kesusilaan. Di
satu pihak Pasal 23 AB lebih luas daripada Pasal-pasal 1335 dan 1337
BW, karena selain perbuatan-perbuatan mencangkup juga persetujuan
akan tetapi di lain pihak lebih sempit karena kebatalannya hanya
jika bertentangan dengan undang-undang saja. Kesimpulannya
bahwa 8 objek perikatan tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
c. Obyeknya
dapat dinilai dengan uang.
Berdasarkan
definisi-definisi yang telah dijabarkan di atas yaitu perikatan adalah
suatu hubungan hukum yang letaknya dalam lapangan harta
kekayaan 8 objek perikatan tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Berdasarkan
definisi-definisi yang telah dijabarkan di atas yaitu perikatan adalah
suatu hubungan hukum yang letaknya dalam lapangan harta kekayaan.
d. Obyeknya
harus mungkin.
Dahulu
untuk berlakunya perikatan disyaratkan juga prestasinya harusmungkin untuk
dilaksanakan.Sehubungan dengan itu dibedakan antaraketidakmungkinan obyektif
dan ketidakmungkinan subyektif. Padaketidakmungkinan obyektif tidak akan timbul
perikatan sedangkan pada ketidakmungkinan subyektif tidak menghalangi
terjadinya perikatan. Prestasi pada ketidakmungkinan obyektif tidak
dapat dilaksanakan oleh siapapun.Contoh : prestasinya berupa
menempuh jarak Semarang - Jakarta dengan mobil dalam waktu 3 jam.
Perbedaan antara ketidakmungkinan obyektif dengan ketidakmungkinan
subyektif yaitu terletak pada pemikiran bahwa dalam hal ketidakmungkinan
pada contoh pertama setiap orang mengetahui bahwa prestasi tidak mungkin
dilaksanakan dan karena kreditur tidak dapat mengharapkan pemenuhan
prestasi tersebut. Sedangkan dalam contoh kedua, ketidakmungkinan itu
hanya diketahui oleh debitur yang bersangkutan saja.
Dalam
perkembangan selanjutnya baik Pitlo maupun Asser berpendapat
bahwa adalah tidak relevan untuk mempersoalkan ketidakmungkinan subyektif
dan obyektif.Ketidakmungkinan untuk melakukan prestasi dari debitur itu
hendaknya dilihat dari sudut kreditur, yaitu apakah kreditur mengetahui
atau seharusnya mengetahui tentang ketidakmungkinan tersebut.Jika
kreditur mengetahui, maka perikatan menjadi batal dan sebaliknya,
jika kreditur tidak mengetahui debitur tetap berkewajiban
untuk melaksanakan prestasi.
E.
Jenis-
Jenis Perikatan.
JENIS-JENIS
PERIKATAN
Perikatan dapat dibedakan menurut :
1. Isi daripada prestasinya
:
Perikatan
positif dan negative.
Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya
berupa perbuatan nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu. Sedangkan pada perikatan negative
prestasinya berupa tidak berbuat sesuatu.
Perikatan
sepintas lalu dan berkelanjutan.
Adakalanya untuk pemenuhan perikatan cukup hanya
dilakukan dengan salah satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat tujuan
perikatan telah tercapai, misalnya perikatan untuk menyerahkan barang yang
dijual dan membayar harganya.
Perikatan-perikatan semacam ini disebut perikatan
sepintas lalu. Sedangkan perikatan, dimana prestasinya bersifat terus menerus
dalam jangka waktu tertentu, dinamakan perikatan berkelanjutan. Misalnya
perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan sewa menyewa atau persetujuan
kerja.
Perikatan
alternative.
Perikatan
alternative adalah suatu perikatan, dimana debitur berkewajiban melaksanakan
satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih, baik menurut pilihan debitur,
kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah
satu prestasi mengakhiri perikatan.
Menurut pasal 1272 BW, bahwa dalam perikatan alternative
debitur bebas dari kewajibannya, jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang
yang disebutkan dalam perikatan. Misalnya, A harus menyerahka kuda atau sapinya
kepada B. pasal tersebut adlaah tidak lengkap, karena hanya mengatur tentang
“memberikan sesuatu” dan yang dapat dipilih hanya diantara dua barang saja.
Kekurangan tersebut dilengkapi oleh pasal 1277 BW, yang mengatakan : asas-asas
yangs ama berlaku juga, dalam hal jika ada lebih dari dua barang yang termasuk
ke dalam perikatan yang terdiri dari berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Perikatan
menjadi murni bila :
a. Jika salah satu barang tidak
lagi merupakan objek perikatan (pasal 1274).
b. Debitur atau kreditur telah
memilih prestasi yang akan dilakukan.
c. Jika salah satu prestasi tidak
mungkin lagi dipenuhi (pasal 1275).
Perikatan
fakultatif.
Perikatan fakultatif adalah suatu perikatan yang objeknya
hanya berupa satu prestasi, dimana debitur dapat mengganti dengan prestasi
lain. Jika pada perikatan fakultatif, karena keadaan memaksa prestasi
primairnya tidak lagi merupakan objek perikatan, maka perikatannya menjadi
hapus. Berlainan halnya pada perikatan alternative, jika salah satu prestasinya
tidak lagi dapat dipenuhi karena keadaan memaksa, perkataannya menjadi murni.
Perikatan
generic dan spesifik.
Perikatan generic adalah perikatan dimana objeknya
ditentukan menurut jenis dan jumlahnya. Sedangkan perikatan spesifik adalah
perikatan yang objeknya ditentukan secara terperinci. Arti penting perbedaan
antara perikatan generic dan spesifik adalah dalam hal :
a. Resiko
Pada perikatan spesifik, sejak terjadinya perikatan
barangnya menjadi tanggungan kreditur. Jadi jika bendanya musnah karena keadaan
memaksa, maka debitur bebas dari kewajibannya untuk berprestasi (pasal 1237 dan
1444 BW).
b. Tempat pembayarannya (pasal 1393)
Pasal
1393 BW menentukan bahwa jika dalam persetujuan tidak ditetapkan tempat
pembayaran, maka pemenuhan prestasi mengenai barang tertentu berada sewaktu
persetujuan dibuat. Sedangkan pembayaran mengenai
barang-barang generic harus dilakukan ditempat kreditur.
Perikatan yang
dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung
apakah prestasinya dapat dibagi-bagi atau tidak. Pasal 1299 BW menentukan bahwa
jika hanya ada satu debitur atau satu kreditur prestasinya harus dilaksanakan
sekaligus, walaupun prestasinya dapat dibagi-bagi. Baru timbul persoalan apakah
perikatan dapat dibagi-bagi atau tidak jika para pihak atau salah satu pihak
dan pada perikatan terdiri dari satu subjek. Hal ini dapat terjadi jika debitur
atau krediturnya meninggal dan mempunyai ahli waris lebih dari satu.
Akibat daripada perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi,
adalah bahwa kreditur dapat menuntut terhadap setiap debitur atas keseluruhan
prestasi atau debitur dapat memenuhi seluruh prestasi kepada salah seorang
kreditur, dengan pengertian bahwa pemenuhan prestasi menghapuskan perikatan.
Prestasi yang tidak dapat dibagi-bagi dibedakan :
a. Menurut sifatnya
Menurut
pasal 1296 BW perikatan tidak dapat dibagi-bagi, jika objek daripada perikatan
tersebut yang berupa penyerahan sesuatu barang atau perbuatan dalam
pelaksanaannya tidak dapat dibagi-bagi.Menurut Asser’s, dalam pengertian hukum
sesuatu benda dapat dibagi-bagi jika benda tersebut tanpa mengubah hakekatnya
dan tidak mengurangi secara menyolok nilai harganya dapat dibagi-bagi dalam
bagian-bagian.
b. Menurut tujuan para pihak
Menurut
tujuannya perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi, jika maksud para pihak
bahwa prestasinya harus dilaksanakan sepenuhnya, sekalipun sebenarnya perikatan
tersebut dapat dibagi-bagi. Perikatan untuk menyerahkan hak milik
sesuatu benda menurut tujuannya tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun menurut
sifat prestasinya, dapat dibagi-bagi.
2. Subjek-subjeknya :
Perikatan
solider atau tanggung renteng.
Suatu perikatan adalah solider atau tanggung renteng,
jika berdasarkan kehendak para pihak atau ketentuan undang-undang :
a. Setiap kreditur dari dua atau
lebih kreditur-kreditur dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur,
dengan pengertian pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan debitur dari
kreditur-kreditur lainnya (tanggung renteng aktif).
b. Setiap debitur dari dua atau
lebih debitur-debitur berkewajiban terhadap kreditur atas keseluruhan prestasi.
Dengan dipenuhinya prestasi oleh salah seorang debitur, membebaskan
debitur-debitur lainnya (tanggung renteng pasif).
Tanggung
renteng terjadi karena :
a. Berdasarkan pernyataan kehendak
Menurut
pasal 1278 BW terdapat perikatan tanggung renteng aktif, jika dalam persetujuan
secara tegas dinyatakan bahwa kepada masing-masing kreditur diberikan hak untuk
menuntut pemenuhan seluruh prestasi.
b. Berdasarkan ketentuan undang-undang
Perikatan tanggung renteng yang timbul dari undang-undang
tidak banyak kita jumpai. Undang-undang hanya mengatur mengenai perikatan
tanggung renteng pasif. Ketentuan-ketentuan yang mengatur perikatan tanggung
renteng dalam BW adalah pasal 563 BW ayat 2. Mereka yang merampas dengan
kekerasan dan orang yang menyuruhnya tanggungjawab untuk seluruhnya secara
tanggung menanggung.
Akibat daripada perikatan tanggung renteng aktif
Adalah setiap kresitur berhak menuntut pemenuhan seluruh
prestasi, dengan pengertian bahwa pelunasan kepada salah satu daripadanya,
membebaskan debitur dari kewajibannya terhadap kreditur-kreditur lainnya (pasal
1278 BW). Sebaliknya debitur sebelum ia digugat, dapat memilih kepada kreditur
yang manakah ia akan memenuhi prestasinya.
Pelepasan perikatan tanggung renteng
Pelepasan sepenuhnya mengakibatkan hapusnya tanggung
renteng. Sedangkan pada pelepasan sebagian, bagi debitur-debitur yang tidak
dibebaskan dari tanggung renteng, masih tetap terikat secara tanggung renteng
atas utang yang telah dikurangi dengan bagian debitur yang telah dibebaskan
dari perikatan tanggung renteng.
Hapusnya perikatan tanggung renteng
Perikatan hapus jika debitur bersama-sama membayar
utangnya kepada kreditur atau debitur membayar kepada semua kreditur. Novasi
antara kreditur dengan para debiturnya, menghapuskan pula perikatan. Menurut
pasal 1440 BW, bahwa pembebasan utang kepada salah satu debitur dalam perikatan
tanggung renteng membebaskan para debitur-debitur lainnya.
Perikatan
principle atau accesoire.
Apabila
seorang debitur atau lebih terikat sedemikian rupa, sehingga perikatan yang
satu sampai batas tertentu tergantung kepada perikatan yang lain, maka
perikatan yang pertama disebut perikatan pokok sedangkan yang lainnya perikatan
accesoire. Misalnya perikatan utang dan borg.
Dalam satu persetujuan dapat timbul perikatan-perikatan
pokok dan accesoire, misalnya pada persetujuan jual beli, perikatan untuk
menyerahkan barang merupakan perikatan pokoknya, sedangkan kewajiban untuk
memelihara barangnya sebagai bapak rumah tangga yang baik sampai barang
tersebut diserahkan merupakan perikatan accesoire.
3. Mulai berlaku
dan berakhirnya perikatan :
Perikatan
bersyarat.
Suatu
perikatan adalah bersyarat, jika berlakunya atau hapusnya perikatan tersebut
berdasarkan persetujuan digantungkan kepada terjadi atau tidaknya suatu
peristiwa yang akan datang yang belum tentu terjadi. Dalam menentukan apakah
syarat tersebut pasti terjadi atau tidak harus didasarkan kepada pengalaman
manusia pada umumnya. Menurut ketentuan pasal 1253 BW bahwa
perikatan bersyarat dapat digolongkan ke dalam :
a. Perikatan bersyarat yang menangguhkan
Pada perikatan bersyarat yang menangguhkan, perikatan baru
berlaku setelah syaratnya dipenuhi. Misal : A akan menjual rumahnya kepada B,
jika A diangkat menjadi duta besar. Jika syarat tersebut dipenuhi (A menjadi
duta besar), maka persetujuan jual beli mulai berlaku. Jadi A harus menyerahkan rumahnya
dan B membayar harganya.
b. Perikatan bersyarat yang menghapuskan
Pada perikatan bersyarat yang menghapuskan, perikatan
hapus jika syaratnya dipenuhi. Jika perikatan telah dilaksanakan seluruhnya
atau sebagian, maka dengan dipenuhi syarat perikatan, maka :
1. Keadaan akan dikembalikan
seperti semula seolah-olah tidak terjadi perikatan.
2. Hapusnya perikatan untuk waktu
selanjutnya.
Dapat dikemukakan sebagai contoh bahwa perikatan yang
harus dikembalikan dalam keadaan semula, adalah misalnya A menjual rumahnya
kepada B dengan syarat batal jika A menjadi Duta Besar. Jika syarat tersebut
dipenuhi, maka rumah dan uang harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.
Syarat-syarat yang tidak mungkin dan
tidak susila
Menurut pasal 1254 BW, syarat yang tidak mungkin terlaksana
dan bertentangan dengan kesusilaan adalah batal. Perumusan pasal tersebut
adalah tidak tepat, karena bukan syaratnya yang batal akan tetapi perikatannya
yang digantungkan pada syarat tersebut. Syarat yang tidak mungkin harus
ditafsirkan sebagai syarat yang secara objektif tidak mungkin dipenuhi. Jika
hanya debitur tertentu saja yang tidak memenuhi syaratnya, tidak dapat
mengakibatkan perikatan batal. Misal A memberikan uang kepada B dengan syarat
jika ia melompat dari ketinggian 100 meter, adalah batal. Akan tetapi jika A
memberikan uang kepada B dengan syarat jika ia berenang dipemandian adalah sah,
sekalipun B tidak dapat berenang.
Perikatan
dengan ketentuan waktu.
Perikatan
dengan ketentuan waktu adalah perikatan yang berlaku atau hapusnya digantungkan
kepada waktu atau peristiwa tertentu yang akan terjadi dan pasti terjadi. Waktu
atau peristiwa yang telah ditentukan dalam perikatan dengan ketentuan waktu itu
pasti terjadi sekalipun belum diketahui bila akan terjadi. Jadi dalam
menentukan apakah sesuatu itu merupakan syarat atau ketentuan waktu, harus
melihat kepada maksud dari pada pihak. Perikatan dengan ketentuan waktu dapat
dibagi menjadi :
a. Ketentuan waktu yang menangguhkan
Menurut beberapa penulis ketentuan waktu yang
menanggungkan, menunda perikatan yang artinya perikatan belum ada sebelum saat
yang ditentukan terjadi. Lebih tepat kiranya apa yang telah ditentukan oleh
pasal 1268 BW bahwa perikatannya sudah ada, hanya pelaksanaannya ditunda.
Debitur tidak wajib memenuhi prestasi sebelum waktunya tiba, akan tetapi jika
debitur memenuhi prestasinya, maka ia tidak dapat menuntut kembali.
b. Ketentuan waktu yang menghapuskan
Mengenai ketentuan waktu yang menghapuskan tidak diatur
oleh masing-masing secara umum. Memegang peranan terutama dalam
perikatan-perikatan yang berkelanjutan, misalnya pasal 1570 dan pasal 1646 sub
1 BW. Dengan dipenuhi ketentuan waktunya, maka perikatan menjadi hapus. Seorang
buruh yang mengadakan ikatan kerja untuk satu tahun, setelah lewat waktu
tersebut tidak lagi berkewajiban untuk bekerja.
E. Berakhirnya Perikatan.
Hapusnya Perikatan.
Bab IV Buku III KUH Perdata mengatur tentang hapusnya
perikatanbaik yang timbul dari persetujuan maupun dari undang-undang yaitu
dalampasal 1381 KUH Perdata.
Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa ada delapan cara
hapusnya perikatan yaitu :
1.
Pembayaran
2.Penawaran
pembayaran diikuti dengan penitipan.
3.Pembaharuan utang (inovatie)
4.Perjumpaan utang (kompensasi)
5.
Percampuran utang.
6.
Pembebasan utang.
7.Musnahnya
barang yang terutang
8.Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun
dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata adalah :
9.Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
10. Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Jadi
dalam KUH Perdata ada sepuluh cara yang mengatur tentang
hapusnya
perikatan.
Bab III
Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
Abdulkadire,”hukum perdata indonesia”, Penerbit PT . Citra Adytia
Bakti,Bandung,1993.
Neltje F. Katuuk, Aspek Hukum
Dalam Bisnis, Universitas Gunadarma, Cetakan 1, 1994.
Ridwan Khairandy dkk, S.H., M.H., Pengantar
Hukum Dagang Indonesia, Yogyakarta:
Gama Media, 1999
Drs. C.S.T Kansil,
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989
Siti Soetami, SH., Pengantar Tatat Hukum Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2001.
Kansil, SH., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.
Krass, Peter (ed), The Book of Business Wisdom, John Wiley & Sons, New
York, 1998.
http://artikelilmiahlengkap.blogspot.com/2012/12/pengertian-hukum-dagang.htmlhttp://princesscard.blogspot.com/2012/04/pengertian-hukum-dagang-dan-contoh.html
http://busbonecomunty.blogspot.com/2012/11/makalah-hukum-dagang.htmlhttp://jessicaalhadhyan.blogspot.com/
http://hukumdagangdiindonesia.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar