BABI
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
sebuah alinea kitab al-Madkhal al-Fiqhi, karya Dr. Musthafa az-Zarqa` (w. 1375
H) menulis: “seandainya kaidah fiqih tidak ada, maka hukum-hukum fiqih akan
tetap menjadi cecaran-cecaran hukum yang secara lahir saling bertentangan satu
sama lain.”
Mustafa az-Zarqa benar, sebab
apabila kita terus-menerus berkutat mempelajari hukum-hukum fiqih secara
parsial (sepotong-sepotong), maka kita akan merasakan adanya kontradiksi antara
satu hukum dengan hukum lainnya. Kita sering dibuat bingung saat mempelajari persoalan-persoalan
hukum yang karakternya sama tetapi ketentuan hukumnya berbeda.
Salah satu solusi untuk mengurai
benang kusut itu adalah dengan mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum
syari’at. Jadi, selain kita mempelajari hukum-hukum yang sudah jadi, kita juga
dituntut untuk menguasai pangkal persoalan atau substanti hukumnya. Caranya
adalah degan mempelajari kaidah fiqih, baik kaidah ushuliyah maupun kaidah
fiqhiyyah. Dengan kedua kaidah tersebut nilai-nilai esensial syari’at terurai
dengan sangat lugas, logis, tuntas, dan rasional.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kaidah Fiqhiyah
Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua
kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa
berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang
berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang
berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang
terperinci.
Pengertian
Qa’idah fiqhiyyah menurut Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa ialah:
اُصُوْلٌ فِقْهِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ فىِ
نُصُوْصٍ مُوْجِزَةٍ دُسْتُوْرِيَّةٍ تَضْمَنُ أَحْكَامًا تَشْرِيْعِيَّةً
عَامَّةً فِى الْحَوَادِثِ الَّتِى تَذْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهَا
Artinya : Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’
yang bersifat mencangkup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk
teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung
penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat dimasukkan
pada permasalahannya.
Menurut
Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, qa’idah fiqhiyyah itu ialah:
“qa’idah-qa’idah
yang bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy
syar’i) pada mukalaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.”[2]
2.2 Sumber atau Dalil
Kalau
diperhatikan dengan seksama, maka kaidah-kaidah fikih bila ditinjau dari sumbernya
maka terbagi menjadi dua bagian :
1. Kaidah fikih yang teksnya terambil langsung dari nash al-qur’an
dan as-sunnah. Misalnya firman allah ta’ala : ( QS
Al baqarah : 188)
وَلَا
تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ
وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
Artinya :
Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud
agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa,
padahal kamu mengetahui.
Ayat ini merupakan sebuah kaidah tentang haramnya semua jenis transaksi
dan perbuatan yang akan berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang
tidak syar’i. Adapun misal kaidah fikih yang terambil dari sabda Rasullah :
لاضررولاضرر
Artinya : tidak boleh berbuat sesuatu yang
membahayakan diri sendiri maupun orang lain”
Hadis ini merupakan sebuah kaidah umum tentang berbagai hal, mulai dari
masalah-masalahmakanan, pergaulan, muamalah, dan lainnya.
2. Kaidah fikih yang teksnya tidak terambil dari al-qur’an dan as-sunnah,
namun kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as-sunnah.
Misalnya
adalah sebuah kaidah yang sangat masyur:
اليقين لايزؤل با لشك
Artinya : sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan
dengan sebuah keragu-raguan.
3. Kaidah fikih yang tersusun berdasarkan ijtihad para ulama. Dan ini
biasanya didasarkan atas sebuah qiyas atau ta’lil ( melihat sebab dari
sebuah hukum ) atau
dengan melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat
kepada maqoshid syar’iyyah ( maksud dan tujuan dari sebuah hukum syar’i )
atau yang lainnya.
2.3
Jalbu Al-Masalih
wa Dar’u Al-Mafasid (Meraih
Kemaslahatan dan Menolak Kemafsadatan)
جَلْبُ
اْلمَصَالِحِ وَدَرْءُ الَمفَاسِدِ
Kaidah-kaidah fikih itu memiliki ruang lingkup dan
cakupan yang berbeda, dari ruang lingkup dan cakupan yang berbeda, dari ruang
lingkup yang paling luas dan cakupan yang paling banyak sampai kepada
kaidah-kaidah fiqh yang ruang lingkupnya sempit dan cakupannya sedikit.
‘Izzudin bin Abd al-Salam dalam kitabnya Qawa’id
al-Ahkam fi Mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah
maslahat, baik dengan cara menolak
mafsadah atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa
kepada maslahat, ada pula yang menyebabkan mafsadat. Baik maslahat
maupun mafsadat, ada yang untuk kepentingan duniawiyah dan ada
yang untuk kepentingan ukhrawiyah. Seluruh yang maslahat diperintahkan
oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadah dilarang oleh syari’ah. Setiap
kemaslahatan memiliki tingkat-tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaatnya
serta pahalanya, dan setiap ke-mafsadat-an juga memiliki
tingkat-tingkatannya dalam keburukan dan ke-mudharat-annya.
Kemaslahatan dari sisi syari’ah bisa dibagi tiga,
ada yang wajib melaksanakannya, dan yang sunnah melaksanakannya, dan ada juga
yang mubah melaksanakannya. Demikian pula kemafsadatan, ada yang haram
melaksanakannya, dan ada yang makruh melaksanakannya.
Apabila diantara yang maslahat itu banyak dan harus
dilakukan salah satunya pada waktu yang sama, maka lebih baik dipilih yang
paling maslahat:
إِخْتِبَارُ الأَصْلَحِ فَالأَصْلَحْ
الْأَصْلَح
Hal
ini sesuai dengan Al-Qur’an, yaitu: QS. Az-Zumar Ayat 17-18
وَالَّذِيْنَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوْتَ
اَنْ يَّعْبُدُوْهَا وَاَنَابُوْٓا اِلَى اللّٰهِ لَهُمُ الْبُشْرٰىۚ فَبَشِّرْ
عِبَادِۙ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗ ۗ
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا
الْاَلْبَابِ
Artinya :
17. Orang-orang yang menjauhi tagut,
(yaitu) tidak menyembahnya dan kembali (bertobat) kepada Allah, bagi mereka
berita gembira. Maka, sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku. 18.
(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya.661) Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah dan mereka itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat).
QS.
Az-Zumar Ayat 55
وَاتَّبِعُوْٓا
اَحْسَنَ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ
يَّأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَّاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ ۙ
Artinya : Ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu (Al-Qur’an) sebelum azab datang kepadamu secara mendadak,
sedangkan kamu tidak menyadarinya.
QS.
Al-A’raf ayat 145
وَكَتَبْنَا لَهٗ فِى الْاَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
مَّوْعِظَةً وَّتَفْصِيْلًا لِّكُلِّ شَيْءٍۚ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَّأْمُرْ
قَوْمَكَ يَأْخُذُوْا بِاَحْسَنِهَا ۗسَاُورِيْكُمْ دَارَ الْفٰسِقِيْنَ
Artinya : Kami telah menuliskan untuk Musa pada
lauh-lauh (Taurat)282) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan untuk
segala hal. Lalu (Kami berfirman kepadanya,) “Berpegang teguhlah padanya dengan
sungguh-sungguh dan suruhlah kaummu berpegang padanya dengan
sebaik-baiknya.283) Aku akan memperlihatkan kepadamu (kehancuran) negeri
orang-orang fasik.”284
Demikian pula
sebaliknya pabila menghadapi mafsadah pada waktu yang sama, maka harus
didahulukan mafsadah yang paling buruk akibatnya. Apabila berkumpul antara
maslahat dan mafsadat, maka yang harus dipilih yang maslahatnya lebih banyak
(lebih kuat), dan apabila sama banyaknya atau sama kuatnya maka menolak
mafsadah lebih utama dari meraih maslahat, sebab menolak mafsadah itu sudah
merupakan kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah:
دَفْعُ الضَّرُرِ أَولَى
مِنْ جَلْبِ النَّفْعِ
Artinya : Menolak mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat
Adapun sebagian
kemaslahatan dunia dan kemafsadatan dunia dapat diketahui dengan akal sehat,
dengan pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan amanusia. Sedangkan kemaslahatan
dunia dan akhirat, serta kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali
dengan sysri’ah, yaitu melalui dalil syara’ baik Al-Qur’an, As-Sunah, Ijma’,
Qiyas yang diakui (mu’tabar) dan istislah yang shahih
(Akurat).
Tentang ukuran yang
lebih konkrit dari kemaslahatan ini, dijelaskan oleh imam Al-Ghazali, dalam al-mustashfa,
Imam Asy-Syatibi dalam al-muwafaqat dan ulama yang sekarang seperti Abu
Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf. Apabila disimpulkan, maka persyaratan
kemaslahatan tersebut adalah:
a.
Kemaslahatan itu harus
sesuai dengan maqashid al-syari’ah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli
dan dalil qoth’I baik wurud maupun dalalah-nya.
b. Kemaslahatan
itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan penelitian yang
cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bias mendatangkan manfaat
dan menghindarkan mudarat.
c. Kemaslahatan
itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang diluar batas, dalam
arti kemaslahatan itu bias dilaksanakan.
d.
Kemaslahatan itu
memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan kepada sebagian kecil
masyarakat.
Seluruh ketentuan agama adalah untuk kemaslahatan
hamba di dunia dan akhirat. Ketaatan hamba tidak akan menambah apa-apa kepada
kemahasempurnaan dan kemahakuasaan Allah, dan sebaliknya kemaksiatan hamba
tidak akan mengurangi kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah SWT.[3]
Ulama menetapkan salah satu kaidah pokok
lainnya, yaitu:
جَلْبُ التَّيْسِيْر وَ دَفْعُ
الْحَرْج
Bagaimanapun,
semua hal yang membuat segala sesuatu menjadi sempit dan sulit harus
dihilangkan, karena agama diturunkan oleh Allah bukan untuk menimbulkan
kesulitan lagi manusia, melainkan untuk memberikan kemudahan kepada mereka.
Kaidah pokok itu adalah:
الَمشَقَةُ تَجْلِبُ التَّيْسِير
Artinya : Kesulitan itu mendatangkan kemudahan
Dari
kaidah ini diakui adanya dispensasi (rukhsah) dalam hukum Islam.
Keringanan (rukhsah) dalam lingkup ibadah dan sebagainya dibenarkan
adanya apabila memenuhi enam sebab:
1.
Kondisi atau alasan
dalam perjalanan (al-safar).
2.
Dalam kondisi sakit (al-maradh)
3.
Karena terpaksa (al-ikrah)
4.
Karena lupa (al-nisyam)
5.
Karena ketidak tahuan/
belum mengerti (al-jahl)
6.
Kerena alasan
kekurangan yang bersifat alamiah (an-naqsh).
7.
Karena kesulitan dan
bencana global (al-‘usr wa ‘umum al-balwa).
Asal muasal dari kaidah diatas
adalah dari nash Al-Qur’an, yakni firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ
وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ
اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya : Bulan
Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda
(antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir
(di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib
menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.
Surat Al-Haj ayat 78:
وَجَاهِدُوْا فِى
اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى
الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَۗ هُوَ سَمّٰىكُمُ
الْمُسْلِمِيْنَ ەۙ مِنْ قَبْلُ وَفِيْ هٰذَا لِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا
عَلَيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِۖ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ
وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاعْتَصِمُوْا بِاللّٰهِ ۗهُوَ مَوْلٰىكُمْۚ فَنِعْمَ
الْمَوْلٰى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ ࣖ ۔
Artinya :
Berjuanglah kamu pada (jalan) Allah dengan sebenar-benarnya. Dia telah memilih
kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek
moyangmu, yaitu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim
sejak dahulu dan (begitu pula) dalam (kitab) ini (Al-Qur’an) agar Rasul (Nabi
Muhammad) menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia. Maka, tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berpegang
teguhlah pada (ajaran) Allah. Dia adalah pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik
pelindung dan sebaik-baik penolong.
Sesungguhnya
agama disisi Allah adalah yang ringan dan yang mudah . dalam suatu riwayat,
suatu ketika seorang Arab badui kencing didalam masjid disebabkan karena ketidak mengertiannya
ketika itu, sahabat melihat hal tersebut dan hendak memarahinya. Namun Rasulullah
SAW justru melarang sahabat memarahinya dan justru memberikan pandangan yang sangat bijak, sabdanya:
فَإِنَّماَ
بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ
Artinya : Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan
dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.”[4]
Wasilah
(cara atau jalan) menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang sesuai
dengan tujuan dan kemaslahatannya. Wasilah untuk mengetahui Allah, Dzat-Nya,
adalah wasilah yang paling utama dan lebih utama daripada mengetahui
hukum-hukumnya. Wasilah mengetahui hukum-hukum Allah lebih utama daripada
mengetahui ayat-ayatnya, wasilah yang berupa usaha shalat berjamaah yang
diwajibkan lebih utama daripada wasilah yang berupa usaha shalat berjamaah yang
disunnahkan. Jadi, ada wasilah yang menuju kepada maksud dan ada wasilah yang
menuju wasilah yang lain (wasilatumn ila wasilah), seperti menuntut ilmu
adalah wasilah untuk mengetahui hukum-hukum Allah dan mengetahui hukum-hukum
Allah adalah wasilah untuk taat kepada Allah, taat kepada Allah adalah wasilah
untuk mencapai pahala dan keridhaan Allah SWT. Amr ma’ruf adalah wasilah
menuju yang ma’ruf.
Demikian pula sebaliknya wasilah yang menuju kepada
mafsadah juga berjenjang, disesuaikan dengan kemafsadatannya. Nahi munkar adalah wasilah menghindarkan
kemungkaran. Wasilah yang menuju kepada yang haram, ini dijelaskan dengan
panjang lebar oleh Ibnu Qoyyim al-Jausiyyah dalam kitab I’lam
al-Muwaqi’in ‘an al- Rabb al-‘Alamin, yang menyebutkan segala wasilah yang
menuju maslahat disebutnya dengan “Fath al-Dzari’ah” (membuka jalan),
maksudnya kepada yang maslahat, dan segala wasilah yang menuju mafsadah
disebutnya dengan “Sadd al-Dzari’ah” (menutup jalan), maksudnya menutup
jalan kepada yang mafsadah. Untuk Sadd al-Dzari’ah ini, Ibnu Qoyyim memberikan
99 contoh dari Al-Qur’an dan Hadis dan diakhiri dengan kata “Bab Sadd
al-Dzari’ah”adalah seperempat taklif, karena taklif ini terdiri dari
perintah dan larangan. Perintah ada dua macam, yaitu perintahnya sendiri
maslahat, dan kedua wasilah kepada maslahat. Sementara larangan ada dua macam
pula yaitu, larangannya sendiri karena adanya mafsadah padanya, dan kedua
sesuatu yang membawa jalan menuju mafsadah. Oleh karena itu, Sadd
al-Dzari’ah adalah seperempat dari agama.
Dari hubungan antara maqashid/tujuan
ini memunculkan kaidah-kaidah seperti:
لِلْوَسَائِلِ أَحْكَامِ المَقَاصِدِ
Artinya
: Bagi
setiap wasilah (media) hukumnya adalah sama dengan hukum tujuan
Apabila yang dituju itu wajib, maka
media menuju kepada yang wajib juga wajib. Sebaliknya apabila yang dituju itu
haram, maka usaha menuju yang haram juga haram. Apabila babi itu haram, maka
menyelenggarakan peternakan babi juga haram bagi orang Islam.
Apabila menutup aurat itu wajib,
maka mengusahakan pabrik tekstil untuk menutup aurat adalah wajib. Apabila
shalat jum’at itu wajib, maka pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at
menjadi wajib.
Kemudian di dalam menilai baik
buruknya suatu cara sangat tergantung kepada tujuan:
فَالوَسِيْلَةُ إِلَى
أَفْضَلِ المَقَاصِدِ هِيَ أَفْضَلُ الوَسَائِلِ وَالوَسِيْلَةُ إِلَى أَرْذَلِ المَقَاصِدِ
هِيَ أَرْذَلُ الوَسَائِلِ
Artinya : Cara (media) yang menuju kepada tujuan yang paling
utama adalah seutamanya-utamanya cara, dan cara yang menuju kepada tujuan yang
paling hina adalah seburuk-buruknya cara
Kemudian kaidah di atas
dipersingkat menjadi:
مَا لاَ يَتِمُّ الوَجِبَ إِلاَّ
بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Artinya : Apabila kewajiban tidak bias dilaksanakan karena
dengan adanya suatu hal, maka hal tersebut juga wajib.
Demikian
pula halnya dengan kaidah:
مَا أَدَى إِلَى الحَرَامِ فَهُوَ
حَرَامٌ
Artinya : Apa yang membawa kepada yang haram maka hal tersebut
juga haram hukumnya.
Kedua kaidah terakhir ini sesungguhnya, asalnya,
kaidah ushul fiqh karena merupakan kaidah di dalam cara istinbath (fath
al-dzari’ah dan sadd al-dzari’ah). Akan tetapi para fuqaha
memasukkannya sebagai kaidah fikih.
Imam Tajjudin al-Subki dalam kitabnya al-Asyban
wa al-Nazhair, menyingkat kaidah dari Izuddin Ibn ‘Abd al-Salam dengan
kata-kata: “meraih kemaslahatan” (jalb al-Mashalih), karena menolak
kemafsadatan sudah termasuk meraih kemaslahatan.
Setelah menyebut kaidah di atas kemudian al-Subki
menjelaskan al-qawa’id al-khams, kaidah yang lima, kemudian menjelaskan qawa’id
al-‘Ammah (kaidah-kaidah yang umum) selain kaidah yang lima tadi, yang
jumlahnya 27 kaidah. Selain itu ada kaidah-kaidah yang disebutnya dengan al-qaidah
al-Khashshah, yaitu kaidah-kaidah yang meliputi bab-bab fikih tertentu yang
terdiri dari 185 kaidah yang meliputi fikih ibadah, fikih muamalah, khususnya
tentang jual beli, fikih qadha, khususnya tentang pengakuan dan fikih
munakahat.
Dengan demikian, Imam al-Subki sudah lebih
sistematis dan rinci membahas kaidah-kaidah fikih meskipun belum lengkap, betul
dan pasti tidak akan pernah lengkap selama ilmu ini berkembang terus. Selain
itu, kelebihan Imam al-Subki juga menyusunnya berdasarkan besar kecilnya ruang
lingkup dan cakupan, seperti dijelaskan di atas. Sebab ada pula ulama yang
menyusunnya berdasarkan abjad, da nada pula yang berdasarkan pembagian kepada
kaidah-kaidah yang disepakati.[5]
2.4
5 Kaidah Pokok Fiqih
1.
Segala
Perkara Tergantung Kepada Niatnya
kaidah ini merupakan kaidah asasi yang pertama.
Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat.
Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan
dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam
menentukan kualitas ataupun makna
perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah
ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah,
tetapi semata - mata karena nafsu atau kebiasaan.[6]
Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila
menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal
untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata_mata untuk menyiksa
dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan. Adapun dasar-dasar
pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama mengenai niat, diantaranya sebagai berikut:[7]
QS. Al-Imran Ayat 145
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تَمُوْتَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ كِتٰبًا
مُّؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۚ وَمَنْ
يُّرِدْ ثَوَابَ الْاٰخِرَةِ نُؤْتِهٖ مِنْهَا ۗ وَسَنَجْزِى الشّٰكِرِيْنَ
Artinya : Setiap yang bernyawa tidak akan mati, kecuali dengan izin Allah sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Siapa yang menghendaki pahala dunia,
niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu dan siapa yang menghendaki
pahala akhirat, niscaya Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu.
Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada
niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR.
Bukhari dari Umar bin Khattab)
Artinya: “Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang kosong dari
niat)”. (HR. Thabrani dari Shalan
Ibnu Said)
2. Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Karena Adanya
Keraguan
Kaidah fikih yang kedua
adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.[8] secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Al
Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada kearguan didalamnya. Ulama
sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan
antonym dari Asy-Syakk. Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam
Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:
1.
Keragu-raguan
yang berasal dari haram.
2.
Keragu-raguan
yang berasal dari mubah.
3.
Keragu-raguan
yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh
pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat
dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut (hukum asal
sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga
al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan.
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang
kedua ini mengenai keyakinan dean keraguan, antara lain sebagai berikut:
Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ
شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ
مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya : “ Dari Abu
Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian
merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah
keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai
dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).
3.
Kesulitan Mendatangkan
Kemudahan
Kaidah
Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir ialah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan
adanya kemudahan atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek
hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan
kondisi tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan
kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir menunjukkan fleksibilitas hukum
Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau
sukar tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah
asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional
dan situasional pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih. QS. An-Nahl ayat 7:
وَتَحْمِلُ
اَثْقَالَكُمْ اِلٰى بَلَدٍ لَّمْ تَكُوْنُوْا بٰلِغِيْهِ اِلَّا بِشِقِّ
الْاَنْفُسِۗ اِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌۙ
Artinya : Ia
mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya,
kecuali dengan susah payah. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Yang
dimaksud ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian
dari pada kaidah hukum. Dan yang
dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga
tidak termasuk didalamnya pengertian
kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer.
Sedangkan
al-taisir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim disebutkan:
إن الد ين يسر
Artinya : “Agama itu mudah, tidak memberatkan” (yusrun
lawan dari kata ‘usyrun)
4.
Kesulitan
Harus Dihilangkan
Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya
itu harus dihilangkan yang didasarkan pada hadist nabi, kedua bahwa keadaan
dharurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang. Ketiga, kebolehan ( dalam
melakukan hal yang dilarang ) itu sekedarnya saja. Keempat, bahaya tidak boleh
dihilangkan dengan bahaya serupa. Kelima, bahaya khusus ditanggung untuk
mencegah bahaya umum.
Dharurat bermakna sesuatu ( bahaya ) yang
menimpa manusia jika ditinggalkan sekiranya tak ada sesuatu lain yang dapat
menempati posisinya. Sebagian ulama berargumen bahwa hal yang dapat menyebabkan
hilangnya nyawa atau hilangnya anggota tubuh. Sedangkan kebutuhan ialah sesuatu
( bahaya ) yang menimpa manusia jika ditinggalkan namun posisinya masih dapat
diselesaikan dengan hal lain. Namun yang perlu diperhatikan adalah syarat -
syarat untuk memenuhi kaidah ini karena banyak orang yang mengambil dispensasi
dari kaidah ini tanpa memperhatikan syaratnya. Diantaranya : Pertama, dharurat
dapat dihilangkan dengan melakukan yang dilarang. Kedua, tidak menemukan solusi
lain. Ketiga, yang dilarang lebih kecil ( resikonya ) daripada dharurat.[9]
Kaidah untuk memperbolehkan sesuatu yang
dilarang syariat ini tidak bersifat mutlak, di sisi lain mempunyai batas-batas
tertentu. Dan disisi lain masih memiliki ketergantungan pada kaidah lain. Maka
perlu untuk menyinergikan antara kaidah satu dengan yang lain. Q.S Al Baqarah
Ayat 173
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ
وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا
عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya : Sesungguhnya Dia hanya
mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang
disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa
(memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
5.
Adat
Dapat Dijadikan Pertimbangan Dalam Menetapkan Dan Menerapkan Hukum
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat
atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan
kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau
perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal
dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu
perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam
mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak
kemanusiaannya.[10]
Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa
al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia
secara umum (al-‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga
menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang
fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia dan
tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak
membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah
menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram
atau membatalkan yang wajib.[11]
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika
memenuhi syarat-syarat berikut:
1.
Tidak
bertentangan dengan syari'at.
2.
Tidak
menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan
3.
Telah
berlaku pada umumnya orang muslim.
4.
Tidak
berlaku dalam ibadah mahdlah.
5.
Urf
tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6.
Tidak
bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.
Dasar Hukum Kaidah
QS. Al-A’raf Ayat 199
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ
عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
Artinya : Jadilah
pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari
orang-orang bodoh.
QS.
An-Nisa Ayat 19
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ
لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا
بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ
مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ
فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, tidak
halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa.150) Janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang
nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai
mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di
sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut
Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar,
Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah
dan fiqhiyyah. Qa’idah
kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan
kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah
berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf,
yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.
1.
Segala
Perkara Tergantung Kepada Niatnya
2.
Keyakinan
Tidak Bisa Dihilangkan Karena Adanya Keraguan
3. Kesulitan
Mendatangkan Kemudahan
4.
Kesulitan
Harus Dihilangkan
5.
Adat
Dapat Dijadikan Pertimbangan Dalam Menetapkan Dan Menerapkan Hukum
DAFTAR
PUSTAKA
A. Mu’in,
dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam, 1986
Abdul haq,
dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009
Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, cet.2
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013)
Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah
Al-Syamilah
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum
Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2007)
H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, cet. 1,
(Jakarta: Kencana, 2006)
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001
Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT.
Raja Grapindo Persada, 2001)
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: sejarah dan kaidah-kaidah
asasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002)
[1] Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”,
Surabaya: Santri Salaf, 2009, hal,3.
[2] A. Mu’in,
dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam, 1986, hal, 181.
[3] H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih, cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 27-30
[4] Alaiddin Koto, Filsafat Hukum
Islam, cet.2 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 149-150
[5] Op.cit. hal 30-33
[6] Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih:
Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis, (Jakarta:
Kencana, 2007), 34.
[7] Imam Musbikin, Qawaid
al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001) 39.
[8] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh:
sejarah dan kaidah-kaidah asasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 128.
[9] Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid
Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah, hlm. 48
[10] jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah
dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 153
[11] Imam Musbikin, Qawa’id
Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, h. 94.