Senin, 30 September 2019

MANAJEMEN DAN AKUTANSI KEUANGAN UNTUK LEMBAGA PENGELOLA ZIS




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di indonesia terdapat pajak dan zakat, keduanya sama-sama beban yang harus dikeluarkan yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Akan tetapi, hampir semua pajak mempunyai fungsi meningkatkan biaya produksi dan harga jual barang. Sementara kalau dilihat dari zakat bersifat mengurangi pendapatan. Dengan demikian, zakat lebih baik daripada pajak, jika dilihat dari kemampuannya mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat.[1]
Dalam mengimplementasikan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat penduduk Indonesia, pemerintah Indonesia juga menyadari akan arti pentingnya peranan serta fungsi zakat dalam kehidupan sosial ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia demi mewujudkan kesejahteraan sosial dalam setiap lapisan masyarakat, oleh sebab itu disahkannya Undang-Undang Nomor 38 tentang Pengelolaan Zakat Tahun 1999. Dengan adanya Undang-Undang ini negara mampu mengorganisasi pelaksanaan pengumpulan maupun pendistribusian zakat bagi masyarakat yang membutuhkan demi mewujudkan terciptanya pemerataan tingkat kesejahteraan baik secara sosial maupun ekonomi.[2]
Namun dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 38 tersebut ternyata terdapat beberapa persoalan-persoalan yang justru menghambat terciptanya pemerataan kesejahteraan tersebut. Dengan adanya ketidaksempurnaan tersebut maka negara dianggap perlu untuk mengatur kembali mengenai pengeloaan zakat ini dalam suatu Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, tentang Pengelo laan Zakat, dan hal ini dapat diwujudkan dalam kurun waktu sepuluh tahun setelah tahun 1999 yaitu dengan disahkan dan diundangkannya Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan danya perubahan undang-undang yang baru tentang pengelolaan zakat ada beberapa hal yang perlu untuk digarisbawahi dan diperhatikan berkenaan dengan pelaksaan pengeloaan zakat di Indonesia, antara lain : “bahwa pengelolaan zakat di Indonesia meliputi tiga aspek yang antara lain: proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.”
Dari tiga aspektersebut sekalipun terlaksana dengan baik namun tampaknya belum juga mampu mewujudkan maqoshid al syariah dari zakat tersebut, yaitu untuk mengentaskan kemiskinan, dalam menanggapi hal ini perlu untuk digarisbawahi bahwa harus ada suatu pola pembaruan dalam pola hidup dan pola pikir masyarakat, hal ini dapat diartikan bahwa hendaknya zakat bukanlah saja suatu proses take it away yang dilakukan oleh para mustahik, melainkan para pengelola zakat hendaknya dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru yang secara otomatis diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran dan orang miskin.[3]
A.    Rumusan Masalah
1.        Bagaimana manajemen/ pengelolaan zakat untuk lembaga pengelola ZIS?
2.        Bagaimana akutansi keuangan untuk lembaga pengelola ZIS?

B.     Tujuan
1.        Untuk dapat mengetahui manajemen/ pengelolaan zakat untuk lembaga pengelola ZIS.
2.        Dapat mengetahui akutansi keuangan untuk lembaga pengelola ZIS.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Lembaga Pengelola Zakat/ Lembaga Amil Zakat
Secara sosial, zakat berfungsi sebagai lembaga jaminan sosial. Dengan menggunakan lembaga zakat,maka kelompok lemah dan kekurangan tidak akan lagi merasa khawatir terhadap kelangsungan hidup yang mereka jalani. Hal ini terjadi karena adanya substansi zakat merupakan mekanisme yang menjamin kelangsungan hidup mereka di tengah masyarakat, sehingga mereka merasa hidup di tengah masyarakat manusia yang beradap, memiliki nurani, kepedulian, dan juga tradisi saling menolong.
Selain itu, alasan ekonomi, zakat juga berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mengentaskan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan yang terjadi antara kelompok kaya dan miskin. Zakat juga dapat memengaruhi kemampuan sebuah komunitas politik (negara) dalam menjalankan kelangsungan hidupnya. Dengan adanya berbagai implikasi sosial ekonomi diatas, maka zakat dapat membentuk integrasi sosial yang kukuh serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Dua kondisi terkhir ini sangat diperlakukan bagi kelangsungan hidup suatu negara.
Di sebagaian kalangan umat Islam timbul barbagai pendapat berkaitan dengan masalah distribusi zakat. Dikarenakan karena zakat termasuk ibadah, maka pendistribusiannya bisa dilakukan secara individual.
Dari pandangan ulama-ulama tafsir dan ulama-ulama fiqh dari semua mazhab, bahwa usaha pengumpulan zakat itu masuk kedalam tugas penguasa, yaitu pemerintah. Pemerintah tidak boleh membiarkan para pemilik harta benda berjalan sendiri-sendiri, menyelesaikan sendiri urusan pemberian zakat, karena zakat itu adalah untuk melindungi nasib orang fakir miskin serta untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.[4]
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang lalu diikuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/ 291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengeloaan Zakat. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia adalah Badan Amil Zakat yang dikelola oleh negara serta Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh swasta. Meskipun dikelola oleh dua pihak, yaitu negara dan swasta, akan tetapi lembaga pengelola zakat haruslah bersifat independen, netral, tidak berpoliti, tidak bersifat diskriminatif.[5]
B.     Manajemen Pengelolaan Zakat
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan zakat adalah muzakki dan harta yang dizakati, mustahik, dan amil. [6] Pada semester 3, kita telah mempelajari apa itu muzakki, harta apa saja yang wajib dizakati, mustahik, dan amil. Jadi, disini pemakalah tidak akan menjelaskan kembali, dan hanya akan terfokus pada manajemen pengelolaan zakatnya saja.
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelola Zakat Bab III Pasal 6 dan 7 menegaskan bahwa Lembaga Pengelola Zakat di Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat.
1.        Badan Amil Zakat (BAZ)
Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Dalam melaksanakan seluruh kegiatannya badan Amil Zakat memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu:
a.       Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja yang telah dibuat.
b.      Menyusun laporan tahunan, yang didalamnya termasuk laporan keuangan.
c.       Memublikasikan laporan keuangan tahuna yang telah di audit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas pemerintah yang berwenang melalui media massa sesuai dengantingkatannya, selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun buku terakhir.
d.      Menyerahkan laporan tersebut kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan tingkatannya.
e.       Merencanakan kegiatan tahunan.
f.       Mengutamakan pendistribusian dan pendayagunaan dari dana zakat yang diperoleh dari daerah masing-masing sesuai dengan tingkatannya, kecuali BAZ nasional dapat mendistribusikan dan mendayagunakan dana zakat ke seluruh wilayah Indonesia.
2.        Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Sebelum berlakunya Undang-Undang pengelolaan zakat, sebenarnya fungsi pengumpulan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat telah eksis terlebih dahulu di tengah-tengah masyarakat. Fungsi ini dikelola oleh masyarakat itu sendiri, baik secara perorangan maupun kelompok (kelembagaan). Hanya saja dengan berlakunya undang-undang ini, telahterjadi proses formalisasi lembaga yang sudah eksis tersebut.
Istilah formal lembaga ini diseragamjan menjadi Lembaga Amil Zakat (LAZ). Disamping itu, untuk menjadi LAZ atau lembaga formal yang berfungsi mengelola zakat, lembaga yang sebelumnya eksis ditengah-tengah mesyarakat secara informal tersebut, terlebih dahulu harus melalui proses formal administratif dan selanjutnya dikukuhkan oleh pemerintah sebgai bentuk pengakuan keberadaannya secara formal. Olehkarena itu, tidak semua yang secara kelembagaan maupun perorangan melakukan kegiatan mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusukan zakat dinamakanlembaga Amil Zakat seperti diatur dalam undang-undang nomr 38 tahun 1999.
Menurut undnag-undang ini, Lembaga Amil Zakat adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang bergerak di bidang dakwah,pendidikan, sosial, dan kemaslahatan umat islam.
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah memenuhi persyaratan, dan kemudian dikukuhkan pemerintah, memiliki kewajiban yang harus dilakukan oleh LAZ, yaitu:
a.       Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja yang telah dibuat.
b.      Menyusun laporan, termasuk laporan keuangan.
c.       Memublikasikan laporan keuangan yang telah diaudit melalui media massa.
d.      Menyerahkan laporan kepada pemerintah.[7]
C.    Mekanisme Pengelolaan Hasil Pengumpulan Zakat
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaa zakat. Oleh karena itu, untuk optimalisasi pendayagunaan zakat yang profesional dan mampu mengelola zakat secara tepat sasaran.
Menurut Didin Hafidhudin, pengelolaan zakat melalui lambaga amil didasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, menjaga perasaan rendah diri para mustahik apabila berhadapan langsung untuk menerima haknya dari muzakki. Ketiga, untuk mencapai efesiensi, efektifitas dan sasaran yang tepat dalam menggunakan harta zakat menurut skala prioritas yang ada disuatu tempat misalnya apakah disalurkan dalam bentuk konsumtif ataukah dalam bentuk produktif untuk meningkatkan kegiatan usaha para mustahik. Keempat, untuk memperlihatkan syiar Islam dan semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami. Sebaliknya, jika penyelenggaraan zakat itu begitu saja diserahkan kepada muzakki, maka nasib dan hak-hak orang miskin dan para mustahik lainnya terhadap orang-orang kaya tidak memperoleh jaminan yang pasti.
Pada prinsipnya pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk mustahik dilakukan berdasarkan persyaratan:
a.       Hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahik delapanasnaf.
b.      Mendahulukan orang-ornag yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.
c.       Mendahulukan mustahik dalam wilayahnya masing-masing.
Sedangkan untuk pendayagunaan hasil pengumpulan zakat secara produktifitas dilakukan setelah terpenuhinya poin-poin diatas. Disamping itu, terdapat pula usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan, dan mendapat persetujuan tertulis dari dewan pertimbangan. Adapun prosedur pendayagunaan pengumpilan hasil zakat untuk usaha produktif berdasarkan:
a.       Melakukan studi kelayakan.
b.      Menetapkan jenis usaha produktif.
c.       Melakukan bimbingan dan penyuluhan.
d.      Melakukan pemantauan,pengendalian dan pengawasan.
e.       Mengadakan evaluasi.
f.       Membuat laporan.
Sistem pendistribusian zakat yang dilakukan haruslah mampu mengangkat dan meningkatkan taraf hidup umat Islam, terutama para penyandang masalah sosial. Bail LAZ maupun BAZ memiliki misi mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Banyaknya BAZ dan LAZ yang lahir tentu akan mendorong penghimpunan dana zakat masyarakat. Ini tentu baik karena semakin banyak dana zakat yang dihimpun, makin banyak pula dana untuk kepentingan sosial. Bahkan, hal ini dapat membantu pemerintah mengatasi kemiskinan jika dikelola dengan baik. Namun untuk mendongkrak kepercayaan masyarakat untuk berzakat pada lembaga yang profesional. Agar BAZ dan LAZ bisa profesional dituntut kepemilikan data muzakki dan mustahik yang valid, penyampaian laporan keuangannya kepada masyarakat secara transparan, diawasi oleh akuntan publik, dan memiliki amilin atau sumber daya yang profesional, serta program kerja yang dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, pengelolaan dana zakat juga perlu ditunjang oleh penggunaan teknologi informasi untuk memudahkan pengelolaan dan pengorganisasian dana zakat.
Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat dapat dilakukan dalam dua pola, yaitu pola konsumtif dan pola produktif. Para amil zakat diharapkan mampu melakukan pembagian porsi hasil pengumpulan zakat misalnya 60% untuk zakat konsumtif dan 40% untuk zakat produktif. Program penyaluran hasil pengumpulan zakat secara konsumtif bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ekonomi para mustahik melalui pemberian langsung, maupun melalui lembaga-lembaga yang mengelola fakir miskin, panti asuhan, maupun tempat-tempat ibadah yang mendistribusikan zakat kepada masyarakat. Sedangkan program penyaluran hasil pengumpulan zakat secaraproduktif dapat dilakukan melalui program bantuan pengusaha lemah, pendidikan gratis dalam bentuk beasiswa, dan pelayanan kesehatan gratis.[8]
D. Perlakuan Akutansi (ED PSAK 109)
Perlakuan akutansi dalam pembahasan ini mengacu pada ED (eksposure drafit ) PSAK 109, sehingga ruang lingkup PSAK  ini hanya untuk amil zakat yang menerima dan menyalurkan zakat/infak/sedekah.


E. Akutansi untuk zakat
1.      Penerimaan zakat diakui pada saat kas atau aset lainnya diterima dan diakui sebagai penambah dana zakat. Jika diterima dalam bentuk kas, diakui sebesar jumlah diterima tetapi jika dalam bentuk nonkas sebesar nilai wajar aset. Jurnal:
Dr. Kas-Dana Zakat                                        xxx
Dr. Aset non kas (nilai wajar)-Dana Zakat     xxx
            Cr. Dana Zakat                                                           xxx
2.      Zakat yang diterima diakui sebagai dana amil untuk bagian amil dan dana zakat untuk bagian Nonamil. Jurnal:
Dr. Dana Zakat – Amil                                               xxx
            Cr. Dana Zakat – Amil                                               xxx
            Cr. Dana Zakat - Nonamil                              xxx
3.      Jika muzaki menentukan mustahiq yang harus menerima penyaluran zakat melalui amil maka aset zakat yang diterima seluruhnya diakui sebagai dana zakat – Nonamil. Jika diatas jasa tersebut amil mendapatka ujrah/fee maka diakui sebagai penambah dana amil. Jurnal saat mencatat penerimaan fee. Jurnal:
Dr. Kas-Dana Zakat                                        xxx
Cr. Dana Zakat - Nonamil                              xxx
4.      Penurunan nilai aset zakat diakui sebagai:
a)      Pengurangan dana zakat, jika terjadi tidak disebabkan oleh kelalaian amil.
Jurnal:
Dr. Dana Zakat - Nonamil                  xxx
                        Cr. Aset Nonkas                                             xxx
b)      Kerugian dan pengurangan dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil.
 Jurnal:
Dr. Dana Zakat – Amil – Kerugian    xxx
                        Cr. Aset Nonkas                                             xxx
5.      Zakat yang disalurkan kepada mustahiq diakui sebagai pengurang dana zakat sebesar:
a)      Jumlah yang diserahkan, jika pembarian dilakukan dalam bentuk kas;
Jurnal:
Dr. Dana Zakat - Nonamil                        xxx
Cr. Kas-Dana Zakat                            xxx
b)      Jumlah tercatat, jika pemberian dilakukan dalam bentuk aset nonkas.
Jurnal:
Dr. Dana Zakat - Nonamil                        xxx
      Cr. Aset Nonkas – Dana Zakat                       xxx
6.      Amil harus mengungkapkan hal-hal berikut terkait dengan transaksi zakat, tetapi tidak terbatas pada:
a.       Kebijakan penyaluran zakat, seperti penentuan skala prioritas penyaluran, dan penerima.
b.      Kebijakan dalam pemberian antara dana amil dan dana nonamil atas penerimaan zakat, seperti persentase pembagian, alasan, dan konsistensi kebijakan.
c.       Metode penentuan nilai wajar yang digunakan untuk penerimaan zakat berupa aset nonkas.
d.      Rincian jumlah penyaluran dana zakat yang mencakup jumlah beban pengelolaan dan jumlah dana yang diterima langsung mustahiq dan
e.       Hubungan istimewa antara amil dan mustahiq yang meliputi:
                                           I.            Sifat hubungan istimewa
                                        II.            Jumlah dan jenis aset yang disalurkan dan
                                     III.            Presentase dari aset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama periode
f.       Keberadaan dana nonhalal, jika ada. Diungkapkan mengenai  kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan dan jumlahnya dan
g.      Kinerja amil atas penerimaan dan penyaluran dana zakat dan dana infak/sedekah.
F. Akutansi untuk infak/ sedekah
1.      Penerimaan infak/sedekah diakui pada saat kas atau aset lainnya diterima dan diakui sebgai penambah dana infak/sedekah. Jika diterima dalam bentuk kas, diakui sebesar jumlah diterima tetapi jika dalam bentuk nonkas sebesar nilai wajar aset. Untuk penerimaan aset nonkas dapat dikelompokkan menjadi aset lancar dan aset tidak lancar. Aset lancar adalah aset yang harus segera disalurkan, dan dapat berupa barang sekali pakai atau barang yang memiliki manfaat jangka panjang. Jurnal:
Dr. Kas-Dana Infak/Sedekah                                           xxx
Dr. Aset Nonkas (nilai wajar)-lancar-Dana Infak             xxx
Dr. Aset nonkas (nilai wajar)-Tidak Lancar-Dana Infak  xxx
      Cr. Dana Infak/ Sedekah                                                        xxx
2.      Infak yang diterima diakui sebagai dana amil untuk bagian amil dan dana zakat untuk bagian Nonamil. Jurnal:
Dr. Dana Infak/Sedekah                                       xxx
      Cr. Dana Infak/Sedekah-Amil                                    xxx
      Cr. Dana Infak/Sedekah-Nonamil                              xxx
3.      Aset tidak lancar yang diterima oleh amil dan diamanahkan untuk dikelola dinilai sebesar nilai wajar saat penerimaannya dan diakui sebagai aset tidak lancar infak/sedekah. Penyusutan dari aset tersebut diperlakukan sebagai pengurang dana infak/sedekah terikat apabila penggunaan atau pengelolaan aset tersebut sudah ditentukan oleh pemberi. Jurnal:
Dr. Dana Infak/Sedekah-nonamil                                     xxx
      Cr. Akumulasi Penyusutan Aset Nonlancar               xxx
4.      Penilaian Aset Nonkas-Lancar sebesar harga perolehan dan Aset Nonkas-Tidak Lancar Sebesar Nilai Wajar
5.      Penurunan nilai aset infak/ sedekah diakui sebagai:
(a)    Pengurang dana infak/sedekah, jika terjadi tidak disebabkan oleh kelalaian amil. Jurnal:
Dr. Dana infak/sedekah-nonamil                                xxx
            Cr. Aset nonkas-dana infak/sedekah                          xxx
(b)   Kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil. Jurnal:
Dr. Dana amil infak/sedekah-amil-kerugian               xxx
            Cr. Aset nonkas infak/sedekah                                   xxx
6.      Dana infak/sedekah sebelum disalurkan dapat dikelola dalam jangka waktu sementara untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hasil dana pengelolaan diakui sebagai penambah dana infak/sedekah. Jurnal:
Dr. Kas/piutang-infak/sedekah                             xxx
      Cr. Dana infak/sedekah                                              xxx
7.      Penyaluran dana infak/sedekah diakui sebagai pengurang dana infak/sedekah sebesar:
(a)    Jumlah yang diserahkan, jika dalam bentuk kas. Jurnal:
Dr. Dana infak/sedekah-nonamil                    xxx
            Cr. Kas-dana infak/sedekah                            xxx
(b)   Nilai tercatat aset yang diserahkan, jika dalam bentuk aset nonkas. Jurnal:
Dr. Dana infak/sedekah-nonamil                                xxx
            Cr. Aset nonkas-dana infak/sedekah                          xxx
8.      Penyaluran infak/sedekah kepada amil lain merupakan penyaluran yang mengurangi dana infak/sedekah sepanjang amil tidak akan menerima kembali aset infak/sedekah yang disalurkan tersebut. Jurnal:
Dr. Dana infak/sedekah-nonamil                                      xxx
      Cr. kas-dana infak/sedekah                                                     xxx
9.      Penyaluran infak/sedekah kepada penerima ahir dalam skema dana bergulir dicatat sebagai piutang infak/sedekah bergulir dan tidak mengurangi dana infak/sedekah. Jurnal:
Dr. Piutang-dana infak/sedekah                                       xxx
      Cr. Kas-dana infak/sedekah                                                    xxx

G. Laporan Keuangan Lembaga Amil
Laporan keuangan lembaga amil terdiri atas :
1.      Neraca (laporan posisi keuangan)
2.      Laporan perubahan dana
3.      Laporan perubahan aset kelolaan
4.      Laporan arus kas
5.      Catatan atas keuangan[9]
H. Akutansi Transaksi Dana Kebajikan dan Pinjaman Qardh
Dana Kebajikan merupakan dana sosial di luar zakat yang berasal dari masyarakat yang dikelola bank syariah. Dana kebajikan biasa juga disebut dengan dana qardh. PSAK 59 dan PAPSI menggunakan istilah qardh dan bukan istilah dana kebajikan. Akan tetapi, pada alasanya penggantian istilah “ Dana kebajikan. Akan tetapi, pada PSAK 101, istialah ini diganti dengan istilah “Dana Kebajikan”. Tidak ada keterangan resmi alasan penggantian istilah ini dalam PSAK 101. Akan tetapi, adanya istilah dana kebajikan memberi fleksibilitas dalam sumber maupun penggunaan dana tersebut, mengingat istilah qardh lebih tepat digunakan untuk transaksi yang terkait dengan pinjam meminjam tanpa bunga. Berdasarkan PASAK 101 paragraf 75, sumber dana kebijakan terdiri atas :
a.       Infak
b.      Sedekah
c.       Hasil pengelolaan wakaf sesuai dengan perundang-perundang yang berlaku
d.      Pengembalian dana kebajikan produktif
e.       Denda
f.       Pendapatan non halal
g.      Sumbangan/hibah
ketentuan yang terkait dengan transaksi pinjaman qardh mliputi berbagai aspek antara lain:
a)      Larangan menyaratkan tambahan pengambilan atas suatu pinjaman
b)      Larangan menunda pembayaran pinjaman bagi orang yang mampu
c)      Perintah meringankan beban orang yang kesulitan membayar pinjaman
d)     Pembolehan mengenakan biaya administrasi
e)      Pembolehan pngenaan sanksi pada pinjaman yang mampu, tetapi ,melalikan kewajibanya.
Rukun transaksi pinjaman Qardh
a.       Transaktor
Transaktor pada transaksi pinjaman qardh terdiri atas pemberi (muqridh) dan penerima pinjaman (muqtaridh).
b.      Objek qardh (mahall al-qardh)
Objek qordh atau biasa disebut mahall al-qordh dpt berup uang atau benda habis pakai.
c.       Ijab dan qabul
Ijab dan qabul dalam transaksi pinjaman qardh merupakan peryataan dari kedua belah pihak yang berkontrak dengan cara penawaran dari pemberi pinjaman (bank syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penerima pinjaman (nasabah).

Pengawasan syariah transaksi pinjaman qardh
DPS dalam menjalankan tugasnya menyatakan pendapat tentang kesesuaian operasional bank syariah melakukan berbagai pngujian terkit transaksi pinjaman qardh. Pengujian tersebut antara lain :
a)      Meneliti apakah pembiayaan yang diberikan berdasarka prinsip  qardh tidak dipergunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsi syriah.
b)      Meneliti bahwa nasabah yang terkena sanksi denda adalah nasabah yang lalai, yaitu nasabah yang mempunyai kemampuan secara ekonomi untuk membayar, namun sengaja menunda pembayaran.
c)      Memastikn bahwa bank telah memberikan kelonggaran waktu yang cukup kepada nasbah untuk melunai kewajibanya dalam hal nasabah tersebut mengalami kesulitan keuangan akibat penurunan usaha.
d)     Meneliti apakah pndapatan yang diterima bank dari nasabah atas pengenaan sanksi tela diakui sebgai sumber dana kebajikan.
e)      Memastikan sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan qardh konsumtif dan bersifat sosial adalah bukan berasal dana investasi atau modl bank.
f)       Memastikan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan qardh dalam rangka dana talangan nasabah adalah berasal dari modal bank.


















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari materi di atas, dapat disimpulkan:
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan zakat adalah muzakki dan harta yang dizakati, mustahik, dan amil.
 Badan Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah memenuhi persyaratan, dan kemudian dikukuhkan pemerintah, memiliki kewajiban yang harus dilakukan oleh LAZ. Perlakuan akutansi dalam ruang lingkup PSAK hanya untuk amil zakat yang menerima dan menyalurkan zakat/infak/sedekah.








DAFTAR PUSTAKA

P3EI.2008. Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Shomad. 2010. Hukum Islam ‘Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia’. Jakarta: Kencana
Pernomo, Sjekhul Hadi. 1993. Pemerintah Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat. Jakarta: Pustaka Firdaus
Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana
Soemitra, Andri. 2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana
 Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2008. Akutansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
Yaya, Rizal. 2009. Akutansi Perbankan Syari’ah. Jakarta: Salemba Empat
Fiqhiyah, Masail. 2000. Zakat, Pajak ‘Asuransi dan Lembaga Keuangan’. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada



[1] P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), Ed. 1, h.519
[2] Shomad, Hukum Islam ‘Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia’, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 411
[3] Ibid,. h. 414
[4] Sjekhul Hadi Pernomo, Pemerintah Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), Cet. 1, h.6
[5] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), Ed. 1, Cet. 1, h.304-306
[6] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010), Ed. 1, Cet. 2, h.412
[7] Ibid., h. 419-423
[8] Ibid., h.428-430
[9] Sri Nurhayati dan Wasilah, Akutansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h.284-288

KEBIJAKAN UMUM MANAJEMEN LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT DAN POTENSI ZAKAT DI INDONESIA








BAB I
PENDAHULUAN



Munculnya Islam membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan manusia. Manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil, hal ini merupakan salah satu kewajiban asasi dalam Islam. Dengan demikian, pada dasarnya, Islam mengakui kepemilikan pribadi. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan ataupun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tudak bermoral. Islam sangat menentang setiap aktivitas ekonomi yang bertujuan melakukan penimbunan kekayaan atau pengambilan keuntungan yang tidak layak dari kesulitan orang lain atau penyalahgunaannya.
zakat adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam. Secara arti kata zakat yang berasal dari bahasa Arab dari akar kata “ZAKAT” mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah. Yang sering terjadi dan banyak ditemukan dalam al-Qur’an dengan arti membersihkan.  Digunakan kata zakat dengan arti “membersihkan” itu untuk ibadah pokok yang ukun Islam itu, karena memang zakat itu diantara hikmahnya adalah untuk membersihkan jiwa dan harta orang yang berzakat. Dalam terminologi hukum (syara’) zakat diartikan: “pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan”.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT / LEMBAGA AMIL ZAKAT

Secara social, zakat brfungsi sebagai lembaga jaminan social. Dengan menggunakan lembaga zkat, maka kelompok lemah tidak lagi merasa khawatir terhdap kelangsungan hidup yang mereka jalani. Hal ini terjdi karena dengan adanya substansizakat merupakan mekanisme yang menjamin kelangsungan hidup mereka ditengah masyarakat, sehingga mereka merasa hidup di tengah masyarakat manusia yang beradab, memiliki nurani, kepedulian, dan juga tradisi tolong menolong.
    
Selain itu, secara ekonomi, zakat berfungsi sebagai salah satu instrument utuk mengentaskan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan yang terjadi antara kelompok kaya dan miskin. Zakat juga dapat mempengaruhi kemampuan sebuah komunitas politik (Negara) dalam menjalankan kelangsungan hidupnya.[1]

Di Indonesia pengelolaan zakat diatur berdasarkan :
1.      Undang-undang No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang No 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan.
2.      Keputusan menteri Agama No 581 Tahun 1999 tentaang pelaksanaan Undang-undang No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
3.      Keputusan Dirjen Bimas Isalam dan urusan Haji No D/291 Tentang pedoman teknis pengelolaan zakat.[2]

        Ke semua Undang-undang tersebut adalah landasan yurridist bagi pengelolaan zakat  yang di lakukan oleh organisasi pengelola zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat(LAZ) Selain itu, keberadaan Undang-undang juga diharapkan bisa menentukan OPZ Untuk bisa bekerja lebih baik lagi, sehingga kepercayaan masyarakat Muzakki kepada organisasi pengelola zakat dapat meningkat titik.
Namun demikian, walaupun telah dibuat perangkat umum, yakni undang-undang No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, pengelolaan zakat di Indonesia hingga kini belum memberikan hasil yang optimal. Pengumpulan maupun pemberdayaan dana zakat masih belum mampu memberikan pengaruh terlalu besar bagi terwujudnya kesejahteraan umat islam. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya rasa kepercayaan umat kepada lembaga-lembaga pengelola (amil) zakat. Sebagian besar umat islam di Indonesia lebih percaya menyalurkan zakat, infak, dan sedekah langsung kepada yang membutuhkan. Sebab, mereka belum merasa nyaman menyalurkan dana zakat ke lembaga yang di akui pemerintah.[3]

Lembaga pengelolaan zakat haruslah bersifat:
1.      Independen. Maksudnya  lembaga ini tidak mempunyai ketergantungan orang-orang tertentu atau lembaga lain. Lembaga yang demikian akan leluasa memberikn pertanggung jawaban kepada masyarakat donator.
2.      Netral. Maksudnya karena di danai masyarakat, lembaga ini milik masyarakat,sehingga menjalankan aktifitasnya lembaga tidak boleh hanya menguntungkan golongan tertentu saja, karena jika tidak akan menyakiti donator yang berasal dari golongan lain. Akibatnya dapat di pastikan lembaga akan di tingaalkan sebagian donaturnya. 
3.      Tidak berpolitik. Maksudnya lembaga jangan sampai terjebak dalam kegiatan politik praktis, hal ini perlu di lakukan agar donator dari partai lain yakin bahwa dana itu tidak di gunakan untuk kepentingan partai politik.
4.      Tidk bersifat deskriminatif. Maksudnya, kekayaan dan kemiskinan bersifat yuniversal. Di manapun, kapanpun, siapapun dapat menjadi kaya atau miskin. Krena itu dalam menyalurkan dana nya, lembaga tidak boleh mendasarkan pada perbedaan suku atau golongan, tetapi selalu menggunakan parameter-parameter yang jelas dan dapat di pertanggung jawabkan secara syariah maupun manajemen.
            Lembaga pengelola zakat haruslah memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Dewan Pembina
Dewan Pembina bertugas untuk:
Ø  Memberikan nasihat dan arahan kepada dewan pengurus atau manajemen lembaga pengelolaan zakat (LPZ).
Ø  Memilih, menetapkan, dan juga memberhentikan dewan pengawas syariah.
Ø  Mengangkat dan memberhentikan pengurus.
Ø  Meminta pertanggungjawaban pengurus.
Ø  Menetapkan arah dan kebijakan organisasi.
Ø  Menetapkan berbagai program organisasi.
Ø  Menetapkan RKAT (rencana kerja anggaran tahunan) yang diajukan pengurus.
b.      Dewan Pengawas Syariah
Ø  Melaksanakan fungsi pengawas atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak manajemen terkait dengan kepatuhan terhadap ketentuan syariah.
Ø  Memberikan koreksi dan juga saran perbaikan kepada pihak manajemen bila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan syariah.
Ø  Memberikan laporan atas pelaksanaan kepada dewan Pembina.
c.       Dewan Pengurus/Manajemen Lembaga Pengelola Zakat
Secara umum, tugas yang dilaksanakan oleh pihak manajemen adalah untuk melaksanakan arah dan juga kebijakan umum dari lembaga pengelola zakat dan juga merealisir berbagai rencana yang sudah ditetapkan oleh pihak pengurus. Adapun berbagai bagian yang ada di dalam dewan pengurus terdiri dari:
Ø  Ketua atau Direktur. Tugas utama yang dilaksanakan memastikana pencapaian dari berbagai tujuan yang dilaksanaan oleh lembaga pengelola zakat (LPZ).
Ø  Bagian penyaluran ZIS (zakat, infak dan sedekah). Membuat program kerja distribusi ZIS yang juga melaksanakan pendistribusian ZIS tersebut.
Ø  Bagian keuangan. Bertugas membuat laporan keuangan dari lembaga keuangan zakat dan juga melakukan pengelolaan aset-aset yang dimiliki oleh lembaga pengelola zakat. Dalam bagian lembaga keuangan juga terdapat bagian akuntansi, bendahara, dan juga internal audit.
Ø  Coordinator program menyusun dan melaksanakan berbagai program yang dilakukan oleh lembga pengelola zakat, serta menyusun laporan kinerja lembaga pengelola zakat.
Ø  Bagian pembinaan mustahik  melakukan pendataan mustahik yang ada lalu mencatat dalam data mustahik yang dimiliki oleh lembaga pengelola zakat. Selain itu, juga melakukan pembinanaan terhadap mustahik, dan melakukan pemantauan atas berbagai program distribusi ZIS  kepada para mustahik.
Ø  Bagian pengumpulan dana ZIS. Bertugas melakukan pengumpulan dana ZIS diwilayah yang menjadi tanggung jawab serta menyetorkan berbagai dana zis tersebut kepada pihak bendahara ZIS.[4]

B.     PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA
Sejarah pengelolaan di Indonesia terbagi menjadi beberapa periode, yaitu :
1.      Masa penjajahan, dalam manajemen zakatnya diatur dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Pebruari 1905. Dalam pengaturan ini pemerintah tidak mencampuri masalah pengelolaan zakat dan menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam dan bentuk pelaksanaannya sesuai syari’at Islam.
2.      Awal Kemerdekaan, manajemen zakatnya diatur pemerintah dan masih menjadi urusan masyarakat. 1951 DepAg mengeluarkan Surat Edaran No : A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah. Yang intinya menggiatkan masyarakat untuk menunaikan  kewajibannya melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagiannya dari pungutan tadi dapat berlangsung menurut hukum agama.
3.      Masa Orde Baru, pengelolaan zakatnya masih diatur sekedarnya saja, hanya saja Menteri Agama menyusun RUU tentang Zakat dan disampaikan pada DPR Gotong Royong dengan surat Nomor : MA/095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Pada tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama No 4 Th 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan PMA Nomor 5 tahun 1968 tentang Pembentukan Bait al-Mal berstatus Yayasan dan bersifat semi resmi. Th 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan ramadhan. Pada 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16/1989 tentang Pembinaan ZIS yang menugaskan Depag untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan ZIS.[5]
4.      Era Reformasi, pengelolaan zakat terbagi menjadi dua periode sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
a.       Masa berlakunya UU No. 38 Th. 1999
            Melahirkan paradigma baru pegelolaan zakat yang antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh  satu wadah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan.
b.      Masa berlakunya UU No. 23 Th. 2011
Pada awal penerapannya, UU ini mendapat sambutan pro dan kontra, namun UU ini juga belum     efektif sehingga dirasakan penerapannya untuk manajemen zakat belum maksimal.

C.    POTENSI ZAKAT DI INDONESIA

Fakta seputar kuantitas umat islam yang mayoritas dan pemerintah zakat sebagi aktualisasi keimanan, sangat kontradiksi dengan fakta dilapangan, dimana angka kemiskinan belum tertangani dengan baik. Hingga kini masih banyak masyarakat kita yang hidup miskin, papa, dan serba kekurangan, belum tersentuh oleh hasil distribusi zakat. Banyak program lembaga pengelola zakat yang memanfaatnya bagi umat belum dirasakan secara signifikan.
Padahal [potensi zakat diindonesia diatas kertas luar biasa besar. Secara sistematis, jika kesadaran zakat telah tumbuh, maka akan kita dapatkan angka minimal sebesar Rp. 19 trilyun per tahun. Angka ini akan bertambah jika diakumulasikan dengan pemasukan dari infaq, shadaqah, serta wakaf.tentunya akan kita peroleh angka yang cukup bombastis.
Namun,angka diatas masih dalam hitungan kertas saja. Dalam kenyataannya, saat ini baru terkumpul lebih kurang RP 250 miliyar pertahun (ini menurut data pengumpulan zakat oleh lembaga, baik BAZ maupun LAZ). Itu artinya hanya 1,3% saja dana zakat dapat terkumpul dari jumlah potensial yang ada.[6]






























BAB III
PENUTUP

Secara social, zakat brfungsi sebagai lembaga jaminan social. Dengan menggunakan lembaga zkat, maka kelompok lemah tidak lagi merasa khawatir terhdap kelangsungan hidup yang mereka jalani. secara ekonomi, zakat berfungsi sebagai salah satu instrument utuk mengentaskan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan yang terjadi antara kelompok kaya dan miskin. Lembaga zakat haruslah bersifat independen, netral, tidak berpolitik dan tidak bersifat deskriminatif. Sedangkan unsur-unsurnya itu Dewan pembina, Dewan pengawas syariah dan Dewan pengurus/manajemen lembaga pengelola zakat.















DAFTAR PUSTAKA

Amin Ma’ruf, Sam Ichwan, dkk. 2011. Himpauan Fatwa (majelis ulama Indonesia). Jakarta: Erlangga
Huda Nurul dan Heykal Mohamad. 2010. Lembaga Keuangan Islam (tinjauan teoritis dan praktis). Jakarta : kencana
Haroen Nasrun. 2009. Panduan Organisasi Pengelola Zakat. Jakarta: Departemen Agama RI
Ramulyo Idris. 2004. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika



[1] Nurul Huda dan Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam (tinjauan teoritis dan praktis). (Jakarta : kencana. 2010) H. 304
[2] Nasrun Haroen.  Panduan Organisasi Pengelola Zakat. (Jakarta: Departemen Agama RI. 2009) H. 7
[3] Ibid. H. 7-8
[4] Ibid, Nurul Huda dan Mohamad Heykal. H. 306-308
[5] Ibid, Nasrun Haroen. H. 8-10
[6] Ibid. H. 5