Senin, 07 Juni 2021

MAKALAH TENTANG HUTANG PIUTANG

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu penyebab munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.

Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.

Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk  memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh (hutang piutang) dengan kajian normatif yang dikutip dari berbagai sumber terkait definisi, landasan hukum, hukum qardh, dan lain sebagainya.

 

B.     Rumusan Masalah

a.       Apa pengertian dari utang piutang?

b.      Apa dasar hukum disyariatkannya qardh?

c.       Apa syarat dan rukun qardh?

d.      Bagaimana hukum qardh?

e.       Apa hikmah disyariatkannya qardh?

f.       Bagaimana dampak sosial ekonomi utang piutang?

g.      Bagaimana mempercepat pelunasan utang sebelum meninggal?

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian utang piutang (qardh)

Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qaradha yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh).

Qard dalam pengertian istilah adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikannya. Definisi lain oleh menurut Sayid Sabiq, qardh adalah harta yang diberikan kepada pemberi utang (muqridh) kepada penerima utang  (muqtaridh) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya. Hanafiah, bahwa qard adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli)  kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa qardh adalah suatu akad antara dua pihak dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan persis yang ia terima dari pihak pertama.keduanya memandang bahwa qardh diartikan sebagai harta yang diberikan oleh muqridh kepada muqtaridh yang pada suatu saat harus dikembalikan.

Pada saat transaksi, islam menganjurkan agar aqad utang piutang di tulis dengan menyebut nama keduanya, tanggal dan saksi,[3] sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah, tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis. (QS.Al-Baqarah : 282).

 

B.     Dasar hukum disyariatkannya qardh

Qardh merupakan perbuatan baik yang diperintahkan

1.      Dasar hukum qard dalam Al Qur’an

مَنْ ذَا الَّذِى يُقْرِضُ الّلهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَعِفَهُ لَهُ اَضْعَا فًا كَثِيْرَةً وَالّلهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُطُ واِلَيْهِ تُرْجَعُوْن

“ Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadanya lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah : 245).

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“ Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan ia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid : 11)

Ayat-ayat di atas pada dasarnya berisi anjuran untuk melakukan utang-piutang kepada orang lain dan imbalannya akan dilipatgandakan oleh Allah. Dari sisi muqridh Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan dengan cara memberi utang. Sedangkan dari sisi muqtaridh, utang bukan sesuatu yang dilarang melainkan dibolehkan karena seseorang berhutang dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang diutangnya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ia akan mengembalikan persis seperti yang diterimanya. Dalam kaitan dengan hal ini ada beberapa hadist yang berisi anjuran untuk membantu orang lain, antara lain :

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدِاَنَّ انَّبِيَ صَلَّى الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلاَّ كاَنَ كَصَدَ قَتِهاَ مَرَّةً   

Dari Ibnu mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda: Tidak ada seorang muslim yang member pinjaman kepada muslim yang lain dua kali kecuali seperti sedekah satu kali. (HR. Ibnu Majah)

عَنْ عَبْدِالّلهِ  بْنِ مَسْعُوْدِ اَنَّ نَبِيَّ اللّه صَلَّى الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يَقُوْلُ : مَنْ اَقْرَضَ الّلهَ مَرَّتَيْنِ كاَنَ لَهُ مِثْلُ اَجْرِ اَحَدِهِمَا لَوْ تَصَدَّقَ بِهِ

“Dari Abdullah bin Mas’ud bahwa sesungguhnya nabi Muhammad SAW bersabda : Barang siapa yang memberi utang atau pinjaman kepada Allah dua kali, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala salah satunya andaikata ia menyedekahkannya.” (HR. Ibnu hibban).

 

C.  Syarat dan Rukun qardh

 Syarat-syarat utang adalah sebagai berikut:

1.      Besarnya utang harus diketahui dengan takaran, timbangan, atau jumlahnya.

2.      Sifat utang dan usianya harus diketahui jika dalam bentuk hewan

3.      Utang tidak sah dari orang yang tidak normal akalnya

  Sementara menurut Hanafiah rukun qardh adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur fuqaha rukun qard adalah :

1.      Aqid yaitu muqridh dan muqtaridh

2.      Maqdud ‘alaih yaitu uang atau barang

3.      Shighat yaitu ijab dan qabul

 

D. Hukum Qardh

Hukum akad qiradh adalah boleh antara kedua belah pihak yang berakad, keduanya memiliki hak untuk membatlkan akad kapan saja dia mau, dan jika pembatalan datang dari pihak penghutang, maka dia harus melunaskan semua utang dan mengembalikannya[6].

Menurut Malikiyah, qardh hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ‘ariyah, berlaku dan mengikat ketika terjadinya akad (Ijab qabul), walaupun muqtaridh belum menerima barangnya. Sedangkan menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, kepemilikan dalam qardh berlaku apabila barang telah diterima dan muqtaridh mengembalikan barang yang sama kalau barangnya mal mitsli tetapi apabila barangnya mal qimi maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang dipinjamnya.

E. Hikmah Disyariatkannya Qardh

Bahwasannya kondisi manusia tidak sama antara satu dengan yang lain. Ada yang kesulitan ekonomi dan ada yang kaya. Allah menganjurkan orang yang kaya member hutang kepada yang kesulitan ekonomi sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Demikian ini karena member hutang berarti memanfaatkan kepada orang yang kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatasi kesulitannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 “Barang siapa menghilangkan satu kedukaan(kesulitan) dari kedukaan-kedukaan dunia dari seseorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan satu kedukaan(kesulitan) dari kedukaan- kedukaan akhirat darinya pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan member kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong seseorang hamba selama ia menolong saudaranya”. HR. Muslim.

Pemberian hutang termasuk kebaikan dalam agama karena sangat dibutuhkan oleh orang yang kesulitan, susah, dan mempunnyai kebutuhan yang mendesak.

 

F.   Dampak Sosial Ekonomi Utang Piutang

Utang piutang mempunyai fungsi menghilangkan kesusahan, melenyapkan permusuhan dan menimbulkan kecintaan hati. Pelaku kebaikan selalu dicintai disisi Allah dan manusia. Bila seorang yang membutuhkan datang kepihak lain meminjam barang, sedangkan barang tersebut tidak dibutuhkan oleh pihak yang bersangkutan,  terutama barang yang tidak digunakan oleh pihak yang bersangkutan, pihak yang bersangkutan yang meminjamkan barang itu, tentunya akan mendapatkan pahala besar disisi Allah. Allah sangat mengancam dengan siksaan yang pedih kepada orang yang enggan menolong dengan barang-barang yang berguna. Allah berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَالَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَالَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَوَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”

(QS. Al Maun ayat 4-7)

Banyak ahli tafsir berpendapat bahwa maksud arriyah adalah harta berguna, tentunya kita semua harus memerhatikan ancaman dalam surat di atas. Allah mengaitkan antara orang yang enggan menolong dengan harta berguna pada orang yang lalai dalam shalat dan orang yang riya’. Betapa besar siksanya orang yang riya’dan lalai dalam shalatnya.

 

G. Mempercepat pelunasan utang sebelum meninggal

Utang berbeda dengan hibah, shadaqah, dan hadiah, hibah, shadaqah, dan hadiah merupakan pemberian yang tidak perlu dikembalikan. Sedangkan utang adalah pemberian kepemilikan atas barang dengan ketentuan bahwa barang tersebut harus dikembalikan, baik dengan barangnya maupun harganya.

          Utang itu sebaiknya segera dilunasi agar tidak menjadi beban pada saat orang yang berhutang meninggal dunia. Bahkan Rasulullah tidak mau menyalatkan jenazah yang memiliki hutang, kecuali ada yang menanggungnya. Dengan demikian, apabila seseorang mempunyai utang dan ia sudah mampu untuk membayarnya, maka hendaknya utang tersebut segera dilunasi, dan jangan ditunda-tunda. Apabila ia tidak mampu, tetapi ia menunda-nunda pembayaran utangnya, maka ia termasuk orang yang zalim. Hal ini sesuai dengan hadist:

 أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ الّلهِ صَلَّى الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مُلِيْءٍ فَلْيَتَّبِعْعَنْ

“Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: Penundaan (permbayaran utang) oleh orang yang kaya (mampu) merupakan penganiayaan, dan apabila salah seorang di antara kamu (utangnya) dialihkan kepada orang kaya (mampu), maka hendaklah ia menerimanya. (HR. Abu Dawud).

Sedangakan apabila kondisi orang yang berhutang sedang berada dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka kepada orang yang memberikan utang dianjurkan untuk memberikan kelonggaran dengan menunggu sampai ia mampu untuk membayar utangnya.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

           Pengertian hutang piutang dalam fiqih Islam, hutang piutang dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi ialah  Al-Qath’u yang berarti memotong. Sedangkan secara terminologis makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan kesepakatan. Hutang piutang adalah suatu transaksi dimana seseorang meminjam harta benda kepada orang lain dengan janji akan dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan dengan jumlah yang sama.

            Adapun Rukun dari hutang piutang yaitu orang yang memberi hutang, orang yang berhutang, ucapan kesepakatan atau ijab qabul dan barang atau uang yang akan dihutangkan. Dan syarat dalam hutang piutang yaitu baligh dan berakal dan ijab qabul harus jelas. Adapun ayat Al-Qur’an yang membahasa mengenai hutang piutang yaitu surat Al-Baqarah ayat 282 dan surat Al-Baqarah ayat 245

B.     Saran

          Dengan disusunnya makalah ini, dari penulis berharap agar para pembaca khususnya mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai kemampuan nasabah khususnya  untuk perbankan dalam  pmemberikan  pembiayaan karena dalam perbankan harus bisa selektif dalam memilih nasabah yang akan diberi pembiayaan.

         Dalam makalah ini mungkin sangat banyak sekali kesalahan-kesalahan dari segi penulisan ataupun hal yang lainnya. Dengan demikian saya sebagai penulis mohon maaf dan juga saya mengharapkan kritik dan saran atas tulisan saya agar bisa membangun dan memotivasi saya agar membuat tulisan yang jauh lebih baik lagi.

Daftar Pustaka

    Karim, Adiwarman A. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq. 2004

                http://aku-cinta-doa.blogspot.co.id/2013/05/doa-dari-kesusahan-dan-hutang.html

            http://hutangpiutang23.blogspot.co.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar