I. Pendahuluan
Obligasi syariah atau biasa disebut sukuk adalah salah satu efek[1] yang
diperdagangkan di pasar modal saat ini. Baik di dunia international maupun di
tingkat nasional. Instrumen keuangan ini tumbuh pesat seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan instrumen keuangan konvensional lainnya.
Makalah ini, memaparkan tentang sukuk, mulai dari pengertian, jenis-jenis,
dasar hukum, karakteristik, dan pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan
sukuk.
II. Pengertian
Obligasi berasal dari bahasa Belanda yaitu “Obligatie” yang dalam bahasa
Indonesia disebut dengan “obligasi” yang berarti ‘kontrak’. Dalam Keputusan
Presiden RI Nomor 775/KMK 001/1982 disebutkan bahwa obligasi adalah jenis efek
berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk
tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan menjanjikan
imbalan bunga, yang jumlah serta saat pembayarannya telah ditentukan terlebih
dahulu oleh emiten atau Badan Pelaksana Pasar Modal (Abdul Manan:2010).
Jika diperhatikan pengertian obligasi di atas, maka dapat dipastikan bahwa
obligasi yang dimaksudkan adalah obligasi konvensional. Hal ini dikenali dari
potongan kalimat “…menjanjikan imbalan bunga…” yang dalam obligasi syariah
dianggap haram atau terlarang, sebagaimana dikemukakan pada pembahasan
selanjutnya.
Adapun Obligasi Syariah adalah suatu
surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan
Emiten[2] kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi
hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo
(Fatwa DSN-MUI, 2002).
Obligasi syariah biasa juga disebut sukuk. Sukuk berasal dari bahasa Arab صكوك,
jamak dari صك sakk[3], yang berarti ‘instrumen legal, amal, cek’. Sukuk dapat
pula diartikan dengan efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan
yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan, yang
paling tidak terbagi atas:
1.
kepemilikan aset berwujud tertentu;
2.
nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi
tertentu; atau
3.
kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu
(Wikipedia Indonesia:2010)
III. Jenis-jenis
Obligasi Syariah (Sukuk)
Menurut AAOIFI (the Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial
Institutions) via Depkeu:2010, terdapat banyak jenis sukuk yang dikenal secara
international, di antaranya:
A. Sukuk ijarah,
yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad ijarah, yang satu
pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak guna
(manfaat) suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga sewa dan periode sewa
yang disepakati tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri.
Untuk lebih jelasnya lihat skim ijarah berikut (MI. Sigit Pramono dan A. Aziz
Setiawan (2008:9):
Gambar 1 : Model Skim Sukuk Ijarah
Contoh skim ijarah bisa dilihat pada
penerbitan obligasi ijarah Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel ini
mengeluarkan obligasi ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk
menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah. Matahari bertindak sebagai wakil
untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang
obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak Town Square di
Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad wakalah,
yang atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan
pokok dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana
obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi
tersebut selama lima tahun (MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:9).
B. Sukuk
mudarabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad
mudarabah yang merupakan satu bentuk kerjasama, yang satu pihak menyediakan
modal (rabb al-mal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudarib),
keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang
telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya
oleh pihak penyedia modal.
Untuk lebih jelasnya lihat skim mudarabah berikut MI. Sigit Pramono dan A. Aziz
Setiawan (2008:9):
Gambar 2: Model Skim
Sukuk Mudarabah
Sebagai contoh, Berlian Laju Tanker telah menerbitkan obligasi mudarabah
senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%)
dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun
yang dicatakan di BES dan KSEI ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil
berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini
atau kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya
berubah setiap tahun sesuai pendapatan (MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan
(2008:9).
C. Sukuk
musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad
musyarakah yang merupakan suatu bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk menggabungkan modal yang digunakan untuk membangun proyek baru,
mengembangkan proyek yang telah ada atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan
atau kerugian yang timbul akan ditanggung bersama sesuai dengan jumlah
partisipasi modal masing-masing.
D. Sukuk istishna’,
yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istishna’ yang merupakan
suatu bentuk perjanjian jual beli antara para pihak untuk pembiayaan suatu
proyek. Adapun cara, jangka waktu, dan harga ditentukan oleh berdasarkan
kesepakatan para pihak.
Menurut Iwan P. Pontjowinoto (2004), jenis-jenis obligasi adalah sebagai
berikut:
A.
Menurut Jenis Pendapatan, terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1.
Pendapatan bagi hasil (obligasi mudarabah).
2.
Pendapatan sewa/fee (obligasi ijarah).
3.
Pendapatan marjin (obligasi istishna’).
B.
Menurut jenis emiten
1. Emiten
korporasi (swasta maupun BUMN/D).
2. Emiten
lembaga keuangan.
3. Emiten
pemerintah (pusat maupun daerah).
C.
Menurut jenis investor
1. Investor
local (domestik).
2. Investor
global (internasional).
D.
Menurut kebutuhan investasi
1. Mendapatkan
hasil yang teratur (fixed income).
2.
Mendapatkan pertambahan nilai jangka panjang.
3.
Mendapatkan control (penguasaan atau pemilikan).
MI. Sigit Pramono dan A. Aziz Setiawan (2008:8) mengemukakan paling tidak
terdapat enam akad penting yang dapat menjadi basis pengembangan obligasi
syariah. Empat di antaranya telah disebutkan di atas (yaitu akad ijarah,
mudarabah, musyarakah, dan istishna’), dua yang lainnya adalah 1) murabahah
yaitu akad jual beli barang yang pembeli dapat membayar harga barang yang
disepakati pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati, penjual dapat
menambah marjin pada harga pokok barang yang dijual tersebut; dan 2) salam yang
merupakan kontrak jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga
lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Bab XXV,
Pasal 605 (Suyud Margono dkk., 2009: 136) disebutkan bahwa “penerbitan obligasi
dapat digunakan antara lain dalam transaksi: a. mudarabah/muqaradah; b. qirad;
c. musyarakah; d. murabahah; e. salam; f. istishna’; dan g. ijarah.”
Ketentuan di atas sesuai dengan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No:
32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah. Dalam ketentuan khusus fatwa
tersebut nomor 1 disebutkan bahwa “Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan
obligasi syariah antara lain: a. mudarabah (muqaradah)/ qirad; b. musyarakah;
c. murabahah; d. salam; e. istishna’; f. ijarah.”
IV. Dasar Hukum
Obligasi Syariah (Sukuk)
Menurut Sapto Rahardjo (2003: 142) dasar hukum obligasi syariah di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Pendapat ulama
tentang keharaman bunga (interest).
2. Pendapat ulama
tentang keharaman obligasi yang penghasilannya berbentuk bunga (kupon).
3. Pendapat ulama
tentang obligasi syariah yang menggunakan prinsip mudarabah, murabahah,
musyarakah, istishna, dan salam.
4. Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 20 DSN/IV/2001 mengenai Pedoman Pelaksanaan Investasi Reksadana
Syariah.[4]
5. Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor: 32/DSN-MUI/IX/ 2002 tentang Obligasi Syariah.
Adapun isi Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 32/DSN-MUI/IX/ 2002 tentang
Obligasi Syariah adalah (MUI:2010),
Pertama, Ketentuan
Umum:
obligasi yang tidak
dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban
membayar berdasarkan bunga;
obligasi yang
dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip
syariah;
Obligasi Syariah adalah
suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang
dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten
untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi
hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Kedua, Ketentuan
Khusus:
Akad yang dapat
digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
Mudharabah (Muqaradah)/
Qirad.
Musyarakah.
Murabahah.
Salam.
Istishna’.
Ijarah.
Jenis usaha yang
dilakukan Emiten (mudarib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan
memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman
Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
Pendapatan (hasil)
investasi yang dibagikan Emiten (mudarib) kepada pemegang Obligasi Syariah
Mudharabah (shahibul mal) harus bersih dari unsur non halal;
Pendapatan (hasil) yang
diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
Pemindahan kepemilikan
obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
Adapun landasan hukum yang menjadi pegangan DSN-MUI dalam menetapkan bolehnya
penggunaan obligasi adalah (Muhammad Firdaus dkk.[ed.], 2005:77-79),
1.
Q.S. al-Maidah [5]: 1, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…”
2.
Q.S. al-Isra’ [17]: 34, “…dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan jawabnya.”
3.
Q.S. al-Baqarah [2]: 275, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”
4.
H.R. at-Tirmidzi, “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang haram; dan kaum
Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.”
5.
H.R. Ibnu Majah, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan diri orang lain.”
6.
Kaidah Fiqh: “Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”; “Kesulitan dapat menarik kemudahan”; “Sesuatu
yang berlaku berdasarkan adat/ kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku
berdasarkan syara (selama tidak bertentangan dengan syariah).”
V.
Karakteristik Obligasi Syariah (Sukuk)
Adapun karakteristik sukuk adalah (Depkeu:2010),
1.
merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat;
2.
pendapatan berupa imbalan (kupon), marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis aqad
yang digunakan;
3. terbebas
dari unsur riba, gharar, dan maisir;
4.
penerbitannya melalui Special Purpose Vehicle (SPV);
5.
memerlukan underlying asset; dan,
6.
penggunaan proceds[5] (hasil jual) harus sesuai prinsip syariah.
VI. Rating Obligasi
Rating obligasi di Indonesia dilakukan oleh PT Pemerintah Efek Indonesia
(PEFINDO) yang didirikan pada tahun 1993. Rating dilakukan untuk mengevaluasi
risiko instrument utang. Dengan demikian, saham tidak dirating oleh Pefindo.
Rating dilakukan melalui 2 tahap. Tahap pertama, analisis pefindo menyiapkan
review internal terhadap perusahaan yang mengeluarkan instrumen utang. Analisis
tersebut kemudian menyajikan review ke manajemen Pefindo untuk
didiskusikan. Tahap kedua, rekomendasi rating diberikan kepada komite rating
kemudian akan menentukan rating perusahaan tersebut. Komite rating terdiri dari
analisis dan manajemen Pefindo, ditambah dua orang dari luar Pefindo dengan
tujuan untuk menjaga objektivitas, profesionalisme, dan independensi rating.
Tabel berikut ini menyajikan rating obligasi (Mamduh M. Hanafi, 2004:476-477).
Rating |
Keterangan |
AAA |
Instrumen utang
dengan risiko sangat rendah. Tingkat pengembalian teramat baik (excellent);
perubahan pada kondisi keuangan, bisnis, atau ekonomi tidak akan berpengaruh
secara signifikan terhadap risiko investasi. |
AA |
Instrumen
utang dengan risiko sangat rendah. Tingkat pengembalian yang sangat baik;
perubahan pada kondisi keuangan, bisnis, atau ekonomi barangkali akan
berpengaruh terhadap risiko investasi, tetapi tidak terlalu besar. |
A |
Pengembalian
utang dengan risiko rendah. Tingkat pengembalian baik; meskipun perubahan
pada kondisi keuangan, bisnis, atau ekonomi akan meningkatkan risiko
investasi. |
BBB |
Tingkat
pengembalian yang memadai. Perubahan pada kondisi pada kondisi keuangan,
bisnis, atau ekonomi mempunyai kemungkinan besar meningkatkan risiko
investasi dibandingkan dengan kategori yang lebih tinggi. |
BB |
Investasi.
Perusahaan mempunyai kemampuan membayar bunga dan pokok pinjaman, tetapi
kemampuan tersebut rawan terhadap perubahan pada kondisi ekonomi, bisnis, dan
keuangan. |
B |
Instrumen
untuk saat ini mengandung risiko investasi. Tingkat pengembalian tidak
terlindungi secara memadai terhadap kondisi ekonomi, bisnis, dan keuangan. |
C |
Instrument
keuangan yang bersifat spekulatif dengan kemungkinan besar bangkrut. |
D |
Instrumen
keuangan sedang default/bangkrut. |
Catatan |
Tanda + atau –
bisa ditambahkan di belakang rating untuk menegaskan tingkat rating lebih
lanjut. Sebagai contoh, suatu perusahaan barangkali mempunyai rating A+, yang
berarti rating A tingkat atas. |
VII.
Perbedaan Obligasi Syariah (sukuk) dengan Obligasi Konvensional
Menurut Hamidi: 2003, dalam harga penawaran, jatuh tempo, pokok obligasi
saat jatuh tempo, dan rating antara Obligasi Syariah dengan Obligasi
Konvensional tidak ada bedanya. Perbedaan keduanya terdapat pada pendapatan dan
return, yang dapatb dijelaskan sebagai berikut:
Keterangan |
Obligasi syariah |
Obligasi konvensional |
Harga
penawaran |
100% |
100% |
Jatuh
tempo |
5 tahun |
20 tahun |
Pokok
obligasi pada saat jatuh tempo |
100% |
100% |
Pendapatan |
Bagi hasil |
Bunga |
Return |
15,5-16% indikatif |
15,5-16% tetap |
Rating |
AA+ |
AA+ |
MI. Sigit Pramono dan
A. Aziz Setiawan (2008:8) mengemukakan perbandingan kedua obligasi tersebut di
atas dengan memasukkan obligasi mudarabah dan obligasi ijarah sebagai berikut:
Perbandingan Obligasi dan
Sukuk
|
Obligasi Konvensional |
Syariah Mudharabah |
Syariah Ijarah |
Akad
(Transaksi) |
Tidak ada |
Mudharabah
(Bagi hasil) |
Ijarah
(sewa/lease) |
Jenis
Transaksi |
- |
Uncertainty
Contract |
certainty
Contract |
Sifat |
Surat
Hutang |
Investasi |
Investasi |
Harga
Penawaran |
100% |
100% |
100% |
Pokok
Obligasi saat Jatuh Tempo |
100% |
100% |
100% |
Kupon |
Bunga |
Pendapatan/Bagi
Hasil |
Imbalan/Fee |
Return |
Float/Tetap |
Indikatif
berdasarkan Pendapatan/Income |
Ditentukan
sebelumnya |
Fatwa
Dewan Syariah Nasional |
Tidak
Ada |
No.
33/DSN-MUI/IX/2002 |
No:
41/DSN-MUI/III/2004 |
Jenis
Investor |
Konvensional |
Syariah/Konvensional |
Syariah/Konvensional |
Departemen Keuangan
(2010) mengemukakan perbedaan obligasi dan sukuk sebagai berikut:
Deskripsi |
Sukuk |
Obligasi |
Penerbit |
Pemerintah,
Korporasi |
Pemerintah,
Korporasi |
Sifat
Instrumen |
Sertifikat
kepemelikan/penyertaan atas suatu aset |
Instrumen
pengakuan hutang |
penghasilan |
Imbalan,
bagi hasil, margin |
Bunga/kupon,
capital gain |
Jangka
waktu |
Pendek-menengah |
Menengah-panjang |
Underlying
asset |
perlu |
Tidak
perlu |
Pihak
yang terkait |
Obligor,
SPV, investor, trustee |
Obligor/issuer,
investor |
price |
Market
price |
Market
price |
Investor |
Islami,
konvensional |
Konvensional |
Pembayaran
pokok |
Bullet
atau amotisisasi |
Bullet
atau amortisisasi |
Penggunaan
hasil penerbitan |
Harus
sesuai syariah |
Bebas |
Selain itu,
untuk mempertegas perbedaan keduanya, dapat dilihat dalam pelaksanaanya, yaitu
haruslah sesuai dengan prinsip syariah. Sapto Raharjo, 2003; 144-145,
mengemukakan bahwa secara umum, ketentuan mekanisme mengenai obligasi syariah
adalah sebagai berikut:
a. Obligasi
syariah haruslah berdasarkan konsep syariah yang hanya memberikan pendapatan
kepada pemegang obligasi dalam bentuk bagi hasi atau revenue sharing serta
pembayaran utang pokok pada saat jatuh tempo.
b. Obligasi syariah
mudarabah yang diterbitkan harus berdasarkan pada bentuk pembagian hasil
keuntungan yang telah disepakati sebelumnya serta pendapatan yang diterima
harus bersih dari unsure non-halal.
c. Nisbah (rasio
bagi hasil) harus ditentukan sesuai kesepakatan sebelum penerbitan obligasi
tersebut.
d.
Pembagian pendapatan dapat dilakukan secara periodic atau sesuai
ketentuan bersama, dan pada saat jatuh tempo hal itu diperhitungkan secara
keseluruhan.
e. Sistem
pengawasan aspek syariah dilakukan oleh DPS atau oleh Tim Ahli syariah yang
ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI.
f. Apabila
perusahaan penerbit obligasi melakukan kelalaian atau melanggar syarat
perjanjian, wajib dilakukan pengembalian dana investor dan harus dibuat surat
pengakuan utang.
g. Apabila Emiten
berbuat kelalaian atau cedera janji, maka pihak investor dapat menarik dananya.
h. Hak kepemilikan
obligasi syariah mudarabah dapat dipindahtangankan kepada pihak lain sesuai
kesepakatan akad perjanjian.
VIII.
Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penerbitan Sukuk
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan sukuk adalah (Depkeu:2010),
1. Obligor, adalah
pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk
sampai dengan sukuk jatuh tempo.
2. Special Purpose
Vehicle (SPV), adalah badan hukum yang didirikan khusus untuk penerbitan sukuk
dengan fungsi: a. sebagai penerbit sukuk; b. menjadi counterpart (rekan/teman
imbangan) dalam transaksi pengalihan aset; c. bertindak sebagai wali amanat
(trustee) untuk mewakili kepentingan investor.
3. Investor, adalah
pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, margin, dan nilai nominal sukuk
sesuai partisipasi masing-masing.
IX. Penutup
Dari berbagai paparan di atas, sedikit banyak diketahui gambaran tentang
obligasi syariah, termasuk di dalamnya obligasi konvensional. Makalah ini
diharapkan menjadi langkah awal untuk pendalaman selanjutnya tentang obligasi
syariah atau sukuk.
Daftar
Pustaka
Beik, Irfan Syauqi,
Menyambut SUN Syariah, www.PesantrenVirtual.com, akses Maret 2007.
Dunil, Z., Kamus
Istilah Perbankan Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Departemen Keuangan,
Mengenal Sukuk: Instrumen dan Pembiayaan Berbasis Syariah, www.dmo.or.id.,
akses 17 Mei 2010.
Firdaus, Muhammad, dkk.
(ed.), Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah; Konsep Dasar Obligasi
Syariah, Jakarta: Renaisan, 2005.
Hamidi, M. Luthfi,
Jejak-jejak Ekonomi Syariah, Jakarta: Senayang Abadi Publishing, 2003.
Hanafi, Mamduh M.,
Manajemen Keuangan, Yogyakarta; Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE) UGM,
2004.
Huda, Nurul dan Mustafa
Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, Jakarta: Kencana, 2007.
Majelis Ulama
Indonesia, Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, mui-online@mui.or.id,
akses Januari 2010.
Manan, Abdul, Obligasi
Syariah, www.obligasisyariah, akses 06-05-2010.
Margono, Suyud, dkk.
(ed.), Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2009.
Pramono, IM.
Sigit dan A. Aziz Setiawan, Peran Obligasi Syariah dalam Pengembangan
Infrastruktur, 2008, www.Konsultasi Muamalat, akses 06-05-2010.
Rahardjo, Sapto, Panduan Investasi Obligasi,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Sudarsono dan Edilius, Kamus Ekonomi Uang &
Bank, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Wikipedia Indonesia,
Sukuk, www.wikipediaindonesia.obligasisyariah, akses 06-05-2010.
Winarno, Sigit, dan
Sujana Ismaya, Kamus Besar Ekonomi, Bandung: Pustaka Grafika, 2003.
[1]Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga
komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang. Unit penyertaan tanda investasi
kolektif, kontrak berjangka atas efek dan setiap derivative dari efek (Z.
Dunil, 2004:43).
[2]Badan usaha (pemerintah) yang mengeluarkan kertas berharga yang
diperjualbelikan (Sigit Winarno dan Sujana Ismaya, 2003:181).
[3]Sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan Arab
menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa Latin,
yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi
perbankan kontemporer (Beik: 2007).
[4]Penjelasan lebih lengkap tentang reksadana syariah akan disampaikan pada
makalah khusus yang membahas tentang reksadana syariah.
[5]a. istilah lain bagi aliran kas neto (net cash flow) yang ditentukan dengan
menjumlahkan keuntungan sesudah pajak dengan depresiasi; b. sejumlah uang
tunai, aktiva dan jasa-jasa lainnya yang diperoleh atas penjualan promes atau
emisi (penerbitan surat-surat berharga lainnya); c. suatu hasil dari
mendiskontokan promes. (Sudarsono dan Edilius: 2001, 223).