BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perbedaan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam
berbagai segi, mulai dari ritual keagamaan hingga pola manajemen pengelolaan
sebuah lembaga, tak bisa dipungkiri dan dalam kurun waktu tertentu, telah
menimbulkan pertentangan yang menguras energi bangsa dengan sia-sia. Kerusuhan
di Banyuwangi, Pekalongan, Kendal, dan Jepara yang terjadi sekian tahun silam
adalah contoh nyata. 1Belum lagi kisah pelengseran Gus Dur dari kursi
kepresidenan yang ‘katanya’ dimotori oleh Amien Rais pada 2001 silam. Padahal
Gus Dur adalah representasi nyata warga NU, sementara Amien Rais adalah salah
satu tokoh utama Muhammadiyah.
Jika ditelusuri lebih dalam, pangkal perbedaan itu
adalah perbeda- an mereka dalam memahami prinsip-prinsip dasar metodologi
penetap- an hukum (istinbath). Perbedaan awal ini lahir akibat perbedaan cara
pandang, yang selanjutnya berkonsekuensi pada perbedaan cara menetapkan hukum
dan selanjutnya produk hukum itu sendiri. Perbedaan yang disebutkan terakhir
akan berhilir pada perbedaan ritual keagamaan sehari-hari (amaliyah yaumiyyah).
Perbedaan ritual ini, akibat tidak dipahami dengan benar dan bijak, memetakan
kedua simpatisan Muhammadiyah dan NU dalam posisi saling berhadap-hadapan. Dari
sinilah awal mula timbulnya friksi tersebut
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Sejarah Pembentukan kedua Ormas terbesar di indonesia ?
2. Apa
saja Metode yang digunakan masing-masing Ormas tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Pembentukan Majelis Tarjih
Majelis Tarjih (selanjutnya disebut Tarjih) baru
berdiri 15 tahun setelah berdirinya Muhammadiyah, sebagai respon terhadap
banyaknya perbedaan yang muncul seiring semakin banyaknya simpatisan dan
anggotanya. Tepat pada Muktamar Muhammadiyah XVI di Pekalongan tahun 1927,
diputuskan untuk membentuk Majelis Tarjih, yaitu suatu lembaga yang bertugas
mengurusi dan membimbing masalah-masalah keagamaan yang timbul di lingkungan
Muhammadiyah. Hal ini tertera dalam dokumen pendirian berikut:
“
….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari dahulu,
dari sebelum lahirnja Muhammadijah : ………
Oleh
karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam kalangan
Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis
Tardjih “[1]
Selain alasan tersebut, bila melihat waktu peresmiannya
yang 1 tahun setelah NU didirikan pada 1926, ada kemungkinan juga dilandasi
usaha untuk mengokohkan salah satu sebab berdirinya Muhammadiyah; purifikasi
Islam, yaitu usaha untuk memurnikan Islam dari segala praktek tahayyul, bid’ah,
dan khurafat, satu hal yang terstigmatisasi melekat, dan membudaya di kalangan
orang-orang NU.
Di awal-awal berdirinya, lembaga ini belum mempunyai
dasar- dasar teoretisnya. Beberapa usaha untuk menyusun dasar-dasar tersebut
baru tercatat pada 1950 dan 1986. Di antara penyusunnya adalah Buya HAMKA, K.H.
Farid Ma’ruf, Mr. Kasman Singodimedjo, serta Zain Jambek juga Ki Bagus Hadi
Kusumo. [2]
2.2 Metodologi
Ijtihad Majelis Tarjih
Pembicaraaan tentang metodologi ijtihad Tarjih dapat
dirangkum ke dalam 4 konsep dasar; Mabadi’ Khamsah, kemudian dijabarkan melalui
16 Pokok-Pokok Manhaj Tarjih, dan Metode Ijtihad Majlis Tarjih serta dilengkapi
Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam.
1. Mabadi
Khamsah Manhaj Tarjih
Mabadi Khamsah berarti 5 prinsip dasar. Kelima prinsip
ini adalah agama, dunia, ibadah, fi sabilillah, dan qiyas. Prinsip Agama bisa
diartikan agama yang diridlai oleh Allah SWT, yaitu Islam. Ia mencakup komitmen
untuk mematuhi segala perintah- Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta
petunjuk untuk kebaikan dunia dan akhirat.[3]
Ia juga mengandung prinsip taysir, yaitu mudah untuk dilaksanakan, bukan
takalluf, yaitu memberat-beratkan pelaksanaannya.
Prinsip Dunia mengajarkan untuk pandai memilah mana
perkara yang menjadi tugas para Rasul (baca: prinsip Agama) dan mana yang
pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Meski demikian, bukan
berarti ia mendikotomikan secara lepas antar keduanya. Namun lebih sebagai
usaha untuk memudahkan pemilahan mana yang menjadi wilayah ijtihad dan mana
yang tidak.[4] Ia
juga berarti taqarrub (mendekatkan diri), taat dan tunduk sambil merendahkan
diri di hadapan Allah SWT.
Fi Sabilillah terdiri dari 2 kata utama; sabil yang
artinya jalan dan kata Allah SWT itu sendiri. Sederhananya ia berarti jalan
Allah. Menurut Tarjih, ia lebih diartikan jalan yang menyampaikan perbuatan
seseorang kepada keridlaan Allah SWT, berupa segala amalan yang diizinkan Allah
SWT untuk memuliakan kalimat-Nya dan melaksanakan hukum-Nya.[5]
Dalam al-Quran kata ini tersebut beberapa kali diantaranya adalah sabilal
mujrimin (al-An’am 55), sabilal mu’minin (al-Nisa’ 114), sabilillah (al-Nahl
94).
Prinsip Qiyas diartikan Muhammadiyah sejak awal
mengambil sikap bahwa, pertama, dasar mutlak dalam berhukum adalah al-Quran dan
Sunnah. Kedua, jika menghadapi sesuatu yang baru, yang tidak ditemukan dalam
keduanya, maka digunakan jalan ijtihad dan istinbath dari nash-nash yang ada,
melalui persamaan sebab (illah). Metode ter- akhir inilah yang kemudian disebut
qiyas.
Meski demikian, tentu saja yang dimaksud qiyas di sini
adalah bukan dengan melihat dari arti sempitnya yang hanya berarti meng-
analogikan suatu permasalahan yang tidak ada hukumnya dengan permasalahan yang
ada hukumnya atas dasar persamaan illah, melainkan dilihat dari arti luasnya
yang berarti juga ijtihad atau pendayagunaan akal (ra’yu).
2. 16
Pokok-Pokok Manhaj Tarjih
Setelah Mabadi Khamsah terumuskan pada 1964, maka pada
1986 ketika Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo, diusahakan penjabarannya yang
pada akhirnya melahirkan 16 macam pokok-pokok Manhaj Tarjih. Secara ringkas 16
pokok tersebut adalah tentang prosedur dalam penetapan suatu hukum; al-Quran
dan Sunnah menjadi landasan pertama dan utama (raisiyyah), jika tidak ditemukan
di keduanya maka beralih ke qiyas. Proses ijtihad tersebut pun harus dilakukan
secara jama’i, serta tidak mengikatkan diri pada salah satu madzhab, meski
tetap menjadikannya sebagai salah satu pertimbangan hukum. Jika di kemudian
hari ada pendapat yang lebih kuat dari siapa pun, maka pendapat tersebut akan
diterima. Khusus untuk masalah aqidah, Tarjih menetapkan untuk hanya
menggunakan dalil-dalil yang mutlak benarnya (mutawatir).
3. Metode
Ijtihad Majlis Tarjih
Ada tiga prosedur baku dalam ijtihad menurut Tarjih,
yaitu, pertama, bayani. Ia dapat dikatakan sebagai usaha untuk menafsirkan
suatu ayat dzanni dengan ayat yang lain. Dalam kaidah ilmu tafsir, metode ini
juga disebut tafsir bi al-ma’tsur; menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang
lain. Kedua, qiyasi. Ia dimaksudkan sebagai usaha meng- analogikan suatu
masalah yang belum ada hukumnya kepada masalah yang sudah ada hukumnya karena
adanya persamaan illah. Ketiga, istishlahi. Metode ini bertumpu pada konsep
maslahah sebagai nafas dalam pensyariatan hukum apa pun dalam Islam. Ia
dilaksanakan untuk suatu perkara yang sama sekali tidak ada nash, baik qath’i
atau pun zhanni yang membahasnya, namun di dalamnya ada ruh kemaslahatan untuk
manusia. Metode yang disebut terakhir pada akhirnya dikembangkan oleh Tarjih ke
dalam 5 macam pertimbangan; istihsan, saddu al-dzari’ah, istishlah, al-urf, dan
ijthad kauniyyah.
Dalam perkembangannya, atas desakan beberapa tokoh
Muhammadiyah sendiri, metode ini dikembangkan lagi dengan maksud agar Tarjih
lebih berkonsentrasi dalam gerakan keilmuan gerakan keilmuan.[6]
Adapun metode yang dimaksud adalah bayani (teks), burhani (akal dan
kemaslahatan), dan irfani (intuisi).
Kedua metode memang tidak jauh beda. Dua metode
terakhir dari jenis metode yang pertama dilebur jadi satu menjadi burhani, dan
pada saat yang sama menambahnya dengan satu metode baru, yaitu irfani yang
berbasis pada kemampuan intuitif setiap individu dalam mendapatkan kebenaran.
Karena setiap individu mempunyai pengalam- an spiritual yang berbeda-beda, maka
kebenaran yang satu ini pun sifat- nya adalah inter-subyektif, artinya ia
memang berbeda di antara setiap individu. Namun keberadaannya, meski berbeda,
diakui semua orang.[7]
2.3 Sejarah
Pembentukan Lajnah Bahtsul Masail
Lajnah Bahtsul Masail (selanjutnya disebut Lajnah) ini
secara formal berdiri pada saat NU didirikan oleh KH. Hasyim Asya’ari tepat
pada 31 Januari 1926. Namun, secara substansi, kegiatan Bahtsul Masail sudah
dilaksanakan jauh sebelum NU berdiri. Kala itu, sudah berlaku tradisi diskusi
di kalangan Pesantren yang melibatkan Kiai dan santri di mana hasilnya dimuat
dalam bulletin Lailatul Ijtima Nahdlatul Ulama (LINO).
Dalam perkembangannya, buletin ini tidak hanya menjadi
media pemuat hasil diskusi tersebut, namun menjadi ajang diskusi interaktif di
antara ulama Pesantren yang sebagian besar terpisah dengan jarak dan waktu yang
jauh. Sekedar contoh adalah perdebatan antara KH. Mahfudz Salam Pati dengan KH.
Murtadlo Tuban tentang boleh tidaknya teks khutbah Jum’at diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Kiai Salam berpendapat boleh menerjemahkan
khutbah ke dalam bahasa bumi putera (baca: bahasa Indonesia) sedangkan Kiai
Murtadlo berpendapat sebaliknya; tidak membolehkan penerjemahan- nya ke dalam
bahasa apa pun kecuali mengatakannya dalam bahasa Arab.[8]
Dilihat
dari segi metode, forum Bahtsul Masail juga banyak mengadopsi metode pengkajian
Islam yang banyak dikembangkan di Haramain (baca: Makkah dan Madinah); talaqqi.
Yaitu seorang membacakan sebuah permasalahan lalu beberapa orang menanggapinya
lalu disusul pendapat lain dan begitu juga seterusnya hingga ditemukan sebuah
kesimpulan.
2.4 Metodologi
Istinbath Lajnah Bahtsul Masail
Beberapa konsep kunci dalam metodologi istinbath Lajnah
Bahtsul Masail di antaranya adalah sikap bermadzhab, konsep kutub mu’tabarah,
dan prosedur istinbath.
1. Sikap
Bermadzhab
Sedari awal Lajnah sudah mengikrarkan untuk bermadzhab
kepada satu dari keempat madzhab yang empat (al-madzahib al-arba’ah). Hal ini
berlandaskan pada cara pandang yang memahami bahwa dalam tradisi Islam,
transmisi keilmuan tidak boleh terputus. Untuk menjamin validitas keilmuan yang
dimiliki, mata rantai keilmuan (sanad) harus bersambung dan berhilir pada
Rasulullah SAW. Tujuan ini tidak akan tercapai dengan benar manakala
meninggalkan sikap bermadzhab. Adapun sikap bermadzhab ini mengacu pada satu
atau lebih dari keempat imam madzhab yang empat; Hanafi, Maliki, Syafi’I,
Hanbali.[9]
Hal ini juga dinyatakan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah fi taakkudi al-
akhdzi bimadzhabi al-arba’ah bahwa bermadzhab kepada salah satu dari empat imam
tersebut sangatlah bermanfaat Dan sebaliknya, tidak bermadzhab kepada mereka
berakibat sangat fatal. Selanjutnya, beliau juga menambahkan perintah Nabi SAW
untuk mengikuti golongan mayoritas dari umat Islam (al-sawad al-a’dzam).
Kenyataan menunjukkan, secara genealogis, KH. Hasyim
Asy’ari memang mewarisi paradigma berfikir keagamaan yang berasal dari ulama
Haramain pada abad pertengahan yang cenderung, sedikit atau banyak, masih
dipengaruhi oleh sikap taqlid dan fanatik terhadap madzhab (intisharu
al-madzahib). Sikap inilah yang diwarisi oleh Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan lain - lainnya untuk kemudian diturunkan
kepada KH. Hasyim Asy’ari dan akhirnya diturunkan lagi hingga sekarang
sebagaimana terlihat di NU.[10]
2. Konsep
Kutub Mu’tabarah
Adanya sikap bermadzhab seperti di atas berkonsekuensi
logis pada adanya konsep kutub mu’tabarah, yang berarti kitab-kitab yang
berhaluan pada madzhab yang empat. Berikut ditampilkan deskripsi singkat
tentang frekuensi penggunaan kitab-kitab tersebut oleh mayoritas masyarakat NU:[11]
Dari sekian
banyak kitab-kitab syafi’iyyah yang dijadikan rujukan, 5 pertama adalah I’anatu
al-Thalibin karya al-Bakri bin Muhammad Syata al-Dimyati, Bughyah
al-Mustarsyidin oleh Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba’alawi,
Hasyiyah al-Bajury ala Fathi al-Qarib tulisan Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah
al-Syarwani ala Tuhfah al-Muhtaj karya Abdul Hamid al-Syarwani, Tuhfah
al-Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami. Dari malikiyyah, 2 pertama adalah Syamsu
al-Isyaq karya Muhammad al-Maliki dan Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu
al-Muqtashid karya al-Walid Ibnu Rusyd.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa Lajnah tidak hanya
menerima kitab-kitab yang berhaluan
al-madzahib al-arba’ saja,
namun juga menerima kitab-kitab
selainnya. Hal ini terlihat pada madzhab umum yang dimaksudkan sebagai
rujukan-rujukan yang diketahui tidak berhaluan kepada al-madzhahib al-arba’ah.
Sebagai contoh adalah Subulu al-Salam yang berhaluan pada Syi’ah Zaidiyyah dan
al-fiqhu al-Islamy wa Adilltuhu karya Wahbah al-Zuhaili.
Pada akhirnya, definisi kutub mu’tabarah di atas kurang
memadai, karena dalam kenyataannya ada beberapa imam yang tidak berafiliasi
pada satu dari empat madzhab tersebut ternyata kitabnya dijadikan rujukan dalam
bahtsul masail. Selain itu, ada juga imam yang mengikrar- kan bermadzhab pada
salah satu imam empat tersebut, namun ternyata pendapat-pendapatnya tidak
sejalan dengan imam utamanya.
Hal ini pada akhirnya, ketika Muktamar NU di Bandang Lampung
pada 1992, membawa konsekuensi direvisinya definisi kutub mu’tabarah menjadi
semua kitab yang berhaluan pada ahlu al-sunnah wa al-jama’ah (aswaja). Meski
demikian, menurut Ahmad Zahro, batasan ini juga masih polemik karena istilah
aswaja itu sendiri masih diperselisihkan oleh para ulama.
2.5 Metode
Istinbath Lajnah Bahtsul Masail
Ada 3 prosedur baku dalam metode penetapan sebuah hukum
di Lajnah, yaitu, pertama, qauly yang berarti pendapat. Ia berarti sebuah cara
penetapan hukum dengan cara merujuk pada kutub mu’tabarah dari para imam
madzahib. Konsep ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa di hampir seluruh
keputusan yang dihasilkan Lajnah, pasti mencantumkan pendapat seorang imam
madzhab. Ahmad Zahro mencatat bahwa dari seluruh Keputusan Bahtsul Masail mulai
dari 1926 hingga 1999, tercatat hanya 4 kali Lajnah mencantumkan dalil dari
al-Quran langsung.[12]
Kedua, ilhaqy yang berarti analogi. Berbeda dengan
qiyas yang salah satu unsurnya al-ashl adalah dari al-Quran dan Sunnah, ilhaqy
didefinisikan proses analogis dengan al-ashl-nya adalah pendapat para imam
madzhab. Sebagai contoh adalah keputusan bahtsul masail yang dikeluarkan pada
Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927) mengenai bolehnya hukum jual beli
petasan. Hal ini berdasarkan analogi terhadap jual beli yang dibolehkan dalam
kitab I’anah al-Talibin juz III hal. 121- 122, al-Bajury hal. 652-654, al-Jamal
ala fathi al-Wahhab juz III hal. 24 atas dasar persamaan sebab, yaitu untuk
menggembirakan orang dan mendapatkan kebaikan.[13]
Ketiga, manhajy yang berarti metodologis. Ia menetapkan
hukum dengan mengambil illah berupa terwujudnya sebuah kemaslahatan pada hukum
tersebut. Pada awalnya metode ini banyak mendapat penentang- an, berkat
usaha-usaha tak kenal lelah seperti pengadaan Halaqah Denanyar dan diskusi-diskusi
yang diadakan di P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), akhirnya
keputusan penggunaan manhaj yang ketiga ini baru ditetapkan pada Munas Alim
Ulama di Bandar Lampung pada 1992.[14]
Selain itu, Lajnah juga menetapkan beberapa sikap ideal
dalam bermadzhab; tawassuth-i’tidal (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (adil
dan berimbang), amar ma’ruf nahi munkar (peka sosial).
Titik
persamaan tarjih dan bahsul masail. Beberapa sisi persamaan antara Tarjih dan
Lajnah adalah sebagai berikut:
1. Keduanya
Terafiliasi Sebagai Golongan Sunni, Bukan Syiah Baik Tarjih maupun Lajnah
sepakat memahami bahwa bentuk dan isi al-Quran yang ada sekarang ini sudah
final. Tidak kurang dan tidak lebih. Ia juga hanya mempunyai makna dzahir.
Artinya, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memahaminya dan
dianggap mampu jika memang sudah memahaminya.
Berbeda
dengan Syiah. Dalam beberapa bagian al-Quran, ada pengurangan dan penambahan.
Di antara yang dikurangi itu adalah surat- surat yang
berkaitan dengan al-Wilayah
yang di dalamnya
terdapat keterangan tentang kedudukan Ali bin Abi Thalib. Hal ini
berkonsekuensi pada penambahan lafadz adzan, yaitu setelah persaksian bahwa
Muhammad utusan Allah, ditambah juga persaksian bahwa Ali adalah wali Allah
SWT. Mereka juga memandang bahwa selain dzahir, al-Quran juga mengandung makna
batin. Dzahir hanya bisa dipahami manusia biasa, sedangkan makna batin hanya bisa
dipahami para imam mereka.
2. Persamaan
Metode Pengambilan Hukum Secara Substantif.
Meski terlihat beda, metode yang ditawarkan Tarjih dan
Lajnah adalah sama jika dilihat dari sisi substansinya. Perbedaan hanya
terletak pada redaksinya. Bayani (teks al-Quran dan Sunnah) menurut Tarjih
adalah qauly (teks pendapat para imam) bagi Lajnah. Qiyasi (analogi) dan
burhani bagi Tarjih adalah ilhaqi (analogi) menurut Lajnah. Sementara
istishlahy menurut Tarjih sama halnya dengan manhajy menurut Lajnah, di mana
keduanya berpijak pada terwujudnya kemaslahatan.
3. Persamaan
Genealogi Pemikiran dan Garis Keturunan
Pelacakan historis menunjukkan bahwa KH. Ahmad Dahlan
dan KH. Hasyim Asy’ari pernah menimba ilmu pada guru yang sama yaitu Kiai Hamid
Langitan, Kiai Saleh Darat Semarang,[15]
dan kelompok ulama Indonesia di Haramain di antaranya adalah Syekh Ahmad Khatib
Minangkabawi, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, dan Syekh Muhammad Mahfudz al-Tirmasyi.
Selain itu, patut dicatat juga bahwa relasi Kiai Ahmad
Dahlan tidak berhenti pada tataran tradisi keilmuan, namun juga pada skala
kultural. Beliau pernah menikah dengan Nyai Arum, adik Kiai Munawwir Krapyak
Yogyakarta. Sebagaimana jamak diketahui bahwa pondok Krapyak adalah salah satu
basis pesantren yang bisa diafiliasikan ke NU. Pelacakan lanjutan juga
menemukan bahwa garis keturunan Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari bertemu
di Maulana Ishaq. Berikut silsilah selengkapnya:
4. Sama-sama
Berbeda dalam Masalah Far’iyyah, Bukan Ushuliyyah.
Jelaslah bahwa baik Tarjih maupun Lajnah hanya berbeda
pada produk hukum yang masih tergolong far’iyyah, bukan ushuliyyah. Melafadzkan
niat ketika shalat, membaca qunut ketika shubuh, tarawih 20 rakaat, adzan
shubuh 2 kali, dan sederet lainnya adalah sekian contoh masalah far’iyyah.
Perbedaan ini tentu wajar mengingat cara pandang dan metode yang digunakan juga
berbeda. Konsistensi ini di satu sisi justru menunjukkan kejujuran intelektual.
Artinya, karena metode yang digunakan berbeda, maka hasilnya pun berbeda. Lebih
dari itu, Rasulullah SAW pun sudah menegaskan terjadinya perbedaan tersebut;
ikhtilafu ummati rahmah.
Alih-alih antara Muhammadiyah dan NU, di lingkungan
internal keduanya pun sering terjadi perbedaan. Di Muhammadiyah seakan ada
golongan tua yang berusaha konsisten terhadap manhaj awal, ada juga golongan
muda yang cenderung progresif-agresif yang mencoba menawarkan ide-ide baru
yang, kata mereka, lebih kontekstual Sama halnya di NU. Di antara pesantren dan
kegiatan-kegiatan bahtsul masail pun terjadi perbedaan pendapat.[16]
Hal-hal seperti ini setidaknya menuntun kita pada pemahaman bahwa rasanya tidak
mungkin manusia sedunia akan berada dalam satu jenis pemikiran. Allah SWT telah
mengaruniakan mereka kecenderungan yang berbeda-beda, kapasitas akal yang
berbeda-beda, dan takdir juga yang berbeda-beda. Maka perbedaan, terutama dalam
masalah khilafiyyah- far’iyyah adalah sebuah keniscayaan yang harus disikapi
dengan bijaksana.
Titik
Perbedaan Keduanya
Ada
sekurang-kurangnya 3 sisi perbedaan metodologis antara Tarjih dan Lajnah
sebagaimana berikut:
1.
Akar Pemikiran
Transmisi keilmuan Tarjih berhulu pada konsep purifikasi
Islam yang dibangun oleh Ahmad bin Hanbal. Masa Imam Ahmad ini lebih identik
sebagai gerakan antitesis terhadap taqlid berlebihan yang, oleh sebagian
cendekiawan, disinyalir sebagai salah satu faktor kemunduran Islam. Ide ini
diteruksan oleh al-Barbahari, dielaborasi oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu
al-Qoyyim, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad bin Abdul Wahhab
serta diterjemahkan oleh Haji Miskin dan KH. Ahmad Dahlan di bumi Indonesia.
Adapun Lajnah mewarisi tradisi keilmuannya dari ulama-ulama abad pertengahan
yang cenderung konservatif; ulama syafi’iyyah hingga Syeikh Ahmad bin Zaini
Dahlan yang diteruskan pengikutnya hingga Syeikh Nawawi al-Bantani, Syekh
Mahfudz al-Tirmasy dan diejawantahkan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
2.
Sikap Bermadzhab
Hal paling mencolok dan sekaligus mendasari sikap yang
lain adalah pandangan dalam bermadzhab. Tarjih sedari awal sudah menetap- kan
untuk tidak terikat pada satu dari sekian madzhab yang ada. Meski, semua
madzhab tersebut tetap digunakan pertimbangan dalam proses istinbath. Pendirian
ini terwujudkan pada kenyataan bahwa hampir semua keputusan yang dihasilkan
Tarjih yang terhimpun dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) selalu mencantumkan
sumber pengambilan dari al-Quran dan Sunnah.
Berbeda dengan NU yang justru juga sedari awal bersikap
sebaliknya; bermadzhab kepada satu atau lebih dari madzhab yang empat. Hampir
semua keputusan Lajnah juga merujuk pada fatwa para imam madzhab. Sikap ini,
sebagaimana dinyatakan KH. Muchith Muzadi[17]
adalah wajar. Mengingat di kehidupan yang serba modern ini, yang sudah
terlampau jauh dari zaman Rasulullah SAW, setiap orang pasti membutuhkan
panduan untuk melaksanakan detail-detail ajaran Islam dengan benar. Hampir
tidak mungkin bagi mereka untuk langsung mengambil dan menyimpulkan hukum dari
nash-nash primer yang ada. Jika tidak hati-hati, justru akan membahayakan Islam
dan diri sendiri.
3.
Perbedaan
Nomenklatur
Ada 3 istilah di mana Tarjih dan Lajnah saling berbeda
pandang- an, di antaranya adalah, pertama, ijtihad dan istinbath. Bagi Tarjih,
ijtihad lebih pada usaha mencari hukum dari kandungan nash yang kurang jelas
(dzanni) bahkan yang tidak ditunjukkan oleh nash sama sekali, baik oleh
al-Quran atau pun Sunnah. Adapun istinbath meliputi nash yang qath’iy dan
dzanni.[18]
Adapun bagi Lajnah, ijtihad melingkupi nash yang qath’iy dan dzanni. Ia memang
terbuka, namun lebih diposisikan dalam kerangka pemikiran madzhab. Karena
saking sulitnya, ia diyakini hanya layak bagi para mujtahidin terdahulu.
Kedua, taqlid yang berarti mengikat atau mengikut.[19]
Bagi Tarjih, taqlid adalah mengikuti seorang imam tanpa mau tahu dasar
pengambilan hukumnya, mengikuti dengan membabi buta. Bagi Lajnah, taqlid tidak
selalu diidentikkan dengan hal tersebut. Istilah ini meski memang mencakup
definisi taqlid menurut Tarjih, namun tidaklah dinamakan taqlid orang yang
memang terbatas pengetahuannya dan ia berusaha untuk selalu meningkatkan diri
menuju derajat ittiba’; yaitu golongan yang mengikuti imam madzhab tapi juga
mengerti dari mana mereka mengambil dasar istinbathnya. Bagi Bahtsul Masail,
derajat ijtihad, ittiba’, dan taqlid tidaklah bisa dilepaskan satu per satu.
Ketiganya adalah rangkaian dan tahapan yang berjalan berkesinambungan dalam
proporsi yang tepat.
Ketiga, qiyas. Tarjih berpendapat ushul-nya qiyas hanya
berupa dalil dari al-Quran dan Sunnah. Sementara bagi Lajnah, qiyas juga
melingkupi ilhaq; analogi dengan komponen ushul-nya berupa pendapat para imam
madzhab.
4.
Pandangan Terhadap
Tertutup-terbukanya Pintu Ijtihad
Sebagai konsekuensi logis terhadap sikap bermadzhab,
maka bagi Tarjih pintu ijtihad masih terbuka lebar. Siapa saja dan kapan saja
bisa menjadi mujtahid asalkan memenuhi syarat. Bagi Lajnah, pintu ijtihad
hampir tertutup (untuk tidak mengatakan tertutup sama sekali). Yang bisa dilakukan
sekarang hanyalah istinbath dengan segala macam derivasinya. Hal ini lantaran
sulitnya menemukan orang dengan kualifikasi seperti para mujtahidin terdahulu.[20]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapatlah kiranya ditarik benang
merah bahwa, pertama, metode istinbath Tarjih adalah metode langsung merujuk
pada al-Quran dan Sunnah, dengan mempertimbangkan pendapat para imam madzhab.
Adapun Lajnah lebih memilih melewati pendapat para imam tersebut dengan
pertimbangan jalinan mata rantai keilmuan (sanad).
Kedua, perbedaan pemahaman dan pemakaian beberapa
nomenklatur, di antaranya taqlid, ijtihad, dan qiyas. Ketiga adalah perbedaan
genealogi pemikiran. Transmisi keilmuan Tarjih berhulu pada konsep purifikasi
Islam yang dibangun oleh para ulama pembaharu seperti Ahmad bin Hanbal, Ibnu
Taimiyyah, Jamaluddin al-Afghani, dan juga Muhammad Abduh. Adapun transmisi
Lajnah lebih mengambil pada pendapat para ulama-ulama yang terafiliasi pada
ulama haramain yang cenderung konservatif; Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan,
Syeikh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Mahfudz al-Tirmasy.
Betapa pun berbeda, keduanya juga masih menyisakan
sekian persamaan, di antaranya terafiliasinya kepada sunni, substansi hukum
yang ditetapkan, kedekatan kultural dan garis keilmuan pendirinya, hingga pada
kenyataan bahwa yang dipertentangkan adalah per- masalahan far’iyyah, bukan
ushuliyyah. Dengan persamaan inilah, seyogya- nya tidak ada alasan bagi
keduanya untuk tidak saling menghormati, untuk saling mengancam, dan,
naudzubillah, untuk saling bertindak kasar, sejalan dengan misi Islam rahmatan
lil ‘alamin. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Suara
Muhammadiyah no. 6 / 1355 (1936 )
Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Cetakan III, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), p.
Prof.
Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, op.cit.,
Abdul Munir
Mulkhan, Masalah-masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Cetakan I, (Yogyakarta: SIPRESS, 2005), p.
Drs. Muhammad Azhar, MA., Renaissans
Kedua Pendidikan Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, Edisi 15, 2004.
Lajnah Ta’lif Wan Nasyr NU Jawa Timur, Ahkamu al-Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam-Keputusan Muktamar, Munas,
dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926- 2004), Cetakan
III, (Surabaya: Khalista,
2007)
Zamakhsyari Dhofier dalam Ahmad Zahro, op.cit.,
Buya Hamka, Pidato Hamka Saat Pengkuhuan Guru Besar Honoris Causa dari al- Azhar University Cairo pada 21 Januari 1958.
Ma’mun Murod Al-Barbasy Ed., op.cit. p. III – IV.
KH. Abdul Muchith Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama, Cetakan IV, (Surabaya: Khalista, 2006),
Prof. Asjmuni Abdurrahman, op.cit
[1] Suara
Muhammadiyah no. 6 / 1355 (1936 ) hal 145.
[2] Prof. Drs. H. Asjmuni
Abdurrahman, Manhaj
Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Cetakan
III, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), p. 11-12.
[3] Prof. Drs. H. Asjmuni, op.cit., p. 35.
[4] Prof. Drs. H.
Asjmuni Abdurrahman, op.cit., p. 56.
[5] Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, op.cit., p. 81
[6] Abdul Munir
Mulkhan, Masalah-masalah Teologi dan Fiqh dalam Tarjih Muhammadiyah, Cetakan I, (Yogyakarta: SIPRESS, 2005), p. 101.
[7] Drs. Muhammad Azhar, MA., Renaissans
Kedua Pendidikan Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, Edisi 15, 2004.
[8] Lajnah Ta’lif Wan Nasyr NU Jawa Timur, Ahkamu al-Fuqaha;
Solusi Problematika Aktual Hukum Islam-Keputusan Muktamar,
Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926- 2004), Cetakan
III, (Surabaya: Khalista,
2007), p. VII.
[9] Zamakhsyari Dhofier dalam Ahmad Zahro, op.cit., p. 116.
[10] Buya Hamka, Pidato Hamka Saat Pengkuhuan Guru Besar Honoris Causa dari al- Azhar University Cairo pada 21 Januari 1958.
[11] Ahmad Zahro, op.cit., p. 161.
[12] Ahmad Zahro, p. 158.
[13] Ibid.,
123-124.
[14] Ibid.,
[15] Ma’mun Murod Al-Barbasy Ed., op.cit.,
p. V
[16] Ma’mun Murod Al-Barbasy
Ed., op.cit. p. III
– IV.
[17] KH. Abdul Muchith
Muzadi, Mengenal
Nahdlatul Ulama, Cetakan
IV, (Surabaya: Khalista,
2006), p. 25.
[18] Prof. Asjmuni Abdurrahman, op.cit. p. 195.
[19] KH. Achmad Siddiq, op.cit., p. 54.
[20] Ahmad Zahro hal.117.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar