Minggu, 17 Oktober 2021

MAKALAH Metode Penetapan Hukum Organisasi Masyarakat (Ormas) Keagamaan Islam Di Indonesia

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Perbedaan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam berbagai segi, mulai dari ritual keagamaan hingga pola manajemen pengelolaan sebuah lembaga, tak bisa dipungkiri dan dalam kurun waktu tertentu, telah menimbulkan pertentangan yang menguras energi bangsa dengan sia-sia. Kerusuhan di Banyuwangi, Pekalongan, Kendal, dan Jepara yang terjadi sekian tahun silam adalah contoh nyata. 1Belum lagi kisah pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan yang ‘katanya’ dimotori oleh Amien Rais pada 2001 silam. Padahal Gus Dur adalah representasi nyata warga NU, sementara Amien Rais adalah salah satu tokoh utama Muhammadiyah.

Jika ditelusuri lebih dalam, pangkal perbedaan itu adalah perbeda- an mereka dalam memahami prinsip-prinsip dasar metodologi penetap- an hukum (istinbath). Perbedaan awal ini lahir akibat perbedaan cara pandang, yang selanjutnya berkonsekuensi pada perbedaan cara menetapkan hukum dan selanjutnya produk hukum itu sendiri. Perbedaan yang disebutkan terakhir akan berhilir pada perbedaan ritual keagamaan sehari-hari (amaliyah yaumiyyah). Perbedaan ritual ini, akibat tidak dipahami dengan benar dan bijak, memetakan kedua simpatisan Muhammadiyah dan NU dalam posisi saling berhadap-hadapan. Dari sinilah awal mula timbulnya friksi tersebut

 

 

 

1.2 Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Sejarah Pembentukan kedua Ormas terbesar di indonesia ?

2.      Apa saja Metode yang digunakan masing-masing Ormas tersebut ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Sejarah Pembentukan Majelis Tarjih

Majelis Tarjih (selanjutnya disebut Tarjih) baru berdiri 15 tahun setelah berdirinya Muhammadiyah, sebagai respon terhadap banyaknya perbedaan yang muncul seiring semakin banyaknya simpatisan dan anggotanya. Tepat pada Muktamar Muhammadiyah XVI di Pekalongan tahun 1927, diputuskan untuk membentuk Majelis Tarjih, yaitu suatu lembaga yang bertugas mengurusi dan membimbing masalah-masalah keagamaan yang timbul di lingkungan Muhammadiyah. Hal ini tertera dalam dokumen pendirian berikut:

“ ….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah : ………

Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih        [1]

Selain alasan tersebut, bila melihat waktu peresmiannya yang 1 tahun setelah NU didirikan pada 1926, ada kemungkinan juga dilandasi usaha untuk mengokohkan salah satu sebab berdirinya Muhammadiyah; purifikasi Islam, yaitu usaha untuk memurnikan Islam dari segala praktek tahayyul, bid’ah, dan khurafat, satu hal yang terstigmatisasi melekat, dan membudaya di kalangan orang-orang NU.

Di awal-awal berdirinya, lembaga ini belum mempunyai dasar- dasar teoretisnya. Beberapa usaha untuk menyusun dasar-dasar tersebut baru tercatat pada 1950 dan 1986. Di antara penyusunnya adalah Buya HAMKA, K.H. Farid Ma’ruf, Mr. Kasman Singodimedjo, serta Zain Jambek juga Ki Bagus Hadi Kusumo. [2]

 

2.2  Metodologi Ijtihad Majelis Tarjih

Pembicaraaan tentang metodologi ijtihad Tarjih dapat dirangkum ke dalam 4 konsep dasar; Mabadi’ Khamsah, kemudian dijabarkan melalui 16 Pokok-Pokok Manhaj Tarjih, dan Metode Ijtihad Majlis Tarjih serta dilengkapi Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam.

1.    Mabadi Khamsah Manhaj Tarjih

Mabadi Khamsah berarti 5 prinsip dasar. Kelima prinsip ini adalah agama, dunia, ibadah, fi sabilillah, dan qiyas. Prinsip Agama bisa diartikan agama yang diridlai oleh Allah SWT, yaitu Islam. Ia mencakup komitmen untuk mematuhi segala perintah- Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta petunjuk untuk kebaikan dunia dan akhirat.[3] Ia juga mengandung prinsip taysir, yaitu mudah untuk dilaksanakan, bukan takalluf, yaitu memberat-beratkan pelaksanaannya.

Prinsip Dunia mengajarkan untuk pandai memilah mana perkara yang menjadi tugas para Rasul (baca: prinsip Agama) dan mana yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Meski demikian, bukan berarti ia mendikotomikan secara lepas antar keduanya. Namun lebih sebagai usaha untuk memudahkan pemilahan mana yang menjadi wilayah ijtihad dan mana yang tidak.[4] Ia juga berarti taqarrub (mendekatkan diri), taat dan tunduk sambil merendahkan diri di hadapan Allah SWT.

Fi Sabilillah terdiri dari 2 kata utama; sabil yang artinya jalan dan kata Allah SWT itu sendiri. Sederhananya ia berarti jalan Allah. Menurut Tarjih, ia lebih diartikan jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridlaan Allah SWT, berupa segala amalan yang diizinkan Allah SWT untuk memuliakan kalimat-Nya dan melaksanakan hukum-Nya.[5] Dalam al-Quran kata ini tersebut beberapa kali diantaranya adalah sabilal mujrimin (al-An’am 55), sabilal mu’minin (al-Nisa’ 114), sabilillah (al-Nahl 94).

Prinsip Qiyas diartikan Muhammadiyah sejak awal mengambil sikap bahwa, pertama, dasar mutlak dalam berhukum adalah al-Quran dan Sunnah. Kedua, jika menghadapi sesuatu yang baru, yang tidak ditemukan dalam keduanya, maka digunakan jalan ijtihad dan istinbath dari nash-nash yang ada, melalui persamaan sebab (illah). Metode ter- akhir inilah yang kemudian disebut qiyas.

Meski demikian, tentu saja yang dimaksud qiyas di sini adalah bukan dengan melihat dari arti sempitnya yang hanya berarti meng- analogikan suatu permasalahan yang tidak ada hukumnya dengan permasalahan yang ada hukumnya atas dasar persamaan illah, melainkan dilihat dari arti luasnya yang berarti juga ijtihad atau pendayagunaan akal (ra’yu).

2.      16 Pokok-Pokok Manhaj Tarjih

Setelah Mabadi Khamsah terumuskan pada 1964, maka pada 1986 ketika Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo, diusahakan penjabarannya yang pada akhirnya melahirkan 16 macam pokok-pokok Manhaj Tarjih. Secara ringkas 16 pokok tersebut adalah tentang prosedur dalam penetapan suatu hukum; al-Quran dan Sunnah menjadi landasan pertama dan utama (raisiyyah), jika tidak ditemukan di keduanya maka beralih ke qiyas. Proses ijtihad tersebut pun harus dilakukan secara jama’i, serta tidak mengikatkan diri pada salah satu madzhab, meski tetap menjadikannya sebagai salah satu pertimbangan hukum. Jika di kemudian hari ada pendapat yang lebih kuat dari siapa pun, maka pendapat tersebut akan diterima. Khusus untuk masalah aqidah, Tarjih menetapkan untuk hanya menggunakan dalil-dalil yang mutlak benarnya (mutawatir).

3.      Metode Ijtihad Majlis Tarjih

Ada tiga prosedur baku dalam ijtihad menurut Tarjih, yaitu, pertama, bayani. Ia dapat dikatakan sebagai usaha untuk menafsirkan suatu ayat dzanni dengan ayat yang lain. Dalam kaidah ilmu tafsir, metode ini juga disebut tafsir bi al-ma’tsur; menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain. Kedua, qiyasi. Ia dimaksudkan sebagai usaha meng- analogikan suatu masalah yang belum ada hukumnya kepada masalah yang sudah ada hukumnya karena adanya persamaan illah. Ketiga, istishlahi. Metode ini bertumpu pada konsep maslahah sebagai nafas dalam pensyariatan hukum apa pun dalam Islam. Ia dilaksanakan untuk suatu perkara yang sama sekali tidak ada nash, baik qath’i atau pun zhanni yang membahasnya, namun di dalamnya ada ruh kemaslahatan untuk manusia. Metode yang disebut terakhir pada akhirnya dikembangkan oleh Tarjih ke dalam 5 macam pertimbangan; istihsan, saddu al-dzari’ah, istishlah, al-urf, dan ijthad kauniyyah.

Dalam perkembangannya, atas desakan beberapa tokoh Muhammadiyah sendiri, metode ini dikembangkan lagi dengan maksud agar Tarjih lebih berkonsentrasi dalam gerakan keilmuan gerakan keilmuan.[6] Adapun metode yang dimaksud adalah bayani (teks), burhani (akal dan kemaslahatan), dan irfani (intuisi).

Kedua metode memang tidak jauh beda. Dua metode terakhir dari jenis metode yang pertama dilebur jadi satu menjadi burhani, dan pada saat yang sama menambahnya dengan satu metode baru, yaitu irfani yang berbasis pada kemampuan intuitif setiap individu dalam mendapatkan kebenaran. Karena setiap individu mempunyai pengalam- an spiritual yang berbeda-beda, maka kebenaran yang satu ini pun sifat- nya adalah inter-subyektif, artinya ia memang berbeda di antara setiap individu. Namun keberadaannya, meski berbeda, diakui semua orang.[7]

 

2.3  Sejarah Pembentukan Lajnah Bahtsul Masail

Lajnah Bahtsul Masail (selanjutnya disebut Lajnah) ini secara formal berdiri pada saat NU didirikan oleh KH. Hasyim Asya’ari tepat pada 31 Januari 1926. Namun, secara substansi, kegiatan Bahtsul Masail sudah dilaksanakan jauh sebelum NU berdiri. Kala itu, sudah berlaku tradisi diskusi di kalangan Pesantren yang melibatkan Kiai dan santri di mana hasilnya dimuat dalam bulletin Lailatul Ijtima Nahdlatul Ulama (LINO).

Dalam perkembangannya, buletin ini tidak hanya menjadi media pemuat hasil diskusi tersebut, namun menjadi ajang diskusi interaktif di antara ulama Pesantren yang sebagian besar terpisah dengan jarak dan waktu yang jauh. Sekedar contoh adalah perdebatan antara KH. Mahfudz Salam Pati dengan KH. Murtadlo Tuban tentang boleh tidaknya teks khutbah Jum’at diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Kiai Salam berpendapat boleh menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa bumi putera (baca: bahasa Indonesia) sedangkan Kiai Murtadlo berpendapat sebaliknya; tidak membolehkan penerjemahan- nya ke dalam bahasa apa pun kecuali mengatakannya dalam bahasa Arab.[8]

        Dilihat dari segi metode, forum Bahtsul Masail juga banyak mengadopsi metode pengkajian Islam yang banyak dikembangkan di Haramain (baca: Makkah dan Madinah); talaqqi. Yaitu seorang membacakan sebuah permasalahan lalu beberapa orang menanggapinya lalu disusul pendapat lain dan begitu juga seterusnya hingga ditemukan sebuah kesimpulan.

 

2.4  Metodologi Istinbath Lajnah Bahtsul Masail

Beberapa konsep kunci dalam metodologi istinbath Lajnah Bahtsul Masail di antaranya adalah sikap bermadzhab, konsep kutub mu’tabarah, dan prosedur istinbath.

1.    Sikap Bermadzhab

Sedari awal Lajnah sudah mengikrarkan untuk bermadzhab kepada satu dari keempat madzhab yang empat (al-madzahib al-arba’ah). Hal ini berlandaskan pada cara pandang yang memahami bahwa dalam tradisi Islam, transmisi keilmuan tidak boleh terputus. Untuk menjamin validitas keilmuan yang dimiliki, mata rantai keilmuan (sanad) harus bersambung dan berhilir pada Rasulullah SAW. Tujuan ini tidak akan tercapai dengan benar manakala meninggalkan sikap bermadzhab. Adapun sikap bermadzhab ini mengacu pada satu atau lebih dari keempat imam madzhab yang empat; Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali.[9] Hal ini juga dinyatakan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah fi taakkudi al- akhdzi bimadzhabi al-arba’ah bahwa bermadzhab kepada salah satu dari empat imam tersebut sangatlah bermanfaat Dan sebaliknya, tidak bermadzhab kepada mereka berakibat sangat fatal. Selanjutnya, beliau juga menambahkan perintah Nabi SAW untuk mengikuti golongan mayoritas dari umat Islam (al-sawad al-a’dzam).

Kenyataan menunjukkan, secara genealogis, KH. Hasyim Asy’ari memang mewarisi paradigma berfikir keagamaan yang berasal dari ulama Haramain pada abad pertengahan yang cenderung, sedikit atau banyak, masih dipengaruhi oleh sikap taqlid dan fanatik terhadap madzhab (intisharu al-madzahib). Sikap inilah yang diwarisi oleh Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan lain - lainnya untuk kemudian diturunkan kepada KH. Hasyim Asy’ari dan akhirnya diturunkan lagi hingga sekarang sebagaimana terlihat di NU.[10]

2.      Konsep Kutub Mu’tabarah

Adanya sikap bermadzhab seperti di atas berkonsekuensi logis pada adanya konsep kutub mu’tabarah, yang berarti kitab-kitab yang berhaluan pada madzhab yang empat. Berikut ditampilkan deskripsi singkat tentang frekuensi penggunaan kitab-kitab tersebut oleh mayoritas masyarakat NU:[11]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   Dari sekian banyak kitab-kitab syafi’iyyah yang dijadikan rujukan, 5 pertama adalah I’anatu al-Thalibin karya al-Bakri bin Muhammad Syata al-Dimyati, Bughyah al-Mustarsyidin oleh Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba’alawi, Hasyiyah al-Bajury ala Fathi al-Qarib tulisan Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj karya Abdul Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami. Dari malikiyyah, 2 pertama adalah Syamsu al-Isyaq karya Muhammad al-Maliki dan Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid karya al-Walid Ibnu Rusyd.

Dari tabel di atas, terlihat bahwa Lajnah tidak hanya menerima kitab-kitab  yang  berhaluan  al-madzahib  al-arba’  saja,  namun  juga menerima kitab-kitab selainnya. Hal ini terlihat pada madzhab umum yang dimaksudkan sebagai rujukan-rujukan yang diketahui tidak berhaluan kepada al-madzhahib al-arba’ah. Sebagai contoh adalah Subulu al-Salam yang berhaluan pada Syi’ah Zaidiyyah dan al-fiqhu al-Islamy wa Adilltuhu karya Wahbah al-Zuhaili.

Pada akhirnya, definisi kutub mu’tabarah di atas kurang memadai, karena dalam kenyataannya ada beberapa imam yang tidak berafiliasi pada satu dari empat madzhab tersebut ternyata kitabnya dijadikan rujukan dalam bahtsul masail. Selain itu, ada juga imam yang mengikrar- kan bermadzhab pada salah satu imam empat tersebut, namun ternyata pendapat-pendapatnya tidak sejalan dengan imam utamanya.

Hal ini pada akhirnya, ketika Muktamar NU di Bandang Lampung pada 1992, membawa konsekuensi direvisinya definisi kutub mu’tabarah menjadi semua kitab yang berhaluan pada ahlu al-sunnah wa al-jama’ah (aswaja). Meski demikian, menurut Ahmad Zahro, batasan ini juga masih polemik karena istilah aswaja itu sendiri masih diperselisihkan oleh para ulama.

 

2.5  Metode Istinbath Lajnah Bahtsul Masail

Ada 3 prosedur baku dalam metode penetapan sebuah hukum di Lajnah, yaitu, pertama, qauly yang berarti pendapat. Ia berarti sebuah cara penetapan hukum dengan cara merujuk pada kutub mu’tabarah dari para imam madzahib. Konsep ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa di hampir seluruh keputusan yang dihasilkan Lajnah, pasti mencantumkan pendapat seorang imam madzhab. Ahmad Zahro mencatat bahwa dari seluruh Keputusan Bahtsul Masail mulai dari 1926 hingga 1999, tercatat hanya 4 kali Lajnah mencantumkan dalil dari al-Quran langsung.[12]

Kedua, ilhaqy yang berarti analogi. Berbeda dengan qiyas yang salah satu unsurnya al-ashl adalah dari al-Quran dan Sunnah, ilhaqy didefinisikan proses analogis dengan al-ashl-nya adalah pendapat para imam madzhab. Sebagai contoh adalah keputusan bahtsul masail yang dikeluarkan pada Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927) mengenai bolehnya hukum jual beli petasan. Hal ini berdasarkan analogi terhadap jual beli yang dibolehkan dalam kitab I’anah al-Talibin juz III hal. 121- 122, al-Bajury hal. 652-654, al-Jamal ala fathi al-Wahhab juz III hal. 24 atas dasar persamaan sebab, yaitu untuk menggembirakan orang dan mendapatkan kebaikan.[13]

Ketiga, manhajy yang berarti metodologis. Ia menetapkan hukum dengan mengambil illah berupa terwujudnya sebuah kemaslahatan pada hukum tersebut. Pada awalnya metode ini banyak mendapat penentang- an, berkat usaha-usaha tak kenal lelah seperti pengadaan Halaqah Denanyar dan diskusi-diskusi yang diadakan di P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), akhirnya keputusan penggunaan manhaj yang ketiga ini baru ditetapkan pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung pada 1992.[14]

Selain itu, Lajnah juga menetapkan beberapa sikap ideal dalam bermadzhab; tawassuth-i’tidal (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (adil dan berimbang), amar ma’ruf nahi munkar (peka sosial).

Titik persamaan tarjih dan bahsul masail. Beberapa sisi persamaan antara Tarjih dan Lajnah adalah sebagai berikut:

1.    Keduanya Terafiliasi Sebagai Golongan Sunni, Bukan Syiah Baik Tarjih maupun Lajnah sepakat memahami bahwa bentuk dan isi al-Quran yang ada sekarang ini sudah final. Tidak kurang dan tidak lebih. Ia juga hanya mempunyai makna dzahir. Artinya, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memahaminya dan dianggap mampu jika memang sudah memahaminya.

Berbeda dengan Syiah. Dalam beberapa bagian al-Quran, ada pengurangan dan penambahan. Di antara yang dikurangi itu adalah surat- surat  yang  berkaitan  dengan  al-Wilayah  yang  di  dalamnya  terdapat keterangan tentang kedudukan Ali bin Abi Thalib. Hal ini berkonsekuensi pada penambahan lafadz adzan, yaitu setelah persaksian bahwa Muhammad utusan Allah, ditambah juga persaksian bahwa Ali adalah wali Allah SWT. Mereka juga memandang bahwa selain dzahir, al-Quran juga mengandung makna batin. Dzahir hanya bisa dipahami manusia biasa, sedangkan makna batin hanya bisa dipahami para imam mereka.

2.    Persamaan Metode Pengambilan Hukum Secara Substantif.

Meski terlihat beda, metode yang ditawarkan Tarjih dan Lajnah adalah sama jika dilihat dari sisi substansinya. Perbedaan hanya terletak pada redaksinya. Bayani (teks al-Quran dan Sunnah) menurut Tarjih adalah qauly (teks pendapat para imam) bagi Lajnah. Qiyasi (analogi) dan burhani bagi Tarjih adalah ilhaqi (analogi) menurut Lajnah. Sementara istishlahy menurut Tarjih sama halnya dengan manhajy menurut Lajnah, di mana keduanya berpijak pada terwujudnya kemaslahatan.

3.      Persamaan Genealogi Pemikiran dan Garis Keturunan

Pelacakan historis menunjukkan bahwa KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari pernah menimba ilmu pada guru yang sama yaitu Kiai Hamid Langitan, Kiai Saleh Darat Semarang,[15] dan kelompok ulama Indonesia di Haramain di antaranya adalah Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, dan Syekh Muhammad Mahfudz al-Tirmasyi.

Selain itu, patut dicatat juga bahwa relasi Kiai Ahmad Dahlan tidak berhenti pada tataran tradisi keilmuan, namun juga pada skala kultural. Beliau pernah menikah dengan Nyai Arum, adik Kiai Munawwir Krapyak Yogyakarta. Sebagaimana jamak diketahui bahwa pondok Krapyak adalah salah satu basis pesantren yang bisa diafiliasikan ke NU. Pelacakan lanjutan juga menemukan bahwa garis keturunan Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari bertemu di Maulana Ishaq. Berikut silsilah selengkapnya:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4.      Sama-sama Berbeda dalam Masalah Far’iyyah, Bukan Ushuliyyah.

Jelaslah bahwa baik Tarjih maupun Lajnah hanya berbeda pada produk hukum yang masih tergolong far’iyyah, bukan ushuliyyah. Melafadzkan niat ketika shalat, membaca qunut ketika shubuh, tarawih 20 rakaat, adzan shubuh 2 kali, dan sederet lainnya adalah sekian contoh masalah far’iyyah. Perbedaan ini tentu wajar mengingat cara pandang dan metode yang digunakan juga berbeda. Konsistensi ini di satu sisi justru menunjukkan kejujuran intelektual. Artinya, karena metode yang digunakan berbeda, maka hasilnya pun berbeda. Lebih dari itu, Rasulullah SAW pun sudah menegaskan terjadinya perbedaan tersebut; ikhtilafu ummati rahmah.

Alih-alih antara Muhammadiyah dan NU, di lingkungan internal keduanya pun sering terjadi perbedaan. Di Muhammadiyah seakan ada golongan tua yang berusaha konsisten terhadap manhaj awal, ada juga golongan muda yang cenderung progresif-agresif yang mencoba menawarkan ide-ide baru yang, kata mereka, lebih kontekstual Sama halnya di NU. Di antara pesantren dan kegiatan-kegiatan bahtsul masail pun terjadi perbedaan pendapat.[16] Hal-hal seperti ini setidaknya menuntun kita pada pemahaman bahwa rasanya tidak mungkin manusia sedunia akan berada dalam satu jenis pemikiran. Allah SWT telah mengaruniakan mereka kecenderungan yang berbeda-beda, kapasitas akal yang berbeda-beda, dan takdir juga yang berbeda-beda. Maka perbedaan, terutama dalam masalah khilafiyyah- far’iyyah adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi dengan bijaksana.

Titik Perbedaan Keduanya

Ada sekurang-kurangnya 3 sisi perbedaan metodologis antara Tarjih dan Lajnah sebagaimana berikut:

1.    Akar Pemikiran

Transmisi keilmuan Tarjih berhulu pada konsep purifikasi Islam yang dibangun oleh Ahmad bin Hanbal. Masa Imam Ahmad ini lebih identik sebagai gerakan antitesis terhadap taqlid berlebihan yang, oleh sebagian cendekiawan, disinyalir sebagai salah satu faktor kemunduran Islam. Ide ini diteruksan oleh al-Barbahari, dielaborasi oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qoyyim, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad bin Abdul Wahhab serta diterjemahkan oleh Haji Miskin dan KH. Ahmad Dahlan di bumi Indonesia. Adapun Lajnah mewarisi tradisi keilmuannya dari ulama-ulama abad pertengahan yang cenderung konservatif; ulama syafi’iyyah hingga Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan yang diteruskan pengikutnya hingga Syeikh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz al-Tirmasy dan diejawantahkan oleh KH. Hasyim Asy’ari.

2.    Sikap Bermadzhab

Hal paling mencolok dan sekaligus mendasari sikap yang lain adalah pandangan dalam bermadzhab. Tarjih sedari awal sudah menetap- kan untuk tidak terikat pada satu dari sekian madzhab yang ada. Meski, semua madzhab tersebut tetap digunakan pertimbangan dalam proses istinbath. Pendirian ini terwujudkan pada kenyataan bahwa hampir semua keputusan yang dihasilkan Tarjih yang terhimpun dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) selalu mencantumkan sumber pengambilan dari al-Quran dan Sunnah.

Berbeda dengan NU yang justru juga sedari awal bersikap sebaliknya; bermadzhab kepada satu atau lebih dari madzhab yang empat. Hampir semua keputusan Lajnah juga merujuk pada fatwa para imam madzhab. Sikap ini, sebagaimana dinyatakan KH. Muchith Muzadi[17] adalah wajar. Mengingat di kehidupan yang serba modern ini, yang sudah terlampau jauh dari zaman Rasulullah SAW, setiap orang pasti membutuhkan panduan untuk melaksanakan detail-detail ajaran Islam dengan benar. Hampir tidak mungkin bagi mereka untuk langsung mengambil dan menyimpulkan hukum dari nash-nash primer yang ada. Jika tidak hati-hati, justru akan membahayakan Islam dan diri sendiri.

3.    Perbedaan Nomenklatur

Ada 3 istilah di mana Tarjih dan Lajnah saling berbeda pandang- an, di antaranya adalah, pertama, ijtihad dan istinbath. Bagi Tarjih, ijtihad lebih pada usaha mencari hukum dari kandungan nash yang kurang jelas (dzanni) bahkan yang tidak ditunjukkan oleh nash sama sekali, baik oleh al-Quran atau pun Sunnah. Adapun istinbath meliputi nash yang qath’iy dan dzanni.[18] Adapun bagi Lajnah, ijtihad melingkupi nash yang qath’iy dan dzanni. Ia memang terbuka, namun lebih diposisikan dalam kerangka pemikiran madzhab. Karena saking sulitnya, ia diyakini hanya layak bagi para mujtahidin terdahulu.

Kedua, taqlid yang berarti mengikat atau mengikut.[19] Bagi Tarjih, taqlid adalah mengikuti seorang imam tanpa mau tahu dasar pengambilan hukumnya, mengikuti dengan membabi buta. Bagi Lajnah, taqlid tidak selalu diidentikkan dengan hal tersebut. Istilah ini meski memang mencakup definisi taqlid menurut Tarjih, namun tidaklah dinamakan taqlid orang yang memang terbatas pengetahuannya dan ia berusaha untuk selalu meningkatkan diri menuju derajat ittiba’; yaitu golongan yang mengikuti imam madzhab tapi juga mengerti dari mana mereka mengambil dasar istinbathnya. Bagi Bahtsul Masail, derajat ijtihad, ittiba’, dan taqlid tidaklah bisa dilepaskan satu per satu. Ketiganya adalah rangkaian dan tahapan yang berjalan berkesinambungan dalam proporsi yang tepat.

Ketiga, qiyas. Tarjih berpendapat ushul-nya qiyas hanya berupa dalil dari al-Quran dan Sunnah. Sementara bagi Lajnah, qiyas juga melingkupi ilhaq; analogi dengan komponen ushul-nya berupa pendapat para imam madzhab.

4.    Pandangan Terhadap Tertutup-terbukanya Pintu Ijtihad

Sebagai konsekuensi logis terhadap sikap bermadzhab, maka bagi Tarjih pintu ijtihad masih terbuka lebar. Siapa saja dan kapan saja bisa menjadi mujtahid asalkan memenuhi syarat. Bagi Lajnah, pintu ijtihad hampir tertutup (untuk tidak mengatakan tertutup sama sekali). Yang bisa dilakukan sekarang hanyalah istinbath dengan segala macam derivasinya. Hal ini lantaran sulitnya menemukan orang dengan kualifikasi seperti para mujtahidin terdahulu.[20]

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapatlah kiranya ditarik benang merah bahwa, pertama, metode istinbath Tarjih adalah metode langsung merujuk pada al-Quran dan Sunnah, dengan mempertimbangkan pendapat para imam madzhab. Adapun Lajnah lebih memilih melewati pendapat para imam tersebut dengan pertimbangan jalinan mata rantai keilmuan (sanad).

Kedua, perbedaan pemahaman dan pemakaian beberapa nomenklatur, di antaranya taqlid, ijtihad, dan qiyas. Ketiga adalah perbedaan genealogi pemikiran. Transmisi keilmuan Tarjih berhulu pada konsep purifikasi Islam yang dibangun oleh para ulama pembaharu seperti Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah, Jamaluddin al-Afghani, dan juga Muhammad Abduh. Adapun transmisi Lajnah lebih mengambil pada pendapat para ulama-ulama yang terafiliasi pada ulama haramain yang cenderung konservatif; Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Mahfudz al-Tirmasy.

Betapa pun berbeda, keduanya juga masih menyisakan sekian persamaan, di antaranya terafiliasinya kepada sunni, substansi hukum yang ditetapkan, kedekatan kultural dan garis keilmuan pendirinya, hingga pada kenyataan bahwa yang dipertentangkan adalah per- masalahan far’iyyah, bukan ushuliyyah. Dengan persamaan inilah, seyogya- nya tidak ada alasan bagi keduanya untuk tidak saling menghormati, untuk saling mengancam, dan, naudzubillah, untuk saling bertindak kasar, sejalan dengan misi Islam rahmatan lil ‘alamin. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

 

Suara Muhammadiyah no. 6 / 1355 (1936 )

Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Cetakan III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), p.

Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, op.cit.,

Abdul Munir Mulkhan, Masalah-masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Cetakan I, (Yogyakarta: SIPRESS, 2005), p.

Drs. Muhammad Azhar, MA., Renaissans Kedua Pendidikan Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, Edisi 15, 2004.

Lajnah Ta’lif Wan Nasyr NU Jawa Timur, Ahkamu al-Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam-Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926- 2004), Cetakan III, (Surabaya: Khalista, 2007)

Zamakhsyari Dhofier dalam Ahmad Zahro, op.cit.,

Buya Hamka, Pidato Hamka Saat Pengkuhuan Guru Besar Honoris Causa dari al- Azhar University Cairo pada 21 Januari 1958.

Ma’mun Murod Al-Barbasy Ed., op.cit. p. III – IV.

KH. Abdul Muchith Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, Cetakan IV, (Surabaya: Khalista, 2006),

Prof. Asjmuni Abdurrahman, op.cit



[1] Suara Muhammadiyah no. 6 / 1355 (1936 ) hal 145.

[2] Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Cetakan III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), p. 11-12.

[3] Prof. Drs. H. Asjmuni, op.cit., p. 35.

[4] Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, op.cit., p. 56.

[5] Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, op.cit., p. 81

[6] Abdul Munir Mulkhan, Masalah-masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Cetakan I, (Yogyakarta: SIPRESS, 2005), p. 101.

[7] Drs. Muhammad Azhar, MA., Renaissans Kedua Pendidikan Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, Edisi 15, 2004.

[8] Lajnah Ta’lif Wan Nasyr NU Jawa Timur, Ahkamu al-Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam-Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926- 2004), Cetakan III, (Surabaya: Khalista, 2007), p. VII.

[9] Zamakhsyari Dhofier dalam Ahmad Zahro, op.cit., p. 116.

[10] Buya Hamka, Pidato Hamka Saat Pengkuhuan Guru Besar Honoris Causa dari al- Azhar University Cairo pada 21 Januari 1958.

[11] Ahmad Zahro, op.cit., p. 161.

[12] Ahmad Zahro, p. 158.

[13] Ibid., 123-124.

[14] Ibid.,

[15] Ma’mun Murod Al-Barbasy Ed., op.cit., p. V

[16] Ma’mun Murod Al-Barbasy Ed., op.cit. p. III – IV.

[17] KH. Abdul Muchith Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, Cetakan IV, (Surabaya: Khalista, 2006), p. 25.

[18] Prof. Asjmuni Abdurrahman, op.cit. p. 195.

[19] KH. Achmad Siddiq, op.cit., p. 54.

[20] Ahmad Zahro hal.117.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar