Minggu, 17 Oktober 2021

MAKALAH METODE IJTIHAD IMAM MADZAB 1. Karakteristik Ijtihad Madzhab Hanafi 2. Karakteristik Ijtihad Madzhab Maliki

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1   Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu Fiqih tidak bisa dilepaskan dari peran ulama madzhab. Mereka ini imam-imam pendiri madzhab empat yang terkenal dan berkembang sampai sekarang. Hal ini karena kontribusi mereka yang sangat besar dalam bidang ilmu Fiqih, Ushul Fiqih dan Qawâ’id Fiqhiyyah. Peninggalan mereka merupakan hasil prestasi yang gemilang bagi agama Islam dan kaum muslimin. Pola pikir yang digunakan oleh ulama madzhab empat ini mengedepankan kedewasaan sikap dan toleransi dalam menghadapi berbagai persoalan. Kajian tentang hukum Islam yang mereka lakukan selalu mendasarkan pada al-Qur’an dan sunnah.

Secara detil penulis akan membahas tentang Madzhab Hanafi, dengan corak pemikiran fiqih dan ushul fiqihnya yang rasional, karena pendiri madzhab ini (Imam Hanafi) hidup di Baghdad, kota metropolis yang saat itu menjadi pusat peradaban dunia. Pembahasan madzhab ini dijabarkan dari perspektif historis, metode ijtihad dan karakteristik fiqihnya. Selanjutnya akan membandingkan dengan Imam Malik yang terdidik di kota Madinah, tempat berkumpulnya para sahabat, tabi'in, cerdik-pandai dan para ahli hukum agama. Beliau terdidik di tengah-tengah mereka sebagai seorang anak yang cerdas, cepat menerima pelajaran, kuat dalam berfikir, setia dan teliti.

Dari kecil beliau membaca al-Qur'an dengan lancar dan mempelajari sunnah. Setelah dewasa beliau belajar kepada para ulama dan fuqaha di kota Madinah, menghimpun pengetahuan yang didengar dari mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, mengutip atsar-atsar mereka, dan mengambil ka'idah-ka'idah mereka, sehingga beliau menjadi orang yang paling pandai diantara mereka, dan menjadi seorang pemuka sunnah serta pemimpin ahli hukum agama di negeri Hijaz.

Oleh karena itu, penulis merumuskan masalah komparasi atau perbandingan metode ijtihad imam Hanafi dan imam Malik, yang memiliki latar belakang sosial, budaya, geoografi lingkungan serta sanad keilmuan yang berbeda.

1.2  Rumusan Masalah

1.    Apa Biografi Abu Hanifah Serta Latar Belakangnya ?

2.      Apa Biografi Imam Malik ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Biografi Singkat Imam Abu Hanifah dan Latar Belakang Pendidikannya

Menurut sejarawan, Imam Hanafi adalah Abu Hanifah bin An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau di lahirkan di kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abd Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal Al-Quran.

Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran beliau sempat berguru kepada imam Ashin, seorang ulama terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu yakni Humad Abu Sulaiman, tak kurang dari 18 tahun lamanya.

Sepuluh tahun sepeninggal gurunya yakni tahun   130   H,   Imam   pergi meninggalkan kota kufah menuju Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra. Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di kenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawaddhu' dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau tidak tertarik kepada jabatan- jabatan resmi kenegaraan, bahkan beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (qadhi) yang di tawarkan oleh Al-Manshur. Konon, karena penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan hingga akhir hayatnya.

Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H / 767 M pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di pekuburan khizra. Pada tahun 450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang di beri nama Jami' Abu Hanifah. Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, waki' bin jarah, Ibn hasan Al-Syaibani, dan yang paling populer adalah Anas bin Malik, yang kelak mendirikan Mazhab Maliki dll. Sedangkan di antara kitab-kitabnya adalah: Al-Musu'an (kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya) Al-Makharij (di riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).

Abu Hanifah pada mulanya gemar menekuni ilmu qira`at, hadis, nahwu, sastra, syi`ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Selian mumpuni dalam fiqih, beliau juga sangat kental dengan teologinya, sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan segolongan Khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.[1] Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang cendereung rasional (ahlur ra`yi). Di Iraq sendiri terdapat sebuah “Universitas” bernama Madrasah Kufah yang dirintis oleh sahabat Rasulullah yang bernama Ibnu Mas`ud. Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim An-Nakha`I, lalu Hammad bin Abi Sulaiman Al-Asy`ari (wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah salah seorang Imam besar ketika itu. Ia muraid dari Alqomah bin Qais dan Al-Qadhi Syuriah; keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kuffah dari kalangan tabi`in. Dari Hammad itulah Imam Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih dan hadis. Setelah itu ia sempat mengembara ke Hijjaz beberapa kali untuk mendalami fiqih dan hadisnya sebagai nilai tambah kualitas keilmuannya. Sepeninggal Hammad, Madrasah Kuffah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah sebagai “rektor” Madrasah Kuffah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.[2]

 

2.2.  Pola Pemikiran, Metode Istidlal dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Abu Hanifah Dalam Menetapkan Hukum

Abu Hanifah dikenal sebagai Ahli Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari Al-Quran atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf.

-        Al-Quran, Sumber Hukum Pertama Yang Digunakan Imam Abu Hanifah

Ada beberapa definisi yang menjelaskan tentang Al-Quran. Namun kami akan coba mengutip salah satu definisi tentang Al-Quran sebagaimana yang ditulis Abdul Wahab Khallaf, bahwa Al-Quran adalah Kalam Allah yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dengan lafazh berbahasa Arab, dengan makna yang benar sebagai hujjah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas, serta dijamin otentisitasnya.[3] melirik dari definisi yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, setidaknya ada beberapa maksud yang dapat dipertegas.

ü   Pertama, Lafazh. Artinya bahwa Al-Quran baik makna dan lafazhnya langsung dari Allah SWT. Maka apa yang disampaikan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri, bukanlah disebut Al-Quran, seperti hadis Qudsi. Karenanya tidak ada ulama yang mengharuskan berwuhdu untuk membaca hadis Qudsi.

ü   Kedua, Berbahasa Arab. Mengandung arti bahwa menerjemahkan ayat Al-Quran dengan kata-kata yang semakna (sinonim) atau mengalihbahasakan Al-Quran kepada bahasa-bahasa lain, maka itu juga bukan disebut Al-Quran. Karena Al-Quran merupakan bahasa Arab khusus yang diturunkan dari sisi Allah. Maka shalat yang menggunakan Al-Quran tidaklah sah.[4]

ü   Ketiga, diturunkan kepada Nabi Muhammad. Hal ini, mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Al- Quran. Tetap apa yang dihikayatkan oleh Al-Quran tentang kehidupan dan syariat yang berlaku bagi ummat terdahulu disebut Al-Quruan.

ü   Keempat, dinukilkan secara mutawatir. Artinya Al-Quran disampaikan secara pasti yang disepakati kebenaran periwayatannya(qoth`iyyul wurud dan qoth`iyyud dilaalah). Sehingga tidak ada keraguan sedikit pun terhadap ayat-ayat Al-Quran baik dari segi makna dan turunnya.

ü   Kelima, beribadah membacanya. Tentunya dengan keikhlasan di dalam membacanya, sekali pun tidak mengetahui maknanya, tetap akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Insya Allah.

Terkait hal ini, imam Abu Hanifah sependapat dengan Jumhur ulama lainnya bahwa Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam. Juga beliau sependapat bahwa Al- Qur'an adalah lafadz dan maknanya. Sumber ini, seperti yang sudah kami uraikan, adalah sumber yang muttafaq. Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai terjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa terjemah tersebut juga termasuk Al-Qur'an.

Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Hanafi tersebut adalah dia membolehkan sholat dengan menggunakan bahasa Persi, sekali pun tidak dalam keadaan darurat. Padahal menurut Imam Syafi'i sekalipun orang itu bodoh tidak boleh membaca Al-Qur'an dengan menggunakan bahasa selain Arab dalam sholat.

 

 

-        As-Sunnah, Sumber Kedua Yang Digunakan Imam Abu Hanifah

Kalau Imam Hanafi tidak menemukan ketentuan hukum suatu masalah dalam Al- Qur'an, dia mencarinya dalam Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al- Hasyr ayat 7;

!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqß§=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqß§9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ    

Artinya : 7. apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

Para ulama sepakat bahwa hadits shahih itu merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat dalam menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang di riwayatkan dari Rosulullah SAW. oleh seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.

Para Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan mengamalkan hadits ahad dengan syarat berikut:

-        Perawi sudah mencapai usia baligh dan berakal

-        Perawi harus muslim

-        Perawi haruslah orang yang adil, yakni bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela

-        Perawi harus betul-betul dhabit terhadap yang di riwayatkannya, dengan mendengar dari Rosulullah, memahami kandungannya, dan benar-benar menghafalnya.

Kemudian Imam Hanafi menambahkan tiga syarat selain syarat di atas, yaitu:

-        Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya itu.

-        Kandungan hadits bukan hal yang sering terjadi.

-        Riwayatnya tidak menyalahi qiyas apabila perawinya tidak faqih.

Diantara para perawi yang tidak faqih menurut Imam Abu Hanifah adalah Abu Hurairah, Salman Al-farisi, dan Anas Ibnu Malik.

-          Ijma` Para Sahabat, Sumber Hukum Ketiga Imam Abu Hanifah

Secara bahasa kata Ijma` berasal dari bahasa Arab. Yaitu bentuk masdar dari kata

أجمعيجمعإجماعا

Ijma` memiliki beberapa arti, di antaranya ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan sesuatu. Kedua, sepakat. Arti kedua ini sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah SWT pada surat Yusuf ayat 15

 $£Jn=sù (#qç7ydsŒ ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs Îû ÏMt6»uŠxî Éb=ègø:$# 4 !$uZøŠym÷rr&ur ÏmøŠs9Î) Oßg¨Zt¤Îm6t^çFs9 öNÏd̍øBr'Î/ #x»yd öNèdur Ÿw tbráãèô±o ÇÊÎÈ  

Artinya : 15. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."

 

Adapun secara istilahh, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf

إتفاق جوُع الوجتهدُن مه انمسلوُن فُ عصر مه العصًر بعد ًفاة الرسًل علٍ

حكو شرعُ فُ ًاقع ون الًقائع

 

Kesepakatan semua imam mujtahid pada suatu masa setelah wafat Rasul terhadap hukum syara` mengenai suatu kasus.

Dari definisi di atas, ada beberapa point yang dapat digaris bawahi, antara lain

1.      Semua mujtahid, artinya bahwa ijma` itu harus disepakati oleh semua mujtahid. Tidak ada di antara mereka yang menolaknya pada masa tersebut.

2.      Sesudah nabi wafat, artinya pada masa Nabi masih hidup tidak ada yang namanya ijma`. Karena segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung oleh Nabi Muhammad SAW.

3.      Hukum syara`, artinya kesepakatan itu hanya terbatas pada hukum amaliah (syara`) dan tidak masuk ke dalam ranah hukum aqidah.

Para ulama, termasuk Imam Abu Hanifah telah sepakat bahwa ijma` merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak ada ulama yang menolak tentang kesepakatan ijma`.

Posisi ijma` sebagai sumber hukum ini diinspirasi dari surat An-Nisa ayat 59

 $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  

 

Pada lafazh ulil amri di atas, mengandung dua pengertian sebagaimana yang ditafsir oleh Ibnu Abbas :

1.         Penguasa dunia seperti raja, presiden, sultan, atau umara.

2.         Penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.[5]

Kedua macam ulil amri di atas wajib bagi ummat Islam untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan dengan   hukum   Allah.   Tidak   boleh   ada   ijmak yang mukhalafah dengan apa yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Terminologi ijma` dikaitkan dengan ulil amri di atas termasuk kepada point kedua yaitu mujtahid atau ahli fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama. kesepakatan mereka terhadap hukum suatu masalah itu disebut ijma` yang mengikat bagi ummat Islam untuk diikuti.

Kedudukan ijma` sebagai sumber hukum islam didasari oleh hadis Nabi yang mengaskan bahwa pada hakikatnya ijma` adalah milik ummat Ilam secara keseluruhan. Imam mujtahid merupakan wakil ummat dalam memutuskan hukum. Tentunya mereka sebagai wakil ummat tidak mungkin berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka jika mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu masalah, maka keputusannya dianggap abash dan benar. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW

 

Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu pun baik di sisi Allah. (H.R Ahmad)

Menurut Abu Zahra sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jumlah pelaku kesepakatan ijma`itu dapat dianggap sebagai kesepakatan yang mengikat untuk di ikuti. Menurut mazhab Maliki, kesepakatan dianggap ijma’ meskipun hanya berupa kesepakatan penduduk madinah yang dikenal sebagai ijma’ ahli madinah. Menurut kalangan syiah, ijma’ adalah kesepaktan   para   imam   di   kalangan   mereka.   Adapun    menurut    jumhur ulama ijma’ sudah di anggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma dianggap terjadi bila merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.[6]

-          Qiyas, Sumber Hukum Keempat Imam Abu Hanifah

Qiyas dalam bahasa lain dikatakan juga “analogi”. Qiyas berhasla dari bahasa Arab yang merupakan masdar dari

قاس ُقيس قُاسا

Yang artinya mengukur dan membandingkan sesuatu yang semisalnya. Ada banyak definisi yang menjelaskan tentang ijma`. Salah satunya seperti yang diutarakan Abu Zahra, ijma` adalah

            إلحاق أور غُر ونصًص عنَ حكمو بأور آخر ونصًص عنَ حكوه

أنشتراك بُنهوا فُ عنة الحكو

Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam nash dengan perkara lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat.

Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa point penting tentang qiyas,

-             Ada dua kasus yang mempunyai illat yang sama.

-             Kasus yang lama telah ada hukumnya berdasarkan nash. Adapun hukum yang baru belum ada nashnya.

-             Antara hukum yang lama dan hukum yang baru masing-masing memiliki sebab yang sama.

Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan sumber hukum. Ia berada pada urutan keempat setelah Al-Quran, Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama yang menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut mutsbitul qiyaas,memiliki alasan yang kuat baik dari sisi nash maupun akal. Dalam nash al-Quran terdapat banyak ayat yang menyuruh agar manusia dapat menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Menurut Abu Zahra sendiri tidak kurang dari 50 ayat berbicara agar manusia mau mengguunakan aklanya. Di antaranya terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 59 yang artinya ambillah pelajaran wahai orang yang memiliki pandangan (akal).

Qiyas memiliki empat rukun yang tidak boleh dilanggar. Artinya kalau salah satu dari empat rukun ini tidak ada, maka qiyas tidak boleh terjadi. Rukun-rukun yang empat tersebut banyak dibicarakan dalam kitab-kitab ushul fiqih, ialah

1.       Al-Ashlu, sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia disebut juga al-maqiis `alaih (yang dikiaskan kepadanya), mahmul`alalih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya)

2.       Al-Furu`, yaitu : sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Ia juga dinamakan al- maqiis (yang diqiyaskan), al-mahmuul (yang dipertanggung jawabkan), dan al- musyabbah (yang diserupakan).

3.       Hukum asal, yaitu hukum syara` yang ada nashnya. Dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-furu`.

4.       Al-`illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (far`), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.

-          Istihsan, Sumber Hukum Kelima Yang Digunakan Abu Hanifah

Istihsan meurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih istihsan ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum Istitsnaiy(pengecualian) karena ada dalil yang menyebabkan dia memilih dan memenangkan perpalingan ini.

Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, lalu ia berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut dengan Istihsan. Demikian pula apabila ada hukum yang pengecualian kasuistis dari hukum yang bersifat kulli (umum) dan menurut hukum lainya, maka ini juga menurut syara’ disebut dengan Istihsan.

Sekelompok mujtahid mengingkari terhadap istihsan sebagai hujjah dan mereka mengangapnya sebagai beristimbath terhadap hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Tokoh utama kelompok ini adalah Imam As- syafii’. Menurut sebuah riwayat, bahwa ia berkata

 

Artinya: “ Barang siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syaria’t

Maksudnya orang tersebut telah memulai hukum syara’ dari dirinya sendiri.

Dalam kitab Risalah Ushuliyah, As- Syafii’ menetapkan:

 

 

Artinya :

Perumpamaan orang beriatihsan terhadapa hukum adalah seperti orang yang menghadap suatu arah di dalam shalatnya dimana ia beranggapan baik bahwa arah tersebut adalah ka’bah, namun tidak ada dalil baginya dari berbagai yang telah dikemukakan oleh Syari’ untuk menentukan arah kiblat”.

Dan di dalam kitab tersebut ia juga berkata:

 

 

 

Artinya: Istihsan adalah mencari enak. Kalau sekiranya berdasarkan istihsan dalam agama itu boleh juga bagi kaum rasional yang tidak ahki agama, dan niscaya boleh pula mensyari’atkan agama pada setiap bab, serta boleh pula setip orang mengeluarkan hukum syara’ untuk dirinya sendiri”.

Menurut Abdul Wahab Khallaf, ia mengatakan bahwasanya kedua kelompok yang bertentangan pendapat mengenai isthsan tidak sepakat mengenai pembatasan pengertianya. Orang-orang yang mempergunakan istihsan sebagai hujjah memaksudkan makna istihsan tidak seperti yang dikehendaki oleh orang-orang yang tidak menjadikanya sebagai hujjah, kalau sekiranya mereka sepakat terhadap batasan pengertianya, niscaya mereka tidak akan berbeda pendapat mengenai menjadikan istihsan sebagai hujjah, karena sesungguhnya istihsan setelah di tahqiqkan adalah perpindahan dari dalil yang zhahir atau dari hukum yang kulli(umum) karena ada dalil yang menuntut dalil ini. Jadi ia bukan semata-mata pembentukan syari’at berdasarkan hawa nafsu.

Setiap hakim terkadang muncul pada akalnya suatu kemaslahatan yang hakiki dalam berbagai kasus, yang menuntut pemalingan hukum pada kasus tersebut dari apa yang dituntut oleh zhahir undang-undang. Hal ini tidak lain adalah bentuk dari pada istihsan.

Yang mempergunakan dalil istihsan, ia tidaklah kembali kepada semata-mata perasaanya dan kemauanya saja, akan tetapi ia kembali kepada apa yang telah ia ketahui dari pada tujuanya syari’ secara keseluruhan pada berbagai contoh hal yang di ajukan, sebagaimana beberapa hal yang menurut qiyas, hanya saja hal itu akan membawa kepada hilangnya kemaslahatannya dari satu segi atau dari segi lainya ia bisa mendatangkan kerusakan.

-          `Uruf (adat), Sumber Hukum Keenam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah menggunakan `Urf usebagai salah satu metode hukum yang dijadikan sumber dalam ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat istiadat. Sedangkan menurut istilah para ahli syara`, tidak ada perbedaan antara `urf dan kebiasaan. Maka `urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara saling memberikan tanpa ada shifhat lafzhiyyah (ungkapan transaksi melalui perkataan).

`Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi sosial mereka, yaitu kalangan awam dari masyarakat, dan kelompk elite mereka. Ini berbeda dengan ijma`, karena sesungguhnya ijma` terbentuk dari kesepakatan para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur tangan dalam membentuknya.

Uruf terbagi kepada dua macam, yaitu

`Urf yang shahih ialah sesuatu yang dikenal oleh manusia, dan tidak bertentangna dengan dadlil syara`, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan, tidak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib, sebagaimana kebiasaan mereka mengadakan akad jasa pembuatan (produksi), kebiasaaan mereka membagi maskawin kepada maskawin yang didahulukan (seserahan) jugaa maskawin yang diakhirkan penyerahannya. Tradisi seperti ini dinamakan `Urf, dan ia dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dalil yang melarangnya, juga tidak ada dalil yang menganjurkan.

Adapun `Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara`. Tradisi `urf fasid yang masyhur di zaman sekarang seperti pacaran sebelum nikah.

Terkait `Urf yang shahih ini, Abdul Wahab Khalaf menjelaskan bahwa hanya wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Seorang mujtahid haruslah jeli dalam memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Di dalam pengadilan, seorang hakim pun demikian. Karena sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah biasa mereka jalani, maka hal itu telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia tidak bertentangan dengan syara`, maka `Urf wajib diperhatikan.

Adat merupakan syariat yang dikukkuhkan sebagai hukum. Sebagai bukti legalitas `urf, Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat mengani sejumlah hukum berdasarkan perbedaan `urf mereka.[7] Ketika tiba di Mesir, Imam as-Syafi`i merubah beberapa pendapatnya ketika masih berada di Baghdad. Perubahan ini terjadi karena `urf. Inilah yang kita kenal dengan istilah qoul qodiim dan qoul jadiid.

 

2.3  Biografi Singkat Imam Malik

Bernama lengkap Anas bin Malik, imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz. Wafatnya bertepatan pada hari Ahad, 10 Rabi`ul Awwal 179 H/798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbsiyah di bawah kekuasaan Harun Ar-Rasyid. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu `Amir ibn Al-Haarits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar, jajahan negeri Yaman. Ibunya bernama Siti Al-`Aliyyah binti Syuraik ibn Abd. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan rahim ibunya selama dua tahun, ada pula yang mengatakan sampai tiga tahun.

Imam Malik adalah seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran yang cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Beliau seorang yang mempunyai sopan santun dan lemah lembut, suka membesuk orang yang sakit, mengasihani orang miskin dan suka memberi bantuan kepada orang yang membutuhkannya. Beliau juga seorang yang sangat pendiam, kalau berbicara dipilihnya mana yang perlu dan beguna, serta menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak bermanfaat. Di samping itu, beliau juga seorang yang suka bergaul dengan handai taulan, orang-orang yang mengerti agama terutama pada gurunya, bahkan bergaul dengan para pejabat pemerintah atau wakil-wakil pemerintahan serta kepala negara. Beliau tidak pernah melanggar batasan agama.[8]

Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemeintahan Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik dari Bani Umaiyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain: golongan sahabat Anshar dan Muhajirin serta para cerdik pandai ahli hukum Islam. Dalam suasana seperti itulah Imam Malik tumbuh dan mendapat pendidikan dari beberapa guru yang terkenal. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah Al-Quran, yakin bagaimana cara membaca, memahami makna dan tafsirnya. Dihafalnya Al-Quran itu di uar kepala. Kemudian ia mempelajari hadis Nabi Muhammad SAW dengan tekun dan giat, sehingga mendapat julukan sebagai ahli hadis.

Sebagai seorang ahli hadis, beliau sangat menghormati dan menjunjung tinggi hadis Nabi SAW, sehingga bila hendak memberi pelajaran hadis, beliau selalu berwudhu terlebih dahulu, kemudian duduk di atas alas dan sembahyangtawadhu`. Beliau sangat tidak suka memberikan pelajaran hadis sambil berdiri di tengah jalan atau dengan cara tergesa-gesa. Inilah beberapa sifat contoh cara beliau memuliakan ilmu, terutama ilmu hadis.

Adapun guru yang pertama dan bergaul lama serta erat adalah Imam Abdurrahman ibn Hurmuz, salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqih kepada salah seorang ulama besar kota Madinah yang bernama Rabi`ah Ar-Ra`yi (wafat 136 H). Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu hadis kepada Imam Nafi`, maula Ibnu Umar (wafat 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab Az-Zuhry.

Menurut riwayat yang dinukil Munawwar Cholil, bahwa di antara para guru Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang. Di antara sekian banyak gurunya itu, terdapat 300 orang yang tergolong masuk ke dalam thobaqot tabi`in.

Pola Pemkikiran Imam Malik dalam Berijtihad

-        Al-Quran,

Tentang Al-Quran sebagai sumber hukum, kami telah berusaha memaparkannya pada metode ijtihad yang digunakan Imam Hanafi.

-          As-Sunnah, Al-Ijma`, dan Al-Qiyaas

Sebagaimana yang telah kami ulas sebelumnya bahwa keempat sumber hukum utama yang tersebut di atas adalah sumber hukum yang muttafaq, maka dalam hal Imam Malik pun beristidlal dengan empat sumber hukum tersebut, sebagaimana yang juga dilakukan oleh Imam Abu Hanifah sebelumnya. Ke empat sumber pokok ini telah kami paparkan, sehingga kami merasa tidak perlu untuk menjelaskan lagi. Hanya ada beberapa perbedaan terkait interpretasi dari masing-masing pemahaman mereka terhadap Al-Quran dan As- sunnah. Adapun metode-metode lain yang digunakan Imam Malik selain dari empat sumber ini adalah

1.         Atsar Ahli Madinah

2.         Mashlahah Al-Mursalah (istishlaah)

3.         Qoul Shohabi (perkataan para sahabat)

4.         Khabar Ahad

5.         Al-Istihsaan

6.         Sadd Ad-Dzara`i

7.         Istishaab

8.         Syar`u Man Qoblanaa

-          Itsar Ahli Madinah

Ijma` ahli Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma` ahlul Madinah yang asalnya dari An-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahlul Madiinah, seperti tentang ukuran kadar mudd, sho`, dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi Muhammad, atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma` semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.

Menurut Ibnu Taimiyyah, yang dimaksud dengan ijma` ahlul madiinah tersebut adalah ijma` ahlul madiinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan amalan-amalan ahli Madinah di kemudian hari, sama sekali tidak dijadikan hujjah oleh Imam Malik.

Di kalangan mazhab Maliki sendiri, ijma` ahlil Madiinah lebih diutamakan dari pada khabar Ahad, sebab ijma` ahlil Madiinahmerupakan pemberitaan oleh jama`ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan.

Ijma` Ahlil Madiinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu

a.         Kesepakatan ahli Madinah yang sumbernya dari naql.

b.         Amalan ahli Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan Saidina Utsman tersebut, amalan ahli Madinah menjadi hujjah bagi Imam Maliki.

c.         Amalan ahli Madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya apabila ada dua dalil yang satu sama lain bertentangan, sedang untuk mentarjih salah satu dari dua dalil tersebut ada yang merupakan amalan ahli Madinah, maka tarjih itulah yang dimenangkan menurut Imam Maliki. Hal ini pula yang dilakukan Imam As-Syafi`i, muridnya.

d.        Amalan ahli Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Ijma` ahlil Madiinahseperti ini bukan hujjah, baik menurut as-Syafi`i, Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah, maupun menurut para ulama di kalangan mazhab Malik

-          Mashalahah Al-Mursalah (Istishlaah)

Maslahah  mursalah  terdiri  dari  dua  kata  yaitu  Maslahah artinya baik (lawan dan buruk), manfaat atau terlepas dari kerusakan. Adapun kata mursalah secara bahasa artinya terlepas dan bebas. Maksudnya ialah terlepas dan bebas dari keterangan yang menujukan boleh atau tidaknya sesuatu yang dilakukan.  Abdul Wahab Khalaf mendefiniskan maslahah mursalahadalah “Sesuatu yang di anggap maslahah umum namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”.

Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa:

a.    Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dalam al- Qur’an maupun hadist.

b.    Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan meghindari keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya tidak bertentangan dengan tujuan syara’ secara umum.

Kehujaan Maslahah Mursalah

Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah mursalahah adalah bukan dalil yang berdiri sendiri. Maslahah mursalah tidak terlepas dari petunjuk syara’. Ulama tidak akan menggunakan maslahah mursalah dalam menghukumi sesuatu itu mendatangkan manfaat menurut   tinjauan   akal   dan   sejalan   dengan tujuan syara’ (mendatangkan keselamatan ), tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip nash, maka ketika itu nash harus didahulukan. Dan ketika itu ada maslahah mursalah tidak dapat digunakan.

Imam Malik dan pengikutnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode ijtihadnya. Tetapi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I tidak memakainya sebagai metode ijtihad.

Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu menerimanya kecuali maslahah itu memenuhi syarat  yang cukup ketat. Syarat yang besifat umum adalah ketika sesuatu itu tidak ditemukan hukumnya dalam nash yang sharih. Selain itu, ada syarat-syarat yang bersifat Khusus yang harus di penuhi yaitu:

-   Maslahah mursalah itu bersifat hakiky dan bukan maslahah yang bersifat perorangan dan bersifat zhan, dapat diterima oleh akal sehat bahwa hal itu benar- benar mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan dari madharat secara utuh dan menyeluruh sejalan dengan tujuan syara’ tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Contohnya, menjatuhkan talak itu bagi hakim saja dalam segala keadaan.

-   Sesuatu yang dianggap maslahah itu hedaknya bersifat kepentingan umum bukan kepentingan pribadi.

-   Sesuatu yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadist dan ijma.

-   Qoul Shohabi

Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql. Ini berarti, yang dimaksudkan dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadis-hadis yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadis marfu` yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas. Juga adakalanya Imam Malik menggunakan fatwa tabi`in besar sebagaimana peganngan dalam menentukan hukum.

Fatwa sahabat yang bukan hasil dari ijtihad sahabat, tidak diperselisihkan oleh para ulama untuk dijadikan hujjah, begitu pula ijma` sahabat yang masih diperselisihkan di antara para ulama adalah fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka. Di kalangan mutaakkhirin mazhab Maliki, fatwa sahabat yang semata- mata hasil ijtihad mereka dijadikan sebagai hujjah.

-   Khabar Ahad dan Qiyas

Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika kahabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat madinah, sekali pun hanya dari hasil istimbat, kecuali khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang sifatnya qoth`i. dalam menggunakan khabar ahad ini,   Imam   Malik   terkadang   inkonsisten.   Kadang-kadang   ia mendahulukan qiyas dari padakhabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW.

-   Istihsaan

Dengan digunakannya istihsan dalam mazhab Maliki, maka di antara imam empat mazhab yang memegang istihsan sebagai sumber hukum adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Adapun As-Syafi`i dan Ahmad tidak menggunakan istihsan sebagai sumber hukum. Bahkan as-Syafi`i mendebat keras siapapun yang menggunakan istihsan sebagai sumber hukum.

-   Sadd Ad-Dzara`i

Imam Malik menggunakan Sadd Ad-Dzara`i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau seba yang menuju kepada halal, maka hukumnya halal.

-   Istishaab

Imam Malik menjadikan istishaab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini sebelumnya, maka keraguan tersebut tidak dapat merubah status hukum yang lampau. Artinya ia masih tetap berhukum seperti hukum yang lama. Contohnya seseorang yang sudah dalam posisi berwudhu, ia dalam keadaan suci. Bahkan diyakini baru saja usai mendirikan shalat. Kemudian ia ragu apakah terjadi hal-hal yang membatalkan atau tidak. Dalam kasus ini, berlakukan hukum istishaab yang berarti mengembalikan kepada asal hukum; yaitu adanya wudhu. Jika asalnya memang tidak berwudhu, kemudian ia ragu apakah detik ini ia memiliki wudhu atau tidak, maka hukumnya pun kembali pada yang asal, yaitu tidak ada wudhu. Inilah yang disebut dengan istishaab.

-   Syar`u Man Qoblanaa

Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa Imam Malik menggunakan kaidah syar`u man qoblanaa syar`un lanaasebagai dasar hukum. Tetap menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang mengatakan demikian.

Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Quran dan As-Sunnah mengisahkan tentang suatu hukum buat ummat sebelum ummat nabi Muhammad, maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita. contoh yang paling sering kita dengar adalah ayat tentang puasa di surat Al-Baqoroh ayat 183 yang menjelaskan bahwa puasa ternyata telah diwajibkan pula kepada para ummat terdahulu, sebelum datangnya syariat nabi Muhammad SAW. Kemudian bila di dalam Al-Quran ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh, maka hukum syar`u man qoblanaa tersebut tidaklah berlaku lagi. Demikianlah pemaparan singkat dari metode-metode ijtihad yang digunakan oleh Imam Malik.

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 

3.1              Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah kami uraikan sebelumnya, Imam Hanafi berijtihad dengan menggunakan sumber yaitu

1.         Al-Quran

2.         As-Sunnah

3.         Al-Ijma`

4.         Al-Qiyas

5.         Al-Istihsaan

6.         Al-`Urf

Adapun sumber hukum yang digunakan Imam Malik terlihat lebih banyak dari apa yang digunakan Imam Hanafi, yaitu

1.      Al-Quran

2.      As-Sunnah

3.      Al-Ijma`

4.      Al-Qiyas

5.      Al-Istishlaah

6.      Al-Istihsan

7.      Al-`Urf

8.      Khabar Ahad dan Qiyas

9.      Qoul Shohabi

10.  Amal Ahli Madinah

11.  Sadd Ad-Dzari`ah

12.  Istishaab

13.  Syar`u Man Qoblanaa

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Prof. Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke. 3

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah Al-Islamiyyah, tanpa tahun)

Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011)

Wahbah Zuhaili. 1986. Ushul Fiqh Al-Islaami. Damaskus. Daarul Fikri. 1986.

Waliyyullah Ad-Dahlawi. 1984. Al-Inshoof Fii Bayaanil Asbaabil Ikhtilaaf.

Beirut. DaarunNafaa-is



[1] Prof. Dr. Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke. 3 hal. 96

[2] Ibid

[3] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah Al-Islamiyyah, tanpa tahun) hlm. 22

[4] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011), hlm. 27

[5] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011), hlm. 63

[6] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011),hlm, 64

[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah Al-Islamiyyah, tanpa tahun) hlm. 124

[8] Ibid. Hal 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar