Senin, 24 Oktober 2022

MAKALAH BANK SYARIAH

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  LATAR BELAKANG

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya, dan telah lebih dahulu menerapkan sistem ini di tengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan sistem bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan sistem syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan. Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis.

Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, para nasabah pembiayaan dan para nasabah penyimpan dana di bank-bank syariah. Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan Bank Muamalat Indonesia melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepersen pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, Bank Muamalat Indonesia bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih. Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan.

 

1.2   

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  SEJARAH BANK SYARIAH DI INDONESIA

Perkembangan institusi keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan di Indonesia. Beberapa badan usaha pembiayaan non- Bank telah didirikan sebelum tahun 1992 yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah.

Kebutuhan masyarakat tersebut telah terjawab dengan terwujudnya sistem perbankan yang sesuai syariah. Pemerintah telah memasukkan kemungkinan tersebut dalam undang-undang yang baru. Undang - Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil yang secara rinci dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Ketentuan tersebut telah dijadikan sebagai dasar hukum beroperasinya Bank syariah di Indonesia. Periode 1992 sampai 1998, hanya terdapat satu Bank Umum Syariah dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah beroperasi.

Tahun 1998 muncul UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Perubahan UU tersebut menimbulkan beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan Bank syariah. Undangundang tesebut telah mengatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh Bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi Bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi Bank syariah.

Akhir tahun 1999, bersamaan dengan dikeluarkannya UU perbankan maka munculah bank-bank syariah umum dan Bank umum yang membuka unit usaha syariah. Sejak beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI), sebagai Bank syariah yang pertama pada tahun 1992, data Bank Indonesia per 30 Mei 2007 menunjukkan bahwa saat ini perbankan syariah nasional telah tumbuh cepat, ketika pelakunya terdiri atas 3 Bank Umum Syariah (BUS) antara lain: Bank Muamalat, Bank syariah Mandiri, 23 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 106 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), sedangkan asset kelolaan perbankan syariah nasional per Mei 2007 telah berjumlah Rp. 29 triliyun. Perkembangan Bank umum syariah dan Bank konvensional yang membuka cabang syariah juga didukung dengan tetap bertahannya Bank syariah pada saat perbankan nasional mengalami krisis cukup parah pada tahun 1998.

Sistem bagi hasil perbankan syariah yang diterapkan dalam produk-produk Bank Muamalat menjadikan bank tersebut relatif lebih mampu mempertahankan kinerjanya dan tidak bergantung pada tingkat suku bunga simpanan yang melonjak sehingga, beban operasionalnya lebih rendah dari bank konvensional.

Sebagai salah satu lembaga keuangan, bank perlu menjaga kinerjanya agar dapat beroperasi secara baik. Terlebih lagi Bank syariah harus bersaing dengan Bank konvensional yang dominan dan telah berkembang pesat di Indonesia. Persaingan yang semakin tajam ini harus di ikuti dengan manajemen yang baik untuk bisa bertahan di industri perbankan. Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh bank untuk bisa terus bartahan hidup adalah kinerja (kondisi keuangan) bank. market share dalam bersaing dengan Bank Konvensional yang telah berdiri lebih awal.

 

2.2 Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia

Keberadaan lembaga keuangan syariah merupakan sistem yang telah lama diharapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama umat Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia merindukan layanan jasa keuangan dan perbankan yang sesuai dengan syariat Islam, khususnya berkaitan dengan pelanggaran praktik riba, jauh dari kegiatan yang spekulatif yang serupa dengan perjudian, ketidakjelasan, pelanggaran prinsip keadilan dalam bertransaksi, serta keharusan penyaluran pembiayaan dan investasi pada kegiatan usaha yang etis dan benar secara syariah.[1] Sebuah kegiatan perbankan yang jauh dari unsur MAGHRIB (Maisir, Gharar, Riba) tentu akan menyelamatkan kehidupan kita di dunia dan di akhirat kelak.

Menurut Miranda Gultom sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang mendukung sistem ekonomi dan keuangan syariah di indonesia:[2]

1.      Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga bank adalah riba dan haram.

2.      Trend kesadaran Umat Islam yang semakin meningkat, khususnya di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas.

3.      Sistem ekonomi syariah berhasil menunjukkan keunggulannya, teruji pada saat krisis ekonomi.

4.      UU Perbankan Syariah akan menjadi payung hukum bagi perbankan syariah di indonesia.

5.      Tuntutan integrasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang saling menopang.

Sejak Indonesia merdeka, telah disusun tiga undang-undang yang mengatur tentang Perbankan, yaitu UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok–pokok Perbankan, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam bentuk Undang-Undang juga telah dikeluarkan berbagai Paket Kebijaksanaan.[3] Di bawah ini adalah uraian mengenai periodisasi regulasi atau Undang-Undang Perbankan Syariah di Indonesia yang di awali dengan adanya regulasi Perbankan.

 

1.         Periode Undang-Undang No. 14 Tahun 1967

Pengaturan tentang perbankan di indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Di antara lembaga keuangan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De Javashe Bank N. V, tanggal 10 Oktober 1827[4] yang kemudian dikeluarkan Undang-Undang De Jaashe Bank Wet 1992.[5] Bank inilah yang kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui proses nasionalisasi pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.

Sesudah indonesia merdeka regulasi perbankan secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku pada masa itu. Namun demikian, undang-undang ini belum mengatur tentang bank syariah.[6]

 

2.         Periode Pakto 1988

Pada tahun 1988, Pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis perbankan seluas-luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Maka, dikeluarkanlah Paket Kebijakan Pemerintah Bulan Oktober Tahun 1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah ada. Setelah dikeluarkannya PAKTO 1988, kemudian dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah di Indonesia. Yang pertama kali memperoleh izin usaha adalah bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991. Kemudian, disusul oleh BPRS Amana Rabaniah pada tanggal 24 Oktober di tahun yang sama. Ketiga BPRS tersebut beroperasi di Bandung, dan kemudian berdiri BPRS Hereukat pada tanggal 10 Nopember tahun 1991 di Aceh.[7]

 

3.         Periode Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

Dalam rangka menyempurnakan tata perbankan nasional, dikeluarkan UU No. 7 tahun 1992 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1967. Melalui UU No. 7 Tahun 1992 ditempuh langkah-langkah sebagai berikut, antara lain:[8]

1)        Penyederhanaan jenis bank, menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya.

2)        Persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan lebih terarah.

3)        Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank.

4)        Peningkatan profesionalisme para pelaku di bidang perbankan.

5)        Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan bidang perbankan secara sehat dan bertanggungjawab sekaligus mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan kepentingan masyarakat luas.

Selain penyempurnaan-penyempurnaan di atas, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, memperkenalkan sistem Perbankan Bagi Hasil. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka (12), Pasal 6 huruf (m), dan Pasal 13 huruf (c). Secara lengkap pasal-pasal tersebut berbunyi:

Pasal 1 angka (12) :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”

Pasal 6 tentang Usaha Bank Umum Pasal 6 huruf (m) :

“Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”

Pasal 13 tentang Usaha BPR Pasal 13 huruf (c) :

“Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”.

Ketentuan tentang bagi hasil tersebut ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 2 ayat 1 PP tersebut menetapkan bahwa: “prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syarih” (harus sesuai dengan syariat Islam).

Selanjutnya Pasal 6 PP tersebut secara tegas menetapkan:

1)        Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.

2)        Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.

Ketentuan tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia yang pada pokoknya menetapkan hal-hal antara lain:

a.         Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.

b.        Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariah.

c.         Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).

d.        Bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.

Dari uraian di atas, tampak bahwa UU No. 7 Tahun 1992, PP No. 72 tahun 1992 dan beberapa Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) telah mulai mengatur tentang bank syariah walaupun tidak menggunakan istilah bank syariah akan tetapi menggunakan istilah ‘bank berdasarkan prinsip bagi hasil’.

 

4.         Periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998

Pada tanggal 10 November 1998 telah diundangkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 terdapat beberapa perubahan dan penyempurnaan yang bersifat substansial. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut adalah sebagai berikut :

1)        Peralihan kewenangan dan pemberian izin kepada Bank Indonesia yang sebelumnnya menjadi kewenangan Menteri Keuangan.

2)        Perlunya konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembentukan badan khusus.

3)        Peningkatan sanksi pidana atas pelanggaran rahasia bank.

4)        Peningkatan peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

5)        Ketentuan mengenai kemungkinan bank asing sebagai mitra strategis dan pemegang saham bank umum.

6)        Peranan Badan Pengawas Keuangan.

7)        Pendefinisian lembaga penjamin simpanan.

8)        Penegasan sifat sementara bagi badan khusus.

9)        Pencantuman persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perjanjian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

10)    Perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman.

Selain perubahan tersebut di atas, pada undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Undang-undang ini memberikan penegasan terhadap konsep perbankan islam dengan mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Juga terdapat penguatan kedudukan Hukum Islam bidang perikatan dalam tatanan hukum positif. Pasal 1 ayat (13) ini menyebutkan sebagai berikut :

“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa Iqtina’).”

Masalah yang diatur dalam undang-undang ini selain berupa penegasan terhadap eksistensi Perbankan Syariah di Indonesia juga menyangkut kelembagaan dan operasional Bank Syariah. Sebagai pelaksanaan dari undang-undang ini, kemudian dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan Syariah di Indonesia. Pada masa awal sebagai pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan operasional bank berdasarkan prinsip-prinsip syariah, dikeluarkanlah SK Direksi BI No. 32/34/KEP//DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syariah, dan SK Direksi BI No. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip syaraiah. Kedua SK tersebut kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yaitu untuk bank umum syariah diatur oleh PBI. No. 6/24//PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah jo PBI/No. 7/PBI/2005 tanggal 25 September 2005 tentang perubahan atas PBI No. 6/24/PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan untuk bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) diatur dengan PBI No. 6//17/PBI/2004 tanggal satu juli 2004 tentang Bank Perkereditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Pemberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini merupakan momen pengembangan perbankan syariah di Indonesia.[9]

Pada periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini juga dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang masih harus diatur lebih lanjut dalam pengaturan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam regulasi perbankan nasional yang akan datang. Pada masa ini operasional perbankan syariah masih mengacu pada ketentuan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Kedudukan fatwa belum mendapat pengakuan yang kuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam pengaturan ke depan, perlu pula dipertimbangkan pengukuhan kedudukan fatwa dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia.

 

5.         Pengaturan Bank Syariah melalui UU No. 21 Tahun 2008, Perbankan Syariah

Setelah melalui perjuangan panjang dalam mewujudkan impian-impian para ulama dan cedikiawan muslim Indonesia, akhirnya Perbankan syariah juga lahir melalui perjuangan panjang Majelis Ulama Indonesia dan Cendikiawan Muslim tersebut. Meskipun Perjuangan para ulama melalui MUI telah berhasil mewujudkan Bank Syariah melalui UU No.7 Tahun 1992 kemudian diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, namun para mujahid-mujahid perbankan dan ekonomi syariah itu tidak cukup puas, sehingga mereka tetap berjuang kembali mengajukan RUU Perbankan Syariah melaui Dewan Syariah Nasional (DSN) bersama dengan ASBSINDO, tahun 2007 kepada Pemerintah kemudian dilanjutkan ke DPR RI untuk disahkan menjadi sebuah Undang-Undang. Akhirnya RUU Perbankan Syariah dapat disetujui oleh DPR RI pada 07 Mei 2008 menjadi sebuah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, disahkan pada 17 Juni 2008 dan baru diundangkan di Jakarta pada 16 Juli 2008. Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mempunyai pengertian yang berbeda dengan undang-undang perbankan sebelumnya. Adapun pengertian Bank Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. UU ini terdiri dari XIII Bab, Pasal 70. Undang-Undang ini mengatur tentang beberapa hal, yaitu:

1)        Jenis Usaha Bank Syariah

2)        Ketentuan pelaksanaan syariah

3)        Kelayakan usaha

4)        Penyaluran dana bank syariah

5)        Larangan bagi bank syariah dan Unit Usaha Syariah

6)        Kepatuhan Syariah

 

2.3  PRODUK BANK SYARIAH

A.  Produk Penghimpunan Dana

Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito.  Dalam penerapannya,  produk  tersebut  dilaksanakan  melalui akad wadiah dan mudharabah.

1)        Prinsip Wadiah

Wadiah  adalah titipan murni dari satu pihak kepada pihak  lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kepada si penitip kapan saja si penitip menghendaki. Prinsip wadiah dalam produk bank syariah dapat dikembangkan menjadi dua jenis, yaitu:

a)        Wadiah yad-amanah. Prinsipnya, harta titipan tidak boleh dimanfaatkan  oleh  pihak  yang  dititipi  (Bank).  C ontohnya seperti produk sejenis save deposit box .

b)        Wadiah   yad-damanah. Pihak   yang   dititipi   (bank)   boleh menggunakan dan memanfaatkan harta titipan. Akad tersebut biasa   diaplikasikan   dalam   produk    rekening    giro   dan tabungan.[10]

2)        Prinsip Mudarabah

Dalam akad mudharabah, nasabah yang menyimpankan uangnya di bank bertindak sebagai sahibul mal (pemilik dana) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Nasabah pun berhak menerima bagi hasil  dari akad  tersebut.  Akad  ini  pun diaplikasikan  dalam dua bentuk, yaitu mudharabah mutlaqah dimana nasabah membebaskan bank untuk memutar dana tersebut dalam bentuk usaha apapun, dan mudharabah muqayyadah yang berarti bahwa nasabah membatasi bank  untuk  menginvestasikan dana ke dalam usaha tertentu saja. Prinsip  mudharabah  dalam  produk  bank  syariah  dapat dikembangkan untuk jenis produk giro, tabungan, maupun deposito.[11]

 

B.  Produk Penyaluran Dana

Dalam    menyalurkan    dananya    pada    nasabah,    produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam empat kategori yaitu:

1)        Prinsip Jual Beli (Bay)

Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Prinsip ini dapat dibagi sebagai berikut:

a)        Pembiayaan Murabahah

Menurut Muhammad Ibn Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd   bahwa pengertian murabahah yaitu: Bahwa pada dasarnya murabahah tersebut adalah jual beli dengan kesepakatan pemberian keuntungan bagi si penjual dengan memperhatikan dan memperhitungkannya dari modal awal si penjual.

 

b)        Pembiayaan Salam

  Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada.

c)        Pembiayaan Istisna

Produk Istisna menyerupai produk salam, tapi dalam Istisna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim Istisna dalam Bank Syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi. [12]

2)        Prinsip Sewa (I)

Transaksi  Ijarah  dilandasi  adanya  perpindahan  manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip Ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun perbedaanya terletak pada objek traksaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada Ijarah objek transaksinya adalah jasa.[13]

3)        Prinsip Bagi Hasil (Shirkah)

a)        Pembiayaan Musharakah

Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah Musharakah (shirkah atau sharikah atau serikat atau kongsi). Dalam artian semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek Musharakah dan dikelola bersama-sama.

b)        Pembiayaan Mudharabah

Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudarib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.[14]

c)      Al-muzara’ah

Al-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen..

d)     Al-musaqah

Al-musaqah merupakan bagian dari al-muza’arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam kontek adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap.[15]

4)      Akad Pelengkap

a)      Hiwalah (Alih Utang-Piutang)

Tujuan fasilitas Hiwalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya.

b)      Rahn (Gadai)

Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran    kembali    kepada    bank    dalam    memberikan pembiayaan. 

c)      Qard (Pinjaman Uang)

Qard adalah pinjaman uang. Aplikasi qard dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu:  pertama, sebagai pinjaman talangan haji, kedua, sebagai pinjaman tunai (cash advanced), ketiga, sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, keempat, sebagai pinjaman kepada pengurus bank.

d)     Wakalah (Perwakilan)

Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah  memberikan  kuasa  kepada  bank  untuk  mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkasi dan transfer uang.

e)      Kafalah (Garansi Bank)

Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.[16]

 

C.    Produk Jasa

Bank Syariah juga memiliki hak  untuk  melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan imbalan jasa sebagai keuntungannya. Jasa tersebut diantaranya sebagai berikut:

1)      Sarf   atau   jual   belu   valuta   asing.   Ba nk   dapat   mengambil keuntungan dari jasa jual beli valuta asing tersebut, namun penyerahannya harus dilakukan seketika pada waktu yang sama.

2)      Wakalah.  Nasabah  memberi kuasa kepada bank  untuk  mewakili dirinya  melakukan  pekerjaan  jasa  tertentu,  seperti:  trans fer,  dan sebagainya.[17]

2.4 KARAKTERISTIK BANK SYARIAH

Bank syariah tidak hanya bank bebas bunga, tetapi memiliki orientasi pencapaian sejahtera. Secara fundamental terdapat beberapa karakteristik bank syariah, yaitu[18]:

1.         Penghapusan riba,

2.         Pelayanan kepada kepentingan publik dan merealisasikan sasaran sosio-ekonomi islam.

3.         Bank syariah bersifat universal yang merupakan gabungan dari bank komersial dan bank investasi,

4.         Bank syariah akan melakukan evaluasi yang lebih berhati-hati terhadap permohonan pembiayaan yang berorientasi pada penyertaan modal karena bank komersial syariah menerapkan menerapkan profit-loss sharing dalam konsinyasi, ventura, bisnis atau industri,

5.         Bagi hasil cenderung mempererat hubungan antara bank syariah dan pengusaha,

6.         Kerangka yang dibangun dalam membantu bank mengatasi likuditasnya dengan memanfaatkan instrument pasar uang antarbank syariah dan instrumen bank sentral berbasis syariah.

 

BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN

1.      Pada umumnya yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan masalah uang sebagai dagangan utamanya.

2.      Produk Bank Syariah Terdiri Atas :

a)   Produk Penyaluran Dana,

b)  Produk Penghimpunan Dana,

c)   Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya

     Perkembangan perbankan syariah pada dasarnya merupakan bagian integral dan urgen sehingga tidak dapat dipisahkan dari pengembangan ekonomi syariah karena salah satu alternatif yang cocok diterapkan di Indonesia untuk memperbaiki keterpurukan ekonomi. Perankan syariah tidak akan berhasil berkembang dengan baik apabila tidak ada dukungan dari semua elemen bangsa, serta adanya satu kesatuan pola pikir tentang perbankan syariah sehingga tidak lagi ditemukan perbedaan pendapat yang kontroversial, karena hanya akan membingungkan umat, yang berakibat kepada keraguan mereka untuk berinvestasi secara syariah.

 



[1] _________, ”Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia: Peluang dan Tantangan,” Jurnal Ilmu Hukum Syiar Madani, Vol. XI No. 1, (Maret,  2009), 22.

[2] Miranda Gultom dalam Ibid.

[3] Menurut Edward W. Reed dan Edward K. Gil dalam Ibid., 23.

[4] Menurut J.E. Panglaykim-Pangestu dalam Ibid.

[5] Marhainis Abdul Hay dalam Ibid., 23-24.

[6] Gemala Dewi dalam Ibid., 24.

[7]Zainul Arifin dalam Amiruddin K, “Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum,” Jurnal Al-Risalah, Vol. 11 No.1, (Mei, 2011), 174.

[8] Penjelasan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

[9] Amiruddin K, “Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum,” Jurnal Al-Risalah, Vol. 11 No.1, (Mei, 2011), 178.

[10] Kamsir, Dasar-dasar Perbankan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003). Hlm: 217

[11] Sri Indah Nikens ari, Perbankan Syariah , (Se marang: Pus taka Rizki Putra, 2012), hal 129.

[12] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hal. 98

[13] Ibid., hal 99

[14] T.M.  Hasbi  Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh  Mu’amalah, cet.  II  (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), Hal. 24.

[15] Ibid., Kamsir, Dasar-dasar Perbankan…, hal. 223

[16] Ibid., Adiwarman A. Karim, Bank Islam .., hal. 105-107

[17] http://riabudiati.blogspot.co.id/2013/11/produk-bank-syariah.html. diakses pada tanggal 24 maret  2022 pukul 19.35 wib

[18] Andri Soemitra. 2009, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,Jakarta: Kencana Hal-67