Senin, 30 September 2019

“MANAJAMEN ZAKAT PADA MASA RASUL, KHULAFAUR RASYIDIN, DINASTI UMAYYAH & DINASTI ABBASIYAH”



BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya Islam membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan manusia. Manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil, hal ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam. Dengan demikian, pada dasarnya, Islam mengakui kepemilikan pribadi. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan ataupun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tudak bermoral. Islam sangat menentang setiap aktivitas ekonomi yang bertujuan melakukan penimbunan kekayaan atau pengambilan keuntungan yang tidak layak dari kesulitan orang lain atau penyalahgunaannya.
zakat adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam. Secara arti kata zakat yang berasal dari bahasa Arab dari akar kata “ZAKAT” mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah. Yang sering terjadi dan banyak ditemukan dalam al-Qur’an dengan arti membersihkan. Digunakan kata zakat dengan arti “membersihkan” itu untuk ibadah pokok yang ukun Islam itu, karena memang zakat itu diantara hikmahnya adalah untuk membersihkan jiwa dan harta orang yang berzakat. Dalam terminologi hukum (syara’) zakat diartikan: “pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan”.
 






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Zakat Pada Masa Rasul
Sebelum Islam datang, sejarah keuangan sudah mengenal banyak sekali berbagai macam perpajakan. Pemungutan pajak sudah dilakukan oleh berbagai bangsa sejak dari zaman dahulu. Hasil pemungutan pajak kemudian disimpan diperbendaharaan kerajaan atau pemerintahan, untuk kemudian dibagikan kepada pejabat dan aparatnya dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka dan keluarganya, bahkan untuk kemewahan dan kebesaran mereka sendiri, tanpa pedulikan segala apa yang menjadi kebutuhan rakyat pekerja dan golongan fakir miskin yang lemah.
Itulah yang terjadi pada masa sebelum Islam yang kita kenal dengan periode jahiliyah, dimana penyelewengan dan kesemena-menaan banyak terjadi di lingkungan masyarakat. Pemerintah memungut pajak sesuka hati tanpa menghiraukan keadaan rakyatnya. Karena itu pengelolaan zakat pada masa Rasulullah terbagai menjadi dua periode yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Sesuai dengan keberadaan Islam pada masa itu yang berpindah dari Mekkah ke Madinah lalu kembali ke Mekkah lagi dan kemudian melakukan ekspansi hingga ke Afrika, Eropa dan Asia.
1.      Periode Mekah
Islam pertama kali disyiarkan di Mekah secara sembunyi-sembunyi karena Islam tidak diterima dengan baik oleh masyarakat pada masa itu. Untuk menegakkan atau menyatakan keislaman saja sulit, bagaimana mungkin mau ditegakkan syariat Islam yang lainnya. Dalam periode ini Rasul belum terpikir untuk menyusun suatu masyarakat Islam yang teratur, karena perhatian Rasul lebih terfokus pada penanaman teologi atau keimanan masyarakat.[1]
2.      Periode Madinah
Karena kaum Muhammad pada masa itu diusir dari Mekkah hingga harus hijrah ke Madinah, maka Islam pun mulai dibangun di Madinah ini. Sehingga Islam sudah memiliki syariat tersendiri dengan membentuk suatu negara Islam, sehingga zakat mulai disyari’atkan. Pada tahun kedua hijriyah mulai diwajibkannya zakat fitrah dan pada tahun kesembilan hijriyah mulai diwajibkan zakat maal (harta) dengan turunnya surat at Taubah ayat 60.
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
Nabi membagi manajemen zakat menjadi bagian2 yang pada hakikatnya kesemuanya adalah amil, yaitu :
a.       Kitabah (mencatat)
  1. Hisabah (menghitung / menaksir zakat)
  2. Jubah (mengambil zakat dari muzakki)
  3. Khazanah (menghimpun / memelihara harta zakat)
  4. Qasamah (menyalurkan zakat pada mustahiq)
Dalam masalah pencatatan zakat, Rasul memberikan tugas tersebut kepada amil di bagian kitabah kemudian diteruskan kepada bagian hisabah yang menghitung atau menaksir zakat yang wajib dibayarkan oleh muzakki. Setelah melalui proses tersebut, amil pada bagian jubah untuk mengambil zakat dan dihimpun/dipelihara oleh amil pada bagian khazanah. Bagian terakhir dari amil ini yaitu menyalurkan harta zakat tersebut kepada mustahiq yaitu bagian amil qasamah.
Selain daripada zakat, ada banyak pendapatan lain yang masuk kepada baitul maal pada masa itu yaitu infak, shadaqah, ghanimah (harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran), jizyah (pajak kepala yang dibayarkan oleh non-Muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer), kharaj (pajak atas tanah yang dipungut kepada non-Muslim), ‘ushr (bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara yang wajib dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang dinilainya lebih dari 200 dirham), nawaib, anwal fadhl, fa’i (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran) dan lainnya.
Zakat saat itu merupakan salah satu sumber keuangan negara. Karena negara yang dibangun oleh Rasulullah itu bukan hanya terdiri dari orang-orang Islam saja, melainkan juga nonmuslim yang tidak terkena kewajiban zakat, maka sebagai imbangan kewajiban zakat terhadap muslim, kepada nonmuslim diwajibkan membayar pajak (jizyah).
Zakat dilihat dari segi prinsip keuangan negara modern, mungkin dapat dilakukan suatu upaya untuk membedakan antara zakat dan sumber-sumber modern keuangan negara, walaupun bersifat religio-ekonomik zakat mempersulit tugas untuk membandingkannya dengan sumber bahan modern keuangan negara yang terdiri atas pajak, upah, harga taksiran khusus, tarif, dan sebagainya. Walaupun keharusan merupakan suatu hakikat pajak dan zakat, tetapi secara pokok zakat berbeda dengan pajak karena zakat lebih komprehensif. Artinya zakat bukan hanya dibebankan pada tabungan, tapi juga pada harta benda.
Sumber utama pendapatan di dalam suatu pemerintahan negara Islam pada periode klasik serta di negara-negara Islam pada umumnya adalah zakat, yang notabene merupakan salah satu dari rukun Islam. setelah shalat, zakat dipandang sebagai bentuk kewajiban keagamaan terpenting yang dikenakan kepada umat Islam. oleh karena itulah zakat dipandang sebagai bentuk ibadah yang tidak dapat digantikan oleh modal sumber pembiayaan negara apa pun dan di manapun juga. dan karena itu jugalah, khalifah pertama memerangi suku-suku bangsa yang dimiliki untuk membayar zakat.

Ketika melarang segala bentuk praktik ribawi, di sisi lain, islam memperkenalkan sebuah konsep baru yang telah dapat mengubah seluruh cara pandang kaum muslimin. Konsep tersebut berupa  perintah mengeluarkan sedekah, baik yang bersifat wajib ataupun sunnah. Rasulullah saw memerintahkan kepada kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta untuk membelanjakan sebagian pendapatannya di jalan Allah, yakni jalan yang tidak mengharapkan imbalan materi duniawi, tetapi hanya mengharapkan keridhoan Allah semata.
Yang termasuk membelanjakkan harta di jalan ini antara lain : tolong-menolong, pemberian makan, dan pemberian pinjaman kepada sanak saudara yang miskin, anak-anak yatim, para janda, orang-orang miskin, para tawanan, mufasir, muhajirin yang miskin, para pengutang, para budak, dan bahkan para tetangga, dan lembaga. Dalam Al-Qur’an, pinjaman yang demikian di sebut Allah sebagai pinjaman yang ditunjakkan kepada Allah dan niscaya Allah akan melipatgandakannya dalam jumlah yang sangat besar jika di kuliarkan dengan niat karena Allah semata tanpa ada maksud untuk keuntungan pribadi ataupun duniawi.[2]
Sumber pendapatan zakat dan ‘ushr (sedekah) walaupun sudah diundangkan sebagai pendapatan Negara sejak tahun kadua hijriah, namun baru bisa dipungut sebatas Zakat Fitrah, kewajiban atas Zakat Mal masih bersifat suka rela. Efektif pelaksanaan zakat mal baru terwujud pada tahun ke 9 hijriah. Ketika islam talah kokoh, wilayah negara meluas dengan cepat dan orang-orang bebondong-bondong masuk islam. Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, batas-batas zakat dan tingkat presentasi sistem penggajian (hak-hak) amil zakat.
Pada masa pemerintahan Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal (obyek zakat) berikut:
1.      Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin, perkakas, ornament, atau bentuk lainnya.
2.      Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornament, atau dalam bentuk lainnya.
3.      Binatang ternak untu, sapi, domba, dan kambing.
4.      Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.
5.      Hasil pertanian termasuk buah-buahan.
6.      Luqtha, harta benda yang ditinggalkan musuh.
7.      Barang temuan.
Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa hidup Rasulullah juga tidak tersedia, tetapi tidak bisa di ambil kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada tidak dijalankan sebagaimana mestinya atau membingungkan. Dalam kebanyakan kasus pencatatannya diserahkan pada pengumpulan zakat. Setiap perhitungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah dan setiap hadiah yang diterima para pengumpul zakat akan disita (seperti yang terjadi pada kasus al-lutbiga, pengumpulan zakat dari bani sulaim), dan Rasulullah pun akan memberi  nasihat terhadap hal ini. Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat terutama zakat unta. Orang Urania pernah diberi hukuman berat karena mencuri zakat unta.[3]
Pada kelahiran Islam di Makkah, kewajiban zakat senantiasa disampaikan Allah dengan ungkapan anfiqu fi sabilillah (berinfaqlah kamu di jalan Allah). Saat itu belum ditentukan jenis-jenis harta kekayaan yang wajib diinfakkan, demikian juga nisab dan persentase yang harus diserahkan untuk kepentingan fi sabilillah.
Tujuan infaq pada saat itu adalah untuk menutupi hajat orang-orang miskin, dan dana penyiaran agama Islam. Pada saat al-Qur’an yang memerintahkan berinfak diturunkan, kaum muslimin pernah dua kali mengajukan pertanyaan tentang apa saja yang akan mereka infaqkan dan berapa nilai atau kadar yang harus diinfakkan. Tetapi Allah tetap saja tidak menentukan apa saja dan berapa saja yang mereka infakkan. Allah menyerahkannya kepada hati nurani umat Islam untuk mengaplikasikan rasa kesukuran terhadap nikmat dan keimanan kepada Allah. Allah hanya memberi batas bahwa yang diinfakkan itu adalah yang melebihi kebutuhan, sebagai mana firman Allah berikut:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS. Al-Baqarah:219)
Harta yang dizakatkan ada dua macam, yaitu harta yang tampak dan harta yang tidak tampak. Harta yang tampak adalah harta yang tidak mungkin disembunyikan, seperti hasil perkebunan, buah-buahan, dan hewan ternak. Adapun harta yang tidak tampak adalah harta yang dapat disembunyikan, seperti emas, perak, dan barang dagangan. Petugas pemungut zakat tidak berwenang untuk menarik zakat harta yang tersembunyi, para pemiliknyalah yang harus mengeluarkan zakatnya itu. Kemudian jika para pemiliknya itu menyerahkan zakat mereka dengan sukarela, maka petugas pemungut zakat itu menerimanya dan tindakan itu adalah sebagai usaha untuk membantu mereka menyampaikan zakat mereka kepada yang berhak. Wewenang mereka hanya pada zakat yang terlihat, yaitu dengan memerintahkan para pemiliknya untuk mengeluarkan zakat itu kepada para petugas zakat.    
Perbedaan manajemen zakat pada masa Rasulullah (622 - 632 (10 tahun)) dengan saat ini yaitu pada segi :
a.       Kelembagaan (amil dan lembaganya)
  1. Operasional dalam lembaga (pemanfaatan, penyaluran dan penghimpunannya)
  2. Regulasi (peraturan dan pengawasan dari pemerintah)
Visi manajemen zakat pada masa Rasulullah intinya yaitu :
  1. Iman dan taqwa
  2. Menghilangkan kesenjangan sosial
  3. Mensejahterakan umat

B.     Zakat Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Masa Khulafaur Rasyidin berlangsung pada tahun 632-661 M. / 11 - 40 H. (29 tahun). Kehidupan perpolitikan masa kekhalifahan Khulafaur Rasyiddin, berlandasakan pada Al Qur’an serta Sunnah. Kehidupan bermasyarakat dibangun dengan empat pilar pemerintahan yaitu :
1.      Kedaulatan di tangan syara’,
2.      Kekuasaan milik ummat,
3.      Mengangkat Khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin,
4.      Hanya khalifah yang berhak mentabanni (melakukan adopsi) terhadap hukum-hukum syara’.

1.      Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan umat Islam diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar Ashidiq. Di masa pemerintahan Abu Bakar, zakat dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara pengelolaan zakat yang dilakukan Rasulullah SAW.[4]
Langkah-langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam menyempurnakan ekonomi Islam adalah:
a.       Melakukan penegakan hukum terhadap pihak yang tidak mau membayar zakat. Selama kurang lebih 27 bulan masa kepemimpinan beliau ada beberapa poblematika sosial dalam negara Islam yang menjadi tantangan berat beliau. Beliau dihadapkan pada pembangkang-pembangkan seperti kaum yang murtad, cukai dan kelompok yang tidak mau membayar zakat kepada negara. Abu bakar mengambil langkah-langkah tegas untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan pembangkangan setelah Rasulullah saw wafat.[5] Menurut Imam Suyuti, ketika wafatnya Rasulullah saw tersebar keseluruh penjuru Madinah, banyak suku-suku Arab yang menolak membayar zakat. Abu Bakar memerintahkan pasukannya untuk menyerang suku-suku pembangkan tersebut. Umar bin Khatab meminta untuk mencabut perintahnya, namun Abu Bakar berkata:
“Aku akan memerangi mereka sekalipun mereka hanya menolak membayar satu kali zakat atau menolak memberikan kambing muda yang biasa mereka serahkan kepada Rasulullah saw.”
Akhirnya Abu Bakar mampu mengatasinya dengan sebuah kebijakan disertai dengan pasukan lini terdepan untuk melakukan pemungutan zakat.
 Abu Bakar menyamakan seluruh rakyat dalam jumlah pembagian zakat. 
b.      Abu bakar terkenal dengan keakuratan dan ketelitiannya dalam mengelola dan menghitung zakat. Terbukti dengan ketelitian dan kehati-hatian beliau mengangkat seorang Amil zakat yaitu Anas. Perhatian terhadap keakuratan perhitungan zakat Abu Bakar seperti ia katakan bahwa “jika seseorang yang harus membayar unta betina berumur 1 tahun sedangkan dia tidak memilikinya dan ia menawarkan untuk memberikan seekor unta betina berumur 2 tahun, hal tersebut dapat diterima. Kolektor zakat akan mengembalikan 20 dirham atau 2 ekor kambing padanya (sabagai kelebihan pembayaran)”.
Dalam kesempatan lain Abu Bakar suka mengintruksikan kepada amil yang sama, kekayaan dari orang yang berbeda tidak dapat diganggu atau kekayaan yang telah digabung tidak dapat dipisahkan(dikhawatirkan akan kelebihan pembayaran atau kekurangan penerimaan zakat). beliau sangat akurat dalam perhitungan dan pengumpulan zakat kemudian ditampung di baitul maal dan di distribusikan dalam jangka waktu yang tidak lama sampai habis tidak tersisa. Pembagiannya sama rata antara sahabat yang masuk Islam terlebih dahulu maupun yang belakangan, pria maupun wanita. Beliau juga membagikan sebagian tanah taklukan, dan sebagian yang lain tetap milik negara. Dan juga mengambil alih tanah orang-orang yang murtad untuk kepentingan umat Islam. Ketika beliau wafat hanya ditemukan 1 dirham dalam pembendaharaan negara karena memang harta yang sudah dikumpulkan langsung dibagikan, sehingga tidak ada penumpukan harta di baitul maal.
c.       Kebijakan selanjutnya adalah pengembangan baitul maal dan pengangkatan penanggungjawaban baitul maal. Sebelum menjadi Khalifah, Abu Bakar tinggal di Sikh, yang terletak di pinggir kota Madinah tempat baitul maal dibangun. Abu Baid ditunjuk sebagai penanggung jawab baitul maal. Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah dan bersamaan dengan itu sebuah rumah di bangun untuk baitul maal. Sistem pendistribusian yang lama tetap dilanjutkan, sehingga pada waktu wafatnya hanya 1 dirham yang tersisa dalam perbendaharaan keuangan. Pada awal kepemimpinan beliau mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga dengan penuh keterbukaan dan keterusterangan beliau mengatakan kepada umatnya bahwa perdagangan beliau tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Tentunya dengan adanya beban sebagai kepala negara akan mengurangi aktivits dagangnya karena sibuk mengurus negara. Kesulitan beliau diketahui oleh khalayak ramai terutama Aisyah da dengan kesepakatan bersama selama kepemimpinan beliau baitul maal mengeluarkan kebutuhan Khalifah Abu Bakar sebesar 2,5 atau 2 tiga perempat dirham setiap harinya dengan tambahan makan berupa daging domba dan pakaian biasa setelah berjalan beberapa waktu ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut keterangan yang lain mencapai 6000 dirham pertahun.
d.      Selain itu Abu Bakar juga menerapkan konsep Balance budget policy pada baitul maal.
e.       Secara individu Abu Bakar adalah seorang praktisi akad-akad perdagangan.
Namun yang menarik dalam kepemimpinam baliau adalah ketika baliau mendekati wafatnya, yaitu kebijakan internal dengan mengembalikan kekayaan kepada negara karena melihat kondisi negara yang belum pulih karena krisis ekonomi. Beliau lebih mementingkan kondisi rakyatnya dari pada individu dan keluarganya.[6]
2.      Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Baitul maal pada masa ini tertata baik dan rapi lengkap dengan sistem administrasinya karena pendapatan negara meningkat drastis. Harta baitul maal tidak dihabiskan sekaligus, sebagian diantaranya untuk cadangan baik untuk kepentingan darurat, pembayaran gaji tentara, dan kepentingan umat yang lain. Baitul maal merupakan pelaksana kebijakan fiskal negara Islam. Khalifah mendapat tunjangan sekitar 5000 dirham per tahun. Harta baitul maal adalah milik kaum muslimin sedang khalifah dan amil hanya pemegang amanah. Untuk mendistribusikan harta baitul maal umar juga mendirikan: departemen pelayanan militer, departemen kehakiman dan eksekutif, departemen pelayanan dan pengembangan Islam, dan departemen jaminan sosial. Umar juga mendirikan dewan islam yang bertugas memberikan tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun.[7]
Selain itu Umar juga membagikan harta dalam bentuk benda, dua ember makanan sebulan, dua karung gandum dan cuka untuk satu orang. Dalam memperlakukan tanah taklukan, Umar tidak membaginya kepada kaum muslimin tetapi tetap pada pemiliknya dengan syarat membayar jizyah dan kharaj. Umar juga mensubsidi masjid masjid dan madrasah-madrasah.
Umar membagi pendapatan negara menjadi empat yaitu: zakat dan ushr didistribusikan di tingkat lokal, khums dan sedekah, didistribusikan untuk fakir miskin baik muslim maupun non muslim, kharaj, fai, jizyah, pajak perdagangan, dan sewa tanah untuk dana pensiun, daba operasional administrasi dan militer, dan pendapatan lain-lain untuk membayar para pekerja, dan dana sosial.
Zakat pada masa Umar bin al-Khattab Tingkat kemakmuran negara cukup tinggi karena berhasil memaksimalkan potensi baitul mal (bahkan penerimaan baitul mal mencapai 18 juta dirham. Pendapatan negara lain yang dioptimalkan yakni zakat, usyr, kharaj, jizyah, dan sebagainya.  Zakat juga diposisikan sebagai sumber pendapatan utama negara Islam. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum. Pengenaan zakat atas harta berarti menjamin penanaman kembali dalam perdagangan dan perniagaan yang tidak perlu dilakukan dalam pajak pendapatan.[8]
Adapun kebijakan Umar mengenai subsidi negara yaitu, sebagai negara harus memerhatikan apa yang dibelanjakan. untuk merealisasikan hal tersebut maka Umar memerhatikan beberapa kaidah, salah satu kaidah tersebut adalah negara juga harus melaksanakan dengan baik apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Zakat diberikan kepada mereka yang berhak sebagaimana yang diterangkan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang kafir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[9]
Pada masa khalifah Umar Ibn Khattab, wilayah Islam telah meluas keluar daerah jaziah Arab. Adminitrasi negara yang sebelumnya sangat sederhana dirasa tidak memadai untuk mengatur wilayah yang besar. Untuk membenahi adminitrasi yang lebih memadai diperlukan dana yang tidak sedikit, sehingga dana yang selama ini dicukupkan dari sumber zakat, terasa lagi tidak memadai. Untuk itulah pajak diwajibkan kepada penduduk yang nonmuslim yang mengarap tanah pemerintah. Tetapi mereka ini kemudian masuk Islam, maka disamping kewajiban pajak tanah kepada mereka juga dibebankan kewajiban zakat. Jadi umat Islam dihadapkan kepada dua beban kewajiban, yakni zakat dan pajak.
Tanpa merinci lebih jauh tentang zakat, jelas bahwa zakat dalam berbagai bentuknya berfungsi membangun pajak kekayaan negara, karena mendayagunakan semua bentuk kekayaan yang ada, tidak seperti halnya dalam pajak modern, pengatuan pengumpulan zakat begitu sederhana dan tidak memerlukan pengetahuan khusus. Berkaitan dengan tata cara pengumpulan zakat ini, terdapat hal penting yang perlu digaris bawahi, yakni antara zakat kekayaan (harta benda) yang tampak (kelihatan) dan yang tidak tampak.
Secara ekonomi, pelaksanaan pemungutan zakat semestinya dapat menghapus tingkat perbedaan kekayaan yang mencolok serta dapat menciptakan redistribusi yang merata, di samping membantu mengekang laju inflasi. Selain perkembangan tak menentu dari peredaran mata uang di dalam negeri, kekurangan barang dan kecepatan peredaran uang, distribusi kekayaan yang tidak tepat dan tidak merata dapat pula mengakibatkan timbulnya laju inflasi dan kekacauan pasar. Penanganan yang tepat akan pajak zakat secara bertahap dapat menciptakan kondisi keseimbangan tata ekonomi seperti diinginkan.
Patut dicatat bahwa zakat bukan merupakan sumber penerimaan biasa bagi negara-negara di dunia dan karena itu juga tak dianggap sebagai sumber pembiayaan utama. Negara bertanggung jawab dalam penghimpunan dan penggunaannya secara layak dan penghasilan dari zakat tidak boleh dicampur dengan penerimaan publik lainnya.[10]
Diantara perkembangan yg ada pada masa Khalifah Umar yaitu:
         Pemberlakuan Ijtihad
         Menghapuskan zakat bagi para muallaf
         Mengahapuskan hukum mut’ah
         Lahirnya ilmu Qira’at
         Penyebaran Ilmu Hadits
         Menempa mata uang dan
         Menciptakan tahun Hijriah
3.      Utsman bin Affan (23-36 H/644-656 M)
Dilaporkan untuk mengamankan zakat dalam gangguan dan masalah pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa pengumpul yang nakal, Khalifah Ustman mendelegasikan kewenangan kepada para pemilik untuk menaksirkan kepemilikannya sendiri. Dalam hubungannya dengan zakat, dalam sambutan Ramadhan biasanya dia mengingatkan, “lihatlah bulan pembayaran zakat telah tiba.barang siapa memiliki properti dan utang dibiarkan dia untuk mengurangi dari apa yang dia miliki, apa yang dia utang dan membayar zakat untuk properti yang masih tersisa.” Dia juga mengurangi zakat dari pensiun. Tabri menyebutkan ketika menjadi Khalifah, Usman menaikkan pensiunan sebesar 100 dirham,tetapi tidak ada rinciannya. Dia juga menambahkan santunan dengan pakaian. Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk orang-orang menderita, pengembara dan orang miskin.[11] 
Tidak ada perubahan yang signifikan pada situasi ekonomi secara keseluruhan selama 6 tahun, berakhirnya khalifah Usman, namun ada hal-hal yang dilakukan oleh khalifah Usman diantaranya adalah:
a.       Membangun pengairan
b.      Pembentukkn organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan perdagangan
c.       Pembanguna gedung pengadilan, guna penegakkan hukum
d.      Kebijakan pembagian lahan luas milik Raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami peningkatan bahwa dibandingkan pada masa Umar dari 9 juta menjadi 50 juta dirham.
Dalam pemerintahan Usman komposisi kelas sosial di dalam masyarakat berubah demikian cepat sehingga semakin sulit menengahi berbagai kepentingan yang ada. Wajar kalau semasa pemerintahan Usman banyak sekali konflik yang muncul di permukaan. Bukan tugas yang mudah untuk mengawasi orang Badui yang pada dasarnya mencintai kebebasan pribadi dan tidak mengenal otoritas pemerintahan yang dominan. Tidak mudah pula mengakomodasikan orang yang cepat kaya karena adanya peluang-peluang baru yang terbuka menyusul ditaklukannya propinsi-propinsi baru.
Akhir hayat Usman di awali ketika pada saat berbagai utusan dari Kufah, Basrah, dan Mesir datang menemui Usman agar memecat para Gubernurnya yang notabene adalah kerabat-kerabat sendiri, tetapi Usman menolak. Mereka kemudian mengepung rumah Usman dan menuntut pengunduran diri, Usman juga menolak. Pengepungan terus berjalan sampai beberapa hari sebagian diantara mereka memaksa masuk ke dalam rumah untuk kemudian membunuhnya. Ini terjadi pada bulan Dzulhijah 35 H atau 17 Juni 656 M, pada waktu berumur 82 tahun dan keKhalifahannya berlangsung selama 12 tahun kurang 12 hari. Jenazahnya di makamkan di Baqi’ waktu malam hari.
Pada Masa Khalifah Ustman Ibn Affan Diantara perkembangan yang ada pada masa Khalifah Ustman adalah :
         Penaskahan Al-Qur’an
         Perluasan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram
         Didirikannya masjid Al-Atiq di utara benteng babylon
         Membangun Pengadilan
         Membentuk Angkatan Laut
         Membentuk Departemen:
        Dewan kemiliteran
        Baitrul Mall
        Jawatan Pajak
        Jawatan Pengadilan
4.      Ali bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 M)
Setelah terbunuhnya Usman, maka timbul anarkhi di ibu kota Negara dan pada hari kelima, Ali dengan suara bulatnya terpilih menjadi Khalifah menggantikan Usman. Setelah menjadi Khalifah, Ali bin Abi Thalib menempatkan kembali kondisi Baitul maal di tem[at pada posisi sebelumnya. Antara lain: memecat beberapa pejabat yang di angkat Usman, mengambil tanah yang dibagikan Usman kepada keluarganya tanpa alasan yang benar, memberikan bantuan kepada kaum Muslimin berupa tunjangan yang di ambil dari Baitul maal, mengatur kembali tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat serta memindah pusat pemerintahan ke Kuffah dari Madinah.
Kebijakan yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib ini telah menyerang orang-orang yang telah memperkaya dirinya semasa pemerintahan yang lama. Beberapa orang-orang Usman rela menyerahkan jabatannya tanpa melakukan perlawanan. Sementara yang lainnya menolak. Di antara yang menolak adalah Muawiyah, Gubernur Syiria, yang kemudian bersama sekutu-sekutunya menuntut pembalasan atas kematian Usman.
Ali berkuasa selama 5 tahun. Sejak awal dia selalu mendapatkan perlawanan dari kelompok yang bermusuhan dengannya, pemberontakan kaum Khawarij dan peperangan berkepanjangan dengan Muawiyah yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa yang independen di daerah Syiria dan (kemudian) Mesir.
Menurut sebuah riwayat, dia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana Baitul maal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5000 dirham setiap tahunnya. Sebagai Khalifah, Ali sangat sederhana dalam hidupnya.
Ibnu Abbas, Gubernur Ali di Kuffah, memungut zakat atas sayuran yang tidak membusuk yang digunakan sebagai bumbu. Seperti sudah dinyatakan sebelumnya, Ali tidak hadir pada pertemuan Majelis Syuro di Djabiya (masuk wilayah Madinah) yang diadakan oleh umar untuk menyepakati peraturan-peraturan yang sangat penting yang berkaitan dengan daerah taklukkan. Pertemuan itu juga menyepakati untuk tidak mendistribusikan seluruh pendapatan Baitul maal, tetapi menyimpan sebagian untuk cadangan. Semua kesepakatan itu berlawanan dengan pendapatan Ali. Oleh karena itu ketika menjabat sebagai Khalifah, dia mendistribusikan seluruh pendapatan dan propinsi yang ada di Baitul maal Madinah, Busra, dan Kufa.[12]
Jadi pada Khalifah Ali bin Abi Thalib berkaitan dengan kebijakan yang dilakukannya selama 6 tahun kepemimpinannya adalah :
a.       Pendistribusian seluruh pendapat yang ada pada Baitul maal berbeda dengan Umar yang menyisihkan untuk cadangan
b.      Pengeluaran angkatan laut di hilangkan
c.       Adanya kebijakan pengetatan anggaran
d.      Dan hal yang sangat monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, dimana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham dari Persia.

C.    Zakat Pada Masa Dinasti Umayyah (611-750 M)
Pasca pemerintahan Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Islam seringkali dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan (bughat) Wali Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib yang diperangi dalam Perang Siffin, kemudian berlanjut dengan kekisruhan negara pada masa kekhalifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang Khalifah oleh Kaum Khawarij, tidak berarti Islam tidak lagi memiliki khalifah yang baik.
Masa kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad. Diantara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun urutan khalifah Umayyah adalah sebagai berikut.
1.      Muawiyah I bin Abi Sufyan   41-60H/661-679M
2.      Yazid I bin Muawiyah            60-64H/679-683M
3.      Muawiyah II bin Yazid          64H/683M
4.      Marwan I bin Hakam              64-65H/683-684M
5.      Abdul Malik bin Marwan       65-86H/684-705M
6.      Al-Walid I bin Abdul Malik   86-96H/705-714M
7.      Sulaiman bin Abdul Malik      96-99H/714-717M
8.      Umar bin Abdul Aziz             99-101H/717-719M
9.      Yazid II bin Abdul Malik       101-105H/719-723M
10.  Hisyam bin Abdul Malik        105-125H/723-742M
11.  Al-Walid II bin Yazid II        125-126H/742-743M
12.  Yazid bin Walid bin Malik     126H/743M
13.  Ibrahim bin Al-Walid II          126-127H/743-744M
14.  Marwan II bin Muhammad     127-132H/744-750M.[13]
Kebijakan yang serius terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik yaitu dalam hal pajak dan zakat dengan memberlakukan kewajiban bagi umat Islam untuk membayar zakat dan bebas dari pajak lainnya. Lebih jauh lagi, pada masa Khalifah Umar ibn Aziz menerapkan kebijakan otonomi daerah. Dimana setiap wilayah Islam mempunyai wewenang untuk mengelola zakat dan pajak sendiri-sendiri dan tidak diharuskan menyerahkan upeti kepada pemerintah pusat. Bahkan sebaliknya pemerintah pusat akan memberikan bantuan subsidi kepada setiap wilayah Islam yang minim pendapatan zakat dan pajaknya.[14]
Perkembangan pengelolaan zakat tersebut sangat dirasakan pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Keberhasilan umar bin abdul aziz karena kemampuan manajemen dan kejujuran yang dia miliki. Konsep distribusi zakat yang dikembangkan beliau adalah zakat merupakan bentuk subsidi silang yang secara langsung dapat dirasakan dampak ekonominya.
Zakat harus memiliki dampak pada peningkatan masyarakat yang memiliki daya beli rendah. Dengan rangsangan zakat akan meningkatkan demand atau permintaan, sehingga pada akhirnya meningkatkan supply. Dengan kata lain peningkatan demand tersebut juga mendorong peningkatan produksi. Zakat menjadi stimulan pertumbuhan perekonomian secara mikro maupun makro. Pada akhirnya para pembayar zakat berkeliling kota untuk mencari penerima zakat yang sudah sulit ditemui, karena mereka pada umumnya sudah memiliki kemapanan dibidang ekonomi.
Umar bin Abdul Aziz telah menjadi proklamator dalam melakukan reformasi ekonomi dalam bentuk kebijakan pembangunan ekonomi modern, yang berhasil mencapai keseimbangan antara kekuatan supply and demand bahkan terjadi surplus pendapatan dalam neraca anggaran negara, tidak lain semua anggaran itu dipergunakan untuk memperbaiki kondisi rakyatnya dalam semua dimensi baik dalam dimensi spiritual maupun matriil, untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sehingga semuanya hidup dalam peringkat ekonomi yang cukup (kemiskinan dan pengangguran tidak didapatkan pada masa kepemimpinannya), dan tercapailah keadilan dalam pendistribusian kekayaan (anggaran) kepada rakyatnya, dan selalu menghimbau untuk selalu melakukan investasi dalam berbagai bentuk dan menerapkan sistem perpajakan untuk mencapai keseimbangan ekonomi.
Ada 7 faktor penyebab kemunduran kekuasaan Bani Umayyah, yaitu :
      Persoalan suksesi kekhalifahan
      Sikap glamor penguasa
      Perlawanan kaum Khawarij
      Perlawanan dari kelompok Syi’ah
      Meruncingnya pertentangan etnis
      Timbulnya stratifikasi sosial
      Munculnya kekuatan baru.[15]
D.    Zakat Pada Masa Dinasti Abbasiyah (750-847 M/132-232 H)
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Khalifah Umayyah, di mana pendiri dari Khalifah ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlansung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M).
Di masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah ini, sumber pemasukan negara yang paling utama berasal dari pajak dan zakat. Seperti jizyah (pajak kepala yang dipungut dari penduduk non-Muslim kepada pemerintah Islam sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah dan konsekuensi dari perlindungan yang diberikan pemerintah Islam untuk mereka), sumber pendapatan lain dari ‘asyur al-tijarah (pajak perdagangan yang dikenakan kepada pedagang non-Muslim yang melakukan transaksi di Kekhalifahan Islam) dan kharaj (pajak tanah yang dipungut dari pemilik tanah non-Muslim dan dalam hal-hal tertentu dibebankan pula kepada Muslim). Secara garis besar pengeluaran negara pada masa Dinasti Abbasiyah digunakan untuk gaji pegawai, biaya pertahanan dan profesionalisme tentara, biaya pengembangan ilmu pengetahuan, dan pembangunan secara fisik, serta kesejahteraan masyarakat banyak.[16]
Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Suasana negara yang aman dan damai membuat rakyat menjadi tenteram. Bahkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata. Di samping itu, banyak pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah pada masa itu.
Evolusi perkembangan pengelolaan buku Akuntansi mencapai tingkat tertinggi pada masa Daulah Abbasiyah. Akuntansi diklasifikasikan pada beberapa spesialisasi, antara lain Akuntansi Peternakan, akuntansi Pertanian, Akuntansi Bendahara, Akuntansi Konstruksi, Akuntansi Mata Uang dan Pemeriksaan buku (auditing). Begitu juga dalam hal pencatatan zakat.
Pada masa itu, sistem pembukuan telah menggunakan model buku besar, yang meliputi sebagai berikut :
      Jaridah Al-Kharaj (mirip receivable subsidiary ledger), merupakan pembukuan pemerintah terhadap piutang pada individu atas zakat tanah, hasil pertanian, serta hewan ternak yang belum dibayar dan cicilan yang telah dibayar. Piutang dicatat di satu kolom dan cicilan pembayaran dikolom yg lain.
      Jaridah An-Nafaqaat (jurnal pengeluaran), merupakan pembukuan yang digunakan mencatat pengeluaran Negara
      Jaridah Al-Maal (Jurnal Dana), merupakan pembukuan yang digunakn untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran zakat
      Jaridah Al-Musadareen, merupakan pembukuan yang digunakan untuk mencatat penerimaan denda/sita dari individu yang tidak sesuai dengan Syari’ah, termasuk dari Pejabat yang korup.
Adapun untuk pelaporan, telah dikembangkan berbagai laporan akuntansi, antara lain sebagai berikut :
      Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan pengeluaran yang dibuat setiap bulan
      Al-Khitmah al-Jame’ah, laporan keuangan komprehensif yang berisikan gabungan antara laporan laba-rugi dan neraca (pendapatan, pengeluaran, surplus dan defisit, belanja untuk asset lancar maupun Asset Tetap) yang dilaporkan di Akhir Tahun. Dalam perhitungan dan penerimaan zakat, utang zakat, diklasifikasikan dalam laporan keuangan menjadi 3 Kategori, yaitu Collectable Debts dan Uncollectable Debts.
      Dengan begitu dapat terlihat bahwa manajemen zakat pada masa dinasti Abbasiyah ini dilakukan dengan meneruskan apa yg ada pada masa dinasti Umayyah. Terdapat perkembangan pada hal pencatatan dan pemberdayaannya. dalam hal pencatatan seperti yang telah dijabarkan di atas. Pemberdayaannya dilakukan secara konsumtif dan produktif.
      Hanya untuk zakat produktif, juga digunakan untuk  membangun fasilitas publik serta penggunaan dana zakat produktif digunakan untuk memberikan beasiswa guna perkembangan ilmu pengetahuan yang pada masa itu memang berkembang dengan pesat dalam berbagai bidang keilmuan.
Pada awal pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yg kaya. Dana yg masuk lebih besar dari yg keluar, Baitul-Mal penuh harta. Perekonomian masy. sangat maju terutama di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Seiring berjalan waktu terjadi banyak penyimpangan yg mmbuat dinasti runtuh. Menurut Dr. Badri Yatim, M.A., bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut.


      Persaingan antara bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang persia. Setelah Dinasti Abbasiyah berdiri, Bani Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antarbangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa.
      Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Dana yang masuk lebih besar daripada yang keluar, sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode kemunduran, pendapatan negara menurun, dan dengan demikian terjadi kemerosotan dalam bidang ekonomi.
      Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan kebangsaan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus Sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
      Perang Salib
Perang salim merupakan sebab dari eksternal umat Islam.
      Serangan Bangsa Mongol (1258 M)
Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah kepada kekuatan Mongol.


BAB III
PENUTUP


Pada masa pemerintahan Rasulullah, zakat terbagi menjadi dua periode yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Selanjutnya pada masa Khulafaur Rasyidin pemerintahan Abu bakar zakat dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara pengelolaan zakat yang dilakukan Rasulullah, zakat pada masa Umar tingkat kemakmuran negara cukup tinggi karena berhasil memaksimalkan potensi baitul maal, pada pemerintahan Utsman terdapat kemajuan yaitu kewenangan untuk menaksir zakat pada muzaki, selanjutnya Ali memperbaiki sitem pada masa utsman. Zakat pada masa dinasti umayah dengan memberlakukan kewajiban bagi umat Islam untuk membayar zakat dan bebas dari pajak lainnya. Sedangkan pada masa dinasti Abbasiyah terdapat perkembangan pengelolaan buku Akuntansi yang mencapai tingkat tertinggi.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhayly, Wahbah. 1995, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung: Remaja Rosdakarya
Chamid Nur, 2010 “Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Daud Ali Mohammad, 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf. Jakarta: Ui-Press
Nurudin. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal. Jakatra: Raja Grafindo Persada
Syarif Ibnu Mujar dan Zada Khamami, 2008 “Fiqh Siyasah” Jakarta: Erlangga.


[1] Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), H. 68
[2]Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), H. 44
[3] Ibid, H. 51-53
[4] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), H. 89
[5] Ibid, Nur Chamid, H. 64
[6] Ibid, H. 66-67
[7] Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Waka, (Jakarta: UI-Press, 1988), H. 39-40
[8] Nurudin, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakatra: Raja Grafindo Persada, 2006), H. 47
[9] Ibid, Nur Chamid, H. 71
[10]Mujar Ibnu Syarif & Khamami Zada, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008), H. 328-332.
[11] Ibid, Nur Chamid, H. 95-96
[12] Ibid, H. 98-101
[13] Ibid, Samsul Munir Amin, H. 121-122
[14] Ibid, Nur Chamid, H. 115-116
[15] Ibid, Samsul Munir Amin, H. 136-137
[16] Ibid, Nur Chamid, H. 134