BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Memajukan kesejahteraan umum merupakan
salah satu tujuan nasional negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia
senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik material dan mental
spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup
terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketakwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatnya akhlak mulia, terwujudnya kerukunan
hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan dan kesatuan
bangsa, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional.
Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain
dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim
yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya.
Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat
dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
Agar sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan
masyarakat terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan
menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara
profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama
pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan,
pembinaan, dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan pengelola zakat. Untuk
maksud tersebut, perlu adanya undang-undang tentang pengelolaan zakat yang
berasaskan keimanan dan takwa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial,
kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukum sebagai pengamalan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatkannya kesadaran
masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat, meningkatnya
fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatnya hasil guna dan daya guna
zakat. Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk:
- Memperoleh informasi tentang
pengelolaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat dan lembaga amil
zakat;
- Menyampaikan saran dan pendapat
kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat;
- Memberikan
laporan atas terjadinya penyimpangan pengelolaan zakat.
Zakat terbagi
atas dua jenis yakni
1. Zakat Fitrah, zakat yang wajib dikeluarkan Muslim
menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5
kilogram/3,5 liter makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
2. Zakat Maal (Zakat Harta), mencakup hasil perniagaan, pertanian,
pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak.
Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
Undang-undang tentang Pengelolaan zakat
juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat
dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan agar menjadi
pedoman bagi muzzaki dan mustahiq, baik perorangan maupun badan hukum dan/atau
badan usaha
Untuk menjamin pengelolaan zakat
sebagai amanah agama dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur
pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri atas ulama , kaum cendekia,
masyarakat, dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap pengelola
Dengan dibentukknya Udang-undang
tentang Pengelolaan Zakat , diharapkan dapat ditngkatkan kesadaran muzzaki
untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka menyucikan diri terhadap harta
yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya keprofesionalan
pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
ketentuan zakat menurut Undang-undang ?
2.
Bagaimana
perjalanan rancangan UU No. 38/1999 menjadi UU No. 23/2011?
3.
Bagaimana
hubungan zakat dengan pajak?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui ketentuan zakat menurut Undang-undang.
2.
Untuk
mengetahui perjalanan rancangan UU No. 38/1999 menjadi UU No. 23/2011.
3.
Untuk
mengetahui hubungan zakat dengan pajak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Dibentuknya UU No. 23 Tahun 2011 dan Implikasi terhadap LAZ
Pengelolaan
zakat pada masa penjajahan dan kemerdekaan memberikan gambaran buram akan
fungsi zakat di Indonesia. Antara komunitas muslim dengan hasil zakat tidak
memberikan gambaran seimbang. Pada masa orde baru, kekhawatiran terhadap Islam
ideologis memaksa pemerintah untuk tidak terlibat dalam urusan zakat. Bahkan
secara struktural, pemerintah tidak secara tegas memberikan dukungan secara
legal formal. Zakat sering dikumpulkan masih dengan cara konvensional dan
musiman. Namun dimulainya sistem demokrasi setelah jatuhnya Presiden Soeharto
pada tahun 1998, UU Zakat No. 38 Tahun 1998, adalah awal dari terbukanya
keterlibatan publik secara aktif. Peran lembaga zakat, bersama dengan struktur
negara telah memfasilitasi pengaturan zakat dengan lembaga–lembaga khusus yang
dilindungi oleh UU. Namun, UU zakat No. 38 tahun 1998 tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan UU
zakat no. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.[1]
Namun lahirnya
UU Zakat No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat belum menjawab
permasalahan pengelolaan zakat karena UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat
hanya penambahan pasal – pasal dari UU no. 38/1999 yaitu :
1.
Terdapat penambahan
ayat, penjabaran definisi yang terkait dengan pengelolaan zakat.
2.
Pasal 5 ayat (1),
untuk melaksanakan pengelolaan zakat, pemerintah membentuk BAZNAS.
3.
Pasal 7 ayat (1),
dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS
menyelenggarakan fungsi:
a) Perencanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b) Pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian,dan pendayagunaan zakat;
c) Pengendalian
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
d) Pelaporan
dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
4.
Pasal 17, untuk
membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
5.
Pasal 18, penjelasan
mengenai: Ayat 1, pembentukan LAZ wajib
mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri. Ayat 2, izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
hanya diberikan apabila memenuhi
persyaratan paling sedikit
a) Terdaftar sebagai
organisasi kemasyarakatan
Islam yang mengelola
bidang pendidikan, dakwah, dan
sosial;
b) Berbentuk
lembaga berbadan hukum;
c) Mendapat
rekomendasi dari BAZNAS;
d) Memiliki
pengawas syariat;
e) Memiliki
kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f) Bersifat
nirlaba;
g) Memiliki program
untuk mendayagunakan zakat bagi
kesejahteraan umat; dan
h) Bersedia
diaudit syariah dan diaudit keuangan secara berkala.
6.
Pasal 38, setiap orang
dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan,
pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
7.
Pasal 41, setiap orang
yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).[2]
A.
Perjalanan
Rancangan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Menjadi
Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Hadirnya undang-undang di atas memberikan spirit baru.
Pengelolaan zakat sudah harus ditangani oleh Negara seperti yang pernah
dipraktekkan pada masa awal Islam. Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya
dipungut oleh negara, dan pemerintah bertindak sebagai wakil dari golongan
fakir miskin untuk memperoleh hak mereka yang ada pada harta orang-orang kaya.
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada Mu‘adz ibn Jabal bahwa
penguasalah yang berwenang mengelola zakat. Baik secara langsung maupun melalui
perwakilannya, pemerintah bertugas mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat.
Menurut Wakil
Ketua Komisi VIII DPR, Gondo Radityo Gambiro (F-PD), salah satu dasar
pertimbangan Komisi VIII DPR mengajukan usul perubahan UU No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dengan alasan UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat merupakan salah satu kemajuan dalam penerapan prinsip-prinsip
syariah ke dalam hukum positif. Namun demikian, lanjutnya, pelaksanaan UU No. 38
Tahun 1999 dirasakan masih belum optimal untuk mengakomodir penyelenggaraan
kewajiban zakat dalam sistem yang profesional. Karenanya undang-undang tersebut
sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat
sehingga perlu diganti agar kebijakan pengelolaan zakat dapat dilakukan secara
terarah, terpadu, dan terkoordinasi dengan baik serta disesuaikan dengan
kebutuhan saat ini (JDIH).
Ada beberapa
pokok yang diajukan dalam revisi UU No. 38 tahun 1999 yaitu tata kelola zakat,
sanksi mangkir zakat, dan persoalan wajib zakat dan pajak karena diperlukan
kejelasan tentang peran pengatur, pengawas, dan operator. Sehingga ditetapkan
di Jakarta oleh Menteri Agama RI Prof. DR. H. Said Agil Husin Al Munawar, MA
pada tanggal 18 Juli 2003 mencabut Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Menurut Yusuf Wibisono sebagai ahli pemohon dalam persidangan di
Mahkamah Konstitusi, amandemen UU 38/1999 sudah dimulai di DPR pada periode
2004-2009. Pada tahun 1999 UU 38/1999 sudah masuk di RUU Prioritas Tahun 1999
tapi gagal diselesaikan. Sejak awal proses amandemen, ada dua draft yang secara
umum bertolak belakang, yaitu draft RUU dari masyarakat sipil dan draft RUU
dari pemerintah.
Pada awal Maret
2010 DPR menyelesaikan RUU Pengelolaan Zakat. RUU yang dibuat oleh DPR
cenderung mengakomodir masyarakat sipil. Kemudian RUU diajukan ke pemerintah
untuk dimintakan DIM (Daftar Isian Masalah). DIM dari pemerintah baru muncul di
awal tahun 2011. Dua draft yang bertolak belakang dibahas di DPR pada
pertengahan 2011. Masa sidang keempat DPR pada pertengahan 2011 berlangsung
singkat, yakni tiga bulan, akhirnya amandemen UU no 38 1999 tentang pengelolaan
zakat selesai. Akhir tahun 2011 lalu, DPR RI mensahkan UU hasil amandemen yang
kemudian diberi nomor UU nomor 23 tahun 2011. Akhirnya UU no 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat
disahkan di Jakarta pada tanggal 25
November 2011 oleh Presiden Republik Indonesia, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono
dan diundangkan di Jakarta pada tanggal
25 November 2011 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia.[3]
Sebelas tahun berjalan, berbagai pihak merasakan kelemahan
dari UU No 38/1999 dari beberapa sisi sehingga menimbulkan semangat yang kuat
untuk melakukan revisi UU tersebut. Alhamdulillah, pada 25 November 2011 telah
disahkan UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang baru. Beberapa kemajuan
isi UU Nomor 23/2011 dibandingkan dengan UU Nomor 38/1999 antara lain sebagai
berikut:[4]
- Badan/Lembaga
Pengelola Zakat, Pengelola zakat dalam UU yang baru adalah Baznas, Baznas
provinsi dan Baznas kabupaten/kota, tidak ada lagi BAZ kecamatan. Baznas
diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri (pasal 10).
Dalam pasal 15 ayat 2, 3 dan 4 dinyatakan bahwa Baznas provinsi dibentuk
oleh menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan Baznas.
Baznas kabupaten/kota dibentuk menteri atau pejabat yang ditunjuk atas
usul bupati/wali kota setelah mendapat pertimbangan Baznas. Dalam
hal gubernur atau bupati/wali kota tidak mengusulkan pembentukan Baznas
provinsi atau Baznas kabupaten/kota, menteri atau pejabat yang ditunjuk
dapat membentuk Baznas provinsi atau kabupaten/kota setelah mendapat
pertimbangan Baznas. Sementara untuk menjangkau pengumpulan zakat
masyarakat untuk level kecamatan, kantor, masjid atau majelis taklim,
Baznas sesuai tingkatannya dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
sebagaimana diatur dalam pasal 16. Dengan adanya pengangkatan pengurus
Baznas provinsi oleh menteri dan gubernur untuk Baznas kabupaten/kota,
diharapkan muncul kemandirian dari badan amil zakat tanpa adanya
intervensi dari pemerintah daerah.
- Hubungan
antarbadan dan lembaga. Dalam UU Nomor 38/1999, hubungan antarbadan dan
lembaga pengelola zakat hanya berifat koordinatif, konsultatif, informatif
(pasal 6). Namun, dalam UU yang baru pasal 29 dinyatakan bahwa hubungan
antara Baznas sangat erat karena tidak hanya bersifat koordinatif,
informatif dan konsultatif, tetapi wajib melaporkan pengelolaan zakat dan
dana lain yang dikelolanya kepada Baznas setingkat di atasnya dan
pemerintah daerah secara berkala. LAZ juga wajib melaporkan pengelolaan
zakat dan dana lain yang dikelolanya kepada Baznas dan pemerintah daerah
secara berkala. Jika LAZ tidak melaporkan pengelolaan dana zakatnya kepada
Baznas dan pemerintah daerah secara berkala, atau jika tidak
mendistribusikan dan mendayagunakan infak, sedekah, dan dana sosial
keagamaan lainnya sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan
peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi dapat dikenakan sanksi
administrasi berupa: peringatan tertulis, penghentian sementara dari
kegiatan; dan/atau, pencabutan izin (pasal 36).
- Akan
ada peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaannya UU Nomor
38/1999 ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor
581/1999 dan diubah dengan KMA Nomor 373/2003. Peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama satu tahun terhitung sejak
diundangkan.
- Adanya
hak amil untuk operasional. Dalam pasal 30-32 secara eksplisit dinyatakan
bahwa untuk operasional Baznas, Baznas provinsi maupun Baznas
kabupaten/kota dibiayai dengan APBN/APBD dan hak amil. Ini memberikan
angin segar dalam operasionalnya karena membutuhkan dana yang tidak
sedikit. Ditambah lagi adanya beberapa tenaga khusus yang sengaja direkrut
untuk sekretariat BAZ. Bagaimana pola pengaturan dana antara APBD dengan
dana hak amil supaya tidak mengganggu perasaan muzakki, apalagi muzakki
yang masih ”muallaf”, tentu kearifan dari pengurus BAZ sangat
diperlukan. Lagi pula, berapakah porsi hak amil yang boleh digunakan
untuk biaya operasional tentu masih menuggu keluarnya PP.
- Adanya
sanksi bagi BAZ atau LAZ yang tidak resmi. Fenomena adanya badan/lembaga
amil zakat di luar ketentuan UU, boleh disebut bukan BAZ atau LAZ resmi.
Mereka mengumpulkan zakat masyarakat, namun tidak jelas penggunaannya.
Tidak dibedakan mana yang sedekah, infak, wakaf dan zakat. Nyaris semua
uang yang terkumpul digunakan untuk pembangunan masjid atau mushala.
Padahal, zakat sejatinya untuk pengentasan kemiskinan. Dalam UU Nomor
23/2011 Pasal 41, telah diatur sanksi bagi mereka yang bertindak sebagai
amil zakat, namun tidak dalam kapasitas sebagai Baznas, LAZ atau UPZ,
diberikan sanksi berupa kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling
banyak Rp 50.000.000. Sanksi ini diharapkan tidak mucul lagi amil
zakat yang tidak resmi, sehingga dana zakat, infak, sedekah dan dana lain masyarakat
dapat terkumpul secara jelas, dan didistribusikan pula secara tepat kepada
sasaran yang sudah ditentukan.
B.
Hubungan
Zakat dan Pajak
Dalam bahasa arab kata pajak
di sebut dengan istilah jizyah berasal dari kata jazaa yang
artinya membalas jasa atau mengganti kerugian terhadap suatu hal atau perbuatan
yang telah dilakukan. mengacu kepada alquran dan terjemah nya susunan yayasan
penyelenggara penterjemah atau pentafsiran alquran, departemen agama republik
indonesia, " jizyah " itu diartikan sebagai pajak kepala yang
dipungut oleh pemerintah islam dari orang-orang nonmuslim sebagai imbalan
(balas jasa) bagi jaminan keamanan atas diri mereka (lihat Alquran, surat at-Taubah
9:29). Di Indonesia yang dikenai wajib pajak itu bukan hanya orang-orang non
islam, tetapi seluruh penduduk, termasuk umat islam yang jumlah nya mayoritas.
Hakekat zakat adalah ibadah
kepada allah SWT. Zakat termasuk kedalam rukun islam. hukum berzakat adalah wajib. Zakat harus dikeluarkan dengan
niat ikhlas karena allah dan sesuai ketentuan syara; sedangkan pajak
adalah iuran wajib kepada negara yang ketika membayarnya tidak diharuskan
berniat sebagaimana zakat.[5]
Tujuan zakat adalah untuk
membersihkan harat dari hak-hak mustahik, khususnya para fakir miskin,
agar memperoleh ridha dan rahmat allah SWT. sedangkan tujuan pajak ialah untuk
menambah pemasukan kas negara dalam rangka menutupi kekurangan anggaran belanja
negara.
Hubungan antara zakat dan
pajak memang ada, karena dalam hal-hal tertentu ada persamaan antara keduanya.
persamaan dimaksud misalnya dalam kemanfaatan sebagian hasil pengumpulan zakat
dan pajak yakni boleh digunakan untuk pembangunan sarana umum, misalnya untuk
pembangunn rumah sakit, gedung-gedung perguruan tinggi, dan pembangunnan jalan
atau jembatan.
C.
Perbedaan
Antara Fungsi Zakat dan Pajak
Zakat memiliki tujuan spiritual
dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuan yang luhur ini tersirat pada
kata zakat itu sendiri yang bermakna suci, tumbuh dan berkah. Pajak tidak
memiliki tujuan luhur seperti zakat. Para ahli keuangan berabad-abad lamanya
menolak adanya tujuan lain pada pajak, selain untuk menghasilkan pembiayaan
(uang) untuk mengisi kas Negara (mazhab yang netral). Setelah timbul kemajuan
berpikir dan terjadi perubahan social politik dan ekonomi, maka madzhab
tersebut menjadi surut (terkalahkan), dan timbullah berbagai pajak sebagai alat
untuk mencapai tujuan ekonomi dan social tertentu, seperti anjuran untuk
berderma, menabung, penghematan biaya, barang-barang mewah atau yang lain.
Tujuan tersebut merupakan tujuan sampingan di luar tujuan utama, yaitu untuk
memenuhi keuangan Negara, namun para perencana perpajakan dan ahli-ahli
keuangan pada umumnya, juga para pakar di bidang itu tidak dapat keluar lebih
jauh dari tujuan-tujuan materi, seperti tujuan spiritual dan moral yang menjadi
tujuan utama zakat.[6]
BAB
III
KESIMPULAN
Dimulainya
sistem demokrasi setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998, UU Zakat
No. 38 Tahun 1998, adalah awal dari terbukanya keterlibatan publik secara aktif.
Peran lembaga zakat, bersama dengan struktur negara telah memfasilitasi
pengaturan zakat dengan lembaga–lembaga khusus yang dilindungi oleh UU. Namun,
UU zakat No. 38 tahun 1998 tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum
dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan UU zakat no. 23 tahun 2011
tentang pengelolaan zakat.
Menurut Wakil
Ketua Komisi VIII DPR, Gondo Radityo Gambiro (F-PD), salah satu dasar
pertimbangan Komisi VIII DPR mengajukan usul perubahan UU No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dengan alasan UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat merupakan salah satu kemajuan dalam penerapan prinsip-prinsip
syariah ke dalam hukum positif. Namun demikian, lanjutnya, pelaksanaan UU No. 38
Tahun 1999 dirasakan masih belum optimal untuk mengakomodir penyelenggaraan
kewajiban zakat dalam sistem yang profesional.
Ada beberapa
pokok yang diajukan dalam revisi UU No. 38 tahun 1999 yaitu tata kelola zakat,
sanksi mangkir zakat, dan persoalan wajib zakat dan pajak karena diperlukan
kejelasan tentang peran pengatur, pengawas, dan operator.
Hubungan antara zakat dan
pajak memang ada, karena dalam hal-hal tertentu ada persamaan antara keduanya.
persamaan dimaksud misalnya dalam kemanfaatan sebagian hasil pengumpulan zakat
dan pajak yakni boleh digunakan untuk pembangunan sarana umum, misalnya untuk
pembangunn rumah sakit, gedung-gedung perguruan tinggi, dan pembangunnan jalan
atau jembatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. Nuruddin 2006. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta. Rajawali
Press.
Anonimus, Keputusan Hasil Rumusan Rapat Kerja Badan
Amil Zakat Infak dan (BA ZAKAT)
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Tahun1996/1997. 1996
UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Syahatah, Husayn. 2004. Akuntansi Zakat:Panduan praktis
Penghitungan Zakat Kontemporer. Jakarta. Pustaka Progressif.
[1] Anonimus, Keputusan Hasil Rumusan Rapat
Kerja Badan Amil Zakat Infak dan (BA
ZAKAT) Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Tahun1996/1997. 1996
[2] UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat.
[3] UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat
[5] Husayn Syahatah, Akuntansi
Zakat:Panduan praktis Penghitungan Zakat Kontemporer, (Jakarta: Pustaka
Progressif, 2004), h. 23-25
[6] M. Nuruddin Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Rajawali
Press, 2006), h. 67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar