Selasa, 04 Januari 2022

MAKALAH TAFSIR HUTANG PIUTANG

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang

Dalam bahasa Arab hutang (al-dayn) merupakan sesuatu yang berada dalam tanggung jawab orang lain ما يثبت فىذّمة) ) Menurut pandangan sebahagian fuqaha’ (ulama Hanafiyah) hutang bukanlah termasuk harta (al-māl) yang boleh diperdagangkan, karena harta hanya terdiri daripada cayn (benda) yang dapat disimpan, dimilik dan dikuasai. Akibat dari semua ini dapat dipahamkan bahwa manfaat bukan termasuk kepada harta. Karena itu menurut ulama ini harta tidak dapat dibagi kepada cayn dan dayn. Semua hutang yang masih berada dalam tangan orang yang berhutang dikatakan hak bagi orang yang mempunyai hutang dan dikatakan iltizam (taklif atau beban hutang) bagi yang berhutang. Karena itu dayn disebut juga dengan wasfu al-dzimmah (sesuatu yang mesti dilunasi atau diselesaikan.

 Sedangkan piutang adalah tuntutan (claims) terhadap pihak tertentu atas hutang yang akan di bayar di kemudian hari.

Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian dikemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Sebagai seorang muslim kendaklah kita di wajibkan untuk saling tolong menolong, seperti tercantum dalam Firman Allah SWT dalam surat Al-Maa’idah ayat 2:

Artinya :

Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

Begitu pun dengan hutang piutang. Setidaknya kita memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan pertolongan.

 

2.    Rumusan Masalah

Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, maka dalam makalah ini diidentifikasikan ke dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana tafsir dari ayat-ayat Al-Quran mengenai hutang-piutang?

BAB II

ISI/PENAFSIRAN

 

1.    Ayat-ayat Yang Dikaji

1)      QS Al-Baqarah Ayat 282

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ  

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.[1]

 

2)      QS Al-Baqarah Ayat 283

* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  

Artinya : jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[2]

 

2.    Kata-kata Kunci/Tafsir Mufradat

1)      QS Al-Baqarah Ayat 282

1. Kata إِذَا تَدَايَنتُمْ berarti “apabila kalian melakukan utang piutang”. Melakukan hutang piutang termasuk salah satu kegian bermuamalah. Hukum hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Allah memerintahkan kita, para mukmin agar setiap mengadakan perjanjian utang piutang dilengkapi dengan perjanjian tertulis serta wajib menyebutkan tempo dalam seluruh hutang-piutang dan pelunasan penyewaan, karena apabila tempo itu tidak diketahui maka itu tidak dibolehkan karena itu sangat rentan dengan tipu daya dan berbahaya, maka hal itu termasuk perjudian.[3]

 

2. Kata فَٱكْتُبُوهُ berarti "maka hendaklah kamu menuliskannya”. Kata “menuliskan” disini berarti menuliskan atau membuat surat perjanjian dalam suatu transaksi. Surat perjanjian utang piutang adalah suatu perintah yang difardukan dengan nash, tidak diserahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan. Jumhur ulama berpendapat bahwa perintah menulis surat perjanjian utang piutang adalah nadab (imbauan) dan irsyad (sunnah). Atha’, asy-sya’bi, dan Ibn Jarir berpendapat perintah disini berupa perintah yang wajib sesuai dengan hukum asal perintah yang dipegang jumhur. Penulisan transaksi tersebut mestinya di lakukan oleh seorang juru tulis yang disebut katib. Sebagai pemenuhan sikap hati-hati supaya mendekati kebenaran atau keadilan maka katib bisa didatangkan sebagai pihak ketiga. Harapannya tidak mempunyai kepentingan atas transaksi sehingga bisa menuliskan secara proposional. Saksi harus orang yang dapat bersikap adil dan tidak memihak pada pihak manapun, harapannya agar tidak merugikan salah satu pihak. Selain harus adil, penulis surat perjanjian juga di syaratkan mengetahui hukum-hukum yang bersangkut paut dengan pembuatan surat utang, karena surat utang tidak menjadi jaminan yang kuat, kecuali penulisannya mengetahui hukum-hukum syara’ yang diperlukan, baik uruf ataupun menurut undang-undang. Inilah maknanya “penulis harus menulis seperti yang ajarkan allah”.

 

3. Kata وَلْيُمْلِلِ berarti “dan hendaklah membacakan”. Secara praktik, orang yang berhutang hendaklah membacakan kepada katib mengenai utang yang diakuinya meliputi berapa besarnya, apa syaratnya dan jatuh temponya. Kenapa yang membacakan mesti orang yang berutang ?. Karena dikhawatirkan apabila yang mendiktikan/membacakan orang yang memberi utang, maka akan terjadi ketidakadilan karena orang yang berutang pada posisi yang lemah. Seperti menghindari terjadinya penambahan nilau utang, memperpendek jatuh tempo atau memberikan syarat-syarat yang hanya menguntungkan orang yang memberi utang. Dengan membacakan sendiri hutangnya didepan penulis, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berhutang agar hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Kemudian ayat selanjutnya adalah menyatakan nasihat, janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup kesepakatan bersama.[4]

 

4. Kata سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْلاَ يَسْتَطِيعُ berarti “lemah akal atau lemah (keadaan) atau tidak mampu”. Maknanya adalah jika yang berhutang itu orang yang lemah akal, anak yang belum cukup umur, sudah sangat tua atau tidak sanggup membacakan karena tunarungu atau tunawicara, hendaklah dibacakan oleh orang yang menangani urusannya. Hendaklah dia berlaku adil dan berhati-hati dalam membacakan.[5]

 

5. Kata شَهِيدَيْنِ berarti "dua orang saksi". Dalam suatu pencatatan mengenai utang piutang, maka minimal di datangkan dua orang saksi yang disetujui kesaksiannya berdasarkan agama dan keadilannya. Ayat ini menekankan bahwa dua saksi itu adalah laki-laki. Al-Imam Ibn Qayyin dalam I’lamul Muwaqqi’in ‘bayyinah dalam pandangan syara’ lebih umum daripada kesaksian. Maka, tiap apa yang bisa dipergunakan untuk membenarkan suatu keterangan dinamakan bayyinah seperti bukti yang tidak bisa dibantah. Karena itu, mungkin orang yang bukan Islam dapat menjadi saksi berdasarkan makna yang diterangkan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan lughah yaitu apabila hakim bisa mempercayainya dalam menentukan hak (kebenaran).

 

6. Kata وَامْرَأَتَانِ مِمَّن berarti “dua orang perempuan”. Apabila tidak ada dua orang laki-laki yang bisa bertindak sebagai saksi, maka bolehlah seorang laki-laki dan dua orang permpuan. Karena di khawatirkan salah seorang perempuan yang menjadi saksi lupa akibat kurang memperhatikan terhadap hal-hal yang disaksikan, maka dia dapat diingatkan oleh orang yang satunya. Allah menyamakan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Karna itulah allah menyerahkan masalah kesaksian ini kepada kerelaan (kesepakatan) dari pihak-pihak yang membuat surat perjanjian

 

7. Kata تَرْضَوْنَ berarti “kamu ridhoi”. Setalah dihadirkannya saksi, selanjutnya pemilihan saksi harus di sepakati sehingga saksi tersebut diridhoi, dan penentuan jumlah yang lebih dari satu sebagai pertimbangan untuk saling mengingatkan ketika ada yang lupa atas persaksia transaksi yang telah dilakukan. Saksi tidak boleh enggan dalam memberi keterangan apabila mereka di panggil. Bagi seorang saksi, akan diridhoi apabila suatu ketika harus dimintai keterangan atas persaksian apabila terjadi sengketa antara pihak yang berkepentingan.[6]

 

8. Kata وَلاَ تَسْئَمُوا berarti “dan janganlah kalian jemu/bosan”. Allah mengisyaratkan kepada umat muslim agar tidak jemu menulis utang itu, karena penulisan atau pencatatan dalam suatu transaksi utang piutang sangat penting agar tidak terjadi kesalah pahaman pada saat jatuh tempo pembayaran.

 

9. Kata صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا berarti “baik utang itu kecil atau besar”. Firman ini menjadi dalil bahwa surat keterangan (perjanjian) sebagai bukti yang sah jika syarat-syaratnya cukup, baik utang itu kecil atau besar dan kita tidak boleh sembarangan masalah harta. Inilah suatu dasar dari dasar-dasar ekonomi pada masa kini yaitu “tiap-tipa muamalat (mengadakan transaksi) dan tiap-tipa muawadhah (perjanjian) harta haruslah dibuat surat keterangan tertentu dan pengadilan memandangnya sebagai bukti. Kita tidak boleh malas mencatatkan nominal utang piutang tersebut, baik itu nominal kecil atau pun besar.

 

10. Kata أَقْسَطُ berarti "lebih adil". Maksud adil disini adalah dalam penulisan suatu utang piutang baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan. Biasanya kebanyakan orang merasa malas dan jemu menuliskan transaksi utang piutang dan mendatangkan saksi karena alasan merepotkan dan sudah saling mengenal. Pada prinsipnya Allah telah mengajarkan tahapan tersebut sebagai prinsip keadilan. Bagaimana mungkin norma keadilan bisa terungkap apabila pihak yang bertransaksi tidak mempunyai bukti apapun. Tidak adanya penulisan yang yang mengikat hanya boleh dilakukan pada transaksi tunai.

 

11. Kata فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ berarti “maka tidak ada atas kalian dosa”. Hal ini dapat dipahami bahwa apabila kita melakukan suatu transaksi tunai maka tidak ada dosa apabila tidak menulisnya atau mencatatnya dalam suatu surat perjanjian. Namun apabila kita melakukan transaksi utang piutang maka harus di tulis agar tidak terjadi kesalah pahaman yang menyebabkan perselisihan dan berbuah dosa.

Asbabun Nuzul :

         Pada waktu Rosulullah SAW datang kemadinah pertama kali, orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalamwaktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu rosul bersabda:”Barang siapa menyewakan (mengutangkan)sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangkawaktu yang tertentu pula”sehubungandengan itu allah swt menurunkan ayat 282 sebagai perintah apabila mereka utang piutang maupun muamalah dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjdinya sengketa pada waktu-waktu yang akan dating. (Hr. Bukhori dari Sofyan Bin Uyainah dari IbnuAbi Najih dari Abdillah bin Katsir dari Minhal dari ibnu Abbas).

 

2)      QS Al-Baqarah Ayat 283

1.      Kata مَّقْبُوضَةٌ فَرِهَٰنٌ berarti “maka hendaklah memberi barang jaminan yang dapat dipegang”. hal ini menjelaskan suatu transaksi yang tidak tunai yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang juru tulis (katib) yang menuliskannya, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang. Barang tanggungan itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya dan mempercayai juga sebagai pemenuhan prinsip kehati-hatian. Kecuali masing-masing pihak saling percaya dan menyerahkan diri kepada allah, maka transaksi itu boleh dilakukan tanpa adanya barang tanggungan karena yang berhutang akan membayarnya.

2. Kata
تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ berarti “kalian sembunyikan kesaksian”. Haramnya menyembunyikan persaksian dan bahwa orang yang melakukan itu hatinya benar-benar telah berdosa yang merupakan raja dari seluruh anggota tubuh. Hal itu dikarenakan menyembunyikan hal tersebut adalah seperti persaksian dengan yang batil dan dusta, yang mengakibatkan hilangnya hak-hak, rusaknya muamalah, dan dosa yang berulang-ulang bagi orang tersebut. Allah mengetahui atas segala apa yang diperbuat oleh para hamba sebagai dorongan bagi mereka untuk bermuamalah yang baik dan peringatan dari muamalah yang buruk.[7]

 

 

 

 

 

 

 

3.    Kandungan Ayat

a.      QS Al-Baqarah Ayat 282

                        Ayat ini adalah ayat yang terpanjang dalam al-Quran dan berbicara soal hak manusia. Yaitu memelihara hak keuangan masyarakat. Menyusuli ayat-ayat sebelumnya mengenai hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan kedua pihak tidak merugi. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh ayat ini untuk transaksi adalah sebagai berikut:

Ø Untuk setiap agama, baik hutang maupun jual beli secara hutang, haruslah tertulis dan berdokumen.

Ø Harus ada penulis selain dari kedua pihak yang bertransaksi, namun berpijak pada pengakuan orang yang berutang.

Ø Orang yang berhutang dan yang memberikan pinjaman haruslah memperhatikan Tuhan dan tidak meremehkan kebenaran dan menjaga kejujuran.

Ø Sealain tertulis, harus ada dua saksi yang dipercayai oleh kedua pihak yang menyaksikan proses transaksi.

Ø 5. Dalam transaksi tunai, tidak perlu tertulis dan adanya saksi sudah mencukupi.[8]

b.      QS Al-Baqarah Ayat 283

Kandungan Surat al-Baqarah ayat 283 Jaminan yang ada di tangan pihak piutang, adalah amanah dan si piutang tidak memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang yang berutang pada hakekatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan pinjaman, maka ia harus membayar utangnya itu tepat pada waktunya, supaya orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berutang sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berutang harus memandang Allah dan tidak memakan harta orang lain. Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik yaitu :

Ø  Transaksi bukan tunai, janganlah ditegaskan atas janji lisan, melainkan dengan tertulis dan mengambil kesaksian. Transaksi itu lebih baik dikokohkan dengan mengambil jaminan.

Ø  Dengan jalan membayar hutang tepat waktunya, berarti kita telah memelihara kepercayaan dan keamanan ekonomi masyarakat terjaga.

 

 

 

4.    Munasabah Ayat

          Munasabah Ayat Munasabah dalam hal ini dilakukan dengan munasabah antar ayat yang merupakan penjelasan lebih lanjut dengan ayat berikutnya yang dirinci sebagai berikut: Dalam surat Al-baqarah ayat 282 bahwasannya yang dimaksud utang piutang adalah meminjam atau memberi pinjaman yang merupakan salah satu bentuk kegiatan bermuamlah. Dalam ayat ini, allah menunjukkan beberapa aturan kepada para hamba-Nya apabila mereka bermuamalat dengan cara utang piutang dan pengembalian dalam jangka waktu tertentu, maka hendaklah menulis perjanjian dengan menghadirkan dua orang saksi yang mampu bersikap adil. Pada surat al-Baqarah ayat 282 mamiliki kaitan dengan surat al-Baqarah ayat 283 bahwa salah satu bentuk utang piutang adalah melakukan transaksi tidak tunai (utang-piutang) yang dilakukan dalam perjalanan. Dengan demikian, orang yang berpiutang hendaknya diberikan barang tangguhan apabila masing-masing pihak tidak saling percaya. Apabila masing-masing pihak tersebut saling percaya dan menyerahkan diri kepada allah, maka barang tangguhan tersebut tidak diperlukan. Sesengguhnya allah mengetahui segala perbuatan manusia[9]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

1.    Kesimpulan          
        Allah mengajarkan kepada orang-orang yang beriman tentang pentingnya pencatatan transaksi. Caranya menunjuk seseorang untuk menjadi penulis dari setiap transaksi, terutama yang dilakukan secara tidak tunai. Etika yang mesti dimiliki penulis tersebtu yakni bersikap adil dengan menuliskan kebenaran transaksi yang dilakukan. Sebagai pemenuhan prinsip kehati-hatian di perlukan juga saksi yang akan memberikan saksi apabila terjadi masalah dikemudian hari. Jika utang piutang dilakukan dalam perjalanan, maka yang berhutang harus memberikan barang tangguhan kepada yang berpiutang. Pemberlakuan ini juga tetap disertai dengan sikap moral dapat dipercaya dan pemenuhan prinsip dapat dipertanggungjawabkan.Allah mengajarkan kepada orang-orang yang beriman tentang pentingnya pencatatan dalam transaksi. Caranya menunjuk seseorang untuk menjadi penulis dari setiap transaksi, terutama yang dilakukan secara tidak tunai (Utang).

Bagi pelaksana pemberian Borg atas transaksi diperjalanan secara tidak tunai. Penyerahan Borg semata-mata sebagai wujud prinsip kehati-hatian. Pemberlakuan ini juga tetap disertai dengan sikap moral dapat dipercaya dan pemenuhan prinsip dapat di pertanggungjawabkan.

 

2.    Saran  

          Setelah mengetahu penafsiran di atas untuk itu penulis sarankan agar apa-apa yang sudah dipaparkan dalam makalah ini dapat bermanfaat segaligus dapat mengaplikasikan semuanya sehingga ilmu yang didpatkan agar lebih sempurna

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Terjemahan

Dwi Suwukyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam,Yogyakarta : Puataka Pelajar, 2010

M. Quraisy Syihab, Metode Penelitian Tafsir, Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1984

Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cetakan I, 2005

Teuku Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Tafir Al-Qur’an Majid An-Nuur,Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2000

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                                                                  



[1] Al-Qur’an Terjemahan, QS Al Baqarah Ayat 282

[2] Al-Qur’an Terjemahan, QS Al Baqarah Ayat 283

[3] Teuku Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Tafir Al-Qur’an Majid An-Nuur,(Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2000) h. 40

[4] Dwi Suwukyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam,(Yogyakarta : Puataka Pelajar, 2010), h. 7

[5] Teuku Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Op cit. h.49

[6] Dwi Suwukyo, Op cit, h. 9

[7] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cetakan I, 2005), h. 136-137

[8] Tafsir as-Sa'di, oleh syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa'di

[9] M. Quraisy Syihab, Metode Penelitian Tafsir, ( Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1984), h. 3.

 

MAKALAH PRODUK-PRODUK ASURANSI SYARIAH

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

Dalam dunia ekonomi, banyak sekali kita menemukan hambatan-hambatan yang dapat mengancam serta memicu adanya risiko yang dapat dialami. seperti contoh kita mengalami kecelakaan, kesehatan memburuk bahkan terjadi hambatan dalam pendidikan. Kurang pahamnya atas risiko tersebut akan menjadi momok dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, risiko sangatlah penting diminimalisir atau dimitigasi sehingga kemungkinan kecil dapat dihindarkan.

Sehubungan dengan risiko tersebut, dalam asuransi syariah saat ini banyak sekali pilihan yang dapat kita ambil untuk mengatasi risiko yang kita hadapi, misalkan asuransi kesehatan untuk berjaga-jaga atas kesehatan yang bersalah sehingga dapat jaminan melalui asuransi kesehatan yang kita miliki.  Asuransi syariah memiliki produk-produk yakni produk tabungan, bukan tabungan dan bukan tabungan untuk kepentingan umum. Dimana kita dapat memilih dengan beberapa akad yang dapat dijalankan atau kita lakukan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Produk-Produk Asuransi Syariah

Adapun beberapa produk asuransi islam yang sudah ada di indonesia diantaranya adalah:

1.      Produk tabungan

Produk tabungan dapat digunakan sebagai sarana investasi, juga dapat digunakan sebagai tabungan untuk keperluan naik haji, atau juga untuk kepentingan pendidikan. Rata-rata manfaat yang akan diterima oleh para pemegang  polis asuransi islam untuk produk ini adalah penyetoran dana rekening tabungan, baik pemegang polis masih hidup dalam masa perjanjian ataupun mengundurkan diri sebelum masa perjanjian berakhir. Adapun bila pemegang polis asuransi islam produk tabungan meninggal dunia dalam masa perjanjian asuransi, maka pihak ahli warisnya juga akan memperoleh bagian keuntungan atas hasil investasi dana rekening tabungan dengan menggunakan prinsip mudharabah serta selisih dari rencana awal menabung serta premi yang sudah dibayarkan. Khusus untuk konsep asuransi islam tabungan untuk pendidikan, maka anak, sebagai penerima hibah dana asuransi tersebut akan menerima dana hingga masa pendidikannya di perguruan tinggi sesuai dengan kebijakan yang diterapkan oleh perusahaan asuransi islam. Bila anak selaku penerima hibah dana asuransi islam meninggal sebelum sempat menikmati tabungan asuransi islam pendidikan yang telah dirintis oleh orang tuanya, maka dana tersebut akan dibayarkan kepada para ahli warisnya.

2.      Produk asuransi islam bukan tabungan

Program ini dapat dibagi kedalam beberapa jenis, yaitu santunan yang dapat diberikan kepada ahli waris nasabah asuransi Islam yang mengalami kematian dalam masa perjanjian asuransi, atau biasa disebut al-khairat, santunan bagi ahli waris bila nasabah wafat karena kecelakaan dalam masa perjanjian, dan juga dana asuransi Islam untuk kepentingan kesehatan.

3.      Produk asuransi Islam bukan tabungan untuk kepentingan umum (general Islamic insurance).[1]

Pada tingkat permodalan pasar asuransi syari’ah yang ada sekarang ini, produk asuransi syari’ah sangat tepat untuk melayani pasar konsumer dan pasar komersial yang rata-rata memiliki objek risiko bernilai kecil dan menengah. Berikut adalah faktor-faktor yang menjadi alasan mengapa produk untuk pasar konsumer dan komersial cocok untuk Asuransi Syari’ah.

1.      Jumlah peserta potensial sangat besar untuk memenuhi persyaratan Hukum Bilangan Besar dalam penyebaran risiko ideal.

2.      Niliai risiko individu relatif kecil sehingga tidak terlalu bergantung pada pasar Reasuransi Syari’ah yang relatif masih terbatas dalam pasar dunia dewasa ini.

3.      Sifat risiko yang relatif mudah diidentifikasi dan oleh karena itu kemungkinan risiko dapat diperkirakan atau diprediksi dengan tingkat akurasi yang tinggi, sehingga upaya untuk mengeliminasi unsur gharar akan lebih mudah.

4.      Penyebaran risiko yang lebbih luas cenderung membutuhkan biaya risiko yang lebih stabil dan hal ini berarti kontribusi dari peserta yang lebih stabil dan berjangka panjang.[2]

Pengelolaan asuransi syariah di Indonesia di dasarkan kepada kontrak mudharabah yakni kontrak kerja sama antara dua pihak (peserta dan perusahaan). Berdasarkan kontrak mudharabah tersebut, ada dua cara pengelolaan asuransi syariah di Indonesia: pertama, pengelolaan dana yang memiliki unsur tabungan (saving); kedua, produk asuransi syariah non-saving. Adanya unsur tabungan dan tabungan ini berkaitan erat dengan produk asuransi itu sendiri. Mekanisme pengelolaan dana yang memiliki unsur tabungan adalah setiap premi yang dibayarkan oleh peserta akan dimasukkan ke dalam dua rekening yaitu rekening untuk dana tabarru’ (sosial) dan rekening untuk dana tabungan (saving). Adapun status kepemilikan dana tanpa rekening tabungan (saving) masih menjadi milik peserta asuransi, bukan menjadi milik perusahaan asuransi, perusahaan hanya berfungsi sebagai lembaga pengelola. Oleh karena dana tabungan itu masih menjadi milik peserta asuransi, maka kapan saja ia dapat menarik dana tabungan tersebut.

Di samping dana yang dimasukkan dalam rekening dalam rekening tabungan sebagaimana tersebut, perusahaan asuransi juga menyediakan rekening khusus untuk menyimpan dana tabarru’ (sosial) yang telah diniatkan oleh peserta asuransi untuk dijadikan dana tolong-menolong, dana ini akan digunakan apabila peserta asuransi yang meninggal dunia atau kontrak transaksi sudah berakhir dengan catatan ada surplus dana. Dana tabarru’ tidak bisa diambil jika perjanjian belum berakhir berhenti menjadi peserta asuransi syariah. Hasil investasi yang diperoleh perusahaan akan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah ditentukan yakni sekitar 40% merupakan hak perusahaan untuk biaya operasionalnya, sedangkan 60% dibayarkan kepada peserta dalam bentuk manfaat asuransi.

Mekanisme pengelolaan dana (premi) asuransi syariah tanpa tabungan (non saving) adalah dana yang diserahkan kepada perusahaan asuransi hanya berupa dana tabarru’ (dana sosial) yang akan dimasukkan ke dalam rekening khusus. Dana yang terkumpul ini oleh perusahaan asuransi diinvestasikan sesuai dengan prinsip syariah. Jika ada surplus dana, maka para peserta asuransi akan mendapat bagian keuntungan sesuai dengan nisbah yang telah ditetapkan, yakni 40% untuk para peserta dan 60% untuk perusahaan asuransi sebagai pihak yang mengelola dana. Produk asuransi syariah yang non-tabungan ini digunakan untuk kepentingan bersama dan untuk saling membantu diantara peserta asuransi yang mengalami musibah.

Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmad Azhar Basyir menjelaskan bahwa asuransi syariah menawarkan dua produk jenis pertanggungan yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1.      Asuransi Syariah Keluarga (Asuransi Jiwa)

Adalah bentuk asuransi yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri asuransi. Dalam musibah kematian yang akan menerima santunan sesuai dengan perjanjian adalah keuarga atau ahli warisnya atau orang yang ditunjuk dalam hal orang yang tidak punya ahli waris. Dalam musibah kecelakaan yang tidak mengakibatkan kematian, santunan akan diterima oleh peserta yang mengalami musibah/yang masih hidup.

Adapun jenis asuransi syariah keluarga (asuransi jiwa) dibagi dua macam, sebagai berikut:

a.       Asuransi syariah dengan unsur tabungan antara lain:

·         Asuransi syariah berencana atau dana investasi

·         Asuransi syariah dana haji.

·         Asuransi syariah pendidikan atau dana siswa.

 

b.      Asuransi syariah tanpa unsur tabungan, meliputi:

·         Asuransi syariah berjangka.

·         Asuransi syariah majelis taklim.

·         Asuransi syariah khairat keluarga.

·         Asuransi syariah pembiayaan.

·         Asuransi syariah kecelakaan diri.

·         Asuransi syariah wisata dan perjalanan.

·         Asuransi syariah kecelaaan siswa.

·         Asuransi syariah perjalanan haji dan umroh.

2.      Asuransi Syariah Umum (Asuransi Umum)

Adalah bentuk asuransi yag memberi perlindungan dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta milik peserta asuransi seperti rumah, kendaraan bermotor, dan bangunan pabrik.

Adapun jenis asuransi syariah yang bersifat umum antara lain:

1.      Asransi syariah kebakaran.

2.      Asuransi syariah kendaraan bermotor.

3.      Asuransi syariah risiko pembangunan.

4.      Asuransi syariah pengangkutan barang.

5.      Asuransi syariah risiko mesin.

Konsep al-Mudharabah yang diterapkan pada asuransi Islam mempunyi tiga unsur, sebagai berikut:

1.      Dalam perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi, perusahaan diamanahkan untuk menginvestasikan dan mengusahakan pembiayaan ke dalam proyek-proyek dalam bentuk musyarakah, mudharabah, murabahah, dan wadih.

2.      Perjanjian antara peserta dan perusahaan asuransi berbentuk perkongsian untuk bersama-sama menanggung risiko usaha dengan prinsip bagi hasil yang porsinya masing-masing telah disepakati bersama.

3.      Dalam perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi telah ditetapkan bahwa sebelum bagian keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha dan investasi, terlebih dahulu diselesaikan klaim manfaat tafakul dari para peserta yang mengalami musibah.

Adapun produk-produk asuransi yang dikeluarkan oleh PT syariah takaful indonesia pada saat ini sebagai berikut:

1.      Takaful keluarga

a.       Layanan individul, terdiri dari takafullink, takaful falah. Takaful dana investasi, takaful dana haji, takaful kecelakaan diri, takaful wakaf, fulnadi, dan takafullink asia

b.      Layanan group/kumpulan, takaful ini terbagi menjadi tiga kategori yaitu:

·         Takaful ordinary, yang terdiri dari takaful al khairat, takaful kecelakaan diri, takaful kecelakaan siswa, takaful wisata dan perjalanan.

·          Bancassurance, produknya berupa tafakul pembiayaan

·         Takaful kesehatan, yang terdiri dari fullmedicare dan takaful family care

2.      Takaful umum

a.       Takaful abror.

b.      Takaful baituna

c.       Takaful surgaina

d.      Takaful aneka

e.       Takaful kebakaran

f.       Takaful pengangkutan dan rangka kapal

g.      Takaful kendaran bermotor

h.      Takaful rekayasa (engineering)

i.        Takaful surety bond.

Dalam operasional asuransi syariah yang terjadi pada hakikatnya adalah saling bertangggung jawab, dan saling melindungi diantara para peserta. Perusahaan asuransi diberi kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi, mmengembangkan dengan jalan yang halal dan memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai dengan isi akad perjanjian tersebut.

Keuntungan perusahaan asuransi syariah diperoleh dari bagian keuntungan dana dari para peserta yang dikembangkan dengan prinsip mudarabah (profit and loss sharing system). Para peserta asuransi syariah berkedudukan sebagai pemilik modal (shahibul maal) dan perusahaan asuransi syariah sebagai pihak mengelola dana (mudarib). Untuk itu, maka keuntungan yang diperoleh dari pengembangan dana itu dibagi antara peserta dan perusahaan sesuai ketentuan yang telah disepakati.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa asuransi keluarga bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada peserta atau ahli warisnya sebagai akibat kematian dan sebagainya. Adapun asuransi syariah yang bersifat umum bertujuan untuk memberikan perlindungan atas kerugian harta benda karena adanya musibah seperti kebakaran dan kecurian dan sebagainya. Perusahaan asuransi syariah dan peserta mengikat diri dalam akad mudharabah dengan hak dan kewajiban sesuai dengan diperjanjikan. Adapun perusahaan asuransi syariah dan peserta mengikat diri juga dengan akad mudharabah dengan hak dan kewajiban sesuai dengan perjanjian. Peserta asuransi syariah umum bisa perseorangan, perusahaan atau yayasan atau lembaga berbadan hukum lainnya.

Adapun manfaat dari kedua sistem asuransi syariah dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut:

1.      Manfaat asuransi syariah pada sistem yang mengandung unsur tabungan:

a.       Jika peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam masa perjanjian, maka ahli warisnya akan memperoleh dana rekening tabungan yang telah disetor, kemudian ia juga mendapat bagian keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan dan selisih dari manfaat takaful awal (awal menabung) dengan premi yang sudah dibayar.

b.      Jika peserta mengundurkan diri sebelum perjanjian berakhir maka para peserta akan memperoleh dana rekening tabungan yang telah disetor dan juga mendapat keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan.

c.       Bila peserta hidup hingga perjanjian berakhiran, maka peserta akan memperoleh dana rekening tabungan yang telah disetor dan juga mendapat bagian keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan.

2.      Manfaat asuransi syariah (takaful) pada sistem tanpa unsur tabungan (non-saving) sebagai berikut:

a.       Bila peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam masa transaksi (perjanjian), maka ahli warisnya akan mendapat dana santunan meninggal dari perusahaan, sesuai dengan jumlah yang direncanakan peserta mendapat bagian keuntungan atas rekening tabarru’ yang ditentukan oleh perusahaan.

b.      Bila peserta hidup sampai transaksi (perjanjian) berakhir, peserta akan mendapat bagian keuntungan atas rekening tabarru’ yang ditentukan oleh perusahaan.[3]

Selain dengan menggunakan akad mudharabah, konsep produk asuransi Islam juga dapat menggunakan akad wadiah, wakalah,dan musyarakah.

Akad wadiah. Berarti meninggalkan atau menjaga. Akad ini memiliki beberapa landasan Islam, di antaranya adalah dalam QS. An-Nisa ayat 58 yang berbunyi: “sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” dan juga QS. Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi: “Hendaknya yang dipercayai itu menunaikan amanat”. Selain landasan Islam berupa ayat suci Al-Qur’an , juga terdapat landasan Islam berupa hadis Rasulullah SAW. Riwayat Abu Daud yang berbunyi “tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhianati terhadap orang yang mengkhianatimu”. Berdasarkan ini, maka para ulama menyatakan bahwa akad wadiah boleh digunakan untuk kegiatan yang bersifat tolong-menolong dalam dunia asuransi Islam.

Akad wadiah yang digunakan salam asuransi Islam ini adalah wadiah yad dhamanah, di mana pihak yang dititipkan dana, dalam hal ini perusahaan asuransi Islam berhak untuk memanfaatkan dana tersebut. Penitipan dilakukan dalam rekening giro. Di Indonesia, PT Asuransi Islam Mubarakah adalah salah satu contoh perusahaan asuransi yang menggunakan akad wadiah yad dhamanah. Dana-dana yang terkumpul dari nasabah asuransi Islam, yaitu premi akan dititipkan kepada perusahaan asuransi Islam untuk kemudian dana tersebut dikelola oleh perusahaan asuransi Islam.

Akad wakalah. Wakalah, berarti penyerahan, atau pendelegasian. Dengan begitu secara ringkas dapat dikatakan bahwa wakalah merupakan pelimpahan atau pendelegasian wewenang dari satu pihak untuk dilaksanakan oleh pihak lainnya. Adapun landasan Islam dari akad wakalah dalam dunia muamalah adalah QS. Al-Kahfi ayat 19, QS. Yusuf ayat 55, QS. Al-Baqarah ayat 283 dan QS. Al-Maidah ayat 2. Sementara Hadis Rasulullah SAW. Yang menjelaskan tentang wakalah disampaikan secara tegas dalam Hadis Riwayat Malik dalam kitab Al Muwatha yang berbunyi: “Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’i dan seorang Anshar untuk mengawinkan (kabul perkawinan Nabi dengan) Maimunah”. Dari berbagai landasan tersebut, maka para ulama fikih bersepakat (ijma) bahwa akad wakalah diizinkan dalam muamalah. Termasuk dalam hal ini adalah dalam asuransi Islam.

Akad musyarakah. Musyarakah, berarti perjanjian antara dua pihak ataupun lebih dalam melaksanakan suatu usaha tersebut. Adapun landasan Islam dari akad musyarakah dalam muamalah adalah QS. An-Nisaa ayat 12 dan juga QS. Shaad ayat 24. Adapun dalam Hadits Rasulullah SAW. Landasan Islam musyarakah adalah Hadits Riwayat Abu Daud yang berbunyi: “Aku (Allah SWT) merupakan pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya”. Konsep asuransi Islam pada dasarnya merupakan konsep musyarakah di mana terdapat perusahaan asurasnsi yang memiliki tenaga dan juga keahlian, serta peserta asuransi Islam yang memiliki dana dan juga modal.[4]

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Dalam asuransi syariah ada beberapa produk-produk asuransi syariah diantaranya produk tabungan (saving), produk bukan tabungan (non saving) dan produk bukan tabungan untuk kepentingan umum. Dan tidak terlepas oleh akad–akad dalam produk asuransi syariah yang meliputi akad mudharabah, wadiah, wakalah, dan musyarakah.

Pengelolaan asuransi syariah di Indonesia di dasarkan kepada kontrak mudharabah yakni kontrak kerja sama antara dua pihak (peserta dan perusahaan). Berdasarkan kontrak mudharabah tersebut, ada dua cara pengelolaan asuransi syariah di Indonesia: pertama, pengelolaan dana yang memiliki unsur tabungan (saving); kedua, produk asuransi syariah non-saving. Adanya unsur tabungan dan tabungan ini berkaitan erat dengan produk asuransi itu sendiri. Mekanisme pengelolaan dana yang memiliki unsur tabungan adalah setiap premi yang dibayarkan oleh peserta akan dimasukkan ke dalam dua rekening yaitu rekening untuk dana tabarru’ (sosial) dan rekening untuk dana tabungan (saving). Adapun status kepemilikan dana tanpa rekening tabungan (saving) masih menjadi milik peserta asuransi, bukan menjadi milik perusahaan asuransi, perusahaan hanya berfungsi sebagai lembaga pengelola. Oleh karena dana tabungan itu masih menjadi milik peserta asuransi, maka kapan saja ia dapat menarik dana tabungan tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Iqbal Muhaimin. 2005. Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik. Jakarta: Gema Insani Press

Huda Nurul, Heykal Mohamad. 2010. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana

Manan Abdul. 2012. Hukum Ekonomi Syariah: dalam perspektif kewenangan peradilan agam.Jakarta: Kencana



[1] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), H. 182-183

[2] Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), H. 41

[3] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah: dalam perspektif kewenangan peradilan agama, (Jakarta: Kencana, 2012), H. 269-275

[4] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), H. 183-184