Senin, 17 Januari 2022

Makalah Ujaran Kebencian di Media Sosial Menurut Pidana Hukum Islam

 

Perkembangan teknologi informasi sudah sangat canggih, cepat dan mudah, sehingga menjadi gaya hidup (lifestyle) bagi masyarakat di seluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia juga terkena pengaruh perkembangan teknologi informasi di era globalisasi ini. Diikuti dengan jumlah penduduk Indonesia yang setiap tahun selalu bertambah populasi penduduknya karena angka kelahiran terus meningkat, sehingga pemanfaatan teknologi sangat diperlukan untuk menunjang pekerjaan sehari-hari. Salah satu pemanfaatan teknologi informatika dengan munculnya berbagai macam situs jejaring sosial (media sosial), pengguna situs jejaring sosial ini menyebar luas ke berbagai macam kalangan anak-anak, mahasiswa, ibu rumah tangga, ekonomi atas sampai ekonomi bawah dan masih banyak yang lainnya dapat menggunakan situs jejaring sosial untuk kebutuhan masing-masing pengguna.

Sehingga media sosial banyak digunakan oleh masyarakat dunia khususnya Indonesia, bisa kita temukan melalui mesin pencari seperti Google atau Mozilla firefox dan yang lainnya, namun yang paling populer dikalangan para pengguna media sosial diantaranya adalah Facebook, Twitter, BBM, WhatsApp, Instagram, dan banyak yang lainnya.

Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau data secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Sebagai akibat dari perkembangan yang demikian, maka lambat laun, teknologi informasi dengan sendirinya juga telah mengubah perilaku masyarakat dari peradaban manusia secara global.[1]

Namun, perkembangan teknologi tidak hanya berupa memberikan dampak positif saja, namun juga memberikan dampak negatif, tindak pidana penghinaan atau ujaran kebencian (hate speech) dan/atau penghinaan, serta penyebaran informasi di media sosial yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antar individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Tindak pidana tersebut selain menimbulkan dampak yang tidak baik juga dapat merugikan korban dalam hal pencemaran nama baik, dengan modus operandi menghina korban dengan menggunakan kata-kata maupun gambar dan meme[2]  kata yang menghina dengan ujaran kebencian. Sehingga dalam kasus ini diperlukan adanya ketegasan pada tindak pidana tersebut, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang akhirnya merugikan masyarakat.

Dengan adanya pasal 27 ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.[3]

Di dalam istilah tindak pidana penghinaan yang tercantum di dalam pasal 310 KUHP ayat (1) berbunyi:

Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-.[4]   Dikatakan sebagai suatu istilah umum dalam menggambarkan tindak pidana terhadap kehormatan.

 

Tindak pidana kehormatan ini, menurut hukum pidana terdiri dari empat bentuk, yakni:

1.   Menista secara lisan;

2.   Menista secara tertulis;

3.   Fitnah;

4.   Penghinaan ringan;[5]

Didalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) juga berisi tindak pidana lain terhadap kehormatan, yang sangat berkaitan dengan kehormatan dan nama baik, yakni:[6]

 

1.   Pemberitahuan palsu;

2.   Persangkaan palsu;

3.   Penistaan terhadap yang meninggal;

Kasus-kasus pencemaran nama baik yang masuk dalam ranah ujaran kebencian yang berujung pada pelaporan pidana sering dilakukan oleh mereka yang merasa dirugikan oleh para haters (pengikut jejaring sosial namun dengan komentar yang menjatuhkan bahkan menghina) dengan menggunakan pasal-pasal yang ada didalam Undang-Undang Transaksi Elektonik dan KUHP.

Seperti kasus dari Yulianus selaku pemilik akun twitter  @YPaonganan yang menghina Presiden Joko Widodo dengan memasang foto dengan tulisan porno Presiden Joko Widodo dan artis Nikita Mirzani disebarkan kepada masyarakat umum. Kasus ini dilaporkan ke polisi namun bukan Presiden Joko Widodo sendiri yang melaporkannya, dan pada kamis, 17 Desember 2015, ia ditangkap oleh penyidik dari Subdirektorat Cyber Crime Mabes Polri. Atas tindakannya menghina Presiden Joko Widodo, Yulianus disangkakan telah melanggar pasal pasal 4 ayat 1 huruf a dan e UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, pasal 27 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).[7] 

Dan masih banyak lagi kasus mengenai penghinaan, pencemaran nama baik dengan menggunakan ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo, terutama dalam meme kata dan karakter yang sering diposting oleh para pengguna jejaring sosial, bisa juga ditemui dalam www.memekomikIndonesia.com, yang dari semua pelaku berpendapat  secara pribadi dengan menggunakan kata kebebasan ber-ekspresi dan hak asasi manusia. Sehingga tindak pidana mengenai penghinaan, pencemaran nama baik dengan menggunakan ujaran kebencian diperlukan kejelasan dalam penanganan.

Dari munculnya polemik permasalahan dan semakin banyaknya kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo, maka diterbitkan Surat Edaran (SE) Nomor: SE/6/X/2015 yang menyebutkan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan ketentuan pidana lainnya diluar KUHP. Surat Edaran ini dirilis oleh Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti yang dikeluarkan pada 8 Oktober 2015.[8]

Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini memiliki harapan, bahwasanya bagi warga masyarakat dan khususnya bagi para pengguna internet (netizen), untuk ekstra hati-hati dalam menyampaikan pendapat diruang publik, khususnya di ranah jejaring sosial.

Didalam Surat Edaran Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian ditekankan bahwasanya surat edaran ini bisa digunakan sebagai rujukan,  terdapat macam-macam ujaran kebencian yang telah diatur oleh KUHP dan digunakan pihak kepolisian secara internal untuk memahami langkah penanganan perbuatan ujaran kebencian dengan melakukan tindakan secara preventif sehingga bagi pelaku yang terbukti menghina dan melakukan ujaran kebencian akan ditangani dengan cara mediasi terlebih dahulu, mengedepankan fungsi binmas untuk kerjasama dengan tokoh masyarakat sebagai tindakan represif namun, apabila tidak ada kesepakatan dalam mediasi dan masih dilakukan pengulangan terhadap perbuatan tersebut maka dilakukan tindakan secara pidana yaitu menjerat dengan tuduhan tindak pidana sesuai dengan pasal yang disangkakan.[9]

Tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik melalui ujaran kebencian belum diatur dalam hukum pidana Islam, oleh karena itu, tindak pidana tersebut termasuk dalam kategori jarimah takzir karena tidak ditentukan dalam Alquran maupun hadis. Hukuman takzir adalah hukuman yang bersifat mencegah, menolak timbulnya bahaya, sehingga penetapan timbulnya jarimah adalah wewenang penguasa atau hakim menyangkut kemaslahatan umum.[10]

A.  Pencemaran Nama Baik Dalam Islam

Islam sebuah agama yang ramatan lil ālamīn yang mengajarkan hubungan keTuhanan dan kemanusiaan secara baik dan benar dengan berbagai macam syariat yang ada didalamnya sebagai hukum dalam melaksanakan sesuatu agar tidak bertentangan dengan larangan agama. Kemanusiaan  menuntun untuk kehidupan sosial kemasyarakatan yang sesuai dengan syariat, bertujuan untuk melindungi harkat serta martabat manusia. Setiap perilaku yang merendahkan harkat dan martabat manusia baik secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat tentu dilarang oleh Allah SWT.[11]  Islam sebagai agama yang ramatan lil ālamīn benar-benar mengharamkan perbuatan menggunjing, mengadu domba, memata-matai, mengumpat, mencaci maki, memanggil dengan julukan tidak baik, dan perbuatan-perbuatan sejenis yang menyentuh kehormatan atau kemuliaan manusia. Islam pun, menghinakan orang-orang yang melakukan dosa ini, juga mengancam mereka dengan janji yang pedih pada hari kiamat, dan memasukkan mereka dalam golongan orang-orang yang fasik, karena Islam bukanlah agama yang mengajarkan untuk merendahkan orang lain.[12]  Ujaran kebencian sangat erat kaitannya dengan penghinaan dan pencemaran nama baik dan merupakan pelanggaran yang menyangkut harkat dan martabat orang lain, yang berupa penghinaan biasa, fitnah/tuduhan melakukan perbuatan tertentu, berita yang terkait dengan ujaran kebencian sangat besar pengaruhnya dan sangat jauh akibatnya, karena dapat menghancurkan reputasi, keluarga, karir dan kehidupan didalam masyarakat tentunya. Didalam Alquran Allah SWT. berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (QS.al-ujurāt (49): 11).[13]

 

Berdasarkan ayat tersebut, maka kiranya perlu di pahami mengenai bagaimana pencemaran nama baik ini. Terutama dalam hal pengertian dan unsur-unsurnya yaitu:

1.   Pengertian Pencemaran Nama Baik

Dalam kitab Tafsir Jalalain, Imam Jalaluddin membagi tiga model pencemaran nama baik yaitu:

a.   Sukhriyyah: yaitu meremehkan atau menganggap remeh orang lain karena sebab tertentu.

b.   Lamzu: yaitu menjelek-jelekkan dengan cacian atau hinaan atau dengan kejelekan orang lain.

c.   Tanabuz: yaitu model cacian atau penghinaan dengan menyebut atau memanggil lawan bicara dengan sebutan yang jelek, dan sebutan yang paling buruk adalah memanggil wahai fasik atau wahai Yahudi pada orang Islam.[14]

Sementara dalam pandangan al-Ghazali perbuatan yang dilakukan oleh seseorang berupa pencemaran nama baik adalah menghina (merendahkan) orang lain didepan manusia atau didepan umum.[15]  Sedangkan Abdul Rahman al-Maliki membagi penghinaan menjadi tiga:

a.     Al-Zammu: penisbahan sebuah perkara tertentu kepada seseorang berbentuk sindiran halus yang menyebabkan kemarahan dan pelecehan manusia.

b.     Al-Qadhu: segala sesuatu yang berhubungan dengan reputasi dan harga diri tanpa menisbahkan sesuatu hal tertentu.

c.     Al-Taqir: setiap kata yang bersifat celaan atau mengindikasikan pencelaan atau pelecehan.[16]

2.   Unsur-Unsur Pencemaran Nama Baik

Tidak dapat dipidana apabila seseorang dalam hal perbuatan yang dilakukan tersebut, tidak tahu atau belum ada suatu aturan yang mengatur sebelumnya. Oleh sebab itu tidaklah dapat dipertanggung jawabkan orang yang melakukan perbuatan meninggalkan perbuatan tadi. Seperti bunyi kaidah:

لَا جَرِيْمَةَ وَلَاعُقُوْبَةَ اِلَّابِالنَّصِ

Tidak ada hukuman dan tidak ada tindak pidana (jarimah) kecuali dengan adanya nash.[17]          

                                                                                               

Abdul Qadir Audah melakukan kontekstualisasi dengan membedakan ruang lingkup hukum pidana Islam yang dalam hal ini mengenai unsur umum jarimah, untuk jarimah itu ada tiga macam yaitu:[18] 

a. Al-rukn al-syar’ī, atau unsur formil adalah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku jarimah apabila sebelumnya telah ada nas atau undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku.

b. Al-rukn al-mādī atau unsur materiil adalah unsur yang menyatakan bahwa untuk bisa dipidananya seorang pelaku jarimah, pelaku harus benar-benar telah melakukan perbuatan baik yang bersifat positif (aktif melakukan sesuatu) maupun yang negatif (pasif tidak melakukan sesuatu).

c.  Al-rukn al-adabī atau unsur moril adalah unsur yang menyatakan bahwa seorang pelaku tindak pidana harus sebagai subjek yang bisa dimintai pertanggungjawaban atau harus bisa dipersalahkan.                

 

B.  Hukuman Dalam Islam  

1. Pengertian Hukuman

Hukuman berasal dari bahasa arab ‘uqūbāh  yang menurut  bahasa berasal dari kata (‘aqoba) yang artinya: mengiringinya dan datang dibelakangnya. Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa sesuatu dapat disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan.[19] 

Dapat dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syariat sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syariat, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.

Jenis-jenis hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan dalam fiqh jinayah/jarimah dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya, para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman, serta ditegaskan tidaknya oleh Alquran dan hadis. Atas dasar ini, mereka membaginya menjadi tiga macam yaitu:

a.  Jarimah Hudud adalah semua jenis tindak pidana yang telah ditetapkan jenis, bentuk, dan sanksinya oleh Allah SWT. dalam Alquran dan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam hadis.  Sehingga hukuman had tidak memiliki batasan minimal (terendah) ataupun batasan maksimal (tertinggi).[20]  Jarimah hudud terdiri atas:

1)      Jarimah al-zinā (tindak pidana berzina);

2)      Jarimah al-qadzf (tindak pidana menuduh muslimah baik-baik berzina);

3)      Jarimah syurb al-khamr (tindak pidana meminum-minuman yang memabukkan);

4)      Jarimah al-sariqah (tindak pidana pencurian);

5)      Jarimah al-hirābah (tindak pidana perampokan/pengacau);

6)      Jarimah al-riddah (tindak pidana murtad), dan

7)      Jarimah al-baghyu (tindak pidana pemberontakan).[21]

b.  Jarimah qisas/diat adalah kesamaan antara perbuatan pidana dengan sanksi hukumnya, seperti dihukum mati akibat membunuh dan dianiaya akibat menganiaya. Jarimah qisas/diyat terdiri atas:

1)   Pembunuhan

a)   Pembunuhan sengaja (al- qatlul ‘amd),

b)   Pembunuhan semi sengaja (al-qatl syibhul ‘amd), dan

c)   Pembunuhan tersalah (al-qatlul khata’).

2)   Penganiayaan

a)   Penganiayaan sengaja (al- jinayah ‘alā mā dūnan nafsi amdan), dan

b)   Penganiayaan semi sengaja (al-jinayah ‘alā mā dūnan nafsi khata’).[22]

c.  Jarimah takzir adalah semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur dalam Alquran dan hadis. Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaan jarimah takzir ditentukan oleh penguasa atau hakim setempat melalui otoritas yang ditugasi untuk hal ini. Jenis jarimah takzir sangat banyak dan tidak terbatas.[23]  Jarimah takzir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1)   Jarimah hudud atau qisas diat yang subhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Misalnya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan dan pencurian aliran listrik.

2)   Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Alquran dan hadis, namun tidak ditentukan sanksinya. Misalnya, penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanah dan menghina agama.

3)   Jarimah-jarimah yang ditentukan penguasa/hakim untuk kemaslahatan umum. Misalnya pelanggaran peraturan lalu lintas.[24]

 

2.   Pengertian Takzir dan Bentuk-Bentuk Hukuman Takzir

a.   Definisi Takzir

Secara bahasa, takzir bermakna al-Man’u (pencegahan). Menurut istilah, takzir bermakna, at-Ta’dib (pendidikan) dan at-Tankil (pengekangan). Adapun  definisi takzir secara syariat yang digali dari nas-nas yang menerangkan tentang sanksi-sanksi yang bersifat edukatif, adalah sanksi yang ditetapkan atas tindakan maksiat yang didalamya tidak ada had dan kafarat.[25]

Sehingga dapat dipahami bahwasanya jarimah takzir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kafarat, jadi hanya didasarkan pada perbuatan maksiat. Disamping itu juga hukuman takzir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan umum, meskipun perbuatannya bukan maksiat, melainkan pada awalnya mubah. Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok ini tidak bisa ditentukan karena perbuatan tersebut tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut ada maka perbuatannya diharamkan dan (illat) dikenakannya hukuman atas perbuatan tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan umum.[26]  Jadi apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dapat dikenakan hukuman. Akan tetapi apabila dalam perbuatan tersebut tidak terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut bukan jarimah dan pelakunya tidak dikenakan hukuman.

b.   Macam-Macam Takzir

Berdasarkan hak yang dilanggar, ada dua macam jarimah takzir, yaitu:[27]

1)   Jarimah takzir yang menyinggung hak Allah.

                  Artinya, semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya, membuat kerusakan di muka bumi, penimbunan bahan-bahan pokok dan penyelundupan.

2)   Jarimah takzir yang menyinggung hak individu.

                  Artinya, setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang-orang tertentu, bukan orang banyak. Misalnya, pencemaran nama baik, penghinaan, penipuan dan pemukulan.

Dari segi sifatnya, jarimah takzir dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

1)   Takzir karena melakukan perbuatan maksiat

2)   Takzir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.

3)   Takzir yang melakukan pelanggaran (mukhalafah)

       Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum atau penetapannya, takzir juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebagai berikut:

1)   Jarimah takzir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud dan qisas tetapi syarat-syarat tidak terpenuhi, atau ada subhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab atau oleh keluarga sendiri.

2)   Jarimah takzir yang jenisnya disebutkan dalam syariat tetapi hukumnya belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan mengurangi takaran timbangan.

3)   Jarimah takzir yang baik jenis dan sanksinya belum ditetapkan oleh syara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan pada penguasa atau hakim, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.

Menurut Abdul Aziz Amir membagi jarimah takzir secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu:

1)   Jarimah takzir yang berkaitan dengan pembunuhan.

2)   Jarimah takzir yang berkaitan dengan pelukaan.

3)   Jarimah takzir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak.

4)   Jarimah takzir yang berkaitan dengan harta.

5)   Jarimah takzir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.[28]

Sedangkan macam-macam hukuman takzir adalah sebagai berikut:[29]

1)   Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan.

a)         Hukuman mati.

b)         Hukuman cambuk.

2)   Hukuman takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang

a)         Hukuman penjara.

b)         Hukuman pengasingan.

3)   Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta

4)   Hukuman takzir dalam bentuk lain.

3.   Dasar Hukum Pemberlakuan Takzir

Dasar hukum disyariatkannya takzir terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Hasan ra.:

إِنَّ قَوْمَا اقْتَتَلَوْا فَقُتِلَ بَيْنَهُمْ قَتِيْلاً فَبَعَثَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّّمَ فَحَبَسَهُمْ

   Ada dua kaum saling berbunuhan, kemudian diantara mereka ada yang terbunuh. Lalu kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah saw., selanjutnya beliau memenjarakan mereka.[30]

4.   Hikmah Disyariatkannya Hukuman Takzir

 Hukuman takzir, Islam mensyariatkan sebagai tindakan edukatif terhadap orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar dari tatanan peraturan perundang-undangan. Hikmahnya hukuman takzir adalah:

a.   Hukuman takzir yang pelaksanaannya berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing orang.

b.   Hukuman takzir itu diperbolehkan untuk meminta grasi sesudah kasusnya dilaporkan kepada hakim.

c.   Sesungguhnya orang yang mati akibat hukuman takzir orang yang melaksanakannya harus bertanggung jawab terhadap kematiannya.

Oleh karena itu, bagi orang yang melakukan ujaran kebencian baik itu menghina dengan terang-terangan maupun sindiran, maka dia berhak untuk mendapatkan hukuman, baik itu hukuman yang paling ringan maupun yang paling berat yang nantinya berdasarkan keputusan hakim dan diharapkan hakim memberikan hukuman yang adil dan sepantasnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukuman penghinaan atau pencemaran nama baik itu bermacam-macam hukumannya, yaitu peringatan keras, dipenjara, dicambuk maupun dihukum mati.[31] 

 

C.  Pencemaran Nama Baik dalam Jarimah Takzir

Dalam konteks ujaran kebencian dalam hal ini pencemaran nama baik sendiri terdapat banyak macamnya termasuk jenis, kadar dan akibat yang ditimbulkandari pencemaran nama baik/penghinaan yang telah dilakukan. Berikut ini hukuman-hukuman takzir yang dijatuhkan terhadap pelaku pencemaran nama baik/penghinaan:

1.   Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Badan.

Dalam sanksi ini ada dua jenis hukuman, yaitu hukuman mati dan hukuman cambuk, dengan uraian:[32]

a.       Hukuman Mati

Pada dasarnya hukuman takzir dalam hukum islam adalah hukuman yang bersifat mendidik dan memberikan pengajaran, sehingga dalam hukuman takzir tidak boleh ada pemotongan anggota badan maupun penghilangan nyawa.

Menurut madzhab hanafi, membolehkan sanksi takzir dengan hukuman mati dengan syarat perbuatan itu dilakukan berulang-ulang dan akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan menurut ulama hukuman mati adalah sebagai sanksi takzir tertinggi dan hanya diberikan kepada pelaku jarimah yang berbahaya sekali, yang berkaitan dengan jiwa, keamanan dan ketertiban masyarakat atau apabila sanksi-sanksi sebelumnya tidak memberi pengaruh baginya. Oleh karena itu, sangatlah tepat kiranya menetapkan hukuman mati bagi koruptor serta produsen dan pengedar narkoba yang termasuk kedalam kategori jarimah takzir yang sangat merugikan masyarakat dan kepentingan umum.

b.   Hukuman Cambuk

Hukuman ini cukup efektif dalam memberikan efek jera bagi pelaku jarimah takzir. Jumlah cambukan dalam jarimah hudud zina ghairu muhshan dan penuduhan zina telah dijelaskan dalam nas keagamaan. Namun dalam jarimah takzir, penguasa atau hakim diberikan kewenangan untuk mentapkan jumlah cambukan yang disesuaikan dengan bentuk jarimah, kondisi pelaku dan efek bagi masyarakat.

Adapun sifat dari hukuman cambuk dalam jarimah takzir adalah untuk pelajaran dan tidak boleh menimbulkan cacat. Apabila terhukum adalah seorang laki-laki, maka bajunya harus dibuka sedangkan apabila terhukum adalah perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka karena auratnya akan terbuka, serta hukuman cambuk tidak boleh diarahkan ke wajah, kepala dan kemaluan, biasanya diarahkan ke punggung agar tidak menimbulkan cacat. Akan tetapi takzir dengan pemukulan dan cambukan tidak boleh lebih dari 10 kali pukulan atau 10 kali cambukan.[33]

2.   Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Kemerdekaan Seseorang.

Dalam sanksi ini ada dua jenis hukuman, yaitu hukuman penjara dan hukuman pengasingan, yaitu:[34]

a.   Hukuman Penjara

Hukuman penjara adalah hukuman yang menghalangi atau melarang seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dan bisa menjadi hukuman pokok dan menjadi hukuman tambahan.[35]  Hukuman penjara menjadi hukuman tambahan apabila hukuman pokok yang berupa hukuman cambuk tidak membawa dampak bagi terhukum. Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi menjadi dua, yaitu hukuman penjara terbatas dan hukuman penjara tidak terbatas.

 

1) Hukuman Penjara Terbatas

Hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara ini ditetapkan untuk pelaku jarimah penghinaan, penjualan khamr, riba, pelaggaran kehormatan bulan suci ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa halangan, pengairan lading dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci maki antara dua orang yang berperkara di depan siding pengadilan dan kesaksian palsu.

2) Hukuman Penjara Tidak Terbatas

Hukuman penjara yang tidak dibatasi waktu tetap. Dengan kata lain berlangsung sampai orang yang dihukum itu meninggal atau bertaubat dan bias dikatakan menjadi hukuman seumur hidup, dalam hukum pidana islam hukuman ini dikenakan kepada  penjahat yang sangat berbahaya.

b.   Hukuman Pengasingan

Hukuman pengasingan atau buang termasuk hukuman had yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana perampokan, namun dalam praktiknya hukuman ini juga ditetapkan untuk hukuman takzir. Diantara hukuman takzir yang dikenakan hukuman pengasingan adalah orang yang berperilaku mukhannats (waria) yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya keluar wilayah Madinah.

3.   Sanksi Takzir Yang Berkaitan Dengan Harta.

Hukuman takzir dengan mengambil harta bukan berarti mengambil harta pelaku untuk diri hakim atau kas Negara, melainkan hanya menahannya untuk sementara waktu. Apabila pelaku tidak bias diharapkan untuk bertaubat, hakim dapat meng-tasharruf-kan (memanfaatkan) harta tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.

Imam Ibnu Taimiyah membagi hukuman takzir ini menjadi tiga bagian dengan mempehatikan pengaruhnya terhadap harta:[36]

a.   Menghancurkannya (al-Itlāf)

Penghancuran harta yang berlaku untuk benda-benda yang bersifat mungkar, namun penghancuran ini tidak selamanya merupakan kewajiban, melainkan dalam kondisi tertentu boleh disedekahkan.

b.   Mengubahnya (al-Taghyīr)

Mengubah sesuatu dalam hal ini apabila seorang muslim memiliki sebuah patung  maka patung tersebut bias dirubah bentuknya sehingga memiliki kemanfaatan lain. Ini ditujukan untuk memberi hukuman terhadap pelaku melalui barang kesayangannya.[37]

c.   Memilikinya (al-Tamlīk)

Hukuman takzir dalam bentuk ini juga disebut sebagai hukuman denda, yaitu hukuman takzir yang berupa pemilikan harta pelaku. Hukuman denda dapat merupakan hukuman pokok yangberdiri sendiri namun didalam syariat Islam tidak menetapkan batas terendah atau tertinggi dari hukuman denda, namun selain denda juga ada hukuman takzir yang berkaitan dengan harta yakni penyitaan dan perampasan yang masih menjadi perdebatan diantara para ulama.

4.   Sanksi Takzir Dalam Bentuk Lain

Selain hukuman-hukuman takzir yang telah disebutkan, ada bentuk sanksi takzir lain yaitu:[38]

a.   Peringatan keras;

b.   Dihadirkan dihadapan sidang;

c.   Nasihat;

d.   Celaan

e.   Pengucilan;

f.    Pemecatan dan

g.   Pengumuman kesalahan secara terbuka, seperti diberitakan di media cetak dan elektronik.

 



[1] Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (CYBERCRIME), (Jakarta: PT. Raja  Grafindo Persada, 2014), 2.

 

[2]  Meme atau mimea adalah neologisme yang dikenal sebagai karakter dari budaya, yang termasuk didalamnya yaitu gagasan, perasaan, ataupun perilaku (tindakan).

 

[3] Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang R.I. Tentang Pornografi dan Informasi dan Data Transaksi Elektronik, (Yogyakarta: Pustaka Mahardika, 2011), 44.

 

[4] R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), 225.

 

[5]  Leden Marpaung, Tindak Pidana Kehormatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 15.

 

[6]   Ibid., 19.

[7] Iqbal Fadil, “Hina Jokowi di Media Sosial, orang-orang ini ditangkap polisi”, dalam http://m.merdeka.com/peristiwa/hina-jokowi-di-media-sosial-orang-orang-ini-ditangkap-polisi.html, diakses pada 24 Mei 2016.

 

[8]  Novianti indah, “Surat Edaran Kapolri Mengenai Ujaran Kebencian di Media Sosial”, dalam http://www.noviantiindah.com/2015/11/surat-edaran-kapolri-mengenai-ujaran.html?m=1, diakses pada 01 April 2016.

[9] Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), (Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia Markas Besar, 2015), 4.

 

[10] Ibid., 93.

[11] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 60.

 

[12] Ibid., 61.

[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Fajar Mulya, 2012), 516.

[14] Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), 428.

 

[15] Abdul Hamid Al-Ghazali, Ihyaul Ulumuddin, (Ciputat: Lentera Hati, 2003), 379.

 

[16]  Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), 12.

 

 

[17] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 298.

 

[18] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), 26-27.

[19] Djazuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1997), 35.

[20] Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jilid 1, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007),  99.

 

[21]  M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 28.

 

[22] Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Jilid 1, 100.

 

[23] Ibid., 100.

 

[24] Djazuli, Fiqih Jinayah, 13.

[25] Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, 239.

 

[26] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 249.

[27] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 94.

[28] Ibid., 19.

 

[29] Ibid., 95.

[30]  Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, 239.

[31] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 25.

 

[32] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 95.

[33] Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam , 255.

 

[34] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 100.

 

[35] Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, 257.

 

[36] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 107.

 

[37] Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, 271.

[38] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, 110.