BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia
adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Allah SWT
tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkis atau tidak
ada aturan. Demi untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT
mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut sehingga antara laki-laki dan
perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling rida-meridai, dan
dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau kedua pasangan laki-laki dan
perempuan itu telah saling terikat.
Bentuk
pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk memelihara
keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak laksana
rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya.
Pergaulan suami-isteri diletakkan dibawah naungan keibuan dan kebapaan,
sehingga nantinya dapat menumbuhkan keturunan yang baik dan hasil yang
memuaskan. Peraturan pernikahan seperti inilah yang diridai oleh Allah SWT dan
diabadikan dalam Islam untu selamanya.
Pernikahan
merupakan sebuah langkah untuk menyatukan dua insan yang berbeda jenis dalam
satu ikatan suci, guna melestarikan keberlangsungan hidup manusia. Ini sejalan
dengan maqasid al-Shari’ah[1].
Namun tak jarang seiring berjalanya waktu, pernikahan itu mengalami keretakan
dan perpisahan, baik berupa talak maupun ditinggal mati oleh salah satu pihak.
Hal ini merupakan problematik yang paling ditakuti oleh para pelaku pernikahan.
Sebab hal ini, mempunyai beberapa konsekuensi yang harus dijalani.
Sekalipun pernikahan merupakan
ikatan yang sangat kuat serta setiap pasangan pernikahan membulatkan tekadnya
untuk mencapai tujuan dishari'atkannya nikah, namun adakalanya untuk membangun
rumah tangga yang harmonis (sakinah, mawaddah, rahmah) tidak semua dapat
terlaksana dengan mulus. Tujuan pernikahan sering tidak dapat tercapai sebab
sikap kemanusiaan masing-masing yang saling berbenturan. Oleh karena itu harus
ada jalan keluar untuk mengatasi hal ini, Talak dishari'atkan untuk mengatasi
permasalahan ini.
Hak untuk menjatuhkan talak melekat
pada orang yang menikahinya. Apabila hak menikahi orang perempuan untuk
dijadikan sebagai istri, maka yang berhak menjatuhkan talak adalah orang
laki-laki yang menikahinya.[2]
Sedangkan bagi isteri, Islam memberikan jalan untuk memutuskan
ikatan perkawinan dengan suaminya jika ternyata suaminya buruk akhlaknya, atau
karena cacat, atau perbuatannya menimbulkan mad}arat bagi istri sementara suami
tetap bersikukuh untuk mempertahankan utuhnya perkawinan yaitu dengan
mengadukan persoalannya kepada Qadli/Hakim dengan menggugat agar dijatuhkan
talak suami kepada dirinya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam
makalahini adalah.
1)
Bagaimana
pengertian, hukum dan macam-macam talak?
2)
Bagaimana
pengertian, hukum, tujuan, hak dan kewajiban serta macam-macam iddah?
3)
Bagaimana
pengertian, hukum, syarat, rukun dan hikmah dari ruju’?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Talak
Secara
bahasa talak berarti pemutusan ikatan, sedangkan menurut istilah talak berarti
pemutusan tali pernikahan. Talak tanpa adanya alasan merupakan sesuatu yang
dimakruhkan. Dari Tsauban R.A ia menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
‚siapapun wanita yang meminta cerai tanpa adanya alasan yang membolehkan, maka
haram baginya bau surga ‛.(HR, Ahmad Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, dimana
beliau menghasankannya)[3]
Talak
diperbolehkan (mubah) jika untuk menghindari bahaya yang mengancam salah satu
pihak, baik itu suami atau istri, Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah:
231
Artinya:
‚Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya,
Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan
cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa
berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah
padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al
Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu‛.[4]
Talak
adalah putusnya ikatan pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Dan putus pernikahan disini adalah bisa berarti salah seorang diantara keduanya
meninggal dunia atau antara pria dan wanita sudah bercerai dan salah seorang
diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya,
sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan pernikahan suami istri sudah putus
dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oleh
tali pernikahan.
Selain
itu talak juga dapat diartikan dengan menghilangkan ikatan pernikahan sehingga
setelah hilangnya ikatan pernikahan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya,
dan ini terjadi dalam talak ba’in. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan
pernikahan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan
berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari
dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak suami talak, itu yaitu
terjadi dalam talak raj’i.[5]
2.1.1
Macam-macam Talak
Talak
terbagi menjadi dua macam yakni talak sunnah dan talak bid’i:[6]
·
Talak
Sunnah
Talak sunnah yakni talak yang
terjadi dengan mengikuti perintah syara’. Talak sunnah adlah talak suami yang
menceraikan istri telah berhubungan dengan istri dengan satu kali talak. Istri
dalam keadaan suci dan ia tidak menyentuhnya.
·
Talak
Bid’i
Talak bid’i adalah talak yang
berbeda dengan yang disyariatkan. Seakan – akan ia menceraikannya tiga kali
dalam satu kata. Atau ia menceraikannya tiga kali berbeda – beda pada satu
tempat. Seakan – akan ia berkata : “Engkau aku cerai, engkau aku cerai, engkau
aku cerai.” Atau juga ia menceraikan waktu haidh dan nifas, atau dalam waktu
suci namun telah berhubungan dengannya. Para ulama; telah sepakat bahwa talak
bid’i hhukumnya haram.
Kemudian talak jika dilihat dari
segi kembalinya dan bagiannya terbagi dalam dua hal yakni talak raj’i dan talak
ba’in.
·
Talak
Raj’i
Talak raj’i
adalah talak yang diperbolehkan bagi laki – laki untuk kembali pada istrinya,
sebelum habis masa ‘iddah dengan tanpa mahar baru dan akad baru. Talak ini
tidak menjadi jelas untuk istri seketika tetapi stelah berakhirnya ‘iddah. Ia
bernaung dalam lindungan suaminya hingga habis masa ‘iddahnya. Ia tinggal dalam
rumah yang disebutkannya. Atau rela jika dipilihkannya. Ia memberikan
nafkahnya, selama dirinya tidak takut atas suaminya. Maka pada saat demikian ia
pergi ke keluarganya. Adapun yang termasuk dalam kategori talak raj’i adalah
sebagai berikut: 1) Talak satu atau talak dua tanpa ‘iwadh dan telah
kumpul. 2) Talak karena ila’ yang dilakukan Hakim. 3) Talak Hakamain
artinya talak yang diputuskan oleh juru damai (hakam) dari pihak suami maupun
dari pihak isteri.[7]
·
Talak
Ba’in
Talak ba’in
adalah talak yang memutuskan, yaitu suami tidak memiliki hak untuk kembali pada
perempuan yang diceraikannya dalam masa ‘iddahnya. Talak ba’in masih terbagi lagi menjadi dua yakni talak
ba’in shughra dan qubra.
a.
Talak
ba’in shughra, yakni talak bagi laki – laki tidak boleh kembali kepada istri
kecuali dengan mahar dan akad yang baru. Pada saat iddah atau setelah masa
iddahnya. Adapun yang termasuk dalam kategori talak ba’in sugra ini
adalah: a) Talak karena fasakh yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan
Agama, b) Talak pakai iwadh (ganti-rugi), talak tebus berupa khulu’
c) Talak karena belum dikumpuli.[8]
b.
Talak
ba’in qubra, yakni talak yang tidak boleh bagi laki – laki kembali pada
istrinya, kecuali stelah mantan istrinya tadi menikah dengan orang lain
terlebih dahulu hingga melaksanakan tujuan pernikahan secara benar. Ketika
suami kedua menceraikan dengan talak yang benar maka suami pertama baru boleh
menikahinya kembali dengan mahar dan akad yang baru. Adapun suami yang kedua
tersebut disebut dengan muhallil.
Berikut
keterangan Imam Syafi’i mengenai hukum talak tiga sekaligus, antara lain: Imam Syafi’i, dalam Kitab al-Um mengatakan:
“Apabila berkata seorang laki-laki kepada isterinya yang belum digaulinya:
“Engkau tertalak tiga”, maka haramlah perempuan itu baginya sehingga ia kawin dengan
suami yang lain.”[9]
2.1.2. Hukum Talak
Mengenai
hukum talak, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqh. Dari kalangan Ulama’
Hanafiyah berpendapat bahwa talak itu terlarang kecuali bila diperlukan. Sedang
menurut madzhab Syafi’i membedakan hukum talak menjadi empat yaitu:[10]
a.
Wajib yaitu seperti talaknya orang yang tidak bisa bersetubuh.
b.
Haram yaitu menjatuhkan talak sewaktu isteri dalam keadaan haid.
c. Sunnah yaitu seperti talaknya orang yang tidak bisa melaksanakan
kewajibannya sebagai suami karena tidak ada keinginan sama sekali kepada
isterinya.
d. Makruh
seperti terpeliharannya semua peristiwa tersebut di atas.
2.2 Pengertian
Iddah
‘Iddah
adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata addayauddu-iddatan, dan jamaknya
adalah idad yang secara arti kata berarti‚ menghitung‛ atau hitungan kata ini
digunakan untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber’iddah
menunggu berlalunya waktu.[11]
Artinya: ‚
wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[12]
2.2.1 Dasar
Hukum Iddah
Yang
menjalani iddah adalah perempuan yang bercerai dari suaminya bukan
laki-lakiatau suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk
apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau
tidak wajib menjalani masa iddah. Kewajiban menjalani masa iddah itu dapat
dilihat dari beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 228 yang artinya:
“wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh
mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. Akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[13]
2.2.2
Macam-Macam Iddah
Istri yang
menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu berlangsungnya perceraian
adalah sebagai berikut:
a. Kematian
suami
b. Belum
dicampuri
c. Sudah
dicampuri tetapi dalam keadaan hamil
d. Sudah
dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah berhenti haidnya.
e. Sudah
dicampuri, tidak dalam keadaan hamil dan masih dalam masa haid.
Adapun
bentuk dan cara iddah juga ada tiga macam: a) Iddah dengan cara menyelesaikan
quru’ yaitu antara haid dan suci; b) Iddah dengan kelahiran anak; dan c) Iddah dengan perhitungan bulan.
Dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 153 masa iddah diklasifikasikan menjadi beberapa macam
yaitu:
A. Putus
pernikahan karena ditinggal mati suaminya.
Apabila
pernikahan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari hal itu
diatur dalam pasal 39 ayat 1 huruf a PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal 153 KHI.
Dan ketetapan ini berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan
tidak hamil. Lain halnya dengan istri yang ditinggal mati suaminya dalam
keadaan hamil maka waktu tunggunya adalah sampai ia melahirkan.
B. Putus
pernikahan karena perceraian
Seorang
istri yang diceraikan oleh suaminya maka memungkinkan mempunyai beberapa waktu
tunggu yaitu:
1) Dalam
keadaan hamil
Apabila
seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil iddahnya sampai ia
melahirkan kandungannya.
2) Dalam keadaan tidak hamil
Apabila seorang
istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak
berlaku baginya masa iddah. Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya
setelah terjadi
hubungan
kelamin (dukhul). Adapun rincian masa tunggunya sebagai berikut:
·
Bagi
seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu tunggunya berlaku ketentuan
3 kali suci dengan sekurangkurangnya 90 hari.
·
Bagi
istri yang tidak datang bulan maka iddahnya 3 bulan atau 90 hari.
·
Bagi
seorang istri yang pernah haid namun ketika menjalani masa iddah ia tidak haid
karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci.
·
Dalam
keadaan yang disebut pasal 5 KHI pasal 153 bukan karena menyusui maka iddahnya
selama satu tahun akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid
kembali maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
C. Putus
pernikahan karena khulu’, fasakh dan li’an
Masa iddah bagi
janda yang putus ikatan pernikahannya karena khulu’ (cerai gugat atas dasar
tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus ikatan pernikahan karena salah
satu diantara suami-istri murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak
dibenarkan kawin) atau li’an maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.
D. Istri
ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suaminya pada masa iddah.
Apabila
istri tertalak raj’i kemudian di dalam menjalani masa iddah sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat 2 huruf b, ayat 5 dan ayat 6 pasal 153 KHI ditinggal mati
oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130
hari yang mulai perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya. Adapun masa
iddah yang telah dilaluipada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai
dihitung dari saat kematian. Sebab keberadaan istri yang dicerai selama
menjalani iddah dianggap masih terikat dalam pernikahan karena sang suami masih
berhak merujuknya selama masih dalam masa iddah. Karakteristik masa iddah
tersebut merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa iddah
dalam hukum pernikahan Islam.
2.2.3. Hak dan
Kewajiban Perempuan Dalam Masa Iddah
Dalam
menjalankan masa iddahnya bagi seorang istri terdapat beberapa perkara yang
harus dilaksanakan dan yang harus diperoleh.
Dikutip dari Sayyid Sabiq yang mengatakan bahwa istri yang sedang
menjalankan masa iddah berkewajiban untuk menetap di rumah di mana ia dahulu
tinggal bersama sang suami sampai selesai masa iddahnya dan tidak diperbolehkan
baginya keluar dari rumah tersebut. Sedangkan si suami juga tidak boleh mengeluarkan
ia dari rumahnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surat
Ath-Talak ayat pertama.[14]
Seandainya
terjadi perceraian diantara mereka berdua, sedang istrinya tidak berada di
rumah dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si istri
wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia
berada.[15]Dan
apabila istri yang ditalak itu melakukan perbuatan keji secara terang-terangan memperlihatka
sesuatu yang tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami
untuk mengusirnya dari rumah tersebut. Ulama’ fiqh mengemukakan bahwa ada
beberapa kewajiban bagi perempuan yang sedang menjalani masa iddahnya adalah:
a.
Tidak
boleh dipinang oleh laki-laki lain baik secara terang-terangan maupun melalui
sindiran, akan tetapi untuk wanita yang menjalani iddah kematian suami pinangan
dapat dilakukan dengan cara sindiran.
b.
Dilarang
keluar rumah. Jumhur ulama fiqh selain mazhab Syafi’i sepakat menyatakan bahwa
perempuan yang menjalani iddah dilarang keluar rumah apabila tidak ada
keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan tetapi
Ulama’ Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya baik cerai
hidup maupun cerai mati dilarang keluar rumah. Alasan mereka adalah sebuah
hadits dari Jabir bin Abdullah yang menyatakan bahwa: ‚Bibinya dicerai suaminya
dengan talak tiga lalu ia keluar rumah unntuk memetik kurmanya, ditengah keluar
jalan bibi Jabir ini bertemu dengan seorang laki-laki, laki-laki ini
melarangnya keluar rumah, lalu bibi Jabir mengadukan permasalah ini kepadaa
Rasulullah, kemudian Rasulullah berkata: ‚pergilah engkau ke kebunmu itu untuk
memetik buah kurma, mudah-mudahan engkau bersedekah dengan buah kurma itu dan
lakukanlah sesuatu yang baik untukmu(HR.Nasa’i dan Abu Dawud)‛ Kemudian ayat
Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan bahwa
seorang perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai hidup ataupun cerai mati
dilarang keluar rumah.
c.
Menurut
kesepakatan ulama’ fiqh perempuan yang menjalani iddah akibat talak raj’i atau
dalam keadaan hamil suaminya wajib menyediakan seluruh nafkah yang dibutuhkan
perempuan tersebut. Akan tetapi apabila iddah yang dijalani adalah iddah karena
kematian suami maka perempuan itu tidak mendapatkan nafkah apapun karena
kematian telah menghapus seluruh akibat pernikahan. Namun demikian ulama’
mazhab Maliki menyatakan bahwa perempuan tersebut berhak menempati rumah
suaminya selama dalam masa iddah tersebut, apabila rumah itu adalah rumah
suaminya.
d.
Perempuan
tersebut wajib ber-ihdad
Mengenai
hak-hak istri dalam masa iddah bahwa Ulama fiqh berpendapat istri yang dicerai
oleh suami dengan talak raj’i selama masa iddah berhak mendapatkan nafkah dari
suaminya. Hal inilah yang kurang mendapat perhatian dari suami yang menceraikan
istrinya padahal masalah tersebut menyangkut dengan tanggung jawab (kewajiban)
dari seorang suami. Akan tetapi apabila iddahnya karena suami wafat maka istri
tidak mendapat nafkah. Namun mazhab Maliki memberi pengecualian dalam masalah
tempat tinggal.[16]
Istri
yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak yang diterimanya
dikelompokan ke dalam tiga macam:
·
Istri
yang dicerai dalam talak raj’i hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana
yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan,
pakaian dan juga tempat tinggal. Dan hal ini merupakan kesepakatan Ulama’.
·
Istri
yang dicerai dalam bentuk talak ba’in, baik ba’in sughro ataupun ba’in kubra
dan dia sedang hamil, dalam hal ini ulama’ sepakat bahwa dia berhak atas
nafaqah dan tempat tinggal.
·
Hak
istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal ini dalam keadaan hamil
ulama’ sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal,
namun bila istri tidak dalam keadaan hamil ulama’ berbeda pendapat. Sebagian
ulama’ diantaranya Imam Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istri
dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal. Sebagian ulama’diantaranya Imam
Ahmad berpendapat bahwa istri dalam iddah
wafat yang
tidak hamil tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah hanya
menentukan untuk yang kematian suami itu adalah peninggalan dalam bentuk harta
warisan.
Dalam
menjalankan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya maka wajib bagi
mereka untuk menjalani masa berkabung atau ihdad dan terdapat perkara-perkara
yang
dilarang pada
saat ihdad, berikut ini dijelaskan mengenai larangan melakukan perkara tersebut
Ummu ‘Athiyah
meriwayatkan ‚kami diwajibkan berkabung atas kematian suami yakni empat bulan
sepuluh hari. Selama itu kami dilarang memakai celak, parfum dan pakaian yang
dicelup, kecuali sejenis pakaian celup buatan Yaman. Apabila kami suci dari dan
mandi setelah haid, kami diberi keringanan untuk menggunakan sedikit wewangian.
Dan kami dilarang mengiringi pemakaman jenazah‛.[17]
2.2.4. Hikmah
‘Iddah
Sebagai
peraturan yang dibuat oleh Allah SWT, aturan tentang iddah pasti mempunyai
rahasia serta manfaat tersendiri. Kadang kala manfaat itu dapat langsung kita
rasakan namun seringkali baru dapat kita rasakan setelah kejadian itu telah
lama berlalu. Hikmah atau manfaat dari diwajibkannya iddah dapat dilihat dari
beberapa sisi diantaranya dari sisi sosial:
a.
Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan.
b. Memberikan kesempatan kepada suami-istri untuk kembali kepada
kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam
hal itu.
c. Agar istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang
dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan
suami, hal ini jika iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami.
d. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calon, terutama suami
yang akan menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan wanita yang
baru dicerai mantan suaminya
2.3 Pengertian
Ruju’
Secara
etimologis rujuk berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. [18]
Sedangkan rujuk dalam pengertian terminology adalah kembalinya suami kepada
hubungan nikah dengan istri yang telah di cerai raj’i dan di laksanakan selama
istri masih dalam masa iddah.[19]
Kata rujuk menurut bahasa Arab berasal dari kata raja’a - yarji’u - rujk’an
yang berarti kembali dan mengembalikan. Menurut syara’ adalah kembalinya
seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah
di talak raj’i. Rujuk dalam istilah hukum disebut Raja’ah secara arti kata
berarti “kembali ”. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, rujuk adalah mengembalikan
istri yang masih berada dalam masa iddah kepada keadaan yang semula.[20]
Menurut
Jumhur Ulama’ rujuk adalah mengembalikan wanita yang di talak selain talak
ba’in, pada perkawinan selama wanita itu masih berada dalam masa iddah tanpa
akad yang baru.
2.3.1. Hukum
Ruju’
Menurut maz|hab
Syafi’i hukum rujuk adalah:
a. Sunnah, seperti talaknya orang yang tidak bias melaksanakan
kewajibannya sebagai suami karena tidak keinginan sama sekali kepada istrinya.
b. Haram, seperti talak bid’ah yang artinya talak yang berdasarkan
sunnah yaitu talak sewaktu istri sedang haid atau nifas atau suci yang telah
disetubuhi.
c.
Wajib, seperti talak orang yang tidak bisa bersetubuh.
d.
Makruh, seperti terpeliharanya semua peristiwa tersebut diatas.[21]
Imam
Syafi’i juga berpendapat bahwa suami mempunyai hak rujuk untuk merujuki
istrinya di dalam masa iddah dan istri tidak berhak mencegah atau menghalangi
rujuknya suami istri tidak ada iwadh. Iwadh disini yaitu uang atau pengganti
dalam rujuk suami. Karena istri itu adalah masih menjadi hak suami, istri tidak
berhak mencegah atau menghalangi hak rujuk dan tidak adapula urusan bagi pada
sesuatu yang menjadi hak suami terhadapnya.[22]
Menurut Ibnu
Rusyd hukum rujuk ada dua macam:
1.
Hukum
rujuk pada talak raj’i
Talak
raj’i yaitu talak yang dijatuhkan untuk yang pertama atau untuk yang kedua
kalinya selama masih dalam masa iddah, maak suami dapat rujuk kembali kepada
bekas istrinya tersebut tanpa memperbarui akad nikahnya.[23]
Kaum muslim telah sependapat bahwa
suami mempunyai hak merujuk istri pada talak raj’i, selama istri masih berada
dalam masa iddah tanpa pertimbangan persetujuan istri. Berdasarkan firman Allah
surat Al- Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
Artinya: Dan
para suami mereka lebih berhak merujuknya kembali kepada mereka dalam masa
iddah, jika mereka ( para suamisuami) itu menghendaki perbaikan. Dan mereka
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu kelebihan dari pada istrinya. Dan
Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.[24]
Imam
Syafi’i juga berkata: Hamba budak mempunyai hak talak dua kali, bila ia
mentalak satu pada istrinya, maka ia seperti orang merdeka yang mentalak
istrinya satu atau dua talakan, maka suami berhak juga untuk rujuk sesudah
talak satu sebagai sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki merdeka dalam
merujuk istrinya setelah talak satu
dan dua.[25]
Madzhab
Maliki dan Syafi’i mengatakan bahwa setiap talak itu
raj’i kecuali:
1) Talak ba’in.
2) Talak
sebelum bersetubuh.
3) Talak dengan
tebusan harta dari istri khuluk jadi talak ini disebut
talak ba’in
sugra.
2.
Hukum
rujuk pada talak ba’in
Talak
ba’in terbagi menjadi dua macam yaitu: pertama talak Ba’in Sugra atau talak
ba’in kecil yaitu talak yang terjadi karena khuluk atau talak tebus.[26]
Di dalam talak ba’in sugra ini suami berhak lagi untuk merujuki istrinya, akan
tetapi suami masih berhak untuk berkumpul dengan istrinya kembali dengan akad
nikah yang baru dan mas kawin
yang baru pula.
Yang termasuk kategori talak ba’in sugra ialah:
1) Perceraian
dengan jalan talak tebus atau khuluk atau ta’lik talak dan syiqaq yang memakai
iwad}.
2) Talak suami
istri yang belum pernah melakukan hubungan kelamin.
3) Perceraian
karena fasakh oleh hakim Pengadilan Agama.
Kedua
ba’in kubra yaitu talak yang dijatuhkan untuk ketiga kalinya.[27]
Dalam talak ba’in kubra ini suami tidak boleh menikah kembali dengan bekas
istrinya kecuali harus terlebih dahulu istri kawin dengan suami yang kedua,
istri sudah dicampuri oleh suami kedua, istri telah ditalak oleh suami yang
kedua dan telah habis masa iddahnya. Hukum rujuk setelah talak ba’in sama
dengan nikah baru, yakni tentang persyaratan adanya mahar, wali dan persetujuan.
Hanya saja jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak
dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.[28]
2.3.2 Rukun dan
Syarat Rujuk
a. Rukun Rujuk
Rukun
rujuk adalah sigat atau pernyataan kembali dari suami serta perbuatan yang menunjukkan
keinginan tersebut. Ulama’ sepakat bahwa rujuk tidak sah apabila tidak memenuhi
rukun-rukun rujuk, akan tetapi terhadap ketentuan rukun itu mereka berbeda
pendapat. Menurut ulama’ jumhur rukun rujuk ada 3 macam yaitu:
1) Murtaji atau
mantan suami.
2) Murtaja’a
atau mantan istri.
3) Sigat atau
ijab rujuk.[29]
b. Syarat Rujuk
·
Laki-
laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki- laki yang merujuk itu adalah
sebagai berikut:
a) Laki-laki
yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang di rujuk yang dia menikahi
istrinya itu dengan nikah yang sah.
b) Laki-laki
yang merujuk itu mestilah seorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan
sendirinya yaitu telah dewasa, sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya
sendiri.
·
Perempuan
yang dirujuk adalah perempuan yang telah dinikahi dan kemudian diceraikannya
tidak dalam bentuk cerai tebus atau khuluk dan tidak pula dalam talak tiga,
sedangkan dia telah digauli selama dalam perkawinan itu dan masih berada dalam
masa iddah.Adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang di rujuk itu adalah
sebagai berikut:
a) Perempuan
itu adalah istri yang sah dari laki- laki yang merujuk.
b) Istri itu
telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i.
c) Istri itu
masih berada dalam iddah talak raj’i.
d) Istri itu
telah digaulinya dalam masa perkawinan itu.
·
Ucapan
rujuk
Rujuk
dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan sepihak itu
di dasarkan kepada pandangan ulama’ fiqh bahwa rujuk itu merupakan hak khusus
seorang suami.[30] Oleh karena sifatnya yang sepihak itu tidak
diperlukan penerimaan dari pihak perempuan yang di rujuk atau walinya. Dengan
begitu rujuk tidak di lakukan dalam bentuk suatu akad. Untuk sahnya tindakan
rujuk hanya di perlukan ucapan rujuk yang dilakukan oleh orang yang merujuk.
·
Kesaksian
dalam rujuk
Tentang
kesaksian dalam rujuk ulama berbeda pendapat ada yang sebagian ulama’ termasuk
salah satu pendapat dari Imam al- Syafi’i mensyaratkan adanya kesaksian dua
orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah.
2.3.3
Hikmah Ruju’
Dari
penjelasan tentang rujuk, nyatalah bahwa perceraian itu merupakan satu
perbuatan yang sangat dibenci oleh Islam karena dampak negative yang di
timbulkannya baik kepada suami atau istri maupun terhadap anak- anaknya bagi
yang telah memiliki anak. Sebaliknya perdamaian (ishlah) atau rujuk merupakan
perbuatan yang sangat disukai dalam Islam. Atas dasar inilah institusi rujuk
dalam Islam merupakan kesempatan yang cukup baik untuk melakukan rekonsiliasi
terhadap konflik yang terjadi antara suami dan istri. Dengan demikian suami-
istri yang telah di cerai harus memanfaatkan kesempatan masa iddah untuk
melaksanakan rujuk.[31]
2.4 Pengertian Fasakh
Menurut bahasa kata “fasakh” berasal dari
bahasa Arab فسخ- يفسخ – فسخا yang berarti batal atau
rusak Sedang menurut istilah dapat diartikan sebagai berikut :
Menurut DR. Ahmad al Ghundur Fasakh
adalah batal akad
(pernikahan) dan hilangnya
keadaan yang menguatkan
kepadanya. Menurut Sayyid Sabiq Memfasakh
adalah membatalkannya dan
melepaskan ikatan pertalian antara suami-isteri. Menurut
Ensiklopedi Islam fasakh ialah pemutusan hubungan pernikahan oleh hakim atas
permintaan suami atau isteri atau keduanya akibat timbulnya hal-hal yang dirasa
berat oleh masing-masing atau salah satu pihak suami-isteri secara wajar dan
tidak dapat mencapai tujuan dari sebuah pernikahan yang di inginkan oleh suami
dan istri.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan jikalau pengertian fasakh nikah adalah suatu bentuk
perceraian yang diputuskan oleh hakim karena dianggap pernikahan itu
memberatkan salah satu pihak baik istri atau suami.
Hal-Hal yang
Menyebabkan Fasakh
·
Fasakh adakalanya
disebabkan terjadinya kerusakan
atau cacat pada akad nikah itu sendiri dan adakalanya
disebabkan hal-hal yang datang kemudian
yang menyebabkan akad pernikahan
tersebut tidak dapat dilanjutkan.
·
Fasakh
yang disebabkan rusaknya
atau terdapatnya cacat
dalam akad nikah, antara lain
sebagai berikut :
·
Setelah
pernikahan berlangsung, di kemudian hari diketahui bahwa suami isteri adalah
saudara sekandung, seayah seibu atau saudara sepersusuan.
·
Apabila
ayah atau kakek menikahkan anak laki-laki atau perempuan di bawah umur dengan
orang yang juga di bawah um Maka setelah kedua anak ini dewasa mereka berhak
untuk memilih melanjutkan pernikahan tersebut atau menghentikan pernikahan itu.
Apabila anak itu menghentikan pernikahan tersebut, maka dinamakan fasakh. Hak
pilih seperti ini oleh ulama fiqih tersebut khiyar al-bulugh.[32]
Fasakh yang
disebabkan ada penghalang (mani’ al-huruf) setelah berlangsungnya pernikahan
misalnya antara lain sebagai berikut :
·
Salah
seorang di antara suami isteri itu murtad (keluar dari agama Islam).
·
Apabila
pasangan suami isteri tersebut dahulunya menganut agama non Islam. Kemudian
isterinya memeluk agama Islam maka dengan sendirinya akad pernikahan itu batal.
Apabila suaminya yang masuk Islam sedangkan wanita tersebut kitabiyah (yahudi
atau nasrani) maka pernikahan tersebut tidak batal. [33]
Bentuk-bentuk
fasakh yang terjadi dengan sendirinya di antaranya sebagai berikut :
·
Fasakh
terjadi karena rusaknya akad pernikahan yang diketahui setelah pernikahan
berlangsung, seperti pernikahan tanpa saksi dan mengawini mahram.
·
Fasakh
terjadi karena isteri dimerdekakan dari status budak. Sedangkan suaminya tetap
berstatus budak.
·
Fasakh
terjadi karena pernikahan yang dilakukan adalah nikah mut’
·
Fasakh
terjadi karena mengawini wanita dalam masa iddah. [34]
Adapun
fasakh yang memerlukan
campur tangan hakim
antara lain sebagai berikut :
·
Fasakh
disebabkan isteri merasa tidak kafaah dengan suam
·
Fasakh
disebabkan mahar isteri tidak dibayar penuh sesuai dengan yang dijanjikan.
·
Fasakh
akibat salah seorang suami/isteri menderita penyakit gila.
·
Fasakh
terjadi karena isteri yang musyrik tidak mau masuk Islam setelah suaminya masuk
Islam, sedangkan wanita tersebut menuntut perceraian dari suam
·
Fasakh
disebabkan salah seorang suami/isteri murtad dan menjadi musyrik/m
·
Fasakh
terjadi karena li’
·
Fasakh
disebabkan adanya cacat baik pada suami maupun pada isteri.
·
Menurut
jumhur ulama, hakim juga harus campur tangan dalam fasakh yang disebabkan suami
tidak mampu memberi nafkah, baik pangan, sandang, maupun papan.
·
Fasakh
karena suami dipenjara.
Akibat
Fasakh
Fasakh yang semula dapat membatalkan akad, maka di sini timbul
beberapa ketentuan hukum, misalnya : tidak ada kewajiban mahar, haram kawin
untuk selama-lamanya, bila fasakh itu terjadi dengan mahram, disamping itu
tidak mesti menunggu keputusan hakim. Namun dalam kasus- kasus lain biasanya
lebih banyak harus diputuskan oleh hakim. Disini juga, perceraian tidak
dihubungkan dengan masa iddah. Akan tetapi, pada fasakh karena sebab yang
datang setelah akad, maka jika itu dari isteri sebelum ditentukan mahar, maka
mahar itu gugur seluruhnya. Akan tetapi, jika fasakh itu dari
suami maka ia
wajib membayar setengah
dari mahar itu.
Disini perceraian itu sifatnya
sementara dan dihubungkan
dengan masa iddah.
Adapun masa iddahnya berlaku seperti iddah talak. Disamping itu,
baik bentuk fasakh yang pertama atau kedua, menyebabkan perceraian, umumnya
terjadi pada saat itu juga. Ketentuan hukum yang lain ialah bahwa perceraian Dengan
jalan fasakh tidak mengurangi jumlah ţalaq. Dan bekas isteri tidak boleh dirujuk
oleh bekas suaminya. Jika si suami mau mengambil isterinya itu kembali, ia
harus nikah lagi. Dengan jalan fasakh tidak mengurangi jumlah ţalaq. Dan bekas
isteri tidak boleh dirujuk oleh bekas suaminya. Jika si suami mau mengambil
isterinya itu kembali, ia harus nikah lagi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Talak
menurut agana islam adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan kata
talak dan kata ang searti. Bila terjadi talak, ikatan-ikatan antara suami
isteri yang disebabkan oleh perkawinan telah lepas semuanya. Setelah ditalak,
seorang wanita harus menjalani masa iddah, yaitu masa menunggu. Sedangkan rujuk
(kembali) menurut syara’ adalah kembalinya suami isteri kepada ikatan
perkawinan dari talak raj’I yang masih dalam masa iddah dengan aturan tertentu.
Baik munakahah, talak maupun rujuk mempunyai hikmah dalam kehidupan secara
umumnya. rujuk adalah mengembalikan wanita yang di talak selain talak ba’in,
pada perkawinan selama wanita itu masih berada dalam masa iddah tanpa akad yang
baru. Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata addayauddu-iddatan,
dan jamaknya adalah idad yang secara arti kata berarti‚ menghitung‛ atau
hitungan kata ini digunakan untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si
perempuan yang ber’iddah menunggu berlalunya waktu.
DAFTAR
PUSTAKA
Hifzh al-Nasl, masih dibagi
menjadi tiga bagian yaitu: menjaga keturunan dalam tingkat dharuriyah, Hajiyah
dan Tahshiniyah. Mengenai pembahasan masing-masing tingkatan lihat: Hasbi Umar,
Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2000)
Abi Abdillah Muh bin Yazid, Al Muwatha’ Imam Malik Jilid 2,
(Beirut: Darul Kitab Alamiah, 2004)
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya
Abd Rahman Ghazali,fikih munakahat , (Jakarta Timur: Prenada Media,
2003) Muhammad Kamil ‘Uwaida, Fiqh
Wanita,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007)
Syamsuddin, Moh. Ibnu Abi Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Sihabuddin,
al-Ramli, juz VII
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2007)
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37
Kamil Muhammad ‘Uwaida, Fiqh Wanita, (jakarta: Pustaka
Al-Kautsar,2007)
Imam Syafi’i, Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al Fiqh, diterjemahkan Muh
Yasir Abd Muthalib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006)
Abu Malik Kamal Bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah, (Jakarta: I’tishom
Cahaya Umat, 2007)
[1] Hifzh
al-Nasl, masih dibagi menjadi tiga bagian yaitu: menjaga keturunan dalam
tingkat dharuriyah, Hajiyah dan Tahshiniyah. Mengenai pembahasan
masing-masing tingkatan lihat: Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta:
Gaung Persada Press, 2007),125.
[3] Abi
Abdillah Muh bin Yazid, Al Muwatha’ Imam Malik Jilid 2, (Beirut: Darul Kitab
Alamiah, 2004), 133
[4] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 38
[5] Abd Rahman
Ghazali,fikih munakahat , (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), 192
[6] Muhammad Kamil
‘Uwaida, Fiqh Wanita,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007),438.
[7] Abidin,
Aminuddin, Fiqh, 34
[8] Ibid, 35
[9] Syafi’i, al-Um,
Darul Wifa’, Juz. VI, 467.
[10] Syamsuddin,
Moh. Ibnu Abi Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Sihabuddin, al-Ramli, juz VII
[11]
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media,
2007),303
[12] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37
[13] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37
[14] Kamil Muhammad
‘Uwaida, Fiqh Wanita, (jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2007), 450.
[15] Imam
Syafi’i, Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al Fiqh, diterjemahkan Muh Yasir Abd Muthalib,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),513.
[16] M.
Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media Group,
2006), 222
[17] Abu
Malik Kamal Bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah, (Jakarta: I’tishom Cahaya Umat,
2007), 324
[18] Rahmat Hakim,
Hukum Perkawinan Islam, h.209
[19] Zainuddin Ali,
Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 90
[20] Rahman
Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 285
[21] Maftuh Hanan,
Risalah Nikah, h.345
[22] As-Syafi’I, Al-Um,
h.432
[23] Musthafa
Kamal,dkk, Fikih Islam, h.287
[24] Depag RI,
Al-qur’an dan terjemah,h.45
[25] Asy-Syafi’I,
Al-Um, h.431
[26] Musthafa
Kamal, dkk, Fikih Islam, h.287
[27]Ibid, h.268
[28] Rahman
Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.292- 293
[29]
Syarbini, Asy-Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khotib, Mughni Al-Muhtaj V, h.3
[30] Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 341- 342
[31] Amiur
Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,h. 274
[32] Slamet Abidin,
Aminuddin. Fiqih Munakahat. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999). H.172
[33] Ibid
[34] Imam, Hanafi.
Pengantar Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh. (Pamekasan: STAIN, 2014). H.111