Senin, 30 September 2019

MASALAH DAN SOLUSI DALAM MANAJEMEN ZAKAT DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Zakat merupakan ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang mempunyai status dan fungsi yang sangat penting dalam syariat Islam. Sebagai suatu upaya menumbuhkan empati dan mempersamakan rasa pada setiap individu sesama muslim. Adapun zakat mempunyai dua fungsi, pertama adalah untuk membersihkan harta benda dan jiwa manusia supaya senantiasa dalam keadaan fitrah. Kedua, zakat itu juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna mengurangi kemiskinan.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga memiliki potensi zakat yang cukup besar. Kondisi ini memiliki keuntungan tersendiri bagi proses pembangunan menuju masyarakat muslim sejahtera melalui pemanfaatan zakat. Ditambah lagi potensi zakat ini akan semakin bertambah dari tahun ke tahun seiring semakin meningkatnya kesadaran umat Islam di Indonesia untuk membayar zakat, infaq dan shodaqoh, karena saat ini membayar zakat, dan berinfaq telah menjadi life style bagi umat Islam di Indonesia sejak maraknya kajian-kajian tentang keajaiban dan keutamaan berzakat dan berinfaq. Kondisi besarnya potensi zakat tersebut mendorong tumbuh dan berkembangnya organisasi pengelola zakat di Indonesia, baik dikelola oleh masyarakat maupun pemerintah.
Pertumbuhan dan perkembangan organisasi zakat serta potensi zakat di Indonesia ternyata tidak terlepas dari masalah-masalah yang dalam manajemen zakat di Indonesia. Berbagai masalah tersebut disinyalir menjadi penghalang mengapa potensi zakat di Indonesia yang sangat besar tersebut belum terkelola dengan baik dan optimal sehingga berdampak pada kinerja organisasi pengelola zakat.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai masalah dan solusi dalam manajemen zakat di Indonesia. Hal ini  bertujuan untuk mencari strategi terbaik bagi pengembangan organisasi pengelola zakat. Pilihan strategi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengelola zakat dalam mengembangkan organisasinya masing-masing. Sehingga potensi zakat di Indonesia yang sangat besar ini dapat terkelola dengan baik.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa sajakah permasalahan dalam manajemen zakat di Indonesia ?
2.    Bagaimana solusi untuk permasalahan manajemen zakat tersebut?

C.    Tujuan
1.    Mengetahui permasalahan dalam manajemen zakat di Indonesia.
2.    Menemukan solusi untuk permasalahan manajemen zakat di Indonesia.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Zakat Dalam Islam
Secara umum, zakat dapat dirumuskan sebagai bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu adalah Nishab (jumlah minimum harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya), Haul (jangka waktu yang ditentukan bila seseorang wajib mengeluarkan zakat) harta, dan kadarnya (ukuran besarnya zakat yang harus dikeluarkan).[1]
Zakat sebagai salah satu komponen sistem ekonomi Islam harus dapat dioptimalkan dengan melihat potensi yang begitu besar dari pengelolaan zakat, apabila kita mampu mengelola zakat dengan baik dan profesional hal tersebut juga berimplikasi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia dan tujuan menyejahterakan rakyat akan tercapai. Namun banyak kendala-kendala yang dihadapi serta membutuhkan solusi yang cermat.

B.     Permasalahan Dalam Manajemen Zakat Di Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia sehingga memiliki potensi zakat yang cukup besar. Pertumbuhan dan perkembangan organisasi zakat serta potensi zakat di Indonesia ternyata tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Terlepas dari kontroversi kevalidan data tentang kemiskinan, angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, kalaupun terjadi penurunan angka kemiskinan maka laju peningkatan penerimaan dana ziswaf (zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf) tidak sebanding dengan laju penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Semakin banyak LAZ/BAZ di Indonesia ternyata angka kemiskinan di Indonesia juga tidak turun secara signifikan. Kondisi ini menyiratkan adanya suatu masalah besar atas pengelolaan zakat di Indonesia, yaitu adanya ketidakefektifan pengelolaan zakat di Indonesia.
Pengelolaan zakat di Indonesia belum dilakukan secara professional sehingga pengumpulan dan penyaluran zakat menjadi kurang terarah, disamping masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap permasalahan zakat terutama masalah yang aktual dan kontemporer. Hingga saat ini, pengelolaan zakat di Indonesia masih jauh dari optimal terutama apabila kita membandingkan antara besarnya dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh para lembaga pengelola zakat dan potensi zakat yang sesungguhnya. Terdapatbeberapamasalahdalamhalpengelolaan zakat di Indonesia sehinggaberimplikasitidakmaksimalnya proses pengelolaan, pengumpulanhinggapenyaluran zakat. Berikutiniadalahmasalah-masalah dalam manajemen zakat di Indonesia antara lain[2]:
1.      Kesadaran Umat Islam untuk Mengeluarkan ZIS Masih Terbilang Rendah
Masih minimnya kesadaran membayar zakat dari masyarakat menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan dana zakat agar dapat berdayaguna dalam perekonomian. Karena sudah melekat dalam benak sebagian kaum muslim bahwa perintah zakat itu hanya diwajibkan pada bulan Ramadhan saja itupun masih terbatas pada pembayaran zakat fitrah. Padahal zakat bukanlah sekedar ibadah yang diterapkan pada bulan Ramadhan semata, melainkan juga dapat dibayarkan pada bulan-bulan selain Ramadhan. Sehingga ide dasar zakat untuk kemaslahatan umat telah bergeser menjadi sekedar ibadah ritual semata yang dikerjakan bersamaan dengan ibadah puasa. Terdapatnya syarat haul (satu tahun kepemilikan) menandakan bahwasanya zakat tersebut tidak mengenal pembayaran pada satu bulan tertentu saja, melainkan setiap bulan zakat dapat dibayarkan. Apabila kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat sudah semakin baik, hal ini akan berimbas pada peningkatan penerimaan zakat.

2.      Minimnya Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
Pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup atau profesi dari seseorang, bahkan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para pemuda ini meskipun dari lulusan ekonomi syariah lebih memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti perbankan atau asuransi, akan tetapi hanya sedikit orang yang memilih untuk berkarir menjadi seorang pengelola zakat. Menjadi seorang amil belumlah menjadi pilihan hidup dari para pemuda kita, karena tidak ada daya tarik berkarir di sana. Padahal lembaga amil membutuhkan banyak sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional, amanah, akuntabel dan transparan. Karena sesungguhnya kerja menjadi seorang amil mempunyai dua aspek tidak hanya aspek materi semata namun aspek sosial juga sangat menonjol. Ada beberapa kriteria pengelola zakat agar mampu menjadi suatu lembaga zakat yang profesional, yaitu
(1) Amanah;
(2) Manajerial Skills;
(3) Ikhlas;
(4) Leadership Skills;
(5) Inovatif;
(6) No profit Motives
3.      Pemahaman Fikih Amil yang Belum Memadai
Masih minimnya pemahaman fikih zakat dari para amil masih menjadi salah satu hambatan dalam pengelolaan zakat. Sehingga menjadikan fikih hanya dimengerti dari segi tekstual semata bukan konteksnya. Banyak para amil terutama yang masih bersifat tradisional, mereka sangat kaku memahami fiqih, sehingga tujuan utama zakat tidak tercapai. Sebenarnya dalam penerapan zakat di masyarakat yang harus diambil adalah ide dasarnya, yaitu bermanfaat dan berguna bagi masyarakat serta dapat memberikan kemaslahatan bagi umat dan mampu menjadikan mustahik tersebut pribadi yang mandiri dan tidak tergantung oleh pihak lain. Namun bukan berarti para amil diberikan kesempatan untuk berijtihad dan berkreasi tanpa batas, mereka tetap harus berusaha melakukan terobosan-terobosan baik pengelolaan zakat, agar tetap sesuai dengan syariah. Sistem pengawasan yang terdapat di semua institusi keuangan syariah termasuk di dalamnya institusi pengelola zakat, mewajibkan adanya unsur Dewan Pengawas Syariah di dalam struktur organisasinya yang berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan manajemen agar tidak menyimpang dari aturan syariat.
4.      Masalah Yuridis
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat pasal 16 ayat 2 dan pasal 17 telah mengamanatkan pendayagunaan dana zakat, infaq dan shadaqah secara produktif. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam pasal 28-30 KMA Nomor: 581 Tahun 1999 tentang pendayagunaan infaq dan shadaqah. Namun dalam perjalanannya peraturan perundang-undangan tersebut memiliki beberapa permasalahan yang signifikan. Permasalahan yang paling urgen adalah kepastian hukum secara materiil yang terdapat pada Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Permasalahan ini menyebabkan berkurangnya kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat. Selain itu peraturan yang tidak komprehensif menyebabkan para amil zakat tidak bisa menjadikan undang-undang ini sebagai dasar pengelolaan zakat.
Permasalahan lainnya adalah adanya keraguan dari sebagian masyarakat kepada amil zakat dalam mengimplementasikan pasal 16 ayat 1 tentang zakat produktif dengan tujuan untuk meningkatkan industri kecil dan mikro. Keraguan ini timbul karena belum adanya mekanisme dan tata cara yang jelas dalam peraturan perundang-undangan zakat.
Secara yuridis Undang-udanga Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat belum memberikan kepastian hukum. Hal ini berakibat kurangnya kesadaran nmasyarkat untuk menunaikan zakat, infaq dan shadaqah. Sehingga pengumpulan zakat pun tidak optimal yang akhirnya berujung kurangnya pemanfaatan dana untuk peningkatan industri kecil dan mikro. Belum adanya kepastian hukum pada undang-undang ini dilihat dengan banyaknya pasal yang tidak komprehensif, bersifat umum dan penuh dengan kerancuan.[3]

5.      Masalah Sosiologis
Masalah Sosiologis yakni masalah yang berkaitan dengan sikap atau tingkah laku manusia, dan keadaan individu dalam segi ekonomi kesehariannya dalam pelaksanaan zakat fitrah. Dari sisi sosiologis banyak masyarakatyang masih keliruakanformalitas zakat. Artinya, zakat hanyadianggapsebagaikewajibannormatif, tanpamemperhatikanefeknyabagipemberdayaanekonomiumat.Akibatnya, semangatkeadilanekonomidalamimplementasi zakat menjadihilang.Orientasi zakat tidakdiarahkanpadapemberdayaanekonomimasyarakat, tapilebihkarenaiamerupakankewajibandariTuhan. Bahkan, tidaksedikitmuzakki yang mengeluarkan zakat disertaimaksuduntukmenyucikanhartaatausupayahartanyabertambah (berkah).Iniartinya, muzakkimembayarkan zakat untukkepentingansubyektivitasnyasendiri.Memangtidaksalah, tapisecaratidaklangsung, substansidariperintah zakat sertaefeknyabagiperekonomianmasyarakatmenjaditerabaikan.

6.      Sistem Informasi Zakat
Inilah salah satu hambatan utama yang menyebabkan zakat belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam perekonomian. Lembaga amil zakat yang ada belum mampu mempunyai atau menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpadu antar amil. Sehingga para lembaga amil zakat ini saling terintegrasi satu dengan lainnya. Sebagai contoh penerapan ini adalah pada database muzakki dan mustahik. Dengan adanya sistem informasi ini tidak akan terjadi pada muzakki yang sama didekati oleh beberapa lembaga amil, atau mustahik yang sama diberi bantuan oleh beberapa lembaga amil zakat. Namun bukan berarti dengan adanya sistem informasi zakat ini, maka tidak ada lagi
7.      Masyarakat yang Mengeluarkan Zakat (Muzakki) Lebih Memilih dan Fokus Kepada “Orang” dan Bukan pada “Lembaga”.
Sehingga kurang tertatanya pendayagunaan zakat dan beberapa efek negatif lain seperti: hanya menampilkan parade kemiskinan, tidakmemberdayakan, tidakmendidik, menghasilkanketergantungan, salahsasaranhinggasalahkelola. Inimenandakanbahwatingkatkepercayaanmasyarakatterhadaporganisasipengelola zakat masihterhitungrendah.

C.    Solusi Dalam Manajemen Zakat Di Indonesia
Zakat sebagai salah satu komponen sistem ekonomi islam harus dapat dioptimalkan dengan melihat potensi yang begitu besar dari pengelolaan zakat, apabila kita mampu mengelola zakat dengan baik dan profesional hal tersebut juga berimplikasi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia dan tujuan menyejahterakan rakyat akan tercapai. Permasalahan-permasalahan yang ada dalam manajemen zakat di Indonesia harus dipecahkan secara bersama-sama oleh setiap elemen dalam pengelolaan zakat, sebab tanpa kerjasama aktif antar institusi baik dari swasta maupun pemerintah hambatan-hambatan ini tidaklah akan dapat terwujud. Adapun solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah dalam manajemen zakat di Indonesia antara lain :
1.      Peningkatan Pemahaman Masyarakat tentang Zakat
Dalam masyarakat zakat hanya dipahami sebatas ibadah bagi muslim kaya (mampu) yang mendistribusikan sebagian hartanya yang telah mencapai nishab kepada kaum muslim yang miskin, sehingga pendistribusian zakat pun masih sebatas pemahaman tentang penerima zakat dalam pandangan wajib zakat (muzakki) belum terlembagakan. Oleh karenanya, BAZ yang dibentuk oleh pemerintah kurang mendapat kurang mendapat respon dari masyarakat. Padahal tujuan adanya zakat ini adalah untuk menjadikan mustahiq (penerima zakat) menjadi Muzakki (wajib zakat) melalui penyaluran dana yang bersifat permodalan bukan penyaluran dana yang bersifat konsumtif seperti yang ada selama ini.

Untuk mengubah pemahaman masyarakat di atas, maka diperlukan kerja keras dari pemerintah sebagai regulator dalam pengelolaan zakat dan sebagai pelaksana dalam pengelolaan zakat. Adapun upaya-upaya yang perlu dilakukan disamping dengan metode dakwah kontemporer,seperti diskusi, wawancara, khutbah Jumat, iklan layanan dimedia cetak dan elektronik, juga diupayakan melalui kurikulum sekolah, baik ditingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi yang menjadi sasaran selanjutnya. Dengan asumsi bahwa pemahaman yang baik tentang zakat sejak dini sangat membantu dalam pembentukan jiwa kepedulian sosial dan kesadaran zakat.Kurikulum pendidikan harus lebih realistis dalam pembentukan pemahaman anak terhadap konsep zakat. Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa salah satu kendala pengelolaan zakat adalah pemahaman masyarakat yangkurang baik tentang zakat harta. Untuk itu Departemen Agama seharusnya lebih melakukan penyempurnaan kurikulum pendididkan agama, khususnya tentang konsep zakat agar lebih mengena dalam kehidupan sehari-hari dan dampaknyadalam perekonomian umat.

2.      Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM merupakan asset yang paling berharga.Sehinggapemilihansiapa yang akanmenjadiamil zakat harusdilakukandenganhati-hati. Untukituperludiperhatikanhal-halsebagaiberikut:
a)      MerubahParadigmaAmil Zakat
 Pengelola zakat atau yang lebih dikenal amil zakat masih dipandang sebagai pengelola dana zakat berciri tradisional, dimana zakat dikumpulkan kepada individu atau kelompok organisasi maupun pengurus masjid yang pengelolaannya tidak membutuhkan profesionalitas dan hanya didasarkan pada kerelaan individu dalam meluangkan waktunya untuk mengelola zakat. Paradigma amil zakat yang berkembang hanya sebatas kerelaan individu untuk meluangkan waktunya untuk mengelola zakat. Sehingga substansi pokok dariibadah zakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat belum bisa diwujudkan.

Oleh karena itu diperlukan adanya perubahan paradigma amil zakat sebagai sebuah pekerjaan profesi. Sebagai konsekuensi dari perubahan paradigma tersebut adalah amil zakat harus bersifat profesional (yaitu dengan bekerja purna waktu/full time) yang digaji secara layak sehingga para anggota amil zakat ini dapat mencurahkan segala potensinya untuk mengelola dana zakat dengan lebih baik lagi. Tak kalah penting juga adalah pemahaman dari pengelola zakat itu sendiri, dimana harus adanya pencerahan dalam berpikir bahwa zakat sebagai bentuk ibadah yang bersifat kemasyarakatan membutuhkan transparansi dan akuntabilitas dalam semua kegiatan organisasi. Keprofesionalan sebagai landasan organisasi perlu digalakkan, karena bagaimanapun sebagai LPZ adalah organisasi publik yang menangani dana umat dituntut selalu bersifat jujur, amanah dan profesional. Pengelolaan yang amanah dan profesional ini menjadi jaminan bahwa pengelola zakat mendapat simpati dan kepercayaan dari masyarakat luas. Tanpa hal ini LPZ tidak akan bertahan lama bahkan akan mendapat sorotan negatif dari masyarakat.

b)     Kualifikasi SDM
Jikakitamengacu di jamanRasulullah SAW, yang dipilihdandiangkatsebagaiamil zakat merupakan orang-orang pilihan.Orang yang benar-benarmemenuhikualifikasidan professional.Secaraumumkualifikasi yang harusdimilikiolehamil zakat adalah: muslim, amanah, danpahamfikih zakat. Agar SDM yang menjadiamil zakat dapatmemenuhikualifikasidanprofesional, makadiperlukansuatustandarkualifikasi SDM Amil Zakat.Padaakhirnya, dibutuhkansuatusistemsertifikasidanujikelayakan (fit and proper test) terhadap SDM yang akanberkiprahsebagaiamil zakat.
3.      StandardisasiLembaga OPZ
Selainstandardisasi SDM, diperlukanjugastandardisasilembaga OPZ.Hal inibergunasebagaipetunjukbagisetiappihak yang inginmendirikan OPZ.Tujuannya agar lembaga OPZ inibenar-benarbisaberjalansecarabaikdandapatdipertanggungjawabkan. Agar OPZ dapat berjalan dengan baik makaharusmemilikisistempengelolaan yang baik pula. Unsur-unsur yang harusdiperhatikanadalah:
a)      Memilikisistem, prosedurdanaturan yang jelas,
b)      Manajementerbuka,
c)      Mempunyairencanakerja (activity plan),
d)     MemilikiKomitePenyaluran (lending committee),
e)      Memilikisistemakuntansidanmanajemenkeuangan,
f)       Bersediadiaudit,
g)      Menjunjungtransparansi, dan
h)      Senantiasamelakukanperbaikanterus-menerus (continous improvement).

4.      Menumbuhkan Kepercayaan Masyarakat Terhadap LAZ/BAZ   
Demi menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lenbaga pengelola zakat, dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat mengenai keberadaan Baznas. sehingga masyarakat mengetahui keberadaan dan fungsi lembaga pengelola (penyalur) zakat ini. Selain itu, diperlukan juga dukungan dan peran serta ulama dalam memberikan arahan mengenai penyaluran zakat melalui lembaga yang telah ditetapkan oleh pemerintah agar tepat sasaran.[4]



5.      Pengorganisasian
Disamping apa yang telah dikemukakan di atas, pengorganisasian zakat perlu pula di diatur sebaik-baiknya agar pelaksanaan zakat dapat dikoordinasikan dan diarahkan. Ini perlu untuk memantapkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengelola zakat. Peranan pemerintah diperlukan dalam hal ini, disamping keikutsertaan pemimpin-pemimpin agama. Sistem adminstrasi, penyusunan personalia haus didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen yang sehat agar pelaksanaan zakat dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Supaya organisasi yang megurus zakat dapat berjalan dengan baik, prinsip-prinsip pengorganisasian berikut perlu dilaksanakan:
a.       Penanggung jawab tertinggi seyogyanya pemerintah atau pejabat tetinggi dalam strata pemerintah setempat atau lingkungan tertentu. Unsur-unsur masyarakat Islam perlu diikutsertakan, juga bertanggung jawab.
b.      Pelaksanaannya adalah suatu lembaga tetap dengan pegawai yang bekerja penuh profesional, dibiayai pada permulaan dengan subsidi pemerintah, tang kemudian secara berangsur-angsur oleh dana amal zakat sendiri.
c.       Kebijaksanaan harus dirumuskan secara perencanaan, sumber, pengumpulan pendayagunaan zakat dan sasaran pemanfaatannya untuk suatu waktu tertentu.[5]
d.      Mekanisme pengawasan dilakukan melalui peraturan-peraturan, administrasi, baik ketatausahaan maupun pembukuan.
           
6.      Mengembangkan Inovasi Pemanfaatan Dana Zakat
Saat ini pemanfaatan dana zakat masih banyak untuk program jangka pendek dan bersifat konsumtif. Oleh karena itu, diperlukan inovasi terbaru dalam pendayagunaan zakat. Artinya pemanfaatan dana zakat tidak hanya untuk program jangka pendek dan bersifat konsumtif, tetapi sebagian besar dana zakat perlu dialokasikan untuk program-program jangka panjang dan pemberdayaan masyarakat. Dimana harta atau dana zakat yang diberikan kepada para mustahik tidak dihabiskan akan tetapi dikembangkan dan digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup secara terus-menerus.
Melalui program pemberdayaan, manfaat dana zakat akan dirasakan oleh masyarakat dalam jangka panjang. Zakat produktif diharapkan bisa menjadi alternatif untuk memberdayakan para mustahiq agar dikemudian hari bisa menjadi Muzakki. Contoh konkret pemanfaatan zakat sebagai usaha produktif adalah pemberian modal usaha bergulir, artinya mustahiq dipinjami sejumlah modal dan diharuskan untuk dapat mempertanggungjawabkan penggunaan modal usaha/kerja itu dengan cara mengembalikan dengan mengangsur. Ataupun sesuai kesepakatan bersama.[6]
Adapun solusi manajemen zakat yang perlu dilakukan pemerintah, LAZ, BAZ, dan UPZ adalah sebgai berikut:
1.      Meningkatkan peran pemerintah terhadap lembaga zakat. Dalam artian, pemerintah membawahi semua lembaga amil zakat, mengontrol, mengevaluasi.. Peran pemerintah dalam pengelolaan dana zakat di Indonesia harus sebatas sebagai mediator dan koordinator bagi organisasi pengelola zakat di Indonesia serta menjadi pengawas atas pengelolaan dana zakat di Indonesia. Sehingga tanggung jawab pemerintah hanya mengkoordinasi, mengkomunikasikan, dan melakukan mapping potensi zakat serta program pemberdayaan zakat agar sinergi dengan program-program pembangunan pemerintah untuk pengurangan kemiskinan, dan menjalankan fungsi pengawasan.
2.      LAZ dan BAZ harus fokus. Artinya lembaga zakat yang sangat banyak, harus difokuskan kepada daerah-daerah tertentu. LAZ atau BAZ, mendistribusikan dana zakat yang bersifat jangka panjang, misalnya memberikan pelatihan wirausaha di desa, memberikan pinjaman modal dan dikontrol perkembangannya sampai perekonomian desa tersebut benar-benar meningkat. Meskipun uang pinjaman yang diberikan telah dikembalikan semua.
3.      Pemerintah, LAZ dan BAZ bersinergi mendirikanPerusahaan. Program ini memang lama, namun manfaat mendirikan perusahaan sangat besar bagi masyarakat, diantaranya; membatu masyarakat miskin mendapatkan pekerjaan dan tunjangan yang layak, pendapatan dana LAZ dan BAZ juga akan meningkat, hasil pendatapan dari perusahaan itu sendiri. Dalam artian, dan BAZ dan LAZ akan terus berkembang. Langkah memberik lowongan kerja kepada orang yang berhak menerima zakat akan mewujudkan cita-cita lembaga zakat mustahik menjadimuzakki.[7]












BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Terdapat beberapa masalah dalam hal pengelolaan zakat di Indonesia sehingga berimplikasi tidak maksimalnya proses pengelolaan, pengumpulan hingga penyaluran zakat. Berikutiniadalahmasalah-masalah dalam manajemen zakat di Indonesia antara lain:
1.      Kesadaran Umat Islam Untuk Mengeluarkan ZIS Masih Terbilang Rendah
2.      Minimnya Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas
3.      Pemahaman Fikih Amil Yang Belum Memadai
4.      Masalah Yuridis
5.      Masalah Sosiologis
6.      Model Pendistribusian Dana YangTidakMenyertakanPemetaanEkonomiDan Sosial.
7.      KurangnyaInovasiDi BidangDistribusiDan Pemanfaatan Dana Zakat
8.       Masyarakat Yang Mengeluarkan Zakat (Muzakki) Lebih Memilih Dan Fokus Kepada “Orang” Dan Bukan Pada “Lembaga”.
Adapun solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah dalam manajemen zakat di Indonesia antara lain :
1.      Peningkatan Pemahaman Masyarakat tentang Zakat
2.      Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dengan cara:
a)      MerubahParadigmaAmil Zakat
b)      Kualifikasi SDM
3.      StandardisasiLembaga OPZ
4.      Menumbuhkan Kepercayaan Masyarakat Terhadap LAZ/BAZ
5.      Pengorganisasian
6.      Optimalisasi peran pemerintah dalam kelembagaan Zakat
7.      Mengembangkan Inovasi Pemanfaatan Dana Zakat

DAFTAR PUSTAKA

Mohamad daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia,(Jakarta: RajaGrafindo Persada,1995)
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Waqaf, (Jakarta: UI Press, 1998)
Abidin, Hamid, Reinterpretasi pendayagunaan ZIS,(Jakarta :Iramedia, 2004)
Hafidhuddin, Didin, Panduan Praktis ZIS, (Jakarta: Gema Insani,1998)
mengentaskan-kemiskinan/





[1] Mohamad daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia,(Jakarta: RajaGrafindo Persada,1995),Cet.1,h. 241
[2]Alarifs, hambatan pengelolaan zakat di Indonesia. Di akses dari http://alarifs.blogspot.com/2009/02/hambatan-pengelolaan-zakat-di-indonesia.html, Pada tanggal 15 April 2015.
[3]Analisis Yuridis Implementasi Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, diakses dari repository.unej.ac.id, (5 Oktober 2015).
[4]Aam Rusydiana, analsisis Problematika Zakat pada Baznas. Di akses dari http://www.konsultan-anp.com/2014/09/analisis-problematika-zakat-pada-baznas.html. pada tanggal 15 Oktober 2015
[5]Mohammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. (Jakarta: UI Press, 1998). h. 65-66
[6]http://bazgresik.com/mengembangkan-dana-zis-yang-lebih-produktif-untuk-mengentaskan-kemiskinan/
[7]Eva Hany Fanida, Optimalisasi Peran Pemerintah dalam Kelembagaan Zakat. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/164396430/Optimalisasi-Peran-Pemerintah-Dalam-Kelembagaan-Zakat#scribd, pada tanggal 15 Oktober 2015.


REGULASI MANAJEMEN ZAKAT




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik material dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatnya akhlak mulia, terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
Agar sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, perlu adanya undang-undang tentang pengelolaan zakat yang berasaskan keimanan dan takwa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukum sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatkannya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk:
  1. Memperoleh informasi tentang pengelolaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat dan lembaga amil zakat;
  2. Menyampaikan saran dan pendapat kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat;
  3. Memberikan laporan atas terjadinya penyimpangan pengelolaan zakat.
 Zakat terbagi atas dua jenis yakni 

1. Zakat Fitrah, zakat yang wajib dikeluarkan Muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram/3,5 liter makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.

2. Zakat Maal (Zakat Harta), mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
Undang-undang tentang Pengelolaan zakat juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan agar menjadi pedoman bagi muzzaki dan mustahiq, baik perorangan maupun badan hukum dan/atau badan usaha
Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri atas ulama , kaum cendekia, masyarakat, dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap pengelola
Dengan dibentukknya Udang-undang tentang Pengelolaan Zakat , diharapkan dapat ditngkatkan kesadaran muzzaki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka menyucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya keprofesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana ketentuan zakat menurut Undang-undang ?
2.      Bagaimana perjalanan rancangan UU No. 38/1999 menjadi UU No. 23/2011?
3.      Bagaimana hubungan zakat dengan pajak?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui ketentuan zakat menurut Undang-undang.
2.      Untuk mengetahui perjalanan rancangan UU No. 38/1999 menjadi UU No. 23/2011.
3.      Untuk mengetahui hubungan zakat dengan pajak.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Dibentuknya UU No. 23 Tahun 2011 dan Implikasi terhadap LAZ
Pengelolaan zakat pada masa penjajahan dan kemerdekaan memberikan gambaran buram akan fungsi zakat di Indonesia. Antara komunitas muslim dengan hasil zakat tidak memberikan gambaran seimbang. Pada masa orde baru, kekhawatiran terhadap Islam ideologis memaksa pemerintah untuk tidak terlibat dalam urusan zakat. Bahkan secara struktural, pemerintah tidak secara tegas memberikan dukungan secara legal formal. Zakat sering dikumpulkan masih dengan cara konvensional dan musiman. Namun dimulainya sistem demokrasi setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998, UU Zakat No. 38 Tahun 1998, adalah awal dari terbukanya keterlibatan publik secara aktif. Peran lembaga zakat, bersama dengan struktur negara telah memfasilitasi pengaturan zakat dengan lembaga–lembaga khusus yang dilindungi oleh UU. Namun, UU zakat No. 38 tahun 1998 tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan UU zakat no. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.[1]
Namun lahirnya UU Zakat No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat belum menjawab permasalahan pengelolaan zakat karena UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat hanya penambahan pasal – pasal dari UU no. 38/1999 yaitu :
1.      Terdapat penambahan ayat, penjabaran definisi yang terkait dengan pengelolaan zakat.
2.      Pasal 5 ayat (1), untuk melaksanakan pengelolaan zakat, pemerintah membentuk BAZNAS.
3.      Pasal 7 ayat (1), dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi:
a)      Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b)      Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,dan pendayagunaan zakat;
c)      Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
d)     Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
4.      Pasal 17, untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
5.      Pasal 18, penjelasan mengenai: Ayat 1, pembentukan  LAZ  wajib  mendapat  izin  Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. Ayat 2, izin  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  hanya diberikan  apabila  memenuhi  persyaratan  paling sedikit
a)      Terdaftar  sebagai  organisasi  kemasyarakatan Islam  yang  mengelola  bidang  pendidikan, dakwah, dan sosial;
b)      Berbentuk lembaga berbadan hukum;
c)      Mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d)     Memiliki pengawas syariat;
e)      Memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f)       Bersifat nirlaba;
g)      Memiliki  program  untuk  mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h)      Bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan secara berkala.
6.      Pasal 38, setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
7.      Pasal 41, setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).[2]

A.    Perjalanan Rancangan Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Menjadi Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 
Hadirnya undang-undang di atas memberikan spirit baru. Pengelolaan zakat sudah harus ditangani oleh Negara seperti yang pernah dipraktekkan pada masa awal Islam. Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh negara, dan pemerintah bertindak sebagai wakil dari golongan fakir miskin untuk memperoleh hak mereka yang ada pada harta orang-orang kaya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada Mu‘adz ibn Jabal bahwa penguasalah yang berwenang mengelola zakat. Baik secara langsung maupun melalui perwakilannya, pemerintah bertugas mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat.
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Gondo Radityo Gambiro (F-PD), salah satu dasar pertimbangan Komisi VIII DPR mengajukan usul perubahan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan alasan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat merupakan salah satu kemajuan dalam penerapan prinsip-prinsip syariah ke dalam hukum positif. Namun demikian, lanjutnya, pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 dirasakan masih belum optimal untuk mengakomodir penyelenggaraan kewajiban zakat dalam sistem yang profesional. Karenanya undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti agar kebijakan pengelolaan zakat dapat dilakukan secara terarah, terpadu, dan terkoordinasi dengan baik serta disesuaikan dengan kebutuhan saat ini (JDIH).
Ada beberapa pokok yang diajukan dalam revisi UU No. 38 tahun 1999 yaitu tata kelola zakat, sanksi mangkir zakat, dan persoalan wajib zakat dan pajak karena diperlukan kejelasan tentang peran pengatur, pengawas, dan operator. Sehingga ditetapkan di Jakarta oleh Menteri Agama RI Prof. DR. H. Said Agil Husin Al Munawar, MA pada tanggal 18 Juli 2003 mencabut Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Menurut Yusuf Wibisono sebagai ahli pemohon dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, amandemen UU 38/1999 sudah dimulai di DPR pada periode 2004-2009. Pada tahun 1999 UU 38/1999 sudah masuk di RUU Prioritas Tahun 1999 tapi gagal diselesaikan. Sejak awal proses amandemen, ada dua draft yang secara umum bertolak belakang, yaitu draft RUU dari masyarakat sipil dan draft RUU dari pemerintah.
Pada awal Maret 2010 DPR menyelesaikan RUU Pengelolaan Zakat. RUU yang dibuat oleh DPR cenderung mengakomodir masyarakat sipil. Kemudian RUU diajukan ke pemerintah untuk dimintakan DIM (Daftar Isian Masalah). DIM dari pemerintah baru muncul di awal tahun 2011. Dua draft yang bertolak belakang dibahas di DPR pada pertengahan 2011. Masa sidang keempat DPR pada pertengahan 2011 berlangsung singkat, yakni tiga bulan, akhirnya amandemen UU no 38 1999 tentang pengelolaan zakat selesai. Akhir tahun 2011 lalu, DPR RI mensahkan UU hasil amandemen yang kemudian diberi nomor UU nomor 23 tahun 2011. Akhirnya UU  no 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat disahkan di Jakarta pada tanggal  25 November 2011 oleh Presiden Republik Indonesia, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan di Jakarta pada tanggal  25 November 2011 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.[3]
Sebelas tahun berjalan, berbagai pihak merasakan kelemahan dari UU No 38/1999 dari beberapa sisi sehingga menimbulkan semangat yang kuat untuk melakukan revisi UU tersebut. Alhamdulillah, pada 25 November 2011 telah disahkan UU Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang baru. Beberapa kemajuan isi UU Nomor 23/2011 dibandingkan dengan UU Nomor 38/1999 antara lain sebagai berikut:[4]
  1. Badan/Lembaga Pengelola Zakat, Pengelola zakat dalam UU yang baru adalah Baznas, Baznas provinsi dan Baznas kabupaten/kota, tidak ada lagi BAZ kecamatan. Baznas diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri (pasal 10). Dalam pasal 15 ayat 2, 3 dan 4 dinyatakan bahwa Baznas provinsi dibentuk oleh menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan Baznas. Baznas kabupaten/kota dibentuk menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/wali kota setelah mendapat pertimbangan Baznas.  Dalam hal gubernur atau bupati/wali kota tidak mengusulkan pembentukan Baznas provinsi atau Baznas kabupaten/kota, menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat membentuk Baznas provinsi atau kabupaten/kota setelah mendapat pertimbangan Baznas. Sementara untuk menjangkau pengumpulan zakat masyarakat untuk level kecamatan, kantor, masjid atau majelis taklim, Baznas sesuai tingkatannya dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sebagaimana diatur dalam pasal 16. Dengan adanya pengangkatan pengurus Baznas provinsi oleh menteri dan gubernur untuk Baznas kabupaten/kota, diharapkan muncul kemandirian dari badan amil zakat tanpa adanya intervensi dari pemerintah daerah.
  2. Hubungan antarbadan dan lembaga. Dalam UU Nomor 38/1999, hubungan antarbadan dan lembaga pengelola zakat hanya berifat koordinatif, konsultatif, informatif (pasal 6). Namun, dalam UU yang baru pasal 29 dinyatakan bahwa hubungan antara Baznas sangat erat karena tidak hanya bersifat koordinatif, informatif dan konsultatif, tetapi wajib melaporkan pengelolaan zakat dan dana lain yang dikelolanya kepada Baznas setingkat di atasnya dan pemerintah daerah secara berkala. LAZ juga wajib melaporkan pengelolaan zakat dan dana lain yang dikelolanya kepada Baznas dan pemerintah daerah secara berkala. Jika LAZ tidak melaporkan pengelolaan dana zakatnya kepada Baznas dan pemerintah daerah secara berkala, atau jika tidak mendistribusikan dan mendayagunakan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi dapat dikenakan sanksi administrasi berupa: peringatan tertulis, penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau, pencabutan izin (pasal 36).
  3. Akan ada peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaannya UU Nomor 38/1999 ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581/1999 dan diubah dengan KMA Nomor 373/2003. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama satu tahun terhitung sejak diundangkan.
  4. Adanya hak amil untuk operasional. Dalam pasal 30-32 secara eksplisit dinyatakan bahwa untuk operasional Baznas, Baznas provinsi maupun Baznas kabupaten/kota dibiayai dengan APBN/APBD dan hak amil. Ini memberikan angin segar dalam operasionalnya karena membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ditambah lagi adanya beberapa tenaga khusus yang sengaja direkrut untuk sekretariat BAZ. Bagaimana pola pengaturan dana antara APBD dengan dana hak amil supaya tidak mengganggu perasaan muzakki, apalagi muzakki yang masih ”muallaf”, tentu kearifan dari pengurus BAZ sangat diperlukan.  Lagi pula, berapakah porsi hak amil yang boleh digunakan untuk biaya operasional tentu masih menuggu keluarnya PP.
  5. Adanya sanksi bagi BAZ atau LAZ yang tidak resmi. Fenomena adanya badan/lembaga amil zakat di luar ketentuan UU, boleh disebut bukan BAZ atau LAZ resmi. Mereka mengumpulkan zakat masyarakat, namun tidak jelas penggunaannya. Tidak dibedakan mana yang sedekah, infak, wakaf dan zakat. Nyaris semua uang yang terkumpul digunakan untuk pembangunan masjid atau mushala. Padahal, zakat sejatinya untuk pengentasan kemiskinan. Dalam UU Nomor 23/2011 Pasal 41, telah diatur sanksi bagi mereka yang bertindak sebagai amil zakat, namun tidak dalam kapasitas sebagai Baznas, LAZ atau UPZ, diberikan sanksi berupa kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000.  Sanksi ini diharapkan tidak mucul lagi amil zakat yang tidak resmi, sehingga dana zakat, infak, sedekah dan dana lain masyarakat dapat terkumpul secara jelas, dan didistribusikan pula secara tepat kepada sasaran yang sudah ditentukan.
B.     Hubungan Zakat dan Pajak
Dalam bahasa arab kata pajak di sebut dengan istilah jizyah berasal dari kata jazaa yang artinya membalas jasa atau mengganti kerugian terhadap suatu hal atau perbuatan yang telah dilakukan. mengacu kepada alquran dan terjemah nya susunan yayasan penyelenggara penterjemah atau pentafsiran alquran, departemen agama republik indonesia, " jizyah " itu diartikan sebagai pajak kepala yang dipungut oleh pemerintah islam dari orang-orang nonmuslim sebagai imbalan (balas jasa) bagi jaminan keamanan atas diri mereka (lihat Alquran, surat at-Taubah 9:29). Di Indonesia yang dikenai wajib pajak itu bukan hanya orang-orang non islam, tetapi seluruh penduduk, termasuk umat islam yang jumlah nya mayoritas.
Hakekat zakat adalah ibadah kepada allah SWT. Zakat termasuk kedalam rukun islam. hukum berzakat adalah wajib. Zakat harus dikeluarkan dengan niat ikhlas karena allah dan sesuai ketentuan syara; sedangkan pajak adalah iuran wajib kepada negara yang ketika membayarnya tidak diharuskan berniat sebagaimana zakat.[5]
Tujuan zakat adalah untuk membersihkan harat dari hak-hak mustahik, khususnya para fakir miskin, agar memperoleh ridha dan rahmat allah SWT. sedangkan tujuan pajak ialah untuk menambah pemasukan kas negara dalam rangka menutupi kekurangan anggaran belanja negara.
Hubungan antara zakat dan pajak memang ada, karena dalam hal-hal tertentu ada persamaan antara keduanya. persamaan dimaksud misalnya dalam kemanfaatan sebagian hasil pengumpulan zakat dan pajak yakni boleh digunakan untuk pembangunan sarana umum, misalnya untuk pembangunn rumah sakit, gedung-gedung perguruan tinggi, dan pembangunnan jalan atau jembatan.

C.    Perbedaan Antara Fungsi Zakat dan Pajak
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuan yang luhur ini tersirat pada kata zakat itu sendiri yang bermakna suci, tumbuh dan berkah. Pajak tidak memiliki tujuan luhur seperti zakat. Para ahli keuangan berabad-abad lamanya menolak adanya tujuan lain pada pajak, selain untuk menghasilkan pembiayaan (uang) untuk mengisi kas Negara (mazhab yang netral). Setelah timbul kemajuan berpikir dan terjadi perubahan social politik dan ekonomi, maka madzhab tersebut menjadi surut (terkalahkan), dan timbullah berbagai pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan social tertentu, seperti anjuran untuk berderma, menabung, penghematan biaya, barang-barang mewah atau yang lain. Tujuan tersebut merupakan tujuan sampingan di luar tujuan utama, yaitu untuk memenuhi keuangan Negara, namun para perencana perpajakan dan ahli-ahli keuangan pada umumnya, juga para pakar di bidang itu tidak dapat keluar lebih jauh dari tujuan-tujuan materi, seperti tujuan spiritual dan moral yang menjadi tujuan utama zakat.[6]














BAB III
KESIMPULAN

Dimulainya sistem demokrasi setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998, UU Zakat No. 38 Tahun 1998, adalah awal dari terbukanya keterlibatan publik secara aktif. Peran lembaga zakat, bersama dengan struktur negara telah memfasilitasi pengaturan zakat dengan lembaga–lembaga khusus yang dilindungi oleh UU. Namun, UU zakat No. 38 tahun 1998 tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan UU zakat no. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Gondo Radityo Gambiro (F-PD), salah satu dasar pertimbangan Komisi VIII DPR mengajukan usul perubahan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan alasan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat merupakan salah satu kemajuan dalam penerapan prinsip-prinsip syariah ke dalam hukum positif. Namun demikian, lanjutnya, pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 dirasakan masih belum optimal untuk mengakomodir penyelenggaraan kewajiban zakat dalam sistem yang profesional.
Ada beberapa pokok yang diajukan dalam revisi UU No. 38 tahun 1999 yaitu tata kelola zakat, sanksi mangkir zakat, dan persoalan wajib zakat dan pajak karena diperlukan kejelasan tentang peran pengatur, pengawas, dan operator.
Hubungan antara zakat dan pajak memang ada, karena dalam hal-hal tertentu ada persamaan antara keduanya. persamaan dimaksud misalnya dalam kemanfaatan sebagian hasil pengumpulan zakat dan pajak yakni boleh digunakan untuk pembangunan sarana umum, misalnya untuk pembangunn rumah sakit, gedung-gedung perguruan tinggi, dan pembangunnan jalan atau jembatan.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. Nuruddin 2006. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta. Rajawali Press.
Anonimus, Keputusan Hasil Rumusan Rapat Kerja Badan Amil Zakat Infak dan   (BA ZAKAT) Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Tahun1996/1997. 1996
UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Syahatah, Husayn. 2004. Akuntansi Zakat:Panduan praktis Penghitungan Zakat Kontemporer. Jakarta. Pustaka Progressif.



[1] Anonimus, Keputusan Hasil Rumusan Rapat Kerja Badan Amil Zakat Infak dan   (BA ZAKAT) Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Tahun1996/1997. 1996
[2] UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
[3] UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan  Zakat
[5] Husayn Syahatah, Akuntansi Zakat:Panduan praktis Penghitungan Zakat Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Progressif, 2004), h. 23-25
[6] M. Nuruddin Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 67.