Perkembangan teknologi informasi sudah
sangat canggih, cepat dan mudah, sehingga menjadi gaya hidup (lifestyle)
bagi masyarakat di seluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia juga terkena
pengaruh perkembangan teknologi informasi di era globalisasi ini. Diikuti
dengan jumlah penduduk Indonesia yang setiap tahun selalu bertambah populasi
penduduknya karena angka kelahiran terus meningkat, sehingga pemanfaatan
teknologi sangat diperlukan untuk menunjang pekerjaan sehari-hari. Salah satu
pemanfaatan teknologi informatika dengan munculnya berbagai macam situs
jejaring sosial (media sosial), pengguna situs jejaring sosial ini menyebar
luas ke berbagai macam kalangan anak-anak, mahasiswa, ibu rumah tangga, ekonomi
atas sampai ekonomi bawah dan masih banyak yang lainnya dapat menggunakan situs
jejaring sosial untuk kebutuhan masing-masing pengguna.
Sehingga media sosial banyak digunakan
oleh masyarakat dunia khususnya Indonesia, bisa kita temukan melalui mesin
pencari seperti Google atau Mozilla firefox dan yang lainnya,
namun yang paling populer dikalangan para pengguna media sosial diantaranya
adalah Facebook, Twitter, BBM, WhatsApp, Instagram,
dan banyak yang lainnya.
Permasalahan hukum yang sering kali
dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi
dan/atau data secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang
terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Sebagai akibat dari perkembangan yang demikian, maka lambat laun, teknologi
informasi dengan sendirinya juga telah mengubah perilaku masyarakat dari
peradaban manusia secara global.[1]
Namun, perkembangan teknologi tidak
hanya berupa memberikan dampak positif saja, namun juga memberikan dampak
negatif, tindak pidana penghinaan atau ujaran kebencian (hate speech)
dan/atau penghinaan, serta penyebaran informasi di media sosial yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antar individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA). Tindak pidana tersebut selain menimbulkan dampak yang
tidak baik juga dapat merugikan korban dalam hal pencemaran nama baik, dengan
modus operandi menghina korban dengan menggunakan kata-kata maupun gambar dan
meme[2]
kata yang menghina dengan ujaran kebencian. Sehingga dalam kasus ini
diperlukan adanya ketegasan pada tindak pidana tersebut, agar tidak terjadi
kesalahpahaman yang akhirnya merugikan masyarakat.
Dengan adanya pasal 27 ayat (3) UU
No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan: “Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.[3]
Di dalam istilah tindak pidana
penghinaan yang tercantum di dalam pasal 310 KUHP ayat (1) berbunyi:
Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik
seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud
yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman
penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-.[4] Dikatakan sebagai
suatu istilah umum dalam menggambarkan tindak pidana terhadap kehormatan.
Tindak pidana kehormatan ini, menurut
hukum pidana terdiri dari empat bentuk, yakni:
1. Menista
secara lisan;
2. Menista
secara tertulis;
3. Fitnah;
4. Penghinaan
ringan;[5]
Didalam KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) juga berisi tindak pidana lain terhadap kehormatan, yang sangat
berkaitan dengan kehormatan dan nama baik, yakni:[6]
1. Pemberitahuan
palsu;
2. Persangkaan
palsu;
3. Penistaan
terhadap yang meninggal;
Kasus-kasus pencemaran nama baik yang
masuk dalam ranah ujaran kebencian yang berujung pada pelaporan pidana sering
dilakukan oleh mereka yang merasa dirugikan oleh para haters (pengikut
jejaring sosial namun dengan komentar yang menjatuhkan bahkan menghina) dengan
menggunakan pasal-pasal yang ada didalam Undang-Undang Transaksi Elektonik dan
KUHP.
Seperti kasus dari Yulianus selaku
pemilik akun twitter @YPaonganan yang
menghina Presiden Joko Widodo dengan memasang foto dengan tulisan porno
Presiden Joko Widodo dan artis Nikita Mirzani disebarkan kepada masyarakat
umum. Kasus ini dilaporkan ke polisi namun bukan Presiden Joko Widodo sendiri
yang melaporkannya, dan pada kamis, 17 Desember 2015, ia ditangkap oleh
penyidik dari Subdirektorat Cyber Crime Mabes Polri. Atas tindakannya
menghina Presiden Joko Widodo, Yulianus disangkakan telah melanggar pasal pasal
4 ayat 1 huruf a dan e UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, pasal 27 ayat
1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).[7]
Dan masih banyak lagi kasus mengenai
penghinaan, pencemaran nama baik dengan menggunakan ujaran kebencian terhadap
Presiden Joko Widodo, terutama dalam meme kata dan karakter yang sering
diposting oleh para pengguna jejaring sosial, bisa juga ditemui dalam
www.memekomikIndonesia.com, yang dari semua pelaku berpendapat secara pribadi dengan menggunakan kata
kebebasan ber-ekspresi dan hak asasi manusia. Sehingga tindak pidana mengenai penghinaan,
pencemaran nama baik dengan menggunakan ujaran kebencian diperlukan kejelasan
dalam penanganan.
Dari munculnya polemik permasalahan
dan semakin banyaknya kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan ujaran
kebencian terhadap Presiden Joko Widodo, maka diterbitkan Surat Edaran (SE) Nomor:
SE/6/X/2015 yang menyebutkan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan ketentuan pidana lainnya
diluar KUHP. Surat Edaran ini dirilis oleh Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti
yang dikeluarkan pada 8 Oktober 2015.[8]
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini
memiliki harapan, bahwasanya bagi warga masyarakat dan khususnya bagi para
pengguna internet (netizen), untuk ekstra hati-hati dalam menyampaikan pendapat
diruang publik, khususnya di ranah jejaring sosial.
Didalam Surat Edaran Nomor: SE/06/X/2015
tentang Penanganan Ujaran Kebencian ditekankan bahwasanya surat edaran ini bisa
digunakan sebagai rujukan, terdapat
macam-macam ujaran kebencian yang telah diatur oleh KUHP dan digunakan pihak
kepolisian secara internal untuk memahami langkah penanganan perbuatan ujaran
kebencian dengan melakukan tindakan secara preventif sehingga bagi pelaku yang
terbukti menghina dan melakukan ujaran kebencian akan ditangani dengan cara
mediasi terlebih dahulu, mengedepankan fungsi binmas untuk kerjasama dengan tokoh
masyarakat sebagai tindakan represif namun, apabila tidak ada kesepakatan dalam
mediasi dan masih dilakukan pengulangan terhadap perbuatan tersebut maka
dilakukan tindakan secara pidana yaitu menjerat dengan tuduhan tindak pidana
sesuai dengan pasal yang disangkakan.[9]
Tindak pidana penghinaan, pencemaran
nama baik melalui ujaran kebencian belum diatur dalam hukum pidana Islam, oleh
karena itu, tindak pidana tersebut termasuk dalam kategori jarimah takzir
karena tidak ditentukan dalam Alquran maupun hadis. Hukuman takzir adalah
hukuman yang bersifat mencegah, menolak timbulnya bahaya, sehingga penetapan
timbulnya jarimah adalah wewenang penguasa atau hakim menyangkut kemaslahatan
umum.[10]
A. Pencemaran Nama
Baik Dalam Islam
Islam sebuah agama yang raḥmatan lil ālamīn
yang mengajarkan hubungan keTuhanan dan kemanusiaan secara baik dan benar
dengan berbagai macam syariat yang ada didalamnya sebagai hukum dalam
melaksanakan sesuatu agar tidak bertentangan dengan larangan agama. Kemanusiaan menuntun untuk kehidupan sosial
kemasyarakatan yang sesuai dengan syariat, bertujuan untuk melindungi harkat
serta martabat manusia. Setiap perilaku yang merendahkan harkat dan martabat
manusia baik secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat tentu dilarang
oleh Allah SWT.[11] Islam sebagai agama yang raḥmatan lil ālamīn benar-benar
mengharamkan perbuatan menggunjing, mengadu domba, memata-matai, mengumpat,
mencaci maki, memanggil dengan julukan tidak baik, dan perbuatan-perbuatan
sejenis yang menyentuh kehormatan atau kemuliaan manusia. Islam pun,
menghinakan orang-orang yang melakukan dosa ini, juga mengancam mereka dengan
janji yang pedih pada hari kiamat, dan memasukkan mereka dalam golongan
orang-orang yang fasik, karena Islam bukanlah agama yang mengajarkan untuk
merendahkan orang lain.[12] Ujaran kebencian sangat erat kaitannya dengan
penghinaan dan pencemaran nama baik dan merupakan pelanggaran yang menyangkut
harkat dan martabat orang lain, yang berupa penghinaan biasa, fitnah/tuduhan
melakukan perbuatan tertentu, berita yang terkait dengan ujaran kebencian
sangat besar pengaruhnya dan sangat jauh akibatnya, karena dapat menghancurkan
reputasi, keluarga, karir dan kehidupan didalam masyarakat tentunya. Didalam
Alquran Allah SWT. berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا
مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ
وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ
ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Hai
orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain
(karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan
ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (QS.al-Ḥujurāt
(49): 11).[13]
Berdasarkan ayat tersebut, maka kiranya perlu di pahami
mengenai bagaimana pencemaran nama baik ini. Terutama dalam hal pengertian dan
unsur-unsurnya yaitu:
1. Pengertian Pencemaran Nama Baik
Dalam kitab Tafsir Jalalain, Imam Jalaluddin membagi tiga
model pencemaran nama baik yaitu:
a. Sukhriyyah:
yaitu meremehkan atau menganggap remeh orang lain karena sebab tertentu.
b. Lamzu: yaitu
menjelek-jelekkan dengan cacian atau hinaan atau dengan kejelekan orang lain.
c. Tanabuz:
yaitu model cacian atau penghinaan dengan menyebut atau memanggil lawan bicara
dengan sebutan yang jelek, dan sebutan yang paling buruk adalah memanggil wahai
fasik atau wahai Yahudi pada orang Islam.[14]
Sementara dalam pandangan al-Ghazali perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang berupa pencemaran nama baik adalah menghina (merendahkan) orang
lain didepan manusia atau didepan umum.[15] Sedangkan Abdul Rahman al-Maliki membagi
penghinaan menjadi tiga:
a. Al-Zammu:
penisbahan sebuah perkara tertentu kepada seseorang berbentuk sindiran halus
yang menyebabkan kemarahan dan pelecehan manusia.
b. Al-Qadhu:
segala sesuatu yang berhubungan dengan reputasi dan harga diri tanpa
menisbahkan sesuatu hal tertentu.
c. Al-Taḥqir: setiap kata yang
bersifat celaan atau mengindikasikan pencelaan atau pelecehan.[16]
2. Unsur-Unsur
Pencemaran Nama Baik
Tidak dapat dipidana apabila seseorang dalam hal perbuatan
yang dilakukan tersebut, tidak tahu atau belum ada suatu aturan yang mengatur
sebelumnya. Oleh sebab itu tidaklah dapat dipertanggung jawabkan orang yang
melakukan perbuatan meninggalkan perbuatan tadi. Seperti bunyi kaidah:
لَا جَرِيْمَةَ وَلَاعُقُوْبَةَ
اِلَّابِالنَّصِ
Tidak
ada hukuman dan tidak ada tindak pidana (jarimah) kecuali dengan adanya nash.[17]
Abdul Qadir Audah melakukan kontekstualisasi dengan
membedakan ruang lingkup hukum pidana Islam yang dalam hal ini mengenai unsur
umum jarimah, untuk jarimah itu ada tiga macam yaitu:[18]
a. Al-rukn al-syar’ī,
atau unsur formil adalah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan
sebagai pelaku jarimah apabila sebelumnya telah ada nas atau undang-undang yang
secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku.
b. Al-rukn al-mādī atau unsur materiil
adalah unsur yang menyatakan bahwa untuk bisa dipidananya seorang pelaku
jarimah, pelaku harus benar-benar telah melakukan perbuatan baik yang bersifat
positif (aktif melakukan sesuatu) maupun yang negatif (pasif tidak melakukan
sesuatu).
c. Al-rukn al-adabī atau unsur moril
adalah unsur yang menyatakan bahwa seorang pelaku tindak pidana harus sebagai
subjek yang bisa dimintai pertanggungjawaban atau harus bisa dipersalahkan.
B. Hukuman Dalam Islam
1.
Pengertian Hukuman
Hukuman berasal dari bahasa arab ‘uqūbāh yang menurut
bahasa berasal dari kata (‘aqoba) yang artinya: mengiringinya dan
datang dibelakangnya. Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa sesuatu dapat
disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah
perbuatan itu dilakukan.[19]
Dapat dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang
diberikan oleh syariat sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan
syariat, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat,
sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
Jenis-jenis hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan
dalam fiqh jinayah/jarimah dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan aspek
yang ditonjolkan. Pada umumnya, para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek
berat dan ringannya hukuman, serta ditegaskan tidaknya oleh Alquran dan hadis.
Atas dasar ini, mereka membaginya menjadi tiga macam yaitu:
a. Jarimah Hudud adalah
semua jenis tindak pidana yang telah ditetapkan jenis, bentuk, dan sanksinya
oleh Allah SWT. dalam Alquran dan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam hadis. Sehingga hukuman had tidak memiliki batasan
minimal (terendah) ataupun batasan maksimal (tertinggi).[20] Jarimah hudud terdiri atas:
1) Jarimah al-zinā (tindak pidana
berzina);
2) Jarimah
al-qadzf (tindak pidana menuduh muslimah baik-baik berzina);
3) Jarimah syurb
al-khamr (tindak pidana meminum-minuman yang memabukkan);
4) Jarimah al-sariqah (tindak pidana
pencurian);
5) Jarimah al-hirābah (tindak pidana
perampokan/pengacau);
6) Jarimah al-riddah (tindak pidana
murtad), dan
7) Jarimah al-baghyu (tindak pidana
pemberontakan).[21]
b. Jarimah qisas/diat
adalah kesamaan antara perbuatan pidana dengan sanksi hukumnya, seperti dihukum
mati akibat membunuh dan dianiaya akibat menganiaya. Jarimah qisas/diyat terdiri
atas:
1) Pembunuhan
a) Pembunuhan sengaja
(al- qatlul ‘amd),
b) Pembunuhan semi
sengaja (al-qatl syibhul ‘amd), dan
c) Pembunuhan tersalah
(al-qatlul khata’).
2) Penganiayaan
a) Penganiayaan
sengaja (al- jinayah ‘alā
mā dūnan nafsi amdan), dan
b) Penganiayaan semi
sengaja (al-jinayah ‘alā
mā dūnan nafsi khata’).[22]
c. Jarimah takzir
adalah semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur dalam Alquran
dan hadis. Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaan jarimah takzir ditentukan oleh
penguasa atau hakim setempat melalui otoritas yang ditugasi untuk hal ini.
Jenis jarimah takzir sangat banyak dan tidak terbatas.[23] Jarimah takzir terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1) Jarimah hudud atau
qisas diat yang subhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan
maksiat. Misalnya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan dan pencurian
aliran listrik.
2) Jarimah-jarimah
yang ditentukan oleh Alquran dan hadis, namun tidak ditentukan sanksinya.
Misalnya, penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanah dan menghina
agama.
3) Jarimah-jarimah
yang ditentukan penguasa/hakim untuk kemaslahatan umum. Misalnya pelanggaran
peraturan lalu lintas.[24]
2. Pengertian
Takzir dan Bentuk-Bentuk Hukuman Takzir
a. Definisi Takzir
Secara bahasa, takzir bermakna al-Man’u (pencegahan).
Menurut istilah, takzir bermakna, at-Ta’dib (pendidikan) dan at-Tankil
(pengekangan). Adapun definisi takzir
secara syariat yang digali dari nas-nas yang menerangkan tentang sanksi-sanksi
yang bersifat edukatif, adalah sanksi yang ditetapkan atas tindakan maksiat
yang didalamya tidak ada had dan kafarat.[25]
Sehingga dapat dipahami bahwasanya jarimah takzir terdiri
atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak
pula kafarat, jadi hanya didasarkan pada perbuatan maksiat. Disamping itu juga
hukuman takzir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan
umum, meskipun perbuatannya bukan maksiat, melainkan pada awalnya mubah.
Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini tidak bisa ditentukan karena
perbuatan tersebut tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya.
Apabila sifat tersebut ada maka perbuatannya diharamkan dan (illat)
dikenakannya hukuman atas perbuatan tersebut adalah membahayakan atau merugikan
kepentingan umum.[26] Jadi apabila dalam suatu perbuatan terdapat
unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan
pelaku dapat dikenakan hukuman. Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut
tidak terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut bukan jarimah
dan pelakunya tidak dikenakan hukuman.
b. Macam-Macam Takzir
Berdasarkan hak yang dilanggar, ada dua macam jarimah takzir,
yaitu:[27]
1) Jarimah takzir yang menyinggung hak Allah.
Artinya, semua perbuatan yang
berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya, membuat kerusakan
di muka bumi, penimbunan bahan-bahan pokok dan penyelundupan.
2) Jarimah takzir yang menyinggung hak individu.
Artinya, setiap perbuatan yang
mengakibatkan kerugian kepada orang-orang tertentu, bukan orang banyak.
Misalnya, pencemaran nama baik, penghinaan, penipuan dan pemukulan.
Dari segi sifatnya, jarimah takzir dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu:
1) Takzir karena melakukan perbuatan maksiat
2) Takzir karena
melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.
3) Takzir yang melakukan pelanggaran (mukhalafah)
Disamping itu, dilihat dari segi dasar
hukum atau penetapannya, takzir juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
sebagai berikut:
1) Jarimah takzir yang
berasal dari jarimah-jarimah hudud dan qisas tetapi syarat-syarat tidak
terpenuhi, atau ada subhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab atau
oleh keluarga sendiri.
2) Jarimah takzir yang
jenisnya disebutkan dalam syariat tetapi hukumnya belum ditetapkan, seperti
riba, suap, dan mengurangi takaran timbangan.
3) Jarimah takzir yang
baik jenis dan sanksinya belum ditetapkan oleh syara’. Jenis ketiga ini
sepenuhnya diserahkan pada penguasa atau hakim, seperti pelanggaran disiplin
pegawai pemerintah.
Menurut Abdul Aziz Amir membagi jarimah takzir secara rinci
kepada beberapa bagian, yaitu:
1) Jarimah takzir yang berkaitan dengan
pembunuhan.
2) Jarimah takzir yang berkaitan dengan
pelukaan.
3) Jarimah takzir yang berkaitan dengan
kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak.
4) Jarimah takzir yang berkaitan dengan harta.
5) Jarimah takzir yang berkaitan dengan
kemaslahatan umum.[28]
Sedangkan macam-macam hukuman takzir adalah sebagai berikut:[29]
1) Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan.
a) Hukuman mati.
b) Hukuman cambuk.
2) Hukuman takzir yang berkaitan dengan
kemerdekaan seseorang
a) Hukuman penjara.
b) Hukuman pengasingan.
3) Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta
4) Hukuman takzir dalam bentuk lain.
3. Dasar Hukum
Pemberlakuan Takzir
Dasar hukum disyariatkannya takzir terdapat dalam hadis Nabi
saw. Yang diriwayatkan oleh Hasan ra.:
إِنَّ قَوْمَا اقْتَتَلَوْا فَقُتِلَ بَيْنَهُمْ
قَتِيْلاً فَبَعَثَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّّمَ فَحَبَسَهُمْ
Ada dua kaum saling
berbunuhan, kemudian diantara mereka ada yang terbunuh. Lalu kejadian itu
dilaporkan kepada Rasulullah saw., selanjutnya beliau memenjarakan mereka.[30]
4. Hikmah
Disyariatkannya Hukuman Takzir
Hukuman takzir, Islam
mensyariatkan sebagai tindakan edukatif terhadap orang-orang yang berbuat
maksiat atau orang-orang yang keluar dari tatanan peraturan perundang-undangan.
Hikmahnya hukuman takzir adalah:
a. Hukuman takzir yang
pelaksanaannya berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing orang.
b. Hukuman takzir itu
diperbolehkan untuk meminta grasi sesudah kasusnya dilaporkan kepada hakim.
c. Sesungguhnya orang
yang mati akibat hukuman takzir orang yang melaksanakannya harus bertanggung
jawab terhadap kematiannya.
Oleh karena itu, bagi orang yang melakukan ujaran kebencian
baik itu menghina dengan terang-terangan maupun sindiran, maka dia berhak untuk
mendapatkan hukuman, baik itu hukuman yang paling ringan maupun yang paling
berat yang nantinya berdasarkan keputusan hakim dan diharapkan hakim memberikan
hukuman yang adil dan sepantasnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukuman
penghinaan atau pencemaran nama baik itu bermacam-macam hukumannya, yaitu
peringatan keras, dipenjara, dicambuk maupun dihukum mati.[31]
C. Pencemaran Nama
Baik dalam Jarimah Takzir
Dalam konteks ujaran kebencian dalam hal ini pencemaran nama
baik sendiri terdapat banyak macamnya termasuk jenis, kadar dan akibat yang
ditimbulkandari pencemaran nama baik/penghinaan yang telah dilakukan. Berikut
ini hukuman-hukuman takzir yang dijatuhkan terhadap pelaku pencemaran nama
baik/penghinaan:
1. Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Badan.
Dalam sanksi ini ada dua jenis hukuman, yaitu hukuman mati
dan hukuman cambuk, dengan uraian:[32]
a. Hukuman
Mati
Pada dasarnya hukuman takzir dalam hukum islam adalah hukuman
yang bersifat mendidik dan memberikan pengajaran, sehingga dalam hukuman takzir
tidak boleh ada pemotongan anggota badan maupun penghilangan nyawa.
Menurut madzhab hanafi, membolehkan sanksi takzir dengan
hukuman mati dengan syarat perbuatan itu dilakukan berulang-ulang dan akan
membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan menurut ulama hukuman mati adalah
sebagai sanksi takzir tertinggi dan hanya diberikan kepada pelaku jarimah yang
berbahaya sekali, yang berkaitan dengan jiwa, keamanan dan ketertiban
masyarakat atau apabila sanksi-sanksi sebelumnya tidak memberi pengaruh
baginya. Oleh karena itu, sangatlah tepat kiranya menetapkan hukuman mati bagi
koruptor serta produsen dan pengedar narkoba yang termasuk kedalam kategori
jarimah takzir yang sangat merugikan masyarakat dan kepentingan umum.
b. Hukuman Cambuk
Hukuman ini cukup efektif dalam memberikan efek jera bagi
pelaku jarimah takzir. Jumlah cambukan dalam jarimah hudud zina ghairu muhshan
dan penuduhan zina telah dijelaskan dalam nas keagamaan. Namun dalam jarimah
takzir, penguasa atau hakim diberikan kewenangan untuk mentapkan jumlah
cambukan yang disesuaikan dengan bentuk jarimah, kondisi pelaku dan efek bagi
masyarakat.
Adapun sifat dari hukuman cambuk dalam jarimah takzir adalah
untuk pelajaran dan tidak boleh menimbulkan cacat. Apabila terhukum adalah
seorang laki-laki, maka bajunya harus dibuka sedangkan apabila terhukum adalah
perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka karena auratnya akan terbuka, serta
hukuman cambuk tidak boleh diarahkan ke wajah, kepala dan kemaluan, biasanya
diarahkan ke punggung agar tidak menimbulkan cacat. Akan tetapi takzir dengan
pemukulan dan cambukan tidak boleh lebih dari 10 kali pukulan atau 10 kali
cambukan.[33]
2. Sanksi Takzir
Yang Berkaitan Dengan Kemerdekaan Seseorang.
Dalam sanksi ini ada dua jenis hukuman, yaitu hukuman penjara
dan hukuman pengasingan, yaitu:[34]
a. Hukuman Penjara
Hukuman penjara adalah hukuman yang menghalangi atau melarang
seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dan bisa menjadi hukuman pokok dan
menjadi hukuman tambahan.[35] Hukuman penjara menjadi hukuman tambahan
apabila hukuman pokok yang berupa hukuman cambuk tidak membawa dampak bagi
terhukum. Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi menjadi dua, yaitu hukuman
penjara terbatas dan hukuman penjara tidak terbatas.
1) Hukuman Penjara Terbatas
Hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas.
Hukuman penjara ini ditetapkan untuk pelaku jarimah penghinaan, penjualan
khamr, riba, pelaggaran kehormatan bulan suci ramadhan dengan berbuka pada
siang hari tanpa halangan, pengairan lading dengan air dari saluran tetangga
tanpa izin, caci maki antara dua orang yang berperkara di depan siding
pengadilan dan kesaksian palsu.
2) Hukuman Penjara Tidak Terbatas
Hukuman penjara yang tidak dibatasi waktu tetap. Dengan kata
lain berlangsung sampai orang yang dihukum itu meninggal atau bertaubat dan
bias dikatakan menjadi hukuman seumur hidup, dalam hukum pidana islam hukuman
ini dikenakan kepada penjahat yang
sangat berbahaya.
b. Hukuman
Pengasingan
Hukuman pengasingan atau buang termasuk hukuman had yang
diterapkan untuk pelaku tindak pidana perampokan, namun dalam praktiknya
hukuman ini juga ditetapkan untuk hukuman takzir. Diantara hukuman takzir yang
dikenakan hukuman pengasingan adalah orang yang berperilaku mukhannats
(waria) yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya keluar
wilayah Madinah.
3. Sanksi Takzir
Yang Berkaitan Dengan Harta.
Hukuman takzir dengan mengambil harta bukan berarti mengambil
harta pelaku untuk diri hakim atau kas Negara, melainkan hanya menahannya untuk
sementara waktu. Apabila pelaku tidak bias diharapkan untuk bertaubat, hakim
dapat meng-tasharruf-kan (memanfaatkan) harta tersebut untuk kepentingan
yang mengandung maslahat.
Imam Ibnu Taimiyah membagi hukuman takzir ini menjadi tiga
bagian dengan mempehatikan pengaruhnya terhadap harta:[36]
a. Menghancurkannya (al-Itlāf)
Penghancuran harta yang berlaku untuk benda-benda yang
bersifat mungkar, namun penghancuran ini tidak selamanya merupakan kewajiban,
melainkan dalam kondisi tertentu boleh disedekahkan.
b. Mengubahnya (al-Taghyīr)
Mengubah sesuatu dalam hal ini apabila seorang muslim
memiliki sebuah patung maka patung
tersebut bias dirubah bentuknya sehingga memiliki kemanfaatan lain. Ini
ditujukan untuk memberi hukuman terhadap pelaku melalui barang kesayangannya.[37]
c. Memilikinya (al-Tamlīk)
Hukuman takzir dalam bentuk ini juga disebut sebagai hukuman
denda, yaitu hukuman takzir yang berupa pemilikan harta pelaku. Hukuman denda
dapat merupakan hukuman pokok yangberdiri sendiri namun didalam syariat Islam
tidak menetapkan batas terendah atau tertinggi dari hukuman denda, namun selain
denda juga ada hukuman takzir yang berkaitan dengan harta yakni penyitaan dan
perampasan yang masih menjadi perdebatan diantara para ulama.
4. Sanksi Takzir
Dalam Bentuk Lain
Selain hukuman-hukuman takzir yang telah disebutkan, ada
bentuk sanksi takzir lain yaitu:[38]
a. Peringatan keras;
b. Dihadirkan
dihadapan sidang;
c. Nasihat;
d. Celaan
e. Pengucilan;
f. Pemecatan dan
g. Pengumuman kesalahan
secara terbuka, seperti diberitakan di media cetak dan elektronik.
[1] Budi Suhariyanto, Tindak
Pidana Teknologi Informasi (CYBERCRIME), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), 2.
[2]
Meme atau mimea adalah neologisme yang dikenal sebagai karakter dari
budaya, yang termasuk didalamnya yaitu gagasan, perasaan, ataupun perilaku
(tindakan).
[3] Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang R.I. Tentang Pornografi dan Informasi dan Data
Transaksi Elektronik, (Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2011), 44.
[4] R.Soesilo, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), 225.
[5]
Leden Marpaung, Tindak Pidana Kehormatan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997), 15.
[6] Ibid.,
19.
[7] Iqbal Fadil, “Hina Jokowi di
Media Sosial, orang-orang ini ditangkap polisi”, dalam
http://m.merdeka.com/peristiwa/hina-jokowi-di-media-sosial-orang-orang-ini-ditangkap-polisi.html,
diakses pada 24 Mei 2016.
[8]
Novianti indah, “Surat Edaran Kapolri Mengenai Ujaran Kebencian di Media
Sosial”, dalam
http://www.noviantiindah.com/2015/11/surat-edaran-kapolri-mengenai-ujaran.html?m=1,
diakses pada 01 April 2016.
[9]
Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), (Jakarta: Kepolisian Negara
Republik Indonesia Markas Besar, 2015), 4.
[10] Ibid., 93.
[11] Zainuddin Ali, Hukum Pidana
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 60.
[12] Ibid., 61.
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Surabaya: Fajar Mulya, 2012), 516.
[14] Imam Jalaluddin, Tafsir
Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), 428.
[15] Abdul Hamid Al-Ghazali, Ihyaul
Ulumuddin, (Ciputat: Lentera Hati, 2003), 379.
[17] Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 298.
[18] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana
Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 26-27.
[19] Djazuli, Fiqih Jinayah,
(Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1997), 35.
[20] Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia
Hukum Pidana Islam Jilid 1, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007), 99.
[21]
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 28.
[22] Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia
Hukum Pidana Islam Jilid 1, 100.
[23] Ibid., 100.
[24] Djazuli, Fiqih Jinayah,
13.
[25] Abdurrahman al-Maliki, Sistem
Sanksi Dalam Islam, 239.
[26] Ahmad Wardi Muslich, Hukum
Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 249.
[27] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana
Islam, 94.
[28] Ibid., 19.
[29] Ibid., 95.
[30]
Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, 239.
[31] Zainuddin Ali, Hukum Pidana
Islam, 25.
[32] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana
Islam, 95.
[33] Abdurrahman al-Maliki, Sistem
Sanksi Dalam Islam , 255.
[34] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana
Islam, 100.
[35] Abdurrahman al-Maliki, Sistem
Sanksi Dalam Islam, 257.
[36] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana
Islam, 107.
[37] Abdurrahman al-Maliki, Sistem
Sanksi Dalam Islam, 271.
[38] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana
Islam, 110.