BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bank Islam
sebagai lembaga intermediasi yang menjembatani antara pihak surplus dan pihak
defisit tentunya rentan terhadap risiko yang timbul. Selain risiko yang sama
dengan yang ada pada bank konvensional,bank islam juga menghadapi risiko yang
unik terkait dengan pembiayaan dan investasi yang tidak ada pada bank
konvensional. Risiko ini terkait dengan bagi hasil dalam berinvestasi di mana
bank islam juga harus menanggung kerugian apabila investasi nasabah mengalami
kerugian.risiko strategi dan risiko investasi. Selengkapnya akan di bahas dalam
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
syirkah sebagai ciri khas bank islam?
2.
Bagaimana
konsep dasar risiko investasi?
3.
Bagaimana
bentuk risiko investasi dan mitigasinya?
4.
Bagaimana isu
terkait risiko investasi pada Bank Islam?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui syirkah sebagai ciri khas bank islam?
2.
Untuk
mengetahui konsep dasar risiko investasi?
3.
Untuk
mengetahui bentuk risiko investasi dan mitigasinya?
4.
Untuk
mengetahui isu terkait risiko investasi pada Bank Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syirkah Sebagai Ciri
Khas Bank Islam
Mengelola lembaga keuangan Syariah memang tidak boleh disamakan
dengan mengelola keuangan di lembaga keuangan konvensional. Bank Syariah dengan
sistem bagi hasil dirancang untuk membina kebersamaan dalam menanggung resiko
usaha dan berbagai hasil usaha antara pemilik dana (Shahibbul Mal) yang
menyimpan uangnya dilembaga, selaku lembaga pengelola dana (Mudharib),
dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau
pengelola usaha.
Bank syariah menjelaskan bahwa karakteristik sebagai lembaga
intermediasi investasi dan bank komersial secara sekaligus. Prototipe
kepemilikan bank syariah sama halnya dengan bank komersial, dimana para deposan
tidak turut memiliki bank dan juga tidak memiliki hak suara (voting right).
Dalam dialektika keuangan syariah ini bahwa sementara akad musharakah
mencerminkan pemilik ekuitas, tetapi siristik rmpanan dilakukan melalui akad
mudharabah. Bank syariah mempunyai kesamaan dengan lembaga intermediadi
investasi, yaitu dalam hal pembagian hal profit dari hasil operasionalnya
dengan para pemegang rekening investasi. Setelah membayar deposan bagian
profitnya, sisa dari laba bersih dibagikan kepada para pemegang saham sebagai
deviden.[1]
Model pembiayaan bagi hasil dalam bank syariah telah mengubah
karakteristik resiko yang dihadapi. Return atas tabungan atau rekening
investasi (deposito) menjadi satu kesatuan. Sebaaimana deposan diberi imbalan
berdasarkan metode profit and loss sharing (PLS) mereka juga akan
berbagi dalm risiko bisnis dari operasional bank. Karakteristik profit and
loss sharing dari deposan ini melahirkan jenis risiko lainnya. Terlebih
lagi, penggunaan model pembiayaan syari’ah pada sisi aset akan merubah
karakteristik risiko yang tradisional.[2]
A.
Konsep Dasar
Risiko Investasi
1.
Devinisi dan
Cakupan Risiko Investasi
Risiko investasi adalah risiko unik yang dihadapi bank Islam. Bank
konvensional tidak menghadapi risiko ini karena tidak menyalurkan pembiayaan
berbasis akad bagi hasil. Pada bank Islam, pembiayaan bagi hasil dapat
dilakukan dalam bentuk akad mudharabah, musyarakah, Musaqaah, muzara’ah,
mukharabah, dan sebagainya.
Sementara itu musyarakah dan Mudharabah adalah akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang
diperbolehkan secara syari’ah. Sebagaimana akad syirkah lainnya, keuntungan
yang dihasilkan oleh pengelolaan usaha bersama tersebut dibagi berdasarkan
nisbah bagi hasil yang sudah disepakati, sementara kerugian yang tejadi dibagi
berdasarkan proporsi modal yang disetorkan.[3]
Al Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana
si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai
imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Al Muzara’ah dan Mukharabah adalah kerja sama pengelolaan pertanian
antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan
pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan
bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.[4]
Dalam berbagai pembiayaan berbasis bagi hasil tersebut,bank islam
sebagai investor ikut menanggung risiko atas kerugian pengusaha yang dibiayai
tersebut.
2.
Relevansi
dengan Risiko Imbal Hasil dan Risiko Lainnya
Risiko investasi bisa terjadi akibat risiko operasional yang
mungkin timbul akibat kesalahan manusia, kesalahan itu disebabkan karena
pelanggaran, (fraud) dan/atau kelalaian (human error) karena
kurangnya informasi dan kesalahan dalam memilih debitur. Ini dapat menimbulkan
kemungkinan para debitur melakukan moral hazard atau mis-management dalam
pengelolaan usahanya. Hal ini mengakibatkan kinerja usahanya tidak membawa
hasil seperti yang diharapkan.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut memaksa bank untuk mengabsorbsi
sebagian kerugian yang seharusnya ditanggung nasabah deposan agar nasabah tidak
lari. Pendistribusian imbal hasil yang menurun atau bahkan kerugian yang
mungkin diterima oleh nasabah ditutupi dengan bagian keuntungan yang seharusnya
diperoleh pemegang saham. Ini disebut dengan istilah displaced commercial
risk. Mitigasi displaced commercial risk membuat bank mengorbankan
ekuitasnya sendiriuntuk menjaga tingkat bagi hasil yang dapat diberikan nasabah
membuat banyak masalah. Diantaranya adalah menurunya transparasi bank islam
dalam menyajikan secara andal mengenai apa yang sebenarnya terjadi, kerugian
apa yang sebenarnya terjadi kepada stakeholder bank Islam. Jika kurangnya
transparasi dalam penyajian laporan keuangan,hal ini akan mengakibatkan
turunnya reputasi bank Islam sebagai institusi yang memiliki corporate
governance yang baik.apabila reputasi bank Islam dipertanyakan, lama-kelamaan
akan mengakibatkan terjadinya penarikan dana oleh nasabah deposan dan ini akan
menimbulkan risiko likuiditas.
B.
Bentuk Risiko
Investasi dan Mitigasinya
1.
Akad Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di
mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada
pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini
menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal
dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul
maal dalam manajemen proyek.Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak
hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan
tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan
untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
Tipe mudharabah berdasarkan keleluasaannya adalah Mudharabah
Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib)
untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan
menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan
pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan
pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu,
tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko Keuntungan
dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dan Kerugian
finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan
atas usaha yang telah dilakukan. Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri
pengelolaan bisnis sehari-hari.[5]
a.
Faktor penentu
investasi mudharabah
1)
Bank salah
dalam menilai kemampuan debitur dalam mengelola usaha yang biayai bank.
Mitigasi resikonya adalah:
-
Membuat devisi
kusus untuk validasi data dan informasi.
-
Membuat devisi
kusus yang menangani pembinaan debitur dalam hal menejerial, motivasi dan
spiritual.
-
Membuat standar
disasi formulir kebutuhan data/informasi yang di isi debitur
-
Konfirmasi dan validasi
data atau informasi yang disampaukan debitur
-
Meminta agungan
atau jaminan
-
Membuat system
pemeringkatan terintegrasi dengan system seleksi dan penetapan kebijakan jangka
waktu pembiayaan usaha, tatacara pengembalian dana, pembagian keuntungan, bidang
usaha yang dapat di biayai dan sebagainya
-
Bekerja sama
dengan lembaga pemerintah independen untuk memeringkat debitur secara berkala
2)
Debitur
melakukan moral hazard
-
Bank perlu
mengenal lebih jauh debiturnya dengan menerapkan prinsip KYC secara khonperensip.
Jika diperlukan, mudhorobah hanya bisa dilakukan dengan debitur yang sebelumnya
sudah memiliki pengalaman bertran saksi dengan bank dan memiliki track
record yang baik
-
Bank perlu
memastikan bahwa debitur memiliki kemampuan yang memadahi dalam menyusun
laporan keuangan dan laporan aktifitas lain yang diperlukan sebagai pertanggung
jawaban.
-
Bank perlu
memastikan bahwa debitur sudah menggunakan dana yang diberikan bank untuk usaha
atau keperluan lain yang tidak bertentangan dengan yang disepakati dengan akad.hal
ini bisa dilakukan dengan menjaga hubungan baik melalui mekanisme pengawasan
berkala untuk memastikan bahwa debitur sudah menjalankan usahanya dengan jujur
dan evisien.
-
Bank dapat
melibatkan debitur dalam menentukan nisbah bagi hasil agar debitur memiliki
keterikatan morak dalam melaksanakan akad mudhorobah
3)
Kebijakan
agunan perlu disesuaikan dengan tingkat kredibilitas debitur.
-
Debitur tidak
menyerahkan bagi hasil sesuai perhitungan yang di sepakati
-
Bank tetap
mengakui haknya sebagai “ pendapatan bagi hasil “ dan “piutang bagi hasil”
-
Bank tetap
mengusahakan agar debitur menyerahkan bagi hasil bank sebagai mana bank
mengusahakan pengembalian atas piutang yang lain.[6]
2.
Akad Musyarakah
Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah
bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan
pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak.
Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan
dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya
keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang
mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.[7]
Dewan syariah Nasional MUI dan PSAK No. 106 mendefinisikan
musyarakah sebagai akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu ,dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan dana bahwa keuntungan dibagi
berdasarkan porsi kontribusi dana.
Para mitra bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai sebuah usaha tertentu dalam masyarakat, baik
usaha yang sudah berjalan maupun yang baru, apabila salah satu mitra dapat
mengembalikan dana tersebut dan bagi hasil yang telah disepakati nisbahnya
secara bertahap atau sekaligus kepada mitra lain.
Investasi musyarakah dapat
dalam bentuk kas, setara kas atau aset nonkas. Musyarakah merupakan akad kerja
sama di antara para pemilik modal yang mencampurkan modal mereka dengan tujuan
mencari keuntungan. Dalam musyarakah, para mitra sama-sama menyediakan modal
untuk membiayai suatu usaha tertentu dan bekerja bersama mengelola usaha
tersebut.
Dimana modal yang ada harus digunakan dalam rangka mencapai tujuan
yang telah ditetapkan bersama sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan
pribadi atau dipinjamkan pada pihak lain tanpa seizin mitra lainnya.
Setiap mitra harus memberi kontribusi dalam pekerjaan dan Ia
menjadi wakil mitra lain juga sebagai agen bagi usaha kemitraan. Sehingga seorang
mitra tidak dapat lepas tangan dari aktivitas yang di lakukan mitra lainnya
dalam menjalankan aktivitas bisnis yang normal.
Dengan bergabungnya dua orang atau lebih hasil yang diperoleh
diharapkan jauh lebih baik dibandingkan jika dilakukan sendiri karena di dukung
oleh kemampuan akumulasi modal yang lebih besar, relasi bisnis yang lebih luas,
keahlian yang lebih beragam, wawasan yang lebih luas, pengendalian yang lebih
tinggi, dan sebagainya.
Apabila usaha tersebut
untung maka keuntungan akan dibagikan kepada para mitra sesuai dengan
nisbah yang telah disepakati (baik persentase maupun periodenya harus secara
tegas dan jelas ditentukan di dalam perjanjian), sedangkan bila rugi akan
didistribusikan kepada para mitra sesuai dengan porsi modal dari setiap mitra.
Hal tersebut sesuai dengan prinsip system keuangan syariah yaitu pihak-pihak
yang yang terlibat dalam suatu transaksi harus bersama-sama menanggung
(berbagi) risiko.
Pada dasarnya, atas modal yang ditanamkan tidak boleh ada jaminan
dari mitra lainnya karena bertentangan dengan prinsip untung muncul bersama
risiko (al ghunmu bi al ghurmi). Namun demikian, untuk mecegah mitra
melakukan kelalaian, melakukan kesalahan yang disengaja atau melanggar
perjanjian yang sudah disepakati, diperbolehkan meminta jaminan dari mitra lain
atau pihak ketiga.[8]
a.
Faktor penentu
dan mitigasi pada akad musyarakah
1)
Bank salah
dalam menilai kemampuan debitur dalam mengelolah usaha yang dibiayai oleh bank
Mitigasi resikinya:
-
Membuat devisi
kusus untuk validasi data dan informkasi
-
Membuat devisi
kusus yang menangani pembinaan debitur dalam hal menejerial, motivasi dan
spiritual.
-
Membuat standar
disasi formulir kebutuhan data/informasi yang di isi debitur
-
Konfirmasi dan
validasi data atau informasi yang disampaukan debitur
-
Membuat system
pemeringkatan terintegrasi dengan system seleksi dan penetapan kebijakan jangka
waktu pembiayaan usaha, tatacara pengembalian dana, pembagian keuntungan,
bidang usaha yang dapat di biayai dan sebagainya
-
Bekerja sama
dengan lembaga pemerintah independen untuk memeringkat debitur secara berkala
2)
Modal yang
diberikan debitur dalam asset non kas berbeda dengan harga pasar
Mitigasinya
-
Mengecek harga
pasar asset non kas tersebut
-
Bekerjasama
dengan lembaga appraiser atau valuer independen untuk menilai
asset non kas tersebut[9]
3)
Melakukan moral
hazard
-
Bank perlu
mengenal lebih jauh debiturnya dengan menerapkan prinsip KYC secara
khonperensip. Jika diperlukan, mudhorobah hanya bisa dilakukan dengan debitur
yang sebelumnya sudah memiliki pengalaman bertran saksi dengan bank dan
memiliki track record yang baik
-
Bank perlu
memastikan bahwa debitur memiliki kemampuan yang memadahi dalam menyusun
laporan keuangan dan laporan aktifitas lain yang diperlukan sebagai pertanggung
jawaban
-
Bank perlu
memastikan bahwa debitur sudah menggunakan dana yang diberikan bank untuk usaha
atau keperluan lain yang tidak bertentangan dengan yang disepakati dengan
akad.hal ini bisa dilakukan dengan menjaga hubungan baik melalui mekanisme
pengawasan berkala untuk memastikan bahwa debitur sudah menjalankan usahanya
dengan jujur dan evisien.
-
Bank dapat
melibatkan debitur dalam menentukan nisbah bagi hasil agar debitur memiliki
keterikatan morak dalam melaksanakan akad mudhorobah
-
Kebijakan
agungan perlu disesuaikan dengan tingkat kredibilitas debitur.
4)
Debitur
menyalah gunakan perannya sebagai patner dalam usaha bersama mitigasi resikonya[10]
-
Meminta agungan
atau jaminan
-
Kebijakan
agungan perlu disesuaikan dengan tingkan kredibilitas debitur
-
Membuat
kebijakan biaya apa saja yang bisa dikenakan keusaha musyarakah. Dengan
demikian, debitur tidak dimungkinkan untuk membebankan usaha musyarakhah dengan
biaya-biaya yang tidak bermanfaat
-
Tidak
menyerahkan bagi hasil sesuai perhitungan yang di sepakati
-
Bank tetap
mengakui haknya sebagai “ pendapatan bagi hasil “ dan “piutang bagi hasil”
-
Bank tetap
mengusahakan agar debitur menyerahkan bagi hasil bank sebagai mana bank
mengusahakan pengembalian atas piutang yang lain.[11]
C.
Beberapa Isu
Terkait Risiko Investasi pada Bank Islam
1.
Dasar Bagi Hasil
Ketentuan bagi hasil adalah sebagai berikut.
a.
Penentuan
besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung rugi
b.
Besarnya rasio
Bagi Hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh,
c.
Bagi Hasil bergantung
pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha rugi, kerugian akan
ditanggung bersama oleh kedua belah pihak,
d.
Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan,
e.
Tidak ada yang
meragukan keabsahan Bagi Hasil.[12]
Beberapa literatur menyebutkan bahwa hasil usaha yang menjadi dasar
perhitungan baggi hasil dapat mengacu pada salah satu dari beberapa jenis
pendapatan yaitu pendapatan bruto, atau pendapatan netto, atau laba operasi,
atau laba netto. Pada dasarnya bank boleh menggunakan prinsip bagi hasil (net
revenue sharing-pendapatan netto) maupun bagi untung (profit sharing-laba
netto) dalam pembagian hasil usaha dengan debiturnya.
Bagi hasil sebaiknya tidak dilakukan dengan menggunakan acuan
pendapatan bruto (omzet). Hai ini di dasarkan pada pertimbangan faktor
keadilan. Jik perhitungan didasarkan pada pendapatan bruto otomatis bank tidak
menanggung risiko adanya peningkatan harga pokok penjualan atau beban-beban
lainnya.semua ini hanya akan ditanggung oleh debitur, sementara bank hanya
tinggal menikmati bagi hasil atas omzet semata oleh karena itu, kondisi yang
paling ideal adalah bila bagi hasil didasarkan pada laba netto setelah
dikurangi beban-beban yang ada. Dengan demikian, penganggungan risiko
bersama-sama antara bank dengan debitur lebih terlihat di sini.[13]
2.
Kebijakan Profit
Equalization Reserve ( PER) dan Investment Risk Reserve (IRR)
Pada dasarnya PER (Profit Equalization Reserve) dan IRR (Investment
Risk Reserve) adalah sebuah Instrumen yang di gunakan untuk mengantisipasi
kerugian dari asset yang diinvestasikan, baik dari sisi Bank maupun dari
pemilik rekening simpanan/shaibul maal. Tujuannya adalah untuk memberikan
tingkat profitabilitas/kepastian yang lebih tinggi dari nature bisnis syariah,
utamanya Bank syariah yang cenderung memiliki tingkat volatilitas lebih dari
daripada Bank Konvensional dikarenakan implementasi transaksi-transaksi berakad
mudharabah/musyarakah. Dalam bahasa ekonomisnya adalah bahwa implementasi dari
PER dan IRR ditujukan untuk membantu mengelola tingkat Displaced Commercial
Risk (DCR) yang didefinisikan sebagai sebuah resiko yang muncul ketika Bank
Syariah berada dalam tekanan untuk memberikan hasil (return) yang lebih
tinggi kepada Investor/deposannya melebihi yang seharusnya diberikan
berdasarkan kontrak investasi sebelumnya. Banyak alasan yang dikemukakan
terkait isu DCR tersebut, salah satunya adalah masalah likuiditas Bank Syariah,
dimana ketika bagi hasil lebih rendah dari Bank Konvensional, dikhawatirkan
akan terjadi “fund flight” yang cukup besar dari Bank Syariah ke Bank
Konvensional dikarenakan suku bunga konvensional lebih tinggi dibanding imbal
hasil Bank Syariah, dengan demikian, likuiditas dari Bank-Bank Syariah tersebut
menjadi semakin menipis.
Profit equalization reserve
(PER) sendiri menurut standar The Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institutions (AAOIFI) adalah sebagian dari pendapatan
kotor dari pendapatan murabahah yang dikeluarkan/disisihkan , sebelum
mengalokasikannya ke bagian Mudharib dengan tujuan untuk memberikan return/hasil
yang lebih merata kepada pemilik rekening dan pemegang saham. Sedangkan Investment
Risk Reserve adalah sebagian dari pendapatan Investor yang disesuaikan
dengan cara mengurangi bagian dari pendapatan mudharib yang bertujuan untuk
menutupi kerugian-kerugian di masa yang akan datang pada sebuah Investasi yang
dibiayai dengan skema pembiayaan berbentuk/berakad bagi hasil.
Secara prinsip, pada kontrak mudharabah, semua kerugian (disebabkan
oleh resiko kredit dan pasar) ditanggung oleh Investor, sedangkan
profit/keuntungan dibagi antara Investor dan mudharib secara proporsional
sesuai kontrak. Namun, setiap kerugian yang diakibatkan oleh “kesalahan dan
kelalaian” (resiko operasional), ditanggung oleh mudharib.
Namun dengan diberlakukannya PER atau IRR, Bank Syariah dapat
menjaga pembayaran kepada investor tetap berada pada level “pasar” walaupun
hasil aktual dari asset yang diinvestasikan melampaui ataupun dibawah suku bunga
pasar . PER yang diakumulasikan tersebut yang sebenarnya ekuitas dari investor
dan pemegang saham dapat ditarik kemudian untuk meratakan imbal hasil ketika
imbal hasil dari sebuah investasi menurun, begitu pula dengan akumulasi IRR,
yang sebenarnya merupakan milik investor dapat digunakan untuk menutupi
kerugian-kerugian yang dapat saja muncul dimasa yang akan datang. Sebagai
tambahan, ketika akumulasi PER tidak mencukupi dalam memberikan imbal hasil
yang “selevel” dengan suku bunga pasar, Bank Syariah dapat saja memberikan
sebagian dari porsi pendapatan mereka kepada investor/depositor. Ketersediaan
informasi yang dipublikasikan oleh Bank Syariah dalam hal praktek PER dan IRR
sangat terbatas. Dalam sebuah analisa atas pengungkapan praktek tersebut (berdasarkan
laporan tahunan 2001-2003), hanya sekitar 30% saja dari bank-bank yang
disurvei, yang mengungkapkan jumlah PER dalam neraca mereka (sundararajan
2005). Kebanyakan dari Bank Sentral, menyerahkan metodologi perhitungan
mudharabah, baik PER maupun IRR, ditentukan oleh kebijakan Bank-Bank Syariah
itu sendiridan tidak ada persyaratan pengungkapan tertentu pengawasan atas PER
/ IRR, selain yang timbul dari standar akuntansi yang berlaku.[14]
3.
Dukungan IT
dalam Menurunkan Fraud dan Moral Hazard pada Akad Berbasis Bagi Hasil
Fungsi teknologi informasi (IT) telah mengalami perubahan dan
perkembangan pesat pada dekade terakhir ini. Fungsi IT yang semakin khusus
mendorong setiap bank untuk membentuk bagian, departemen, atau unit kerja
khusus tersendiri. Walaupun struktur tersebut tergantung pada berbagai factor
misalnya skla bisnis dan beban kerja, tetapi unit kerja tersebut mencerminkan 2
aspek kegiatan yaitu aspek pengembangan teknologi dan aspek operasionalnya.
Fasilitas pengolahan data yang tersedia di bank saat ini merupakan
hasil kemajuan teknologi dan kebutuhan untuk menjalankan operasi secara
sistematis dan baik sesuai dengan aliran masuk dan keluar dana bank. Fasilitas
tersebut berfungsi untuk menangani, memilih, menghitung, menyusun, melaporkan,
dan mengirimkan informasi. Jadi penggunaan IT di bank dimaksud adalah untuk
meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan data kegiatan usaha
perbankan sehingga dapat memberikan hasil yang akurat, benar, tepat waktu, dan
dapat menjamin kerahasiaan informasi (sesuai peraturan Bank Indonesia).[15]
Dalam pelaksanaan akad berbasis bagi hasil mudharabah dan
musyarakah adalah volatilitas imbal balik yang bisa diperoleh bank yang
stersnya akan didistribusikan juga ke nasabah. Volatilitas ini bisa disebabkan
karena adanya factor-faktor diluar kendali debitur maupun bank ataupun karena
adanya fraud atau moral hazard yang dilakukan oleh debitur. Jika hal yang kedua
yang terjadi maka bank perlu bersiap instrument-instrumen pencegahan maupun
pengurangan resiko yang mungkin ditimbulkannya. Salah satu cara yang dapat
dilakukan oleh bank adalah dengan meningkatkan dukungan IT untuk meningkatkan
kelengkapan informasi yang bisa diakses bank mengenai debiturnya termasuk
bagaimana cara mereka mengelola proyek yang biayai bank. Dukungan IT dapat
dilakukan dari yang termudah sampai yang terumit.IT juga dapat meminimalisir
resiko yang timbul dari moral hazard dan fraud. Dukungan IT dapat melibatkan
search angine dan dijaring social sampai pengadaan sisitem IT yang terintegrasi
antara bank dengan debitur.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ciri bank islam adalah adanya syirkah dimana kerja sama ini berbagi
risiko maupun keuntungan. Risiko disini merupakan risiko investasi. Risiko
investasi melekat pada pembiayaan seperti mudharabah, musyarakah, musaqah,
muzara’ah, dan mukharabah. Risiko investasi juga sangat penting untuk
dimitigasi karena risiko ini berkaitan dengan risiko-risiko lain seperti risiko
operasional,risiko transparansi, displaced commercial risk, risiko penarikan
dana, risiko anjloknya harga saham, risiko reputasi,sampai risiko likuiditas.
Beberapa isu terkait dengan risiko investasi pada bank Islam yaitu dasar
perhitungan bagi hasil, kebijakan profit equalization reserve (PER) dan Investment
risk reserve (IRR), serta dukungan IT dalam menurunkan fraud dan moral
hazard pada akad berbasis bagi hasil.
[1] Ikhwan Abidin Basri, Manajemen
Risiko Lembaga keuangan Syariah, (Jakarta : Bumi Aksara, 2008), hal. 49
[3] Imam Wahyudi, Miranti
Kartika Dewi, dkk, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta : Salemba Empat, 2013)
hal. 176
[4] http://eprints.undip.ac.id/17332/1/FATAHULLAH.pdf,
diunduh pada tanggal 27 November 2015
[15] http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/05/04/perkembangan-teknologi-komputer-di-perbankan/
, diunduh pada 27 November 2015