BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara umum, ilmu
ekonomi Islam didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk
memandang, meneliti dan akhirnya berupaya untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara Islami. Cara Islami berarti bahwa
cara-cara yang didasarkan atas al-Qur’an dan Sunnah. Perkembangan ekonomi Islam
juga tidak lepas dari pemikiran-pemikiran para cendekiawan muslim serta praktik
dari Rasulullah SAW. yang nantinya juga dijadikan sumber dalam melaksanakan
perekonomian Islam. Pemikiran-pemikiran ekonomi tersebut juga digunakan dalam
membuat atau menerapkan berbagai kebijakan ekonomi.
Setiap pemerintahan
dalam periode Islam memiliki kebijakan ekonomi tersendiri untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakatnya. Tidak terkecuali para pemikir ekonomi Islam yang
selalu memberikan pandangan-pandangan mereka terhadap perekonmian Islam. Di
antara pemikiran-pemikiran ekonomi itu akhirnya mewujudkan sebuah kebijakan
dalam pemerintahan. Dalam makalah ini akan diuraikan beberapa pemikiran yang
berbuah pada kebijakan ekonomi pada masa Khulafaurrasyidin.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi keempat khalifah (Khalafurrasyidin) ?
2.
Bagaimana
sistem ekonomi Khulafaurrasyidin ?
3.
Apa saja
kebijakan ekonomi yang dilakukan Khulafaurrasyidin ?
C.
Tujuan
1.
Memberikan
pengetahuan serta wawasan baru mengenai pemikiran ekonomi Khulafaurrasyidin.
2.
Membantu
pelajar mengerti dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran ekonomi
Khulafaurrasyidin.
3.
Untuk
bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Singkat Khulafaurrasyidin
1.
Abu
Bakar ash-Shiddiq 11-13 H (632 – 634 M )
Namanya Abdullah
ibnu Abi Qudhafah at Tamimi. Di masa jahiliyah, bernama Abdul Ka’bah, lalu
ditukar oleh Nabi menjadi Abdullah Kuniyahnya Abu Bakar. Beliau diberi kuniyah
Abu Bakar (pemagi) karena dari pagi-pagi betul beliau telah masuk Islam.
Gelarnya : Ash-Shiddiq (yang amat membenarkan). Beliau digelari ash-Shiddiq,
karena amat segera membenarkan Rasul dalam berbagai macam peristiwa, terutama
peristiwa Isra’Mi’raj.
Di masa jahiliah
Abu Bakar berniaga. Luas juga perniagaan beliau. Sesudah memeluk agama Islam
ditumpahakannya lah seluruh perhatiaanya untuk mengabdi dan menyiarkan agama
Islam. Tidak ada lagi perhatiannya kepada urusan perniagaan, hanya sekedar
untuk menutupi keperluan hidup dengan keluarganya[1].
Ibunya ( Ummul Khyr
Salma binti Syakhr Ibnu Amir ) pernah bernazar bahwa kalau Tuhan
menganugrahinya putra akan diberinya nama Abdul Ka’bah ( Hamba Ka’bah ) dengan
harapan akan memperoleh berkah dari Baytullah. Setelah menanti lama
lahirlah si buyung yang diharap–harapkannya. Dan karena merupakan putra pertama
yang hidup (lainnya mati), maka diberi pula nama samaran “ Abu Bakar” yang
berarti Bapak Si Upik.
Beliaulah lelaki
dewasa pertama yang memeluk Islam dan berhasil pula “menggarap” banyak orang
untuk masuk Islam, di antaranya Utsman bin Affan, Zubayr bin Awwam, Thalhah bin
Ubaidyllah, Ustman bin Maz’um, Bilal bin Rabbah, Abdur Rahman bin Auf, Abu
Ubaydah bin Al- Jarrah, Saad bin Abi waqqash, Arqam bin Abi Arqam, Abu Salmah
bin Assad, dll. Tapi ia “gagal” mengislamkan putranya sendiri, Abdul Ka’bah.
Malah anaknya (Abdurrahman) memihak kafir Quraisy di perang Badar[2]. Beliau wafat pada malam
Selasa 17 Jumadil Akhir 13 H, tepat 22 Agustus 634 dalam usia 63 tahun.
2.
Umar
bin Khattab 13-23 H (634-644 M)
Umar yang bergelar al-Faruq
(orang yang membedakan antara yang haq dan batil) seketurunan dengan Nabi
pada nenek generasi ketujuh. Beliau lebih muda 13 tahun dari Nabi (lahir 584 M,
tahun ke-40 sebelum hijrah). Ibunya yang bernama Hantamah binti Hisyam
Al-Makhzumy bin Mughirah bin Abdillah, adalah saudara perempuan Abu Jahal. Dan
Ayahnya bernama Nufail al Quraisy, dari suku Bani Adi. Sebelum Islam, suku Bani
Adi ini terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah, dan berkedudukan
tinggi.[3]
Umar terpilih
sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar mangkat pada tahun 13 H (634 M) dan
memerintah selama 10 tahun 6 bulan 4 hari. Watak ekras dan sifatya yang berani
dan adil tercermin dalam suatu hadits, “Demi Allah yang menggenggam nyawaku.
Kalau ada setan yang berpapasan dengan Umar di jalan, niscaya si setan akan
membelok mencari gang kecil.”
Keponakan Abu Jahal
ini ditikan pedang beracun sebanyak tiga kali pada saat mengimami shalat subuh
di masjid Nabawi, pada 26 Dzulhijjah 23 H (634 M) oleh Fairus alias Abu Lu’lu’
(budak Mughirah bin Syu’bah yang beragama Majusi dan berasal dari Nahrawan,
Persia. Kabarnya, ia berkomplot dengan orang-orang anti-Islam sebangsa
Hurmuzan, Jufainal Al-Anbary dan Ka’a Al-Ahbar. Si Lu’lu’ sendiri diketahui
kemudia bunuh diri. Jasad khalifah lanta digeletakkan begitu saja hingga usai
shalat (yang diambil alih imamnya oleh Abdurrahman bin Auf). Beliau baru
menghembuskan napas terakhirnya beberapa hari kemudian dalam usia 63 tahun,
pada hari Ahad awal Muharram tahun 23 H (634 M) setelah menyampaikan wasiat
tentang estafet kekhalifahan dengan mengajukan 6 calon khalifah berikutnya.[4]
3.
Utsman
Ibnu ‘Affan 23-35 H (644-656 M)
Beliau ialah Utsman
ibnu ‘Affan ibnu Abil Ash ibnu Umaiyah. Dilahirkan diwaktu Rasulullah berusia
lima tahun dan masuk Islam atas seruan
Abu Bakar Ash-Shiddiq. Utsman, yang biasa dipanggil Abu Abdullah, AbuUmar atau
Abu Amer, seketurunan Nabi pada nenek generasi ketiga Abdu Manaf. Lahir di
Thalif 576 M atau tahun 47 sebelum hijrah. Ibunya bernama Arwa’ah binti Kuriz
bin Rabi’ah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Sedangkan neneknya bernama Al
Baydha’ adalah putri Abdul Muthalib. Beliau dikenal sebagai saudagar yang kaya
tetapi dermawan.[5]
Sebelum agama Islam datang dan sesudahnya juga, beliau terhitung saaudagar
besar dan kaya dan sangat menafkahkan kekayaannya untuk kepentingan agama Islam[6].
Beliau terpilih
sebagai khalifah ketiga pada usia 70 tahun pada akhir Dzulhijjah 23 H (644 M)
dan diresmikan pada Muharram 24 H. Kekhalifahannya yang berlangsung selama 12
tahun cukup memberi banya warna perubahan dan perluasan wilayah Islam. Seperti
berhasil menyusun dan menyempurnakan mushaf al-Qur’an yang dikenal dengan nama mushaf
Utsmani. Dan membangun kantor pengadilan. Di samping prestasi tersebut,
ternyata terdapat pula satu titik lemah yang antara lain berpangkal dari sifat
lemah lembut dan pemaaf beliau, selain dari usianya yang memang kian menua.
Dan sekaligus hal
itu sedikit banyak yang membuatnya banyak diguncang orang-orang yang
mengitarinya. Isu, bahkan fitnah pun menerjangnya yang konon disponsori dan
diapi-apikan oleh Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi yang memeluk Islam) dengan
berbagai cara termasuk isu nepotisme dan kemudian berujung pada pembunuhan
terhadap diri beliau, yang dilakukan oleh seorang pemberontak ekstrem dari
Mesir bernama Humran bin Su’dan pada hari Jumat 18 (atau 22) Dzulhijjah 35
tepat 20 Mei 656 M dalam usia 82 tahun saat ia sedang berpuasa dan membaca
al-Qur’an hingga kitab suci itu turut tergenangi darah.
4.
Ali
bin Abi Thalib 35-40 H (656-661 M)
Beliau semula
diberi nama Haydar (Al Haydar) oleh ibunya. Tapi oleh ayahnya diganti dengan
Ali. Nabi juga menghadiahi gelar Abu Turab (si Bapak debu-tanah) karena
pernah dijumpai sedang tidur di atas tanah. Nama lengkapnya adalah Abu Hasan
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib Al-Hasyimi Al-Quraisy, dan ibunya bernama
Fatimah binti Azad bin Hasyim bin Abdu Manaf. Lahir pada tahun 600 M, tahun 23
sebelum hijrah dan masuk Islam dan masuk Islam sebaga Muslim pertama di usia
8-10 tahun. Menginjak usia 25 tahun, beliau lalu dinikahkan dengan Fatimah
putri Rasul.
Beliau sangat
disegani karena kepiawaiannya dalam banyak macam ilmu pengetahuan, terutama
soal hukum sehingga dialah yang dianggap paling terpelajar di antara semua
sahabat Nabi. Beliau juga seorang jago pedang yang hadir di semua perang yang
diikuit Rasulullah SAW., kecuali Perang Tabuk di mana beliau diserahi tugas
sebagai wakil utama baginda di Madinah. Setelah wafatnya Khalifah Utsman,
beliaulah yang terpilih menjadi khalifah yang keempat. Khalifah Ali
menghembuskan napas terakhirnya pada 19 Ramadhan 40 H (25 Januari 661 M) dalam
usia 63 tahun. Setelah dua haru sebelumnya ditusuk dengan pedang beracun oleh
Abdurrahman bin Muljam, seorang ekstermis Khawarij di saat beliau mengimami shalat
subuh di Masjid Kufah.[7]
B.
Pemikiran
Ekonomi dan Kebijakan-kebijakan yang Diterapkan pada Masa Khulafaurrasyidin
Setelah Rasulullah SAW. wafat, kepemimpinannya
digantikan oleh para sahabat dekatnya yang dikenal dengan sebutan
“Khulafaurrasyidin”. Khulafaurrasyidin memegang peranan sebagai kepala negara
atau khalifah yang melakukan segala aktifitas kenegaraan. Mulai dari sosial,
politik hingga ekonomi. Beberapa pemikiran ekonomi melahirkan
kebijakan-kebijakan ekonomi demi terselenggaranya perekonomian yang memegang
teguh nilai-nilai Islam. Di bawah ini merupakan bentuk-bentuk pemikiran serta
kebijakan ekonomi yang dibuat oleh setiap khalifah yang termasuk dalam
Khulafaurrasyidin:
1. Perekonomian Masa Abu Bakar ash-Shiddiq
(632-634 M)
Setelah Rasulullah SAW. wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq terpilih
menjadi Khalifah Islam yang pertama. Ia merupakan pemimpin agama sekaligus
kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama
dua tahun, Abu Bakar ash-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang
berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan
hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi
kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai Perang Riddah (Perang
mealawan kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu
Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi
dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal
sebelum usaha ini selesai dilakukan.
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat Islam, Khalifah Abu
Bakar ash-Shiddiq melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi yang telah
dipraktikkan Rasulullah SAW. Ia sangat memerhatikan keakuratan penghitungan
zakat, sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayarannya. Pada
kesempatan lain, Abu Bakar ash-Shiddiq menginstruksikan pada amil yang sama,
"Kekayaan dari orang yang berbeda tidak dapat digabung, atau kekayaan yang
telah digabung tidak dapat dipisahkan.”[8] Beliau membangun lagi Baitul
Mal dan meneruskan sistem pendistribusian harta untuk rakyat sebagaimana
pada masa Rasulullah SAW.[9] Hasil pengumpulan zakat
tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Mal
untuk langsung didistribusikan seluruhnya hingga tidak ada yang tersisa.
Dalam berinvestasi, Abu Bakar ash-Shiddiq juga melaksanakan
kebijakan pembagian tanah hasil taklukan seperti halnya Rasulullah SAW.
Sebagian diberikan kepada kaum Muslimin dan sebagian yang lain tetap menjadi
tanggungan negara. Di samping itu, ia juga mengambil alih tanah-tanah
orang-orang yang murtad untuk kemudian dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam
secara keseluruhan.
Dalam pendistribusian harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar
ash-Shiddiq menerapkan prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama
kepada semua sahabat Rasulullah SAW. dan tidak membeda-bedakan antara sahabat
yang terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat yang kemudian, antara hamba
dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita. Menurutnya, dalam hal keutamaan
beriman, Allah SWT. yang akan memberikan ganjarannya, sedangkan dalam masalah
kebutuhan hidup, prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan.
Selanjutnya, terdapat pula langkah yang dilakukan
Abu Bakar ash-Shiddiq dalam menyempurnakan ekonomi Islam[10]:
a.
Perhatian terhadap keakuratan perhitungan zakat, seperti yang dikatakan
Anas (seorang amil) bahwa: jika seseorang yang harus membayar unta betina
berumur satu tahun sedangkan dia tidak memilikinya dan ia menawarkan untuk
memberikan seekor unta betina berumur dua tahun, hal tersebut dapat diterima.
Kolektor zakat akan mengembalikan 20 dirham atau dua ekor kambing padanya
(sebagai kelebihan pembayaran). Dalam kesempatan lain Abu Bakar juga
menginstruksikan kepada amil yang sama, kekayaan dari orang yang berbeda tidak
dapat digabung atau kekayaan yang telah digabung tidak bisa dipisahkan
(dikhawatirkan akan kelebihan pembayaran atau kekurangan penerimaan zakat).
b.
Pengembangan pembangunan Baitul Mal dan penanggung jawab Baitul Mal (Abu Ubaida).
c.
Menerapkan konsep balance budget policy pada Baitul Mal.
d.
Melakukan penegakan hukum terhadap pihak yang tidak mau mambayar zakat dan
pajak.
e.
Secara individu, Abu Bakar adalah seorang praktisi akad-akad perdagangan.
2. Perekonomian Masa Umar ibn Al-Khattab (634-644
M)
Berdasarkan hasil musyawarah dengan para pemuka tentang pengganti
Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau menunjuk Umar ibn Al-Khattab sebagai Khalifah
Islam kedua. Keputusan itu diterima dengan baik oleh kaum Muslimin. Setelah
diangkat sebagai khalifah, Umar ibn Al-Khattab memperkenalkan istilah Amir
al-Mu’minin (Komandan Orang-orang yang Beriman). Pada masa pemerintahannya
yang berlangsung selama sepuluh tahun, ia dipandang paling banyak melakukan
inovasi dalam perekonomian.
Dapat dikatakan pemerintahan Umar merupakan abad keemasan dalam
sejarah Islam. Dalam aspek ekonomi yang dikembangkan berdasarkan kepada
keadilan dan kebersamaan dan disinilah letak ketinggian ajaran Islam. Sistem
tersebut didasarkan pada prinsip pengambilan sebagian kekayaan orang-orang kaya
untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Faktor-faktor produksi yang dimiliki
tidak berada dalam kekuasaan individu. Semua faktor produksi, tanah, tenaga
kerja, modal dan organisasi berada pada komunitas. Kontribusi yang diberikan Umar untuk mengembangkan
ekonomi Islam antara lain[11]:
a.
Reorganisasi Baitul Mal, dengan mendirikan Diwan Islam yang pertama yang
disebut dengan al-Divan (sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar
tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiunan serta tunjangan-tunjangan
lain.
b.
Pemerintah bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan
pakaian kepada warga negaranya.
c.
Diversifikasi terhadap objek zakat (zakat terhadap karet di Semenanjung
Yaman), tarif zakat (misalnya mengenakan dasar advalorem, satu untuk 40
dirham).
d.
Pengembangan ushr (pajak) pertanian (misalnya pembebanan
sepersepuluh hasil pertanian).
e.
Undang-undang perubahan kepemilikan tanah (land reform).
f.
Pengelompokan pendapatan negara dalam 4 bagian:
Sumber Pendapatan |
Pengeluaran |
Zakat
dan Ushr |
Pendistribusian
untuk lokal jika berlebihan disimpan |
Khums Shadaqah |
Fakir
miskin dan kesejahteraan |
Kharaj, Fay, Jizyah, Ushr, Sewa Tetap |
Dana
pensiun, Dana pinjaman (allowance) |
Pendapatan
dari semua sumber |
Pekerja,
pemelihara anak terlantar dan dana sosial |
Penjelasan beberapa tindakan yang dilakukan oleh Umar ibn Al-Khattab antara lain
sebagai berikut:
a.
Pendirian
lembaga Baitul Mal
Setelah wilayah
kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar semakin meluas, pendapatan negara
mengalami peningkatan yang signifikan. Sehingga memerlukan perhatian khusus
untuk mengelolanya. Dia memfungsikan Baitul Mal menjadi lembaga yang reguler
dan permanen. Dan dilengkapi dengan sistem administrasi yang tertata baik dan
rapi. Khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusika harta Baitul Mal,
tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji
para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya. Sebagai tindak lanjutnya,
pada tahun yang sama dibangunlah lembaga Baitul Mal pertama kali didirikan
dengan Madinah sebagai pusatnya. Hal ini kemudian diikuti dengan pendirian
cabang-cabangnya di ibukota provinsi.
Secara tidak
langsung, Baitul Mal berfungsi sebagai pelaksanaan kebijakan fiskal negara
Islam dan Khalifah merupakan pihak yang berkuasa penuh terhadap harta Baitul
Mal. Namun demikian, Khalifah tidak diperbolehkan menggunakan harta Baitul Mal
untuk kepentingan pribadi. Dalam hal pendistribusian harta Baitul Mal,
sekalipun berada dalam kendali dan tanggung jawabnya, para pejabat Baitul Mal
tidak mempunyai wewenang dalam membuat keputusan terhadap harta Baitul Mal yang
berupa zakat dan ushr. Harta Baitul Mal dianggap sebagai harta kaum
Muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang
amanah.[12]
Khalifah Umar
juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam
mengelola harta Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab
terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai
otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung
kepada pemerintah pusat. Untuk mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar
ibn Al-Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:
departemen pelayanan militer, departemen kehakiman dan eksekutif, departemen
pendidikan dan pengembangan Islam dan departemen jaminan sosial.
Khalifah Umar ibn
Al-Khattab menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul
Mal. Ia berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus
diperhitungkan dalam menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan
karenanya, keadilan menghendaki usaha seseorang serta tenaga yang telah
dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan
sebaik-baiknya. Kebijakan Khalifah ini mengundang reaksi dari salah seorang sahabat yang
bernama Hakiam bin Hizam. Menurutnya, dalam hal ini tindakan Umar akan memicu lahirnya sifat malas di
kalangan para pedagang yang berakibat fatal bagi kelangsungan hidup mereka
sendiri jika suatu saat pemerintah menghentikan kebijakan tersebut.
Kaum Muslimin dan
para sejarawan meyakini bahwa pada dasarnya, kebijakan Khalifah Umar tersebut
semata-mata hanya untuk menghormati orang-orang yang telah gigih berjuang
membela dan menegakkan agama Islam di masa-masa awal kehadirannya. Khalifah
sendiri sangat tidak menginginkan terbentuknya suatu kelompok prejudices dalam
suatu masyarakat ataupun membuat bangsa Arab malas dan tergantung. Hal ini
setidaknya tercermin dari rasa penyesalannya di kemudian hari. Beliau menyadari
bahwa cara tersebut keliru karena membawa dampak negatif terhadap strata sosial
dan kehidupam masyarakat.
b.
Kepemilikan
tanah
Selama
pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan
banyaknya daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun
secara damai. Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah
hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan
sementara sebagian kaum Muslimin menolak pendapat tersebut.
Salah seorang di
antara mereka yang menolak adalah Muadz bin Jabal mengatakan, “Apabila engkau
membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan. Bagian yang
bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan
keseluruhan akan menjadi milik seorang saja. Ketika generasi selanjutnya datang
dan mereka mempertahankan Islam dengan sangat berani namun mereka tidak akan
menemukan apa pun yang tersisa. Oleh karena itu, carilah rencana yang baik dan
tepat untuk mereka yang datang pertama dan yang akan datang kemudian.”[13]
Setelah mendengar
saran tersebut dan melalui debat yang panjang, akhirnya Umar memutuskan untuk
memperlakukan tanah-tanah tersebut sebagai fai. Dalam memperlakukan
tanah-tanah taklukannya, Khalifah Umar tidak membagi-bagikannya kepada kaum
Muslimin, tetapi membiarkan tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan
syarat membayar kharaj dan jizyah. Ia beralasan bahwa penaklukan
yang dilakukan pada masa pemerintahannya meliputi tanah yang demikian luas
sehingga bila dibagi-bagikan dikhawatirkan akan mengarah kepada praktik tuan
tanah. Di samping itu, ia menghadiahkan tanah pertanian kepada masyarakat yang
bersedia menggarapnya. Namun, siapa saja yang gagal mengelolanya selama 3 tahun
maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut.[14]
c.
Zakat
Di antara
beberapa barang, Abu Bakar membebani zakat terhadap war, sejenis rumput
herbal yang digunakan untuk membuat bedak dan parfum. Sementara itu, Umar
mengenakan khums zakat atas karet yang ditemukan di Semenanjung Yaman, antara
Aden dan Mukha, dan hasil laut karena barang-barang tersebut sebagai hadiah
dari Allah.
d.
Ushr
Ushr adalah bea impor yang dikenakan
kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku
bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.[15] Pada masa Umar, hukum
perdagangan mengalami penyempurnaan guna menciptakan perekonomian secara sehat.
Umar mengurangi beban pajak terhadap beberapa barang, pajak perdagangan nabati
dan kurma Syiria sebesar 50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan bahan
makanan ke kota-kota. Pada saat yang sama, juga dibangun pasar-pasar, termasuk
di daerah pedalaman seperti di Ubulla, Yaman, Damaskus, Makkah dan Bahrain.
Pekan-pekan dagang berkedudukan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian. Beberapa pekan dagang yang menonjol adalah pekan dagang ‘Ukaz
yang berada di Hijaz yang berdekatan dengan Sukar, dan yang lainnya. ‘Ukaz
adalah sebuah Oasis di antara Ta’if dan Nukhlah. Pekan dagang itu berlangsung
pada 1-20 Dzulkaidah.[16] Pos pengumpulan ushr terletak
di berbagai tempat yang berbeda-beda, termasuk di ibukota. Menurut Saib bin
Yazid, pengumpul ushr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaetean yang
berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetapi
setelah beberapa waktu Umar menurunkan presentasenya menjadi 5% untuk minyak
dan gandum untuk mendorong impor barang-barang tersebut di kota.
e.
Alokasi
pendapatan negara
Sebelum masa
pemerintahan Abu Bakar, kebijakan pemerintah terhadap pendapatan negara adalah dengan
mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Kebijakan ini mengalami
perubahan pada masa Umar. Pendapatan negara dikumpulkan dan dijadikan cadangan
untuk selanjutnya digunakan untuk berbagai kegiatan pengeluaran dari Baitul
Mal. Seperti membagikannya kepada fakir miskin atau untuk membiayai
kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan,
membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dana sosial dan
digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi
biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
Angkatan
bersenjata juga dipersenjatai dengan pelindung, pedang dan tombak, anak panah,
dan busur panah. Khalifah Umar juga membangun markas–markas militer di Bashra,
Kufah, Fastal, Qairawan, dan lain-lain. pengeluaran untuk hal-hal ini termasuk
bagian dari pengeluaran pertahanan negara. Ia juga membangun sistem
administrasi pemerintahan Islam dan membagi daerah-daerah taklukan ke dalam satu
organisasi pemerintahan yang tertata rapi, sehingga memungkinkan para wakilnya
di daerah mengembangkan berbagai sumber daya di wilayahnya masing-masing.
Khalifah Umar menetapkan perbaikan ekonomi di bidang
pertanian dan perdagangan sebagai prioritas utama. Saluran irigasi terbentang
hingga di daerah-daerah taklukan dan sebuah departemen besar didirikan untuk
membangun waduk-waduk, tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air serbaguna
demi kelancaran dan distribusi air. Menurut Maqrizi, di Mesir saja ada sekitar
120.000 buruh yang bekerja setiap hari sepanjang tahun. Mereka digaji dari
harta kekayaan umat. Juza bin Muawiyah dengan seizin Umar, banyak membangun
kanal-kanal di distrik Khuziztan dan Ahwaz, yang memungkinkan pembukaan dan
pengolahan banyak sekali ladang pertanian.[17]
Selain itu,
Khalifah Umar memperkenalkan sistem jaga malam dan patroli serta mendirikan dan
mensubsidi sekolah-sekolah dan masjid-masjid di seluruh wilayah negara. Ia juga
menjamin orang-orang yang melakukan ibadah haji dan para pengembara dapat
menikmati fasilitas air dan tempat peristirahatan di sepanjang jalan antara
Makkah dan Madinah, di samping membangun depot makanan dan gudang tempat
penyimpanan makanan persediaan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Dalam
perkembangan selanjutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia
menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar
kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.
3. Perekonomian Masa Utsman bin Affan (644-656
M)
Sebelum Khalifah Umar wafat, ia membentuk tim yang etrdiri dari enam
orang untuk memilih seorang di antara mereka sebagai penggantinya. Keenam orang
itu adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibn al-Awwam,
Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Setelah Umar wafat, tim tersebut
bermusyarah dan berhasil menunjuk Utsman ibn Affan sebagai Khalifah Islam
ketiga. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah
Utsman berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes,
bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan.
Pada awal pemerintahan, Utsman mencoba melanjutkan
dan mengembangkan kebijaksanaan yang dijalankan khalifah Umar. Antara lain
dengan melakukan hal-hal sebagai berikut[18]:
a.
Pembangunan pengairan.
b.
Pembentukan organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan perdagangan.
c.
Pembangunan gedung pengadilan, guna penegakan hukum.
d.
Kebijakan pembagian lahan luas milik raja Persia kepada individu dan
hasilnya mengalami peningkatan bila dibandingkan pada masa Umar dari 9 juta
menjadi 50 juta dirham.
Pemasukan negara dari zakat, jizyah, dan juga
rampasan perang semakin besar. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh,
Kabul, Ghazni Kerman, dan Sistan ditaklukkan. Untuk menata pendapatan baru,
kebijakan Umar diikuti. Tidak lama, Islam mengakui empat kontrak dagang setelah
negara-negara tersebut ditaklukkan kemudian tindakan efektif diterapkan dalam
rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun,
pohon-pohon, buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara
pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Khalifah Utsman tetap mempertahankan sistem pemberian bantuan dan
santunan serta memberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang
berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan dalam memenuhi kebutuhan
pokok masyarakat, ia memberikan bantuan yang berbeda pada tingkat yang lebih
tinggi. Dalam pengelolaan zakat, khalifah Utsman mendelegasikan kewenangan
menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini
dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam
pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh oknum pengumpul zakat.
Dengan harapan dapat memberikan tambahan pemasukan bagi Baitul Mal,
Khalifah Utsman menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah negara kepada
individu-individu untuk tujuan reklamasi. Dari hasil kebijakannya, negara
mempeolrh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham jika
dibandingkan pada masa Umar bin Khattab yang tidak membagi-bagikan tanah
tersebut. Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman bin Affan, tidak
terdapat perubahan sistem ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan
Khalifah Utsman yang banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih
kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya, pada
masa ini pemerintahannya lebih banyak diwarnai oleh kekacauan politik yang
berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah.[19]
4. Perekonomian Masa ‘Ali bin Abi Thalib (656-661
M)
Setelah diangkat menjadi Khalifah Islam yang keempat oleh segenap
kaum Muslimin, ‘Ali bin Abi Thalib langsung mengambil beberapa tindakan,
seperti memberhentikan para pejabat yang korup, membuka kembali lahan
perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang kesayangan Utsman, dan
mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
Umar bin Khattab. Masa pemerintahan yang hanya berlangsung selama enam tahun
selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Sekalipun demikian,
Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai
kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Sebagai khalifah yang keempat, Ali terkenal sangat sederhana.
Mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi
konflik dari khalifah sebelumnya, Ali harus mengelola perekonomian secara
hati-hati. Ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan
Baitul Mal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5.000 dirham setiap
tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Meski termasuk ahlul
bait (keluarga Nabi), beliau selalu bekerja mandiri, tidak meminta
fasilitas dari Rasulullah SAW. Beliau selalu bekerja keras untuk
perekonomiannya, bahkan sebelum menjadi khalifah ia bekerja sebagai buruh orang
Yahudi. Hal ini mencontohkan beliau seorang wirausahawan mandiri yang tidak
tergantung fasilitas pejabat dan jabatan.[20] Dan pada masanya juga pernah dicetak mata uang
dengan ciri khusus. Namun peredarannya sangat terbatas karena keadaan politik
saat itu.[21]
Ketika Umar masih menjadi Khalifah, ia memutuskan
untuk tidak mendistribusikan seluruh pendapatan Baitul Mal, tetapi menyimpannya
sebagai cadangan. Ali menolak seluruh hasil pertemuan
itu dengan berpendirian bahwa seluruh pendapatan Baitul Mal harus
didistribusikan seluruhnya tanpa menyisakan sedikit pun sebagai cadangan.[22] Oleh karena itu, setelah
ia diangkat menjadi Khalifah, Ali mendistribusikan seluruh pendapatan yang ada
di Baitul Mal. Pada masa pemerintahannya, prinsip utama dari pemerataan
distribusi uanag telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali
untuk pertama kalinya diadopsi.
Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, alokasi pengeluaran kurang
lebih masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa Khalifah Umar. Dengan
adanya penjagaan malam dan patroli yang telah terbentuk sejak masa pemerintahan
Umar bin Khattab, Ali membentuk polisi yang terorganisasi secara resmi yang
disebut dengan syurthah dan pemimpinnya diberi gelar Shahibus
Syurthah. Fungsi lainnya dari Baitul Mal masih tetap sama dan tidak ada
perkembangan aktifitas yang berarti pada masa ini.
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan,
administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini
dijelaskan dalam suratnya yang terkenal
yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Suratnya berisi pendeskripsian
tugas, kewajiban, serta tanggung jawab para penguasa dan pejabat tinggi serta
staf-stafnya. Bagaimana berhubungan dengn masyarakat sipil, lembaga peradilan
dan angkatan perang. Ali menekankan Malik agar lebih memerhatikan kesejahteraan
para prajurit dan keluarganya. Dalam syarat tersebut, juga terdapat instruksi
untuk melawan korupsi dan penindasan, mengontrol pasar, dan memberantas para
tukang catut laba, penimbun barang dan memberantas pasar gelap. Beberapa perubahan kebijaksanaan yang dilakukan pada masa khalifah Ali
antara lain:
1.
Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada Baitul Mal berbeda dengan
Umar yang menyisihkan untuk cadangan.
2.
Pengeluaran angkatan laut dihilangkan.
3.
Adanya kebijakan pengetahuan anggaran. [23]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Perekonomian pada masa Khulafaurrasyidin pada prinsipnya mengikuti
ajaran yang diterapkan oleh Rasulullah SAW. dalam mengatur roda perekonomian
selama masih menjadi pemimpin umat. Hanya saja dalam beberapa hal mengalami
perubahan dan pembaharuan maupun pembuatan kebijakan baru karena keadaan dan
kondisi yang telah berubah pada setiap masa pemerintahan. Di samping itu,
perbedaan pendapat dan pemikiran dalam suatu hal juga dapat mendukung perbedaan
kebijakan yang dilakukan para pemimpin umat setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Seluruh kebijakan yang dibuat itu pada akhirnya bertujuan demi
kesejahteraan umat Islam dalam pemerintahan Islam. Di antaranya:
pendistribusian seluruh harta dari Baitul Mal untuk masyarakat Islam pada masa
Abu Bakar sehingga tidak ada yang tersisa sepeser pun. Namun, pada masa Umar
bin Khattab, terjadi pemusatan pendapatan negara di Baitul Mal dan
penditribusian dilakukan secara bertahap dan terdapat spesifikasi tersendiri
terhadapnya. Pada masa Utsman bin Affan terjadi pembagian tanah agar diolah
oleh masyarakat sehingga terjadi peningkatan pendapatan yang melonjak drastis
daripada pemerintahan khalifah sebelumnya. Dan pada masa Ali, administrasi umum
terkonsep dengan begitu matang dan tegas.
Daftar
Pustaka
A.Syalabi. Sejarah
dan Kebudayaan Islam. 1983. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Arsyad, Natsir. Seputar
Sejarah dan Muamalah. 1993. Bandung : Al-Bayyan
Hakim, Lukman. Prinsip-prinsip
Ekonomi Islam. 2012. Jakarta: Erlangga
Muhammad. Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam. 2002.
Jakarta: Salemba Empat
Nasution, Mustafa Edwin. Pengenalan Eksklusif
Ekonomi Islam. 2007. Jakarta: Kencana
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII-Yogyakarta. Ekonomi
Islam. 2008. Jakarta: RajaGrafindo
[1]
A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam ( Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1983) hal 226
[2]
Natsir Arsyad, Seputar Sejarah dan Muamalah ( Bandung : Al-Bayyan, 1993) hal 75-76
[3]
A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal 236
[4]
Natsir Arsyad, Seputar Sejarah dan Muamalah, hal. 75-80
[5] Ibid,
hal. 80
[6]
A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal 266
[7]
Natsir Arsyad, Seputar Sejarah dan Muamalah, hal. 83-86
[8]
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, (Jakarta:
Salemba Empat, 2002) hal. 187
[9] Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII-Yogyakarta, Ekonomi
Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 2008) hal. 101
[10] Mustafa
Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,
2007) hal. 233-234
[11] Ibid.,
hal. 234
[12]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta:
RajaGarfindo, 2006) hal. 61
[13]
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, (Jakarta:
Salemba Empat, 2002) hal. 189
[14] Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII-Yogyakarta, Ekonomi Islam,
(Jakarta: RajaGrafindo, 2008) hal. 102
[15] Mustafa
Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,
2007) hal. 229
[16] Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII-Yogyakarta, Ekonomi
Islam, hal. 102
[17]
Ibid., hal. 103
[18] Mustafa
Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,
2007) hal. 235
[19]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta:
RajaGarfindo, 2006) hal. 81
[20] Lukman
Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2012) hal. 33
[21] Mustafa
Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,
2007) hal. 246
[22]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta:
RajaGarfindo, 2006) hal. 83
[23] Mustafa
Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,
2007) hal. 236
Tidak ada komentar:
Posting Komentar