Senin, 30 September 2019

REGULASI MANAJEMEN ZAKAT




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik material dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatnya akhlak mulia, terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
Agar sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, perlu adanya undang-undang tentang pengelolaan zakat yang berasaskan keimanan dan takwa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukum sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatkannya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk:
  1. Memperoleh informasi tentang pengelolaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat dan lembaga amil zakat;
  2. Menyampaikan saran dan pendapat kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat;
  3. Memberikan laporan atas terjadinya penyimpangan pengelolaan zakat.
 Zakat terbagi atas dua jenis yakni 

1. Zakat Fitrah, zakat yang wajib dikeluarkan Muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram/3,5 liter makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.

2. Zakat Maal (Zakat Harta), mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
Undang-undang tentang Pengelolaan zakat juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan agar menjadi pedoman bagi muzzaki dan mustahiq, baik perorangan maupun badan hukum dan/atau badan usaha
Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri atas ulama , kaum cendekia, masyarakat, dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap pengelola
Dengan dibentukknya Udang-undang tentang Pengelolaan Zakat , diharapkan dapat ditngkatkan kesadaran muzzaki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka menyucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya keprofesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana ketentuan zakat menurut Undang-undang ?
2.      Bagaimana perjalanan rancangan UU No. 38/1999 menjadi UU No. 23/2011?
3.      Bagaimana hubungan zakat dengan pajak?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui ketentuan zakat menurut Undang-undang.
2.      Untuk mengetahui perjalanan rancangan UU No. 38/1999 menjadi UU No. 23/2011.
3.      Untuk mengetahui hubungan zakat dengan pajak.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Dibentuknya UU No. 23 Tahun 2011 dan Implikasi terhadap LAZ
Pengelolaan zakat pada masa penjajahan dan kemerdekaan memberikan gambaran buram akan fungsi zakat di Indonesia. Antara komunitas muslim dengan hasil zakat tidak memberikan gambaran seimbang. Pada masa orde baru, kekhawatiran terhadap Islam ideologis memaksa pemerintah untuk tidak terlibat dalam urusan zakat. Bahkan secara struktural, pemerintah tidak secara tegas memberikan dukungan secara legal formal. Zakat sering dikumpulkan masih dengan cara konvensional dan musiman. Namun dimulainya sistem demokrasi setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998, UU Zakat No. 38 Tahun 1998, adalah awal dari terbukanya keterlibatan publik secara aktif. Peran lembaga zakat, bersama dengan struktur negara telah memfasilitasi pengaturan zakat dengan lembaga–lembaga khusus yang dilindungi oleh UU. Namun, UU zakat No. 38 tahun 1998 tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan UU zakat no. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.[1]
Namun lahirnya UU Zakat No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat belum menjawab permasalahan pengelolaan zakat karena UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat hanya penambahan pasal – pasal dari UU no. 38/1999 yaitu :
1.      Terdapat penambahan ayat, penjabaran definisi yang terkait dengan pengelolaan zakat.
2.      Pasal 5 ayat (1), untuk melaksanakan pengelolaan zakat, pemerintah membentuk BAZNAS.
3.      Pasal 7 ayat (1), dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi:
a)      Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b)      Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,dan pendayagunaan zakat;
c)      Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
d)     Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
4.      Pasal 17, untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
5.      Pasal 18, penjelasan mengenai: Ayat 1, pembentukan  LAZ  wajib  mendapat  izin  Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. Ayat 2, izin  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  hanya diberikan  apabila  memenuhi  persyaratan  paling sedikit
a)      Terdaftar  sebagai  organisasi  kemasyarakatan Islam  yang  mengelola  bidang  pendidikan, dakwah, dan sosial;
b)      Berbentuk lembaga berbadan hukum;
c)      Mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d)     Memiliki pengawas syariat;
e)      Memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f)       Bersifat nirlaba;
g)      Memiliki  program  untuk  mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h)      Bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan secara berkala.
6.      Pasal 38, setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
7.      Pasal 41, setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).[2]

A.    Perjalanan Rancangan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Menjadi Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 
Hadirnya undang-undang di atas memberikan spirit baru. Pengelolaan zakat sudah harus ditangani oleh Negara seperti yang pernah dipraktekkan pada masa awal Islam. Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh negara, dan pemerintah bertindak sebagai wakil dari golongan fakir miskin untuk memperoleh hak mereka yang ada pada harta orang-orang kaya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada Mu‘adz ibn Jabal bahwa penguasalah yang berwenang mengelola zakat. Baik secara langsung maupun melalui perwakilannya, pemerintah bertugas mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat.
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Gondo Radityo Gambiro (F-PD), salah satu dasar pertimbangan Komisi VIII DPR mengajukan usul perubahan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan alasan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat merupakan salah satu kemajuan dalam penerapan prinsip-prinsip syariah ke dalam hukum positif. Namun demikian, lanjutnya, pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 dirasakan masih belum optimal untuk mengakomodir penyelenggaraan kewajiban zakat dalam sistem yang profesional. Karenanya undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti agar kebijakan pengelolaan zakat dapat dilakukan secara terarah, terpadu, dan terkoordinasi dengan baik serta disesuaikan dengan kebutuhan saat ini (JDIH).
Ada beberapa pokok yang diajukan dalam revisi UU No. 38 tahun 1999 yaitu tata kelola zakat, sanksi mangkir zakat, dan persoalan wajib zakat dan pajak karena diperlukan kejelasan tentang peran pengatur, pengawas, dan operator. Sehingga ditetapkan di Jakarta oleh Menteri Agama RI Prof. DR. H. Said Agil Husin Al Munawar, MA pada tanggal 18 Juli 2003 mencabut Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Menurut Yusuf Wibisono sebagai ahli pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, amandemen UU 38/1999 sudah dimulai di DPR pada periode 2004-2009. Pada tahun 1999 UU 38/1999 sudah masuk di RUU Prioritas Tahun 1999 tapi gagal diselesaikan. Sejak awal proses amandemen, ada dua draft yang secara umum bertolak belakang, yaitu draft RUU dari masyarakat sipil dan draft RUU dari pemerintah.
Pada awal Maret 2010 DPR menyelesaikan RUU Pengelolaan Zakat. RUU yang dibuat oleh DPR cenderung mengakomodir masyarakat sipil. Kemudian RUU diajukan ke pemerintah untuk dimintakan DIM (Daftar Isian Masalah). DIM dari pemerintah baru muncul di awal tahun 2011. Dua draft yang bertolak belakang dibahas di DPR pada pertengahan 2011. Masa sidang keempat DPR pada pertengahan 2011 berlangsung singkat, yakni tiga bulan, akhirnya amandemen UU no 38 1999 tentang pengelolaan zakat selesai. Akhir tahun 2011 lalu, DPR RI mensahkan UU hasil amandemen yang kemudian diberi nomor UU nomor 23 tahun 2011. Akhirnya UU  no 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat disahkan di Jakarta pada tanggal  25 November 2011 oleh Presiden Republik Indonesia, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan di Jakarta pada tanggal  25 November 2011 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.[3]
Sebelas tahun berjalan, berbagai pihak merasakan kelemahan dari UU No 38/1999 dari beberapa sisi sehingga menimbulkan semangat yang kuat untuk melakukan revisi UU tersebut. Alhamdulillah, pada 25 November 2011 telah disahkan UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang baru. Beberapa kemajuan isi UU Nomor 23/2011 dibandingkan dengan UU Nomor 38/1999 antara lain sebagai berikut:[4]
  1. Badan/Lembaga Pengelola Zakat, Pengelola zakat dalam UU yang baru adalah Baznas, Baznas provinsi dan Baznas kabupaten/kota, tidak ada lagi BAZ kecamatan. Baznas diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri (pasal 10). Dalam pasal 15 ayat 2, 3 dan 4 dinyatakan bahwa Baznas provinsi dibentuk oleh menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan Baznas. Baznas kabupaten/kota dibentuk menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/wali kota setelah mendapat pertimbangan Baznas.  Dalam hal gubernur atau bupati/wali kota tidak mengusulkan pembentukan Baznas provinsi atau Baznas kabupaten/kota, menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat membentuk Baznas provinsi atau kabupaten/kota setelah mendapat pertimbangan Baznas. Sementara untuk menjangkau pengumpulan zakat masyarakat untuk level kecamatan, kantor, masjid atau majelis taklim, Baznas sesuai tingkatannya dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sebagaimana diatur dalam pasal 16. Dengan adanya pengangkatan pengurus Baznas provinsi oleh menteri dan gubernur untuk Baznas kabupaten/kota, diharapkan muncul kemandirian dari badan amil zakat tanpa adanya intervensi dari pemerintah daerah.
  2. Hubungan antarbadan dan lembaga. Dalam UU Nomor 38/1999, hubungan antarbadan dan lembaga pengelola zakat hanya berifat koordinatif, konsultatif, informatif (pasal 6). Namun, dalam UU yang baru pasal 29 dinyatakan bahwa hubungan antara Baznas sangat erat karena tidak hanya bersifat koordinatif, informatif dan konsultatif, tetapi wajib melaporkan pengelolaan zakat dan dana lain yang dikelolanya kepada Baznas setingkat di atasnya dan pemerintah daerah secara berkala. LAZ juga wajib melaporkan pengelolaan zakat dan dana lain yang dikelolanya kepada Baznas dan pemerintah daerah secara berkala. Jika LAZ tidak melaporkan pengelolaan dana zakatnya kepada Baznas dan pemerintah daerah secara berkala, atau jika tidak mendistribusikan dan mendayagunakan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi dapat dikenakan sanksi administrasi berupa: peringatan tertulis, penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau, pencabutan izin (pasal 36).
  3. Akan ada peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaannya UU Nomor 38/1999 ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581/1999 dan diubah dengan KMA Nomor 373/2003. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama satu tahun terhitung sejak diundangkan.
  4. Adanya hak amil untuk operasional. Dalam pasal 30-32 secara eksplisit dinyatakan bahwa untuk operasional Baznas, Baznas provinsi maupun Baznas kabupaten/kota dibiayai dengan APBN/APBD dan hak amil. Ini memberikan angin segar dalam operasionalnya karena membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ditambah lagi adanya beberapa tenaga khusus yang sengaja direkrut untuk sekretariat BAZ. Bagaimana pola pengaturan dana antara APBD dengan dana hak amil supaya tidak mengganggu perasaan muzakki, apalagi muzakki yang masih ”muallaf”, tentu kearifan dari pengurus BAZ sangat diperlukan.  Lagi pula, berapakah porsi hak amil yang boleh digunakan untuk biaya operasional tentu masih menuggu keluarnya PP.
  5. Adanya sanksi bagi BAZ atau LAZ yang tidak resmi. Fenomena adanya badan/lembaga amil zakat di luar ketentuan UU, boleh disebut bukan BAZ atau LAZ resmi. Mereka mengumpulkan zakat masyarakat, namun tidak jelas penggunaannya. Tidak dibedakan mana yang sedekah, infak, wakaf dan zakat. Nyaris semua uang yang terkumpul digunakan untuk pembangunan masjid atau mushala. Padahal, zakat sejatinya untuk pengentasan kemiskinan. Dalam UU Nomor 23/2011 Pasal 41, telah diatur sanksi bagi mereka yang bertindak sebagai amil zakat, namun tidak dalam kapasitas sebagai Baznas, LAZ atau UPZ, diberikan sanksi berupa kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000.  Sanksi ini diharapkan tidak mucul lagi amil zakat yang tidak resmi, sehingga dana zakat, infak, sedekah dan dana lain masyarakat dapat terkumpul secara jelas, dan didistribusikan pula secara tepat kepada sasaran yang sudah ditentukan.
B.     Hubungan Zakat dan Pajak
Dalam bahasa arab kata pajak di sebut dengan istilah jizyah berasal dari kata jazaa yang artinya membalas jasa atau mengganti kerugian terhadap suatu hal atau perbuatan yang telah dilakukan. mengacu kepada alquran dan terjemah nya susunan yayasan penyelenggara penterjemah atau pentafsiran alquran, departemen agama republik indonesia, " jizyah " itu diartikan sebagai pajak kepala yang dipungut oleh pemerintah islam dari orang-orang nonmuslim sebagai imbalan (balas jasa) bagi jaminan keamanan atas diri mereka (lihat Alquran, surat at-Taubah 9:29). Di Indonesia yang dikenai wajib pajak itu bukan hanya orang-orang non islam, tetapi seluruh penduduk, termasuk umat islam yang jumlah nya mayoritas.
Hakekat zakat adalah ibadah kepada allah SWT. Zakat termasuk kedalam rukun islam. hukum berzakat adalah wajib. Zakat harus dikeluarkan dengan niat ikhlas karena allah dan sesuai ketentuan syara; sedangkan pajak adalah iuran wajib kepada negara yang ketika membayarnya tidak diharuskan berniat sebagaimana zakat.[5]
Tujuan zakat adalah untuk membersihkan harat dari hak-hak mustahik, khususnya para fakir miskin, agar memperoleh ridha dan rahmat allah SWT. sedangkan tujuan pajak ialah untuk menambah pemasukan kas negara dalam rangka menutupi kekurangan anggaran belanja negara.
Hubungan antara zakat dan pajak memang ada, karena dalam hal-hal tertentu ada persamaan antara keduanya. persamaan dimaksud misalnya dalam kemanfaatan sebagian hasil pengumpulan zakat dan pajak yakni boleh digunakan untuk pembangunan sarana umum, misalnya untuk pembangunn rumah sakit, gedung-gedung perguruan tinggi, dan pembangunnan jalan atau jembatan.

C.    Perbedaan Antara Fungsi Zakat dan Pajak
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuan yang luhur ini tersirat pada kata zakat itu sendiri yang bermakna suci, tumbuh dan berkah. Pajak tidak memiliki tujuan luhur seperti zakat. Para ahli keuangan berabad-abad lamanya menolak adanya tujuan lain pada pajak, selain untuk menghasilkan pembiayaan (uang) untuk mengisi kas Negara (mazhab yang netral). Setelah timbul kemajuan berpikir dan terjadi perubahan social politik dan ekonomi, maka madzhab tersebut menjadi surut (terkalahkan), dan timbullah berbagai pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan social tertentu, seperti anjuran untuk berderma, menabung, penghematan biaya, barang-barang mewah atau yang lain. Tujuan tersebut merupakan tujuan sampingan di luar tujuan utama, yaitu untuk memenuhi keuangan Negara, namun para perencana perpajakan dan ahli-ahli keuangan pada umumnya, juga para pakar di bidang itu tidak dapat keluar lebih jauh dari tujuan-tujuan materi, seperti tujuan spiritual dan moral yang menjadi tujuan utama zakat.[6]














BAB III
KESIMPULAN

Dimulainya sistem demokrasi setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998, UU Zakat No. 38 Tahun 1998, adalah awal dari terbukanya keterlibatan publik secara aktif. Peran lembaga zakat, bersama dengan struktur negara telah memfasilitasi pengaturan zakat dengan lembaga–lembaga khusus yang dilindungi oleh UU. Namun, UU zakat No. 38 tahun 1998 tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan UU zakat no. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Gondo Radityo Gambiro (F-PD), salah satu dasar pertimbangan Komisi VIII DPR mengajukan usul perubahan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan alasan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat merupakan salah satu kemajuan dalam penerapan prinsip-prinsip syariah ke dalam hukum positif. Namun demikian, lanjutnya, pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 dirasakan masih belum optimal untuk mengakomodir penyelenggaraan kewajiban zakat dalam sistem yang profesional.
Ada beberapa pokok yang diajukan dalam revisi UU No. 38 tahun 1999 yaitu tata kelola zakat, sanksi mangkir zakat, dan persoalan wajib zakat dan pajak karena diperlukan kejelasan tentang peran pengatur, pengawas, dan operator.
Hubungan antara zakat dan pajak memang ada, karena dalam hal-hal tertentu ada persamaan antara keduanya. persamaan dimaksud misalnya dalam kemanfaatan sebagian hasil pengumpulan zakat dan pajak yakni boleh digunakan untuk pembangunan sarana umum, misalnya untuk pembangunn rumah sakit, gedung-gedung perguruan tinggi, dan pembangunnan jalan atau jembatan.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. Nuruddin 2006. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta. Rajawali Press.
Anonimus, Keputusan Hasil Rumusan Rapat Kerja Badan Amil Zakat Infak dan   (BA ZAKAT) Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Tahun1996/1997. 1996
UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Syahatah, Husayn. 2004. Akuntansi Zakat:Panduan praktis Penghitungan Zakat Kontemporer. Jakarta. Pustaka Progressif.



[1] Anonimus, Keputusan Hasil Rumusan Rapat Kerja Badan Amil Zakat Infak dan   (BA ZAKAT) Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Tahun1996/1997. 1996
[2] UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
[3] UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan  Zakat
[5] Husayn Syahatah, Akuntansi Zakat:Panduan praktis Penghitungan Zakat Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Progressif, 2004), h. 23-25
[6] M. Nuruddin Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 67. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar