Minggu, 17 Oktober 2021

MAKALAH IDDAH,TALAQ RUJU' DAN FASAKH

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkis atau tidak ada aturan. Demi untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut sehingga antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling rida-meridai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.

Bentuk pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya. Pergaulan suami-isteri diletakkan dibawah naungan keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya dapat menumbuhkan keturunan yang baik dan hasil yang memuaskan. Peraturan pernikahan seperti inilah yang diridai oleh Allah SWT dan diabadikan dalam Islam untu selamanya.

Pernikahan merupakan sebuah langkah untuk menyatukan dua insan yang berbeda jenis dalam satu ikatan suci, guna melestarikan keberlangsungan hidup manusia. Ini sejalan dengan maqasid al-Shari’ah[1]. Namun tak jarang seiring berjalanya waktu, pernikahan itu mengalami keretakan dan perpisahan, baik berupa talak maupun ditinggal mati oleh salah satu pihak. Hal ini merupakan problematik yang paling ditakuti oleh para pelaku pernikahan. Sebab hal ini, mempunyai beberapa konsekuensi yang harus dijalani.

            Sekalipun pernikahan merupakan ikatan yang sangat kuat serta setiap pasangan pernikahan membulatkan tekadnya untuk mencapai tujuan dishari'atkannya nikah, namun adakalanya untuk membangun rumah tangga yang harmonis (sakinah, mawaddah, rahmah) tidak semua dapat terlaksana dengan mulus. Tujuan pernikahan sering tidak dapat tercapai sebab sikap kemanusiaan masing-masing yang saling berbenturan. Oleh karena itu harus ada jalan keluar untuk mengatasi hal ini, Talak dishari'atkan untuk mengatasi permasalahan ini.

            Hak untuk menjatuhkan talak melekat pada orang yang menikahinya. Apabila hak menikahi orang perempuan untuk dijadikan sebagai istri, maka yang berhak menjatuhkan talak adalah orang laki-laki yang menikahinya.[2]

                Sedangkan bagi isteri, Islam memberikan jalan untuk memutuskan ikatan perkawinan dengan suaminya jika ternyata suaminya buruk akhlaknya, atau karena cacat, atau perbuatannya menimbulkan mad}arat bagi istri sementara suami tetap bersikukuh untuk mempertahankan utuhnya perkawinan yaitu dengan mengadukan persoalannya kepada Qadli/Hakim dengan menggugat agar dijatuhkan talak suami kepada dirinya.

 

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalahini adalah.

1)   Bagaimana pengertian, hukum dan macam-macam talak?

2)   Bagaimana pengertian, hukum, tujuan, hak dan kewajiban serta macam-macam iddah?

3)   Bagaimana pengertian, hukum, syarat, rukun dan hikmah dari ruju’?

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Pengertian Talak

Secara bahasa talak berarti pemutusan ikatan, sedangkan menurut istilah talak berarti pemutusan tali pernikahan. Talak tanpa adanya alasan merupakan sesuatu yang dimakruhkan. Dari Tsauban R.A ia menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‚siapapun wanita yang meminta cerai tanpa adanya alasan yang membolehkan, maka haram baginya bau surga ‛.(HR, Ahmad Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, dimana beliau menghasankannya)[3]

Talak diperbolehkan (mubah) jika untuk menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak, baik itu suami atau istri, Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah: 231

Artinya: ‚Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu‛.[4]

Talak adalah putusnya ikatan pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita. Dan putus pernikahan disini adalah bisa berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia atau antara pria dan wanita sudah bercerai dan salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya, sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan pernikahan suami istri sudah putus dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan.

Selain itu talak juga dapat diartikan dengan menghilangkan ikatan pernikahan sehingga setelah hilangnya ikatan pernikahan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam talak ba’in. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan pernikahan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak suami talak, itu yaitu terjadi dalam talak raj’i.[5]

2.1.1 Macam-macam Talak

Talak terbagi menjadi dua macam yakni talak sunnah dan talak bid’i:[6]

·         Talak Sunnah

Talak sunnah yakni talak yang terjadi dengan mengikuti perintah syara’. Talak sunnah adlah talak suami yang menceraikan istri telah berhubungan dengan istri dengan satu kali talak. Istri dalam keadaan suci dan ia tidak menyentuhnya.

·         Talak Bid’i

Talak bid’i adalah talak yang berbeda dengan yang disyariatkan. Seakan – akan ia menceraikannya tiga kali dalam satu kata. Atau ia menceraikannya tiga kali berbeda – beda pada satu tempat. Seakan – akan ia berkata : “Engkau aku cerai, engkau aku cerai, engkau aku cerai.” Atau juga ia menceraikan waktu haidh dan nifas, atau dalam waktu suci namun telah berhubungan dengannya. Para ulama; telah sepakat bahwa talak bid’i hhukumnya haram.

Kemudian talak jika dilihat dari segi kembalinya dan bagiannya terbagi dalam dua hal yakni talak raj’i dan talak ba’in.

·         Talak Raj’i

Talak raj’i adalah talak yang diperbolehkan bagi laki – laki untuk kembali pada istrinya, sebelum habis masa ‘iddah dengan tanpa mahar baru dan akad baru. Talak ini tidak menjadi jelas untuk istri seketika tetapi stelah berakhirnya ‘iddah. Ia bernaung dalam lindungan suaminya hingga habis masa ‘iddahnya. Ia tinggal dalam rumah yang disebutkannya. Atau rela jika dipilihkannya. Ia memberikan nafkahnya, selama dirinya tidak takut atas suaminya. Maka pada saat demikian ia pergi ke keluarganya. Adapun yang termasuk dalam kategori talak raj’i adalah sebagai berikut: 1) Talak satu atau talak dua tanpa ‘iwadh dan telah kumpul. 2) Talak karena ila’ yang dilakukan Hakim. 3) Talak Hakamain artinya talak yang diputuskan oleh juru damai (hakam) dari pihak suami maupun dari pihak isteri.[7]

·         Talak Ba’in

Talak ba’in adalah talak yang memutuskan, yaitu suami tidak memiliki hak untuk kembali pada perempuan yang diceraikannya dalam masa ‘iddahnya. Talak ba’in  masih terbagi lagi menjadi dua yakni talak ba’in shughra dan qubra.

a.       Talak ba’in shughra, yakni talak bagi laki – laki tidak boleh kembali kepada istri kecuali dengan mahar dan akad yang baru. Pada saat iddah atau setelah masa iddahnya. Adapun yang termasuk dalam kategori talak ba’in sugra ini adalah: a) Talak karena fasakh yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan Agama, b) Talak pakai iwadh (ganti-rugi), talak tebus berupa khulu’ c) Talak karena belum dikumpuli.[8]

b.      Talak ba’in qubra, yakni talak yang tidak boleh bagi laki – laki kembali pada istrinya, kecuali stelah mantan istrinya tadi menikah dengan orang lain terlebih dahulu hingga melaksanakan tujuan pernikahan secara benar. Ketika suami kedua menceraikan dengan talak yang benar maka suami pertama baru boleh menikahinya kembali dengan mahar dan akad yang baru. Adapun suami yang kedua tersebut disebut dengan muhallil.

Berikut keterangan Imam Syafi’i mengenai hukum talak tiga sekaligus, antara lain:  Imam Syafi’i, dalam Kitab al-Um mengatakan: “Apabila berkata seorang laki-laki kepada isterinya yang belum digaulinya: “Engkau tertalak tiga”, maka haramlah perempuan itu baginya sehingga ia kawin dengan suami yang lain.”[9]

 

2.1.2. Hukum Talak

Mengenai hukum talak, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqh. Dari kalangan Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa talak itu terlarang kecuali bila diperlukan. Sedang menurut madzhab Syafi’i membedakan hukum talak menjadi empat yaitu:[10]

a. Wajib yaitu seperti talaknya orang yang tidak bisa bersetubuh.

b. Haram yaitu menjatuhkan talak sewaktu isteri dalam keadaan haid.

c. Sunnah yaitu seperti talaknya orang yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai suami karena tidak ada keinginan sama sekali kepada isterinya.

d. Makruh seperti terpeliharannya semua peristiwa tersebut di atas.

 

2.2 Pengertian Iddah

‘Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata addayauddu-iddatan, dan jamaknya adalah idad yang secara arti kata berarti‚ menghitung‛ atau hitungan kata ini digunakan untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber’iddah menunggu berlalunya waktu.[11]

Artinya: ‚ wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[12]

 

2.2.1 Dasar Hukum Iddah

Yang menjalani iddah adalah perempuan yang bercerai dari suaminya bukan laki-lakiatau suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak wajib menjalani masa iddah. Kewajiban menjalani masa iddah itu dapat dilihat dari beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang artinya:

“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[13]

 

2.2.2 Macam-Macam Iddah

Istri yang menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu berlangsungnya perceraian adalah sebagai berikut:

a. Kematian suami

b. Belum dicampuri

c. Sudah dicampuri tetapi dalam keadaan hamil

d. Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah berhenti haidnya.

e. Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil dan masih dalam masa haid.

Adapun bentuk dan cara iddah juga ada tiga macam: a) Iddah dengan cara menyelesaikan quru’ yaitu antara haid dan suci; b) Iddah dengan kelahiran anak; dan  c) Iddah dengan perhitungan bulan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 masa iddah diklasifikasikan menjadi beberapa macam yaitu:

A. Putus pernikahan karena ditinggal mati suaminya.

Apabila pernikahan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari hal itu diatur dalam pasal 39 ayat 1 huruf a PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal 153 KHI. Dan ketetapan ini berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya dengan istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka waktu tunggunya adalah sampai ia melahirkan.

B. Putus pernikahan karena perceraian

Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya maka memungkinkan mempunyai beberapa waktu tunggu yaitu:

1) Dalam keadaan hamil

Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.

 2) Dalam keadaan tidak hamil

Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak berlaku baginya masa iddah. Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi

hubungan kelamin (dukhul). Adapun rincian masa tunggunya sebagai berikut:

·         Bagi seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu tunggunya berlaku ketentuan 3 kali suci dengan sekurangkurangnya 90 hari.

·         Bagi istri yang tidak datang bulan maka iddahnya 3 bulan atau 90 hari.

·         Bagi seorang istri yang pernah haid namun ketika menjalani masa iddah ia tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci.

·         Dalam keadaan yang disebut pasal 5 KHI pasal 153 bukan karena menyusui maka iddahnya selama satu tahun akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid kembali maka iddahnya menjadi tiga kali suci.

C. Putus pernikahan karena khulu’, fasakh dan li’an

Masa iddah bagi janda yang putus ikatan pernikahannya karena khulu’ (cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus ikatan pernikahan karena salah satu diantara suami-istri murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak dibenarkan kawin) atau li’an maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.

D. Istri ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suaminya pada masa iddah.

Apabila istri tertalak raj’i kemudian di dalam menjalani masa iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 huruf b, ayat 5 dan ayat 6 pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya. Adapun masa iddah yang telah dilaluipada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung dari saat kematian. Sebab keberadaan istri yang dicerai selama menjalani iddah dianggap masih terikat dalam pernikahan karena sang suami masih berhak merujuknya selama masih dalam masa iddah. Karakteristik masa iddah tersebut merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa iddah dalam hukum pernikahan Islam.

 

2.2.3. Hak dan Kewajiban Perempuan Dalam Masa Iddah

Dalam menjalankan masa iddahnya bagi seorang istri terdapat beberapa perkara yang harus dilaksanakan dan yang harus diperoleh.  Dikutip dari Sayyid Sabiq yang mengatakan bahwa istri yang sedang menjalankan masa iddah berkewajiban untuk menetap di rumah di mana ia dahulu tinggal bersama sang suami sampai selesai masa iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar dari rumah tersebut. Sedangkan si suami juga tidak boleh mengeluarkan ia dari rumahnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surat Ath-Talak ayat pertama.[14]

Seandainya terjadi perceraian diantara mereka berdua, sedang istrinya tidak berada di rumah dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si istri wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia berada.[15]Dan apabila istri yang ditalak itu melakukan perbuatan keji secara terang-terangan memperlihatka sesuatu yang tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah tersebut. Ulama’ fiqh mengemukakan bahwa ada beberapa kewajiban bagi perempuan yang sedang menjalani masa iddahnya adalah:

a.       Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain baik secara terang-terangan maupun melalui sindiran, akan tetapi untuk wanita yang menjalani iddah kematian suami pinangan dapat dilakukan dengan cara sindiran.

b.      Dilarang keluar rumah. Jumhur ulama fiqh selain mazhab Syafi’i sepakat menyatakan bahwa perempuan yang menjalani iddah dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan tetapi Ulama’ Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya baik cerai hidup maupun cerai mati dilarang keluar rumah. Alasan mereka adalah sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah yang menyatakan bahwa: ‚Bibinya dicerai suaminya dengan talak tiga lalu ia keluar rumah unntuk memetik kurmanya, ditengah keluar jalan bibi Jabir ini bertemu dengan seorang laki-laki, laki-laki ini melarangnya keluar rumah, lalu bibi Jabir mengadukan permasalah ini kepadaa Rasulullah, kemudian Rasulullah berkata: ‚pergilah engkau ke kebunmu itu untuk memetik buah kurma, mudah-mudahan engkau bersedekah dengan buah kurma itu dan lakukanlah sesuatu yang baik untukmu(HR.Nasa’i dan Abu Dawud)‛ Kemudian ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan bahwa seorang perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai hidup ataupun cerai mati dilarang keluar rumah.

c.       Menurut kesepakatan ulama’ fiqh perempuan yang menjalani iddah akibat talak raj’i atau dalam keadaan hamil suaminya wajib menyediakan seluruh nafkah yang dibutuhkan perempuan tersebut. Akan tetapi apabila iddah yang dijalani adalah iddah karena kematian suami maka perempuan itu tidak mendapatkan nafkah apapun karena kematian telah menghapus seluruh akibat pernikahan. Namun demikian ulama’ mazhab Maliki menyatakan bahwa perempuan tersebut berhak menempati rumah suaminya selama dalam masa iddah tersebut, apabila rumah itu adalah rumah suaminya.

d.      Perempuan tersebut wajib ber-ihdad

Mengenai hak-hak istri dalam masa iddah bahwa Ulama fiqh berpendapat istri yang dicerai oleh suami dengan talak raj’i selama masa iddah berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal inilah yang kurang mendapat perhatian dari suami yang menceraikan istrinya padahal masalah tersebut menyangkut dengan tanggung jawab (kewajiban) dari seorang suami. Akan tetapi apabila iddahnya karena suami wafat maka istri tidak mendapat nafkah. Namun mazhab Maliki memberi pengecualian dalam masalah tempat tinggal.[16]

Istri yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak yang diterimanya dikelompokan ke dalam tiga macam:

·         Istri yang dicerai dalam talak raj’i hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, pakaian dan juga tempat tinggal. Dan hal ini merupakan kesepakatan Ulama’.

·         Istri yang dicerai dalam bentuk talak ba’in, baik ba’in sughro ataupun ba’in kubra dan dia sedang hamil, dalam hal ini ulama’ sepakat bahwa dia berhak atas nafaqah dan tempat tinggal.

·         Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal ini dalam keadaan hamil ulama’ sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila istri tidak dalam keadaan hamil ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama’ diantaranya Imam Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal. Sebagian ulama’diantaranya Imam Ahmad berpendapat bahwa istri dalam iddah

wafat yang tidak hamil tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah hanya menentukan untuk yang kematian suami itu adalah peninggalan dalam bentuk harta warisan.

Dalam menjalankan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya maka wajib bagi mereka untuk menjalani masa berkabung atau ihdad dan terdapat perkara-perkara yang

dilarang pada saat ihdad, berikut ini dijelaskan mengenai larangan melakukan perkara tersebut

Ummu ‘Athiyah meriwayatkan ‚kami diwajibkan berkabung atas kematian suami yakni empat bulan sepuluh hari. Selama itu kami dilarang memakai celak, parfum dan pakaian yang dicelup, kecuali sejenis pakaian celup buatan Yaman. Apabila kami suci dari dan mandi setelah haid, kami diberi keringanan untuk menggunakan sedikit wewangian. Dan kami dilarang mengiringi pemakaman jenazah‛.[17]

2.2.4. Hikmah ‘Iddah

Sebagai peraturan yang dibuat oleh Allah SWT, aturan tentang iddah pasti mempunyai rahasia serta manfaat tersendiri. Kadang kala manfaat itu dapat langsung kita rasakan namun seringkali baru dapat kita rasakan setelah kejadian itu telah lama berlalu. Hikmah atau manfaat dari diwajibkannya iddah dapat dilihat dari beberapa sisi diantaranya dari sisi sosial:

a. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan.

b. Memberikan kesempatan kepada suami-istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.

c. Agar istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami, hal ini jika iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami.

d. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calon, terutama suami yang akan menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan wanita yang baru dicerai mantan suaminya

 

2.3 Pengertian Ruju’

Secara etimologis rujuk berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. [18] Sedangkan rujuk dalam pengertian terminology adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah di cerai raj’i dan di laksanakan selama istri masih dalam masa iddah.[19] Kata rujuk menurut bahasa Arab berasal dari kata raja’a - yarji’u - rujk’an yang berarti kembali dan mengembalikan. Menurut syara’ adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah di talak raj’i. Rujuk dalam istilah hukum disebut Raja’ah secara arti kata berarti “kembali ”. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, rujuk adalah mengembalikan istri yang masih berada dalam masa iddah kepada keadaan yang semula.[20]

Menurut Jumhur Ulama’ rujuk adalah mengembalikan wanita yang di talak selain talak ba’in, pada perkawinan selama wanita itu masih berada dalam masa iddah tanpa akad yang baru.

 

2.3.1. Hukum Ruju’

Menurut maz|hab Syafi’i hukum rujuk adalah:

a. Sunnah, seperti talaknya orang yang tidak bias melaksanakan kewajibannya sebagai suami karena tidak keinginan sama sekali kepada istrinya.

b. Haram, seperti talak bid’ah yang artinya talak yang berdasarkan sunnah yaitu talak sewaktu istri sedang haid atau nifas atau suci yang telah disetubuhi.

c. Wajib, seperti talak orang yang tidak bisa bersetubuh.

d. Makruh, seperti terpeliharanya semua peristiwa tersebut diatas.[21]

Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa suami mempunyai hak rujuk untuk merujuki istrinya di dalam masa iddah dan istri tidak berhak mencegah atau menghalangi rujuknya suami istri tidak ada iwadh. Iwadh disini yaitu uang atau pengganti dalam rujuk suami. Karena istri itu adalah masih menjadi hak suami, istri tidak berhak mencegah atau menghalangi hak rujuk dan tidak adapula urusan bagi pada sesuatu yang menjadi hak suami terhadapnya.[22]

Menurut Ibnu Rusyd hukum rujuk ada dua macam:

1.      Hukum rujuk pada talak raj’i

Talak raj’i yaitu talak yang dijatuhkan untuk yang pertama atau untuk yang kedua kalinya selama masih dalam masa iddah, maak suami dapat rujuk kembali kepada bekas istrinya tersebut tanpa memperbarui akad nikahnya.[23]

            Kaum muslim telah sependapat bahwa suami mempunyai hak merujuk istri pada talak raj’i, selama istri masih berada dalam masa iddah tanpa pertimbangan persetujuan istri. Berdasarkan firman Allah surat Al- Baqarah ayat 228 yang berbunyi:

Artinya: Dan para suami mereka lebih berhak merujuknya kembali kepada mereka dalam masa iddah, jika mereka ( para suamisuami) itu menghendaki perbaikan. Dan mereka para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.[24]

Imam Syafi’i juga berkata: Hamba budak mempunyai hak talak dua kali, bila ia mentalak satu pada istrinya, maka ia seperti orang merdeka yang mentalak istrinya satu atau dua talakan, maka suami berhak juga untuk rujuk sesudah talak satu sebagai sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki merdeka dalam merujuk istrinya setelah talak satu

dan dua.[25]

Madzhab Maliki dan Syafi’i mengatakan bahwa setiap talak itu

raj’i kecuali:

1) Talak ba’in.

2) Talak sebelum bersetubuh.

3) Talak dengan tebusan harta dari istri khuluk jadi talak ini disebut

talak ba’in sugra.

2.      Hukum rujuk pada talak ba’in

Talak ba’in terbagi menjadi dua macam yaitu: pertama talak Ba’in Sugra atau talak ba’in kecil yaitu talak yang terjadi karena khuluk atau talak tebus.[26] Di dalam talak ba’in sugra ini suami berhak lagi untuk merujuki istrinya, akan tetapi suami masih berhak untuk berkumpul dengan istrinya kembali dengan akad nikah yang baru dan mas kawin

yang baru pula. Yang termasuk kategori talak ba’in sugra ialah:

1) Perceraian dengan jalan talak tebus atau khuluk atau ta’lik talak dan syiqaq yang memakai iwad}.

2) Talak suami istri yang belum pernah melakukan hubungan kelamin.

3) Perceraian karena fasakh oleh hakim Pengadilan Agama.

Kedua ba’in kubra yaitu talak yang dijatuhkan untuk ketiga kalinya.[27] Dalam talak ba’in kubra ini suami tidak boleh menikah kembali dengan bekas istrinya kecuali harus terlebih dahulu istri kawin dengan suami yang kedua, istri sudah dicampuri oleh suami kedua, istri telah ditalak oleh suami yang kedua dan telah habis masa iddahnya. Hukum rujuk setelah talak ba’in sama dengan nikah baru, yakni tentang persyaratan adanya mahar, wali dan persetujuan. Hanya saja jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.[28]

 

2.3.2 Rukun dan Syarat Rujuk

a. Rukun Rujuk

Rukun rujuk adalah sigat atau pernyataan kembali dari suami serta perbuatan yang menunjukkan keinginan tersebut. Ulama’ sepakat bahwa rujuk tidak sah apabila tidak memenuhi rukun-rukun rujuk, akan tetapi terhadap ketentuan rukun itu mereka berbeda pendapat. Menurut ulama’ jumhur rukun rujuk ada 3 macam yaitu:

1) Murtaji atau mantan suami.

2) Murtaja’a atau mantan istri.

3) Sigat atau ijab rujuk.[29]

 

b. Syarat Rujuk

·         Laki- laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki- laki yang merujuk itu adalah sebagai berikut:

a) Laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang di rujuk yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.

b) Laki-laki yang merujuk itu mestilah seorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya yaitu telah dewasa, sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri.

·         Perempuan yang dirujuk adalah perempuan yang telah dinikahi dan kemudian diceraikannya tidak dalam bentuk cerai tebus atau khuluk dan tidak pula dalam talak tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam perkawinan itu dan masih berada dalam masa iddah.Adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang di rujuk itu adalah sebagai berikut:

a) Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki- laki yang merujuk.

b) Istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i.

c) Istri itu masih berada dalam iddah talak raj’i.

d) Istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu.

·         Ucapan rujuk

Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan sepihak itu di dasarkan kepada pandangan ulama’ fiqh bahwa rujuk itu merupakan hak khusus seorang suami.[30]  Oleh karena sifatnya yang sepihak itu tidak diperlukan penerimaan dari pihak perempuan yang di rujuk atau walinya. Dengan begitu rujuk tidak di lakukan dalam bentuk suatu akad. Untuk sahnya tindakan rujuk hanya di perlukan ucapan rujuk yang dilakukan oleh orang yang merujuk.

·         Kesaksian dalam rujuk

Tentang kesaksian dalam rujuk ulama berbeda pendapat ada yang sebagian ulama’ termasuk salah satu pendapat dari Imam al- Syafi’i mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah.

 

2.3.3        Hikmah Ruju’

Dari penjelasan tentang rujuk, nyatalah bahwa perceraian itu merupakan satu perbuatan yang sangat dibenci oleh Islam karena dampak negative yang di timbulkannya baik kepada suami atau istri maupun terhadap anak- anaknya bagi yang telah memiliki anak. Sebaliknya perdamaian (ishlah) atau rujuk merupakan perbuatan yang sangat disukai dalam Islam. Atas dasar inilah institusi rujuk dalam Islam merupakan kesempatan yang cukup baik untuk melakukan rekonsiliasi terhadap konflik yang terjadi antara suami dan istri. Dengan demikian suami- istri yang telah di cerai harus memanfaatkan kesempatan masa iddah untuk melaksanakan rujuk.[31]

 

2.4 Pengertian Fasakh

Menurut bahasa kata “fasakh” berasal dari bahasa Arab فسخ- يفسخ – فسخا yang berarti batal atau rusak Sedang menurut istilah dapat diartikan sebagai berikut :

Menurut DR. Ahmad al Ghundur Fasakh  adalah  batal  akad  (pernikahan)  dan  hilangnya  keadaan  yang menguatkan kepadanya. Menurut Sayyid Sabiq Memfasakh  adalah  membatalkannya  dan  melepaskan  ikatan  pertalian antara suami-isteri. Menurut Ensiklopedi Islam fasakh ialah pemutusan hubungan pernikahan oleh hakim atas permintaan suami atau isteri atau keduanya akibat timbulnya hal-hal yang dirasa berat oleh masing-masing atau salah satu pihak suami-isteri secara wajar dan tidak dapat mencapai tujuan dari sebuah pernikahan yang di inginkan oleh suami dan istri.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan jikalau pengertian fasakh nikah adalah suatu bentuk perceraian yang diputuskan oleh hakim karena dianggap pernikahan itu memberatkan salah satu pihak baik istri atau suami.

Hal-Hal yang Menyebabkan Fasakh

·         Fasakh  adakalanya  disebabkan  terjadinya  kerusakan  atau  cacat  pada akad nikah itu sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang datang kemudian   yang menyebabkan   akad   pernikahan   tersebut   tidak   dapat dilanjutkan.

·         Fasakh yang  disebabkan  rusaknya  atau  terdapatnya  cacat  dalam  akad nikah, antara lain sebagai berikut :

·         Setelah pernikahan berlangsung, di kemudian hari diketahui bahwa suami isteri adalah saudara sekandung, seayah seibu atau saudara sepersusuan.

·         Apabila ayah atau kakek menikahkan anak laki-laki atau perempuan di bawah umur dengan orang yang juga di bawah um Maka setelah kedua anak ini dewasa mereka berhak untuk memilih melanjutkan pernikahan tersebut atau menghentikan pernikahan itu. Apabila anak itu menghentikan pernikahan tersebut, maka dinamakan fasakh. Hak pilih seperti ini oleh ulama fiqih tersebut khiyar al-bulugh.[32]

Fasakh yang disebabkan ada penghalang (mani’ al-huruf) setelah berlangsungnya pernikahan misalnya antara lain sebagai berikut :

·         Salah seorang di antara suami isteri itu murtad (keluar dari agama Islam).

·         Apabila pasangan suami isteri tersebut dahulunya menganut agama non Islam. Kemudian isterinya memeluk agama Islam maka dengan sendirinya akad pernikahan itu batal. Apabila suaminya yang masuk Islam sedangkan wanita tersebut kitabiyah (yahudi atau nasrani) maka pernikahan tersebut tidak batal. [33]

Bentuk-bentuk fasakh yang terjadi dengan sendirinya di antaranya sebagai berikut :

·         Fasakh terjadi karena rusaknya akad pernikahan yang diketahui setelah pernikahan berlangsung, seperti pernikahan tanpa saksi dan mengawini mahram.

·         Fasakh terjadi karena isteri dimerdekakan dari status budak. Sedangkan suaminya tetap berstatus budak.

·         Fasakh terjadi karena pernikahan yang dilakukan adalah nikah mut’

·         Fasakh terjadi karena mengawini wanita dalam masa iddah. [34]

Adapun fasakh  yang  memerlukan  campur  tangan  hakim  antara  lain sebagai berikut :

·         Fasakh disebabkan isteri merasa tidak kafaah dengan suam

·         Fasakh disebabkan mahar isteri tidak dibayar penuh sesuai dengan yang dijanjikan.

·         Fasakh akibat salah seorang suami/isteri menderita penyakit gila.

·         Fasakh terjadi karena isteri yang musyrik tidak mau masuk Islam setelah suaminya masuk Islam, sedangkan wanita tersebut menuntut perceraian dari suam

·         Fasakh disebabkan salah seorang suami/isteri murtad dan menjadi musyrik/m

·         Fasakh terjadi karena li’

·         Fasakh disebabkan adanya cacat baik pada suami maupun pada isteri.

·         Menurut jumhur ulama, hakim juga harus campur tangan dalam fasakh yang disebabkan suami tidak mampu memberi nafkah, baik pangan, sandang, maupun papan.

·         Fasakh karena suami dipenjara.

 

Akibat Fasakh

Fasakh yang semula dapat membatalkan akad, maka di sini timbul beberapa ketentuan hukum, misalnya : tidak ada kewajiban mahar, haram kawin untuk selama-lamanya, bila fasakh itu terjadi dengan mahram, disamping itu tidak mesti menunggu keputusan hakim. Namun dalam kasus- kasus lain biasanya lebih banyak harus diputuskan oleh hakim. Disini juga, perceraian tidak dihubungkan dengan masa iddah. Akan tetapi, pada fasakh karena sebab yang datang setelah akad, maka jika itu dari isteri sebelum ditentukan mahar, maka mahar itu gugur seluruhnya. Akan tetapi, jika fasakh itu  dari  suami  maka  ia  wajib  membayar  setengah  dari  mahar  itu.  Disini perceraian  itu  sifatnya  sementara  dan  dihubungkan  dengan  masa  iddah.

Adapun masa iddahnya berlaku seperti iddah talak. Disamping itu, baik bentuk fasakh yang pertama atau kedua, menyebabkan perceraian, umumnya terjadi pada saat itu juga. Ketentuan hukum yang lain ialah bahwa perceraian Dengan jalan fasakh tidak mengurangi jumlah ţalaq. Dan bekas isteri tidak boleh dirujuk oleh bekas suaminya. Jika si suami mau mengambil isterinya itu kembali, ia harus nikah lagi. Dengan jalan fasakh tidak mengurangi jumlah ţalaq. Dan bekas isteri tidak boleh dirujuk oleh bekas suaminya. Jika si suami mau mengambil isterinya itu kembali, ia harus nikah lagi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Talak menurut agana islam adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan kata talak dan kata ang searti. Bila terjadi talak, ikatan-ikatan antara suami isteri yang disebabkan oleh perkawinan telah lepas semuanya. Setelah ditalak, seorang wanita harus menjalani masa iddah, yaitu masa menunggu. Sedangkan rujuk (kembali) menurut syara’ adalah kembalinya suami isteri kepada ikatan perkawinan dari talak raj’I yang masih dalam masa iddah dengan aturan tertentu. Baik munakahah, talak maupun rujuk mempunyai hikmah dalam kehidupan secara umumnya. rujuk adalah mengembalikan wanita yang di talak selain talak ba’in, pada perkawinan selama wanita itu masih berada dalam masa iddah tanpa akad yang baru. Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata addayauddu-iddatan, dan jamaknya adalah idad yang secara arti kata berarti‚ menghitung‛ atau hitungan kata ini digunakan untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber’iddah menunggu berlalunya waktu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  Hifzh al-Nasl, masih dibagi menjadi tiga bagian yaitu: menjaga keturunan dalam tingkat dharuriyah, Hajiyah dan Tahshiniyah. Mengenai pembahasan masing-masing tingkatan lihat: Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)

Abi Abdillah Muh bin Yazid, Al Muwatha’ Imam Malik Jilid 2, (Beirut: Darul Kitab Alamiah, 2004)

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya

Abd Rahman Ghazali,fikih munakahat , (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003)  Muhammad Kamil ‘Uwaida, Fiqh Wanita,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007)

Syamsuddin, Moh. Ibnu Abi Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Sihabuddin, al-Ramli, juz VII

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007)

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37

Kamil Muhammad ‘Uwaida, Fiqh Wanita, (jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2007)

Imam Syafi’i, Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al Fiqh, diterjemahkan Muh Yasir Abd Muthalib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006)

Abu Malik Kamal Bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah, (Jakarta: I’tishom Cahaya Umat, 2007)



[1] Hifzh al-Nasl, masih dibagi menjadi tiga bagian yaitu: menjaga keturunan dalam tingkat dharuriyah, Hajiyah dan Tahshiniyah. Mengenai pembahasan masing-masing tingkatan lihat: Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007),125.

 

[2] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) ,155

[3] Abi Abdillah Muh bin Yazid, Al Muwatha’ Imam Malik Jilid 2, (Beirut: Darul Kitab

Alamiah, 2004), 133

[4] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 38

[5] Abd Rahman Ghazali,fikih munakahat , (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), 192

[6] Muhammad Kamil ‘Uwaida, Fiqh Wanita,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007),438.

[7] Abidin, Aminuddin, Fiqh, 34

[8] Ibid, 35

[9] Syafi’i, al-Um, Darul Wifa’, Juz. VI, 467.

[10] Syamsuddin, Moh. Ibnu Abi Abbas Ahmad bin Hamzah Ibnu Sihabuddin, al-Ramli, juz VII

[11] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007),303

[12] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37

[13] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37

[14] Kamil Muhammad ‘Uwaida, Fiqh Wanita, (jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2007), 450.

[15] Imam Syafi’i, Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al Fiqh, diterjemahkan Muh Yasir Abd Muthalib, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),513.

[16] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 222

[17] Abu Malik Kamal Bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah, (Jakarta: I’tishom Cahaya Umat, 2007), 324

[18] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, h.209

[19] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 90

[20] Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 285

[21] Maftuh Hanan, Risalah Nikah, h.345

[22] As-Syafi’I, Al-Um, h.432

[23] Musthafa Kamal,dkk, Fikih Islam, h.287

[24] Depag RI, Al-qur’an dan terjemah,h.45

[25] Asy-Syafi’I, Al-Um, h.431

[26] Musthafa Kamal, dkk, Fikih Islam, h.287

[27]Ibid, h.268

[28] Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.292- 293

[29] Syarbini, Asy-Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khotib, Mughni Al-Muhtaj V, h.3

[30] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 341- 342

[31] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,h. 274

[32] Slamet Abidin, Aminuddin. Fiqih Munakahat. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999). H.172

[33] Ibid

[34] Imam, Hanafi. Pengantar Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh. (Pamekasan: STAIN, 2014). H.111