BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kajian psikologi pendidikan sudah ada di dunia Barat maupun di Indonesia.
Awal mula muncul psikologi pendidikan di dunia Barat didirikan oleh beberapa
perintis pada abad ke 19 yaitu William james menekankan pentingnya melakukan
pengamatan belajar mengajar di ruang kelas untuk meningkatkan pendidikan dengan
rekomendasi pendidik mengajarkan pelajaran satu tingkat lebih tinggi dan
tingkat pengetahuan dan pemahaman anak untuk merentangkan pikiran mereka; John
Dewey mengatakan anak sebagai pembelajar yang aktif, pendidikan harus fokus
pada anak secara keseluruhan dan menekankan adaptasi anak-anak terhadap
Iingkungan
Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah
proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan
belajar. Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat
antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak
mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa
lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata
lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang
berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan
belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan
yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi
pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk
menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat
menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap
berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.
Dapat kita pahami bahwa betapa luasnya cakupan psikologi yang meliputi
hampir segala aspek kepribadian dan aktivitas dalam kehidupan ini. Asumsi ini berorientasi pada argument bahwa
psikologi adalah suatu ilmu yang berusaha untuk menyelidiki semua aspek kepribadaian
manusia dan perilaku manusia; baik bersifat jasmaniah maupun rohaniah; baik secara teoritis maupun melihat kegunaannya didalam
penerapannya; baik secara individual maupun secara kolektif serta kaitanya dengan lingkungan
sekitarnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian Psikologi dan Pendidikan ?
2.
Bagaimana
konsep dan Tujuan Psikologi Pendidikan ?
3.
Bagaimana
Peranan Psikologi Pendidikan Dalam Dunia Pendidikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PSIKOLOGI DAN
PENDIDIKAN
Secara etimologis,
istilah psikologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata psyche berarti
”jiwa”, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu
jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Namun apabila mengacu
pada salah satu syarat ilmu yaitu adanya objek yang dipelajari maka tidaklah
tepat mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa karena jiwa bersifat
abstrak. Oleh karena itu yang sangat mungkin dikaji adalah manifestasi
dari jiwa itu sendiri yaitu dalam wujud perilaku individu dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Dengan dasar ini maka psikologi dapat diartikan
sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut
Whiterington, bahwa pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung
melalui tindakan-tindakan belajar. Itu artinya bahwa tindakan-tindakan
belajar yang berlangsung secara terus menerus akan menghasilkan pertumbuhan
pengetahuan dan perilaku sesuai dengan tingkatan pembelajaran yang dilalui oleh
individu sendiri melalui proses belajar-mengajar. Karena itu untuk mencapai
hasil yang diharapkan, metode dan pendekatan yang benar dalam proses pendidikan
sangat diperlukan.
Psikologi pendidikan
adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan
dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang
berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar. Dari dua definisi ini maka jelas
fokus dari psikologi pendidikan adalah proses belajar mengajar.
Dapat disimpulkan bahwa
psikologi pendidikan adalah cabang dari psikologi yang dalam menguraikan
penelitiannya lebih menekankan masalah pertumbuhan dan perkembangan anak, baik
fisik maupun mental, yang sangat erat hubungannya dengan masalah pendidikan
terutama yang mempengaruhi proses dan keberhasilan belajar.[1]
Istilah
pendidikan berasal dari kata “didik”, dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran
“kan”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya). Istilah
pendidikan ini awalnya berasal dari bahasa Yuanani, yaitu “paedagogie”, yang
berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti
pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa arab istilah ini sering diterjemahkan
dengan “Tarbiyah” yang berarti pendidikan.[2]
Dalam
pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses
dengan metode-metode tertentu sehingga orang memeroleh pengetahuan, pemahaman,
dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang
luas, pendidikan ialah seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan
prilaku- prilaku manusia, juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman
kehidupan.[3]
B. KONSEP DAN TUJUAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Konsep pendidikan pada hakikatnya adalah pelayanan yang khusus
diperuntukan bagi siswa (orang-orang yang sedang belajar).keberadaaan psikologi
pendididkan pada dasar nya adalah untuk mempermudah pendidik dalam menerapkan
proses belajar mengajar. Dengan mempelajari psikologi pendidikan,paling
tidak para calon guru atau guru telah mendapat gambaran mengenai kondisi dan
situasi keberadaan diri pribadi,peserta didik dan lembaga pendidikan.[4]
Psikologi pendidikan merupakan sebuah disiplin ilmu yang khusus mempelajari,
meneliti,dan membahas seluruh prilaku manusia yang terlibat dalam proses
pendidikan, yang meliputi tingkah laku belajar (siswa),tingkah laku mengajar
(guru),dan tingkah laku belajar mengajar (guru dan siswa),yang saling terkait
atau berintraksi satu sama lain.
Lebih jauh, psikologi pendidikan sebagai displin ilmu,sudah barang tentu
mempunyai fokus tujuannya sendiri, yaitu : Pertama,
tujuan ilmu itu sendiri (untuk apa ilmu ini dipelajari dan dikembangkan oleh
para ahlinya), Kedua, tujuan kurikuler dalam mempelajari
sesuatu ilmu.analisis terhadap pemikiran sesuai dengan yang digambarkan oleh
dua psikologi terkemuka (Lindgreen dan Bernard) sebagai berikut :
1. Menurut Lindgreen, “
Tujuan psikologi pendidikan adalah untuk membantu guru dan perkembangan
prospektif para guru dalam memahami proses pendidikan yang terbaik”
2. Menurut Bernad, “ pada
dasarnya tujuan psikologi pendidikan adalah untuk memahami bagaimana proses
belajar mengajar cara lebih efektif dan tepat sasarannya”
Dari dua pendapat
ahli diatas dapat dipahami bahwa tujuan mempelajari dan dikembangkan psikologi
pendidikan adalah untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan untuk membantu
para guru dan calon guru agar betul-betul memamahami proses pendidikan yang baik,
sehingga mereka dapat membimbing proses belajar para siswanya cara lebih
efektif dan terarah sebagai upaya untuk mengembangkan potensi-potensi anak
didiknya di sekolah secara optimal.
C. PERANAN
PSIKOLOGI PENDIDIKAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Perkemabangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat (termasuk dalam ilmu Kependidkan),
menutut manusia untuk mengolah segala potensi yang dimilikinya agar tidak
ketinggalan kereta, lewat pengkajian dan penelitian ilmiah, khususnya psikologi
pendidikan yang berusaha untuk menelaah berbagai hal yang berhubungan dengan
proses belajar mengajar manusia dari sejak lahir sampai usia lanjut terutama
bagaimana iklim yang mempengaruhi proses perjalanan belajar mengajar.[5]
Setiap
manusia pasti melakukan perbuatan atau pekerjaan mengajar, bahkan mereka punya
bakat untuk mendidik yang tidak mesti harus bersekolah di pihak lain, dalam
kehidupan ini cukup banyak orang dapat dikatakan terdidik, namun sedikit pula
diantara mereka itu yang memiliki, pengetahuan yang jelas tentang bagaimana
menjalani pendidikannya sehingga berhasil sukses seperti yang diharapkan.
Banyak sekali keinginan
manusia untuk menjadi guru, atau paling tidak menggurui, akan tetapi mereka tak
tahu bagaimana proses pendidikan yang berhasil. Untuk menjelaskan persoalan di
atas, maka sebagai solusinya mereka harus tahu cara mengajar yang baik dan
berhasil, mereka harus tahu kondisi para anak yang dididiknya baik menyangkut
persoalan warisan (bawaan) maupun yang terkait dengan pengaruh-pengaruh lingkungan
sosial sekitar, demikian
kata Withrington.
Terkait
dengan kondisi belajar mengajar yang efektif dan efisien, maka akan sangat
tergantung dan dipengaruhi oleh iklim belajar itu sendiri (learning climate),
yang didalamnya tercakup berbagai hal seperti, : keadaan fisik,situasi social,
kondisi ekonomi keluarga dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, persoalan kondisi mental peserta pendidik, seperti :
minat,bakat,sikap,nilai-nilai, sifat personalitasnya, berbagai kemampuan dan
sebagainya perlu dianalisa dan dipahami secara baik.
Semua kondisi diatas
sangat berhubungan dengan keberadaan psikologi pendidikan dalam dunia
pendidikan, yakni bertugas atau berperan untuk memberikan wacana-wacana solusi
terbaik bagi keberagaman persoalan yang muncul dalam suasana proses belajar
mengajar.
Disamping itu, pemahaman-pemahaman kita terhadap fenomena yang muncul
kepermukaan itu, baik terkait dengan definisi, hakikat dan tujuan dari
psikologi pendidikan serta pengalaman kita sehari-hari dalam realitas sosial khususnya
dalam mengaplikasikan pengajaran (sebagai guru), maka kita dapat meremuskan
secara ringkas tentang peranan (tugas) psikologi pendidikan sebagai berikut:
a) Psikologi pendidikan akan berperan dalam mempersiapkan para guru (calon)
guru yang propesional yang berkompetensi dalam bekajar dan mengajar.
b) Psikologi pendidikan mempengaruhi perkembangan,
perbaikan dan penyempurnaan kurikukum sekolah sesuai dengan tuntutan
perkembangan pendidikan sebagai pedoman bagi para guru dalam membimbing proses
belajar mengajar para siswa nya yang memadai.
c) Psikologi pendidikan dapat memperngaruhi ide dan
pelaksanaan admisnistratif dan supervisi pendidikan yang akan dilaksanakan oleh
para pimpinan dan pemilik sekolah dalam mengelola kelancaran proses pendidikan
di sekolah seiring dengan tuntutan kurikulum yang berlaku
d) Psikologi pendidikan mencoba mengarahkan guru fan
calon guru untuk tahu mengapa suatu hal tertentu itu terjadi, bagaimana problem
solving nya dan juga diharuskan mengetahui aktivitas-aktivita yang di anggap
penting bagi pendidikan.[6]
Secara
garis besar, umumnya batasan pokok bahasan psikologi pendidikan dibatasi atas
tiga macam:
a)
Mengenai
belajar, yang meliputi teori-teori, prinsip-prinsip dan ciri khas perilaku
belajar peserta didik dan sebagainya.
b)
Mengenai
proses belajar, yakni tahapan perbuatan dan peristiwa yang terjadi dalam
kegiatan belajar peserta didik dan sebagianya.
c)
Mengenai
situasi belajar, yakni suasana dan keadaan lingkungan baik bersifat fisik
maupun non fisik yang berhubungan dengan kegiatan belajar peserta didik.
Sementara menurut Samuel Smith, setidaknya ada 16
topik yang perlu dibahas dalam psikologi pendidikan, yaitu :
1. Pengetahuan tentang psikologi pendidikan (The science of educational
psychology)
2. Hereditas atau karakteristik pembawaan sejak lahir (heredity)
3. Lingkungan yang bersifat fisik (physical structure).
4. Perkembangan siswa (growth).
5. Proses-proses tingkah laku (behavior proses).
6. Hakikat dan ruang lingkup belajar (nature and scope of learning).
7. Faktor-faktor yang memperngaruhi belajar (factors that condition learning)
8. Hukum-hukum dan teori-teori belajar (laws and theories of learning).
9. Pengukuran, yakni prinsip-prinsip dasar dan batasan-batasan
pengukuran/ evaluasi. (measurement: basic principles and definitions).
10. Tranfer belajar, meliputi mata pelajaran (transfer of learning subject
matters)
11. Sudut-sudut pandang praktis mengenai pengukuran (practical aspects of
measurement).
12. Ilmu statistic dasar (element of statistics).
13. Kesehatan rohani (mental hygiene).
14. Pendidikan membentuk watak (character education).
15. Pengetahuan psikologi tentang mata pelajaran sekolah menengah. (Psychology
of secondary school subjects).
16. Pengetahuan psikologi tentang mata pelajaran sekolah dasar (psychology of
elementary school).
Dalam proses
belajar-mengajar dapat dikatakan bahwa ini inti permasalahan psikiologis
terletak pada anak didik. Bukan berarti mengabaikan persoalan psikologi seorang
pendidik, namun dalam hal seseorang telah menjadi seorang pendidik maka ia
telah melalui proses pendidikan dan kematangan psikologis sebagai suatu
kebutuhan dalam mengajar. Penguasaan guru tentang psikologi pendidikan
merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru, yakni kompetensi
pedagogik. Muhibbin Syah [7] mengatakan bahwa “diantara pengetahuan-pengetahuan yang perlu
dikuasai guru dan calon guru adalah pengetahuan psikologi terapan yang erat
kaitannya dengan proses belajar mengajar peserta didik”
Guru dalam menjalankan
perannya sebagai pendidik bagi peserta didiknya, tentunya dituntut memahami
tentang berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang yang
terkait dengan tugasnya, terutama perilaku peserta didik dengan segala
aspeknya, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya secara efektif, yang
pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan
pendidikan di sekolah.
D. PSIKOLOGI PENDIDIKAN
DAN MENGAJAR
1. Psikologi Pendidikan
Ada banyak defenisi
yang diutarakan para ahli terkait psikologi pendidikan, bahkan psikologi
pendidikan menurut sebagian ahli adalah subdisiplin psikologi, bukan psikologi
itu sendiri. Di antara salah seorang ahli yang menganggap psikologi pendidikan
sebagai subdisiplin psikologi terapan adalah Arthur S. Reber (1988, seorang
guru besar psikologi pada Brooklyn College, University of New York City). Dalam
pandangannya, psikologi pendidikan adalah sebuah subdisiplin ilmu psikologi
yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal
sebagai berikut: (1) Penerapan prinsip- prinsip belajar dalam kelas, (2)
Pengembangan dan pembaharuan kurikulum, (3) Ujian dan evaluasi bakat dan
kemampuan, (4) Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses ersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif, (5)
Penyelenggaraan pendidikan keguruan.5 Sedangkan defenisi psikologi pendidikan
secara lebih sederhana dan praktis, sebagaimana dikemukakan oleh Barlow (1985)
dalam Muhibbin Syah adalah sebuah pengetahuan berdasarkan riset psikologis yang
menyediakan serangkaian sumber-sumber untuk membantu anda melaksanakan tugas
sebagai seorang guru dalam proses belajar-mengajar secara lebih efektif.
Tekanan defenisi ini secara lahiriah hanya berkisar sekitar proses interaksi
antar guru-siswa dalam kelas.
Muhibbin
Syah mengatakan bahwa dapat dipastikan bahwa disiplin psikologi pendidikan pada
dasarnya mencurahkan perhatiannya pada perbuatan atau tindak tanduk orang-orang
yang belajar dan mengajar. Oleh karenanya, psikologi pendidikan mempunyai dua
objek riset dan kajian. (1) Siswa, yaitu orang-orang yang sedang belajar,
termasuk pendekatan, strategi, faktor yang mempengaruhi, dan prestasi yang
dicapai., (2) Guru, yaitu orang-orang yang berkewajiban atau bertugas mengajar,
termasuk metode, model, strategi dan lain-lain yang berhubungan dengan
aktivitas penyajian materi pelajaran.
Psikologi
pendidikan pada asasnya adalah sebuah disiplin psikologi (atau boleh juga
disebut subdisiplin psikologi) yang menyelidiki masalah-masalah psikologis yang
terjadi dalam dunia pendidikan. lalu, hasil-hasil penyelidikan ini dirumuskan
ke dalam bentuk konsep, teori, dan metode yang dapat diterapkan untuk
memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan proses belajar-mengajar.
Alhasil, psikologi pendidikan dapat digunakan sebagai pedoman praktis, disamping
sebagai kajian teoritis.
Menurut
Abd. Rachman Abror, defenisi psikologi pendidikan yang dikemukakan oleh para
ahli kiranya tidak nampak adanya perbedaan yang esensial. Satu sama lain
mengandung titik kesamaan pandangan. Sehingga Ia menyimpulkan, psikologi
pendidikan adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia
yang berlangsung dalam proses belajar-mengajar.
2. Mengajar
Istilah mengajar pada
dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau sistem lingkungan
yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsungnya proses belajar. Mengajar
adalah sebagai kegiatan guru. Disamping itu, mengajar adalah menyampaikan
pengetahuan pada anak didik. Menurut pengertian ini berarti tujuan belajar dari
siswa itu hanya sekedar ingin mendapatkan atau menguasai pengetahuan. Sebagai
konsekuensi pengertian semacam ini dapat membuat suatu kecendrungan anak
menjadi pasif, karena hanya menerima informasi atau pengetahuan yang diberikan
oleh gurunya. Guru menyampaikan pengetahuan, agar anak didik mengetahui tentang
pengetahuan yang disampaikan oleh guru.
Pengertian secara luas,
mengajar diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur
lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak, sehingga terjadi
proses belajar. Atau dikatakan, mengajar sebagai upaya menciptakan kondisi yang
kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar bagi para siswa. Kondisi itu
diciptakan sedemikian rupa sehingga membantu perkembangan anak secara optimal
baik jasmani maupun rohani, baik fisik maupun mental. Pengertian mengajar
seperti ini memberikan petunjuk bahwa fungsi pokok dalam mengajar itu adalah
menyediakan kondisi yang kondusif, sedang yang berperan aktif dan banyak
melakukan kegiatan adalah siswanya, dalam upaya menemukan dan memecahkan
masalah. Guru dalam hal ini adalah membimbing. Dalam membimbing dan menyediakan
kondisi yang kondusif, itu sudang barang tentu guru tidak dapat mengabaikan
faktor atau komponen-komponen yang lain dalam lingkungan proses
belajar-mengajar, termasuk misalnya bagaimana dirinya sendiri, keadaan siswa,
alat-alat peraga atau media, metode dan sumber-sumber belajar lainnya.
Konsep mengajar ini
memberikan indikator bahwa pengajarannya lebih bersifat pupil centered. Raka
Joni sebagaimana disebutkan oleh Sardiman A.M, memberikan batasan mengajar
adalah menyediakan kondisi optimal yang merangsang serta mengarahkan kegiatan
belajar anak didik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan nilai atau
sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun pertumbuhan sebagai
pribadi.
Demikian pula dikatakan
bahwa mengajar adalah usaha mengorganisasikan lingkungan dengan sebaik-baiknya
dan menghubungkannya dengan para siswa sehingga terjadi proses belajar. Ini
berarti bahwa tugas guru hanyalah menciptakan lingkungan yang mendorong anak
untuk belajar, sedangkan kegiatan belajarnya datang dari dalam dirinya. Maka
persoalan yang dihadapi oleh pengajaran yang berhasil baik, ialah bagaimana
mengorganisasikan proses belajar untuk mencapai pengetahuan yang otentik. Jadi,
dalam hubungan ini, guru ditempatkan sebagai seorang organisator. Guru sebagai
seorang organisator, demikian lebih lanjut dikatakan,- seperti halnya dengan
setiap organisator lain terutama bekerja dengan manusia, serta tugas dan
tanggung jawabnya, ialah menciptakan berbagai situasi, yang memungkinkan
orang-orang itu dapat bekerja dan mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
Disamping itu juga, R.
Ibrahim dan Nana Syaodih S, mengatakan bahwa dalam pengertian lebih luas,
mengajar mencakup segala kegiatan menciptakan situasi agar para siswa belajar.
Pengertian belajar ini cukup luas, mencakup pula upaya guru mendorong siswa
agar belajar, menata ruang dan tempat duduk siswa, mengelompokkan siswa,
menciptakan berbagai kegiatan kelompok, memberikan berbagai bentuk tugas,
membantu siswa-siswa yang lambat, memberikan pengayaan kepada siswa yang
pandai, dan lain-lain. Kegiatan belajar-mengajar, memang merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan, sebab siswa melakukan kegiatan belajar karena guru
mengajar, atau guru mengajar agar siswa belajar.11
Biggs (1991), seorang
pakar psikologi, membagi konsep mengajar menjadi tiga macam pengertian, yaitu
sebagai berikut:
1) .Pengertian kuantitatif, dimana mengajar diartikan sebagai the transmission
of knowledge, yaitu penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu
menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan
sebaik- baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa, bukan tanggung jawab
pengajar.
2) Pengertian institusional yaitu mengajar berarti the efficient orchestration
of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien.
Dalam hal ini guru dituntut untuk siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar
terhadap siswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat,
kemampuan, dan kebutuhannya.
3) Pengertian kualitatif dimana mengajar diartikan sebagai the facilitation of
learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna
dan pemahamannya sendiri.
M. Arifin, sebagaimana dikemukakan oleh Ramayulis
merumuskan pengertian mengajar adalah sebagai suatu kegiatan penyampaian bahan
pelajaran kepada pelajar agar dapat menerima, menanggapi, menguasai, dan
mengembangkan bahan pelajaran itu. Mengajar mengandung tujuan agar pelajar
dapat memperoleh pengetahuan yang kemudian dapat mengembangkan dengan
pengembangan pengetahuan itu pelajar mengalami perubahan tingkah laku. Bahan
pelajaran yang disampaikan berproses melalui metode tertentu, sehingga dengan
metode yang digunakan tujuan pengajaran dapat tercapai.
E. Psikologi Pendidikan
dan Ilmu Mengajar
Mengajar merupakan
istilah kunci yang hampir tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan,
hal ini karena keeratan hubungan antara keduanya. Sebagian orang menganggap
mengajar hanya sebagian dari upaya pendidikan. mengajar hanya dianggap sebagai
salah satu alat atau cara dalam menyelenggarakan pendidikan, bukan pendidikan
itu sendiri. Konotasinya jelas, karena mengajar hanya salah satu cara mendidik
maka pendidikan pun dapat berlangsung tanpa pengajaran. Anggapan ini muncul
karena adanya asumsi tradisional yang menyatakan bahwa mengajar itu merupakan
kegiatan seorang guru yang hanya menumbuhkembangkan ranah cipta murid-muridnya,
sedangkan ranah rasa dan karsa mereka terlupakan.
Terkait dengan
mengajar, sebahagian orang menurut Muhibbin Syah menganggap bahwa tak berbeda
dengan mendidik. Oleh karenanya, istilah mengajar (pengajaran) yang dalam
bahasa Arab disebut taklim (baca ta’lim) dan dalam bahasa inggris teaching itu
kurang lebih sama artinya dengan pendidikan yakni tarbiyah dalam bahasa Arab
dan education dalam bahasa Inggris. Implikasinya ialah, setiap kegiatan
kependidikan yang bersifat formal hendaknya dilakukan oleh pendidik profesional
yang bertugas antara lain melaksanakan pembelajaran ( proses membuat murid
belajar) sebagaimana yang diisyaratkan dalam Undang-Undang No. 20 / 2003 Bab XI
Pasal 39 ayat 2. Meskipun sampai saat ini masih banyak orang menurut Muhibbin
Syah yang bersikeras mempertahankan ketidaksamaan antara mengajar dengan
mendidik.
Dalam kenyataan
sehari-hari tidak terdapat perbedaan yang tegas antara keduanya. Sebagai contoh,
seorang guru yang pekerjaan sehari-harinya mengajar di kelas V misalnya, memang
lazim juga disebut pendidik. Bahkan jarang sekali orang menyebutnya sebagai
pengajar. Namun ketika ia sedang menjalankan tugasnya di dalam kelas, orang tak
akan pernah mengatakan, “ Pak guru itu sedang mendidik murid-murid kelas V.”
Ungkapan ini tentu tidak salah, namun tidak lazim dan membawa kesan berlebihan.
Ada ungkapan lain yang lebih umum dipakai sebagai pengganti ungkapan tadi,
yakni, “ Pak guru sedang mengajar murid-murid kelas V.” Sudah tentu, kata “
mengajar” dalam ungkapan terakhir itu tidak terlepas dari mendidik sebagaimana
yang telah disinggung di muka.
Dalam menjalankan
tugasnya sebagai penyaji pelajaran khususnya di kelas, guru tidak hanya
dituntut mentransfer pengetahuan atau isi pelajaran yang ia sajikan kepada para
siswanya melainkan lebih daripada itu. Dalam arti yang lebih ideal, mengajar
bahkan mengandung konotasi membimbing dan membantu untuk memudahkan siswa dalam
menjalani proses perubahannya sendiri, yakni proses belajar untuk meraih
kecakapan cipta, rasa, dan karsa yang menyeluruh dan utuh.15
Berbicara mengenai
mengajar ini, ada dua macam pandangan yang berbeda dalam melihat profesi
mengajar. Pandangan pertama menganggap mengajar sebagai “ilmu”, sedangkan
pandangan kedua menganggap mengajar sebagai “seni”. Sebelum membahas tentang
mengajar sebagai “ilmu”, penulis kemukakan terlebih dahulu tentang mengajar
sebagai “seni”. Pandangan yang mengatakan mengajar adalah seni, bukan ilmu
karena tidak semua orang berilmu (termasuk orang yang berilmu pendidikan) bisa
menjadi guru yang piawai dalam hal mengajar. Memang sulit disangkal bahwa untuk
menjadi guru yang profesional orang harus belajar dan berlatih dilingkungan16
instansi pendidikan keguruan selama bertahun-tahun. Namun, kenyataan lain
menunjukkan bahwa dalam mengajar terdapat faktor ‘tertentu” yang abstrak dan
hampir mustahil dipelajari. Sebagai contoh, seorang pakar yang “mumpuni” dalam
sebuah bidang studi umpamanya bidang studi agama dan bahkan telah memiliki
pengetahuan keguruan yang cukup, belum tentu mahir mengajar agama kepada orang
lain.
Dalam kenyataan
sehari-hari terkadang kita saksikan seorang guru agama atau bahkan seorang yang
terlanjur berpredikat ulama yang sama sekali tidak menarik dan membosankan
ketika ia berceramah atau berdiskusi mengenai masalah keagamaan. Sebaliknya,
ada pula seorang pengajar madrasah diniyah yang hanya berpredikat santri biasa
dan tak pernah mengikuti sekolah keguruan tetapi ternyata berhasil menjadi guru
agama yang baik.santri itu cukup piawai dalam mentransfer pengetahuan, sikap,
dan keterampilan keagamaannya kepada murid-muridnya. Setiap mengajar, ia selalu
berpenampilan menarik dan selalu berbeda dalam gaya dan cara penyampaian aneka
ragam pokok bahasan pelajaran yang menjadi tugasnya. Sehingga, murid-muridnya
tak pernah merasa bosan atau merasa terpaksa mengikuti proses belajar dan
mengajar yang dipimpin oleh “guru santri” itu.
Adapun pandangan yang
menganggap mengajar sebagai ilmu itu diilhami oleh teori perkembangan klasik
yang disebut empirisme yang dipelopori oleh John Locke (1632- 1704). Menurut
teori ini, pembawaan dan bakat yang diturunkan oleh orang tua tidak berpengaruh
apa-apa terhadap perkembangan kehidupan seseorang, sebab pada dasarnya setiap
manusia pasti lahir dalam keadaan kosong. Hendak menjadi apa manusia itu kelak
setelah dewasa, bergantung pada lingkungan dan pengalamannya, terutama
pengalaman dan lingkungan belajarnya. Aliran pandangan yang menganggap mengajar
sebagai ilmu dapat menimbulkan konotasi bahwa seseorang yang dikehendaki
menjadi guru, misalnya oleh orang tuanya sendiri, akan dapat menjadi guru yang
baik asal ia dididik di sekolah atau fakultas keguruan.
Oleh karenanya, guru
merupakan sosok pribadi manusia yang memang sengaja dibangun untuk menjadi
tenaga profesional yang memiliki profisiensi (berpengetahuan dan berkemampuan
tinggi) dalam dunia pendidikan yang berkompeten untuk melakukan tugas mengajar.
Siapa pun, asal memiliki profisiensi dalam bidang ilmu pendidikan akan mampu
melakukan perbuatan mengajar dengan baik. Penguasaan seorang guru atas materi
pelajaran bidang tugasnya adalah juga penting, tetapi yang lebih penting ialah
penguasaannya atas ilmu-ilmu yang berhubungan dengan tugas mengajarnya.
Hal ini senada dengan
apa yang diungkapkan seorang pakar psikologi pendidikan, J.M.. Stephens,
sebagaimana disebutkan oleh Muhibbin Syah dalam bukunya,17 berpendapat bahwa
seorang yang profesional seharusnya memiliki keyakinan yang mendalam terhadap
ilmu yang berhubungan dengan proses kependidikan yang dapat menyelesaikan
masalah- masalah besar itu. Hal ini penting, karena mengajar itu terkadang
berbentuk proses yang emosional dan entusiastik yang dapat menghambat penerapan
secara persis teori-teori ilmu pengetahuan.
Kegiatan mengajar
memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya,
yakni pengajar, materi yang diajarkan dan metode yang dipakai di dalam
memberikan pelajaran, dan lain-lain. Seorang pengajar memiliki fungsi antara
lain sebagai komunikator. Ia berfungsi sebagai sumber dan penyedia informasi.
Kemudian menyaring, mengevaluasi informasi yang tersedia dan mengolahnya ke
dalam suatu bentuk yang cocok bagi kelompok penerima informasi (komunikasi),
sehingga kelompok penerima informasi dapat memahami informasi tersebut
sebaik-baiknya dan setepat mungkin. Informasi yang disampaikan oleh seseorang
pengajar dalam konteks pengajaran adalah pengetahuan tertentu yang ditransfer
kepada para pelajar, sehingga membantu membawa atau mengantarkan mereka baik
secara individu maupun kelompok kepada tingkat perkembangan kepribadian yang
lebih tinggi dari apa yang dimiliki sebelumnya.
Islam sebagai sebuah
agama mengajarkan bahwa dalam menyampaikan pelajaran, seorang pengajar tidak
mendorong pelajarnya untuk mempelajari sesuatu di luar kemampuannya. Atau
dengan kata lain bahwa dalam proses belajar-mengajar, pengajar harus
memperhatikan keadaan pelajar, tingkat pertumbuhan dan perbedaan perorangan
yang terdapat di antara mereka. Karena para ahli dalam hal ini menggolongkan
murid kepada tiga tipe: (1) Tipe Auditif, yang mudah menerima pelajaran melalui
pendengaran. (2) Tipe Visual, yang mudah merima pelajaran melalui penglihatan.
(3) Tipe Metodik, yang mudah menerima pelajaran melalui gerakan.
Dalam hubungan ketiga
tipe di atas seorang pengajar harus dapat pula mempergunakan beberapa metode
sehingga dapat mengaktifkan seluruh alat dari pelajar, baik alat visual,
auditif, maupun motoriknya. Karena itu metode disamping untuk keperluan
mentransfer pengetahuan, juga harus dapat berfungsi sebagai sarana untuk
mengembangkan sikap inofatif pada diri pelajar. Selain itu sarana mengajar
harus pula melihat relevansi antara metode yang diperlukan dengan bahan
pelajaran yang disampaikan. Bahan-bahan tersebut secara garis besar dapat
dikategorikan kepada:
a. Bahan yang memerlukan pengamatan, dalam hal ini metode yang dapat
dipergunakan seperti metode ceramah dan metode demonstrasi.
b. Bahan yang memerlukan keterampilan atau gerak tertentu, dalam hal ini
metode yang relevan adalah metode simulasi atau metode demonstrasi
c. Bahan yang mengandung materi berpikir, dalam hal ini metode yang relevan
adalah metode tanya jawab atau diskusi.
d. Bahan yang mengandung unsur emosi, dalam hal ini metode yang relevan adalah
metode sosio drama dan bermain peranan.
Dalam proses belajar
mengajar, Islam selalu memperhatikan dan menghormati harkat, martabat dan
kebebasan berpikir mengeluarkan pendapat dan menetapkan pendirian. Sehingga
anak didik (pelajar) belajar merupakan hal-hal yang menyenangkan dan sekaligus
mendorong kepribadiannya berkembang secara optimal, sedangkan bagi guru, proses
mengajar merupakan kewajiban yang bernilai ibadah, yang dipertanggung jawabkan
dihadapan Allah SWT di akhirat.
Sebagaimana penulis
telah menyinggung di atas bahwa seorang pengajar harus mempergunakan beberapa
metode dalam mengajar sehingga dapat mengaktifkan seluruh alat dari pelajar,
baik alat visual, auditif, maupun motoriknya. Metode itu sendiri secara harfiah
(bahasa) berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai
cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan
fakta dan konsep-konsep secara sistematis. Dalam dunia psikologi, metode
berarti prosedur sistematis (tata cara yang berurutan) yang biasa digunakan
untuk menyelidiki fenomena (gejala-gejala) kejiwaan seperti metode klinik,
metode eksperimen, dan sebagainya.
Adapun yang dimaksud
dengan metode mengajar ialah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan
kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada
siswa.19 Secara lebih luas, pengertian metode mengajar itu adalah suatu cara
tertentu yang tepat dan serasi untuk menyajikan suatu materi pelajaran,
sehingga tercapai tujuan pelajaran tersebut, baik tujuan jangka pendek (tujuan
khusus) maupun tujuan jangka panjang
(tujuan umum); dimana murid-murid dapat merasa mudah menerima atau mengerti
pelajaran tersebut sehingga tidak terlalu memusingkan (memberati) fikiran
mereka, dan murid-murid menerima pelajaran tersebut dengan rasa lega, senang,
optimis dan penuh minat; tentunya kegiatan guru dalam hal ini adalah
berdasarkan prinsip-prinsip ilmu jiwa, pendidikan, sosiologi dan sebagainya.
Bagian penting yang sering dilupakan orang adalah strategi mengajar yang
sesungguhnya melekat dalam metode mengajar. Namun, berbeda dari strategi
mengajar, metode mengajar tidak langsung berhubungan dengan hasil belajar yang
dikehendaki. Artinya, dibandingkan dengan strategi, metode pada umumnya kurang
berorientasi pada tujuan karena metode dianggap konsep yang lebih luas daripada
strategi. Gagasan ini tidak berarti mengurangi signifikansi metode mengajar,
lantaran strategi mengajar itu ada dan berlaku dalam kerangka metode mengajar.
Dalam menggunakan metode ceramah misalnya, strategi guru untuk mendapatkan
perhatian para siswa mungkin berupa penyampaian kisah lucu atau kisah sedih
yang sekaligus merupakan contoh yang berfungsi sebagai pelengkap uraian topik
yang sedang ia sajikan (sampaikan).
Adapun pada prinsipnya, tidak satu pun metode mengajar yang dapat
dipandang sempurna dan cocok dengan semua pokok bahasan yang ada dalam setiap
bidang studi. Hal ini karena setiap metode mengajar pasti memiliki
keunggulan-keunggulan dan kelemahan- kelemahan yang khas. Namun, kenyataan ini
tidak bisa dijadikan argumen mengapa seorang guru gagal dalam menjalankan
tugasnya sebagai pengajar.
Sebaliknya, guru yang profesional dan kreatif justru hanya akan memilih
metode mengajar yang lebih tepat setelah menetapkan topik pembahasan materi dan
tujuan pelajaran serta jenis kegiatan belajar siswa yang dibutuhkan. Kegiatan
ini dibanding- bandingkan dengan ciri khas atau karakteristik metode-metode
mengajar yang akan dipilih.
Ada banyak metode mengajar mulai dari yang paling tradisional sampai yang
paling modern. Namun ada empat macam metode mengajar yang dominan dalam arti
sering digunakan secara luas sejak dahulu hingga sekarang pada setiap jenjang
pendidikan formal. Tiga dari empat metode mengajar tersebut bersifat khas dan
mandiri, sedangkan yang lainnya merupakan kombinasi antara satu metode dengan
metode lainnya. Metode campuran ini –sebut saja “metode plus”-bersifat terbuka
artinya setiap guru yang profesional dan kreatif dapat memodifikasi atau
merekayasa campuran metode tersebut sesuai dengan kebutuhan., yaitu:
1. Metode Ceramah
Metode ceramah ialah sebuah
metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisann
kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Dalam hal ini
guru biasanya memberikan uraian mengenai topik (pokok bahasan) tertentu di
tempat tertentu dan dengan alokasi waktu tertentu. Metode ini adalah sebuah
cara melaksanakan pengajaran yang dilakukan guru secara monolog dan hubungan
satu arah. Aktivitas siswa dalam pengajaran yang menggunakan metode ini hanya
menyimak sambil sesekali mencatat. Meskipun begitu, para guru yang terbuka
kadang- kadang memberi peluang bertanya kepada sebagian kecil siswanya. Metode
ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk
menyampaikan informasi.
Di samping itu, metode ini
juga dipandang paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan
yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan daya paham siswa. Namun demikian,
dari kenyataan sehari-hari ditemukan beberapa kelemahan metode ceramah
tersebut, antara lain:
a) membuat siswa pasif. Dalam hal ini, timbul kesan
siswa hanya sebagai objek yang selalu menganggap benar apa-apa yang disampaikan
guru. Padahal, posisi siswa selain sebagai penerima pelajaran ia juga menjadi
subjek pengajaran dalam arti individu yang berhak untuk aktif mencari dan
memeroleh sendiri pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan.
b) mengandung unsur paksaan kepada siswa. Dalam hal
ini siswa hanya diharuskan melihat dan mendengar serta mencatat tanpa komentar
informasi penting dari guru yang selalu dianggap benar itu. Padahal dalam diri
siswa terdapat mekanisme psikologis yang memungkinkannya untuk menolak di
samping menerima informasi dari guru. Inilah yang disebut self-direction
(kemampuan untuk mengatur dan mengarahkan diri).
c) menghambat daya kritis siswa. Hal ini karena
segala informasi yang disampaikan guru biasanya ditelan mentah-mentah, tanpa
dibedakan apakah informasi itu salah atau benar, dipahami atau tidak. Dengan
demikian, sulit bagi siswa untuk mengembangkan kreatifitas ranah ciptanya
secara optimal.
2. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah metode
mengajar yang sangat erat hubungannya dengan belajar memecahkan masalah
(problem solving). Metode ini lazim juga disebut sebagai diskusi kelompok dan
resitasi bersama. Aplikasi metode diskusi biasanya melibatkan seluruh siswa atau
sejumlah siswa tertentu yang diatur dalam bentuk kelompok-kelompok. Tujuan
penggunaan metode diskusi ialah untuk memotivasi (mendorong) dan memberi stimulasi (memberi rangsangan)
kepada siswa agar berpikir dengan renungan yang dalam.
Dalam dunia pendidikan
dewasa ini, metode diskusi mendapat perhatian besar karena memiliki arti
penting dalam merangsang para siswa untuk berpikir dan meng- ekspresikan
pendapatnya secara bebas dan mandiri. Pada umumnya, metode ini diaplikasikan
dalam proses belajar-mengajar untuk: (1) mendorong siswa berpikir kritis; (2)
mendorong siswa mengekspresikan pendapatnya secara bebas; (3) mendorong siswa
menyumbangkan buah pikirnya untuk memecahkan masalah bersama; (4) mengambil
satu alternatif jawaban atau beberapa alternatif jawaban untuk memecahkan
masalah berdasarkan pertimbangan yang seksama.
Namun demikian, metode
diskusi yang dari permukaannya tampak bagus dan sangat menjanjikan hasil
belajar yang optimal itu, ternyata juga mengandung kelemahan- kelemahan, di
antaranya: (a) Jalannya diskusi lebih sering didominasi oleh siswa partisipan
yang pandai, sehingga mengurangi peluang siswa lain untuk memberi kontribusi;
(b) Jalannya diskusi sering terpengaruh oleh pembicaraan yang menyimpang dari
topik pembahasan masalah, sehingga pertukaran pikiran menjadi asal-asalan dan
bertele-tele; (c) Diskusi biasanya lebih banyak memboroskan waktu, sehingga
tidak sejalan dengan prinsip efisiensi.
3. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah
metode mengajar dengan cara mempragakan barang, kejadian, aturan, dan urutan
melakukan kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media
pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan.
Tujuan pokok penggunaan metode demonstrasi dalam proses belajar-mengajar ialah
untuk memperjelas pengertian konsep dan memperlihatkan (meneladani) cara
melakukan sesuatu atau proses terjadinya sesuatu.
Banyak keuntungan psikologis
pedagogis yang dapat diraih denga menggunakan metode demonstrasi, antara lain:
(a) perhatian siswa dapat lebih dipusatkan; (b) proses belajar siswa lebih
terarah pada materi yang sedang dipelajari; (c) pengalaman dan kesan sebagai
hasil pembelajaran lebih melekaat dalam diri siswa. Seperti metode-metode
lainnya, metode ini juga mengandung kelemahan-kelemahan, yakni: (a) mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan terutama untuk pengadaan alat-alat modern; (b)
demonstrasi tak dapat diikuti atau dilakukan dengan baik oleh siswa yang
memiliki cacat tubuh atau kelainan/kekurangmampuan fisik tertentu.
4. Metode Ceramah Plus
Metode ceramah plus tersebut
dapat terdiri atas banyak metode campuran, seperti: ((a) Metode ceramah plus
tanya jawab dan tugas, (b) Metode ceramah plus diskusi dan tugas, (c) Metode
ceramah plus demonstrasi dan pelatihan). Sebelum metode itu digunakan, guru
tentu perlu melakukan modifikasi atau penyesuaian seperlunya. Langkah-langkah
yang dapat ditempuh dalam memodivikasi atau menyesuaian metode ceramah, antara
lain ialah dengan kiat pemaduan (kombinasi) antara metode tersebut dengan
metode-metode lainnya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Psikologi pendidikan
adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan
dengan pendidikan
2.
Dengan memahami
psikologi pendidikan, seorang guru melalui pertimbangan – pertimbangan psikologisnya
diharapkan dapat
ü Merumuskan Tujuan Pembelajaran Secara Tepat
ü Memilih Strategi atau Metode Pembelajaran yang Sesuai
ü Memberikan Bimbingan atau Bahkan Memberikan Konseling
ü Memfasilitasi dan Memotivasi Belajar Peserta Didik
ü Menciptakan Iklim Belajar yang Kondusif
ü Berinteraksi Secara Tepat Dengan Siswanya
3. psikologi pendidikan adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
tingkahlaku manusia yang berlangsung dalam proses belajar-mengajar
4. mengajar diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur
lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak, sehingga terjadi
proses belajar
5. Mengajar mengandung tujuan agar pelajar dapat memperoleh pengetahuan yang
kemudian dapat mengembangkan dengan pengembangan pengetahuan itu pelajar
mengalami perubahan tingkah laku. Bahan pelajaran yang disampaikan berproses
melalui metode tertentu, sehingga dengan metode yang digunakan tujuan
pengajaran dapat tercapai
6. Ada dua macam pandangan yang berbeda dalam melihat profesi mengajar.
Pandangan pertama menganggap mengajar sebagai “ilmu”, sedangkan pandangan kedua
menganggap mengajar sebagai “seni”
7. pandangan yang menganggap mengajar sebagai ilmu dapat menimbulkan konotasi
bahwa seseorang yang dikehendaki menjadi guru, misalnya oleh orang tuanya
DAFTAR PUSTAKA
Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2003.
Ngalim Purwanto,
Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007
Safwan Amin,
M.Psi. Pengantar Psikologi Pendidikan. Banda Aceh,2005.
Whiterington, 1982. Dalyono
Muhammad, Psikologi pendidikan , Jakarta : Rineka Cipta Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Edisi Revisi,
Cet. XV, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010)
Abd. Rachman Abror,
Psikologi Pendidikan, Cet. IV, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993)
Sardiman A.M, Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar, Ed.1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
R. Ibrahim dan Nana
Syaodih S, Perencanaan Pengajaran, Cet. II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003)
http://rudystifan.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-mengajar.html.
diakses rabu. 18/11/2015 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet.III, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2002)
Tayar Yusuf, Ilmu
Praktek Mengajar ( Metodik Khusus Pengajaran agama), Cet. II, (Bandung: Al-Ma’arif,
1993), hal. 50.
[1] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan.
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 7
[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan
Islam, Cet. II, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hal.1.
[3] Muhibbinsyah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Edisi Revisi, Cet. XV, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010), hal.10.
[4] Safwan Amin, M.Psi. Pengantar
Psikologi Pendidikan, (Banda Aceh,2005) hal:25
[5] Safwan Amin, M.Psi. Pengantar Psikologi
Pendidikan, (Banda Aceh,2005) hal:27
[6] Safwan amin, M.Psi. pengantar
psikologi pendidikan, (Banda
Aceh,2005) hal. 28-29
[7] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan
Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar