RIBA,
GHARAR dan MAYSIR DALAM ISLAM
A.
Riba
Riba
secara bahasa bermakna ziyadah(tambahan). Dalam pengertian lain, secara
linguistik, riba berarti tumbuh dan membesar (saeed, 1996). Adapun menurut
istilah teknis, riba berar pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
bathil (antonio, 2001). Wahbah
az-zuhaili (1989) menjelaskan bahwa menurut imam hambali, riba adalah
tambahan pada sesuatu yang dikhususkan. Abu hanifah mendefinisikan riba sebagai
melebihkan harta dalam suatu transaksi tanpa pengganti atau imbalan. Maksudnya,
tambahan terhadap barang atau uang yang timbul dari suatu transaksi utang
piutang yang harus diberikan oleh pihak yang berutang kepada pihak berpiutang
pada saat jatuh tempo.
“wahai
orang-orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil (tidak benar), kecuali dalam perdangan yang berlaku atas dasar suka
sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya,
allah adalah penyayang kepadamu.”
(Q.S. an-nisa’ : 29)
Ibn
arabi al-maliki dalam bukunya, ahkam al-qur’an, menjelaskan bahwa riba
yang dimaksudkan dalam al-qur’an sebagai suatu hal yang bersifat bathil adalah
setiap penambahan yang diambil tanpa ada satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syari’at. transaksi pengganti atau penyeimbang yang
dimaksud, yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya
penambahan tersebut secara adil.
Secara
umm, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dari transaksi yang
dilakukan dengan cara bertentangan dengan prinsip dan aturan syari’at islam.
Ada beberapa unsur penting yang terdapat dalam riba, yaitu yang ditambahkan
pada pokok pinjaman, besarnya penambahan menurut jangka waktu, dan jumlah
pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah disepakati. Ketiga unsur
ini bersama-sama membentuk riba serta bentuk lain dari transaksi kredit dalam
bentuk uang atau sejenisnya.
Ada
dua bentuk riba yang berkembang sejak permulaan islam, yaitu riba nasi’ah dan
riba fadhl. Riba nasi’ah berkaitan dengan penangguhan waktu yang
diberikan kepada pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan
tambahan atau premi. Jadi, riba bentuk ini mengacu pada bunga pada utang. Dalam
hal ini tidak ada pebedaan apakah persentase keuntungan dari pokok bersifat tetap
atau berubah atau suatu jumlah tertentu yang dibayar didepan atau pada saat
jatuh tempo, atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu
persyaratan pinjaman.
Adapun
riba fadhl adalah bentuk dari kedua dari riba yang telah digunakan dan
selalu terjadi dalam transaksi antara pembeli dan penjual, yang diartikan
sebagai kelebihan pinjaman yang dibayar dalam segala jenis, berbentu pembayaran
tambahan oleh peminjam kepada kreditor dalam bentuk penukaran barang yang
jenisnya sama (rahman, 1995).
Pada
masa nabi hanya enam jenis barang yang termasuk riba fadhl, yaitu emas,
perak, gandum, jelai, kurma, dan garam. Keenam barang tersebut.
Termasuk
riba fadhl apabila masing-masingnya tidak ditukar dengan barang yang
sama dan dengan takaran yang sama pula. Persoalan yang muncul, apakah keenam
barang ini saja yang termasuk riba fadhl ataukah dapat digeneralisasikan
pada komoditas-komoditas lain melalui illat yang dipakai untuk tujuan
ini?
Mengingat
karakteristik emas dan perak sebagai komoditas uang, mayoritas ulama
menyimpulkan bahwa semua komoditas yang dipergunakan sebagai uang termasuk
dalam kategori riba fadhl. Adapun terhadap empat komoditas lain(gandum,
jelai,kurma, dan garam), ulama berbeda pendapat. Biasanya keempat komoditas ini
dijual dengan timbangan atau ukuran.
Berdasarkan hal ini, sebagian ulama (hnaafi, hambali, imami, dan zaidi)
berpendapat bahwa semua barang yang dapat dijual dapat terkena riba fadhl.
Berbeda dengan imam syafi’i dan hanbali, yang menilai keempat barang itu dapat
dikonsumsi manusia, berpendapat bahwa riba fadhl dapat mengenai semua
komoditas yang memiliki karakteristik barang yang dapat dimakan. Sementara dari
kalangan mazhab maliki berpandangan bahwa semua barang yang dapat dimakan dan
disimpan lama berpotensi menimbulkan riba fadhl. mazhab zahiri berpendirian hanya keenam barang itu saja
yang dikenai riba fadhl. Pada masa rasul, keenam komoditas itu
dipergunakansebagai uang didalam dan diluar madinah, terutama di kalangan orang
badui. Oleh karena itu, riba fadhl berpeluang terjadi dalam pertukaran
komoditas-komoditas ini dengan uang atau dengan komoditas yang dipakai sebagai
uang.
1. Sejarah
Riba
Riba
tidak hanya menjadi persoalan pada masyarakat islam, tetapi juga berbagai
kalangan di luar islam pun memandang serius permasalahan riba. Apabila dirunut
secara sejarah, riba telah menjadi bahasan dikalangan yahudi, yunani, romawi,
dan kalangan kristen yang memiliki pandangan tersendiri dari masa ke masa
mengenai riba.
Para
pakar sejarah pemikiran ekonomi menyimpulkan kegiatan bisnis dengan sistem
bunga telah ada sejak tahun 2500 SM, di mesopotamia (wilayh irak sekarang),
telah berkembang sistem bunga. Sementara itu, 500 tahun SM, temple of
babilon mengenakan bunga sebesar 20% setahun (agustiono, 2002)
Menurut
catatn sejarah, bangsa yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi melarang
keras peminjaman uang dengan bunga, socrates dan aristoteles yang
mengandalkan pemikiran rasional ilosofis menilai sistem bunga sebagai sesuatu
yang tercela dan tidak adil. Mereka melarang riba/bunga atas modal pinjaman
karena uang dinyatakan sebagai ayam betina yang tidak bertelur. Sekeping
mata uang tidak bisa beranak kepingan uang lain. Aristoteles mengemukakan bahwa
uang hanya sebagai alat tukar bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui
bunga. Sementara itu, plato seorang ahli filsafat yunani, mengutuk bunga dan
memandangnya sebagai praktik yang zalim. Plato mengecam sistem bunga
berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan
perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat
golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Ahli
filsafat romawi, cicero pun menolak pengambilan bunga atas pinjaman. Cicero
memberikan nasihata kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yaitu memungut
cukai dan memberikan pinjaman dengan bunga, cicero memberikan ilustrasi untuk
melukiskan perbedaan antara perniagaan dan pemberi pinjaman.
a.
Perniagaan adalah
pekerjaan yang mempunyai risiko, sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah
sesuatu yang tidak pantas
b.
Dalam tradisi mereka
terdapat perbandingan antara seorang pencuri dan seorang pemakan bunga. Pencuri
akan didenda dua kali lipat, sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali
lipat.
Pada
masa romawi, sekitar abad ke-5 SM hingga abad ke-4 M, terdapat undang-undang
yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingakat bunga tersebut
sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate).
Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesui dengan perubahan waktu. Meskipun
perundangan membenarkan pengambilan bunga. Pada masa pemerintahan Genucia (342
SM), kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Akan tetapi, pada masa
unciaria (88 SM), praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Ada
empat jenis tingkat bunga pada masa romawi, yaitu sebagai berikut (antonio,
2001).
1
|
Bunga maksimal yang dibenarkan
|
8% - 12%
|
2
|
Bunga pinjaman biasa di roma
|
4% - 12%
|
3
|
Bunga untuk wilayah (daerah taklukan roma)
|
6% - 100%
|
4
|
Bunga khusus byzantium
|
4% - 12%
|
Tradisi
bunga juga berkembang ditanah arab sebelum nabi muhammad SAW. Menjadi rasul.
Catatan sejarah menunjukkan bangsa arab cukup maju dalam perdagangan. Hal ini
digambarkan al-qur’an dalam surah al-quraisy dan buku-buku sejarah dunia.
Bahkan, kota mekkah saat itu pernah menjadi kota dagang internasional yang
dilalui tiga jalur perdagangan dunia, eropa dan afrika, india dan china, syam
dan yaman. Untuk menunjang arus perdagangan yang begitu pesat, mereka
membutuhkan fasilitas pembiyaan yang memadai untuk mendukung kegiatan produksi.
Peminjaman modal untuk perdagangan dilakukan dengan sistem bunga . Tegasnya,
pinjaman uang saat itu, bukan hanya untuk konsumsi, melainkan juga untuk
usaha-usaha produktif.
Kaum yahudi dalam ajaran agamanya
pun melarang pengambilan bunga. Pandangan agama yahudi mengenai bunga terdapat
dalam kitab perjanjian lama ataupun undang-undang tamlud.
Kitab exodus 22 ayat 25
menyebutkan,” jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatku
yang miskin diantara kamu, janganlah engkau berlaku seperti seorang penagih
utang dan jangalah engkau bebankan bunga uang padanya, melainkan engkau harus
takut pada allah-mu supaya saudaramu dapat hidup diantaramu.”
Kitab deoteronomy pasal 23 ayat 19
menyatakan,” janganlah engkau membunga kepada saudaramu, baik uang maupun
bahan makanan, atau apapun yang dapat di bungakan.”
Kitab levicitus (imamat) pasal 25
ayat 36-37 menyatakan,” janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba
darinya, melaikan engkau harus takut akan allahmu, supaya saudaramu bisa hidup
diantaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga,
juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Pasal-pasal tersebut tegas melarang
praktik bunga bagi orang yahudi. Kan tetapi, orang yahudi suka membuat
argumentasi dengan menafsirkan pasal itu sesuai dengan nafsunya. Menurut
mereka, bunga hanya terlarang jika dilakukan sesama yahudi dan tidak dilarang
dipraktikan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Sikap seperti itu dikecam Al-Quran sebagai perbuatan yang zalim
dan batil.
Di kalangan Nasrani, meskipun tidak
menyebutkan permasalahan riba secara jelas, terdapat ayat yang membahasnya,
dalam perjanjian baru, injil lukas ayat 34 yang menyebutkan, “jika kamu
mengutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka dimana sebenernya
kehormatan kamu tetpi berbuatlah kebajiakan dan brikanlah pinjaman dengan tidak
mengharapkan kembali akren apahala kamu akan sangat banyak. “
Ketidaktegasan ayat tersebut
mengakibatkan munculnya berbagai tangapan dan tafsiran dari para pemuak agama
Nasrani tentang boleh tidaknya praktik pengambilan bunga oleh orang Nasrani.
Berbagai pandangan pemuka agama Narani dapat dikelom[okan menjadi 3 periode utama
(Antonio,2001), yaitu pandangana para pendeta awal Nasrani ( abad I-XII) yang
mengharamkn bunga; pandangan para sarjana Nasrani (abad XII-XVI) yang
berkeinginan aagar bunga di perbolehkan ; dan pandangan para Revormis Nasrani
(abad XVI-tahun 1836) yang menyebabkan nasrani memperbolehkan praktik bunga
dalam transaksi ekonomi.
Dari paparan diatas, jelaskan uga telah dilarang dalam peradaban manusia
sejak ribuan tahun lalu, sejak Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan Mesir Kuno.
Demikin pula, larangan mengambil bunga diajarkan oleh agama-agama samawi,
seperti Yahudi dan Nasrani,meskipun Nasrani sekarang memperbolehkan praktik
bunga dalam transaksi ekonominya.
Kini seluruh pakar ekonomi islam
didunia telah ima’ menetapkan keharaman bunga bank. Oleh karena itu, uamt islam
sudah seharusnya hijrah dari abank konvesional kepada bank syariah. Tahun 1976,
300 ahli duni bersama para ulama seluruh dunia dalam konfersi ekonomi islam
Internasionala menetapkan keharaman bunga bank dan keharusan umat islam
mendukung bank syariah tanpa bunga yang sessuai dengan Al-Quran dan sunnah.
Demikian pula, ulama-ulama OKI yang terdiri atas 54 negara sepakat mengharamkan bunga bank lalu
mengharuskan ulat islam mengembangkan dan mempraktikan konsep bank islam.
Di dalam negeri pun, Majelis Ulama
Indonesia telah mengeluarkan fatwa mengenai pengharaman praktik bank karena
sama dengan riba. Hal iippun diikuti oleh Organisasi Massa Islam seperti
Muhammadiyah dan Nahdalatul Ulama yag telah melarang praktik bunga bank dalam
perekonomian.
2.
Pelarangan
Riba Dalam Al-Quran
Keharan
riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah
SAW. Para mufasir mengatakan bahwa proses keharaman riba disyariatkan Allah
SWT. Secara bertahap.
Tahap pertama, Alllah SWT. Menujukkan
bahwa riba bersifat negatif serta
menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya menolong mereka yang
memerlukan sebagai suatu perbuautan yang mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah SWT. Hal ini
disampaikan Allah SWT. Dalam suarat Ar-RUM ayat 39:
Artinya:
“
dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia, bertambah,
maka tidak bertambah dalam hadapan Allah SWT. Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksutkan untuk memperoleh keridhoan Allah, maka itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalannya).” (Q.S. Ar-Rum [30]:39)
Ayat ini
merupakan ayat pertama berbicara tentang riba. Menurut para Mufasir, ayat makkiyah (ayat-ayat yang
diturunkan pada periode Mekkah). Akan tetepi, para ulama sepakat menyatakan
bahwa ayat ini teidak bicara tentang riba yanga diharamkan.
Tahap kedua,
Allah SWT. Telah membawakan isyarat tentang kagaran riba melalui kecapan
terhadap praktik riba dikalangan masyarakat Yahudi, dan akan memberiakan
balasan yang keras kepada mereka yang
mempraktikan riba. Hal ii disampaikan-Nya dalam surah An-Nisa ayat 161,
Artinya:
“Dan karena
mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan kami
sediakan untuk oarang-orang kafir diantara mereka itu siksaan yang pedih.”
(Q.S. An –Nisa’ [4]:16)
Tahap ketiga, Allah
SWT. Mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu salah satu yang melipat
gandakan dengan laranganyang tegas karena pada masa tersebut praktik
pengambilan bunga dengan tingkat cukup tinggi banyak dipraktikan dalam
masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Allah SWT dalam surah Ali’Imran ayat 130.
Artinya:
“wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntug,”
(Q.S. Ali ‘Imran
[3]:130)
Secara umum,
ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukan merupakan syarat
terjadinya riba, melainkan kepada sifat atau karakter dari praktik membungakan
uang saat itu. Ath-Thabari menjelaskan bahwa adh’afan mudha’afan dapat terjadi juga atas permintaan perpanjang
waktu saat utang jatuh tempo saat salah satu pihak yang berutang akan
memberikan kelebihan atau pemberi piutang itu sendiri meminta kelebihan atas
piutangnya. Dengan demikian, bunga dalam jumlah besar, berlipat ganda atau
kecil sekalipun tetap merukan riba.
Tahap Terakhir, Allah
SWT. Mengharamkan riba sevara total dengan
segala bentukny. Hal ini disamoaikanmelalui firman-Nya dalam surat Al-
Baqarah, 2:275,276,278. Dalam ayat 275 Allah SWT. Menyatakan bahwa jual beli
sangat berbeda dengan riba, dalam ayat 276 Allah SWT. Menyatakan memusnakan
riba:
Artinya:
“ orang-orang
yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti beerdirinya orang yang
kemasukan setan karena gila. Yang demikaian itu karena mereka berkata bahwa
jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Barang siapa mendapatkan peringatan dari Tuhannya, lalu dia
berhenti, maka apa yang telah diperoleh dahulu menjadi miliknya dan urusan
(terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi. Maka mereka itu penghuni
neraka, mereka kekal didalamnya.”(Q.S. Al-Baqarah [2]:275]
Artinya:
“Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan
bergelimang dosa.”(Q.S. Al-Baqarah:[2]:276)
Artinya:
“ Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipunggut) jika kamu orang-orang yang beriman.”(Q.S. Al-Baqarah
[2]:278)
Pada tahap terakhir ini
Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yanga masih ada.
Keharaman riba secara total ini, menurut para pakar fiqh, terjadi pada akhir
abad ke-8 atau awal buloan ke-9 hijriah.
Alasan keharaman
riba juga dijelaskan dalam sunnah Raulullah SAW. Muslim tenteng 7 dosa besar,
diant5aranya memakan riba. Dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud dikatakan, “Rasulullah SAW, melaknat para pemakan
riba, yang memberi makan dengan cara riba, para sanksi dalam masalah riba, dan
para penulisnya.” (H.R. Abu Daud, dan hadist yang sama juga diriwayatkan muslim dan Jabir ibn’Abdillah).
Demikian secara
jelas Allah SWT. Telah memberi penjelasan dalam Al-Quran ataupun sunnah tentang
pelajaran riba, pada segala bentuk transaksi bisnis. Selain adanya unsur
penambahan riba juga menimbulkan adanya kezaliman paada salah satu pihak.
Aktivitas riba juga akan membuat orang hidup malas dengan cara asumsi tanpa
bekerja keras sseorang akan memeperoleh return
yang bersifat pasti.
B.
Konsep Gharar
Al-gharar
adalah “ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi muamalah adalah
“Ada sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sepihak dan hanya boleh menimbulkan
rasa ketidakadilan, serta penganiayaan kepada pihak yang lain” menurut Ibn
Rush,maksud al-gharar adalah:”kurangnya penjelasan tentang keadaan
barang(objek),kuantilas dan harga.horor juga berkaitan dengan masa penyerahan barang,teruta ketika
uang sudah dibayar,tetapi waktu penyerahan barang tidak diketahui”.ibn taimiyah
menyatakan al-gharar adalah “apabila satu pihak menyambil hak nya dan satu lagi
tidak menerima apa yang sepatutunya dia dapet.
Al-gharar yang ditakrifkan dalam
kitab qalyubi wa umairah,menurut mazhad imam Asy-Syafi’i,adalah’’satu(aqat)yang
akibat nya tersembungi dari kita atau perkara diantara 2 kemungkinan dan yang
paling kerap berlaku iyalah yang paling ditakuti’’
Gharar
secara sederhana dapat dikatakan suatu keadaan yang salah satu pihak mempunyai
informasi memadai tentang berbagai elemen subjek dan objek akad.Gharar adalah
semua jual beli yang mengandung ketidak jelasan atau keraguan tentang adalah
komudikas yang menjadi objek akad,ketidak jelasan akibat,dan bahaya yang
menyancam antara untung dan rugi,pertaruhan,atau perjudian.
Ada 4 konsep dasar yang berkaitan erat
dengan pembahasan gharar,sebagai berikut
1. Game
yaitu pertukaran yang melibat kan 2 pihak untuk tujuan tertentu,yang dalam
terminologi fiqih lebih dikenal dengan
mu’awadhah bi qashd al-ribh (transaksi pengganti dengan keuntungan).
2. Zero
Sum Game yaitu merupakan konsep permainan yang hanya menghasilkan ouput win-
lose(menang –kalah).Kemengan yang diperoleh oleh satu pihak menimbulkan
kerugian bagi pihak lain.hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan bertambah
tanpa mengurangi hasil pihak lain. Zero sum game adalah permainan dengan hasil
pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada
kerja sama. Kontrak berjangka yang zero sum game (pasti ada yang untung karena
ada yang rugi) juga lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi
pertukaran dari kontrak tersebut
berubah-ubah (volatile) oertukarannya dan sulit ditebak pergerakannya
(khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian bahkan
bias tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi a game
of chance (perjudian), yang mendorong perilaku spekulatif. Selain itu, terlihat
juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan
antara hak dan kewajiban setiap pihak.
3. Normal
Exchange yaitu pertukaran barang dan jasa akan mendapatkan keuntungan dan
kepuasan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan
istilah utility dan profit maximis.hal ini dapat dicapai jika marginal utility
(kepuasan maksimum)yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga
barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual
berdasarkan asumsi,jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsi
nya adalah memaksimumkan kepuasaan materiel saja.ini berarti seorang konsumen
dalam mengomsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasan selalu
menggunakan kerangka krasiopnalitas (bersifat duniawi).dari pandangan lain
utilitas ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang dikonsumsi,tettapi
barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat bermanfaat
Menurut islam
pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi .tujuannya
memperoleh maslahah terbesar sehingga ia dapat mencapai kemengan dunia dan akherat
serta kesejahteraan .jadi tidak hanya kepuasan materil.dalam meningkatkan
kesejahteraan dan kemaslahatan,Imam Al-ghazali mengelompokkan dan
mengidentifikasikan semua masalah,bail maslahah (utility,manfaat)maupun mafasid
(disutility,kerusakan) dalam meningkat kan kesejahteraan .jadi utilitas
individu dalam islam sangat bergantung pada utility individu
lainnya(interpendent utility)sehingga dapat terbentuk kemaslahatan
4. Risk
Concept, para ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan resiko. Resiko menguraikan
situasi yang didalamnya kemungkinan dari peristiwa (kejadian) dapat diukur.
Oleh karena itu resiko ini dapat diperkirakan ketidaknya secara teoritis.
Resiko dibagi menjadi dua kategori yaitu:
a. passive
risk yaitu resiko yang terjadi benar-benar tidak dapat diperkirakan dan
diperhitungkan .jadi hal ini benar-benar suatu teka teki yg sama sekali tidak
diketahui jawabannya.Perkiraam atas resiko ini hanya mengandalkan keberuntungan
(game of chance),karena sesesorang hanya dapat bersifat pasif.
b. b.responsive
risk yaitu resiko yang muncul nya memiliki penjelasan kausalitas dan memiliki
distribusi probabilitas .risiko jenis ini tidak dapat diperkirakan dengan
menggukan cara-cara tertentu.
Memperkirakan
resiko responsive sering disebut game of skillnkarena perkiraan nya didasarkan
atas skill tertentu.
Dalam
islam,resiko bisa terjadi dalam sisitem profit-share(bagi hasil)kontrak
mudharabah dan musyarakah,tidak terdapat
suatu fixed and certain return sebagai mana dengan konsep bunga,tetapi
dilakukan loss and profit sharing berdasarkan produktifitas nyata dari dana
tersebut meskipun nisbah bagi hasil disepakati pada saat awal ,perolehan real
dari bagi hasil ini baru diketahui setelah dana benar -benar
mengasilkan.jadi,hal yang bersifat pasti dari system ini adalah nisbah bagi
hasil nya,bukan nilai real bagi hasil nya.ada kemungkinan terjadinya flukluasi
dalam bagi hasil yang nyata,bergantung pada produktifitas nyata dari
pemanfaatan dana.berkaitan dengan resiko,terdapat resiko responsif yang
memungkinkan adanya distribusi pro babilitas hasil keluaran dengan hubungan kausalitas yang logis.hal ini
bisa diasosiasikan dengan game of skill.hubungan antara game of chance dengan
game of skiil menunjukkan hubungan suatu transaksi investasi itu halah atau
haram(diperbolehkan atau dilarang)
C.
Konsepsi Maysir
Hal ketiga yang dilarang dalam islam
selain riba dan gharar adalah maysir. Maysir atau qimar secara harfiah bermakna
judi (spekulasi) . secara teknis, maysir adalah setiap permainan yang
didalamnya disyaratkan sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yang
kalah untuk pihak yang menang . menurut ibrahim anis dkk . dalam mujam
al-wasith hlm. 758, judi adalah setiap permainan (ia’b[uni]) yang mengandung taruhan dari kedua pihak
(murahaanah) . menurut al-jurjani dalam kitabnya , at-ta’rifat , hlm. 179, judi
adalah setiap setiap permainan yang didalamnya disyaratkan sesuatu (berupa
materi) yang diambil dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang. Menurut
ali ash-shabuni dalam kitab tafsirnya rawa’i al-bayan fi tafsiri ayat al- ahkam
I/279), judi adalah setiapa permainan yang menimbulkan keuntungan (ribh) bagi
satu pihak dan kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya. Senada dengan ini yusuf
al- qhodawi (1990:417) dalam halal dan haram mengungkapkan judi adalah setiap
permainan yang mengandung untung atau rugi bagi pelakunya.
Beberapa definisi tersebut saling
melengkapi sehingga dapat disimpulkan sebuah definisi judi yang menyeluruh.
Judi adalah segala permainan yang mengandung unsur taruhan (harta/ materi) dan
pihak yang menang mangambil harta/materi dari pihak yang kalah. Suatu perbuatan
dapat dikategorikan judi jika memnuhi tiga unsur berikut:
1. Taruhan
harta/ materi yang berasal dari kedua kedua pihak yang berjudi;
2. Permainan
yang digunakan untuk menentukan pemenang dan ynag kalah;
3. Pihak
yang menang mengambi l harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan,
sedangkan pihak yang kalah kehilanagan hartanya.
Jika tiga syarat tersebut terpenuhi,
termasuk kategori judi dan islam mengharamkannya.
Sebagaimana firman allah yang artinya:
wahai orang – orang yang beriman! Sesungguhnya
minuman keras, berjudi, lakuperbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu keberuntungan. (Q.S.AL-MAIDAH
[5]:90)
judi dapat dilakukan dengan bandar
penyelenggaraan atau tanpa bandar, diselenggarakan pihak swasta, ataupun
pemerintah misalnya departemen sosial, apakah yang lainnya terkumpul untuk
tujuan pembangunan, olahraga, sosial, atau domino dengan mengumpulkan taruhan
masing-masing Rp 1.000,-. Pihak yang menang mengambil semua uang yang
dikumpulkan sejumlah Rp 4.000,-. Contoh lainnya seorang bandar menyediakan
permainan menebak angka, bagi lima orang yang mengumpulkan taruhan
masing-masing Rp 100.000,-. Alatnya berupa sebuah piringan /lingkaran yang
ditepinya tertera angka yang ditebak, misalnya angka 1 sampai 10, yang di
lengkapi jarum penunjuk. Piringan itu dapat diputar dan berhenti pada angka
tertentu yang ditunjuk oleh jarum penunjuk. Lima orang itu misalnya menebak
1,3,5,7dan 9. Ketika angka yang ditunjuk oleh piringan adalah angka 1 misalnya,
pejudi yang menebak angka 1 akan mengambil semua uang yang di kumpulkan.
Istilah lain dari judi adalah spekulasi.
Hal ini terjadi dalam bursa saham. Setiap menitnyaselalu terjadi transaksi
spekulasi yang sangat merugikan penerbit saham. Setiap perusahaan yang memiliki
right issue selalu didatangi oleh para spekulan. Ketika harga saham suatu bahan
usaha sedang jatuh, spekulan segera membelinya dan ketika bahan naik, para
spekulan menjualnya kembali atau melepas kepasar saham. Hal ini sering membuat
indeks harga saham gabungan saham menurun dan memperburuk perekonomian
bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar