Selasa, 29 Maret 2022

Makalah Kaidah Fiqhiyah

 

BABI

PENDAHULUAN

 

1.1   Latar Belakang

Dalam sebuah alinea kitab al-Madkhal al-Fiqhi, karya Dr. Musthafa az-Zarqa` (w. 1375 H) menulis: “seandainya kaidah fiqih tidak ada, maka hukum-hukum fiqih akan tetap menjadi cecaran-cecaran hukum yang secara lahir saling bertentangan satu sama lain.”

Mustafa az-Zarqa benar, sebab apabila kita terus-menerus berkutat mempelajari hukum-hukum fiqih secara parsial (sepotong-sepotong), maka kita akan merasakan adanya kontradiksi antara satu hukum dengan hukum lainnya. Kita sering dibuat bingung saat mempelajari persoalan-persoalan hukum yang karakternya sama tetapi ketentuan hukumnya berbeda.

Salah satu solusi untuk mengurai benang kusut itu adalah dengan mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syari’at. Jadi, selain kita mempelajari hukum-hukum yang sudah jadi, kita juga dituntut untuk menguasai pangkal persoalan atau substanti hukumnya. Caranya adalah degan mempelajari kaidah fiqih, baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah. Dengan kedua kaidah tersebut nilai-nilai esensial syari’at terurai dengan sangat lugas, logis, tuntas, dan rasional.[1]

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.

            Pengertian Qa’idah fiqhiyyah menurut Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa ialah:

اُصُوْلٌ فِقْهِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ فىِ نُصُوْصٍ مُوْجِزَةٍ دُسْتُوْرِيَّةٍ تَضْمَنُ أَحْكَامًا تَشْرِيْعِيَّةً عَامَّةً فِى الْحَوَادِثِ الَّتِى تَذْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهَا

Artinya : Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencangkup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.

Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, qa’idah fiqhiyyah itu ialah:

“qa’idah-qa’idah yang bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy syar’i) pada mukalaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.”[2]

 

2.2  Sumber atau Dalil

Kalau diperhatikan dengan seksama, maka kaidah-kaidah fikih bila ditinjau dari sumbernya maka terbagi menjadi dua bagian :

1.    Kaidah fikih yang teksnya terambil langsung dari nash al-qur’an dan as-sunnah. Misalnya firman allah ta’ala : ( QS Al baqarah : 188)

 

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

Artinya :  Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Ayat ini merupakan sebuah kaidah tentang haramnya semua jenis transaksi dan perbuatan yang akan berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak syar’i. Adapun misal kaidah fikih yang terambil dari sabda Rasullah :

لاضررولاضرر

Artinya : tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain”

Hadis ini merupakan sebuah kaidah umum tentang berbagai hal, mulai dari masalah-masalahmakanan, pergaulan, muamalah, dan lainnya.

2.    Kaidah fikih yang teksnya tidak terambil dari al-qur’an dan as-sunnah, namun kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as-sunnah.

Misalnya adalah sebuah kaidah yang sangat masyur:

اليقين لايزؤل با لشك

Artinya : sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan.

3.    Kaidah fikih yang tersusun berdasarkan ijtihad para ulama. Dan ini biasanya didasarkan atas sebuah qiyas atau ta’lil ( melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat kepada sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah ( maksud dan tujuan dari sebuah hukum syar’i ) atau yang lainnya.

 

 

 

 

 

2.3    Jalbu Al-Masalih wa Dar’u Al-Mafasid (Meraih Kemaslahatan dan Menolak Kemafsadatan)

جَلْبُ اْلمَصَالِحِ وَدَرْءُ الَمفَاسِدِ

Kaidah-kaidah fikih itu memiliki ruang lingkup dan cakupan yang berbeda, dari ruang lingkup dan cakupan yang berbeda, dari ruang lingkup yang paling luas dan cakupan yang paling banyak sampai kepada kaidah-kaidah fiqh yang ruang lingkupnya sempit dan cakupannya sedikit.

‘Izzudin bin Abd al-Salam dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah maslahat, baik dengan cara menolak  mafsadah atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada maslahat, ada pula yang menyebabkan mafsadat. Baik maslahat maupun mafsadat, ada yang untuk kepentingan duniawiyah dan ada yang untuk kepentingan ukhrawiyah. Seluruh yang maslahat diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadah dilarang oleh syari’ah. Setiap kemaslahatan memiliki tingkat-tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaatnya serta pahalanya, dan setiap ke-mafsadat-an juga memiliki tingkat-tingkatannya dalam keburukan dan ke-mudharat-annya.

Kemaslahatan dari sisi syari’ah bisa dibagi tiga, ada yang wajib melaksanakannya, dan yang sunnah melaksanakannya, dan ada juga yang mubah melaksanakannya. Demikian pula kemafsadatan, ada yang haram melaksanakannya, dan ada yang makruh melaksanakannya.

Apabila diantara yang maslahat itu banyak dan harus dilakukan salah satunya pada waktu yang sama, maka lebih baik dipilih yang paling maslahat:

إِخْتِبَارُ الأَصْلَحِ فَالأَصْلَحْ الْأَصْلَح

Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an, yaitu: QS. Az-Zumar Ayat 17-18

 وَالَّذِيْنَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوْتَ اَنْ يَّعْبُدُوْهَا وَاَنَابُوْٓا اِلَى اللّٰهِ لَهُمُ الْبُشْرٰىۚ فَبَشِّرْ عِبَادِۙ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗ ۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Artinya : 17.  Orang-orang yang menjauhi tagut, (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali (bertobat) kepada Allah, bagi mereka berita gembira. Maka, sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku. 18. (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.661) Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat).

 

QS. Az-Zumar Ayat 55

وَاتَّبِعُوْٓا اَحْسَنَ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَّاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ ۙ

Artinya :  Ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu (Al-Qur’an) sebelum azab datang kepadamu secara mendadak, sedangkan kamu tidak menyadarinya.

 

QS. Al-A’raf ayat 145

وَكَتَبْنَا لَهٗ فِى الْاَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَّوْعِظَةً وَّتَفْصِيْلًا لِّكُلِّ شَيْءٍۚ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَّأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوْا بِاَحْسَنِهَا ۗسَاُورِيْكُمْ دَارَ الْفٰسِقِيْنَ

Artinya : Kami telah menuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (Taurat)282) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan untuk segala hal. Lalu (Kami berfirman kepadanya,) “Berpegang teguhlah padanya dengan sungguh-sungguh dan suruhlah kaummu berpegang padanya dengan sebaik-baiknya.283) Aku akan memperlihatkan kepadamu (kehancuran) negeri orang-orang fasik.”284

Demikian pula sebaliknya pabila menghadapi mafsadah pada waktu yang sama, maka harus didahulukan mafsadah yang paling buruk akibatnya. Apabila berkumpul antara maslahat dan mafsadat, maka yang harus dipilih yang maslahatnya lebih banyak (lebih kuat), dan apabila sama banyaknya atau sama kuatnya maka menolak mafsadah lebih utama dari meraih maslahat, sebab menolak mafsadah itu sudah merupakan kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah:

دَفْعُ الضَّرُرِ أَولَى مِنْ جَلْبِ النَّفْعِ

        Artinya : Menolak mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat

Adapun sebagian kemaslahatan dunia dan kemafsadatan dunia dapat diketahui dengan akal sehat, dengan pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan amanusia. Sedangkan kemaslahatan dunia dan akhirat, serta kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali dengan sysri’ah, yaitu melalui dalil syara’ baik Al-Qur’an, As-Sunah, Ijma’, Qiyas yang diakui (mu’tabar) dan istislah yang shahih (Akurat).

Tentang ukuran yang lebih konkrit dari kemaslahatan ini, dijelaskan oleh imam Al-Ghazali, dalam al-mustashfa, Imam Asy-Syatibi dalam al-muwafaqat dan ulama yang sekarang seperti Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf. Apabila disimpulkan, maka persyaratan kemaslahatan tersebut adalah:

a.     Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid al-syari’ah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qoth’I baik wurud maupun dalalah-nya.

b.    Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bias mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.

c.     Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang diluar batas, dalam arti kemaslahatan itu bias dilaksanakan.

d.    Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan kepada sebagian kecil masyarakat.

Seluruh ketentuan agama adalah untuk kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Ketaatan hamba tidak akan menambah apa-apa kepada kemahasempurnaan dan kemahakuasaan Allah, dan sebaliknya kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah SWT.[3]

Ulama menetapkan salah satu kaidah pokok lainnya, yaitu:

جَلْبُ التَّيْسِيْر وَ دَفْعُ الْحَرْج

Bagaimanapun, semua hal yang membuat segala sesuatu menjadi sempit dan sulit harus dihilangkan, karena agama diturunkan oleh Allah bukan untuk menimbulkan kesulitan lagi manusia, melainkan untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Kaidah pokok itu adalah:

الَمشَقَةُ تَجْلِبُ التَّيْسِير

Artinya : Kesulitan itu mendatangkan kemudahan

Dari kaidah ini diakui adanya dispensasi (rukhsah) dalam hukum Islam. Keringanan (rukhsah) dalam lingkup ibadah dan sebagainya dibenarkan adanya apabila memenuhi enam sebab:

1.         Kondisi atau alasan dalam perjalanan (al-safar).

2.         Dalam kondisi sakit (al-maradh)

3.         Karena terpaksa (al-ikrah)

4.         Karena lupa (al-nisyam)

5.         Karena ketidak tahuan/ belum mengerti (al-jahl)

6.         Kerena alasan kekurangan yang bersifat alamiah (an-naqsh).

7.         Karena kesulitan dan bencana global (al-‘usr wa ‘umum al-balwa).

            Asal muasal dari kaidah diatas adalah dari nash Al-Qur’an, yakni firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya : Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.

          Surat Al-Haj ayat 78:

وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَۗ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ ەۙ مِنْ قَبْلُ وَفِيْ هٰذَا لِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِۖ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاعْتَصِمُوْا بِاللّٰهِ ۗهُوَ مَوْلٰىكُمْۚ فَنِعْمَ الْمَوْلٰى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ ࣖ ۔

Artinya : Berjuanglah kamu pada (jalan) Allah dengan sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu, yaitu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu dan (begitu pula) dalam (kitab) ini (Al-Qur’an) agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka, tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berpegang teguhlah pada (ajaran) Allah. Dia adalah pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.

 

Sesungguhnya agama disisi Allah adalah yang ringan dan yang mudah . dalam suatu riwayat, suatu ketika seorang Arab badui kencing didalam masjid  disebabkan karena ketidak mengertiannya ketika itu, sahabat melihat hal tersebut dan hendak memarahinya. Namun Rasulullah SAW justru melarang sahabat memarahinya dan justru memberikan  pandangan yang sangat bijak, sabdanya:

فَإِنَّماَ بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ

Artinya : Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.”[4]

Wasilah (cara atau jalan) menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang sesuai dengan tujuan dan kemaslahatannya. Wasilah untuk mengetahui Allah, Dzat-Nya, adalah wasilah yang paling utama dan lebih utama daripada mengetahui hukum-hukumnya. Wasilah mengetahui hukum-hukum Allah lebih utama daripada mengetahui ayat-ayatnya, wasilah yang berupa usaha shalat berjamaah yang diwajibkan lebih utama daripada wasilah yang berupa usaha shalat berjamaah yang disunnahkan. Jadi, ada wasilah yang menuju kepada maksud dan ada wasilah yang menuju wasilah yang lain (wasilatumn ila wasilah), seperti menuntut ilmu adalah wasilah untuk mengetahui hukum-hukum Allah dan mengetahui hukum-hukum Allah adalah wasilah untuk taat kepada Allah, taat kepada Allah adalah wasilah untuk mencapai pahala dan keridhaan Allah SWT. Amr ma’ruf adalah wasilah menuju yang ma’ruf.

Demikian pula sebaliknya wasilah yang menuju kepada mafsadah juga berjenjang, disesuaikan dengan kemafsadatannya.  Nahi munkar adalah wasilah menghindarkan kemungkaran. Wasilah yang menuju kepada yang haram, ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Ibnu Qoyyim al-Jausiyyah dalam kitab I’lam al-Muwaqi’in ‘an al- Rabb al-‘Alamin, yang menyebutkan segala wasilah yang menuju maslahat disebutnya dengan “Fath al-Dzari’ah” (membuka jalan), maksudnya kepada yang maslahat, dan segala wasilah yang menuju mafsadah disebutnya dengan “Sadd al-Dzari’ah” (menutup jalan), maksudnya menutup jalan kepada yang mafsadah. Untuk Sadd al-Dzari’ah ini, Ibnu Qoyyim memberikan 99 contoh dari Al-Qur’an dan Hadis dan diakhiri dengan kata “Bab Sadd al-Dzari’ah”adalah seperempat taklif, karena taklif ini terdiri dari perintah dan larangan. Perintah ada dua macam, yaitu perintahnya sendiri maslahat, dan kedua wasilah kepada maslahat. Sementara larangan ada dua macam pula yaitu, larangannya sendiri karena adanya mafsadah padanya, dan kedua sesuatu yang membawa jalan menuju mafsadah. Oleh karena itu, Sadd al-Dzari’ah adalah seperempat dari agama.

Dari hubungan antara maqashid/tujuan ini memunculkan kaidah-kaidah seperti:

لِلْوَسَائِلِ أَحْكَامِ المَقَاصِدِ

Artinya :  Bagi setiap wasilah (media) hukumnya adalah sama dengan hukum tujuan

Apabila yang dituju itu wajib, maka media menuju kepada yang wajib juga wajib. Sebaliknya apabila yang dituju itu haram, maka usaha menuju yang haram juga haram. Apabila babi itu haram, maka menyelenggarakan peternakan babi juga haram bagi orang Islam.

Apabila menutup aurat itu wajib, maka mengusahakan pabrik tekstil untuk menutup aurat adalah wajib. Apabila shalat jum’at itu wajib, maka pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at menjadi wajib.

Kemudian di dalam menilai baik buruknya suatu cara sangat tergantung kepada tujuan:

فَالوَسِيْلَةُ إِلَى أَفْضَلِ المَقَاصِدِ هِيَ أَفْضَلُ الوَسَائِلِ وَالوَسِيْلَةُ إِلَى أَرْذَلِ المَقَاصِدِ هِيَ أَرْذَلُ الوَسَائِلِ

Artinya : Cara (media) yang menuju kepada tujuan yang paling utama adalah seutamanya-utamanya cara, dan cara yang menuju kepada tujuan yang paling hina adalah seburuk-buruknya cara

Kemudian kaidah di atas dipersingkat menjadi:

مَا لاَ يَتِمُّ الوَجِبَ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Artinya : Apabila kewajiban tidak bias dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal, maka hal tersebut juga wajib.

Demikian pula halnya dengan kaidah:

مَا أَدَى إِلَى الحَرَامِ فَهُوَ حَرَامٌ

Artinya :  Apa yang membawa kepada yang haram maka hal tersebut juga haram hukumnya.

Kedua kaidah terakhir ini sesungguhnya, asalnya, kaidah ushul fiqh karena merupakan kaidah di dalam cara istinbath (fath al-dzari’ah dan sadd al-dzari’ah). Akan tetapi para fuqaha memasukkannya sebagai kaidah fikih.

Imam Tajjudin al-Subki dalam kitabnya al-Asyban wa al-Nazhair, menyingkat kaidah dari Izuddin Ibn ‘Abd al-Salam dengan kata-kata: “meraih kemaslahatan” (jalb al-Mashalih), karena menolak kemafsadatan sudah termasuk meraih kemaslahatan.

Setelah menyebut kaidah di atas kemudian al-Subki menjelaskan al-qawa’id al-khams, kaidah yang lima, kemudian menjelaskan qawa’id al-‘Ammah (kaidah-kaidah yang umum) selain kaidah yang lima tadi, yang jumlahnya 27 kaidah. Selain itu ada kaidah-kaidah yang disebutnya dengan al-qaidah al-Khashshah, yaitu kaidah-kaidah yang meliputi bab-bab fikih tertentu yang terdiri dari 185 kaidah yang meliputi fikih ibadah, fikih muamalah, khususnya tentang jual beli, fikih qadha, khususnya tentang pengakuan dan fikih munakahat.

Dengan demikian, Imam al-Subki sudah lebih sistematis dan rinci membahas kaidah-kaidah fikih meskipun belum lengkap, betul dan pasti tidak akan pernah lengkap selama ilmu ini berkembang terus. Selain itu, kelebihan Imam al-Subki juga menyusunnya berdasarkan besar kecilnya ruang lingkup dan cakupan, seperti dijelaskan di atas. Sebab ada pula ulama yang menyusunnya berdasarkan abjad, da nada pula yang berdasarkan pembagian kepada kaidah-kaidah yang disepakati.[5]

2.4 5 Kaidah Pokok Fiqih

1.      Segala Perkara Tergantung Kepada Niatnya

kaidah ini merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini  menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah  diartikan dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan  pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun  makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu  perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata - mata karena nafsu atau kebiasaan.[6] Misalnya seperti, niat untuk menikah,  apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata_mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan. Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama mengenai niat, diantaranya sebagai berikut:[7] QS. Al-Imran Ayat 145

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تَمُوْتَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ كِتٰبًا مُّؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۚ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الْاٰخِرَةِ نُؤْتِهٖ مِنْهَا ۗ وَسَنَجْزِى الشّٰكِرِيْنَ

Artinya : Setiap yang bernyawa tidak akan mati, kecuali dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu dan siapa yang menghendaki pahala akhirat, niscaya Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu. Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

 

 

Artinya: Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.(HR. Bukhari dari Umar bin Khattab)

Artinya: Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang kosong dari niat). (HR. Thabrani dari Shalan Ibnu Said)

2. Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Karena Adanya Keraguan

Kaidah fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.[8] secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Al Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada kearguan didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk. Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:

1.    Keragu-raguan yang berasal dari haram.

2.    Keragu-raguan yang berasal dari mubah.

3.    Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.

Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut (hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan.

Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan dean keraguan, antara lain sebagai berikut: Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Artinya : “ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).

 

3.      Kesulitan Mendatangkan Kemudahan

Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir ialah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau sukar tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih. QS. An-Nahl ayat 7:

وَتَحْمِلُ اَثْقَالَكُمْ اِلٰى بَلَدٍ لَّمْ تَكُوْنُوْا بٰلِغِيْهِ اِلَّا بِشِقِّ الْاَنْفُسِۗ اِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌۙ

Artinya : Ia mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Yang dimaksud ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang  disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah  hukum. Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung  unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya  pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer.

Sedangkan al-taisir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam  hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:

إن الد ين يسر

Artinya : Agama itu mudah, tidak memberatkan(yusrun lawan dari kata usyrun)

4.      Kesulitan Harus Dihilangkan

Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan yang didasarkan pada hadist nabi, kedua bahwa keadaan dharurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang. Ketiga, kebolehan ( dalam melakukan hal yang dilarang ) itu sekedarnya saja. Keempat, bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya serupa. Kelima, bahaya khusus ditanggung untuk mencegah bahaya umum.

Dharurat bermakna sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika ditinggalkan sekiranya tak ada sesuatu lain yang dapat menempati posisinya. Sebagian ulama berargumen bahwa hal yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau hilangnya anggota tubuh. Sedangkan kebutuhan ialah sesuatu ( bahaya ) yang menimpa manusia jika ditinggalkan namun posisinya masih dapat diselesaikan dengan hal lain. Namun yang perlu diperhatikan adalah syarat - syarat untuk memenuhi kaidah ini karena banyak orang yang mengambil dispensasi dari kaidah ini tanpa memperhatikan syaratnya. Diantaranya : Pertama, dharurat dapat dihilangkan dengan melakukan yang dilarang. Kedua, tidak menemukan solusi lain. Ketiga, yang dilarang lebih kecil ( resikonya ) daripada dharurat.[9]

Kaidah untuk memperbolehkan sesuatu yang dilarang syariat ini tidak bersifat mutlak, di sisi lain mempunyai batas-batas tertentu. Dan disisi lain masih memiliki ketergantungan pada kaidah lain. Maka perlu untuk menyinergikan antara kaidah satu dengan yang lain. Q.S Al Baqarah Ayat 173

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya :  Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

5.      Adat Dapat Dijadikan Pertimbangan Dalam Menetapkan Dan Menerapkan Hukum

Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.[10]

Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.[11]

Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:

1.      Tidak bertentangan dengan syari'at.

2.      Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan

3.      Telah berlaku pada umumnya orang muslim.

4.      Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah.

5.      Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.

6.      Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.

 

 

Dasar Hukum Kaidah

QS. Al-A’raf Ayat 199

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ

Artinya : Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.

 

            QS. An-Nisa Ayat 19

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa.150) Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.

 

 

 

"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1         Kesimpulan

Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.

1.      Segala Perkara Tergantung Kepada Niatnya

2.      Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Karena Adanya Keraguan

3.      Kesulitan Mendatangkan Kemudahan

4.      Kesulitan Harus Dihilangkan

5.      Adat Dapat Dijadikan Pertimbangan Dalam Menetapkan Dan Menerapkan Hukum

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Mu’in, dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986

Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009

Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, cet.2 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013)

Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah

Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2007)

H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2006)

Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001

Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001)

Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: sejarah dan kaidah-kaidah asasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002)

 

 

 



[1] Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009, hal,3.

[2] A. Mu’in, dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986, hal, 181.

[3] H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 27-30

[4] Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam, cet.2 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 149-150

[5] Op.cit. hal 30-33

[6] Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), 34.

[7] Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001) 39.

[8] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: sejarah dan kaidah-kaidah asasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 128.

[9] Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah, hlm. 48

[10] jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 153

[11] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, h. 94.

Makalah Kaidah Fiqhiyah

 

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam sebuah alinea kitab al-Madkhal al-Fiqhi, karya Dr. Musthafa az-Zarqa` (w. 1375 H) menulis: “seandainya kaidah fiqih tidak ada, maka hukum-hukum fiqih akan tetap menjadi cecaran-cecaran hukum yang secara lahir saling bertentangan satu sama lain.”

            Mustafa az-Zarqa benar, sebab apabila kita terus-menerus berkutat mempelajari hukum-hukum fiqih secara parsial (sepotong-sepotong), maka kita akan merasakan adanya kontradiksi antara satu hukum dengan hukum lainnya. Kita sering dibuat bingung saat mempelajari persoalan-persoalan hukum yang karakternya sama tetapi ketentuan hukumnya berbeda.

            Salah satu solusi untuk mengurai benang kusut itu adalah dengan mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syari’at. Jadi, selain kita mempelajari hukum-hukum yang sudah jadi, kita juga dituntut untuk menguasai pangkal persoalan atau substanti hukumnya. Caranya adalah degan mempelajari kaidah fiqih, baik kaidah ushuliyah maupun kaidah fiqhiyyah. Dengan kedua kaidah tersebut nilai-nilai esensial syari’at terurai dengan sangat lugas, logis, tuntas, dan rasional.[1]

 

1.2 Rumusan Masalah

1)      Apa Pengertian kaidah-kaidah fiqhiyah?

2)      Apa saja macam-macam kaidah fiqhiyah?

3)      Apa perbedaan antara kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah?

 

 

1.3 Tujuan Pembahasan

1)      Mengetahui dan memahami pengertian kaidah fiqhiyah.

2)      Mengetahui dan memahami macam-macam kaidah fiqhiyah.

3)      Mengetahui dan memahami perbedaan kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kaidah Fiqhiyah

Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.

            Pengertian Qa’idah fiqhiyyah menurut Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa ialah:

اُصُوْلٌ فِقْهِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ فىِ نُصُوْصٍ مُوْجِزَةٍ دُسْتُوْرِيَّةٍ تَضْمَنُ أَحْكَامًا تَشْرِيْعِيَّةً عَامَّةً فِى الْحَوَادِثِ الَّتِى تَذْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهَا

“Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencangkup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.”

            Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, qa’idah fiqhiyyah itu ialah:

“qa’idah-qa’idah yang bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy syar’i) pada mukalaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.”[2]

 

2.2 Macam-macam Kaidah Fiqhiyah

Kaidah fiqhiyyah dibagi menjadi 3 macam yaitu:

·         Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh, lima kaidah ini memiliki ruang lingkup Furi’iyyah yang sangat luas, komprehensif, dan universal, sehingga hampir menyentuh semua elemen hukum fiqih.

·         Kaidah-kaidah yang mempunyai cangkupan furu’ cukup banyak, tetapi tak seluas yang pertama, kaidah ini biasa disebut sebagai al-qawa’id al-aghlabiyah.

·         Kaidah yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawa’id al-qaliliyah) bahkan cenderung sangat sedikit.[3]

 

2.3 Perbedaan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah

Perbedaan antara keduanya adalah sebagi berikut:

o   Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.

 

o   Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.

 

o   Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).

 

o   Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.

 

o   Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.

 

o   Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.

 

o   Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.

 

o   Kaidah Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif. Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il –alfiqhiyawa tashiliha.[4]

 

 

 

 

 

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Qawaidul fiqhiyah adalah suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu.

Qawaid ushuliyah adalah hukum kulliyah (umum) yang dibentuk dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil.

            Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam menginstinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Haq, Abdul dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009.

Kurdi, Muliadi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011.

Mu’in, A. dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009, hal,3.

[2] A. Mu’in, dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986, hal, 181.

[3] Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009, hal,82.

[4] Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011, hal. 4