BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya
Islam membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan manusia. Manusia diberi
kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan
cara yang adil, hal ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam.
Dengan demikian, pada dasarnya, Islam mengakui kepemilikan pribadi. Islam tidak
membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan ataupun
perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang
ilegal atau tudak bermoral. Islam sangat menentang setiap aktivitas ekonomi
yang bertujuan melakukan penimbunan kekayaan atau pengambilan keuntungan yang
tidak layak dari kesulitan orang lain atau penyalahgunaannya.
zakat adalah salah satu
ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam. Secara arti kata zakat yang
berasal dari bahasa Arab dari akar kata “ZAKAT” mengandung beberapa arti
seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah. Yang sering terjadi dan banyak
ditemukan dalam al-Qur’an dengan arti membersihkan. Digunakan kata zakat
dengan arti “membersihkan” itu untuk ibadah pokok yang ukun Islam itu, karena
memang zakat itu diantara hikmahnya adalah untuk membersihkan jiwa dan harta
orang yang berzakat. Dalam terminologi hukum (syara’) zakat diartikan:
“pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut
syarat-syarat yang ditentukan”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Zakat
Pada Masa Rasul
Sebelum Islam datang,
sejarah keuangan sudah mengenal banyak sekali berbagai macam perpajakan.
Pemungutan pajak sudah dilakukan oleh berbagai bangsa sejak dari zaman dahulu.
Hasil pemungutan pajak kemudian disimpan diperbendaharaan kerajaan atau
pemerintahan, untuk kemudian dibagikan kepada pejabat dan aparatnya dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka dan keluarganya, bahkan untuk
kemewahan dan kebesaran mereka sendiri, tanpa pedulikan segala apa yang menjadi
kebutuhan rakyat pekerja dan golongan fakir miskin yang lemah.
Itulah yang terjadi pada
masa sebelum Islam yang kita kenal dengan periode jahiliyah, dimana
penyelewengan dan kesemena-menaan banyak terjadi di lingkungan masyarakat.
Pemerintah memungut pajak sesuka hati tanpa menghiraukan keadaan rakyatnya.
Karena itu pengelolaan zakat pada masa Rasulullah
terbagai menjadi dua periode yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Sesuai
dengan keberadaan Islam pada masa itu yang berpindah dari Mekkah ke Madinah
lalu kembali ke Mekkah lagi dan kemudian melakukan ekspansi hingga ke Afrika,
Eropa dan Asia.
1. Periode
Mekah
Islam pertama kali disyiarkan di Mekah
secara sembunyi-sembunyi karena Islam tidak diterima dengan baik oleh
masyarakat pada masa itu. Untuk menegakkan atau menyatakan keislaman saja
sulit, bagaimana mungkin mau ditegakkan syariat Islam yang lainnya. Dalam
periode ini Rasul belum terpikir untuk menyusun suatu masyarakat Islam yang
teratur, karena perhatian Rasul lebih terfokus pada penanaman teologi atau
keimanan masyarakat.[1]
2. Periode
Madinah
Karena kaum Muhammad pada
masa itu diusir dari Mekkah hingga harus hijrah ke Madinah, maka Islam pun
mulai dibangun di Madinah ini. Sehingga Islam sudah memiliki syariat tersendiri
dengan membentuk suatu negara Islam, sehingga zakat mulai disyari’atkan.
Pada tahun kedua hijriyah mulai diwajibkannya zakat fitrah dan pada tahun
kesembilan hijriyah mulai diwajibkan zakat maal (harta) dengan turunnya surat
at Taubah ayat 60.
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk
(memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban
dari Allah. Allah maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
Nabi membagi manajemen zakat menjadi
bagian2 yang pada hakikatnya kesemuanya adalah amil, yaitu :
a. Kitabah (mencatat)
- Hisabah (menghitung / menaksir zakat)
- Jubah (mengambil zakat dari muzakki)
- Khazanah (menghimpun / memelihara harta zakat)
- Qasamah (menyalurkan zakat pada mustahiq)
Dalam masalah pencatatan zakat,
Rasul memberikan tugas tersebut kepada amil di bagian kitabah kemudian
diteruskan kepada bagian hisabah yang menghitung atau menaksir zakat yang wajib
dibayarkan oleh muzakki. Setelah melalui
proses tersebut, amil pada bagian jubah untuk mengambil zakat dan
dihimpun/dipelihara oleh amil pada bagian khazanah. Bagian terakhir dari amil
ini yaitu menyalurkan harta zakat tersebut kepada mustahiq yaitu bagian amil qasamah.
Selain daripada zakat, ada banyak
pendapatan lain yang masuk kepada baitul maal pada masa itu yaitu infak,
shadaqah, ghanimah (harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan
melalui pertempuran), jizyah (pajak kepala yang dibayarkan oleh non-Muslim
khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, bebas
dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer), kharaj (pajak atas tanah
yang dipungut kepada non-Muslim), ‘ushr (bea impor yang dikenakan kepada
semua pedagang yang melintasi perbatasan negara yang wajib dibayar hanya sekali
dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang dinilainya lebih dari 200
dirham), nawaib, anwal fadhl, fa’i (harta rampasan yang diperoleh dari
musuh tanpa terjadinya pertempuran) dan lainnya.
Zakat saat itu
merupakan salah satu sumber keuangan negara. Karena negara yang dibangun oleh
Rasulullah itu bukan hanya terdiri dari orang-orang Islam saja, melainkan juga
nonmuslim yang tidak terkena kewajiban zakat, maka sebagai imbangan
kewajiban zakat terhadap muslim, kepada nonmuslim diwajibkan membayar
pajak (jizyah).
Zakat dilihat
dari segi prinsip keuangan negara modern, mungkin dapat dilakukan suatu upaya
untuk membedakan antara zakat dan sumber-sumber modern keuangan negara,
walaupun bersifat religio-ekonomik zakat mempersulit tugas untuk
membandingkannya dengan sumber bahan modern keuangan negara yang terdiri atas
pajak, upah, harga taksiran khusus, tarif, dan sebagainya. Walaupun keharusan
merupakan suatu hakikat pajak dan zakat, tetapi secara pokok zakat
berbeda dengan pajak karena zakat lebih komprehensif. Artinya zakat
bukan hanya dibebankan pada tabungan, tapi juga pada harta benda.
Sumber utama pendapatan
di dalam suatu pemerintahan negara Islam pada periode klasik serta di
negara-negara Islam pada umumnya adalah zakat, yang notabene merupakan
salah satu dari rukun Islam. setelah shalat, zakat dipandang sebagai
bentuk kewajiban keagamaan terpenting yang dikenakan kepada umat Islam. oleh
karena itulah zakat dipandang sebagai bentuk ibadah yang tidak dapat
digantikan oleh modal sumber pembiayaan negara apa pun dan di manapun juga. dan
karena itu jugalah, khalifah pertama memerangi suku-suku bangsa yang dimiliki
untuk membayar zakat.
Ketika melarang segala
bentuk praktik ribawi, di sisi lain, islam memperkenalkan sebuah konsep baru
yang telah dapat mengubah seluruh cara pandang kaum muslimin. Konsep tersebut
berupa perintah mengeluarkan sedekah,
baik yang bersifat wajib ataupun sunnah. Rasulullah saw memerintahkan kepada
kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta untuk membelanjakan sebagian
pendapatannya di jalan Allah, yakni jalan yang tidak mengharapkan imbalan
materi duniawi, tetapi hanya mengharapkan keridhoan Allah semata.
Yang termasuk
membelanjakkan harta di jalan ini antara lain : tolong-menolong, pemberian
makan, dan pemberian pinjaman kepada sanak saudara yang miskin, anak-anak
yatim, para janda, orang-orang miskin, para tawanan, mufasir, muhajirin yang
miskin, para pengutang, para budak, dan bahkan para tetangga, dan lembaga.
Dalam Al-Qur’an, pinjaman yang demikian di sebut Allah sebagai pinjaman yang
ditunjakkan kepada Allah dan niscaya Allah akan melipatgandakannya dalam jumlah
yang sangat besar jika di kuliarkan dengan niat karena Allah semata tanpa ada
maksud untuk keuntungan pribadi ataupun duniawi.[2]
Sumber pendapatan zakat
dan ‘ushr (sedekah) walaupun sudah diundangkan sebagai pendapatan Negara sejak
tahun kadua hijriah, namun baru bisa dipungut sebatas Zakat Fitrah, kewajiban
atas Zakat Mal masih bersifat suka rela. Efektif pelaksanaan zakat mal baru
terwujud pada tahun ke 9 hijriah. Ketika islam talah kokoh, wilayah negara
meluas dengan cepat dan orang-orang bebondong-bondong masuk islam. Peraturan
yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, batas-batas zakat dan tingkat
presentasi sistem penggajian (hak-hak) amil zakat.
Pada masa pemerintahan
Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal (obyek zakat) berikut:
1. Benda
logam yang terbuat dari emas seperti koin, perkakas, ornament, atau bentuk lainnya.
2. Benda
logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornament, atau dalam
bentuk lainnya.
3. Binatang
ternak untu, sapi, domba, dan kambing.
4. Berbagai
jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.
5. Hasil
pertanian termasuk buah-buahan.
6. Luqtha,
harta benda yang ditinggalkan musuh.
7. Barang
temuan.
Catatan
mengenai pengeluaran secara rinci pada masa hidup Rasulullah juga tidak
tersedia, tetapi tidak bisa di ambil kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada
tidak dijalankan sebagaimana mestinya atau membingungkan. Dalam kebanyakan
kasus pencatatannya diserahkan pada pengumpulan zakat. Setiap perhitungan yang
ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah dan setiap hadiah yang
diterima para pengumpul zakat akan disita (seperti yang terjadi pada kasus
al-lutbiga, pengumpulan zakat dari bani sulaim), dan Rasulullah pun akan
memberi nasihat terhadap hal ini.
Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat terutama zakat unta. Orang
Urania pernah diberi hukuman berat karena mencuri zakat unta.[3]
Pada
kelahiran Islam di Makkah, kewajiban zakat senantiasa disampaikan Allah
dengan ungkapan anfiqu fi sabilillah (berinfaqlah kamu di jalan Allah).
Saat itu belum ditentukan jenis-jenis harta kekayaan yang wajib diinfakkan,
demikian juga nisab dan persentase yang harus diserahkan untuk
kepentingan fi sabilillah.
Tujuan infaq
pada saat itu adalah untuk menutupi hajat orang-orang miskin, dan dana
penyiaran agama Islam. Pada saat al-Qur’an yang memerintahkan berinfak
diturunkan, kaum muslimin pernah dua kali mengajukan pertanyaan tentang apa
saja yang akan mereka infaqkan dan berapa nilai atau kadar yang harus
diinfakkan. Tetapi Allah tetap saja tidak menentukan apa saja dan berapa saja
yang mereka infakkan. Allah menyerahkannya kepada hati nurani umat Islam untuk
mengaplikasikan rasa kesukuran terhadap nikmat dan keimanan kepada Allah. Allah
hanya memberi batas bahwa yang diinfakkan itu adalah yang melebihi kebutuhan,
sebagai mana firman Allah berikut:
“Mereka bertanya
kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa
besar dan beberapa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir” (QS. Al-Baqarah:219)
Harta yang dizakatkan
ada dua macam, yaitu harta yang tampak dan harta yang tidak tampak. Harta yang
tampak adalah harta yang tidak mungkin disembunyikan, seperti hasil perkebunan,
buah-buahan, dan hewan ternak. Adapun harta yang tidak tampak adalah harta yang
dapat disembunyikan, seperti emas, perak, dan barang dagangan. Petugas pemungut
zakat tidak berwenang untuk menarik zakat harta yang tersembunyi, para
pemiliknyalah yang harus mengeluarkan zakatnya itu. Kemudian jika para
pemiliknya itu menyerahkan zakat mereka dengan sukarela, maka petugas
pemungut zakat itu menerimanya dan tindakan itu adalah sebagai usaha
untuk membantu mereka menyampaikan zakat mereka kepada yang berhak.
Wewenang mereka hanya pada zakat yang terlihat, yaitu dengan
memerintahkan para pemiliknya untuk mengeluarkan zakat itu kepada para
petugas zakat.
Perbedaan manajemen zakat pada masa Rasulullah (622 -
632 (10 tahun)) dengan saat ini yaitu pada segi :
a.
Kelembagaan (amil dan lembaganya)
- Operasional dalam lembaga (pemanfaatan, penyaluran dan
penghimpunannya)
- Regulasi (peraturan dan pengawasan dari pemerintah)
Visi manajemen zakat pada masa Rasulullah intinya
yaitu :
- Iman dan taqwa
- Menghilangkan kesenjangan sosial
- Mensejahterakan umat
B. Zakat
Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Masa Khulafaur Rasyidin berlangsung pada tahun 632-661 M.
/ 11 - 40 H. (29 tahun). Kehidupan perpolitikan masa kekhalifahan
Khulafaur Rasyiddin, berlandasakan pada Al
Qur’an
serta Sunnah. Kehidupan bermasyarakat dibangun dengan
empat pilar pemerintahan yaitu :
1. Kedaulatan
di tangan syara’,
2. Kekuasaan
milik ummat,
3. Mengangkat
Khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin,
4. Hanya
khalifah yang berhak mentabanni (melakukan adopsi) terhadap hukum-hukum syara’.
1. Abu
Bakar ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan umat Islam
diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar Ashidiq. Di masa pemerintahan Abu Bakar,
zakat dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara pengelolaan zakat yang
dilakukan Rasulullah SAW.[4]
Langkah-langkah
yang dilakukan Abu Bakar dalam menyempurnakan ekonomi Islam adalah:
a. Melakukan
penegakan hukum terhadap pihak yang tidak mau membayar zakat. Selama kurang
lebih 27 bulan masa kepemimpinan beliau ada beberapa poblematika sosial dalam
negara Islam yang menjadi tantangan berat beliau. Beliau dihadapkan pada
pembangkang-pembangkan seperti kaum yang murtad, cukai dan kelompok yang tidak
mau membayar zakat kepada negara. Abu bakar mengambil langkah-langkah tegas
untuk mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang kembali
memperlihatkan pembangkangan setelah Rasulullah saw wafat.[5] Menurut
Imam Suyuti, ketika wafatnya Rasulullah saw tersebar keseluruh penjuru Madinah,
banyak suku-suku Arab yang menolak membayar zakat. Abu Bakar memerintahkan
pasukannya untuk menyerang suku-suku pembangkan tersebut. Umar bin Khatab
meminta untuk mencabut perintahnya, namun Abu Bakar berkata:
“Aku
akan memerangi mereka sekalipun mereka hanya menolak membayar satu kali zakat
atau menolak memberikan kambing muda yang biasa mereka serahkan kepada
Rasulullah saw.”
Akhirnya
Abu Bakar mampu mengatasinya dengan sebuah kebijakan disertai dengan pasukan
lini terdepan untuk melakukan pemungutan zakat.
Abu Bakar menyamakan seluruh rakyat dalam
jumlah pembagian zakat.
b. Abu
bakar terkenal dengan keakuratan dan ketelitiannya dalam mengelola dan
menghitung zakat. Terbukti dengan ketelitian dan kehati-hatian beliau
mengangkat seorang Amil zakat yaitu Anas. Perhatian terhadap keakuratan
perhitungan zakat Abu Bakar seperti ia katakan bahwa “jika seseorang yang harus
membayar unta betina berumur 1 tahun sedangkan dia tidak memilikinya dan ia
menawarkan untuk memberikan seekor unta betina berumur 2 tahun, hal tersebut
dapat diterima. Kolektor zakat akan mengembalikan 20 dirham atau 2 ekor kambing
padanya (sabagai kelebihan pembayaran)”.
Dalam
kesempatan lain Abu Bakar suka mengintruksikan kepada amil yang sama, kekayaan
dari orang yang berbeda tidak dapat diganggu atau kekayaan yang telah digabung
tidak dapat dipisahkan(dikhawatirkan akan kelebihan pembayaran atau kekurangan
penerimaan zakat). beliau sangat akurat dalam perhitungan dan pengumpulan zakat
kemudian ditampung di baitul maal dan di distribusikan dalam jangka waktu yang
tidak lama sampai habis tidak tersisa. Pembagiannya sama rata antara sahabat
yang masuk Islam terlebih dahulu maupun yang belakangan, pria maupun wanita.
Beliau juga membagikan sebagian tanah taklukan, dan sebagian yang lain tetap
milik negara. Dan juga mengambil alih tanah orang-orang yang murtad untuk
kepentingan umat Islam. Ketika beliau wafat hanya ditemukan 1 dirham dalam
pembendaharaan negara karena memang harta yang sudah dikumpulkan langsung
dibagikan, sehingga tidak ada penumpukan harta di baitul maal.
c. Kebijakan
selanjutnya adalah pengembangan baitul maal dan pengangkatan penanggungjawaban
baitul maal. Sebelum menjadi Khalifah, Abu Bakar tinggal di Sikh, yang terletak
di pinggir kota Madinah tempat baitul maal dibangun. Abu Baid ditunjuk sebagai
penanggung jawab baitul maal. Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah dan
bersamaan dengan itu sebuah rumah di bangun untuk baitul maal. Sistem
pendistribusian yang lama tetap dilanjutkan, sehingga pada waktu wafatnya hanya
1 dirham yang tersisa dalam perbendaharaan keuangan. Pada awal kepemimpinan
beliau mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
sehingga dengan penuh keterbukaan dan keterusterangan beliau mengatakan kepada
umatnya bahwa perdagangan beliau tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
Tentunya dengan adanya beban sebagai kepala negara akan mengurangi aktivits
dagangnya karena sibuk mengurus negara. Kesulitan beliau diketahui oleh
khalayak ramai terutama Aisyah da dengan kesepakatan bersama selama
kepemimpinan beliau baitul maal mengeluarkan kebutuhan Khalifah Abu Bakar
sebesar 2,5 atau 2 tiga perempat dirham setiap harinya dengan tambahan makan
berupa daging domba dan pakaian biasa setelah berjalan beberapa waktu ternyata
tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2500 dirham
dan menurut keterangan yang lain mencapai 6000 dirham pertahun.
d. Selain
itu Abu Bakar juga menerapkan konsep Balance budget policy pada baitul maal.
e. Secara
individu Abu Bakar adalah seorang praktisi akad-akad perdagangan.
Namun
yang menarik dalam kepemimpinam baliau adalah ketika baliau mendekati wafatnya,
yaitu kebijakan internal dengan mengembalikan kekayaan kepada negara karena
melihat kondisi negara yang belum pulih karena krisis ekonomi. Beliau lebih
mementingkan kondisi rakyatnya dari pada individu dan keluarganya.[6]
2. Umar
bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Baitul maal
pada masa ini tertata baik dan rapi lengkap dengan sistem administrasinya
karena pendapatan negara meningkat drastis. Harta baitul maal tidak dihabiskan
sekaligus, sebagian diantaranya untuk cadangan baik untuk kepentingan darurat,
pembayaran gaji tentara, dan kepentingan umat yang lain. Baitul maal merupakan
pelaksana kebijakan fiskal negara Islam. Khalifah mendapat tunjangan sekitar
5000 dirham per tahun. Harta baitul maal adalah milik kaum muslimin sedang
khalifah dan amil hanya pemegang amanah. Untuk mendistribusikan harta baitul
maal umar juga mendirikan: departemen pelayanan militer, departemen kehakiman
dan eksekutif, departemen pelayanan dan pengembangan Islam, dan departemen
jaminan sosial. Umar juga mendirikan dewan islam yang bertugas memberikan
tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun.[7]
Selain itu
Umar juga membagikan harta dalam bentuk benda, dua ember makanan sebulan, dua
karung gandum dan cuka untuk satu orang. Dalam memperlakukan tanah taklukan,
Umar tidak membaginya kepada kaum muslimin tetapi tetap pada pemiliknya dengan
syarat membayar jizyah dan kharaj. Umar juga mensubsidi masjid masjid dan
madrasah-madrasah.
Umar membagi
pendapatan negara menjadi empat yaitu: zakat dan ushr didistribusikan di
tingkat lokal, khums dan sedekah, didistribusikan untuk fakir miskin baik
muslim maupun non muslim, kharaj, fai, jizyah, pajak perdagangan, dan sewa
tanah untuk dana pensiun, daba operasional administrasi dan militer, dan
pendapatan lain-lain untuk membayar para pekerja, dan dana sosial.
Zakat pada
masa Umar bin al-Khattab Tingkat kemakmuran negara cukup tinggi karena berhasil
memaksimalkan potensi baitul mal (bahkan penerimaan baitul mal mencapai 18 juta
dirham. Pendapatan negara lain yang dioptimalkan yakni zakat, usyr, kharaj, jizyah,
dan sebagainya. Zakat juga diposisikan sebagai sumber pendapatan utama
negara Islam. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan
masalah ekonomi secara umum. Pengenaan zakat atas harta berarti menjamin
penanaman kembali dalam perdagangan dan perniagaan yang tidak perlu dilakukan
dalam pajak pendapatan.[8]
Adapun
kebijakan Umar mengenai subsidi negara yaitu, sebagai negara harus memerhatikan
apa yang dibelanjakan. untuk merealisasikan hal tersebut maka Umar memerhatikan
beberapa kaidah, salah satu kaidah tersebut adalah negara juga harus
melaksanakan dengan baik apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Zakat diberikan
kepada mereka yang berhak sebagaimana yang diterangkan oleh Allah SWT di dalam
al-Qur’an:
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang kafir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para Mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[9]
Pada
masa khalifah Umar Ibn Khattab, wilayah Islam telah meluas keluar daerah jaziah
Arab. Adminitrasi negara yang sebelumnya sangat sederhana dirasa tidak memadai
untuk mengatur wilayah yang besar. Untuk membenahi adminitrasi yang lebih
memadai diperlukan dana yang tidak sedikit, sehingga dana yang selama ini
dicukupkan dari sumber zakat, terasa lagi tidak memadai. Untuk itulah
pajak diwajibkan kepada penduduk yang nonmuslim yang mengarap tanah pemerintah.
Tetapi mereka ini kemudian masuk Islam, maka disamping kewajiban pajak tanah
kepada mereka juga dibebankan kewajiban zakat. Jadi umat Islam
dihadapkan kepada dua beban kewajiban, yakni zakat dan pajak.
Tanpa
merinci lebih jauh tentang zakat, jelas bahwa zakat dalam
berbagai bentuknya berfungsi membangun pajak kekayaan negara, karena
mendayagunakan semua bentuk kekayaan yang ada, tidak seperti halnya dalam pajak
modern, pengatuan pengumpulan zakat begitu sederhana dan tidak
memerlukan pengetahuan khusus. Berkaitan dengan tata cara pengumpulan zakat
ini, terdapat hal penting yang perlu digaris bawahi, yakni antara zakat
kekayaan (harta benda) yang tampak (kelihatan) dan yang tidak tampak.
Secara
ekonomi, pelaksanaan pemungutan zakat semestinya dapat menghapus tingkat
perbedaan kekayaan yang mencolok serta dapat menciptakan redistribusi yang
merata, di samping membantu mengekang laju inflasi. Selain perkembangan tak
menentu dari peredaran mata uang di dalam negeri, kekurangan barang dan
kecepatan peredaran uang, distribusi kekayaan yang tidak tepat dan tidak merata
dapat pula mengakibatkan timbulnya laju inflasi dan kekacauan pasar. Penanganan
yang tepat akan pajak zakat secara bertahap dapat menciptakan kondisi
keseimbangan tata ekonomi seperti diinginkan.
Patut
dicatat bahwa zakat bukan merupakan sumber penerimaan biasa bagi
negara-negara di dunia dan karena itu juga tak dianggap sebagai sumber
pembiayaan utama. Negara bertanggung jawab dalam penghimpunan dan penggunaannya
secara layak dan penghasilan dari zakat tidak boleh dicampur dengan
penerimaan publik lainnya.[10]
Diantara perkembangan yg ada pada masa Khalifah Umar
yaitu:
•
Pemberlakuan Ijtihad
•
Menghapuskan zakat bagi para muallaf
•
Mengahapuskan hukum mut’ah
•
Lahirnya ilmu Qira’at
•
Penyebaran Ilmu Hadits
•
Menempa mata uang dan
•
Menciptakan tahun Hijriah
3. Utsman
bin Affan (23-36 H/644-656 M)
Dilaporkan
untuk mengamankan zakat dalam gangguan dan masalah pemeriksaan kekayaan yang
tidak jelas oleh beberapa pengumpul yang nakal, Khalifah Ustman mendelegasikan
kewenangan kepada para pemilik untuk menaksirkan kepemilikannya sendiri. Dalam
hubungannya dengan zakat, dalam sambutan Ramadhan biasanya dia mengingatkan,
“lihatlah bulan pembayaran zakat telah tiba.barang siapa memiliki properti dan
utang dibiarkan dia untuk mengurangi dari apa yang dia miliki, apa yang dia
utang dan membayar zakat untuk properti yang masih tersisa.” Dia juga
mengurangi zakat dari pensiun. Tabri menyebutkan ketika menjadi Khalifah, Usman
menaikkan pensiunan sebesar 100 dirham,tetapi tidak ada rinciannya. Dia juga
menambahkan santunan dengan pakaian. Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan
membagikan makanan di masjid untuk orang-orang menderita, pengembara dan orang
miskin.[11]
Tidak
ada perubahan yang signifikan pada situasi ekonomi secara keseluruhan selama 6
tahun, berakhirnya khalifah Usman, namun ada hal-hal yang dilakukan oleh khalifah
Usman diantaranya adalah:
a.
Membangun pengairan
b.
Pembentukkn organisasi
kepolisian untuk menjaga keamanan perdagangan
c.
Pembanguna gedung
pengadilan, guna penegakkan hukum
d.
Kebijakan pembagian
lahan luas milik Raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami peningkatan
bahwa dibandingkan pada masa Umar dari 9 juta menjadi 50 juta dirham.
Dalam
pemerintahan Usman komposisi kelas sosial di dalam masyarakat berubah demikian
cepat sehingga semakin sulit menengahi berbagai kepentingan yang ada. Wajar
kalau semasa pemerintahan Usman banyak sekali konflik yang muncul di permukaan.
Bukan tugas yang mudah untuk mengawasi orang Badui yang pada dasarnya mencintai
kebebasan pribadi dan tidak mengenal otoritas pemerintahan yang dominan. Tidak
mudah pula mengakomodasikan orang yang cepat kaya karena adanya peluang-peluang
baru yang terbuka menyusul ditaklukannya propinsi-propinsi baru.
Akhir
hayat Usman di awali ketika pada saat berbagai utusan dari Kufah, Basrah, dan Mesir
datang menemui Usman agar memecat para Gubernurnya yang notabene adalah
kerabat-kerabat sendiri, tetapi Usman menolak. Mereka kemudian mengepung rumah
Usman dan menuntut pengunduran diri, Usman juga menolak. Pengepungan terus
berjalan sampai beberapa hari sebagian diantara mereka memaksa masuk ke dalam
rumah untuk kemudian membunuhnya. Ini terjadi pada bulan Dzulhijah 35 H atau 17
Juni 656 M, pada waktu berumur 82 tahun dan keKhalifahannya berlangsung selama
12 tahun kurang 12 hari. Jenazahnya di makamkan di Baqi’ waktu malam hari.
Pada
Masa Khalifah Ustman Ibn Affan Diantara perkembangan yang ada pada masa
Khalifah Ustman adalah :
•
Penaskahan Al-Qur’an
•
Perluasan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram
•
Didirikannya masjid Al-Atiq di utara benteng babylon
•
Membangun Pengadilan
•
Membentuk Angkatan
Laut
•
Membentuk Departemen:
–
Dewan kemiliteran
–
Baitrul Mall
–
Jawatan Pajak
–
Jawatan Pengadilan
4. Ali
bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 M)
Setelah
terbunuhnya Usman, maka timbul anarkhi di ibu kota Negara dan pada hari kelima,
Ali dengan suara bulatnya terpilih menjadi Khalifah menggantikan Usman. Setelah
menjadi Khalifah, Ali bin Abi Thalib menempatkan kembali kondisi Baitul maal di
tem[at pada posisi sebelumnya. Antara lain: memecat beberapa pejabat yang di
angkat Usman, mengambil tanah yang dibagikan Usman kepada keluarganya tanpa
alasan yang benar, memberikan bantuan kepada kaum Muslimin berupa tunjangan
yang di ambil dari Baitul maal, mengatur kembali tata laksana pemerintahan
untuk mengembalikan kepentingan umat serta memindah pusat pemerintahan ke
Kuffah dari Madinah.
Kebijakan
yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib ini telah menyerang orang-orang yang
telah memperkaya dirinya semasa pemerintahan yang lama. Beberapa orang-orang
Usman rela menyerahkan jabatannya tanpa melakukan perlawanan. Sementara yang
lainnya menolak. Di antara yang menolak adalah Muawiyah, Gubernur Syiria, yang
kemudian bersama sekutu-sekutunya menuntut pembalasan atas kematian Usman.
Ali
berkuasa selama 5 tahun. Sejak awal dia selalu mendapatkan perlawanan dari
kelompok yang bermusuhan dengannya, pemberontakan kaum Khawarij dan peperangan
berkepanjangan dengan Muawiyah yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa
yang independen di daerah Syiria dan (kemudian) Mesir.
Menurut
sebuah riwayat, dia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana
Baitul maal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5000 dirham setiap
tahunnya. Sebagai Khalifah, Ali sangat sederhana dalam hidupnya.
Ibnu
Abbas, Gubernur Ali di Kuffah, memungut zakat atas sayuran yang tidak membusuk
yang digunakan sebagai bumbu. Seperti sudah dinyatakan sebelumnya, Ali tidak hadir
pada pertemuan Majelis Syuro di Djabiya (masuk wilayah Madinah) yang diadakan
oleh umar untuk menyepakati peraturan-peraturan yang sangat penting yang
berkaitan dengan daerah taklukkan. Pertemuan itu juga menyepakati untuk tidak
mendistribusikan seluruh pendapatan Baitul maal, tetapi menyimpan sebagian
untuk cadangan. Semua kesepakatan itu berlawanan dengan pendapatan Ali. Oleh
karena itu ketika menjabat sebagai Khalifah, dia mendistribusikan seluruh
pendapatan dan propinsi yang ada di Baitul maal Madinah, Busra, dan Kufa.[12]
Jadi
pada Khalifah Ali bin Abi Thalib berkaitan dengan kebijakan yang dilakukannya
selama 6 tahun kepemimpinannya adalah :
a.
Pendistribusian seluruh
pendapat yang ada pada Baitul maal berbeda dengan Umar yang menyisihkan untuk
cadangan
b.
Pengeluaran angkatan
laut di hilangkan
c.
Adanya kebijakan
pengetatan anggaran
d.
Dan hal yang sangat
monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam,
dimana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan
dirham dari Persia.
C. Zakat
Pada Masa Dinasti Umayyah (611-750 M)
Pasca
pemerintahan Khulafaur
Rasyidin, pemerintahan Islam seringkali
dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan (bughat)
Wali Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib yang
diperangi dalam Perang Siffin, kemudian berlanjut dengan kekisruhan
negara pada masa kekhalifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang
Khalifah oleh Kaum Khawarij, tidak berarti Islam tidak lagi memiliki
khalifah yang baik.
Masa
kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14
orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, sedangkan
khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad. Diantara mereka ada
pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan kehendak
zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun
urutan khalifah Umayyah adalah sebagai berikut.
1.
Muawiyah I bin Abi
Sufyan 41-60H/661-679M
2.
Yazid I bin Muawiyah 60-64H/679-683M
3.
Muawiyah II bin Yazid 64H/683M
4.
Marwan I bin Hakam 64-65H/683-684M
5.
Abdul Malik bin Marwan 65-86H/684-705M
6.
Al-Walid I bin Abdul
Malik 86-96H/705-714M
7.
Sulaiman bin Abdul
Malik 96-99H/714-717M
8.
Umar bin Abdul Aziz 99-101H/717-719M
9.
Yazid II bin Abdul
Malik 101-105H/719-723M
10.
Hisyam bin Abdul Malik 105-125H/723-742M
11.
Al-Walid II bin Yazid
II 125-126H/742-743M
12.
Yazid bin Walid bin
Malik 126H/743M
13.
Ibrahim bin Al-Walid II 126-127H/743-744M
14.
Marwan II bin Muhammad 127-132H/744-750M.[13]
Kebijakan
yang serius terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik yaitu dalam hal pajak dan
zakat dengan memberlakukan kewajiban bagi umat Islam untuk membayar zakat dan
bebas dari pajak lainnya. Lebih jauh lagi, pada masa Khalifah Umar ibn Aziz
menerapkan kebijakan otonomi daerah. Dimana setiap wilayah Islam mempunyai
wewenang untuk mengelola zakat dan pajak sendiri-sendiri dan tidak diharuskan
menyerahkan upeti kepada pemerintah pusat. Bahkan sebaliknya pemerintah pusat
akan memberikan bantuan subsidi kepada setiap wilayah Islam yang minim
pendapatan zakat dan pajaknya.[14]
Perkembangan pengelolaan zakat tersebut sangat
dirasakan pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Keberhasilan umar
bin abdul aziz karena kemampuan manajemen dan kejujuran yang dia miliki. Konsep
distribusi zakat yang dikembangkan beliau adalah zakat merupakan bentuk subsidi
silang yang secara langsung dapat dirasakan dampak ekonominya.
Zakat harus memiliki dampak pada peningkatan
masyarakat yang memiliki daya beli rendah. Dengan rangsangan zakat akan
meningkatkan demand atau permintaan, sehingga pada akhirnya meningkatkan
supply. Dengan kata lain peningkatan demand tersebut juga mendorong peningkatan
produksi. Zakat menjadi stimulan pertumbuhan perekonomian secara mikro maupun
makro. Pada akhirnya para pembayar zakat berkeliling kota untuk mencari
penerima zakat yang sudah sulit ditemui, karena mereka pada umumnya sudah
memiliki kemapanan dibidang ekonomi.
Umar
bin Abdul Aziz telah menjadi proklamator dalam melakukan reformasi ekonomi
dalam bentuk kebijakan pembangunan ekonomi modern, yang berhasil mencapai
keseimbangan antara kekuatan supply and demand bahkan terjadi surplus
pendapatan dalam neraca anggaran negara, tidak lain semua anggaran itu
dipergunakan untuk memperbaiki kondisi rakyatnya dalam semua dimensi baik dalam
dimensi spiritual maupun matriil, untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sehingga
semuanya hidup dalam peringkat ekonomi yang cukup (kemiskinan dan pengangguran
tidak didapatkan pada masa kepemimpinannya), dan tercapailah keadilan dalam
pendistribusian kekayaan (anggaran) kepada rakyatnya, dan selalu menghimbau
untuk selalu melakukan investasi dalam berbagai bentuk dan menerapkan sistem
perpajakan untuk mencapai keseimbangan ekonomi.
Ada 7 faktor penyebab kemunduran kekuasaan Bani
Umayyah, yaitu :
• Persoalan suksesi kekhalifahan
• Sikap glamor penguasa
• Perlawanan kaum Khawarij
• Perlawanan dari kelompok Syi’ah
• Meruncingnya pertentangan etnis
• Timbulnya stratifikasi sosial
D. Zakat
Pada Masa Dinasti Abbasiyah (750-847 M/132-232 H)
Pemerintahan
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Khalifah Umayyah, di mana pendiri
dari Khalifah ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad saw, yaitu
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya
berlansung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai
dengan 656 H (1258 M).
Di masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah ini, sumber
pemasukan negara yang paling utama berasal dari pajak dan zakat. Seperti jizyah
(pajak kepala yang dipungut dari penduduk non-Muslim kepada pemerintah Islam
sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah dan konsekuensi dari
perlindungan yang diberikan pemerintah Islam untuk mereka), sumber pendapatan lain
dari ‘asyur al-tijarah (pajak perdagangan yang dikenakan kepada pedagang
non-Muslim yang melakukan transaksi di Kekhalifahan Islam) dan kharaj (pajak
tanah yang dipungut dari pemilik tanah non-Muslim dan dalam hal-hal tertentu
dibebankan pula kepada Muslim). Secara garis besar pengeluaran negara pada
masa Dinasti Abbasiyah digunakan untuk gaji pegawai, biaya pertahanan dan
profesionalisme tentara, biaya pengembangan ilmu pengetahuan, dan pembangunan
secara fisik, serta kesejahteraan masyarakat banyak.[16]
Daulah
Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid,
seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan
dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Suasana negara yang aman dan damai membuat rakyat
menjadi tenteram. Bahkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit
mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat
kemakmuran penduduknya merata. Di samping itu, banyak pedagang dan saudagar
yang menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani
Abbasiyah pada masa itu.
Evolusi perkembangan pengelolaan buku Akuntansi
mencapai tingkat tertinggi pada masa Daulah Abbasiyah. Akuntansi
diklasifikasikan pada beberapa spesialisasi, antara lain Akuntansi Peternakan,
akuntansi Pertanian, Akuntansi Bendahara, Akuntansi Konstruksi, Akuntansi Mata
Uang dan Pemeriksaan buku (auditing). Begitu juga dalam hal pencatatan zakat.
Pada masa itu, sistem pembukuan telah menggunakan
model buku besar, yang meliputi sebagai berikut :
• Jaridah Al-Kharaj (mirip receivable subsidiary
ledger), merupakan pembukuan pemerintah terhadap piutang pada individu atas
zakat tanah, hasil pertanian, serta hewan ternak yang belum dibayar dan cicilan
yang telah dibayar. Piutang dicatat di satu kolom dan cicilan pembayaran
dikolom yg lain.
• Jaridah An-Nafaqaat (jurnal pengeluaran), merupakan
pembukuan yang digunakan mencatat pengeluaran Negara
• Jaridah Al-Maal (Jurnal Dana), merupakan pembukuan
yang digunakn untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran zakat
• Jaridah Al-Musadareen, merupakan pembukuan yang
digunakan untuk mencatat penerimaan denda/sita dari individu yang tidak sesuai
dengan Syari’ah, termasuk dari Pejabat yang korup.
Adapun untuk pelaporan, telah dikembangkan berbagai
laporan akuntansi, antara lain sebagai berikut :
• Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan
pengeluaran yang dibuat setiap bulan
• Al-Khitmah al-Jame’ah, laporan keuangan komprehensif
yang berisikan gabungan antara laporan laba-rugi dan neraca (pendapatan,
pengeluaran, surplus dan defisit, belanja untuk asset lancar maupun Asset
Tetap) yang dilaporkan di Akhir Tahun. Dalam perhitungan dan penerimaan zakat,
utang zakat, diklasifikasikan dalam laporan keuangan menjadi 3 Kategori, yaitu
Collectable Debts dan Uncollectable Debts.
• Dengan begitu dapat terlihat bahwa manajemen zakat
pada masa dinasti Abbasiyah ini dilakukan dengan meneruskan apa yg ada pada
masa dinasti Umayyah. Terdapat perkembangan pada hal pencatatan dan
pemberdayaannya. dalam hal pencatatan seperti yang telah dijabarkan di atas.
Pemberdayaannya dilakukan secara konsumtif dan produktif.
• Hanya
untuk zakat produktif, juga digunakan untuk
membangun fasilitas publik serta penggunaan dana zakat produktif
digunakan untuk memberikan beasiswa guna perkembangan ilmu pengetahuan yang
pada masa itu memang berkembang dengan pesat dalam berbagai bidang keilmuan.
Pada awal pemerintahan Bani Abbas merupakan
pemerintahan yg kaya. Dana yg masuk lebih besar dari yg keluar, Baitul-Mal
penuh harta. Perekonomian masy. sangat maju terutama di bidang pertanian,
perdagangan dan industri. Seiring berjalan waktu terjadi banyak penyimpangan yg
mmbuat dinasti runtuh. Menurut Dr. Badri Yatim, M.A.,
bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran pada masa daulah Bani
Abbasiyah adalah sebagai berikut.
• Persaingan
antara bangsa
Khilafah
Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang persia.
Setelah Dinasti Abbasiyah berdiri, Bani Abbasiyah tetap mempertahankan
persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antarbangsa menjadi pemicu untuk
saling berkuasa.
• Kemerosotan
Ekonomi
Khilafah
Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Dana yang masuk lebih besar daripada yang keluar,
sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode
kemunduran, pendapatan negara menurun, dan dengan demikian terjadi kemerosotan
dalam bidang ekonomi.
• Konflik
Keagamaan
Fanatisme
keagamaan terkait erat dengan persoalan kebangsaan. Berbagai aliran keagamaan
seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus Sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya
menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan
berbagai faham keagamaan yang ada.
• Perang
Salib
Perang
salim merupakan sebab dari eksternal umat Islam.
• Serangan
Bangsa Mongol (1258 M)
Serangan
tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi
lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab
menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah kepada
kekuatan Mongol.
BAB
III
PENUTUP
Pada masa pemerintahan
Rasulullah, zakat terbagi menjadi dua periode yaitu periode Mekkah dan periode
Madinah. Selanjutnya pada masa Khulafaur Rasyidin pemerintahan Abu bakar zakat
dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara pengelolaan zakat yang dilakukan
Rasulullah, zakat pada masa Umar tingkat kemakmuran negara cukup tinggi karena
berhasil memaksimalkan potensi baitul maal, pada pemerintahan Utsman terdapat
kemajuan yaitu kewenangan untuk menaksir zakat pada muzaki, selanjutnya Ali
memperbaiki sitem pada masa utsman. Zakat pada masa dinasti umayah dengan
memberlakukan kewajiban bagi umat Islam untuk membayar zakat dan bebas dari
pajak lainnya. Sedangkan pada masa dinasti Abbasiyah terdapat perkembangan
pengelolaan buku Akuntansi yang mencapai tingkat tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhayly,
Wahbah. 1995, Zakat Kajian
Berbagai Madzhab, Bandung:
Remaja Rosdakarya
Chamid Nur, 2010 “Jejak
Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Daud Ali Mohammad, 1988. Sistem
Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf. Jakarta: Ui-Press
Nurudin. 2006. Zakat Sebagai
Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal. Jakatra: Raja Grafindo Persada
Syarif Ibnu Mujar dan
Zada Khamami, 2008 “Fiqh Siyasah” Jakarta: Erlangga.
[1] Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Amzah, 2013), H. 68
[2]Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), H. 44
[3] Ibid, H. 51-53
[5] Ibid, Nur Chamid, H. 64
[6] Ibid, H. 66-67
[7] Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan
Waka, (Jakarta: UI-Press, 1988), H. 39-40
[8] Nurudin, Zakat
Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakatra: Raja Grafindo Persada,
2006), H. 47
[9] Ibid, Nur Chamid, H. 71
[10]Mujar Ibnu Syarif & Khamami Zada, Fiqh Siyasah, (Jakarta:
Erlangga, 2008), H. 328-332.
[11] Ibid, Nur Chamid, H. 95-96
[12] Ibid, H. 98-101
[13] Ibid, Samsul Munir Amin, H. 121-122
[14] Ibid, Nur Chamid, H. 115-116
[15] Ibid, Samsul Munir Amin, H. 136-137
[16] Ibid, Nur Chamid, H. 134