Selasa, 29 Maret 2022

MAKALAH SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA

 

SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA

 

 

 

1.      Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalamsatu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.

Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.

 

2.      Rumusan Masalah

a.       Bagaimana proses perkembangan Hukum islam pada masa kerajaan Islam?

b.      Bagaimana proses perkembangan Hukum islam pada masa penjajahan Belanda?

c.       Bagaimana proses perkembangan Hukum islam pada masa pendudukan Jepang?

3.      Tujuan Makalah

a.      Agar mampu memahami tentang perkembangan hukum islam pada masa kerajaan Islam di Indonesia.

b.      Agar mampu memahami tentang perkembangan hukum islam pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.

c.      Agar mampu memahami tentang perkembangan hukum islam pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

A.    SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Hukum Islam pada Masa Kerajaan Islam

            Akar sejarah hukum Islam di kawasan Nusantara, menurut sebagian ahli sejarah, dimulai pada abad pertama hijriyah atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelaan masehi. Berkembangnya komunitas muslim diwilayah itu diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samuedera Pasai. Kerajaan ini terletak di wilayah Aceh Utara.[1] Madzhab hukum islam di kerajaan ini adalah madzhab Syafi’i. dari kerajaan Samudera pasai, madzhab syafi’I tersebar keseluruh wilayah Nusantara. Pada tahun 1400-1500 M, para pakar hukum islam dari malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta keputusan hukum Islam.[2]

            Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah Nusantara menyebabkan beberapa kerajaan islam berdiri, menyusul berdirinya kerajaan Samudera Pasai di Aceh.  Di Pulau Jawa, berdiri Kesultanan Demak, Kerajaan Tuban dan kerajaan Giri. Ketiga kerajaan ini dibantu oleh Wali Songo dalam menengakkan hukum Islam. Kerajaan Mataram juga mempunyai pengadilan Serambi Masjid Agung yang mengadili perkara perdata maupun pidana dangan hukum islam. Begitu pula, Kerajaan Cirebon mempunyai penghulu di masing-masing daerah yang menegakkan hukum Islam. Di Kerajaan Banten, pengalaman hukum Islam dibimbing oleh Molana Judah, seorang ulama yang berasal dari Jeddah.[3]

            Di luar pulau Jawa juga berdiri beberapa kerajaan Islam. Penerapan hukum Islam di Kerajaan Banjar, berajalan dengan baik, terdapat adagium yang terkenal di Kerajaan Banjar, yaitu “Patih Baraja’an Dika, Andika Badayan Sra” yang artinya “Saya tunduk ada perintah Tuanku, karena tuanku berhukumkan hukum Syara”. Fungsi dari adagium ini tidak lain adalah menangani masalah perdata maupun pidana. Selain itu, ada kitab kodifikasi hukum Islam yang dikenal dengan Undang-Undang Sultan Adam.[4]Di Sulawesi dan Maluku, berdiri Kerajaan Gowa, Kesultanan Ternate, serta Tidore. Masing-masing kerajaan Islam ini juga mengkaji, menerapkan, dan menegakkan hukum Islam, baik aspek pidana maupun perdata.

            Semua kesultanan-kesultanan tersebut menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan ini menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Kebenaran ini dibuktikan dengan adanya literature-literatur studi hukum Islam yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.

 

Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

            Penjajahan Belanda di Nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi perdagangan Belandan Hindia Timur. Organisasi ini lebih dikenal dengan sebutan VOC. VOC adalah sebuah organisasi dagang, dapat juga dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya, maksudnya adalah selain menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja, pelaksanaannya menggunakan hukum Belanda.

Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC. Pertama, dalam statute Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. Kedua, adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Ketiga, adanya upaya kompilasi serupa diberbagai wilayah lain. Di Semarang, hasil kompilasi itu dikena dengan nama kitab hukum Mogharraer, kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium  Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung, bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah perbedaan agama antara penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat islam.

Adapun pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda yaitu:

a.             Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik hukum yang sadar.

b.             Atas dasar nota yang disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga, dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asa kepatutan dan keadilan yang diakui umum.

c.              Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda pada tahun 1922, membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan.

d.             Pada tahhun 1925, dilakukan perubahan terhadap passal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling yang isinya sama dengan pasal 78 Regerringsreglement.

Lemahnya posisi hukum islam terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.[6] Meski demikian, pengaruh hukum Belanda masih sangat kuat hingga saat ini.

Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintahan Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi pemberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi penduduk Belanda pada masa yang terakhir.

Pemerintah pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat islam di Indonesia. Diantara kebijakan tersebut yaitu:

a.             Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.

b.             Mendirikan Shumubu yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.

c.              Mengizinkan berdirinya ormas Islam.

d.             Menyetujui berdirinya majelis Syura Muslim Indonesia.

e.             Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.

f.              Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan pengadilan agama.

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum islam selam masa pendudukan jepang di Tanah air. Masa pendudukan jepang lebih baik dari pada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat Islam sendiri serta kebijakan pemerintah yang berkuasa.  Ketika kedua hal tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi mudah. Namun sebaliknya, jika kedua hal tersebut bertentangan orientasinya, maka pemerintah menjadi pihak yang menentukan kedudukan hukum Islam. Kondisi inilah yang mewarnai sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesiasejak masa awal hingga masa kontemporer sekarang. Seberapa besar keinginan umat Islam dan seberapa kuat bargaining powernya menjadi faktor yang menentukan eksistensi hukum Islam.

 

B.     Saran

Dalam pembuatan makalah tentangSejarah Hukum Islam di Indonesia I yang mencangkup tentang seperti apa proses Hukum Islam di Indonesia pada jaman kerajaan Islam, Penjajahan Belanda, dan pendudukan Jepang ini tentu masih belum sempurna. Penyusun mengharapkan masukan dan kritik yang membangun. Penyusun dan pembaca haruslah berfikir kritis atas ilmu-ilmu yang didapat, termasuk pengertian komunikasi, proses komunikasi, dan unsur-unsur proses komunikasi serta tahap-tahap dalam proses komunikasi.Berfikir kritis yang penyusun maksud haruslah mempunyai dasar dalam berargumentasi dan tidak untuk menjatuhkan satu dengan yang lain.

 

DAFTAR PUSTAKA

Cammark Mark, “Hukum Islam dalam Politik Hukum Orde Baru”, dalam Sudiman Tebba (ed)

S. Lev. Daniel, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Intermassa, 1980).Sumitro Warkum, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia,    (Malang: Bayu Media, 2005).

 



[1] Cammark Mark, “Hukum Islam dalam Politik Hukum Orde Baru”, dalam Sudiman Tebba

[2] S. Lev. Daniel, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Intermassa, 1980).

[3] Sumitro Warkum, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia,    (Malang: Bayu Media, 2005).

 

MAKALAH PENGGUNAAN BAHASA

 

BAB I

PENDAHULUAN

   

A.    Latar belakang

Sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan  dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat (Nababan, 1993 : 2). Sosiolinguistik mengkaji bahasa, masyarakat dan hubungan bahasa dengan masyarakat. Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya dimiliki manusia.  Di dalam kehidupannya bermasyarakat, sebenarnya manusia dapat juga menggunakan alat komunikasi lain, selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna, dibandingkan dengan alat-alat komunikasi lain termasuk juga alat komunikasi yang digunakan para hewan.

 Bahasa di jumpai dimana-mana. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini harus benar-benar, khususnya para guru dan guru pada bidang studi pada umumnyaa (Tarigan, 2009 : 2). Kehidupan manusia normal tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Bahasa menyerap masuk ke dalam pemikiran-pemikiran kita, menjembatani hubungan kita dengan orang lain. Perangkat pengetahuan manusia yang demikian banyak juga disimpan dan disebarluaskan melalui bahasa. Hadirnya bahasa dalam kehidupan manusia demikian pentingnya. Bahasa juga salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang membedakan dari makluk lain.

Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak hanya dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi didalam masyarakat manusia (Chaer dan Agustina, 2004:3). Salah satunya yaitu ilmu fisika. Bahasa juga sangat berhubungan erat dengan ilmu lainnya. Sehingga pada penyajian ini di arahkan dalam upaya memahami bahasa. Maka jelaslah, bahwa sosiolinguistik tidak akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan.

Sosiolinguistik mengkaji bahasa dimasyarakat yang berfungsi sebagai alat komunikasi. Untuk memperdalam dan memahami tentang ilmu sosiolinguistik tentang bahasa dan masyarakat inilah, kita perlu mempelajari tentang pandangan sosiolinguistik tentang bahasa dan dan hubungan bahasa dengan bahasa lainnya.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Bahasa dan Tutur

            Ferdinand de Saussure membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Ketiga istilah ini berasal dari bahasa Prancis, dalam bahasa Indonesia lazim dipadankan dengan istilah bahasa. Padahal, ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa.

            Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan untuk menyebutkan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Istilah langage dapat dipadankan dengan kata bahasa, misalnya manusia mempunyai bahasa, binatang tidak. Jadi, istilah bahasa dalam kalimat tersebut sepadan dengan kata langage, tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya sebagai alat komunikasi manusia. Istilah kedua adalah langue, digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Sementara itu, parole bersifat konkret karena ia merupakan pelaksaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole dapat dipadankan dengan kata ujaran.

            Langage dan langue terkait dengan sistem yang ada pada pikiran manusia sebagai pengguna bahasa. Jadi, bersifat abstrak. Langue adalah bagian sosial dari langage. Langage bersifat homogen sedangkan langue bersifat heterogen. Konsep langue dapat dipadankan dengan “competence”, sedangkan langage dengan “performance”. Kedua istilah terakhir ini berasal dari Noam Chomsky, Bapak aliran tata bahasa transformasi generatif.

            Sebagai langage bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau suatu masa tertentu. Akan tetapi, sebagai langue bahasa itu, meskipun ada ciri-ciri keuniversalannya, bersifat terbatas pada satu masyarakat tertentu. Satu masyarakat tertentu memang agak sukar dirumuskan, tetapi adanya ciri saling mengerti barangkali bisa dipakai sebagai batasan adanya suatu bahasa. Misalnya penduduk yang berada di Bulukumba dengan yang berada di Takalar dan yang di Jeneponto,masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti di antara mereka sesamanya. Begitu pun penduduk yang ada di Soppeng dengan Sidrap masih berada dalam satu bahasa dan satu masyarakat bahasa karena masih ada saling mengerti dengan alat verbanya.

            Adanya saling mengerti antara penduduk yang berada di Bulukumba dengan yang berada di Jeneponto karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Begitu juga dengan penduduk yang berada di Soppeng dan yang berada di Sidrap bisa saling mengerti tentunya karena adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) di antara parole-parole yang mereka gunakan. Akan tetapi, di antara penduduk Soppeng (tentu dengan bahasa Bugis) dengan Bulukumba (dengan bahasa Makassar) tidak ada saling mengerti karena tidak mempunyai kesamaan sistem dan subsistem.

            Parole yang digunakan penduduk Soppeng dan Sidrap berbeda tetapi mereka saling mengerti karena terdapatnya kesamaan sistem dan subsistem. Parole yang digunakan di tempat-tempat tersebut disebut dialek.

            Setiap orang mempunyai kekhasan tersendiri-sendiri dalam bahasa (berbicara dan menulis) kekhasan ini dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, tulisan dan unsur-unsur bahasa lainnya. Ciri khas bahasa seseorang disebut idiolek. Jadi, kalau 10000 orang, maka akan ada 10000 idiolek.

            Dari uraian tersebut secara linguistik dapat disimpulkan bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat terdiri dari sejumlah dialek dan setiap dialek terdiri dari sejumlah idiolek. Namun, perlu juga diketahui bahwa dua buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa karena anggota dari kedua dialek tersebut saling mengerti, tetapi secara politis bisadisebut sebagai dua buah nahasa yang berbeda. Misalnya bahasa Indonesia dan Bahsa Malaysia hampir sama, tetapi secara politis bahasa yang digunakan di Malaysia bahasa Malaysia dan bahasa yang digunakan di Indonesia adalah bahasa Indonesia.

B.     Verbal Repertoar

            Repertoar bahasa atau verbal repertoar adalah semua bahasa beserta ragam-ragam bahasa yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur. Misalnya melalui hasil pendidikan atau pergaulannya dengan penutur bahasa di luar lingkungannya, seseorang menguasai bahasa ibunya dan bahasa indonesia, selain itu, dia menguasai pula satu bahasa daerah lain atau lebih, juga menguasai bahasa asing, bahasa Inggris atau bahasa lainnya.

            Jika dikelompokkan, verbal repertoar sebenarnya ada dua macam yakni yang dimiliki setiap penutur secara individual (verbal repertoar individu) dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan (verbal revertoar sosial). Verbal repertoar individu mengacu pada alat-alat verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Verbal repertoar sosial mengacu pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam masyarakat, beserta dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.

           

Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro, sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro (Appel, 1976:22). Kedua jenis sosiolinguistik makro dan mikro ini mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling bergantung. Maksudnya, verbal repertoar setiap penutur ditentukan oleh masyarakat tempat dia berada; sedangkan verbal repertoar suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoar semua penutur di dalam masyarakat itu.

C.    Masyarakat Tutur

            Secara sosiologis orang selalu memandang satu komunitas sebagai satu organisasi sosial. Organisasi sosial selalu suatu proses pembentukan kelompok-kelompok dan pengembangan pola-pola asosiasi dan perilaku tetap yang kita sebut sebagai lembaga sosial (Harton & Hunt, 1984). Kedua ahli sosiologi dari Amerika Serikat ini mendefinisikan kelompok sebagai setiap kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggoataan dan saling berinteraksi.

            Istilah masyarakat tutur sering pula disebut masyarakat bahasa atau komunitas bahasa. Kalau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoar yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu,maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa.

            Untuk dapat disebut satu masyarakat tutur mesti ada perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama (Djoko Kentjoo, 1982). Dengan konsep adanya perasaan menggunakan tutur yang sama ini, maka dua buah dialek yang secara linguistik merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua bahasa dari dua masyarakat tutur yang berbeda. Fishman (1976:28) mendefinisikan bahwa “masyarakat tutur adalah suatu suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.”

            Sementara itu, Bloomfield (1933:29) membatasi dengan “sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama.” Batasan ini dianggap terlalu sempit oleh masyarakat modern karena banyak orang yang menguasai lebih dari satu ragam bahasa, dan di dalam masyarakat itu terdapat lebih dari satu bahasa. Sebaliknya, definisi Labov (1972:158) yang mengatakan “ sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa” dianggap terlalu luas dan terbuka.

            Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh verbal repertoar dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga diperoleh secara referensial yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik. Dalam hal tertentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya dengan variasi kebahasaan. Contoh, setiap hari ratusan tenaga kerja yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai bahasa daerah yang berlainan, bekerja di pabrik-pabrik di Makassar, dan mereka sesama rekan sekerjanya menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi. Jadi, meskipun mereka berbahasa ibu yang berbeda, mereka adalah pendukung masyarakat tutur bahasa Indonesia.

            Kalau kita melihat kasus masyarakat tutur bahasa Indonesia di atas, maka dapat dikatakan bahwa sisa terjadi suatu masyarakat tutur itu bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau karena integrasi siimbolisdengan tetap mengakui kemampuan komuniasi penuturnya tanpa megingat jumlah bahasa atauvariasi bahasa yang digunakan (Gumperz, 1976:37-53). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kompleksnya suatu masyarakat tutur ditentukan oelh banyaknya pengalaman dan sikap para penutur tempat variasi itu berada. Lalu verbal repertoar seluruh penuturnya sebagai anggota masyarakat itu (Fishman, 1972:32).

            Dilihat dari sempit dan luasnya repertoanya, masyarakat tutur dapat dibedakan atas dua macam, yakni:

(1) masyarakat tutur yang repertoar pemekaiannya lebih luas dan

(2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.

            Kedua jenis masyarakat tutur ini terdapat, baik dalam masyarakat yang terkacil atau tradisional maupun besar atau modern. Meskipun demikian, masyarakat modern mempunyai kecendrungan memiliki masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai veriasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dari beberapa bahasa yang berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah faktor sosial dan kultural.

            Komunitas bahasa adalah suatu konsep sosiolinguistik yang pernah dibahas oleh Hudson (1980) Savillae Troike (1982) dan teristimewa Brauthwaite (1984). Menurut bloomfield (1933) komunitas bahasa dibentuk mereka (kumpulan orang) yang secara bersama-sama memiliki aturan-aturan bahasa yang sama. Labov lebih menekankan pada kriteria norma-norma yang dianut bersama dari ciri-ciri bahasa yang digunakan bersama. Fishman (1972) memandang suatu komunitas bahasa sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya bersama-sama menganut aturan-aturan fungsional yang sama.

     

      Dari uraian di atas  diketahui bahwa terdapat tiga pendekatan dalam memahami konsep komunitas bahasa. Pertama, dipandang dari sudut bentuk-bentuk bahasa yang dimiliki bersama; kedua, dari segi kaidah-kaidah yang mengatur sistem bahasa yang dimiliki bersama; ketiga, dari sudut pandang konsep yang dianut bersama.

            Bahasalah yang menjadikan suatu masyarakat menjadi sentripetal, artinya bahasa cenderung mengabsorbsi masyarakat menjadi satu kesatuankesatuan masyarakat karena menganut norma-norma linguistik yang sama ini kita namai komuntas bahasa.

D.    Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur

Berdasarkan pendapat ahli ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orangatau individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem bahasa yang sama berdasarkan norma-norma bahasa yang sama. Dengan kata lain inilah pembeda dan menjadi ciri khas sebuah masyarakat satu dengan yang lainnya.Berhubungan dengan itu, sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Indonesia memiliki banyak suku bangsa sehingga otomatis masyarakat tutur dan masyarakat kita juga sangat beragam, dari keberagaman inilah menimbulkan berbagai macam dialek dan bahasa yang berbeda. Setiap daerah memiliki bahasanya masing- masing. Kenyataan bahwa adanya perbedaan dalam berkomunikasi tidak akan menjadi halangan dalam berinteraksi sejauh penututur bahasa tersebut berasal dari masyarakat tutur yang sama. Akan tetapi, tidak dengan hal interaksi antar kelompok yang sudah memilki bahasa dan budaya masing- masing, dimana para pentur yang berinteraksi disini tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa daerah masing- masing. Untuk mengatasi hal ini maka muncul bahasa pemersatu yaitu Bahasa Indonesia. Inti dari keberhasilan dalam berkomunikasi adalah ketika para penuturnya dapat memahami satu sama lain maksud yang ingin disampaikan. Mereka harus mampu memahami situasi dan kondisi lawan tutur dan keadaan yang melatar belakangi terjadinya interaksi ini. Oleh karena itu, yang menjadi patokan disini adalah peran peristiwa tutur (speech event) yangmendahului adanya tindak tutur (speech act) terjadi dalam masyarakat.

1.      Peristiwa Tutur

Setiap komunikasi masyarakat tutur dalam menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, dalam setiap proses komunikasi berbahasa terjadilah apa yang disebut peristiwa tutur. Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan suatu pokok tuturan di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Chaer 1995:61).Di dalam setiap peristiwa interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor (unsur) yang mengambil peranan dalam peristiwa itu. Faktor-faktor itu seperti: penutur (speaker), lawan bicara (hearer, receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara (setting), suasana bicara (situationscene) dan sebagainya. Dalam pemakaian bahasanya, setiap penutur akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, dimana, mengenai masalah apa dan dalam suasana bagaimana. Dengan demikian maka tempat bicara akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur; demikian pula pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna pula terhadap pembicaraan yangsedang berlangsung.Dell Hymes,(1972) seorang pakar sosiolinguistik, mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:

Setting and scene, yaitu komponen yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Umpamanya percakapan yang terjadi dikantin kantor pada waktu istirahat tentu berbeda dengan yang terjadi diruang meeting ketika rapat berlangsung.

Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan seperti pembicara, lawan bicara dan pendengar. Umpamanya, antara siswa dengan gurunya. Percakapan siswa dan gurunya ini tentu berbeda kalau partisipannya bukan siswa dan guru, melainkan antara siswa dan siswa.

Ends, yaitu mengacu pada maksud dan hasil percakapan. Contohnya, seorang pimpinan bertujuan memberikan perintah (instruksi) secara jelas kepada bawahannya tetapi hasil yang didapat malahsebaliknya, pegawainya tidak menuruti perintah atasannya dengan baik dan benar.

Act Sequences, mengacu pada hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan. Dengan katalain suatu peristiwa dimana seorang pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicara.Misalnya dalam kalimat : dia berkata dalam hati “ mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik”. Perkataan mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik” pada kalimat adalah bentuk  percakapan.

Key, yaitu mengacu pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan. Misalnya, pelajaran linguistik dapat diberikan dengan cara yang santai, tetapi dapat juga dengan semangatyang menyala-nya.

Instrumentalities, yaitu merujuk pada jalur percakapan atau alat menyampaikan pendapat. Sepertiapakah secara lisan atau bukan.

Norms of interaction and interpretation, yaitu merujuk pada norma perilaku percakapan yang patutditaati.

Genres, yaitu yang merujuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan. Jenis kegiatandiskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari jenis kegiatan lain.Dari yang dikemukakan Hymes itu dapat kita lihat betapa kompleksnya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Delapan unsur diatas dapatdijadikan untuk mendeteksi kontek situasi yang sedang dipakai oleh lawan tutur guna mengetahui maksud dan tujuan darinya.

2.      Tindak Tutur

Untuk menentukan pemahaman dalam komunikasi perlu diketahui hubungan antara bahasa dan konteksnya. Artinya, untuk mengetahui atau memahami makna yang dimaksudkan oleh peneliti atau penulis, tidak hanya dengan memahami makna yang dimaksud atau kalimat yangdigunakan, tetapi dituntut untuk mengambil pengetahuan dan kesimpulan tentang apa yangdikatakan atau ditulis berdasarkan pemakaian konteks yang ada. Sehingga hal-hal yang berkenaandengan ini disebut dengan konteks situasi yang melatarbelakangi tindak tutur (speech act) dalam berkomunikasiharus mengkaji konteks dan tuturan, panutur dan mitra tutur juga harus memiliki latar belakang pengetahuan yang sesuai dengan apa yang ada pada tuturan.Kemudian Searle (1975: 59-82) mengembangkanteori tindak tutur ini menjadi 5 bentuk yaitu;

1.      Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apayang diujarkan

2.      Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannyadiartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.

3.      Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yangdisebutkan di dalam tuturannya.5.Deklarasi / establisif / isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.

Contoh:

“Bagaimana kalau kita…kita kawin!”

Tindak tutur di atas termasuk ke dalam beberapa kategorisekaligus yaitu : tindak tutur perlokusi karena digunakan untuk membujuk mitra tutur agar mau diajak kawin direktif karena mitra tutur diharapkan melakukan tindakan yang disebutkan di dalamtuturan itu (kawin dengan penutur) komisif karena mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalamtuturannya (kawin dengan mitra tutur) deklarasi karena menciptakan status/keadaan yang baru (perkawinan)tindak tutur taklangsung harfiah karena kata tanya ‘bagaimana’ tidak digunakan secarakonvensional untuk menanyakan sesuatu, melainkan untuk mengajak mitra tutur melakukan sesuatu yang disebutkan dalam tindak tutur.

Kemudian dalam tindak tutur ini juga menyinggung istilah Implikatur percakapan mengacukepada jenis “kesepakatan bersama”antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan. Hubungan atau keterkaitan itusendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya, makna keterkaitan itu tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu.Secara jelasnya, Grice dalam Leech (1983: 16) mengemukakan bahwa percakapan yangterjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama.Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat maksim, yaitu

(1) maksim kuantitas, memberi informasi sesuai yang diminta;

(2) maksim kualitas, menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup buktikebenarannya;

(3) maksim relasi, memberi sumbangan informasi yang relevan;

(4) maksim cara, menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan,mengungkap-kan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan.

 

Keempat konsep yang terdapat di masyarakat tutur minangkanau itu memiliki makna yangdalam yaitu masayarakat yang menjunjung tinggi kesopansantunan terhadap sesama anggotamasyarakatnya berdasarkan usia dan posisinya di masyarakat. Sehingga aturan tersebutdiaplikasikan dalam melakukan tindak tutur. Setiap orang mempercayai dan mentaati normakesopansantunan ini ketika berinteraaksi antar anggotanya.

Ini sangat sejalan dengan pernyataan Gumperz (1978:16) inilah yang disebut social rules. Social rulesatau aturan- aturan sosial adalah pengikat seseorang dalam bertindak tutur dan menjadiacuan ketika beradaptasi dengan lingkungan dimana tuturan harus sesuai dengan niat/ tujuan,tempat, dan hubungan identitas antar penutur. Aturan- aturan social ini diperoleh melalui prosessosialisasi dalam masyarakat yang kemudian dipelajari secara natural dan inilah yang disebutkemampuan komunikatif. Setiap manusia memiliki kompetensi bahasa dalam pikirannya yangsecara tidak lansung terbentuk oleh social budaya dimana dia tumbuh dan berkembang. Dengankata lain aturan sosial sebagai parameter yang menuntun keberterimaan dalam prilaku komunikasi.KesimpulanSecara normal, seorang individu tidak hanya berhubungan dengan individu lain dalammasyarakat tuturnya, sebaliknya dia juga berhubungan dengan orang lain pada masyaarakat tutur yang berbeda pula. Ini kemudian menyebabkan munculnya variasi bahasa dan aktifitas bahasakerena didukung oleh latar belakang situasi yang berbeda. Penggabungan penutur- penutur dari latar belakang yang berbeda dan saling berinteraksi akan menciptakan sebuah komunitasmasyarakat baru yang memilki norma dan aturannya sendiri pula.Untuk itu, guna menilik lebih jauh sebuah komunitas masyarakat tutur, seseorang harus melihat budaya, aturan, dan kepercayaan yang diyakini bersama dalam masyarakat itu. Hal tersebutsangat berbeda dengan komunitas lain tergantung dimana komunitas itu berada. Setiap komunitas memiliki identitasnya masing- masing. Adanya pengaruh variasi sosial dalam konteks berkomunikasi menyebabkan penyusunan strategi yang berbeda oleh penutur bahasa untuk menyampaikan informasi pada lawan tuturnya. Prilaku interaksi setiap penutur berbeda satudengan yang lainnya, karena setiap penutur memiliki budaya masing-masing sehingga tindak tutur yang keluar adalah refleksi dari mana seseorang itu berasal. Fishman (1968) dan Gumperz(1978:37-53) mengatakan, masyarakat modern mempunyai kecenderungan masyarakat tutur yanglebih terbuka dan cenderung tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama; sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

       

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Simpulan

Bahasa adalah ciri khas yang dimiliki manusia yang membedakan dengan makluk lain. Bahasa juga yang menjembatani hubungan antar masyarakat. Sehingga bahasa sangat dekat sekali dengan masyarakat dalam kehidupan masyarakat. Bahasa mengambil peran penting dalam kehidupan masyarakat. Ciri-ciri bahasa-pun beragam yaitu bahasa sebagai sistem, bahasa sebagai lambang, bahasa bersifat arbiter, bahasa bersifat produktif, bahasa bersifat dinamis, bahasa bersifat bersifat manusiawi, dan lain-lain. pada hakikatnya bahasa merupakan suatu alat yang terdiri dari susunan kata-kata memiliki makna yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan interaksi ataupun komunikasi. Karena bahasa tidak lepas dari kehidupan manusia.

Fungsi bahasa bisa kita lihat dari segi penutur, dari segi pendengar, dari segi kontak antara penutur dan pendengar, dari segi topik ujaran, dari segi kode yang digunakan dan dilihat dari segi amanat. Adapun bahasa juga berhubungan dengan disiplin ilmu lainnya. Hal itu dikarenakan bahasa merupakan bagian yang sangat erat dan dekat dengan kehidupan manusia.

B.     SARAN

Setiap individu harus menutur atau berbicara dengan menggunakan bahasa yang benar, sopan, bijaksana dan memiliki etika dalam berbahasa, apalagi saat berada di kalangan masyarakat. Dan hendaklah bagi penutur bahasa harus bisa menyesuaikan bahasanya ketika berada di suatu tempat, baik di lingkungan formal maupun di lingkungan non formal.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Saleh Muhammad &  Mahmudah. 2006 Sosiolinguistik. Badan penerbit UNM. Makassar

Sumber :https://id.scribd.com/doc/97896807/Masyarakat-Tutur-Dan-Tindak-Tutur