BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Dalam bahasa Arab hutang (al-dayn) merupakan sesuatu yang berada
dalam tanggung jawab orang lain ما يثبت فىذّمة) ) Menurut pandangan
sebahagian fuqaha’ (ulama Hanafiyah) hutang bukanlah termasuk harta (al-māl)
yang boleh diperdagangkan, karena harta hanya terdiri daripada cayn (benda)
yang dapat disimpan, dimilik dan dikuasai. Akibat dari semua ini dapat
dipahamkan bahwa manfaat bukan termasuk kepada harta. Karena itu menurut ulama
ini harta tidak dapat dibagi kepada cayn dan dayn. Semua hutang yang masih
berada dalam tangan orang yang berhutang dikatakan hak bagi orang yang
mempunyai hutang dan dikatakan iltizam (taklif atau beban hutang) bagi yang
berhutang. Karena itu dayn disebut juga dengan wasfu al-dzimmah (sesuatu yang
mesti dilunasi atau diselesaikan.
Sedangkan piutang adalah
tuntutan (claims) terhadap pihak tertentu atas hutang yang akan di bayar di
kemudian hari.
Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik
pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian dikemudian hari sesuai
perjanjian dengan jumlah yang sama. Sebagai seorang muslim kendaklah kita di
wajibkan untuk saling tolong menolong, seperti tercantum dalam Firman Allah SWT
dalam surat Al-Maa’idah ayat 2:
Artinya :
”Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan
taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Begitu pun dengan hutang piutang. Setidaknya kita memberikan
pinjaman kepada yang membutuhkan pertolongan.
2.
Rumusan
Masalah
Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, maka
dalam makalah ini diidentifikasikan ke dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bagaimana
tafsir dari ayat-ayat Al-Quran mengenai hutang-piutang?
BAB
II
ISI/PENAFSIRAN
1.
Ayat-ayat
Yang Dikaji
1)
QS Al-Baqarah
Ayat 282
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 wur z>ù't ë=Ï?%x. br& |=çFõ3t $yJ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u wur ó§yö7t çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& w ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJã uqèd ö@Î=ôJãù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 wur z>ù't âä!#ypk¶9$# #sÎ) $tB (#qããß 4 wur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·Éó|¹ ÷rr& #·Î72 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºs äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤¶=Ï9 #oT÷r&ur wr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouÅÑ%tn $ygtRrãÏè? öNà6oY÷t/ }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ wr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sÎ) óOçF÷èt$t6s? 4 wur §!$Òã Ò=Ï?%x. wur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇËÑËÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.[1]
2)
QS
Al-Baqarah Ayat 283
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya : jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[2]
2.
Kata-kata
Kunci/Tafsir Mufradat
1)
QS
Al-Baqarah Ayat 282
1.
Kata إِذَا تَدَايَنتُمْ
berarti “apabila kalian melakukan utang piutang”. Melakukan hutang piutang
termasuk salah satu kegian bermuamalah. Hukum hutang piutang pada asalnya
diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau
pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan
dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Allah memerintahkan
kita, para mukmin agar setiap mengadakan perjanjian utang piutang dilengkapi
dengan perjanjian tertulis serta wajib menyebutkan tempo dalam seluruh
hutang-piutang dan pelunasan penyewaan, karena apabila tempo itu tidak
diketahui maka itu tidak dibolehkan karena itu sangat rentan dengan tipu daya
dan berbahaya, maka hal itu termasuk perjudian.[3]
2.
Kata فَٱكْتُبُوهُ
berarti "maka hendaklah kamu menuliskannya”. Kata “menuliskan” disini
berarti menuliskan atau membuat surat perjanjian dalam suatu transaksi. Surat
perjanjian utang piutang adalah suatu perintah yang difardukan dengan nash,
tidak diserahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan. Jumhur ulama berpendapat
bahwa perintah menulis surat perjanjian utang piutang adalah nadab (imbauan)
dan irsyad (sunnah). Atha’, asy-sya’bi, dan Ibn Jarir berpendapat perintah
disini berupa perintah yang wajib sesuai dengan hukum asal perintah yang dipegang
jumhur. Penulisan transaksi tersebut mestinya di lakukan oleh seorang juru
tulis yang disebut katib. Sebagai pemenuhan sikap hati-hati supaya mendekati
kebenaran atau keadilan maka katib bisa didatangkan sebagai pihak ketiga.
Harapannya tidak mempunyai kepentingan atas transaksi sehingga bisa menuliskan
secara proposional. Saksi harus orang yang dapat bersikap adil dan tidak
memihak pada pihak manapun, harapannya agar tidak merugikan salah satu pihak.
Selain harus adil, penulis surat perjanjian juga di syaratkan mengetahui
hukum-hukum yang bersangkut paut dengan pembuatan surat utang, karena surat
utang tidak menjadi jaminan yang kuat, kecuali penulisannya mengetahui
hukum-hukum syara’ yang diperlukan, baik uruf ataupun menurut undang-undang.
Inilah maknanya “penulis harus menulis seperti yang ajarkan allah”.
3.
Kata وَلْيُمْلِلِ
berarti “dan hendaklah membacakan”. Secara praktik, orang yang berhutang
hendaklah membacakan kepada katib mengenai utang yang diakuinya meliputi berapa
besarnya, apa syaratnya dan jatuh temponya. Kenapa yang membacakan mesti orang
yang berutang ?. Karena dikhawatirkan apabila yang mendiktikan/membacakan orang
yang memberi utang, maka akan terjadi ketidakadilan karena orang yang berutang
pada posisi yang lemah. Seperti menghindari terjadinya penambahan nilau utang,
memperpendek jatuh tempo atau memberikan syarat-syarat yang hanya menguntungkan
orang yang memberi utang. Dengan membacakan sendiri hutangnya didepan penulis,
maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian.
Sambil mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi,
Allah mengingatkan yang berhutang agar hendaklah dia bertakwa kepada Allah
Tuhannya. Kemudian ayat selanjutnya adalah menyatakan nasihat, janganlah ia
mengurangi sedikitpun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang,
waktu, cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup kesepakatan bersama.[4]
4.
Kata سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْلاَ يَسْتَطِيعُ
berarti “lemah akal atau lemah (keadaan) atau tidak mampu”. Maknanya adalah
jika yang berhutang itu orang yang lemah akal, anak yang belum cukup umur,
sudah sangat tua atau tidak sanggup membacakan karena tunarungu atau
tunawicara, hendaklah dibacakan oleh orang yang menangani urusannya. Hendaklah
dia berlaku adil dan berhati-hati dalam membacakan.[5]
5.
Kata شَهِيدَيْنِ
berarti "dua orang saksi". Dalam suatu pencatatan mengenai utang
piutang, maka minimal di datangkan dua orang saksi yang disetujui kesaksiannya
berdasarkan agama dan keadilannya. Ayat ini menekankan bahwa dua saksi itu
adalah laki-laki. Al-Imam Ibn Qayyin dalam I’lamul Muwaqqi’in ‘bayyinah dalam
pandangan syara’ lebih umum daripada kesaksian. Maka, tiap apa yang bisa
dipergunakan untuk membenarkan suatu keterangan dinamakan bayyinah seperti
bukti yang tidak bisa dibantah. Karena itu, mungkin orang yang bukan Islam
dapat menjadi saksi berdasarkan makna yang diterangkan dalam al-Qur’an,
as-Sunnah, dan lughah yaitu apabila hakim bisa mempercayainya dalam menentukan
hak (kebenaran).
6.
Kata وَامْرَأَتَانِ مِمَّن
berarti “dua orang perempuan”. Apabila tidak ada dua orang laki-laki yang bisa
bertindak sebagai saksi, maka bolehlah seorang laki-laki dan dua orang permpuan.
Karena di khawatirkan salah seorang perempuan yang menjadi saksi lupa akibat
kurang memperhatikan terhadap hal-hal yang disaksikan, maka dia dapat
diingatkan oleh orang yang satunya. Allah menyamakan satu orang laki-laki dan
dua orang perempuan. Karna itulah allah menyerahkan masalah kesaksian ini
kepada kerelaan (kesepakatan) dari pihak-pihak yang membuat surat perjanjian
7.
Kata تَرْضَوْنَ berarti
“kamu ridhoi”. Setalah dihadirkannya saksi, selanjutnya pemilihan saksi harus
di sepakati sehingga saksi tersebut diridhoi, dan penentuan jumlah yang lebih
dari satu sebagai pertimbangan untuk saling mengingatkan ketika ada yang lupa
atas persaksia transaksi yang telah dilakukan. Saksi tidak boleh enggan dalam
memberi keterangan apabila mereka di panggil. Bagi seorang saksi, akan diridhoi
apabila suatu ketika harus dimintai keterangan atas persaksian apabila terjadi
sengketa antara pihak yang berkepentingan.[6]
8.
Kata وَلاَ تَسْئَمُوا
berarti “dan janganlah kalian jemu/bosan”. Allah mengisyaratkan kepada umat
muslim agar tidak jemu menulis utang itu, karena penulisan atau pencatatan
dalam suatu transaksi utang piutang sangat penting agar tidak terjadi kesalah
pahaman pada saat jatuh tempo pembayaran.
9.
Kata صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا
berarti “baik utang itu kecil atau besar”. Firman ini menjadi dalil bahwa surat
keterangan (perjanjian) sebagai bukti yang sah jika syarat-syaratnya cukup,
baik utang itu kecil atau besar dan kita tidak boleh sembarangan masalah harta.
Inilah suatu dasar dari dasar-dasar ekonomi pada masa kini yaitu “tiap-tipa
muamalat (mengadakan transaksi) dan tiap-tipa muawadhah (perjanjian) harta
haruslah dibuat surat keterangan tertentu dan pengadilan memandangnya sebagai
bukti. Kita tidak boleh malas mencatatkan nominal utang piutang tersebut, baik
itu nominal kecil atau pun besar.
10.
Kata أَقْسَطُ
berarti "lebih adil". Maksud adil disini adalah dalam penulisan suatu
utang piutang baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
menimbulkan keraguan. Biasanya kebanyakan orang merasa malas dan jemu
menuliskan transaksi utang piutang dan mendatangkan saksi karena alasan
merepotkan dan sudah saling mengenal. Pada prinsipnya Allah telah mengajarkan
tahapan tersebut sebagai prinsip keadilan. Bagaimana mungkin norma keadilan
bisa terungkap apabila pihak yang bertransaksi tidak mempunyai bukti apapun. Tidak
adanya penulisan yang yang mengikat hanya boleh dilakukan pada transaksi tunai.
11.
Kata فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
berarti “maka tidak ada atas kalian dosa”. Hal ini dapat dipahami bahwa apabila
kita melakukan suatu transaksi tunai maka tidak ada dosa apabila tidak
menulisnya atau mencatatnya dalam suatu surat perjanjian. Namun apabila kita
melakukan transaksi utang piutang maka harus di tulis agar tidak terjadi
kesalah pahaman yang menyebabkan perselisihan dan berbuah dosa.
Asbabun Nuzul :
Pada waktu Rosulullah SAW datang
kemadinah pertama kali, orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya
dalamwaktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu rosul bersabda:”Barang
siapa menyewakan (mengutangkan)sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran
yang tertentu dan dalam jangkawaktu yang tertentu pula”sehubungandengan itu
allah swt menurunkan ayat 282 sebagai perintah apabila mereka utang piutang
maupun muamalah dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan
mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjdinya sengketa pada waktu-waktu
yang akan dating. (Hr. Bukhori
dari Sofyan Bin Uyainah dari IbnuAbi Najih dari Abdillah bin Katsir dari Minhal
dari ibnu Abbas).
2)
QS Al-Baqarah Ayat 283
1.
Kata مَّقْبُوضَةٌ
فَرِهَٰنٌ berarti “maka hendaklah memberi barang jaminan yang dapat
dipegang”. hal ini menjelaskan suatu transaksi yang tidak tunai yang dilakukan
dalam perjalanan dan tidak ada seorang juru tulis (katib) yang menuliskannya,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang. Barang
tanggungan itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya dan mempercayai juga
sebagai pemenuhan prinsip kehati-hatian. Kecuali masing-masing pihak saling
percaya dan menyerahkan diri kepada allah, maka transaksi itu boleh dilakukan
tanpa adanya barang tanggungan karena yang berhutang akan membayarnya.
2. Kata تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ
berarti “kalian sembunyikan kesaksian”. Haramnya menyembunyikan persaksian dan
bahwa orang yang melakukan itu hatinya benar-benar telah berdosa yang merupakan
raja dari seluruh anggota tubuh. Hal itu dikarenakan menyembunyikan hal
tersebut adalah seperti persaksian dengan yang batil dan dusta, yang
mengakibatkan hilangnya hak-hak, rusaknya muamalah, dan dosa yang
berulang-ulang bagi orang tersebut. Allah mengetahui atas segala apa yang
diperbuat oleh para hamba sebagai dorongan bagi mereka untuk bermuamalah yang
baik dan peringatan dari muamalah yang buruk.[7]
3.
Kandungan Ayat
a.
QS Al-Baqarah Ayat 282
Ayat
ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-Quran dan berbicara soal hak manusia.
Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. Menyusuli ayat-ayat sebelumnya
mengenai hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya
berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat
ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat
terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan kedua pihak tidak merugi.
Syarat-syarat yang ditetapkan oleh ayat ini untuk transaksi adalah sebagai
berikut:
Ø Untuk setiap
agama, baik hutang maupun jual beli secara hutang, haruslah tertulis dan
berdokumen.
Ø Harus ada
penulis selain dari kedua pihak yang bertransaksi, namun berpijak pada
pengakuan orang yang berutang.
Ø Orang yang
berhutang dan yang memberikan pinjaman haruslah memperhatikan Tuhan dan tidak
meremehkan kebenaran dan menjaga kejujuran.
Ø Sealain
tertulis, harus ada dua saksi yang dipercayai oleh kedua pihak yang menyaksikan
proses transaksi.
Ø 5. Dalam
transaksi tunai, tidak perlu tertulis dan adanya saksi sudah mencukupi.[8]
b.
QS Al-Baqarah Ayat 283
Kandungan Surat al-Baqarah ayat 283 Jaminan
yang ada di tangan pihak piutang, adalah amanah dan si piutang tidak memiliki
hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan
ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang
membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang
yang berutang pada hakekatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga
diberikan pinjaman, maka ia harus membayar utangnya itu tepat pada waktunya,
supaya orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di
tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berutang
sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti
ini, pihak yang berutang harus memandang Allah dan tidak memakan harta orang
lain. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik yaitu :
Ø Transaksi bukan
tunai, janganlah ditegaskan atas janji lisan, melainkan dengan tertulis dan
mengambil kesaksian. Transaksi itu lebih baik dikokohkan dengan mengambil
jaminan.
Ø Dengan jalan
membayar hutang tepat waktunya, berarti kita telah memelihara kepercayaan dan
keamanan ekonomi masyarakat terjaga.
4.
Munasabah Ayat
Munasabah Ayat Munasabah dalam hal ini
dilakukan dengan munasabah antar ayat yang merupakan penjelasan lebih lanjut
dengan ayat berikutnya yang dirinci sebagai berikut: Dalam surat Al-baqarah
ayat 282 bahwasannya yang dimaksud utang piutang adalah meminjam atau memberi
pinjaman yang merupakan salah satu bentuk kegiatan bermuamlah. Dalam ayat ini,
allah menunjukkan beberapa aturan kepada para hamba-Nya apabila mereka
bermuamalat dengan cara utang piutang dan pengembalian dalam jangka waktu
tertentu, maka hendaklah menulis perjanjian dengan menghadirkan dua orang saksi
yang mampu bersikap adil. Pada surat al-Baqarah ayat 282 mamiliki kaitan dengan
surat al-Baqarah ayat 283 bahwa salah satu bentuk utang piutang adalah
melakukan transaksi tidak tunai (utang-piutang) yang dilakukan dalam
perjalanan. Dengan demikian, orang yang berpiutang hendaknya diberikan barang
tangguhan apabila masing-masing pihak tidak saling percaya. Apabila
masing-masing pihak tersebut saling percaya dan menyerahkan diri kepada allah,
maka barang tangguhan tersebut tidak diperlukan. Sesengguhnya allah mengetahui
segala perbuatan manusia[9]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Allah mengajarkan kepada orang-orang yang
beriman tentang pentingnya pencatatan transaksi. Caranya menunjuk seseorang
untuk menjadi penulis dari setiap transaksi, terutama yang dilakukan secara
tidak tunai. Etika yang mesti dimiliki penulis tersebtu yakni bersikap adil
dengan menuliskan kebenaran transaksi yang dilakukan. Sebagai pemenuhan prinsip
kehati-hatian di perlukan juga saksi yang akan memberikan saksi apabila terjadi
masalah dikemudian hari. Jika utang piutang dilakukan dalam perjalanan, maka
yang berhutang harus memberikan barang tangguhan kepada yang berpiutang.
Pemberlakuan ini juga tetap disertai dengan sikap moral dapat dipercaya dan
pemenuhan prinsip dapat dipertanggungjawabkan.Allah mengajarkan kepada
orang-orang yang beriman tentang pentingnya pencatatan dalam transaksi. Caranya
menunjuk seseorang untuk menjadi penulis dari setiap transaksi, terutama yang
dilakukan secara tidak tunai (Utang).
Bagi pelaksana
pemberian Borg atas transaksi diperjalanan secara tidak tunai. Penyerahan
Borg semata-mata sebagai wujud prinsip kehati-hatian. Pemberlakuan ini juga
tetap disertai dengan sikap moral dapat dipercaya dan pemenuhan prinsip dapat
di pertanggungjawabkan.
2.
Saran
Setelah mengetahu penafsiran di atas
untuk itu penulis sarankan agar apa-apa yang sudah dipaparkan dalam makalah ini
dapat bermanfaat segaligus dapat mengaplikasikan semuanya sehingga ilmu yang
didpatkan agar lebih sempurna
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Terjemahan
Dwi Suwukyo, Kompilasi
Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam,Yogyakarta : Puataka Pelajar, 2010
M.
Quraisy Syihab, Metode
Penelitian Tafsir, Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1984
Nashruddin
Baidan, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cetakan I, 2005
Teuku Muhammad Hasbi
ash-shiddieqy, Tafir Al-Qur’an
Majid An-Nuur,Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2000
[1] Al-Qur’an Terjemahan, QS Al Baqarah Ayat 282
[2] Al-Qur’an Terjemahan, QS Al Baqarah Ayat 283
[3] Teuku
Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Tafir
Al-Qur’an Majid An-Nuur,(Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2000) h. 40
[4] Dwi Suwukyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam,(Yogyakarta
: Puataka Pelajar, 2010), h. 7
[5] Teuku
Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Op cit. h.49
[6] Dwi Suwukyo, Op cit, h. 9
[7] Nashruddin Baidan, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cetakan I, 2005),
h. 136-137
[8] Tafsir
as-Sa'di, oleh syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa'di
[9] M. Quraisy Syihab, Metode
Penelitian Tafsir, ( Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1984), h. 3.