KATA PENGANTAR
Segala puji
hanya milik Allah SWT.
Shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
limpahan dan rahmat-Nya
penyusun mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi
tugas mata kuliah Ulumul Qur’an.
Dalam penyusunan
makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dari temen-teman seperjuangan sehingga kendala-kendala yang
penulis hadapi teratasi.
Semoga makalah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada
pembaca khususnya para kami sebagai mahasiswa. Kami sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan
makalah kami di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan masalah............................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hadist Mutawir............................................................................................... 3
2.2 Hadist Ahad.................................................................................................... 5
2.3 Hadist Aziz..................................................................................................... 7
2.4 Hadist Gharib.................................................................................................. 7
C. Macam-MacamMahabah.................................................................................. 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarahnya, Hadis dihimpun dan dikodifikasikan
secara resmi pada abad kedua Hijriyah, berdasarkan hapalan dan ingatan mereka.
Hadis sebelum dibukukan disebarkan secara hapalan dan diterima secara hapalan
pula dengan tingkat hapalan yang
berbeda, tingkat kejujuran yang berbeda dan cara penerimaan serta penyampaian
yang berbeda. Oleh karena itu dalam perkembangan penelitian Hadis
terbagi kepada bebertapa macam bergantung pada tinjauannya. Adakalanya
dilihat dari jumlah periwayat, dilihat dari kualitas sanad dan matan, dilihat
dari sumber berita, panjang pendeknya sanad dan lain-lain. Pada makalah ini terlebih dahulu akan dibahas
macam-macam Hadis dilihat dari segi kuantitas atau jumlah periwayat Hadis.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
Hadits Mutawatir, Ahad, Masyhur, ‘Aziz ?
2.
Klasifikasi
Hadits Mutawatir, Ahad, Masyhur, ‘Aziz ?
3.
Contoh
Hadits Mutawatir, Ahad, Masyhur, ‘Aziz ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Hadits
Mutawatir
A.
Pengertian
Hadits Mutawatir
Mutawâtir dalam
bahasa Arab dari kata
: تَواتَرَ يَتواتُرُ تواتُرًا فهو مُتَواتِرٌ
Yang berarti المتتابع = yang datang
kemudian, beriring-iringan, atau beruntun. Dalam istilah menurut al-Mas’udiy dalam kitab
Minhat al-Mughits
pengertian mutawatir, yaitu
:
مَا
رَواهُ مِنَ الاِبْتِدَاءِ الى الانتهاءِ
جمعٌ عن جمعٍ تَمْنَعُ العادةُ اتفاقَهُمْ على الْكَذِبِ وهُوَ مِمَّا يُدْرَكُ بالحِسِّ
Hadis
yang diriwayatkan oleh segolongan orang banyak dari permulaan sampai akhir sanad sehingga menurut kebiasaan
diketahui mustahil mereka sepakat bohong dan Hadis macam ini tergolong yang didapatkan melalui panca
indra.
B.
Syarat-syarat
Hadits Mutawatir
1.
Periwayatnya
orang banyak
Para
ulama Hadis berbeda pendapat tentang minimal jumlah banyak pada periwayat Hadis mutawâtir tersebut. Di antara
mereka ada yang berpendapat, Abu Thayyib 4 orang (diqiyaskan dengan
banyaknya saksi yang diperlukan hakim), Ash-habu’sy-syafi’i berpendapat 5 orang
(diqiyaskan jumlah para nabi yang mendapat gelar ulul azmi), atau 10 orang, 40 orang, 70 orang, bahkan ada yang
berpendapat 300 orang lebih. Pendapaat yang lebih kuat minimal 10 orang.
2.
Jumlah
banyak pada seluruh tingkatan sanad
Jumlah
banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir
sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja, tidak
dinamakan mutawatir, tetapi nanti masuk pada Hadis ahad. Kesamaan banyak para
periwayat tidak berarti harus sama jumlah angka nominalnya, tetapi yang penting
nilai verbalnya sama, yakni sama banyak. Misalnya, pada awal Sanad 2 orang, sanad kedua 3 orang, sanad
berikutnya 10 orang, 20 orang dan seterusnya tidak dinamakan mutawâtir. Jika
sanad pertama 10 orang, sanad kedua 15
orang, sanad berikutnya 20 orang, 25 orang, dan seterusnya, jumlah
yang seperti ini tetap dinamakan sama banyak dan tergolong mutawâtir.
3.
Tercegah sepakat bohong
Misalnya
jika para perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat
yang berbeda pula. Sejumlah para
periwayat yang banyak ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan
bohong secara uruf (tradisi). Tetapi jika jumlah banyak itu masih memungkinkan
adanya kesepakatan bohong tidaklah mutawâtir.
4.
Beritanya bersifat indrawi
Maksudnya berita yang diriwayatkan itu dapat didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata kepala, tidak
disandarkan pada logika akal seperti
sifatnya alam yang baru. Sandaran berita secara indrawi maksudnya dapat
diindra dengan indra manusia, misalnya seperti ungkapan periwayatan :
سَمِعْنَا = Kami mendengar [dari Rasulullah bersabda
begini]
C.
Macam-macam
Hadits Mutawatir
1.
Mutawatir
Lafdhi
adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan
redaksi dan maknanya sesuai antara riwayat yang satu dengan yang lainnya.
Contoh : مَنْ كَذَّبَ عَليَّ
مُتعمِّداً فلْيتَبَوأْ مقعَدَه مِنَ النَّار
Barang
siapa yang mendustakan atas namaku, maka
hendaklah bersiap-siap bertempat tinggal di neraka. (HR. Ahmad,
Turmudzi, al-Nasa’i, Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
Al-Suyuthiy
menyebutkan bahwa Ibn al-Shalah menyebutkan 62 orang sahabat yang meriwayatkan
Hadis di atas dengan susunan redaksi dan makna yang sama. Contoh lain, Hadis tentang telaga (al-hawdh)
diriwayatkan lebih 50 orang sahabat, Hadis menyapu sepatu (khawf) diriwayatkan 70 orang
sahabat, Hadis tentang mengangkat kedua
tangan dalam shalat oleh 50 orang
sahabat, dan lain-lain.
2.
Mutawatir
maknawi
ialah
hadits mutawatir yang berbeda dalam lafadz tetapi adanya kesamaan dalam makna.
Contoh
: Hadis tentang mengangkat kedua tangan dalam berdo`a banyak jumlahnya, di
antaranya
عن
أنسٍ قالَ رأيتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَرْفعُ يدَيْهِ في الدُّعاءِ حتى
يُرَى بياضُ إبْطَيْهِ (أخرجه مسلم)
Dari Anas ra
berkata : Aku melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a sehingga terlihat
keputih-putihan ketiaknya. (HR Muslim)
Dalam Hadis
lain Nabi saw mengangkat kedua tangan ketika berdo’a qunut sebagaimana berikut
:
ورَوَيْنَا
عن ابنِ مسعودٍ ، أنهُ كانَ يَرْفَعُ
يدَيْهِ في القنوتِ إلى ثَدْيَيْهِ (أخرجه البيهقي)
Kami meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa beliau mengangkat kedua tangannya dalam do’a qunut sampai setinggi dua susunya.
(HR. al-Bayhaqiy)
Hadis yang ditampilkan di atas berbeda redaksi lafadznya
tetapi adanya kesamaan dalam makna yaitu mengangkat kedua tangan ketika berdo’a
sekalipun dalam kondisi yang berbeda.
Hadis pertama Nabi mengangkat kedua tangannya ketika minta hujan di
tengah-tengah khuthbah jum’at sedang
Hadis ketiga ketika do’a qunut. Dalam penelitian al-Suyuthî terdapat 100 periwayatan yang menjelaskan
bahwa Nabi mengangkat kedua tangannya ketika berdo`a tetapi lafazh dan kondisi berbeda ada kalanya dalam shalat istisqâ’,
shalat gerhana mata hari, ziarah kubur di
Baqî’, ketika
ada hujan angin yang besar, dalam suatu pertempuran, dan lain-lain. Maka
disimpulkan bahwa mengangkat kedua tangan dalam berdo`a mutawâtir secara
makna melihat keseluruhan periwayatan maknanya sama yakni Nabi mengangkat kedua
taangannya ketika berdo’a.
D.
Hukum
Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberi faedah ilmu dharuriy atau yakin kebenarannya tak ada keraguan bahwa
berita itu datang dari Nabi Muhammad SAW dan wajib diamalkan.
2.2
Hadits
Ahad
A.
Pengertian Hadits Ahad
Kata
Ahad ( آحاد) bentuk jamak dari ahad (أحد ) dengan makna satuan. Menurut
istilah hadis
ahad adalah :
مالَمْ
يَجْمَعْ شُروطَ الْمُتواتِر
Hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan Hadis mutawâtir.
B.
Macam-macam
Hadits Ahad
1.
Hadits
Masyhur
a.
Pengertian
Hadits Masyhur
Dalam
bahasa kata masyhur berasal شهَر َيشْهَر شُهْرةً
ومَشْهورٌ = tenar, terkenal, dan masyhur. Dalam istilah Hadits Masyhur adalah
ما
رَواهُ ثلاثةٌ فَأكْثَرَ ولَوْ فِيْ طبقةٍ
واحدةٍ ولَمْ يَصِلْ درجةَ التَّواتُرِ
Yakni
Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih sekalipun dalam satu tingkatan sanad dan tidak mencapai derajat mutawatir.
b.
Contoh
Hadis masyhur sabda Rasulillah saw :
إنَّ اللهَ لا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزاعًا يَنْتَزِعُهُ مِن
العبادِ ولكنْ يقبضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ العلماءِ حتىَّ إذا لم يُبْقِ عالماً
اتخذَ النَّاسُ رُءُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأفْتَوْا بغيرِ علمٍ فضلُّوْا
وأَضَلُّوْا. (أخرجه البخاري)
Hadis di atas masyhur di tingkat
sahabat, karena diriwayatkan 3 orang sahabat, yaitu Ibn `Amr, `Aisyah, dan Abu
Hurayrah. Sedangkan pada sanad di kalangan tabi`in lebih dari 3 orang. Hadis
masyhur bisa jadi terjadi pada satu atau
dua tingkatan sanad saja atau pada seluruh tingkatan sanad.
Hukum Hadis masyhur bergantung kepada hasil
penelitian atau pemeriksaan para ulama. Sebagain Hadis masyhûr ada yang
shahih, sebagian hasan, dan sebagian
lagi ada yang dha`if, bahkan ada yang mawdhu`. Namun, memang diakui, bahwa
ke-shahihan Hadis masyhur
lebih kuat dari pada ke-shahihan
Hadis `aziz dan gharib yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang periwayat saja.
c.
Macam-macam
Hadits Masyhur
1.
Masyhur
dikalangan muhaditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum).
2.
Masyhur
dikalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misal ahli hadits, fiqh, tasawuf, atau ahli
nahwu atau lainnya.
3.
Masyhur
dikalangan orang umum saja.
2.3
Hadits Aziz
a.
Pengertian hadits aziz
Dari segi bahasa kata aziz berasal dari kata عَزَّ-يَعِزُّ-عزًّا-فهو عَزِيْزًا yang
berarti sedikit dan langka. Hadis dinamakan `aziz (langka, sedikit, dan kuat) karena sedikit
periwayatnya atau langka adanya. Dari segi istilah definisinya, sebagai berikut :
هُو مَا رواهُ اثْنَانِ فقَطُّ ولَوْ في طبقةٍ واحدةٍ
Yaitu Hadis yang diriwayatkan dua orang saja sekalipun dalam satu
tingkatan sanad.
Maksud definisi di atas, bahwa Hadis `Azîz adalah Hadis yang
diriwayatkan oleh dua orang periwayat pada salah satu atau sebagian tingkatan (thabaqât)
sanad. Misalnya
periwayat dua orang hanya di tingkatan sahabat saja atau hanya pada tingkatan
tabi’in saja atau keduanya.
b.
Contoh
hadits Aziz
لايُؤْمِنُ أحدُكم حتىّ أكونَ
أحبَّ اليهِ مِنْ والِدِهِ ووَلَدِه والناسِ أجْمَعِيْنَ
(أخرجه البخارى ومسلم )
Tidak
sempurna iman salah seorang di antara kamu
sehingga aku lebih dicintai dari
pada orang tuanya, anaknya, dan manusia semuanya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadis
ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu Anas dan Abu Hurayrah, dari Anas
diriwayatkan dua orang yaitu ; Qatâdah
dan `Abd al-`Azîz bin Shuhayb dari Shuhayb diriwayatkan dua orang yaitu Isma`îl
bin `Ulaîyah dan `Abd al- Warits bin
Sa`îd, dan dari masing-masing diriwayatkan oleh jama`ah.
2.4
Hadits Gharib
a.
Pengertian
hadits Gharib
Kata Gharîb berasal dari kata غرَبَ يغرُبُ غرْبا فهو
غَرِيْبٌ yang berarti
sendirian (al-munfarid),
terisolir jauh dari kerabat, perantau, asing, aneh dan sulit dipahami.
Ulama lain memberi nama lain yang searti dengan Gharîb adalah Hadis Fard. Kata Fard (فَرد) diartikan tunggal dan satu. Dari segi istilah
Hadis gharîb atau Hadis fard
ialah :
مَاانْفِرَدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ فِىْ اَيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَ
التَّفَرُّدُبِهِ مِنَ السَنَد
hadits
yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana
saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
b.
Pembagian
Hadits Gharib
1.
Gharib
Mutlak
ialah
Hadis yang hanya seorang diri perawi dalam periwayatan Hadis sekalipun dalam satu tingkatan sanad.
Contoh :
الوَلاءُ لَحْمةٌ كلَحمةِ النَّسَبِ لا يُباعُ ولا يُوْهَبُ (أخرجه أحمد)
Hamba wala’
(pewaris budak adalah yang memerdekakannya) adalah daging bagaikan
daging nasab tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan. (H.R Ahmad)
Hadis di atas Gharîb mutlak, karena hanya Abdullah
bin Dinar dari Ibnu Umar sendirian yang meriwayatkannya.
2.
Gharib
Nisbi
Ialah
Hadis yang terjadi infirad (sendirian) pada satu sisi yang khusus, seperti tersendiri dari si perawi tertentu atau penduduk negeri tertentu dan atau sifat perawi
tertentu.
Gharib Nisbi terbagi menjadi 3 macam :
1.
Gharib pada perawi
tertentu
Periwayatan Hadis ini dibatasi dengan periwayat Hadis tertentu,
misalnya Hadis dari Sufyân bin `Uyaynah
dari Wâ’il bin Dawûd dari putranya Bakar bin Wâ’il dari al-Zuhriy dari
Anas bahwa :
أنَّ النبّيَّ ص م أَوْلمَ على صفِيَّةَ بسَويقٍ وتمرٍ
Bahwa Nabi saw mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan bubur sawiq dan tamar (kurma).
Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Dawûd, al-Turmudzi, al-Nasâ’i, dan
Ibn Mâjah. Tidak ada yang meriwayatkannya dari
Bakar selain Wâ’il dan tidak ada yang meriwayatkannya dari Wâ’il kecuali
Ibn Uyaynah
2.
Gharîb dalam sifat ke-tsiqah-an perawi
Ke-gharîb-an Hadis
dibatasi pada sifat ke-tsiqah-an seorang atau beberapa orang periwayat saja, misalnya:
عن أَبِى وَاقدٍ أن النبيَّ ص م كانَ يَقْرأٌ فى الأضحَى والفطرِ بِ
(ق~ وَاقْتَرَبتِ السَّاعَة)
Hadis dari Abi Waqid bahwa Nabi saw membaca Surah Qaf dan Iqtarabat al-Sâ`ah pada
shalat `Id al-Adha dan `Id al-Fithr.
Hadis di atas hanya diriwayatkan oleh Dhamrah
bin Sa`id dari Ubaydillah
bin `Abdillah dari Abî Wâqid. Di
kalangan para periwayat yang tsiqah
tidak ada yang meriwayatkannya selain
dia, maka disebut gharâbah dalam kepercayaan (tsiqah).
3.
Gharîb pada negeri tertentu
Sebutan nisbah bi al-balad diberikan kepada Hadis
yang hanya diriwayatkan oleh suatu penduduk tertentu sedang penduduk yang lain
tidak meriwayatkannya. Misalnya Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawûd dari al-Thayâlisiy dari Hammam
dari Abi Qatâdah dari Abi Nadhrah dari Abi Sa`îd berkata :
أُمِرْناَ أن نَقْرأَ بفاتحةِ الكتا بِ وما تَيسَّرَ
Kami diperintah membaca Fatihah al-Qur’an dan apa
yang mudah dari al-Qur’an.
Al-Hakim
berkata :“Hanya penduduk Bashrah yang meriwayatkan Hadis tersebut dari awal sanad
sampai akhir.” Berdasarkan perkataan al-Hakim ini maka Hadis di atas disebut Gharîb
Nisbiy, karena ke-gharîb-annya itu dibatasi pada ulama Bashrah saja
yang meriwayatkannya, ulama dari negara lain tidak ada yang meriwayatkannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hadis
berdasarkan jumlah perawi terbagi menjadi dua, yaitu : Mutawâtir dan
Âhâd. Hadis muatawtir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang pada seluruh sanad, banyaknya
menurut kebiasaan tidak mungkin sepakat bohong. Contohnya seperti sabda Nabi :
من كذب
عليّ متعمّدا فليتبوأ مقعده من النار
Al-Suyuthi
menyebutkan bahwa Ibn al-Shalâh menyebutkan 62 orang sahabat yang meriwayatkan
Hadis di atas. Syarat Hadis mutawâtir ada 4 yaitu ; 1) perawinya banya, 2) Banyaknya perawi pada seluruh sanad, 3)
banyaknya tidak mungkin sepakat bohong menurut aday kebiasaan dan 4) pada
masalah indrawi bukan akli. Hadis
mutawâtir terbagi menjadi dua yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir maknawi.
Mutawatir lafdzi adalah lafal dan maknanya sama sedang muitawâtir maknawi adalah
mutawâtiur secara makna.
Hadis Âhâd
adalah Hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan Hadis mutawâtir yakni
Hadis yang perawinya tidak banyak atau banyak tetapi tidak pada seluruh
sanad atau banyak tetapi masih
memungkinkan bohong menurut tradisi. Hadis âhad terbagi menjadi 3 macam, jika
jumlah perawi 3 orang atau lebih tetapi tidak mencapai mutawatir disebut Hadis
masyhur, jika yang meriwayatkannya 2 orang disebut Hadis Aziz dan jika
yang meriwayatkannya hanya satu orang disebut Hadis Gharîb.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman,
Fatchur. Ikhtisar
Mushthalahul hadits.
Bandung: Alma’arif, 1974
Nuruddin. ‘Ulumul
hadits. Bandung: Remaja
Rosdakarya , 2012
Ad dimasyqi,
Ibnu Nashirudin. Mutiara
Ilmu Atsar. Jakarta: Media
Eka Sarana, 2008
Majid, Abdul. Ulumul
Hadis. Jakarta: Amzah, 2009
Thahan, Mahmud. Taisir Musthalah al hadits. Bogor: Pustaka thariqul
izzah 1985 (terjemah abu fuad)
Yuslem, nawir. Ulumul Hadits. Jakarta:
Mutiara sumber widya, 2001