Rabu, 16 November 2016

RIBA, GHARAR dan MAYSIR


RIBA, GHARAR dan  MAYSIR DALAM ISLAM

A.     Riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah(tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba berarti tumbuh dan membesar (saeed, 1996). Adapun menurut istilah teknis, riba berar pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil (antonio, 2001). Wahbah  az-zuhaili (1989) menjelaskan bahwa menurut imam hambali, riba adalah tambahan pada sesuatu yang dikhususkan. Abu hanifah mendefinisikan riba sebagai melebihkan harta dalam suatu transaksi tanpa pengganti atau imbalan. Maksudnya, tambahan terhadap barang atau uang yang timbul dari suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan oleh pihak yang berutang kepada pihak berpiutang pada saat jatuh tempo.
Artinya:
wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dalam perdangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya, allah adalah penyayang kepadamu.”
(Q.S. an-nisa’ : 29)
 Ibn arabi al-maliki dalam bukunya, ahkam al-qur’an, menjelaskan bahwa riba yang dimaksudkan dalam al-qur’an sebagai suatu hal yang bersifat bathil adalah setiap penambahan yang diambil tanpa ada satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’at. transaksi pengganti atau penyeimbang yang dimaksud, yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil.

Secara umm, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dari transaksi yang dilakukan dengan cara bertentangan dengan prinsip dan aturan syari’at islam. Ada beberapa unsur penting yang terdapat dalam riba, yaitu yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya penambahan menurut jangka waktu, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah disepakati. Ketiga unsur ini bersama-sama membentuk riba serta bentuk lain dari transaksi kredit dalam bentuk uang atau sejenisnya.

Ada dua bentuk riba yang berkembang sejak permulaan islam, yaitu riba nasi’ah dan riba fadhl. Riba nasi’ah berkaitan dengan penangguhan waktu yang diberikan kepada pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan tambahan atau premi. Jadi, riba bentuk ini mengacu pada bunga pada utang. Dalam hal ini tidak ada pebedaan apakah persentase keuntungan dari pokok bersifat tetap atau berubah atau suatu jumlah tertentu yang dibayar didepan atau pada saat jatuh tempo, atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu persyaratan pinjaman.

Adapun riba fadhl adalah bentuk dari kedua dari riba yang telah digunakan dan selalu terjadi dalam transaksi antara pembeli dan penjual, yang diartikan sebagai kelebihan pinjaman yang dibayar dalam segala jenis, berbentu pembayaran tambahan oleh peminjam kepada kreditor dalam bentuk penukaran barang yang jenisnya sama (rahman, 1995).

Pada masa nabi hanya enam jenis barang yang termasuk riba fadhl, yaitu emas, perak, gandum, jelai, kurma, dan garam. Keenam barang tersebut.

Termasuk riba fadhl apabila masing-masingnya tidak ditukar dengan barang yang sama dan dengan takaran yang sama pula. Persoalan yang muncul, apakah keenam barang ini saja yang termasuk riba fadhl ataukah dapat digeneralisasikan pada komoditas-komoditas lain melalui illat yang dipakai untuk tujuan ini?
Mengingat karakteristik emas dan perak sebagai komoditas uang, mayoritas ulama menyimpulkan bahwa semua komoditas yang dipergunakan sebagai uang termasuk dalam kategori riba fadhl. Adapun terhadap empat komoditas lain(gandum, jelai,kurma, dan garam), ulama berbeda pendapat. Biasanya keempat komoditas ini dijual dengan timbangan atau ukuran.  Berdasarkan hal ini, sebagian ulama (hnaafi, hambali, imami, dan zaidi) berpendapat bahwa semua barang yang dapat dijual dapat terkena riba fadhl. Berbeda dengan imam syafi’i dan hanbali, yang menilai keempat barang itu dapat dikonsumsi manusia, berpendapat bahwa riba fadhl dapat mengenai semua komoditas yang memiliki karakteristik barang yang dapat dimakan. Sementara dari kalangan mazhab maliki berpandangan bahwa semua barang yang dapat dimakan dan disimpan lama berpotensi menimbulkan riba fadhl. mazhab zahiri  berpendirian hanya keenam barang itu saja yang dikenai riba fadhl. Pada masa rasul, keenam komoditas itu dipergunakansebagai uang didalam dan diluar madinah, terutama di kalangan orang badui. Oleh karena itu, riba fadhl berpeluang terjadi dalam pertukaran komoditas-komoditas ini dengan uang atau dengan komoditas yang dipakai sebagai uang.
1.  Sejarah Riba
Riba tidak hanya menjadi persoalan pada masyarakat islam, tetapi juga berbagai kalangan di luar islam pun memandang serius permasalahan riba. Apabila dirunut secara sejarah, riba telah menjadi bahasan dikalangan yahudi, yunani, romawi, dan kalangan kristen yang memiliki pandangan tersendiri dari masa ke masa mengenai riba.
Para pakar sejarah pemikiran ekonomi menyimpulkan kegiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 SM, di mesopotamia (wilayh irak sekarang), telah berkembang sistem bunga. Sementara itu, 500 tahun SM, temple of babilon mengenakan bunga sebesar 20% setahun (agustiono, 2002)

Menurut catatn sejarah, bangsa yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi melarang keras peminjaman uang dengan bunga, socrates dan aristoteles yang mengandalkan pemikiran rasional ilosofis menilai sistem bunga sebagai sesuatu yang tercela dan tidak adil. Mereka melarang riba/bunga atas modal pinjaman karena uang dinyatakan sebagai ayam betina yang tidak bertelur. Sekeping mata uang tidak bisa beranak kepingan uang lain. Aristoteles mengemukakan bahwa uang hanya sebagai alat tukar bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Sementara itu, plato seorang ahli filsafat yunani, mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktik yang zalim. Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.

Ahli filsafat romawi, cicero pun menolak pengambilan bunga atas pinjaman. Cicero memberikan nasihata kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yaitu memungut cukai dan memberikan pinjaman dengan bunga, cicero memberikan ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan pemberi pinjaman.

a.    Perniagaan adalah pekerjaan yang mempunyai risiko, sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas
b.    Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat, sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.
Pada masa romawi, sekitar abad ke-5 SM hingga abad ke-4 M, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingakat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesui dengan perubahan waktu. Meskipun perundangan membenarkan pengambilan bunga. Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Akan tetapi, pada masa unciaria (88 SM), praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Ada empat jenis tingkat bunga pada masa romawi, yaitu sebagai berikut (antonio, 2001).
1
Bunga maksimal yang dibenarkan
8% - 12%
2
Bunga pinjaman biasa di roma
4% - 12%
3
Bunga untuk wilayah (daerah taklukan roma)
6% - 100%
4
Bunga khusus byzantium
4% - 12%

Tradisi bunga juga berkembang ditanah arab sebelum nabi muhammad SAW. Menjadi rasul. Catatan sejarah menunjukkan bangsa arab cukup maju dalam perdagangan. Hal ini digambarkan al-qur’an dalam surah al-quraisy dan buku-buku sejarah dunia. Bahkan, kota mekkah saat itu pernah menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur perdagangan dunia, eropa dan afrika, india dan china, syam dan yaman. Untuk menunjang arus perdagangan yang begitu pesat, mereka membutuhkan fasilitas pembiyaan yang memadai untuk mendukung kegiatan produksi. Peminjaman modal untuk perdagangan dilakukan dengan sistem bunga . Tegasnya, pinjaman uang saat itu, bukan hanya untuk konsumsi, melainkan juga untuk usaha-usaha produktif.
Kaum yahudi dalam ajaran agamanya pun melarang pengambilan bunga. Pandangan agama yahudi mengenai bunga terdapat dalam kitab perjanjian lama ataupun undang-undang tamlud.
Kitab exodus 22 ayat 25 menyebutkan,” jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatku yang miskin diantara kamu, janganlah engkau berlaku seperti seorang penagih utang dan jangalah engkau bebankan bunga uang padanya, melainkan engkau harus takut pada allah-mu supaya saudaramu dapat hidup diantaramu.”
Kitab deoteronomy pasal 23 ayat 19 menyatakan,” janganlah engkau membunga kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat di bungakan.”
Kitab levicitus (imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan,” janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melaikan engkau harus takut akan allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Pasal-pasal tersebut tegas melarang praktik bunga bagi orang yahudi. Kan tetapi, orang yahudi suka membuat argumentasi dengan menafsirkan pasal itu sesuai dengan nafsunya. Menurut mereka, bunga hanya terlarang jika dilakukan sesama yahudi dan tidak dilarang dipraktikan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Sikap seperti itu  dikecam Al-Quran sebagai perbuatan yang zalim dan batil.
Di kalangan Nasrani, meskipun tidak menyebutkan permasalahan riba secara jelas, terdapat ayat yang membahasnya, dalam perjanjian baru, injil lukas ayat 34 yang menyebutkan, “jika kamu mengutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka dimana sebenernya kehormatan kamu tetpi berbuatlah kebajiakan dan brikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembali akren apahala kamu akan sangat banyak. “
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tangapan dan tafsiran dari para pemuak agama Nasrani tentang boleh tidaknya praktik pengambilan bunga oleh orang Nasrani. Berbagai pandangan pemuka agama Narani dapat dikelom[okan menjadi 3 periode utama (Antonio,2001), yaitu pandangana para pendeta awal Nasrani ( abad I-XII) yang mengharamkn bunga; pandangan para sarjana Nasrani (abad XII-XVI) yang berkeinginan aagar bunga di perbolehkan ; dan pandangan para Revormis Nasrani (abad XVI-tahun 1836) yang menyebabkan nasrani memperbolehkan praktik bunga dalam  transaksi ekonomi.
Dari paparan diatas, jelaskan  uga telah dilarang dalam peradaban manusia sejak ribuan tahun lalu, sejak Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan Mesir Kuno. Demikin pula, larangan mengambil bunga diajarkan oleh agama-agama samawi, seperti Yahudi dan Nasrani,meskipun Nasrani sekarang memperbolehkan praktik bunga dalam transaksi ekonominya.
Kini seluruh pakar ekonomi islam didunia telah ima’ menetapkan keharaman bunga bank. Oleh karena itu, uamt islam sudah seharusnya hijrah dari abank konvesional kepada bank syariah. Tahun 1976, 300 ahli duni bersama para ulama seluruh dunia dalam konfersi ekonomi islam Internasionala menetapkan keharaman bunga bank dan keharusan umat islam mendukung bank syariah tanpa bunga yang sessuai dengan Al-Quran dan sunnah. Demikian pula, ulama-ulama OKI yang terdiri atas 54 negara  sepakat mengharamkan bunga bank lalu mengharuskan ulat islam mengembangkan dan mempraktikan konsep bank islam.
Di dalam negeri pun, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa mengenai pengharaman praktik bank karena sama dengan riba. Hal iippun diikuti oleh Organisasi Massa Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdalatul Ulama yag telah melarang praktik bunga bank dalam perekonomian.
2.    Pelarangan Riba Dalam Al-Quran
Keharan riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Para mufasir mengatakan bahwa proses keharaman riba disyariatkan Allah SWT. Secara bertahap.

Tahap pertama, Alllah SWT. Menujukkan bahwa riba bersifat negatif  serta menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuautan yang mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah SWT. Hal ini disampaikan Allah SWT. Dalam suarat Ar-RUM ayat 39:
Artinya:
“ dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia, bertambah, maka tidak bertambah dalam hadapan Allah SWT. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksutkan untuk memperoleh keridhoan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalannya).” (Q.S. Ar-Rum [30]:39)
Ayat ini merupakan ayat pertama berbicara tentang riba. Menurut  para Mufasir, ayat makkiyah (ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekkah). Akan tetepi, para ulama sepakat menyatakan bahwa ayat ini teidak bicara tentang riba yanga diharamkan.
Tahap kedua, Allah SWT. Telah membawakan isyarat tentang kagaran riba melalui kecapan terhadap praktik riba dikalangan masyarakat Yahudi, dan akan memberiakan balasan  yang keras kepada mereka yang mempraktikan riba. Hal ii disampaikan-Nya dalam surah An-Nisa ayat 161,



Artinya:
“Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan kami sediakan untuk oarang-orang kafir diantara mereka itu siksaan yang pedih.” (Q.S. An –Nisa’ [4]:16)
Tahap ketiga, Allah SWT. Mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu salah satu yang melipat gandakan dengan laranganyang tegas karena pada masa tersebut praktik pengambilan bunga dengan tingkat cukup tinggi banyak dipraktikan dalam masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Allah SWT dalam surah Ali’Imran ayat 130.
Artinya:
“wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntug,”
(Q.S. Ali ‘Imran [3]:130)
Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukan merupakan syarat terjadinya riba, melainkan kepada sifat atau karakter dari praktik membungakan uang saat itu. Ath-Thabari menjelaskan bahwa adh’afan mudha’afan dapat terjadi juga atas permintaan perpanjang waktu saat utang jatuh tempo saat salah satu pihak yang berutang akan memberikan kelebihan atau pemberi piutang itu sendiri meminta kelebihan atas piutangnya. Dengan demikian, bunga dalam jumlah besar, berlipat ganda atau kecil sekalipun tetap merukan riba.
Tahap Terakhir, Allah SWT. Mengharamkan riba sevara total dengan  segala bentukny. Hal ini disamoaikanmelalui firman-Nya dalam surat Al- Baqarah, 2:275,276,278. Dalam ayat 275 Allah SWT. Menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda dengan riba, dalam ayat 276 Allah SWT. Menyatakan memusnakan riba:
Artinya:
“ orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti beerdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikaian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapatkan peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperoleh dahulu menjadi miliknya dan urusan (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi. Maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”(Q.S. Al-Baqarah [2]:275]
Artinya:
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap  orang yang tetap dalam kekafiran, dan bergelimang dosa.”(Q.S. Al-Baqarah:[2]:276)
Artinya:
“ Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipunggut) jika kamu orang-orang yang beriman.”(Q.S. Al-Baqarah [2]:278)
Pada tahap terakhir ini Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yanga masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para pakar fiqh, terjadi pada akhir abad ke-8 atau awal buloan ke-9 hijriah.

Alasan keharaman riba juga dijelaskan dalam sunnah Raulullah SAW. Muslim tenteng 7 dosa besar, diant5aranya memakan riba. Dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud dikatakan, “Rasulullah SAW, melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para sanksi dalam masalah riba, dan para penulisnya.” (H.R. Abu Daud, dan hadist yang sama juga diriwayatkan  muslim dan Jabir ibn’Abdillah).
Demikian secara jelas Allah SWT. Telah memberi penjelasan dalam Al-Quran ataupun sunnah tentang pelajaran riba, pada segala bentuk transaksi bisnis. Selain adanya unsur penambahan riba juga menimbulkan adanya kezaliman paada salah satu pihak. Aktivitas riba juga akan membuat orang hidup malas dengan cara asumsi tanpa bekerja keras sseorang akan memeperoleh return yang bersifat pasti.
B. Konsep  Gharar
            Al-gharar adalah “ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi muamalah adalah “Ada sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sepihak dan hanya boleh menimbulkan rasa ketidakadilan, serta penganiayaan kepada pihak yang lain” menurut Ibn Rush,maksud al-gharar adalah:”kurangnya penjelasan tentang keadaan barang(objek),kuantilas dan harga.horor juga berkaitan  dengan masa penyerahan barang,teruta ketika uang sudah dibayar,tetapi waktu penyerahan barang tidak diketahui”.ibn taimiyah menyatakan al-gharar adalah “apabila satu pihak menyambil hak nya dan satu lagi tidak menerima apa yang sepatutunya dia dapet.
              Al-gharar yang ditakrifkan dalam kitab qalyubi wa umairah,menurut mazhad imam Asy-Syafi’i,adalah’’satu(aqat)yang akibat nya tersembungi dari kita atau perkara diantara 2 kemungkinan dan yang paling kerap berlaku iyalah yang paling ditakuti’’
            Gharar secara sederhana dapat dikatakan suatu keadaan yang salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subjek dan objek akad.Gharar adalah semua jual beli yang mengandung ketidak jelasan atau keraguan tentang adalah komudikas yang menjadi objek akad,ketidak jelasan akibat,dan bahaya yang menyancam antara untung dan rugi,pertaruhan,atau perjudian.
Ada 4 konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar,sebagai berikut
1.      Game yaitu pertukaran yang melibat kan 2 pihak untuk tujuan tertentu,yang dalam terminologi  fiqih lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh (transaksi pengganti dengan keuntungan).
2.      Zero Sum Game yaitu merupakan konsep permainan yang hanya menghasilkan ouput win- lose(menang –kalah).Kemengan yang diperoleh oleh satu pihak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan bertambah tanpa mengurangi hasil pihak lain. Zero sum game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerja sama. Kontrak berjangka yang zero sum game (pasti ada yang untung karena ada yang rugi) juga lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut  berubah-ubah (volatile) oertukarannya dan sulit ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian bahkan bias tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi a game of chance (perjudian), yang mendorong perilaku spekulatif. Selain itu, terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.
3.      Normal Exchange yaitu pertukaran barang dan jasa akan mendapatkan keuntungan dan kepuasan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis.hal ini dapat dicapai jika marginal utility (kepuasan maksimum)yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual berdasarkan asumsi,jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsi nya adalah memaksimumkan kepuasaan materiel saja.ini berarti seorang konsumen dalam mengomsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasan selalu menggunakan kerangka krasiopnalitas (bersifat duniawi).dari pandangan lain utilitas ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang dikonsumsi,tettapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat bermanfaat
Menurut islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi .tujuannya memperoleh maslahah terbesar sehingga ia dapat mencapai kemengan dunia dan akherat serta kesejahteraan .jadi tidak hanya kepuasan materil.dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan,Imam Al-ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah,bail maslahah (utility,manfaat)maupun mafasid (disutility,kerusakan) dalam meningkat kan kesejahteraan .jadi utilitas individu dalam islam sangat bergantung pada utility individu lainnya(interpendent utility)sehingga dapat terbentuk kemaslahatan
4.      Risk Concept, para ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan resiko. Resiko menguraikan situasi yang didalamnya kemungkinan dari peristiwa (kejadian) dapat diukur. Oleh karena itu resiko ini dapat diperkirakan ketidaknya secara teoritis. Resiko dibagi menjadi dua kategori yaitu:
a.       passive risk yaitu resiko yang terjadi benar-benar tidak dapat diperkirakan dan diperhitungkan .jadi hal ini benar-benar suatu teka teki yg sama sekali tidak diketahui jawabannya.Perkiraam atas resiko ini hanya mengandalkan keberuntungan (game of chance),karena sesesorang hanya dapat bersifat pasif.
b.      b.responsive risk yaitu resiko yang muncul nya memiliki penjelasan kausalitas dan memiliki distribusi probabilitas .risiko jenis ini tidak dapat diperkirakan dengan menggukan cara-cara tertentu. Memperkirakan resiko responsive sering disebut game of skillnkarena perkiraan nya didasarkan atas skill tertentu.
            Dalam islam,resiko bisa terjadi dalam sisitem profit-share(bagi hasil)kontrak mudharabah  dan musyarakah,tidak terdapat suatu fixed and certain return sebagai mana dengan konsep bunga,tetapi dilakukan loss and profit sharing berdasarkan produktifitas nyata dari dana tersebut meskipun nisbah bagi hasil disepakati pada saat awal ,perolehan real dari bagi hasil ini baru diketahui setelah dana benar -benar mengasilkan.jadi,hal yang bersifat pasti dari system ini adalah nisbah bagi hasil nya,bukan nilai real bagi hasil nya.ada kemungkinan terjadinya flukluasi dalam bagi hasil yang nyata,bergantung pada produktifitas nyata dari pemanfaatan dana.berkaitan dengan resiko,terdapat resiko responsif yang memungkinkan adanya distribusi pro babilitas hasil keluaran  dengan hubungan kausalitas yang logis.hal ini bisa diasosiasikan dengan game of skill.hubungan antara game of chance dengan game of skiil menunjukkan hubungan suatu transaksi investasi itu halah atau haram(diperbolehkan atau dilarang)

C. Konsepsi Maysir
Hal ketiga yang dilarang dalam islam selain riba dan gharar adalah maysir. Maysir atau qimar secara harfiah bermakna judi (spekulasi) . secara teknis, maysir adalah setiap permainan yang didalamnya disyaratkan sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yang kalah untuk pihak yang menang . menurut ibrahim anis dkk . dalam mujam al-wasith hlm. 758, judi adalah setiap permainan (ia’b[uni])  yang mengandung taruhan dari kedua pihak (murahaanah) . menurut al-jurjani dalam kitabnya , at-ta’rifat , hlm. 179, judi adalah setiap setiap permainan yang didalamnya disyaratkan sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang. Menurut ali ash-shabuni dalam kitab tafsirnya rawa’i al-bayan fi tafsiri ayat al- ahkam I/279), judi adalah setiapa permainan yang menimbulkan keuntungan (ribh) bagi satu pihak dan kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya. Senada dengan ini yusuf al- qhodawi (1990:417) dalam halal dan haram mengungkapkan judi adalah setiap permainan yang mengandung untung atau rugi bagi pelakunya.
Beberapa definisi tersebut saling melengkapi sehingga dapat disimpulkan sebuah definisi judi yang menyeluruh. Judi adalah segala permainan yang mengandung unsur taruhan (harta/ materi) dan pihak yang menang mangambil harta/materi dari pihak yang kalah. Suatu perbuatan dapat dikategorikan judi jika memnuhi tiga unsur berikut:
1.      Taruhan harta/ materi yang berasal dari kedua kedua pihak yang berjudi;
2.      Permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan ynag kalah;
3.      Pihak yang menang mengambi l harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan pihak yang kalah kehilanagan hartanya.
Jika tiga syarat tersebut terpenuhi, termasuk kategori judi dan islam mengharamkannya.
Sebagaimana firman allah yang artinya:
 wahai orang – orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, lakuperbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu keberuntungan. (Q.S.AL-MAIDAH [5]:90)
judi dapat dilakukan dengan bandar penyelenggaraan atau tanpa bandar, diselenggarakan pihak swasta, ataupun pemerintah misalnya departemen sosial, apakah yang lainnya terkumpul untuk tujuan pembangunan, olahraga, sosial, atau domino dengan mengumpulkan taruhan masing-masing Rp 1.000,-. Pihak yang menang mengambil semua uang yang dikumpulkan sejumlah Rp 4.000,-. Contoh lainnya seorang bandar menyediakan permainan menebak angka, bagi lima orang yang mengumpulkan taruhan masing-masing Rp 100.000,-. Alatnya berupa sebuah piringan /lingkaran yang ditepinya tertera angka yang ditebak, misalnya angka 1 sampai 10, yang di lengkapi jarum penunjuk. Piringan itu dapat diputar dan berhenti pada angka tertentu yang ditunjuk oleh jarum penunjuk. Lima orang itu misalnya menebak 1,3,5,7dan 9. Ketika angka yang ditunjuk oleh piringan adalah angka 1 misalnya, pejudi yang menebak angka 1 akan mengambil semua uang yang di kumpulkan.

Istilah lain dari judi adalah spekulasi. Hal ini terjadi dalam bursa saham. Setiap menitnyaselalu terjadi transaksi spekulasi yang sangat merugikan penerbit saham. Setiap perusahaan yang memiliki right issue selalu didatangi oleh para spekulan. Ketika harga saham suatu bahan usaha sedang jatuh, spekulan segera membelinya dan ketika bahan naik, para spekulan menjualnya kembali atau melepas kepasar saham. Hal ini sering membuat indeks harga saham gabungan saham menurun dan memperburuk perekonomian bangsa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar