BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di indonesia terdapat pajak dan zakat, keduanya sama-sama beban
yang harus dikeluarkan yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Akan
tetapi, hampir semua pajak mempunyai fungsi meningkatkan biaya produksi dan
harga jual barang. Sementara kalau dilihat dari zakat bersifat mengurangi
pendapatan. Dengan demikian, zakat lebih baik daripada pajak, jika dilihat dari
kemampuannya mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat.[1]
Dalam mengimplementasikan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
penduduk Indonesia, pemerintah Indonesia juga menyadari akan arti pentingnya
peranan serta fungsi zakat dalam kehidupan sosial ekonomi bagi seluruh rakyat
Indonesia demi mewujudkan kesejahteraan sosial dalam setiap lapisan masyarakat,
oleh sebab itu disahkannya Undang-Undang Nomor 38 tentang Pengelolaan Zakat
Tahun 1999. Dengan adanya Undang-Undang ini negara mampu mengorganisasi pelaksanaan
pengumpulan maupun pendistribusian zakat bagi masyarakat yang membutuhkan demi
mewujudkan terciptanya pemerataan tingkat kesejahteraan baik secara sosial
maupun ekonomi.[2]
Namun dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 38 tersebut
ternyata terdapat beberapa persoalan-persoalan yang justru menghambat
terciptanya pemerataan kesejahteraan tersebut. Dengan adanya ketidaksempurnaan
tersebut maka negara dianggap perlu untuk mengatur kembali mengenai pengeloaan
zakat ini dalam suatu Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, tentang Pengelo laan
Zakat, dan hal ini dapat diwujudkan dalam kurun waktu sepuluh tahun setelah
tahun 1999 yaitu dengan disahkan dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat. Dengan danya perubahan undang-undang yang baru tentang pengelolaan zakat
ada beberapa hal yang perlu untuk digarisbawahi dan diperhatikan berkenaan
dengan pelaksaan pengeloaan zakat di Indonesia, antara lain : “bahwa
pengelolaan zakat di Indonesia meliputi tiga aspek yang antara lain: proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.”
Dari tiga aspektersebut sekalipun terlaksana dengan baik namun
tampaknya belum juga mampu mewujudkan maqoshid
al syariah dari zakat tersebut, yaitu untuk mengentaskan kemiskinan, dalam
menanggapi hal ini perlu untuk digarisbawahi bahwa harus ada suatu pola
pembaruan dalam pola hidup dan pola pikir masyarakat, hal ini dapat diartikan
bahwa hendaknya zakat bukanlah saja suatu proses take it away yang dilakukan oleh para mustahik, melainkan para
pengelola zakat hendaknya dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru yang secara
otomatis diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran dan orang miskin.[3]
A. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana manajemen/ pengelolaan zakat untuk
lembaga pengelola ZIS?
2.
Bagaimana akutansi keuangan untuk lembaga
pengelola ZIS?
B. Tujuan
1.
Untuk dapat mengetahui manajemen/ pengelolaan
zakat untuk lembaga pengelola ZIS.
2.
Dapat mengetahui akutansi keuangan untuk
lembaga pengelola ZIS.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lembaga Pengelola Zakat/ Lembaga Amil Zakat
Secara sosial, zakat berfungsi sebagai lembaga
jaminan sosial. Dengan menggunakan lembaga zakat,maka kelompok lemah dan
kekurangan tidak akan lagi merasa khawatir terhadap kelangsungan hidup yang
mereka jalani. Hal ini terjadi karena adanya substansi zakat merupakan
mekanisme yang menjamin kelangsungan hidup mereka di tengah masyarakat,
sehingga mereka merasa hidup di tengah masyarakat manusia yang beradap,
memiliki nurani, kepedulian, dan juga tradisi saling menolong.
Selain itu, alasan ekonomi, zakat juga
berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mengentaskan kemiskinan,
pemerataan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan yang terjadi antara
kelompok kaya dan miskin. Zakat juga dapat memengaruhi kemampuan sebuah
komunitas politik (negara) dalam menjalankan kelangsungan hidupnya. Dengan
adanya berbagai implikasi sosial ekonomi diatas, maka zakat dapat membentuk
integrasi sosial yang kukuh serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Dua
kondisi terkhir ini sangat diperlakukan bagi kelangsungan hidup suatu negara.
Di sebagaian kalangan umat Islam timbul
barbagai pendapat berkaitan dengan masalah distribusi zakat. Dikarenakan karena
zakat termasuk ibadah, maka pendistribusiannya bisa dilakukan secara individual.
Dari pandangan ulama-ulama tafsir dan
ulama-ulama fiqh dari semua mazhab, bahwa usaha pengumpulan zakat itu masuk
kedalam tugas penguasa, yaitu pemerintah. Pemerintah tidak boleh membiarkan
para pemilik harta benda berjalan sendiri-sendiri, menyelesaikan sendiri urusan
pemberian zakat, karena zakat itu adalah untuk melindungi nasib orang fakir
miskin serta untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.[4]
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur
berdasarkan Undang-Undang No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang lalu
diikuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No.38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktorat Jendral
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/ 291 tahun 2000 tentang
Pedoman Teknis Pengeloaan Zakat. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa lembaga
pengelola zakat yang ada di Indonesia adalah Badan Amil Zakat yang dikelola
oleh negara serta Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh swasta. Meskipun
dikelola oleh dua pihak, yaitu negara dan swasta, akan tetapi lembaga pengelola
zakat haruslah bersifat independen, netral, tidak berpoliti, tidak bersifat
diskriminatif.[5]
B. Manajemen Pengelolaan Zakat
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan
pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Bagian yang tak terpisahkan dari
pengelolaan zakat adalah muzakki dan harta yang dizakati, mustahik, dan amil. [6]
Pada semester 3, kita telah mempelajari apa itu muzakki, harta apa saja yang wajib
dizakati, mustahik, dan amil. Jadi, disini pemakalah tidak akan menjelaskan
kembali, dan hanya akan terfokus pada manajemen pengelolaan zakatnya saja.
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelola Zakat Bab III Pasal 6 dan 7 menegaskan bahwa Lembaga Pengelola Zakat
di Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk
oleh pemerintah dan lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat.
1.
Badan Amil Zakat (BAZ)
Badan
Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah,
yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan,
mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Dalam
melaksanakan seluruh kegiatannya badan Amil Zakat memiliki kewajiban yang harus
dilaksanakan, yaitu:
a.
Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program
kerja yang telah dibuat.
b.
Menyusun laporan tahunan, yang didalamnya
termasuk laporan keuangan.
c.
Memublikasikan laporan keuangan tahuna yang
telah di audit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas pemerintah yang
berwenang melalui media massa sesuai dengantingkatannya, selambat-lambatnya
enam bulan setelah tahun buku terakhir.
d.
Menyerahkan laporan tersebut kepada pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan tingkatannya.
e.
Merencanakan kegiatan tahunan.
f.
Mengutamakan pendistribusian dan pendayagunaan
dari dana zakat yang diperoleh dari daerah masing-masing sesuai dengan
tingkatannya, kecuali BAZ nasional dapat mendistribusikan dan mendayagunakan
dana zakat ke seluruh wilayah Indonesia.
2.
Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Sebelum
berlakunya Undang-Undang pengelolaan zakat, sebenarnya fungsi pengumpulan,
pengelolaan, dan pendistribusian zakat telah eksis terlebih dahulu di
tengah-tengah masyarakat. Fungsi ini dikelola oleh masyarakat itu sendiri, baik
secara perorangan maupun kelompok (kelembagaan). Hanya saja dengan berlakunya
undang-undang ini, telahterjadi proses formalisasi lembaga yang sudah eksis
tersebut.
Istilah
formal lembaga ini diseragamjan menjadi Lembaga Amil Zakat (LAZ). Disamping itu,
untuk menjadi LAZ atau lembaga formal yang berfungsi mengelola zakat, lembaga
yang sebelumnya eksis ditengah-tengah mesyarakat secara informal tersebut,
terlebih dahulu harus melalui proses formal administratif dan selanjutnya
dikukuhkan oleh pemerintah sebgai bentuk pengakuan keberadaannya secara formal.
Olehkarena itu, tidak semua yang secara kelembagaan maupun perorangan melakukan
kegiatan mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusukan zakat dinamakanlembaga
Amil Zakat seperti diatur dalam undang-undang nomr 38 tahun 1999.
Menurut
undnag-undang ini, Lembaga Amil Zakat adalah institusi pengelolaan zakat yang
sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang bergerak di bidang dakwah,pendidikan,
sosial, dan kemaslahatan umat islam.
Lembaga
Amil Zakat (LAZ) yang telah memenuhi persyaratan, dan kemudian dikukuhkan
pemerintah, memiliki kewajiban yang harus dilakukan oleh LAZ, yaitu:
a.
Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program
kerja yang telah dibuat.
b.
Menyusun laporan, termasuk laporan keuangan.
c.
Memublikasikan laporan keuangan yang telah
diaudit melalui media massa.
d.
Menyerahkan laporan kepada pemerintah.[7]
C. Mekanisme Pengelolaan Hasil Pengumpulan Zakat
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan
pendistribusian serta pendayagunaa zakat. Oleh karena itu, untuk optimalisasi
pendayagunaan zakat yang profesional dan mampu mengelola zakat secara tepat
sasaran.
Menurut Didin Hafidhudin, pengelolaan zakat
melalui lambaga amil didasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, menjaga perasaan rendah diri para
mustahik apabila berhadapan langsung untuk menerima haknya dari muzakki. Ketiga, untuk mencapai efesiensi,
efektifitas dan sasaran yang tepat dalam menggunakan harta zakat menurut skala
prioritas yang ada disuatu tempat misalnya apakah disalurkan dalam bentuk
konsumtif ataukah dalam bentuk produktif untuk meningkatkan kegiatan usaha para
mustahik. Keempat, untuk
memperlihatkan syiar Islam dan semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan
yang Islami. Sebaliknya, jika penyelenggaraan zakat itu begitu saja diserahkan
kepada muzakki, maka nasib dan hak-hak orang miskin dan para mustahik lainnya
terhadap orang-orang kaya tidak memperoleh jaminan yang pasti.
Pada prinsipnya pendayagunaan hasil pengumpulan
zakat untuk mustahik dilakukan berdasarkan persyaratan:
a.
Hasil pendataan dan penelitian kebenaran
mustahik delapanasnaf.
b.
Mendahulukan orang-ornag yang paling tidak
berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.
c.
Mendahulukan mustahik dalam wilayahnya
masing-masing.
Sedangkan untuk pendayagunaan hasil pengumpulan zakat secara
produktifitas dilakukan setelah terpenuhinya poin-poin diatas. Disamping itu,
terdapat pula usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan, dan mendapat
persetujuan tertulis dari dewan pertimbangan. Adapun prosedur pendayagunaan
pengumpilan hasil zakat untuk usaha produktif berdasarkan:
a.
Melakukan studi kelayakan.
b.
Menetapkan jenis usaha produktif.
c.
Melakukan bimbingan dan penyuluhan.
d.
Melakukan pemantauan,pengendalian dan
pengawasan.
e.
Mengadakan evaluasi.
f.
Membuat laporan.
Sistem pendistribusian zakat yang dilakukan haruslah mampu
mengangkat dan meningkatkan taraf hidup umat Islam, terutama para penyandang
masalah sosial. Bail LAZ maupun BAZ memiliki misi mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial. Banyaknya BAZ dan LAZ yang lahir tentu akan
mendorong penghimpunan dana zakat masyarakat. Ini tentu baik karena semakin
banyak dana zakat yang dihimpun, makin banyak pula dana untuk kepentingan
sosial. Bahkan, hal ini dapat membantu pemerintah mengatasi kemiskinan jika
dikelola dengan baik. Namun untuk mendongkrak kepercayaan masyarakat untuk
berzakat pada lembaga yang profesional. Agar BAZ dan LAZ bisa profesional
dituntut kepemilikan data muzakki dan mustahik yang valid, penyampaian laporan
keuangannya kepada masyarakat secara transparan, diawasi oleh akuntan publik,
dan memiliki amilin atau sumber daya yang profesional, serta program kerja yang
dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, pengelolaan dana zakat juga perlu
ditunjang oleh penggunaan teknologi informasi untuk memudahkan pengelolaan dan
pengorganisasian dana zakat.
Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat dapat dilakukan dalam dua
pola, yaitu pola konsumtif dan pola produktif. Para amil zakat diharapkan mampu
melakukan pembagian porsi hasil pengumpulan zakat misalnya 60% untuk zakat
konsumtif dan 40% untuk zakat produktif. Program penyaluran hasil pengumpulan
zakat secara konsumtif bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ekonomi
para mustahik melalui pemberian langsung, maupun melalui lembaga-lembaga yang
mengelola fakir miskin, panti asuhan, maupun tempat-tempat ibadah yang
mendistribusikan zakat kepada masyarakat. Sedangkan program penyaluran hasil
pengumpulan zakat secaraproduktif dapat dilakukan melalui program bantuan
pengusaha lemah, pendidikan gratis dalam bentuk beasiswa, dan pelayanan
kesehatan gratis.[8]
D. Perlakuan
Akutansi (ED PSAK 109)
Perlakuan akutansi dalam pembahasan ini mengacu pada ED (eksposure
drafit ) PSAK 109, sehingga ruang lingkup PSAK
ini hanya untuk amil zakat yang menerima dan menyalurkan
zakat/infak/sedekah.
E. Akutansi
untuk zakat
1.
Penerimaan zakat diakui pada saat kas atau aset
lainnya diterima dan diakui sebagai penambah dana zakat. Jika diterima dalam
bentuk kas, diakui sebesar jumlah diterima tetapi jika dalam bentuk nonkas
sebesar nilai wajar aset. Jurnal:
Dr.
Kas-Dana Zakat xxx
Dr. Aset
non kas (nilai wajar)-Dana Zakat xxx
Cr. Dana Zakat xxx
2.
Zakat yang diterima diakui sebagai dana amil
untuk bagian amil dan dana zakat untuk bagian Nonamil. Jurnal:
Dr. Dana
Zakat – Amil xxx
Cr. Dana Zakat – Amil xxx
Cr. Dana Zakat - Nonamil xxx
3.
Jika muzaki menentukan mustahiq yang harus
menerima penyaluran zakat melalui amil maka aset zakat yang diterima seluruhnya
diakui sebagai dana zakat – Nonamil. Jika diatas jasa tersebut amil mendapatka
ujrah/fee maka diakui sebagai penambah dana amil. Jurnal saat mencatat
penerimaan fee. Jurnal:
Dr.
Kas-Dana Zakat xxx
Cr. Dana Zakat - Nonamil xxx
4.
Penurunan nilai aset zakat diakui sebagai:
a)
Pengurangan dana zakat, jika terjadi tidak
disebabkan oleh kelalaian amil.
Jurnal:
Dr. Dana Zakat - Nonamil xxx
Cr. Aset Nonkas xxx
b)
Kerugian dan pengurangan dana amil, jika
disebabkan oleh kelalaian amil.
Jurnal:
Dr. Dana Zakat – Amil – Kerugian xxx
Cr. Aset Nonkas xxx
5.
Zakat yang disalurkan kepada mustahiq diakui
sebagai pengurang dana zakat sebesar:
a)
Jumlah yang diserahkan, jika pembarian
dilakukan dalam bentuk kas;
Jurnal:
Dr. Dana Zakat - Nonamil xxx
Cr.
Kas-Dana Zakat xxx
b)
Jumlah tercatat, jika pemberian dilakukan dalam
bentuk aset nonkas.
Jurnal:
Dr. Dana Zakat - Nonamil xxx
Cr. Aset
Nonkas – Dana Zakat xxx
6.
Amil harus mengungkapkan hal-hal berikut
terkait dengan transaksi zakat, tetapi tidak terbatas pada:
a.
Kebijakan penyaluran zakat, seperti penentuan
skala prioritas penyaluran, dan penerima.
b.
Kebijakan dalam pemberian antara dana amil dan
dana nonamil atas penerimaan zakat, seperti persentase pembagian, alasan, dan
konsistensi kebijakan.
c.
Metode penentuan nilai wajar yang digunakan
untuk penerimaan zakat berupa aset nonkas.
d.
Rincian jumlah penyaluran dana zakat yang
mencakup jumlah beban pengelolaan dan jumlah dana yang diterima langsung
mustahiq dan
e.
Hubungan istimewa antara amil dan mustahiq yang
meliputi:
I.
Sifat hubungan istimewa
II.
Jumlah dan jenis aset yang disalurkan dan
III.
Presentase dari aset yang disalurkan tersebut
dari total penyaluran selama periode
f.
Keberadaan dana nonhalal, jika ada. Diungkapkan
mengenai kebijakan atas penerimaan dan
penyaluran dana, alasan dan jumlahnya dan
g.
Kinerja amil atas penerimaan dan penyaluran
dana zakat dan dana infak/sedekah.
F. Akutansi
untuk infak/ sedekah
1.
Penerimaan infak/sedekah diakui pada saat kas
atau aset lainnya diterima dan diakui sebgai penambah dana infak/sedekah. Jika
diterima dalam bentuk kas, diakui sebesar jumlah diterima tetapi jika dalam
bentuk nonkas sebesar nilai wajar aset. Untuk penerimaan aset nonkas dapat
dikelompokkan menjadi aset lancar dan aset tidak lancar. Aset lancar adalah
aset yang harus segera disalurkan, dan dapat berupa barang sekali pakai atau
barang yang memiliki manfaat jangka panjang. Jurnal:
Dr. Kas-Dana Infak/Sedekah xxx
Dr. Aset Nonkas (nilai wajar)-lancar-Dana Infak xxx
Dr. Aset nonkas (nilai wajar)-Tidak Lancar-Dana
Infak xxx
Cr.
Dana Infak/ Sedekah xxx
2.
Infak yang diterima diakui sebagai dana amil
untuk bagian amil dan dana zakat untuk bagian Nonamil. Jurnal:
Dr. Dana Infak/Sedekah xxx
Cr.
Dana Infak/Sedekah-Amil xxx
Cr.
Dana Infak/Sedekah-Nonamil xxx
3.
Aset tidak lancar yang diterima oleh amil dan
diamanahkan untuk dikelola dinilai sebesar nilai wajar saat penerimaannya dan
diakui sebagai aset tidak lancar infak/sedekah. Penyusutan dari aset tersebut
diperlakukan sebagai pengurang dana infak/sedekah terikat apabila penggunaan
atau pengelolaan aset tersebut sudah ditentukan oleh pemberi. Jurnal:
Dr. Dana Infak/Sedekah-nonamil xxx
Cr.
Akumulasi Penyusutan Aset Nonlancar xxx
4.
Penilaian Aset Nonkas-Lancar sebesar harga
perolehan dan Aset Nonkas-Tidak Lancar Sebesar Nilai Wajar
5.
Penurunan nilai aset infak/ sedekah diakui
sebagai:
(a)
Pengurang dana infak/sedekah, jika terjadi
tidak disebabkan oleh kelalaian amil. Jurnal:
Dr. Dana infak/sedekah-nonamil xxx
Cr.
Aset nonkas-dana infak/sedekah xxx
(b)
Kerugian dan pengurang dana amil, jika
disebabkan oleh kelalaian amil. Jurnal:
Dr. Dana amil infak/sedekah-amil-kerugian xxx
Cr.
Aset nonkas infak/sedekah xxx
6.
Dana infak/sedekah sebelum disalurkan dapat
dikelola dalam jangka waktu sementara untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Hasil dana pengelolaan diakui sebagai penambah dana infak/sedekah. Jurnal:
Dr. Kas/piutang-infak/sedekah xxx
Cr.
Dana infak/sedekah xxx
7.
Penyaluran dana infak/sedekah diakui sebagai
pengurang dana infak/sedekah sebesar:
(a)
Jumlah yang diserahkan, jika dalam bentuk kas.
Jurnal:
Dr. Dana infak/sedekah-nonamil xxx
Cr.
Kas-dana infak/sedekah xxx
(b)
Nilai tercatat aset yang diserahkan, jika dalam
bentuk aset nonkas. Jurnal:
Dr. Dana infak/sedekah-nonamil xxx
Cr.
Aset nonkas-dana infak/sedekah xxx
8.
Penyaluran infak/sedekah kepada amil lain
merupakan penyaluran yang mengurangi dana infak/sedekah sepanjang amil tidak
akan menerima kembali aset infak/sedekah yang disalurkan tersebut. Jurnal:
Dr. Dana infak/sedekah-nonamil xxx
Cr.
kas-dana infak/sedekah xxx
9.
Penyaluran infak/sedekah kepada penerima ahir
dalam skema dana bergulir dicatat sebagai piutang infak/sedekah bergulir dan
tidak mengurangi dana infak/sedekah. Jurnal:
Dr. Piutang-dana infak/sedekah xxx
Cr.
Kas-dana infak/sedekah xxx
G. Laporan
Keuangan Lembaga Amil
Laporan keuangan lembaga amil terdiri atas :
1.
Neraca (laporan posisi keuangan)
2.
Laporan perubahan dana
3.
Laporan perubahan aset kelolaan
4.
Laporan arus kas
5.
Catatan atas keuangan[9]
H. Akutansi Transaksi Dana Kebajikan dan Pinjaman Qardh
Dana Kebajikan merupakan dana sosial di luar zakat yang berasal
dari masyarakat yang dikelola bank syariah. Dana kebajikan biasa juga disebut
dengan dana qardh. PSAK 59 dan PAPSI menggunakan istilah qardh dan bukan
istilah dana kebajikan. Akan tetapi, pada alasanya penggantian istilah “ Dana
kebajikan. Akan tetapi, pada PSAK 101, istialah ini diganti dengan istilah
“Dana Kebajikan”. Tidak ada keterangan resmi alasan penggantian istilah ini
dalam PSAK 101. Akan tetapi, adanya istilah dana kebajikan memberi
fleksibilitas dalam sumber maupun penggunaan dana tersebut, mengingat istilah
qardh lebih tepat digunakan untuk transaksi yang terkait dengan pinjam meminjam
tanpa bunga. Berdasarkan PASAK 101 paragraf 75, sumber dana kebijakan terdiri
atas :
a.
Infak
b.
Sedekah
c.
Hasil pengelolaan wakaf
sesuai dengan perundang-perundang yang berlaku
d.
Pengembalian dana
kebajikan produktif
e.
Denda
f.
Pendapatan non halal
g.
Sumbangan/hibah
ketentuan yang terkait dengan transaksi pinjaman qardh mliputi
berbagai aspek antara lain:
a)
Larangan menyaratkan
tambahan pengambilan atas suatu pinjaman
b)
Larangan menunda
pembayaran pinjaman bagi orang yang mampu
c)
Perintah meringankan beban
orang yang kesulitan membayar pinjaman
d)
Pembolehan mengenakan
biaya administrasi
e)
Pembolehan pngenaan sanksi
pada pinjaman yang mampu, tetapi ,melalikan kewajibanya.
Rukun transaksi pinjaman Qardh
a.
Transaktor
Transaktor pada transaksi
pinjaman qardh terdiri atas pemberi (muqridh) dan penerima pinjaman
(muqtaridh).
b.
Objek qardh (mahall
al-qardh)
Objek qordh atau biasa
disebut mahall al-qordh dpt berup uang atau benda habis pakai.
c.
Ijab dan qabul
Ijab dan qabul dalam
transaksi pinjaman qardh merupakan peryataan dari kedua belah pihak yang
berkontrak dengan cara penawaran dari pemberi pinjaman (bank syariah) dan
penerimaan yang dinyatakan oleh penerima pinjaman (nasabah).
Pengawasan syariah transaksi pinjaman qardh
DPS dalam menjalankan tugasnya menyatakan pendapat tentang
kesesuaian operasional bank syariah melakukan berbagai pngujian terkit
transaksi pinjaman qardh. Pengujian tersebut antara lain :
a)
Meneliti apakah pembiayaan
yang diberikan berdasarka prinsip qardh
tidak dipergunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsi syriah.
b)
Meneliti bahwa nasabah
yang terkena sanksi denda adalah nasabah yang lalai, yaitu nasabah yang
mempunyai kemampuan secara ekonomi untuk membayar, namun sengaja menunda
pembayaran.
c)
Memastikn bahwa bank telah
memberikan kelonggaran waktu yang cukup kepada nasbah untuk melunai kewajibanya
dalam hal nasabah tersebut mengalami kesulitan keuangan akibat penurunan usaha.
d)
Meneliti apakah pndapatan
yang diterima bank dari nasabah atas pengenaan sanksi tela diakui sebgai sumber
dana kebajikan.
e)
Memastikan sumber dana
yang digunakan untuk pembiayaan qardh konsumtif dan bersifat sosial adalah
bukan berasal dana investasi atau modl bank.
f)
Memastikan bahwa sumber
dana yang digunakan untuk pembiayaan qardh dalam rangka dana talangan nasabah
adalah berasal dari modal bank.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari materi di atas, dapat disimpulkan:
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta
pendayagunaan zakat. Bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan zakat adalah muzakki dan harta yang dizakati, mustahik, dan amil.
Badan
Amil Zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah,
yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan,
mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah memenuhi persyaratan, dan
kemudian dikukuhkan pemerintah, memiliki kewajiban yang harus dilakukan oleh
LAZ. Perlakuan akutansi dalam ruang lingkup PSAK hanya untuk amil zakat yang
menerima dan menyalurkan zakat/infak/sedekah.
DAFTAR
PUSTAKA
P3EI.2008. Ekonomi Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Shomad. 2010. Hukum Islam
‘Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia’. Jakarta: Kencana
Pernomo, Sjekhul Hadi. 1993. Pemerintah
Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat. Jakarta: Pustaka Firdaus
Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana
Soemitra, Andri. 2010. Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana

Yaya, Rizal. 2009. Akutansi
Perbankan Syari’ah. Jakarta: Salemba Empat
Fiqhiyah, Masail. 2000. Zakat,
Pajak ‘Asuransi dan Lembaga Keuangan’. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
[1] P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), Ed. 1, h.519
[2] Shomad, Hukum Islam ‘Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia’, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 411
[3] Ibid,. h. 414
[4] Sjekhul Hadi Pernomo, Pemerintah Republik Indonesia Sebagai
Pengelola Zakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), Cet. 1, h.6
[5] Nurul Huda dan Mohamad
Heykal, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2010), Ed. 1, Cet. 1, h.304-306
[6] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:
Kencana, 2010), Ed. 1, Cet. 2, h.412
[7] Ibid., h. 419-423
[8] Ibid., h.428-430
[9] Sri Nurhayati dan
Wasilah, Akutansi Syariah di Indonesia, (Jakarta:
Salemba Empat, 2008), h.284-288
Tidak ada komentar:
Posting Komentar