BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Perkembangan
perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi
ekonomi syariah. Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama dan
menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya, dan telah lebih dahulu menerapkan
sistem ini di tengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang
terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak
yang dilikuidasi karena kegagalan sistem bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan
sistem syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan. Tidak hanya itu, di
tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir
tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari
terpaan krisis.
Lembaga-lembaga
keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta
keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, para nasabah
pembiayaan dan para nasabah penyimpan dana di bank-bank syariah. Hal ini dapat
dibuktikan dari keberhasilan Bank Muamalat Indonesia melewati krisis yang
terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan
tidak menerima sepersen pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan
tahun 2008, Bank Muamalat Indonesia bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar
lebih. Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk
menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan
mampu tumbuh dengan signifikan.
1.2
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
SEJARAH BANK SYARIAH DI INDONESIA
Perkembangan institusi keuangan syariah secara
informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai
landasan operasional perbankan di Indonesia. Beberapa badan usaha pembiayaan
non- Bank telah didirikan sebelum tahun 1992 yang telah menerapkan konsep bagi
hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan
masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan
jasa keuangan yang sesuai dengan syariah.
Kebutuhan masyarakat tersebut telah terjawab dengan
terwujudnya sistem perbankan yang sesuai syariah. Pemerintah telah memasukkan
kemungkinan tersebut dalam undang-undang yang baru. Undang - Undang No.7 Tahun
1992 tentang Perbankan secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha
perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil yang secara rinci
dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Ketentuan tersebut telah dijadikan sebagai
dasar hukum beroperasinya Bank syariah di Indonesia. Periode 1992 sampai 1998,
hanya terdapat satu Bank Umum Syariah dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) yang telah beroperasi.
Tahun 1998 muncul UU No. 10 tahun 1998 tentang
perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Perubahan UU tersebut
menimbulkan beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi
pengembangan Bank syariah. Undangundang tesebut telah mengatur secara rinci
landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan
oleh Bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi Bank
konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara
total menjadi Bank syariah.
Akhir tahun 1999, bersamaan dengan dikeluarkannya UU
perbankan maka munculah bank-bank syariah umum dan Bank umum yang membuka unit
usaha syariah. Sejak beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI), sebagai Bank
syariah yang pertama pada tahun 1992, data Bank Indonesia per 30 Mei 2007
menunjukkan bahwa saat ini perbankan syariah nasional telah tumbuh cepat,
ketika pelakunya terdiri atas 3 Bank Umum Syariah (BUS) antara lain: Bank
Muamalat, Bank syariah Mandiri, 23 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 106 Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), sedangkan asset kelolaan perbankan syariah
nasional per Mei 2007 telah berjumlah Rp. 29 triliyun. Perkembangan Bank umum
syariah dan Bank konvensional yang membuka cabang syariah juga didukung dengan
tetap bertahannya Bank syariah pada saat perbankan nasional mengalami krisis
cukup parah pada tahun 1998.
Sistem bagi hasil perbankan syariah yang diterapkan
dalam produk-produk Bank Muamalat menjadikan bank tersebut relatif lebih mampu
mempertahankan kinerjanya dan tidak bergantung pada tingkat suku bunga simpanan
yang melonjak sehingga, beban operasionalnya lebih rendah dari bank
konvensional.
Sebagai salah satu lembaga keuangan, bank perlu
menjaga kinerjanya agar dapat beroperasi secara baik. Terlebih lagi Bank
syariah harus bersaing dengan Bank konvensional yang dominan dan telah
berkembang pesat di Indonesia. Persaingan yang semakin tajam ini harus di ikuti
dengan manajemen yang baik untuk bisa bertahan di industri perbankan. Salah
satu hal yang harus diperhatikan oleh bank untuk bisa terus bartahan hidup
adalah kinerja (kondisi keuangan) bank. market share dalam bersaing dengan Bank
Konvensional yang telah berdiri lebih awal.
2.2
Regulasi Perbankan
Syariah di Indonesia
Keberadaan lembaga keuangan syariah merupakan sistem yang telah lama
diharapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama umat Islam
Indonesia. Umat Islam Indonesia merindukan layanan jasa keuangan dan perbankan
yang sesuai dengan syariat Islam, khususnya berkaitan dengan pelanggaran
praktik riba, jauh dari kegiatan yang spekulatif yang serupa dengan perjudian,
ketidakjelasan, pelanggaran prinsip keadilan dalam bertransaksi, serta
keharusan penyaluran pembiayaan dan investasi pada kegiatan usaha yang etis dan
benar secara syariah.[1] Sebuah
kegiatan perbankan yang jauh dari unsur MAGHRIB (Maisir, Gharar, Riba) tentu
akan menyelamatkan kehidupan kita di dunia dan di akhirat kelak.
Menurut Miranda
Gultom sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang mendukung sistem ekonomi dan
keuangan syariah di indonesia:[2]
1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga bank adalah
riba dan haram.
2. Trend kesadaran Umat Islam yang semakin meningkat,
khususnya di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas.
3. Sistem ekonomi syariah berhasil menunjukkan
keunggulannya, teruji pada saat krisis ekonomi.
4. UU Perbankan Syariah akan menjadi payung hukum bagi
perbankan syariah di indonesia.
5. Tuntutan integrasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang
saling menopang.
Sejak Indonesia merdeka, telah disusun tiga undang-undang
yang mengatur tentang Perbankan, yaitu UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok–pokok
Perbankan, UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam
bentuk Undang-Undang juga telah dikeluarkan berbagai Paket Kebijaksanaan.[3] Di
bawah ini adalah uraian mengenai periodisasi regulasi atau Undang-Undang
Perbankan Syariah di Indonesia yang di awali dengan adanya regulasi Perbankan.
1.
Periode
Undang-Undang No. 14 Tahun 1967
Pengaturan tentang
perbankan di indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Di antara
lembaga keuangan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De
Javashe Bank N. V, tanggal 10 Oktober 1827[4]
yang kemudian dikeluarkan Undang-Undang De Jaashe Bank Wet 1992.[5]
Bank inilah yang kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui proses
nasionalisasi pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 Tahun
1951 yang mulai berlaku tanggal 6 Desember 1951.
Sesudah indonesia
merdeka regulasi perbankan secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.
Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku
pada masa itu. Namun demikian, undang-undang ini belum mengatur tentang bank
syariah.[6]
2.
Periode
Pakto 1988
Pada
tahun 1988, Pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis perbankan
seluas-luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan.
Maka, dikeluarkanlah Paket Kebijakan Pemerintah Bulan Oktober Tahun 1988 yang
berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank
baru selain bank-bank yang telah ada. Setelah dikeluarkannya PAKTO 1988,
kemudian dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa
daerah di Indonesia. Yang pertama kali memperoleh izin usaha adalah bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana
Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991. Kemudian, disusul oleh BPRS Amana
Rabaniah pada tanggal 24 Oktober di tahun yang sama. Ketiga BPRS tersebut beroperasi
di Bandung, dan kemudian berdiri BPRS Hereukat pada tanggal 10 Nopember
tahun 1991 di Aceh.[7]
3.
Periode
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
Dalam rangka
menyempurnakan tata perbankan nasional, dikeluarkan UU No. 7 tahun 1992 sebagai
pengganti UU No. 14 Tahun 1967. Melalui UU No. 7 Tahun 1992 ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut, antara lain:[8]
1)
Penyederhanaan
jenis bank, menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) serta
memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya.
2)
Persyaratan
pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga ketentuan
pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan lebih
terarah.
3)
Peningkatan
perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan melalui
penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan
bank.
4)
Peningkatan
profesionalisme para pelaku di bidang perbankan.
5)
Perluasan
kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan bidang perbankan secara sehat dan
bertanggungjawab sekaligus mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan
kepentingan masyarakat luas.
Selain
penyempurnaan-penyempurnaan di atas, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, memperkenalkan sistem Perbankan Bagi Hasil. Ketentuan tersebut
terdapat dalam Pasal 1 angka (12), Pasal 6 huruf (m), dan Pasal 13 huruf (c).
Secara lengkap pasal-pasal tersebut berbunyi:
Pasal
1 angka (12) :
“Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”
Pasal
6 tentang Usaha Bank Umum Pasal 6 huruf (m) :
“Menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”
Pasal
13 tentang Usaha BPR Pasal 13 huruf (c) :
“Menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”.
Ketentuan
tentang bagi hasil tersebut ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.
72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 2 ayat 1 PP
tersebut menetapkan bahwa: “prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil
berdasarkan syarih” (harus sesuai dengan syariat Islam).
Selanjutnya Pasal 6 PP tersebut secara tegas menetapkan:
1)
Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha
yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
2)
Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang
berdasarkan prinsip bagi hasil.
Ketentuan
tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia
yang pada pokoknya menetapkan hal-hal antara lain:
a.
Bahwa
bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum dan Bank Perkreditan
Rakyat yang dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
b.
Prinsip
bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariah.
c.
Bank
berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).
d.
Bank
umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha
yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil
(konvensional), tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip bagi hasil.
Dari uraian di atas, tampak bahwa UU No. 7 Tahun 1992, PP
No. 72 tahun 1992 dan beberapa Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) telah mulai
mengatur tentang bank syariah walaupun tidak menggunakan istilah bank syariah
akan tetapi menggunakan istilah ‘bank berdasarkan prinsip bagi hasil’.
4.
Periode
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Pada tanggal 10 November
1998 telah diundangkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 terdapat beberapa perubahan
dan penyempurnaan yang bersifat substansial. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut
adalah sebagai berikut :
1)
Peralihan
kewenangan dan pemberian izin kepada Bank Indonesia yang sebelumnnya menjadi
kewenangan Menteri Keuangan.
2)
Perlunya
konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembentukan badan
khusus.
3)
Peningkatan
sanksi pidana atas pelanggaran rahasia bank.
4)
Peningkatan
peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
5)
Ketentuan
mengenai kemungkinan bank asing sebagai mitra strategis dan pemegang saham bank
umum.
6)
Peranan
Badan Pengawas Keuangan.
7)
Pendefinisian
lembaga penjamin simpanan.
8)
Penegasan
sifat sementara bagi badan khusus.
9)
Pencantuman
persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perjanjian kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
10) Perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan
ancaman hukuman.
Selain perubahan tersebut di atas, pada undang-undang ini
terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi
pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Undang-undang ini memberikan
penegasan terhadap konsep perbankan islam dengan mengubah penyebutan “Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, menjadi
“Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Juga terdapat penguatan kedudukan Hukum
Islam bidang perikatan dalam tatanan hukum positif. Pasal 1 ayat (13) ini menyebutkan
sebagai berikut :
“Prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dengan
pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa Iqtina’).”
Masalah yang diatur dalam
undang-undang ini selain berupa penegasan terhadap eksistensi Perbankan Syariah
di Indonesia juga menyangkut kelembagaan dan operasional Bank Syariah. Sebagai pelaksanaan dari undang-undang ini, kemudian
dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Surat Keputusan (SK)
Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan
kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan Syariah di Indonesia. Pada
masa awal sebagai pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan operasional bank berdasarkan
prinsip-prinsip syariah, dikeluarkanlah SK Direksi BI No. 32/34/KEP//DIR
tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syariah, dan SK
Direksi BI No. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat
berdasarkan Prinsip syaraiah. Kedua SK tersebut kemudian diganti dengan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) yaitu untuk bank umum syariah diatur oleh PBI.
No. 6/24//PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah jo PBI/No. 7/PBI/2005 tanggal 25
September 2005 tentang perubahan atas PBI No. 6/24/PBI No. 6/24/PBI/2004
tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
dan untuk bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) diatur dengan PBI No. 6//17/PBI/2004
tanggal satu juli 2004 tentang Bank Perkereditan Rakyat berdasarkan prinsip
syariah. Pemberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini merupakan momen
pengembangan perbankan syariah di Indonesia.[9]
Pada periode Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 ini juga dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang masih
harus diatur lebih lanjut dalam pengaturan tersendiri yang perlu
dipertimbangkan dalam regulasi perbankan nasional yang akan datang. Pada masa
ini operasional perbankan syariah masih mengacu pada ketentuan fatwa Majelis
Ulama Indonesia. Kedudukan fatwa belum mendapat pengakuan yang kuat dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam pengaturan ke depan, perlu
pula dipertimbangkan pengukuhan kedudukan fatwa dalam tata urutan perundang-undangan
Indonesia.
5.
Pengaturan
Bank Syariah melalui UU No. 21 Tahun 2008, Perbankan Syariah
Setelah melalui
perjuangan panjang dalam mewujudkan impian-impian para ulama dan cedikiawan
muslim Indonesia, akhirnya Perbankan syariah juga lahir melalui perjuangan
panjang Majelis Ulama Indonesia dan Cendikiawan Muslim tersebut. Meskipun
Perjuangan para ulama melalui MUI telah berhasil mewujudkan Bank Syariah
melalui UU No.7 Tahun 1992 kemudian diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, namun para mujahid-mujahid perbankan dan ekonomi syariah itu tidak
cukup puas, sehingga mereka tetap berjuang kembali mengajukan RUU Perbankan
Syariah melaui Dewan Syariah Nasional (DSN) bersama dengan ASBSINDO, tahun 2007
kepada Pemerintah kemudian dilanjutkan ke DPR RI untuk disahkan menjadi sebuah
Undang-Undang. Akhirnya RUU Perbankan Syariah dapat disetujui oleh DPR RI pada
07 Mei 2008 menjadi sebuah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, disahkan pada 17 Juni 2008 dan baru diundangkan di Jakarta pada 16 Juli
2008. Dalam
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mempunyai pengertian
yang berbeda dengan undang-undang perbankan sebelumnya. Adapun pengertian Bank
Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah,mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.
UU ini terdiri dari XIII Bab, Pasal 70. Undang-Undang ini mengatur tentang
beberapa hal, yaitu:
1)
Jenis
Usaha Bank Syariah
2)
Ketentuan
pelaksanaan syariah
3)
Kelayakan
usaha
4)
Penyaluran
dana bank syariah
5)
Larangan
bagi bank syariah dan Unit Usaha Syariah
6)
Kepatuhan
Syariah
2.3
PRODUK BANK SYARIAH
A. Produk
Penghimpunan
Dana
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito. Dalam penerapannya,
produk tersebut dilaksanakan
melalui akad wadi’ah dan mudharabah.
1)
Prinsip Wadi’ah
Wadi’ah
adalah titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kepada si penitip
kapan saja si penitip menghendaki.
Prinsip wadi’ah dalam produk bank syariah dapat dikembangkan
menjadi dua jenis, yaitu:
a)
Wadi’ah yad-amanah. Prinsipnya, harta titipan
tidak boleh dimanfaatkan
oleh
pihak yang dititipi (Bank). C ontohnya
seperti produk sejenis
save deposit box .
b)
Wadi’ah yad-damanah.
Pihak yang dititipi (bank) boleh menggunakan dan memanfaatkan harta titipan. Akad tersebut biasa diaplikasikan dalam produk rekening
giro dan
tabungan.[10]
2)
Prinsip Mudarabah
Dalam akad mudharabah, nasabah yang menyimpankan uangnya di
bank bertindak sebagai sahibul mal (pemilik dana) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Nasabah pun
berhak menerima bagi hasil dari akad
tersebut.
Akad
ini pun diaplikasikan dalam dua bentuk, yaitu mudharabah mutlaqah dimana nasabah membebaskan bank untuk memutar dana tersebut dalam bentuk usaha apapun, dan
mudharabah muqayyadah yang berarti bahwa nasabah membatasi bank
untuk menginvestasikan dana ke dalam usaha tertentu saja.
Prinsip
mudharabah dalam produk bank
syariah
dapat
dikembangkan untuk jenis produk giro, tabungan, maupun deposito.[11]
B. Produk Penyaluran
Dana
Dalam
menyalurkan dananya
pada nasabah,
produk
pembiayaan
syariah
terbagi
ke dalam
empat kategori yaitu:
1)
Prinsip Jual Beli (Bay’)
Prinsip
jual beli dilaksanakan
sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Prinsip
ini dapat dibagi
sebagai berikut:
a)
Pembiayaan Murabahah
Menurut
Muhammad Ibn Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd bahwa
pengertian murabahah yaitu: Bahwa
pada
dasarnya
murabahah tersebut adalah jual
beli dengan kesepakatan pemberian keuntungan bagi si penjual
dengan memperhatikan dan memperhitungkannya dari modal awal si
penjual.
b)
Pembiayaan Salam
Salam
adalah transaksi
jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada.
c)
Pembiayaan
Istisna
Produk Istisna menyerupai produk salam, tapi dalam Istisna pembayarannya dapat dilakukan oleh
bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim Istisna
dalam Bank Syariah umumnya diaplikasikan
pada pembiayaan manufaktur
dan kontruksi. [12]
2)
Prinsip Sewa (I)
Transaksi
Ijarah
dilandasi adanya
perpindahan manfaat.
Jadi pada dasarnya prinsip Ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun perbedaanya terletak pada objek traksaksinya. Bila
pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada Ijarah
objek transaksinya adalah
jasa.[13]
3)
Prinsip
Bagi Hasil (Shirkah)
a)
Pembiayaan Musharakah
Bentuk umum dari
usaha bagi hasil adalah Musharakah (shirkah atau
sharikah atau serikat atau kongsi). Dalam artian
semua modal disatukan untuk dijadikan
modal proyek
Musharakah dan dikelola bersama-sama.
b)
Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau
lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudarib)
dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan.[14]
c) Al-muzara’ah
Al-muzara’ah
adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap.
Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk
pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen..
d) Al-musaqah
Al-musaqah
merupakan bagian dari al-muza’arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka
sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. Jadi
tetap dalam kontek adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan
dengan penggarap.[15]
4) Akad Pelengkap
a) Hiwalah (Alih
Utang-Piutang)
Tujuan fasilitas Hiwalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya.
b) Rahn
(Gadai)
Tujuan
akad
rahn adalah
untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada
bank
dalam
memberikan pembiayaan.
c) Qard
(Pinjaman
Uang)
Qard adalah pinjaman uang. Aplikasi qard dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu: pertama, sebagai
pinjaman
talangan haji, kedua, sebagai pinjaman
tunai (cash advanced), ketiga, sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, keempat,
sebagai
pinjaman kepada pengurus
bank.
d) Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila
nasabah memberikan kuasa kepada bank
untuk
mewakili
dirinya melakukan pekerjaan
jasa
tertentu, seperti inkasi dan
transfer uang.
e) Kafalah (Garansi
Bank)
Garansi bank dapat
diberikan dengan
tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban
pembayaran.[16]
C.
Produk Jasa
Bank Syariah juga memiliki hak untuk melakukan berbagai pelayanan
jasa perbankan kepada nasabah
dengan imbalan
jasa sebagai
keuntungannya.
Jasa tersebut diantaranya sebagai berikut:
1) Sarf atau jual belu valuta asing. Ba nk dapat mengambil keuntungan dari jasa jual beli valuta asing tersebut, namun penyerahannya harus dilakukan seketika pada waktu
yang
sama.
2) Wakalah. Nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu,
seperti:
trans fer,
dan sebagainya.[17]
2.4
KARAKTERISTIK BANK SYARIAH
Bank
syariah tidak hanya bank bebas bunga, tetapi memiliki orientasi pencapaian
sejahtera. Secara fundamental terdapat beberapa karakteristik bank syariah,
yaitu[18]:
1.
Penghapusan riba,
2.
Pelayanan kepada kepentingan publik dan
merealisasikan sasaran sosio-ekonomi islam.
3.
Bank syariah bersifat universal yang
merupakan gabungan dari bank komersial dan bank investasi,
4.
Bank syariah akan melakukan evaluasi
yang lebih berhati-hati terhadap permohonan pembiayaan yang berorientasi pada
penyertaan modal karena bank komersial syariah menerapkan menerapkan
profit-loss sharing dalam konsinyasi, ventura, bisnis atau industri,
5.
Bagi hasil cenderung mempererat hubungan
antara bank syariah dan pengusaha,
6.
Kerangka yang dibangun dalam membantu
bank mengatasi likuditasnya dengan memanfaatkan instrument pasar uang antarbank
syariah dan instrumen bank sentral berbasis syariah.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
1.
Pada umumnya
yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip
syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan
selalu berkaitan masalah uang sebagai dagangan utamanya.
2.
Produk Bank Syariah Terdiri Atas :
a) Produk
Penyaluran Dana,
b) Produk
Penghimpunan Dana,
c) Produk
yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya
Perkembangan perbankan syariah pada
dasarnya merupakan bagian integral dan urgen sehingga tidak dapat dipisahkan
dari pengembangan ekonomi syariah karena salah satu alternatif yang cocok
diterapkan di Indonesia untuk memperbaiki keterpurukan ekonomi. Perankan
syariah tidak akan berhasil berkembang dengan baik apabila tidak ada dukungan
dari semua elemen bangsa, serta adanya satu kesatuan pola pikir tentang
perbankan syariah sehingga tidak lagi ditemukan perbedaan pendapat yang
kontroversial, karena hanya akan membingungkan umat, yang berakibat kepada
keraguan mereka untuk berinvestasi secara syariah.
[1] _________, ”Perkembangan
Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia: Peluang dan Tantangan,”
Jurnal Ilmu Hukum Syiar Madani, Vol. XI No. 1, (Maret, 2009), 22.
[2] Miranda
Gultom dalam Ibid.
[3] Menurut Edward W. Reed dan Edward K. Gil dalam Ibid., 23.
[4] Menurut J.E. Panglaykim-Pangestu
dalam Ibid.
[5] Marhainis
Abdul Hay dalam Ibid., 23-24.
[6] Gemala Dewi
dalam Ibid., 24.
[7]Zainul Arifin dalam Amiruddin K,
“Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum,” Jurnal Al-Risalah, Vol. 11 No.1,
(Mei, 2011), 174.
[8] Penjelasan
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[9] Amiruddin K, “Perbankan Syariah
Dalam Perspektif Hukum,” Jurnal Al-Risalah, Vol. 11 No.1, (Mei, 2011), 178.
[10] Kamsir, Dasar-dasar
Perbankan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003). Hlm: 217
[11] Sri Indah Nikens ari, Perbankan Syariah , (Se marang: Pus taka Rizki Putra, 2012), hal 129.
[12] Adiwarman
A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2004), hal. 98
[13] Ibid., hal 99
[14] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh
Mu’amalah, cet. II
(Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), Hal. 24.
[15] Ibid., Kamsir, Dasar-dasar Perbankan…, hal. 223
[16] Ibid., Adiwarman A. Karim, Bank Islam …..,
hal. 105-107
[17] http://riabudiati.blogspot.co.id/2013/11/produk-bank-syariah.html.
diakses pada tanggal 24 maret 2022
pukul 19.35 wib
[18] Andri Soemitra. 2009, Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah,Jakarta: Kencana Hal-67