BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu Fiqih tidak bisa
dilepaskan dari peran ulama madzhab. Mereka ini imam-imam pendiri madzhab empat
yang terkenal dan berkembang sampai sekarang. Hal ini karena kontribusi mereka
yang sangat besar dalam bidang ilmu Fiqih, Ushul Fiqih dan Qawâ’id Fiqhiyyah.
Peninggalan mereka merupakan hasil prestasi yang gemilang bagi agama Islam dan
kaum muslimin. Pola pikir yang digunakan oleh ulama madzhab empat ini
mengedepankan kedewasaan sikap dan toleransi dalam menghadapi berbagai
persoalan. Kajian tentang hukum Islam yang mereka lakukan selalu mendasarkan
pada al-Qur’an dan sunnah.
Secara detil penulis akan membahas
tentang Madzhab Hanafi, dengan corak pemikiran fiqih dan ushul fiqihnya yang
rasional, karena pendiri madzhab ini (Imam Hanafi) hidup di Baghdad, kota
metropolis yang saat itu menjadi pusat peradaban dunia. Pembahasan madzhab ini
dijabarkan dari perspektif historis, metode ijtihad dan karakteristik fiqihnya.
Selanjutnya akan membandingkan dengan Imam Malik yang terdidik di kota Madinah,
tempat berkumpulnya para sahabat, tabi'in, cerdik-pandai dan para ahli hukum
agama. Beliau terdidik di tengah-tengah mereka sebagai seorang anak yang cerdas,
cepat menerima pelajaran, kuat dalam berfikir, setia dan teliti.
Dari kecil beliau membaca al-Qur'an
dengan lancar dan mempelajari sunnah. Setelah dewasa beliau belajar kepada para
ulama dan fuqaha di kota Madinah, menghimpun pengetahuan yang didengar dari
mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, mengutip atsar-atsar mereka, dan
mengambil ka'idah-ka'idah mereka, sehingga beliau menjadi orang yang paling
pandai diantara mereka, dan menjadi seorang pemuka sunnah serta pemimpin ahli
hukum agama di negeri Hijaz.
Oleh karena itu, penulis merumuskan
masalah komparasi atau perbandingan metode ijtihad imam Hanafi dan imam Malik,
yang memiliki latar belakang sosial, budaya, geoografi lingkungan serta sanad
keilmuan yang berbeda.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa
Biografi Abu Hanifah Serta Latar Belakangnya ?
2.
Apa
Biografi Imam Malik ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Singkat Imam Abu Hanifah dan Latar
Belakang Pendidikannya
Menurut sejarawan, Imam Hanafi
adalah Abu Hanifah bin An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih
mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau di
lahirkan di kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin
Abd Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa di
sana. Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal Al-Quran.
Dalam hal memperdalam pengetahuannya
tentang Al-Quran beliau sempat berguru kepada imam Ashin, seorang ulama
terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang yang sangat tekun dalam
mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama
yang paling terpandang pada masa itu yakni Humad Abu Sulaiman, tak kurang dari
18 tahun lamanya.
Sepuluh tahun sepeninggal gurunya
yakni tahun 130 H,
Imam pergi meninggalkan kota
kufah menuju Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana dan di
tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas
ra. Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di kenal sebagai seorang yang sangat
dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawaddhu' dan sangat teguh memegang ajaran
agama. beliau tidak tertarik kepada jabatan- jabatan resmi kenegaraan, bahkan
beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (qadhi) yang di tawarkan oleh
Al-Manshur. Konon, karena penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan
hingga akhir hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun
150 H / 767 M pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di pekuburan khizra. Pada
tahun 450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang di beri nama Jami' Abu
Hanifah. Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui
murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah
Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, waki' bin jarah, Ibn hasan Al-Syaibani, dan
yang paling populer adalah Anas bin Malik, yang kelak mendirikan Mazhab Maliki
dll. Sedangkan di antara kitab-kitabnya adalah: Al-Musu'an (kitab hadits, di
kumpulkan oleh muridnya) Al-Makharij (di riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh
Akbar (kitab fiqh yang lengkap).
Abu Hanifah pada mulanya gemar menekuni
ilmu qira`at, hadis, nahwu, sastra, syi`ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang
berkembang pada masa itu. Selian mumpuni dalam fiqih, beliau juga sangat kental
dengan teologinya, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam
ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan
segolongan Khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.[1]
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di kufah yang pada waktu itu
merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang cendereung rasional (ahlur
ra`yi). Di Iraq sendiri terdapat sebuah “Universitas” bernama Madrasah Kufah
yang dirintis oleh sahabat Rasulullah yang bernama Ibnu Mas`ud. Kepemimpinan
Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim An-Nakha`I, lalu Hammad bin Abi
Sulaiman Al-Asy`ari (wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah salah seorang
Imam besar ketika itu. Ia muraid dari Alqomah bin Qais dan Al-Qadhi Syuriah;
keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kuffah dari kalangan
tabi`in. Dari Hammad itulah Imam Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih dan hadis.
Setelah itu ia sempat mengembara ke Hijjaz beberapa kali untuk mendalami fiqih
dan hadisnya sebagai nilai tambah kualitas keilmuannya. Sepeninggal Hammad,
Madrasah Kuffah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah sebagai “rektor” Madrasah
Kuffah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah
fiqih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi
yang dikenal sekarang ini.[2]
2.2.
Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Abu Hanifah Dalam Menetapkan Hukum
Abu Hanifah dikenal sebagai Ahli
Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari Al-Quran atau
pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang
khabar ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang
kepada beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas,
Istihsan, dan 'Urf.
-
Al-Quran,
Sumber Hukum Pertama Yang Digunakan Imam Abu Hanifah
Ada beberapa definisi yang
menjelaskan tentang Al-Quran. Namun kami akan coba mengutip salah satu definisi
tentang Al-Quran sebagaimana yang ditulis Abdul Wahab Khallaf, bahwa Al-Quran
adalah Kalam Allah yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad melalui
malaikat Jibril dengan lafazh berbahasa Arab, dengan makna yang benar sebagai
hujjah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan
urutannya dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas,
serta dijamin otentisitasnya.[3] melirik
dari definisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, setidaknya ada
beberapa maksud yang dapat dipertegas.
ü Pertama, Lafazh. Artinya bahwa Al-Quran baik makna dan lafazhnya
langsung dari Allah SWT. Maka apa yang disampaikan Allah melalui malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan
ibaratnya sendiri, bukanlah disebut Al-Quran, seperti hadis Qudsi. Karenanya
tidak ada ulama yang mengharuskan berwuhdu untuk membaca hadis Qudsi.
ü Kedua, Berbahasa Arab. Mengandung arti bahwa menerjemahkan ayat
Al-Quran dengan kata-kata yang semakna (sinonim) atau mengalihbahasakan
Al-Quran kepada bahasa-bahasa lain, maka itu juga bukan disebut Al-Quran.
Karena Al-Quran merupakan bahasa Arab khusus yang diturunkan dari sisi Allah.
Maka shalat yang menggunakan Al-Quran tidaklah sah.[4]
ü Ketiga, diturunkan kepada Nabi Muhammad. Hal ini, mengandung arti
bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut
Al- Quran. Tetap apa yang dihikayatkan oleh Al-Quran tentang kehidupan dan
syariat yang berlaku bagi ummat terdahulu disebut Al-Quruan.
ü Keempat, dinukilkan secara mutawatir. Artinya Al-Quran disampaikan
secara pasti yang disepakati kebenaran periwayatannya(qoth`iyyul wurud dan
qoth`iyyud dilaalah). Sehingga tidak ada keraguan sedikit pun terhadap
ayat-ayat Al-Quran baik dari segi makna dan turunnya.
ü Kelima, beribadah membacanya. Tentunya dengan keikhlasan di dalam
membacanya, sekali pun tidak mengetahui maknanya, tetap akan mendapatkan pahala
dari Allah SWT. Insya Allah.
Terkait hal ini, imam Abu Hanifah
sependapat dengan Jumhur ulama lainnya bahwa Al-Qur'an merupakan sumber hukum
Islam. Juga beliau sependapat bahwa Al- Qur'an adalah lafadz dan maknanya.
Sumber ini, seperti yang sudah kami uraikan, adalah sumber yang muttafaq.
Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai
terjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa
terjemah tersebut juga termasuk Al-Qur'an.
Diantara dalil yang menunjukkan
pendapat Imam Hanafi tersebut adalah dia membolehkan sholat dengan menggunakan
bahasa Persi, sekali pun tidak dalam keadaan darurat. Padahal menurut Imam
Syafi'i sekalipun orang itu bodoh tidak boleh membaca Al-Qur'an dengan
menggunakan bahasa selain Arab dalam sholat.
-
As-Sunnah,
Sumber Kedua Yang Digunakan Imam Abu Hanifah
Kalau Imam Hanafi tidak menemukan
ketentuan hukum suatu masalah dalam Al- Qur'an, dia mencarinya dalam Sunnah.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al- Hasyr ayat 7;
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4’n?tã ¾Ï&Î!qß™u‘ ô`ÏB È@÷dr& 3“tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqß™§=Ï9ur “Ï%Î!ur 4’n1öà)ø9$# 4’yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@‹Î6¡¡9$# ö’s1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
Artinya : 7. apa saja harta rampasan
(fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal
dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Amat keras hukumannya.
Para ulama sepakat bahwa hadits
shahih itu merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat dalam menilai
keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di lihat dari segi sanad,
hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan semua ulama telah
menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka berbeda pendapat dalam
menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang di riwayatkan dari Rosulullah SAW.
oleh seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Para Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan mengamalkan hadits ahad
dengan syarat berikut:
-
Perawi
sudah mencapai usia baligh dan berakal
-
Perawi
harus muslim
-
Perawi
haruslah orang yang adil, yakni bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela
-
Perawi
harus betul-betul dhabit terhadap yang di riwayatkannya, dengan mendengar dari
Rosulullah, memahami kandungannya, dan benar-benar menghafalnya.
Kemudian
Imam Hanafi menambahkan tiga syarat selain syarat di atas, yaitu:
-
Perbuatan
perawi tidak menyalahi riwayatnya itu.
-
Kandungan
hadits bukan hal yang sering terjadi.
-
Riwayatnya
tidak menyalahi qiyas apabila perawinya tidak faqih.
Diantara para perawi yang tidak faqih menurut Imam Abu Hanifah
adalah Abu Hurairah, Salman Al-farisi, dan Anas Ibnu Malik.
-
Ijma`
Para Sahabat, Sumber Hukum Ketiga Imam Abu Hanifah
Secara bahasa kata Ijma` berasal dari bahasa Arab. Yaitu bentuk
masdar dari kata
أجمع – يجمع
– إجماعا
Ijma` memiliki beberapa arti, di antaranya ketetapan hati atau
keputusan untuk melakukan sesuatu. Kedua, sepakat. Arti kedua ini sebagaimana
yang termaktub dalam firman Allah SWT pada surat Yusuf ayat 15
$£Jn=sù (#qç7ydsŒ ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs† ’Îû ÏMt6»uŠxî Éb=ègø:$# 4
!$uZøŠym÷rr&ur ÏmøŠs9Î) Oßg¨Zt¤Îm6t^çFs9 öNÏdÌøBr'Î/ #x‹»yd öNèdur Ÿw tbráãèô±o„ ÇÊÎÈ
Artinya : 15. Maka tatkala mereka
membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia),
dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf:
"Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini,
sedang mereka tiada ingat lagi."
Adapun secara istilahh, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab
Khalaf
إتفاق جوُع الوجتهدُن مه انمسلوُن فُ عصر مه العصًر بعد ًفاة الرسًل
علٍ
حكو شرعُ فُ ًاقع ون الًقائع
Kesepakatan semua imam mujtahid pada suatu masa setelah wafat Rasul
terhadap hukum syara` mengenai suatu kasus.
Dari definisi di atas, ada beberapa point yang dapat digaris
bawahi, antara lain
1.
Semua
mujtahid, artinya bahwa ijma` itu harus disepakati oleh semua mujtahid. Tidak ada
di antara mereka yang menolaknya pada masa tersebut.
2.
Sesudah
nabi wafat, artinya pada masa Nabi masih hidup tidak ada yang namanya ijma`.
Karena segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
3.
Hukum
syara`, artinya kesepakatan itu hanya terbatas pada hukum amaliah (syara`) dan
tidak masuk ke dalam ranah hukum aqidah.
Para ulama, termasuk Imam Abu
Hanifah telah sepakat bahwa ijma` merupakan salah satu sumber hukum dalam
Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak ada
ulama yang menolak tentang kesepakatan ijma`.
Posisi ijma` sebagai sumber hukum
ini diinspirasi dari surat An-Nisa ayat 59
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Pada lafazh ulil amri di atas, mengandung dua pengertian
sebagaimana yang ditafsir oleh Ibnu Abbas :
1.
Penguasa
dunia seperti raja, presiden, sultan, atau umara.
2.
Penguasa
agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.[5]
Kedua macam ulil amri di atas wajib
bagi ummat Islam untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan dengan hukum
Allah. Tidak boleh
ada ijmak yang mukhalafah dengan
apa yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Terminologi ijma` dikaitkan
dengan ulil amri di atas termasuk kepada point kedua yaitu mujtahid atau ahli
fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama. kesepakatan mereka
terhadap hukum suatu masalah itu disebut ijma` yang mengikat bagi ummat Islam
untuk diikuti.
Kedudukan ijma` sebagai sumber hukum
islam didasari oleh hadis Nabi yang mengaskan bahwa pada hakikatnya ijma`
adalah milik ummat Ilam secara keseluruhan. Imam mujtahid merupakan wakil ummat
dalam memutuskan hukum. Tentunya mereka sebagai wakil ummat tidak mungkin
berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka jika mereka sudah
berkumpul dan memutuskan hukum suatu masalah, maka keputusannya dianggap abash
dan benar. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW
Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu pun baik di
sisi Allah. (H.R Ahmad)
Menurut Abu Zahra sebagaimana
dikutip oleh Satria Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jumlah
pelaku kesepakatan ijma`itu dapat dianggap sebagai kesepakatan yang mengikat
untuk di ikuti. Menurut mazhab Maliki, kesepakatan dianggap ijma’ meskipun
hanya berupa kesepakatan penduduk madinah yang dikenal sebagai ijma’ ahli
madinah. Menurut kalangan syiah, ijma’ adalah kesepaktan para
imam di kalangan
mereka. Adapun menurut
jumhur ulama ijma’ sudah di anggap sah dengan adanya kesepakatan dari
mayoritas ulama mujtahid. Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma dianggap terjadi
bila merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.[6]
-
Qiyas,
Sumber Hukum Keempat Imam Abu Hanifah
Qiyas dalam bahasa lain dikatakan juga “analogi”. Qiyas berhasla
dari bahasa Arab yang merupakan masdar dari
قاس – ُقيس – قُاسا
Yang artinya mengukur dan membandingkan sesuatu yang semisalnya. Ada
banyak definisi yang menjelaskan tentang ijma`. Salah satunya seperti yang
diutarakan Abu Zahra, ijma` adalah
إلحاق أور غُر ونصًص عنَ حكمو بأور آخر
ونصًص عنَ حكوه
أنشتراك بُنهوا فُ عنة الحكو
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam nash
dengan perkara lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat.
Dari
definisi di atas dapat ditarik beberapa point penting tentang qiyas,
-
Ada
dua kasus yang mempunyai illat yang sama.
-
Kasus
yang lama telah ada hukumnya berdasarkan nash. Adapun hukum yang baru belum ada
nashnya.
-
Antara
hukum yang lama dan hukum yang baru masing-masing memiliki sebab yang sama.
Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas
merupakan sumber hukum. Ia berada pada urutan keempat setelah Al-Quran, Hadis,
dan Ijma`. Bagi ulama yang menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut
mutsbitul qiyaas,memiliki alasan yang kuat baik dari sisi nash maupun akal.
Dalam nash al-Quran terdapat banyak ayat yang menyuruh agar manusia dapat
menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Menurut Abu Zahra sendiri tidak kurang
dari 50 ayat berbicara agar manusia mau mengguunakan aklanya. Di antaranya
terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 59 yang artinya ambillah pelajaran wahai
orang yang memiliki pandangan (akal).
Qiyas memiliki empat rukun yang
tidak boleh dilanggar. Artinya kalau salah satu dari empat rukun ini tidak ada,
maka qiyas tidak boleh terjadi. Rukun-rukun yang empat tersebut banyak
dibicarakan dalam kitab-kitab ushul fiqih, ialah
1.
Al-Ashlu,
sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia disebut juga al-maqiis `alaih (yang
dikiaskan kepadanya), mahmul`alalih (yang dijadikan pertanggungan), dan
musyabbah bih (yang diserupakan dengannya)
2.
Al-Furu`,
yaitu : sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Ia juga dinamakan al- maqiis
(yang diqiyaskan), al-mahmuul (yang dipertanggung jawabkan), dan al- musyabbah
(yang diserupakan).
3.
Hukum
asal, yaitu hukum syara` yang ada nashnya. Dan ia dimaksudkan untuk menjadi
hukum pada al-furu`.
4.
Al-`illat,
yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan
berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (far`), maka ia disamakan
dengan pokoknya dari segi hukum.
-
Istihsan,
Sumber Hukum Kelima Yang Digunakan Abu Hanifah
Istihsan meurut bahasa adalah
menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih
istihsan ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali
(nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafy (samar), atau dari hukum kulli (umum)
kepada hukum Istitsnaiy(pengecualian) karena ada dalil yang menyebabkan dia
memilih dan memenangkan perpalingan ini.
Selanjutnya pada diri mujtahid
terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, lalu ia
berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut dengan Istihsan. Demikian
pula apabila ada hukum yang pengecualian kasuistis dari hukum yang bersifat
kulli (umum) dan menurut hukum lainya, maka ini juga menurut syara’ disebut
dengan Istihsan.
Sekelompok mujtahid mengingkari
terhadap istihsan sebagai hujjah dan mereka mengangapnya sebagai beristimbath
terhadap hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh utama
kelompok ini adalah Imam As- syafii’. Menurut sebuah riwayat, bahwa ia berkata
Artinya: “ Barang siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syaria’t
Maksudnya orang tersebut telah memulai hukum syara’ dari dirinya
sendiri.
Dalam kitab Risalah Ushuliyah, As- Syafii’ menetapkan:
Artinya :
Perumpamaan orang beriatihsan terhadapa hukum adalah seperti orang
yang menghadap suatu arah di dalam shalatnya dimana ia beranggapan baik bahwa
arah tersebut adalah ka’bah, namun tidak ada dalil baginya dari berbagai yang
telah dikemukakan oleh Syari’ untuk menentukan arah kiblat”.
Dan di dalam kitab tersebut ia juga berkata:
Artinya: Istihsan adalah mencari enak. Kalau sekiranya berdasarkan
istihsan dalam agama itu boleh juga bagi kaum rasional yang tidak ahki agama,
dan niscaya boleh pula mensyari’atkan agama pada setiap bab, serta boleh pula
setip orang mengeluarkan hukum syara’ untuk dirinya sendiri”.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, ia
mengatakan bahwasanya kedua kelompok yang bertentangan pendapat mengenai
isthsan tidak sepakat mengenai pembatasan pengertianya. Orang-orang yang
mempergunakan istihsan sebagai hujjah memaksudkan makna istihsan tidak seperti
yang dikehendaki oleh orang-orang yang tidak menjadikanya sebagai hujjah, kalau
sekiranya mereka sepakat terhadap batasan pengertianya, niscaya mereka tidak
akan berbeda pendapat mengenai menjadikan istihsan sebagai hujjah, karena
sesungguhnya istihsan setelah di tahqiqkan adalah perpindahan dari dalil yang
zhahir atau dari hukum yang kulli(umum) karena ada dalil yang menuntut dalil
ini. Jadi ia bukan semata-mata pembentukan syari’at berdasarkan hawa nafsu.
Setiap hakim terkadang muncul pada
akalnya suatu kemaslahatan yang hakiki dalam berbagai kasus, yang menuntut
pemalingan hukum pada kasus tersebut dari apa yang dituntut oleh zhahir
undang-undang. Hal ini tidak lain adalah bentuk dari pada istihsan.
Yang mempergunakan dalil istihsan,
ia tidaklah kembali kepada semata-mata perasaanya dan kemauanya saja, akan
tetapi ia kembali kepada apa yang telah ia ketahui dari pada tujuanya syari’
secara keseluruhan pada berbagai contoh hal yang di ajukan, sebagaimana
beberapa hal yang menurut qiyas, hanya saja hal itu akan membawa kepada
hilangnya kemaslahatannya dari satu segi atau dari segi lainya ia bisa
mendatangkan kerusakan.
-
`Uruf
(adat), Sumber Hukum Keenam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menggunakan `Urf usebagai salah satu metode hukum
yang dijadikan sumber dalam ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah
dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa
perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat
istiadat. Sedangkan menurut istilah para ahli syara`, tidak ada perbedaan
antara `urf dan kebiasaan. Maka `urf yang bersifat perbuatan adalah seperti
saling pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara saling memberikan
tanpa ada shifhat lafzhiyyah (ungkapan transaksi melalui perkataan).
`Urf tersebut terbentuk dari saling
pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi sosial mereka,
yaitu kalangan awam dari masyarakat, dan kelompk elite mereka. Ini berbeda
dengan ijma`, karena sesungguhnya ijma` terbentuk dari kesepakatan para mujtahid
secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur tangan dalam membentuknya.
Uruf
terbagi kepada dua macam, yaitu
`Urf yang shahih ialah sesuatu yang
dikenal oleh manusia, dan tidak bertentangna dengan dadlil syara`, tidak
menghalalkan sesuatu yang diharamkan, tidak mengharamkan sesuatu yang
dihalalkan, dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib, sebagaimana
kebiasaan mereka mengadakan akad jasa pembuatan (produksi), kebiasaaan mereka
membagi maskawin kepada maskawin yang didahulukan (seserahan) jugaa maskawin
yang diakhirkan penyerahannya. Tradisi seperti ini dinamakan `Urf, dan ia
dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dalil yang melarangnya, juga tidak ada
dalil yang menganjurkan.
Adapun `Urf yang fasid adalah
sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu
bertentangan dengan syara`. Tradisi `urf fasid yang masyhur di zaman sekarang
seperti pacaran sebelum nikah.
Terkait `Urf yang shahih ini, Abdul
Wahab Khalaf menjelaskan bahwa hanya wajib dipelihara dalam pembentukan hukum
dan dalam pengadilan. Seorang mujtahid haruslah jeli dalam memperhatikan
tradisi dalam pembentukan hukumnya. Di dalam pengadilan, seorang hakim pun
demikian. Karena sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan
sesuatu yang telah biasa mereka jalani, maka hal itu telah menjadi bagian dari
kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu,
maka sepanjang ia tidak bertentangan dengan syara`, maka `Urf wajib
diperhatikan.
Adat merupakan syariat yang dikukkuhkan sebagai hukum. Sebagai
bukti legalitas `urf, Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat mengani
sejumlah hukum berdasarkan perbedaan `urf mereka.[7]
Ketika tiba di Mesir, Imam as-Syafi`i merubah beberapa pendapatnya ketika masih
berada di Baghdad. Perubahan ini terjadi karena `urf. Inilah yang kita kenal
dengan istilah qoul qodiim dan qoul jadiid.
2.3 Biografi Singkat Imam Malik
Bernama lengkap Anas bin Malik, imam
yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Beliau
dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz. Wafatnya bertepatan
pada hari Ahad, 10 Rabi`ul Awwal 179 H/798 M di Madinah pada masa pemerintahan
Abbsiyah di bawah kekuasaan Harun Ar-Rasyid. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah
Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu `Amir ibn Al-Haarits. Beliau adalah keturunan
bangsa Arab dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar, jajahan negeri
Yaman. Ibunya bernama Siti Al-`Aliyyah binti Syuraik ibn Abd. Ada riwayat yang
mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan rahim ibunya selama dua
tahun, ada pula yang mengatakan sampai tiga tahun.
Imam Malik adalah seorang yang
berbudi mulia, dengan pikiran yang cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan
kebenaran yang diyakininya. Beliau seorang yang mempunyai sopan santun dan
lemah lembut, suka membesuk orang yang sakit, mengasihani orang miskin dan suka
memberi bantuan kepada orang yang membutuhkannya. Beliau juga seorang yang
sangat pendiam, kalau berbicara dipilihnya mana yang perlu dan beguna, serta
menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak bermanfaat. Di samping
itu, beliau juga seorang yang suka bergaul dengan handai taulan, orang-orang yang
mengerti agama terutama pada gurunya, bahkan bergaul dengan para pejabat
pemerintah atau wakil-wakil pemerintahan serta kepala negara. Beliau tidak pernah
melanggar batasan agama.[8]
Imam Malik terdidik di kota Madinah
pada masa pemeintahan Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik dari Bani Umaiyah VII.
Pada waktu itu di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara
lain: golongan sahabat Anshar dan Muhajirin serta para cerdik pandai ahli hukum
Islam. Dalam suasana seperti itulah Imam Malik tumbuh dan mendapat pendidikan
dari beberapa guru yang terkenal. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah
Al-Quran, yakin bagaimana cara membaca, memahami makna dan tafsirnya.
Dihafalnya Al-Quran itu di uar kepala. Kemudian ia mempelajari hadis Nabi Muhammad
SAW dengan tekun dan giat, sehingga mendapat julukan sebagai ahli hadis.
Sebagai seorang ahli hadis, beliau
sangat menghormati dan menjunjung tinggi hadis Nabi SAW, sehingga bila hendak
memberi pelajaran hadis, beliau selalu berwudhu terlebih dahulu, kemudian duduk
di atas alas dan sembahyangtawadhu`. Beliau sangat tidak suka memberikan
pelajaran hadis sambil berdiri di tengah jalan atau dengan cara tergesa-gesa.
Inilah beberapa sifat contoh cara beliau memuliakan ilmu, terutama ilmu hadis.
Adapun guru yang pertama dan bergaul
lama serta erat adalah Imam Abdurrahman ibn Hurmuz, salah seorang ulama besar
di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqih kepada salah seorang ulama besar kota
Madinah yang bernama Rabi`ah Ar-Ra`yi (wafat 136 H). Selanjutnya Imam Malik
belajar ilmu hadis kepada Imam Nafi`, maula Ibnu Umar (wafat 117 H), juga
belajar kepada Imam ibn Syihab Az-Zuhry.
Menurut riwayat yang dinukil
Munawwar Cholil, bahwa di antara para guru Imam Malik yang utama itu tidak
kurang dari 700 orang. Di antara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 orang
yang tergolong masuk ke dalam thobaqot tabi`in.
Pola
Pemkikiran Imam Malik dalam Berijtihad
-
Al-Quran,
Tentang Al-Quran sebagai sumber hukum, kami telah berusaha
memaparkannya pada metode ijtihad yang digunakan Imam Hanafi.
-
As-Sunnah,
Al-Ijma`, dan Al-Qiyaas
Sebagaimana yang telah kami ulas sebelumnya bahwa keempat sumber
hukum utama yang tersebut di atas adalah sumber hukum yang muttafaq, maka dalam
hal Imam Malik pun beristidlal dengan empat sumber hukum tersebut, sebagaimana
yang juga dilakukan oleh Imam Abu Hanifah sebelumnya. Ke empat sumber pokok ini
telah kami paparkan, sehingga kami merasa tidak perlu untuk menjelaskan lagi.
Hanya ada beberapa perbedaan terkait interpretasi dari masing-masing pemahaman
mereka terhadap Al-Quran dan As- sunnah. Adapun metode-metode lain yang
digunakan Imam Malik selain dari empat sumber ini adalah
1.
Atsar
Ahli Madinah
2.
Mashlahah
Al-Mursalah (istishlaah)
3.
Qoul
Shohabi (perkataan para sahabat)
4.
Khabar
Ahad
5.
Al-Istihsaan
6.
Sadd
Ad-Dzara`i
7.
Istishaab
8.
Syar`u
Man Qoblanaa
-
Itsar
Ahli Madinah
Ijma` ahli Madinah ini ada dua
macam, yaitu ijma` ahlul Madinah yang asalnya dari An-Naql, hasil dari
mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahlul Madiinah, seperti
tentang ukuran kadar mudd, sho`, dan penentuan suatu tempat, seperti tempat
mimbar Nabi Muhammad, atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti
adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma` semacam ini dijadikan hujjah
oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyyah, yang dimaksud
dengan ijma` ahlul madiinah tersebut adalah ijma` ahlul madiinah pada masa
lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan amalan-amalan ahli Madinah di kemudian hari, sama sekali tidak
dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Di kalangan mazhab Maliki sendiri,
ijma` ahlil Madiinah lebih diutamakan dari pada khabar Ahad, sebab ijma` ahlil
Madiinahmerupakan pemberitaan oleh jama`ah, sedang khabar ahad hanya merupakan
pemberitaan perorangan.
Ijma`
Ahlil Madiinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu
a.
Kesepakatan
ahli Madinah yang sumbernya dari naql.
b.
Amalan
ahli Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Sebelum terjadinya peristiwa
pembunuhan Saidina Utsman tersebut, amalan ahli Madinah menjadi hujjah bagi
Imam Maliki.
c.
Amalan
ahli Madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling
bertentangan. Artinya apabila ada dua dalil yang satu sama lain bertentangan,
sedang untuk mentarjih salah satu dari dua dalil tersebut ada yang merupakan
amalan ahli Madinah, maka tarjih itulah yang dimenangkan menurut Imam Maliki.
Hal ini pula yang dilakukan Imam As-Syafi`i, muridnya.
d.
Amalan
ahli Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Ijma`
ahlil Madiinahseperti ini bukan hujjah, baik menurut as-Syafi`i, Ahmad bin
Hambal, Abu Hanifah, maupun menurut para ulama di kalangan mazhab Malik
-
Mashalahah
Al-Mursalah (Istishlaah)
Maslahah mursalah terdiri
dari dua kata
yaitu Maslahah artinya baik
(lawan dan buruk), manfaat atau terlepas dari kerusakan. Adapun kata mursalah
secara bahasa artinya terlepas dan bebas. Maksudnya ialah terlepas dan bebas
dari keterangan yang menujukan boleh atau tidaknya sesuatu yang dilakukan. Abdul Wahab Khalaf mendefiniskan maslahah
mursalahadalah “Sesuatu yang di anggap maslahah umum namun tidak ada ketegasan
hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang
mendukung maupun yang menolaknya”.
Dari
dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa:
a.
Mashlahah
mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dalam al- Qur’an maupun
hadist.
b.
Mashlahah
mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal. Dengan pertimbangan dapat
mewujudkan kebaikan dan meghindari keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal
sehat pada hakikatnya tidak bertentangan dengan tujuan syara’ secara umum.
Kehujaan Maslahah Mursalah
Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah
mursalahah adalah bukan dalil yang berdiri sendiri. Maslahah mursalah tidak
terlepas dari petunjuk syara’. Ulama tidak akan menggunakan maslahah mursalah
dalam menghukumi sesuatu itu mendatangkan manfaat menurut tinjauan
akal dan sejalan
dengan tujuan syara’ (mendatangkan keselamatan ), tetapi hal itu
bertentangan dengan prinsip nash, maka ketika itu nash harus didahulukan. Dan
ketika itu ada maslahah mursalah tidak dapat digunakan.
Imam Malik dan pengikutnya adalah
kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah mursalah sebagai salah satu
metode ijtihadnya. Tetapi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I tidak memakainya
sebagai metode ijtihad.
Kelompok yang menggunakan maslahah
mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu menerimanya kecuali maslahah itu
memenuhi syarat yang cukup ketat. Syarat
yang besifat umum adalah ketika sesuatu itu tidak ditemukan hukumnya dalam nash
yang sharih. Selain itu, ada syarat-syarat yang bersifat Khusus yang harus di
penuhi yaitu:
-
Maslahah
mursalah itu bersifat hakiky dan bukan maslahah yang bersifat perorangan dan
bersifat zhan, dapat diterima oleh akal sehat bahwa hal itu benar- benar
mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan dari madharat secara utuh
dan menyeluruh sejalan dengan tujuan syara’ tidak berbenturan dengan prinsip
dalil syara’ yang telah ada baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Contohnya,
menjatuhkan talak itu bagi hakim saja dalam segala keadaan.
-
Sesuatu
yang dianggap maslahah itu hedaknya bersifat kepentingan umum bukan kepentingan
pribadi.
-
Sesuatu
yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadist dan
ijma.
-
Qoul
Shohabi
Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat besar, yang
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql. Ini
berarti, yang dimaksudkan dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadis-hadis
yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak
akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW.
Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut tidak boleh
bertentangan dengan hadis marfu` yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang
demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas. Juga adakalanya Imam Malik
menggunakan fatwa tabi`in besar sebagaimana peganngan dalam menentukan hukum.
Fatwa sahabat yang bukan hasil dari ijtihad sahabat, tidak
diperselisihkan oleh para ulama untuk dijadikan hujjah, begitu pula ijma`
sahabat yang masih diperselisihkan di antara para ulama adalah fatwa sahabat
yang semata-mata hasil ijtihad mereka. Di kalangan mutaakkhirin mazhab Maliki,
fatwa sahabat yang semata- mata hasil ijtihad mereka dijadikan sebagai hujjah.
-
Khabar
Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang
dari Rasulullah, jika kahabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah
dikenal oleh masyarakat madinah, sekali pun hanya dari hasil istimbat, kecuali
khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang sifatnya qoth`i. dalam
menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik
terkadang inkonsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari padakhabar ahad.
Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat
Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk bahwa khabar ahad tersebut
tidak benar berasal dari Rasulullah SAW.
-
Istihsaan
Dengan digunakannya istihsan dalam mazhab Maliki, maka di antara
imam empat mazhab yang memegang istihsan sebagai sumber hukum adalah Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik. Adapun As-Syafi`i dan Ahmad tidak menggunakan istihsan
sebagai sumber hukum. Bahkan as-Syafi`i mendebat keras siapapun yang
menggunakan istihsan sebagai sumber hukum.
-
Sadd
Ad-Dzara`i
Imam Malik menggunakan Sadd Ad-Dzara`i sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau
terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau seba yang menuju
kepada halal, maka hukumnya halal.
-
Istishaab
Imam Malik menjadikan istishaab sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau
yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa
lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas
hilangnya sesuatu yang telah diyakini sebelumnya, maka keraguan tersebut tidak
dapat merubah status hukum yang lampau. Artinya ia masih tetap berhukum seperti
hukum yang lama. Contohnya seseorang yang sudah dalam posisi berwudhu, ia dalam
keadaan suci. Bahkan diyakini baru saja usai mendirikan shalat. Kemudian ia
ragu apakah terjadi hal-hal yang membatalkan atau tidak. Dalam kasus ini,
berlakukan hukum istishaab yang berarti mengembalikan kepada asal hukum; yaitu
adanya wudhu. Jika asalnya memang tidak berwudhu, kemudian ia ragu apakah detik
ini ia memiliki wudhu atau tidak, maka hukumnya pun kembali pada yang asal,
yaitu tidak ada wudhu. Inilah yang disebut dengan istishaab.
-
Syar`u
Man Qoblanaa
Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa Imam Malik menggunakan kaidah
syar`u man qoblanaa syar`un lanaasebagai dasar hukum. Tetap menurut Sayyid
Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang
mengatakan demikian.
Menurut
Abdul Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Quran dan As-Sunnah mengisahkan tentang
suatu hukum buat ummat sebelum ummat nabi Muhammad, maka hukum-hukum tersebut
berlaku pula buat kita. contoh yang paling sering kita dengar adalah ayat
tentang puasa di surat Al-Baqoroh ayat 183 yang menjelaskan bahwa puasa
ternyata telah diwajibkan pula kepada para ummat terdahulu, sebelum datangnya
syariat nabi Muhammad SAW. Kemudian bila di dalam Al-Quran ada penjelasan bahwa
hukum tersebut telah dinasakh, maka hukum syar`u man qoblanaa tersebut tidaklah
berlaku lagi. Demikianlah pemaparan singkat dari metode-metode ijtihad yang
digunakan oleh Imam Malik.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah kami uraikan sebelumnya, Imam Hanafi
berijtihad dengan menggunakan sumber yaitu
1.
Al-Quran
2.
As-Sunnah
3.
Al-Ijma`
4.
Al-Qiyas
5.
Al-Istihsaan
6.
Al-`Urf
Adapun sumber hukum yang digunakan Imam Malik terlihat lebih banyak
dari apa yang digunakan Imam Hanafi, yaitu
1.
Al-Quran
2.
As-Sunnah
3.
Al-Ijma`
4.
Al-Qiyas
5.
Al-Istishlaah
6.
Al-Istihsan
7.
Al-`Urf
8.
Khabar
Ahad dan Qiyas
9.
Qoul
Shohabi
10.
Amal
Ahli Madinah
11.
Sadd
Ad-Dzari`ah
12.
Istishaab
13.
Syar`u
Man Qoblanaa
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr.
Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang
Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke. 3
Abdul Wahab Khallaf,
Ilmu Ushuul Fiqh,
(Mesir: Maktabah Ad-Da`wah
Al-Islamiyyah, tanpa tahun)
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011)
Wahbah Zuhaili. 1986. Ushul Fiqh Al-Islaami. Damaskus. Daarul
Fikri. 1986.
Waliyyullah Ad-Dahlawi. 1984. Al-Inshoof Fii Bayaanil Asbaabil
Ikhtilaaf.
Beirut. DaarunNafaa-is
[1] Prof. Dr.
Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang
Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke. 3 hal. 96
[2] Ibid
[3] Abdul Wahab Khallaf,
Ilmu Ushuul Fiqh,
(Mesir: Maktabah Ad-Da`wah
Al-Islamiyyah, tanpa tahun)
hlm. 22
[4] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011), hlm. 27
[5] Drs.
Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta,
Prenada Media Group, 2011), hlm. 63
[6] Drs.
Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta,
Prenada Media Group, 2011),hlm, 64
[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir:
Maktabah Ad-Da`wah Al-Islamiyyah, tanpa tahun) hlm. 124
[8] Ibid. Hal 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar