Senin, 30 September 2019

RISIKO INVESTASI BANK ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Bank Islam sebagai lembaga intermediasi yang menjembatani antara pihak surplus dan pihak defisit tentunya rentan terhadap risiko yang timbul. Selain risiko yang sama dengan yang ada pada bank konvensional,bank islam juga menghadapi risiko yang unik terkait dengan pembiayaan dan investasi yang tidak ada pada bank konvensional. Risiko ini terkait dengan bagi hasil dalam berinvestasi di mana bank islam juga harus menanggung kerugian apabila investasi nasabah mengalami kerugian.risiko strategi dan risiko investasi. Selengkapnya akan di bahas dalam makalah ini.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana syirkah sebagai ciri khas bank islam?
2.      Bagaimana konsep dasar risiko investasi?
3.      Bagaimana bentuk risiko investasi dan mitigasinya?
4.      Bagaimana isu terkait risiko investasi pada Bank Islam?

C.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui syirkah sebagai ciri khas bank islam?
2.      Untuk mengetahui konsep dasar risiko investasi?
3.      Untuk mengetahui bentuk risiko investasi dan mitigasinya?
4.      Untuk mengetahui isu terkait risiko investasi pada Bank Islam?






BAB II
PEMBAHASAN

A.   Syirkah Sebagai Ciri Khas Bank Islam
Mengelola lembaga keuangan Syariah memang tidak boleh disamakan dengan mengelola keuangan di lembaga keuangan konvensional. Bank Syariah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk membina kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan berbagai hasil usaha antara pemilik dana (Shahibbul Mal) yang menyimpan uangnya dilembaga, selaku lembaga pengelola dana (Mudharib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha.
Bank syariah menjelaskan bahwa karakteristik sebagai lembaga intermediasi investasi dan bank komersial secara sekaligus. Prototipe kepemilikan bank syariah sama halnya dengan bank komersial, dimana para deposan tidak turut memiliki bank dan juga tidak memiliki hak suara (voting right). Dalam dialektika keuangan syariah ini bahwa sementara akad musharakah mencerminkan pemilik ekuitas, tetapi siristik rmpanan dilakukan melalui akad mudharabah. Bank syariah mempunyai kesamaan dengan lembaga intermediadi investasi, yaitu dalam hal pembagian hal profit dari hasil operasionalnya dengan para pemegang rekening investasi. Setelah membayar deposan bagian profitnya, sisa dari laba bersih dibagikan kepada para pemegang saham sebagai deviden.[1]
Model pembiayaan bagi hasil dalam bank syariah telah mengubah karakteristik resiko yang dihadapi. Return atas tabungan atau rekening investasi (deposito) menjadi satu kesatuan. Sebaaimana deposan diberi imbalan berdasarkan metode profit and loss sharing (PLS) mereka juga akan berbagi dalm risiko bisnis dari operasional bank. Karakteristik profit and loss sharing dari deposan ini melahirkan jenis risiko lainnya. Terlebih lagi, penggunaan model pembiayaan syari’ah pada sisi aset akan merubah karakteristik risiko yang tradisional.[2]

A.      Konsep Dasar Risiko Investasi
1.      Devinisi dan Cakupan Risiko Investasi
Risiko investasi adalah risiko unik yang dihadapi bank Islam. Bank konvensional tidak menghadapi risiko ini karena tidak menyalurkan pembiayaan berbasis akad bagi hasil. Pada bank Islam, pembiayaan bagi hasil dapat dilakukan dalam bentuk akad mudharabah, musyarakah, Musaqaah, muzara’ah, mukharabah, dan sebagainya.
Sementara itu musyarakah dan Mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang diperbolehkan secara syari’ah. Sebagaimana akad syirkah lainnya, keuntungan yang dihasilkan oleh pengelolaan usaha bersama tersebut dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil yang sudah disepakati, sementara kerugian yang tejadi dibagi berdasarkan proporsi modal yang disetorkan.[3]
Al Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Al Muzara’ah dan Mukharabah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.[4]
Dalam berbagai pembiayaan berbasis bagi hasil tersebut,bank islam sebagai investor ikut menanggung risiko atas kerugian pengusaha yang dibiayai tersebut.

2.      Relevansi dengan Risiko Imbal Hasil dan Risiko Lainnya
Risiko investasi bisa terjadi akibat risiko operasional yang mungkin timbul akibat kesalahan manusia, kesalahan itu disebabkan karena pelanggaran, (fraud) dan/atau kelalaian (human error) karena kurangnya informasi dan kesalahan dalam memilih debitur. Ini dapat menimbulkan kemungkinan para debitur melakukan moral hazard atau mis-management dalam pengelolaan usahanya. Hal ini mengakibatkan kinerja usahanya tidak membawa hasil seperti yang diharapkan.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut memaksa bank untuk mengabsorbsi sebagian kerugian yang seharusnya ditanggung nasabah deposan agar nasabah tidak lari. Pendistribusian imbal hasil yang menurun atau bahkan kerugian yang mungkin diterima oleh nasabah ditutupi dengan bagian keuntungan yang seharusnya diperoleh pemegang saham. Ini disebut dengan istilah displaced commercial risk. Mitigasi displaced commercial risk membuat bank mengorbankan ekuitasnya sendiriuntuk menjaga tingkat bagi hasil yang dapat diberikan nasabah membuat banyak masalah. Diantaranya adalah menurunya transparasi bank islam dalam menyajikan secara andal mengenai apa yang sebenarnya terjadi, kerugian apa yang sebenarnya terjadi kepada stakeholder bank Islam. Jika kurangnya transparasi dalam penyajian laporan keuangan,hal ini akan mengakibatkan turunnya reputasi bank Islam sebagai institusi yang memiliki corporate governance yang baik.apabila reputasi bank Islam dipertanyakan, lama-kelamaan akan mengakibatkan terjadinya penarikan dana oleh nasabah deposan dan ini akan menimbulkan risiko likuiditas.

B.       Bentuk Risiko Investasi dan Mitigasinya
1.      Akad Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek.Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
Tipe mudharabah berdasarkan keleluasaannya adalah Mudharabah Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dan Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan. Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari.[5]
a.       Faktor penentu investasi mudharabah
1)      Bank salah dalam menilai kemampuan debitur dalam mengelola usaha yang biayai bank. Mitigasi resikonya adalah:
-          Membuat devisi kusus untuk validasi data dan informasi.
-          Membuat devisi kusus yang menangani pembinaan debitur dalam hal menejerial, motivasi dan spiritual.
-          Membuat standar disasi formulir kebutuhan data/informasi yang di isi debitur
-          Konfirmasi dan validasi data atau informasi yang disampaukan debitur
-          Meminta agungan atau jaminan
-          Membuat system pemeringkatan terintegrasi dengan system seleksi dan penetapan kebijakan jangka waktu pembiayaan usaha, tatacara pengembalian dana, pembagian keuntungan, bidang usaha yang dapat di biayai dan sebagainya
-          Bekerja sama dengan lembaga pemerintah independen untuk memeringkat debitur secara berkala

2)      Debitur melakukan moral hazard
-          Bank perlu mengenal lebih jauh debiturnya dengan menerapkan prinsip KYC secara khonperensip. Jika diperlukan, mudhorobah hanya bisa dilakukan dengan debitur yang sebelumnya sudah memiliki pengalaman bertran saksi dengan bank dan memiliki track record yang baik
-          Bank perlu memastikan bahwa debitur memiliki kemampuan yang memadahi dalam menyusun laporan keuangan dan laporan aktifitas lain yang diperlukan sebagai pertanggung jawaban.
-          Bank perlu memastikan bahwa debitur sudah menggunakan dana yang diberikan bank untuk usaha atau keperluan lain yang tidak bertentangan dengan yang disepakati dengan akad.hal ini bisa dilakukan dengan menjaga hubungan baik melalui mekanisme pengawasan berkala untuk memastikan bahwa debitur sudah menjalankan usahanya dengan jujur dan evisien.
-          Bank dapat melibatkan debitur dalam menentukan nisbah bagi hasil agar debitur memiliki keterikatan morak dalam melaksanakan akad mudhorobah

3)      Kebijakan agunan perlu disesuaikan dengan tingkat kredibilitas debitur.
-          Debitur tidak menyerahkan bagi hasil sesuai perhitungan yang di sepakati
-          Bank tetap mengakui haknya sebagai “ pendapatan bagi hasil “ dan “piutang bagi hasil”
-          Bank tetap mengusahakan agar debitur menyerahkan bagi hasil bank sebagai mana bank mengusahakan pengembalian atas piutang yang lain.[6]

2.      Akad Musyarakah
Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.[7]
Dewan syariah Nasional MUI dan PSAK No. 106 mendefinisikan musyarakah sebagai  akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu ,dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan dana bahwa keuntungan dibagi berdasarkan porsi kontribusi dana.
Para mitra bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai  sebuah usaha tertentu dalam masyarakat, baik usaha yang sudah berjalan maupun yang baru, apabila salah satu mitra dapat mengembalikan dana tersebut dan bagi hasil yang telah disepakati nisbahnya secara bertahap atau sekaligus kepada mitra lain.
Investasi musyarakah  dapat dalam bentuk kas, setara kas atau aset nonkas. Musyarakah merupakan akad kerja sama di antara para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah, para mitra sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu dan bekerja bersama mengelola usaha tersebut.
Dimana modal yang ada harus digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau dipinjamkan pada pihak lain tanpa seizin mitra lainnya.
Setiap mitra harus memberi kontribusi dalam pekerjaan dan Ia menjadi wakil mitra lain juga sebagai agen bagi usaha kemitraan. Sehingga seorang mitra tidak dapat lepas tangan dari aktivitas yang di lakukan mitra lainnya dalam menjalankan aktivitas bisnis yang normal.
Dengan bergabungnya dua orang atau lebih hasil yang diperoleh diharapkan jauh lebih baik dibandingkan jika dilakukan sendiri karena di dukung oleh kemampuan akumulasi modal yang lebih besar, relasi bisnis yang lebih luas, keahlian yang lebih beragam, wawasan yang lebih luas, pengendalian yang lebih tinggi, dan sebagainya.
Apabila usaha tersebut  untung maka keuntungan akan dibagikan kepada para mitra sesuai dengan nisbah yang telah disepakati (baik persentase maupun periodenya harus secara tegas dan jelas ditentukan di dalam perjanjian), sedangkan bila rugi akan didistribusikan kepada para mitra sesuai dengan porsi modal dari setiap mitra. Hal tersebut sesuai dengan prinsip system keuangan syariah yaitu pihak-pihak yang yang terlibat dalam suatu transaksi harus bersama-sama menanggung (berbagi) risiko.
Pada dasarnya, atas modal yang ditanamkan tidak boleh ada jaminan dari mitra lainnya karena bertentangan dengan prinsip untung muncul bersama risiko (al ghunmu bi al ghurmi). Namun demikian, untuk mecegah mitra melakukan kelalaian, melakukan kesalahan yang disengaja atau melanggar perjanjian yang sudah disepakati, diperbolehkan meminta jaminan dari mitra lain atau pihak ketiga.[8]

a.       Faktor penentu dan mitigasi pada akad musyarakah
1)      Bank salah dalam menilai kemampuan debitur dalam mengelolah usaha yang dibiayai oleh bank
Mitigasi resikinya:
-          Membuat devisi kusus untuk validasi data dan informkasi
-          Membuat devisi kusus yang menangani pembinaan debitur dalam hal menejerial, motivasi dan spiritual.
-          Membuat standar disasi formulir kebutuhan data/informasi yang di isi debitur
-          Konfirmasi dan validasi data atau informasi yang disampaukan debitur
-          Membuat system pemeringkatan terintegrasi dengan system seleksi dan penetapan kebijakan jangka waktu pembiayaan usaha, tatacara pengembalian dana, pembagian keuntungan, bidang usaha yang dapat di biayai dan sebagainya
-          Bekerja sama dengan lembaga pemerintah independen untuk memeringkat debitur secara berkala

2)      Modal yang diberikan debitur dalam asset non kas berbeda dengan harga pasar
Mitigasinya
-          Mengecek harga pasar asset non kas tersebut
-          Bekerjasama dengan lembaga appraiser atau valuer independen untuk menilai asset non kas tersebut[9]

3)      Melakukan moral hazard
-          Bank perlu mengenal lebih jauh debiturnya dengan menerapkan prinsip KYC secara khonperensip. Jika diperlukan, mudhorobah hanya bisa dilakukan dengan debitur yang sebelumnya sudah memiliki pengalaman bertran saksi dengan bank dan memiliki track record yang baik
-          Bank perlu memastikan bahwa debitur memiliki kemampuan yang memadahi dalam menyusun laporan keuangan dan laporan aktifitas lain yang diperlukan sebagai pertanggung jawaban
-          Bank perlu memastikan bahwa debitur sudah menggunakan dana yang diberikan bank untuk usaha atau keperluan lain yang tidak bertentangan dengan yang disepakati dengan akad.hal ini bisa dilakukan dengan menjaga hubungan baik melalui mekanisme pengawasan berkala untuk memastikan bahwa debitur sudah menjalankan usahanya dengan jujur dan evisien.
-          Bank dapat melibatkan debitur dalam menentukan nisbah bagi hasil agar debitur memiliki keterikatan morak dalam melaksanakan akad mudhorobah
-          Kebijakan agungan perlu disesuaikan dengan tingkat kredibilitas debitur.

4)      Debitur menyalah gunakan perannya sebagai patner dalam usaha bersama mitigasi resikonya[10]
-          Meminta agungan atau jaminan
-          Kebijakan agungan perlu disesuaikan dengan tingkan kredibilitas debitur
-          Membuat kebijakan biaya apa saja yang bisa dikenakan keusaha musyarakah. Dengan demikian, debitur tidak dimungkinkan untuk membebankan usaha musyarakhah dengan biaya-biaya yang tidak bermanfaat
-          Tidak menyerahkan bagi hasil sesuai perhitungan yang di sepakati
-          Bank tetap mengakui haknya sebagai “ pendapatan bagi hasil “ dan “piutang bagi hasil”
-          Bank tetap mengusahakan agar debitur menyerahkan bagi hasil bank sebagai mana bank mengusahakan pengembalian atas piutang yang lain.[11]

C.       Beberapa Isu Terkait Risiko Investasi pada Bank Islam
1.      Dasar Bagi Hasil
Ketentuan bagi hasil adalah sebagai berikut.
a.       Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
b.      Besarnya rasio Bagi Hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh,
c.       Bagi Hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha rugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak,
d.      Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan,
e.       Tidak ada yang meragukan keabsahan Bagi Hasil.[12]
Beberapa literatur menyebutkan bahwa hasil usaha yang menjadi dasar perhitungan baggi hasil dapat mengacu pada salah satu dari beberapa jenis pendapatan yaitu pendapatan bruto, atau pendapatan netto, atau laba operasi, atau laba netto. Pada dasarnya bank boleh menggunakan prinsip bagi hasil (net revenue sharing-pendapatan netto) maupun bagi untung (profit sharing-laba netto) dalam pembagian hasil usaha dengan debiturnya.
Bagi hasil sebaiknya tidak dilakukan dengan menggunakan acuan pendapatan bruto (omzet). Hai ini di dasarkan pada pertimbangan faktor keadilan. Jik perhitungan didasarkan pada pendapatan bruto otomatis bank tidak menanggung risiko adanya peningkatan harga pokok penjualan atau beban-beban lainnya.semua ini hanya akan ditanggung oleh debitur, sementara bank hanya tinggal menikmati bagi hasil atas omzet semata oleh karena itu, kondisi yang paling ideal adalah bila bagi hasil didasarkan pada laba netto setelah dikurangi beban-beban yang ada. Dengan demikian, penganggungan risiko bersama-sama antara bank dengan debitur lebih terlihat di sini.[13]

2.      Kebijakan Profit Equalization Reserve ( PER) dan Investment Risk Reserve (IRR)
Pada dasarnya PER (Profit Equalization Reserve) dan IRR (Investment Risk Reserve) adalah sebuah Instrumen yang di gunakan untuk mengantisipasi kerugian dari asset yang diinvestasikan, baik dari sisi Bank maupun dari pemilik rekening simpanan/shaibul maal. Tujuannya adalah untuk memberikan tingkat profitabilitas/kepastian yang lebih tinggi dari nature bisnis syariah, utamanya Bank syariah yang cenderung memiliki tingkat volatilitas lebih dari daripada Bank Konvensional dikarenakan implementasi transaksi-transaksi berakad mudharabah/musyarakah. Dalam bahasa ekonomisnya adalah bahwa implementasi dari PER dan IRR ditujukan untuk membantu mengelola tingkat Displaced Commercial Risk (DCR) yang didefinisikan sebagai sebuah resiko yang muncul ketika Bank Syariah berada dalam tekanan untuk memberikan hasil (return) yang lebih tinggi kepada Investor/deposannya melebihi yang seharusnya diberikan berdasarkan kontrak investasi sebelumnya. Banyak alasan yang dikemukakan terkait isu DCR tersebut, salah satunya adalah masalah likuiditas Bank Syariah, dimana ketika bagi hasil lebih rendah dari Bank Konvensional, dikhawatirkan akan terjadi “fund flight” yang cukup besar dari Bank Syariah ke Bank Konvensional dikarenakan suku bunga konvensional lebih tinggi dibanding imbal hasil Bank Syariah, dengan demikian, likuiditas dari Bank-Bank Syariah tersebut menjadi semakin menipis.
Profit equalization reserve (PER) sendiri menurut standar The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) adalah sebagian dari pendapatan kotor dari pendapatan murabahah yang dikeluarkan/disisihkan , sebelum mengalokasikannya ke bagian Mudharib dengan tujuan untuk memberikan return/hasil yang lebih merata kepada pemilik rekening dan pemegang saham. Sedangkan Investment Risk Reserve adalah sebagian dari pendapatan Investor yang disesuaikan dengan cara mengurangi bagian dari pendapatan mudharib yang bertujuan untuk menutupi kerugian-kerugian di masa yang akan datang pada sebuah Investasi yang dibiayai dengan skema pembiayaan berbentuk/berakad bagi hasil.
Secara prinsip, pada kontrak mudharabah, semua kerugian (disebabkan oleh resiko kredit dan pasar) ditanggung oleh Investor, sedangkan profit/keuntungan dibagi antara Investor dan mudharib secara proporsional sesuai kontrak. Namun, setiap kerugian yang diakibatkan oleh “kesalahan dan kelalaian” (resiko operasional), ditanggung oleh mudharib.
Namun dengan diberlakukannya PER atau IRR, Bank Syariah dapat menjaga pembayaran kepada investor tetap berada pada level “pasar” walaupun hasil aktual dari asset yang diinvestasikan melampaui ataupun dibawah suku bunga pasar . PER yang diakumulasikan tersebut yang sebenarnya ekuitas dari investor dan pemegang saham dapat ditarik kemudian untuk meratakan imbal hasil ketika imbal hasil dari sebuah investasi menurun, begitu pula dengan akumulasi IRR, yang sebenarnya merupakan milik investor dapat digunakan untuk menutupi kerugian-kerugian yang dapat saja muncul dimasa yang akan datang. Sebagai tambahan, ketika akumulasi PER tidak mencukupi dalam memberikan imbal hasil yang “selevel” dengan suku bunga pasar, Bank Syariah dapat saja memberikan sebagian dari porsi pendapatan mereka kepada investor/depositor. Ketersediaan informasi yang dipublikasikan oleh Bank Syariah dalam hal praktek PER dan IRR sangat terbatas. Dalam sebuah analisa atas pengungkapan praktek tersebut (berdasarkan laporan tahunan 2001-2003), hanya sekitar 30% saja dari bank-bank yang disurvei, yang mengungkapkan jumlah PER dalam neraca mereka (sundararajan 2005). Kebanyakan dari Bank Sentral, menyerahkan metodologi perhitungan mudharabah, baik PER maupun IRR, ditentukan oleh kebijakan Bank-Bank Syariah itu sendiridan tidak ada persyaratan pengungkapan tertentu pengawasan atas PER / IRR, selain yang timbul dari standar akuntansi yang berlaku.[14]

3.      Dukungan IT dalam Menurunkan Fraud dan Moral Hazard pada Akad Berbasis Bagi Hasil
Fungsi teknologi informasi (IT) telah mengalami perubahan dan perkembangan pesat pada dekade terakhir ini. Fungsi IT yang semakin khusus mendorong setiap bank untuk membentuk bagian, departemen, atau unit kerja khusus tersendiri. Walaupun struktur tersebut tergantung pada berbagai factor misalnya skla bisnis dan beban kerja, tetapi unit kerja tersebut mencerminkan 2 aspek kegiatan yaitu aspek pengembangan teknologi dan aspek operasionalnya.
Fasilitas pengolahan data yang tersedia di bank saat ini merupakan hasil kemajuan teknologi dan kebutuhan untuk menjalankan operasi secara sistematis dan baik sesuai dengan aliran masuk dan keluar dana bank. Fasilitas tersebut berfungsi untuk menangani, memilih, menghitung, menyusun, melaporkan, dan mengirimkan informasi. Jadi penggunaan IT di bank dimaksud adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan data kegiatan usaha perbankan sehingga dapat memberikan hasil yang akurat, benar, tepat waktu, dan dapat menjamin kerahasiaan informasi (sesuai peraturan Bank Indonesia).[15]
Dalam pelaksanaan akad berbasis bagi hasil mudharabah dan musyarakah adalah volatilitas imbal balik yang bisa diperoleh bank yang stersnya akan didistribusikan juga ke nasabah. Volatilitas ini bisa disebabkan karena adanya factor-faktor diluar kendali debitur maupun bank ataupun karena adanya fraud atau moral hazard yang dilakukan oleh debitur. Jika hal yang kedua yang terjadi maka bank perlu bersiap instrument-instrumen pencegahan maupun pengurangan resiko yang mungkin ditimbulkannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh bank adalah dengan meningkatkan dukungan IT untuk meningkatkan kelengkapan informasi yang bisa diakses bank mengenai debiturnya termasuk bagaimana cara mereka mengelola proyek yang biayai bank. Dukungan IT dapat dilakukan dari yang termudah sampai yang terumit.IT juga dapat meminimalisir resiko yang timbul dari moral hazard dan fraud. Dukungan IT dapat melibatkan search angine dan dijaring social sampai pengadaan sisitem IT yang terintegrasi antara bank dengan debitur.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ciri bank islam adalah adanya syirkah dimana kerja sama ini berbagi risiko maupun keuntungan. Risiko disini merupakan risiko investasi. Risiko investasi melekat pada pembiayaan seperti mudharabah, musyarakah, musaqah, muzara’ah, dan mukharabah. Risiko investasi juga sangat penting untuk dimitigasi karena risiko ini berkaitan dengan risiko-risiko lain seperti risiko operasional,risiko transparansi, displaced commercial risk, risiko penarikan dana, risiko anjloknya harga saham, risiko reputasi,sampai risiko likuiditas. Beberapa isu terkait dengan risiko investasi pada bank Islam yaitu dasar perhitungan bagi hasil, kebijakan profit equalization reserve (PER) dan Investment risk reserve (IRR), serta dukungan IT dalam menurunkan fraud dan moral hazard pada akad berbasis bagi hasil.



[1] Ikhwan Abidin Basri, Manajemen Risiko Lembaga keuangan Syariah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2008), hal.  49

[2]  Ikhwan Abidin Basri, Manajemen Risiko Lembaga keuangan Syariah, Ibid., hal.  49
[3] Imam Wahyudi, Miranti Kartika Dewi, dkk, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta : Salemba Empat, 2013) hal. 176
[4] http://eprints.undip.ac.id/17332/1/FATAHULLAH.pdf, diunduh pada tanggal 27 November 2015
[5]  id.m.wikipedia.org/wiki/Mudharabah, diunduh pada 27 November 2015
[6] Imam Wahyudi, Miranti Kartika Dewi, dkk, Op.Cit., hal. 182-183
[7] id.m.wikipedia.org/wiki/Musyarakah, diunduh pada 27 November 2015

[9] Imam Wahyudi, Miranti Kartika Dewi, dkk, Op.Cit., hal. 182

[10] Imam Wahyudi, Miranti Kartika Dewi, dkk, Op.Cit., hal. 183

[11] Imam Wahyudi, Miranti Kartika Dewi, dkk, Op.Cit., hal. 184
[13] Imam Wahyudi, Miranti Kartika Dewi, dkk, Op.Cit., hal. 184-186
[15] http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/05/04/perkembangan-teknologi-komputer-di-perbankan/ , diunduh pada 27 November 2015

RISIKO STRATEGIS BANK ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan ekonomi global, khususnya dalam bidang perbankan ditandai dengan beroperasinya bank dengan prinsip syariah. Tentunya membawa peluang dan risiko dalam dunia perbankan.persaingan yang semakin ketat antara bank Islam maupun bank konvensional,perubahan lingkungan makro yang tidak menentu, tuntutan berinovasi, menuntut bank islam untuk mengelola strategi yang komprehensif. Risiko strategis yang mengikutinya pun semakin komplek.
Bank Islam sebagai lembaga intermediasi yang menjembatani antara pihak surplus dan pihak defisit tentunya rentan terhadap risiko yang timbul.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana risiko strategis bagi bank islam?
2.      Apa saja definisi dan cak upan risiko strategis?
3.      Apa saja faktor penentu risiko strategis dan mitigasinya?
4.      Bagaimana isu-isu relevan terkait risiko strategis?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui risiko strategis bagi bank islam?
2.      Untuk mengetahui definisi dan cakupan risiko strategis?
3.      Untuk mengetahui faktor penentu risiko strategis dan mitigasinya?
4.      Untuk mengetahui isu-isu relevan terkait risiko strategis?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Risiko Strategis Bank Islam
Bank, sebagaimana perusahaan komersil lainnya senantiasa dihadapkan pada persaingan, sejak awal berdirinya dan terus ada seiring berjalannya kegiatan bisnis. Untuk itu, bank memerlukan perumusan strategi yang matang dan bisa di eksekusi secara tepat untuk dapat bertahan dalam persaingan tersebut, bahkan memenangkannya.
Jika salah dalam mengidentifikasi risiko strategis sama saja menyiapkan kegagalan dalam bisnis, tidak peduli seberapa baiknya pengelolaan risiko operasional dilakukan. Dengan demikian, pengelolaan risiko strategis lebih berada ditataran manajemen puncak, sementara pengeolaan risiko operasional lebih berada dibawah tanggung jawab manajer teknis yang mengetahui kegiatan operasional sehari-hari dilapangan.[1]
B.     Definisi dan Cakupan Risiko Strategis
Risiko strategis (Strategik Risk) adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau bank tidak mematuhi/tidak melaksanakan perubahan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Pengelolaan risiko kepatuhan dilakukan melalui penerapan sistem pengendalian internal secara konsisten.
Indikasi dalam risiko strategin ini dapat dilihat dari kegagalan dalam mencapai target bisnis yang telah ditetapkan, baik target keuangan maupun non-keuangan.[2]
BI melalui PBI Nomor 13/23PBI/2011, mendefinisikan risiko strategis yaitu risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan strategis serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Risiko strategis umumnya timbul, antara lain karena: bank menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank, melakukan analisis lingkungan strategis yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat ketidaksesuaian rencana strategis (strategic plan) antar level strategis. Selain itu risiko strategis juga bisa timbul karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis, mencakup kegagalan dalam mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasar, dan perubahan kebijakan otoritas terkait. Selain itu juga disebabkan oleh faktor-faktor di atas, risiko strategis juga dapat dicuatkan oleh terjadinya perilaku para pemangku kepentingan bank, seperti nasabah, pemasok, pemegang saham, karyawan maupun publik secara umum.[3]
Sebelum membahas masalah risiko strategik, ada baiknya kita menelaah kembali apa yang dimaksud dengan manajemen strategi, yaitu serangkaian keputusan (decision) dan tindakan (action) manajerial yang akan menentukan kinerja dan kelangsungan usaha Bank dalam jangka panjang.
Langkah awal dalam manajemen strategi adalah melakukan penilaian terhadap lingkungan bisnis (environmental scanning) kemudian dilanjutkan dengan penyusunan strategi (strategi formulation). Tahap berikutnya adalah implementasi strategi (strategi implementation) dan yang terakhir adalah evaluasi dan kontrol (evaluation & control) yang mencakup seluruh tahapan. Berdasarkan hal tersebut, maka risiko strategik / stratejik dapat timbul sebagai akibat kelemahan pada tahapan perencanaan (strategy planning), implementasi (strategy implementation), evalusi (strategy evaluation) dan analisa perubahan lingkungan (enviromental analysis). Uraian dari masing-masing tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut:
1.      Tahapan Perencanaan
a.       Kesesuaian strategi bank dengan visi, misi, risk profile, risk appetite, risk tollerance dan risk bearing capacity.
b.      Strategi bank tidak hati-hati atau sangat agresif dibandingkan dengan ukuran dan kompleksitas bank.
c.       Tidak dilakukan pengkinian strategi sesuai dengan perubahan yang terjadi sehingga strategi menjadi tidak efektif dan efisien.
d.      Bank terlalu yakin dengan pengalaman sebelumnya, sehingga tidak mau melakukan inovasi sehingga strategi bank tidak flesibel.
e.       Bank lambat dalam merespon perubahan dalam kegiatan operasionalnya sehingga tidak mempertimbangkan kebutuhan untuk melakukan perubahan strategi.
2.      Tahap Implementasi:
a.       Implementasi bank tidak memadai karena tidak adanya dukungan operasional / fungsional (IT, SDM).
b.      Bank tidak memiliki SDM berpengalaman dalam mengimplementasi strateginya.
c.       Sumber daya untuk mengimplementasikan strategi tidak memadai, sehingga tidak memenuhi target yang telah ditetapkan.
3.      Tahap Evaluasi:
Bank tidak memiliki sistem monitoring untuk mengevaluasi progree dari penetapan strategi bank.
4.      Tahap Analisa Perubahan Bisnis
a.       Kelemahan bank memenuhi ekspektasi nasabah
b.      Kelemahan bank menyikapi persaingan[4]
C.    Faktor Penentu Risiko Strategis dan Mitigasinya
1.      Perubahan Peta Persaingan Bisnis
Persaingan bisnis berubah di antaranya karena adanya pemain baru yang masuk ke dalam industri atau munculnya produk substitusi baru.
Faktor Penentu Risiko:
a.       Adanya bank Islam baru yang masuk kedalam industri.
b.      Munculnya produk substitusi baru (contoh: e-banking adalah substitusi dati layanan perbankan manual; Islamic kredit card banyak dianggap merupaka substitusi dari debit card, dan sebagainya).
Alternatif Mitigasi Risiko:
a.       Masuknya bank Islam baru dalam industri bisa dipandang sebagai suatu rahmat bahwa bank-bank ini akan lebih “meramaikan” geliat keuangan islami yang ada. Namun, fenomena ini pun perlu ditanggapi dari kacamata bisnis. Jangan pernah sekalipun menganggap remeh para pemain baru yang masuk. Bank perlu membentuk suatu task force khusus yang meneliti seluk-beluk mengenai pemain baru ini, lalu merekomendasikan bagaimana langkah terbaik untuk dapat berkompetisi secara sehat dengan pemain baru ini.
b.      Pemain baru jangan selalu dianggap sebagai musuh. Bisa saja mereka dijadikan partner dalam berbisnis, sehingga praktik co-opetion dan bukan pure competition-lah yang dilakukan.
c.       Apa pun produk baru yang muncul, bank Islam harus berpegang teguh pada prinsip kepatuhan terhadap nilai-nilai Islam. Jika produk baru yang ditawarkan bank Islam lain dianggap tidak sesuai dengan visi/misi bank, lebih baik untuk tidak ikut-ikutan pada produk baru tersebut.
d.      Perlunya membentuk satu tim komunikasi yang dapat menjelaskan keunggulan produk yang dimiliki bank saat ini. Misalnya: jika bank tidak mau mengeluarkan islamic credit card karena kontroversinya, maka bank bisa mengomunikasikan bahwa debit card atau setidaknya charge card adalah lebih nyaman dan damai dihati, bank juga bisa membuat semacam brosur edukasi financial planning yang didalamnya menjelaskan penggunaan kartu kredit yang tidak begitu direkomendasikan, dan sebagainya.
e.       Membentuk divisi pengembangan produk dan membekalinya dengan pelatihan yang berkesinambungan dan informasi update mengenai preferensi layanan nasabah.
2.      Kurang Tepatnya Perumusan Strategi
Perumusan strategi yang kurang tepat amat krusial dampaknya terhadap terjadinya risiko strategis.

Faktor Penentu Risiko:
a.       Strategi tidak sejalan dengan visi/misi bank.
b.      Analisis lingkungan strategis yang tidak komprehensif.
c.       Ketidaksesuian rencana strategis (strategic plan) antarlevel strategi.
Alternatif Mitigasi Risiko:
a.       Melakukan monitoring atas implementasi visi dan misi secara berkala untuk memastikan bahwa strategis bisnis dan capaian aktual selaras dengan visi dan misi yang ada.
b.      Menginternalisasikan visi dan misi yang ada dalam bentuk berbagai media komunikasi, seperti acara bersama, poster, video, dan sebagainya.
c.       Membentuk divisi khusus yang menangani penyusunan strategi perusahaan. Divisi ini bisa bekerja sama dengan konsultan, namun harus tetap mengambil peran utama dalam pengambila keputusan atas rumusan strategi yang akan dipilih.
d.      Menyusun rencana A, B, C dan seterusnya berdasarkan analisis berbagai skenario yang mungkin timbul di lingkungan. Hal ini membuat bank lebih fleksibel dalam menjalankan strateginya karena sudah mengenal betul tentang kondisi yang akan dijalaninya.
e.       Meningkatkan koordinasi dan komunikasi antar level strategis agar strategi yang akan diambil tidak menimbulkan konflik antarlevel yang satu dengan lainnya.
f.       Menginternalisasikan tujuan bersama yang akan diraih untuk menghindari sifat mementingkan diri sendiri/egosentris antar level strategis.
3.      Tuntutan Berinovasi
Perubahan lingkungan bisnis yang pesat apalagi diakibatkan oleh adanya kemajuan teknologi yang begitu cepat memaksa bank untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Salah satu perubahan besar dalam proses bisnis perbankan mungkin bisa dinisbatkan pada hadirnya anjungan tunai mandiri (ATM). Bahkan, jumlah ATM (termasuk faktor aksesibilitas lain seperti lokasi bank dan jumlah cabang) menjadi faktor kunci bagi konsumen ketika memilih sebuah bank.
Inovasi juga bisa dilakukan atan proses bisnis suatu bank. Saat ini, aplikasi sebagai nasabah funding maupun financing masih dilakukan secara manual. Namun, beberapa bank sudah mulai memperkenalkan aplikasi elektronik. Dengan demikian, nasabah tidak perlu menghabiskan waktunya terlalu lama di bank untuk mengisi dokumen aplikasinya. Untuk menjadi nasabah funding dan financing, mereka bisa mengisi terlebih dahulu data-data yang diperlukan untuk mengunggah dokumen yang diperlukan. Setelah itu, mereka bisa langsung mencetak bukti pengisian aplikasi dan membawanya ke bank untuk diproses lebih lanjut. Dengan proses bisnis seperti ini, waktu nasabah dan karyawan bank bisa menjadi lebih efisien. Tanpa semua inovasi tersebut di zaman seperti ini akan membawa tantangan tersendiri bagi bank dalam melayani nasabahnya.
Faktor Penentu Risiko:
a.      Kurangnya penelitian & pengembangan dan tidak adanya perbaikan dalam proses bisnis.
b.      Kurang adaptif terhadap kemajuan teknologi.
Alternatif Mitigasi Risiko:
a.       Membentuk divisi khusus mengenai R&D, atau bisa juga mengintegrasikannya dengan divisi pengembangan produk.
b.      Berlangganan media massa yang relevan atau database perbankan Islam yang ada agar mampu mendapatkan informasi terbaru mengenai ekspetasi publik terhadap bank.
c.       Mengadakan kompetisi bisnis antarkaryawan untuk meningkatkan kemampuan R&D internal bank.
d.      Mengembangkan sendiri fasilitas-fasilitas teknologi yang diperlukan.
e.       Bekerja sama dengan pihak konsultan IT untuk mengembangkan fasilitas tersebut.
f.       Bekerja sama dengan bank lain untuk dapat menjalankan fasilitas berbasis teknologi secara bersama. Contoh: ATM bersama.


4.      Perubahan Lingkungan Makro
Bank Islam di indonesia tumbuh di duall banking system yang pasti secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi makro indonesia. Oleh karenannya, semua perubahan yang terjadi dalam indikator ekonomi makro, kebijakan pemerintah maupun otoritas perbankan, termasuk di mulainya era kerja sama regional (seperti MEA, APEC, AFTA dan sebagainya) juga akan berpengaruh terhadap strategi yang harus di siapkan bank Islam.
Contoh perubahan strategi yang timbul akibat perubahan kebijakan pemerintah mungkin bisa kita lihat saat pemerintah memutuskan untuk melakukan amandemen terhadap undang-undang perpajakan. Amandemen undang-undang ini salah satunya menegaskan diberlakukannya penghapusan pajak ganda atas transaksi murabahah. Hal ini sedikit-banyak berpengaruh pada lebih leluasanya bank islam menyalurkan pembiayaan dalam bentuk akad murabahah.
5.      Perubahan Perilaku Pemangku Kepentingan
Berbagai perubahan di dunia memengaruhi perubahan perilaku para pemangku kepentinga bank, seperti nasabah, pemasok, pemegang saham, dan karyawan. Semua fenomena ini tentunya tidak boleh dianggap remeh oleh manajemen bank. Salah satu caranya bisa dengan penyampaian informasi secara simetris melalui jalur-jalur komunikasi yang kini banyak digunakan. Maka informasi tersampaikan dengan baik, maka suatu bank dapat mengelola perubahan perilaku dan sikap para pemangku kepentingan.
D.    Isu-Isu Relevan Terkait Risiko Strategis
1.      Menghindari Terjadinya Persaingan tidak Sehat Antarbank Islam
Esensi persaingan sebenarnya adalah suatu strategi, kreasi dan seni dengan motif yang positif. Oleh sebab itu kemasan persaingan harus elegan dengan mengacu kepada persaingan yang sehat. Sangat pasti para bankir masih mempunyai kreasi untuk memenangkan persaingan secara sehat dan bermotif positif karena dari situlah sebenarnya kualitas bankir akan dinilai.

2.      Risiko Reputasi pada Bank Islam
Risiko reputasi  adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder (Regulator, nasabah, masyarakat, manajemen bank dan pegawai) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank. Diantara risiko yang dihadapi bank, risiko reputasi merupakan risiko yang memiliki dampak paling signifikan dan dapat mempengaruhi keberlangsungan usaha bank.
Perlu digaris bawahi, persepsi negatif yang menjadi sumber risiko reputasi dapat timbul dari hal yang tidak secara nyata terjadi atau hanya sekedar rumor. Rumor tentang kerugian yang dialami suatu bank, jika tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya kekhawatiran berlebih dari nasabah dan dalam skala yang lebih luas dapat mengakibatkan timbulnya penarikan dana secara besar-besaran (‘bank rush’) dari sistem perbankan. Mengembalikan reputasi tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar dan waktu yang cukup. Hal tersebut di atas menjadi landasan mengapa bank perlu mengelola risiko reputasi.
Risiko reputasi dapat timbul akibat faktor internal maupun eksternal bank. Kinerja industri perbankan secara umum dan atau terjadinya krisis keuangan (un-controllable oleh bank)  merupakan area regulator.  Sumber risiko internal dan langkah mitigasi yang dilakukan bank merupakan area yang wajib dikelola oleh bank melalui penerapan manajemen risiko reputasi.
Adapun dampak yang timbul dari risiko reputasi dapat diuraikan sebagai berikut: Peningkatan cost of funds (CoF), Kegagalan pencapaian strategi dan Rencana Bisnis Bank, Kehilangan SDM berkualitas, Kehilangan nasabah maupun potensi nasabah, Penurunan rating bank oleh lembaga bank. [5]


BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Risiko strategis adalah risiko yang terjadi akibat dari ketidakpastian dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusanstrategis serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Risiko strategis sangat penting untuk dimitigasi, factor-faktor yang menentukan risiko strategis adalah perubahan peta persaingan bisnis, kurang tepatnya perumusan strategi, tuntutan berinovasi,perubahan lingkungan makro, serta perubahan perilaku pemangku kepentingan. Isu-isu relevan yang terkait dengan risiko strategis harus diperhatikan, seperti menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat antar bank Islam maupun dengan bank konvensional, serta perlu memperhatikan risiko investasi, dimana risiko ini jugamerupakan salah satu indicator terjadinya risiko strategis.


DAFTAR PUSTAKA

Wahyudi. Imam. Kartika. Miranti. Dewi. Dkk. 2013. Manajemen Risiko Bank Islam. Jakarta : Salemba Empat.
Karim. Adiwarman. 2010. Bank Islam: Analisis Fiqih dan keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Irham. Fahmi. Manajemen Resiko Teori, Kasus, dan Solusi. Bandung: Alfabeta. 2010.


[1] Imam Wahyudi, Miranti Kartika Dewi, dkk, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta : Salemba Empat, 2013), hal. 169
[2] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 277.
[3] Ibid., Imam Wahyudi, Miranti Kartika Dewi, dkk, Manajemen Risiko Bank Islam.
[4] Fahmi Irham, Manajemen Resiko Teori, Kasus, dan Solusi, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 174
[5] Ibid., Imam Wahyudi, Miranti Kartika Dewi, dkk, Manajemen Risiko Bank Islam.