Rabu, 20 Oktober 2021

MAKALAH PEMIKIRAN EKONOMI KHULAFAURRASYIDIN

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Secara umum, ilmu ekonomi Islam didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meneliti dan akhirnya berupaya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara Islami. Cara Islami berarti bahwa cara-cara yang didasarkan atas al-Qur’an dan Sunnah. Perkembangan ekonomi Islam juga tidak lepas dari pemikiran-pemikiran para cendekiawan muslim serta praktik dari Rasulullah SAW. yang nantinya juga dijadikan sumber dalam melaksanakan perekonomian Islam. Pemikiran-pemikiran ekonomi tersebut juga digunakan dalam membuat atau menerapkan berbagai kebijakan ekonomi.

Setiap pemerintahan dalam periode Islam memiliki kebijakan ekonomi tersendiri untuk menciptakan kesejahteraan masyarakatnya. Tidak terkecuali para pemikir ekonomi Islam yang selalu memberikan pandangan-pandangan mereka terhadap perekonmian Islam. Di antara pemikiran-pemikiran ekonomi itu akhirnya mewujudkan sebuah kebijakan dalam pemerintahan. Dalam makalah ini akan diuraikan beberapa pemikiran yang berbuah pada kebijakan ekonomi pada masa Khulafaurrasyidin.

B.       Rumusan Masalah

1.      Bagaimana biografi keempat khalifah (Khalafurrasyidin) ?

2.      Bagaimana sistem ekonomi Khulafaurrasyidin ?

3.      Apa saja kebijakan ekonomi yang dilakukan Khulafaurrasyidin ?

C.      Tujuan

1.      Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai pemikiran ekonomi Khulafaurrasyidin.

2.      Membantu pelajar mengerti dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran ekonomi Khulafaurrasyidin.

3.      Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Biografi Singkat Khulafaurrasyidin

1.      Abu Bakar ash-Shiddiq 11-13 H (632 – 634 M )

Namanya Abdullah ibnu Abi Qudhafah at Tamimi. Di masa jahiliyah, bernama Abdul Ka’bah, lalu ditukar oleh Nabi menjadi Abdullah Kuniyahnya Abu Bakar. Beliau diberi kuniyah Abu Bakar (pemagi) karena dari pagi-pagi betul beliau telah masuk Islam. Gelarnya : Ash-Shiddiq (yang amat membenarkan). Beliau digelari ash-Shiddiq, karena amat segera membenarkan Rasul dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa Isra’Mi’raj.

Di masa jahiliah Abu Bakar berniaga. Luas juga perniagaan beliau. Sesudah memeluk agama Islam ditumpahakannya lah seluruh perhatiaanya untuk mengabdi dan menyiarkan agama Islam. Tidak ada lagi perhatiannya kepada urusan perniagaan, hanya sekedar untuk menutupi keperluan hidup dengan keluarganya[1].

Ibunya ( Ummul Khyr Salma binti Syakhr Ibnu Amir ) pernah bernazar bahwa kalau Tuhan menganugrahinya putra akan diberinya nama Abdul Ka’bah ( Hamba Ka’bah ) dengan harapan akan memperoleh berkah dari Baytullah. Setelah menanti lama lahirlah si buyung yang diharap–harapkannya. Dan karena merupakan putra pertama yang hidup (lainnya mati), maka diberi pula nama samaran “ Abu Bakar” yang berarti Bapak Si Upik.

Beliaulah lelaki dewasa pertama yang memeluk Islam dan berhasil pula “menggarap” banyak orang untuk masuk Islam, di antaranya Utsman bin Affan, Zubayr bin Awwam, Thalhah bin Ubaidyllah, Ustman bin Maz’um, Bilal bin Rabbah, Abdur Rahman bin Auf, Abu Ubaydah bin Al- Jarrah, Saad bin Abi waqqash, Arqam bin Abi Arqam, Abu Salmah bin Assad, dll. Tapi ia “gagal” mengislamkan putranya sendiri, Abdul Ka’bah. Malah anaknya (Abdurrahman) memihak kafir Quraisy di perang Badar[2]. Beliau wafat pada malam Selasa 17 Jumadil Akhir 13 H, tepat 22 Agustus 634 dalam usia 63 tahun.

2.      Umar bin Khattab 13-23 H (634-644 M)

Umar yang bergelar al-Faruq (orang yang membedakan antara yang haq dan batil) seketurunan dengan Nabi pada nenek generasi ketujuh. Beliau lebih muda 13 tahun dari Nabi (lahir 584 M, tahun ke-40 sebelum hijrah). Ibunya yang bernama Hantamah binti Hisyam Al-Makhzumy bin Mughirah bin Abdillah, adalah saudara perempuan Abu Jahal. Dan Ayahnya bernama Nufail al Quraisy, dari suku Bani Adi. Sebelum Islam, suku Bani Adi ini terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah, dan berkedudukan tinggi.[3]

Umar terpilih sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar mangkat pada tahun 13 H (634 M) dan memerintah selama 10 tahun 6 bulan 4 hari. Watak ekras dan sifatya yang berani dan adil tercermin dalam suatu hadits, “Demi Allah yang menggenggam nyawaku. Kalau ada setan yang berpapasan dengan Umar di jalan, niscaya si setan akan membelok mencari gang kecil.”

Keponakan Abu Jahal ini ditikan pedang beracun sebanyak tiga kali pada saat mengimami shalat subuh di masjid Nabawi, pada 26 Dzulhijjah 23 H (634 M) oleh Fairus alias Abu Lu’lu’ (budak Mughirah bin Syu’bah yang beragama Majusi dan berasal dari Nahrawan, Persia. Kabarnya, ia berkomplot dengan orang-orang anti-Islam sebangsa Hurmuzan, Jufainal Al-Anbary dan Ka’a Al-Ahbar. Si Lu’lu’ sendiri diketahui kemudia bunuh diri. Jasad khalifah lanta digeletakkan begitu saja hingga usai shalat (yang diambil alih imamnya oleh Abdurrahman bin Auf). Beliau baru menghembuskan napas terakhirnya beberapa hari kemudian dalam usia 63 tahun, pada hari Ahad awal Muharram tahun 23 H (634 M) setelah menyampaikan wasiat tentang estafet kekhalifahan dengan mengajukan 6 calon khalifah berikutnya.[4]

 

3.      Utsman Ibnu ‘Affan 23-35 H (644-656 M)

Beliau ialah Utsman ibnu ‘Affan ibnu Abil Ash ibnu Umaiyah. Dilahirkan diwaktu Rasulullah berusia lima tahun dan masuk Islam atas  seruan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Utsman, yang biasa dipanggil Abu Abdullah, AbuUmar atau Abu Amer, seketurunan Nabi pada nenek generasi ketiga Abdu Manaf. Lahir di Thalif 576 M atau tahun 47 sebelum hijrah. Ibunya bernama Arwa’ah binti Kuriz bin Rabi’ah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Sedangkan neneknya bernama Al Baydha’ adalah putri Abdul Muthalib. Beliau dikenal sebagai saudagar yang kaya tetapi dermawan.[5] Sebelum agama Islam datang dan sesudahnya juga, beliau terhitung saaudagar besar dan kaya dan sangat menafkahkan kekayaannya untuk kepentingan agama Islam[6].

Beliau terpilih sebagai khalifah ketiga pada usia 70 tahun pada akhir Dzulhijjah 23 H (644 M) dan diresmikan pada Muharram 24 H. Kekhalifahannya yang berlangsung selama 12 tahun cukup memberi banya warna perubahan dan perluasan wilayah Islam. Seperti berhasil menyusun dan menyempurnakan mushaf al-Qur’an yang dikenal dengan nama mushaf Utsmani. Dan membangun kantor pengadilan. Di samping prestasi tersebut, ternyata terdapat pula satu titik lemah yang antara lain berpangkal dari sifat lemah lembut dan pemaaf beliau, selain dari usianya yang memang kian menua.

Dan sekaligus hal itu sedikit banyak yang membuatnya banyak diguncang orang-orang yang mengitarinya. Isu, bahkan fitnah pun menerjangnya yang konon disponsori dan diapi-apikan oleh Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi yang memeluk Islam) dengan berbagai cara termasuk isu nepotisme dan kemudian berujung pada pembunuhan terhadap diri beliau, yang dilakukan oleh seorang pemberontak ekstrem dari Mesir bernama Humran bin Su’dan pada hari Jumat 18 (atau 22) Dzulhijjah 35 tepat 20 Mei 656 M dalam usia 82 tahun saat ia sedang berpuasa dan membaca al-Qur’an hingga kitab suci itu turut tergenangi darah.

4.      Ali bin Abi Thalib 35-40 H (656-661 M)

Beliau semula diberi nama Haydar (Al Haydar) oleh ibunya. Tapi oleh ayahnya diganti dengan Ali. Nabi juga menghadiahi gelar Abu Turab (si Bapak debu-tanah) karena pernah dijumpai sedang tidur di atas tanah. Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib Al-Hasyimi Al-Quraisy, dan ibunya bernama Fatimah binti Azad bin Hasyim bin Abdu Manaf. Lahir pada tahun 600 M, tahun 23 sebelum hijrah dan masuk Islam dan masuk Islam sebaga Muslim pertama di usia 8-10 tahun. Menginjak usia 25 tahun, beliau lalu dinikahkan dengan Fatimah putri Rasul.

Beliau sangat disegani karena kepiawaiannya dalam banyak macam ilmu pengetahuan, terutama soal hukum sehingga dialah yang dianggap paling terpelajar di antara semua sahabat Nabi. Beliau juga seorang jago pedang yang hadir di semua perang yang diikuit Rasulullah SAW., kecuali Perang Tabuk di mana beliau diserahi tugas sebagai wakil utama baginda di Madinah. Setelah wafatnya Khalifah Utsman, beliaulah yang terpilih menjadi khalifah yang keempat. Khalifah Ali menghembuskan napas terakhirnya pada 19 Ramadhan 40 H (25 Januari 661 M) dalam usia 63 tahun. Setelah dua haru sebelumnya ditusuk dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang ekstermis Khawarij di saat beliau mengimami shalat subuh di Masjid Kufah.[7]

 

B.       Pemikiran Ekonomi dan Kebijakan-kebijakan yang Diterapkan  pada Masa Khulafaurrasyidin

Setelah Rasulullah SAW. wafat, kepemimpinannya digantikan oleh para sahabat dekatnya yang dikenal dengan sebutan “Khulafaurrasyidin”. Khulafaurrasyidin memegang peranan sebagai kepala negara atau khalifah yang melakukan segala aktifitas kenegaraan. Mulai dari sosial, politik hingga ekonomi. Beberapa pemikiran ekonomi melahirkan kebijakan-kebijakan ekonomi demi terselenggaranya perekonomian yang memegang teguh nilai-nilai Islam. Di bawah ini merupakan bentuk-bentuk pemikiran serta kebijakan ekonomi yang dibuat oleh setiap khalifah yang termasuk dalam Khulafaurrasyidin:

1.      Perekonomian Masa Abu Bakar ash-Shiddiq (632-634 M)

Setelah Rasulullah SAW. wafat, Abu Bakar ash-Shiddiq terpilih menjadi Khalifah Islam yang pertama. Ia merupakan pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama dua tahun, Abu Bakar ash-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai Perang Riddah (Perang mealawan kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal sebelum usaha ini selesai dilakukan.

Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat Islam, Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi yang telah dipraktikkan Rasulullah SAW. Ia sangat memerhatikan keakuratan penghitungan zakat, sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayarannya. Pada kesempatan lain, Abu Bakar ash-Shiddiq menginstruksikan pada amil yang sama, "Kekayaan dari orang yang berbeda tidak dapat digabung, atau kekayaan yang telah digabung tidak dapat dipisahkan.”[8] Beliau membangun lagi Baitul Mal dan meneruskan sistem pendistribusian harta untuk rakyat sebagaimana pada masa Rasulullah SAW.[9] Hasil pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung didistribusikan seluruhnya hingga tidak ada yang tersisa.

Dalam berinvestasi, Abu Bakar ash-Shiddiq juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan seperti halnya Rasulullah SAW. Sebagian diberikan kepada kaum Muslimin dan sebagian yang lain tetap menjadi tanggungan negara. Di samping itu, ia juga mengambil alih tanah-tanah orang-orang yang murtad untuk kemudian dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam secara keseluruhan.

Dalam pendistribusian harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar ash-Shiddiq menerapkan prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah SAW. dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita. Menurutnya, dalam hal keutamaan beriman, Allah SWT. yang akan memberikan ganjarannya, sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan.

Selanjutnya, terdapat pula langkah yang dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq dalam menyempurnakan ekonomi Islam[10]:

a.         Perhatian terhadap keakuratan perhitungan zakat, seperti yang dikatakan Anas (seorang amil) bahwa: jika seseorang yang harus membayar unta betina berumur satu tahun sedangkan dia tidak memilikinya dan ia menawarkan untuk memberikan seekor unta betina berumur dua tahun, hal tersebut dapat diterima. Kolektor zakat akan mengembalikan 20 dirham atau dua ekor kambing padanya (sebagai kelebihan pembayaran). Dalam kesempatan lain Abu Bakar juga menginstruksikan kepada amil yang sama, kekayaan dari orang yang berbeda tidak dapat digabung atau kekayaan yang telah digabung tidak bisa dipisahkan (dikhawatirkan akan kelebihan pembayaran atau kekurangan penerimaan zakat).

b.         Pengembangan pembangunan Baitul Mal dan penanggung jawab  Baitul Mal (Abu Ubaida).

c.         Menerapkan konsep balance budget policy pada Baitul Mal.

d.        Melakukan penegakan hukum terhadap pihak yang tidak mau mambayar zakat dan pajak.

e.         Secara individu, Abu Bakar adalah seorang praktisi akad-akad perdagangan.

2.      Perekonomian Masa Umar ibn Al-Khattab (634-644 M)

Berdasarkan hasil musyawarah dengan para pemuka tentang pengganti Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau menunjuk Umar ibn Al-Khattab sebagai Khalifah Islam kedua. Keputusan itu diterima dengan baik oleh kaum Muslimin. Setelah diangkat sebagai khalifah, Umar ibn Al-Khattab memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (Komandan Orang-orang yang Beriman). Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun, ia dipandang paling banyak melakukan inovasi dalam perekonomian.

Dapat dikatakan pemerintahan Umar merupakan abad keemasan dalam sejarah Islam. Dalam aspek ekonomi yang dikembangkan berdasarkan kepada keadilan dan kebersamaan dan disinilah letak ketinggian ajaran Islam. Sistem tersebut didasarkan pada prinsip pengambilan sebagian kekayaan orang-orang kaya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Faktor-faktor produksi yang dimiliki tidak berada dalam kekuasaan individu. Semua faktor produksi, tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi berada pada komunitas. Kontribusi yang diberikan Umar untuk mengembangkan ekonomi Islam antara lain[11]:

a.         Reorganisasi Baitul Mal, dengan mendirikan Diwan Islam yang pertama yang disebut dengan al-Divan (sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiunan serta tunjangan-tunjangan lain.

b.         Pemerintah bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian kepada warga negaranya.

c.         Diversifikasi terhadap objek zakat (zakat terhadap karet di Semenanjung Yaman), tarif zakat (misalnya mengenakan dasar advalorem, satu untuk 40 dirham).

d.        Pengembangan ushr (pajak) pertanian (misalnya pembebanan sepersepuluh hasil pertanian).

e.         Undang-undang perubahan kepemilikan tanah (land reform).

f.          Pengelompokan pendapatan negara dalam 4 bagian:

Sumber Pendapatan

Pengeluaran

Zakat dan Ushr

Pendistribusian untuk lokal jika berlebihan disimpan

Khums  Shadaqah

Fakir miskin dan kesejahteraan

Kharaj, Fay, Jizyah, Ushr, Sewa Tetap

Dana pensiun, Dana pinjaman (allowance)

Pendapatan dari semua sumber

Pekerja, pemelihara anak terlantar dan dana sosial

Penjelasan beberapa tindakan yang dilakukan oleh Umar ibn Al-Khattab antara lain sebagai berikut:

a.         Pendirian lembaga Baitul Mal

Setelah wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar semakin meluas, pendapatan negara mengalami peningkatan yang signifikan. Sehingga memerlukan perhatian khusus untuk mengelolanya. Dia memfungsikan Baitul Mal menjadi lembaga yang reguler dan permanen. Dan dilengkapi dengan sistem administrasi yang tertata baik dan rapi. Khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusika harta Baitul Mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya. Sebagai tindak lanjutnya, pada tahun yang sama dibangunlah lembaga Baitul Mal pertama kali didirikan dengan Madinah sebagai pusatnya. Hal ini kemudian diikuti dengan pendirian cabang-cabangnya di ibukota provinsi.

Secara tidak langsung, Baitul Mal berfungsi sebagai pelaksanaan kebijakan fiskal negara Islam dan Khalifah merupakan pihak yang berkuasa penuh terhadap harta Baitul Mal. Namun demikian, Khalifah tidak diperbolehkan menggunakan harta Baitul Mal untuk kepentingan pribadi. Dalam hal pendistribusian harta Baitul Mal, sekalipun berada dalam kendali dan tanggung jawabnya, para pejabat Baitul Mal tidak mempunyai wewenang dalam membuat keputusan terhadap harta Baitul Mal yang berupa zakat dan ushr. Harta Baitul Mal dianggap sebagai harta kaum Muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang amanah.[12]

Khalifah Umar juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat. Untuk mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti: departemen pelayanan militer, departemen kehakiman dan eksekutif, departemen pendidikan dan pengembangan Islam dan departemen jaminan sosial.

Khalifah Umar ibn Al-Khattab menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal. Ia berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan dalam menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan karenanya, keadilan menghendaki usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya. Kebijakan Khalifah ini mengundang reaksi dari salah seorang sahabat yang bernama Hakiam bin Hizam. Menurutnya, dalam hal ini tindakan Umar akan memicu lahirnya sifat malas di kalangan para pedagang yang berakibat fatal bagi kelangsungan hidup mereka sendiri jika suatu saat pemerintah menghentikan kebijakan tersebut.

Kaum Muslimin dan para sejarawan meyakini bahwa pada dasarnya, kebijakan Khalifah Umar tersebut semata-mata hanya untuk menghormati orang-orang yang telah gigih berjuang membela dan menegakkan agama Islam di masa-masa awal kehadirannya. Khalifah sendiri sangat tidak menginginkan terbentuknya suatu kelompok prejudices dalam suatu masyarakat ataupun membuat bangsa Arab malas dan tergantung. Hal ini setidaknya tercermin dari rasa penyesalannya di kemudian hari. Beliau menyadari bahwa cara tersebut keliru karena membawa dampak negatif terhadap strata sosial dan kehidupam masyarakat.

b.         Kepemilikan tanah

Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin menolak pendapat tersebut.

Salah seorang di antara mereka yang menolak adalah Muadz bin Jabal mengatakan, “Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan. Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seorang saja. Ketika generasi selanjutnya datang dan mereka mempertahankan Islam dengan sangat berani namun mereka tidak akan menemukan apa pun yang tersisa. Oleh karena itu, carilah rencana yang baik dan tepat untuk mereka yang datang pertama dan yang akan datang kemudian.”[13]

Setelah mendengar saran tersebut dan melalui debat yang panjang, akhirnya Umar memutuskan untuk memperlakukan tanah-tanah tersebut sebagai fai. Dalam memperlakukan tanah-tanah taklukannya, Khalifah Umar tidak membagi-bagikannya kepada kaum Muslimin, tetapi membiarkan tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat membayar kharaj dan jizyah. Ia beralasan bahwa penaklukan yang dilakukan pada masa pemerintahannya meliputi tanah yang demikian luas sehingga bila dibagi-bagikan dikhawatirkan akan mengarah kepada praktik tuan tanah. Di samping itu, ia menghadiahkan tanah pertanian kepada masyarakat yang bersedia menggarapnya. Namun, siapa saja yang gagal mengelolanya selama 3 tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut.[14]

c.         Zakat

Di antara beberapa barang, Abu Bakar membebani zakat terhadap war, sejenis rumput herbal yang digunakan untuk membuat bedak dan parfum. Sementara itu, Umar mengenakan khums zakat atas karet yang ditemukan di Semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha, dan hasil laut karena barang-barang tersebut sebagai hadiah dari Allah.

d.        Ushr

Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.[15] Pada masa Umar, hukum perdagangan mengalami penyempurnaan guna menciptakan perekonomian secara sehat. Umar mengurangi beban pajak terhadap beberapa barang, pajak perdagangan nabati dan kurma Syiria sebesar 50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota-kota. Pada saat yang sama, juga dibangun pasar-pasar, termasuk di daerah pedalaman seperti di Ubulla, Yaman, Damaskus, Makkah dan Bahrain.

Pekan-pekan dagang berkedudukan penting dalam menggerakkan roda perekonomian. Beberapa pekan dagang yang menonjol adalah pekan dagang ‘Ukaz yang berada di Hijaz yang berdekatan dengan Sukar, dan yang lainnya. ‘Ukaz adalah sebuah Oasis di antara Ta’if dan Nukhlah. Pekan dagang itu berlangsung pada 1-20 Dzulkaidah.[16] Pos pengumpulan ushr terletak di berbagai tempat yang berbeda-beda, termasuk di ibukota. Menurut Saib bin Yazid, pengumpul ushr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaetean yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetapi setelah beberapa waktu Umar menurunkan presentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum untuk mendorong impor barang-barang tersebut di kota.

e.         Alokasi pendapatan negara

Sebelum masa pemerintahan Abu Bakar, kebijakan pemerintah terhadap pendapatan negara adalah dengan mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Kebijakan ini mengalami perubahan pada masa Umar. Pendapatan negara dikumpulkan dan dijadikan cadangan untuk selanjutnya digunakan untuk berbagai kegiatan pengeluaran dari Baitul Mal. Seperti membagikannya kepada fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan, membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dana sosial dan digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.

Angkatan bersenjata juga dipersenjatai dengan pelindung, pedang dan tombak, anak panah, dan busur panah. Khalifah Umar juga membangun markas–markas militer di Bashra, Kufah, Fastal, Qairawan, dan lain-lain. pengeluaran untuk hal-hal ini termasuk bagian dari pengeluaran pertahanan negara. Ia juga membangun sistem administrasi pemerintahan Islam dan membagi daerah-daerah taklukan ke dalam satu organisasi pemerintahan yang tertata rapi, sehingga memungkinkan para wakilnya di daerah mengembangkan berbagai sumber daya di wilayahnya masing-masing.

Khalifah Umar menetapkan perbaikan ekonomi di bidang pertanian dan perdagangan sebagai prioritas utama. Saluran irigasi terbentang hingga di daerah-daerah taklukan dan sebuah departemen besar didirikan untuk membangun waduk-waduk, tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air serbaguna demi kelancaran dan distribusi air. Menurut Maqrizi, di Mesir saja ada sekitar 120.000 buruh yang bekerja setiap hari sepanjang tahun. Mereka digaji dari harta kekayaan umat. Juza bin Muawiyah dengan seizin Umar, banyak membangun kanal-kanal di distrik Khuziztan dan Ahwaz, yang memungkinkan pembukaan dan pengolahan banyak sekali ladang pertanian.[17]

Selain itu, Khalifah Umar memperkenalkan sistem jaga malam dan patroli serta mendirikan dan mensubsidi sekolah-sekolah dan masjid-masjid di seluruh wilayah negara. Ia juga menjamin orang-orang yang melakukan ibadah haji dan para pengembara dapat menikmati fasilitas air dan tempat peristirahatan di sepanjang jalan antara Makkah dan Madinah, di samping membangun depot makanan dan gudang tempat penyimpanan makanan persediaan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.

3.      Perekonomian Masa Utsman bin Affan (644-656 M)

Sebelum Khalifah Umar wafat, ia membentuk tim yang etrdiri dari enam orang untuk memilih seorang di antara mereka sebagai penggantinya. Keenam orang itu adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibn al-Awwam, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Setelah Umar wafat, tim tersebut bermusyarah dan berhasil menunjuk Utsman ibn Affan sebagai Khalifah Islam ketiga. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan.

Pada awal pemerintahan, Utsman mencoba melanjutkan dan mengembangkan kebijaksanaan yang dijalankan khalifah Umar. Antara lain dengan melakukan hal-hal sebagai berikut[18]:

a.         Pembangunan pengairan.

b.         Pembentukan organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan perdagangan.

c.         Pembangunan gedung pengadilan, guna penegakan hukum.

d.        Kebijakan pembagian lahan luas milik raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami peningkatan bila dibandingkan pada masa Umar dari 9 juta menjadi 50 juta dirham.

Pemasukan negara dari zakat, jizyah, dan juga rampasan perang semakin besar. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazni Kerman, dan Sistan ditaklukkan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama, Islam mengakui empat kontrak dagang setelah negara-negara tersebut ditaklukkan kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon-pohon, buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.

Khalifah Utsman tetap mempertahankan sistem pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini prinsip persamaan dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, ia memberikan bantuan yang berbeda pada tingkat yang lebih tinggi. Dalam pengelolaan zakat, khalifah Utsman mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh oknum pengumpul zakat.

Dengan harapan dapat memberikan tambahan pemasukan bagi Baitul Mal, Khalifah Utsman menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah negara kepada individu-individu untuk tujuan reklamasi. Dari hasil kebijakannya, negara mempeolrh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham jika dibandingkan pada masa Umar bin Khattab yang tidak membagi-bagikan tanah tersebut. Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman bin Affan, tidak terdapat perubahan sistem ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman yang banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya, pada masa ini pemerintahannya lebih banyak diwarnai oleh kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah.[19]

4.      Perekonomian Masa ‘Ali bin Abi Thalib (656-661 M)

Setelah diangkat menjadi Khalifah Islam yang keempat oleh segenap kaum Muslimin, ‘Ali bin Abi Thalib langsung mengambil beberapa tindakan, seperti memberhentikan para pejabat yang korup, membuka kembali lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang kesayangan Utsman, dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Umar bin Khattab. Masa pemerintahan yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Sekalipun demikian, Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Sebagai khalifah yang keempat, Ali terkenal sangat sederhana. Mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi konflik dari khalifah sebelumnya, Ali harus mengelola perekonomian secara hati-hati. Ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5.000 dirham setiap tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Meski termasuk ahlul bait (keluarga Nabi), beliau selalu bekerja mandiri, tidak meminta fasilitas dari Rasulullah SAW. Beliau selalu bekerja keras untuk perekonomiannya, bahkan sebelum menjadi khalifah ia bekerja sebagai buruh orang Yahudi. Hal ini mencontohkan beliau seorang wirausahawan mandiri yang tidak tergantung fasilitas pejabat dan jabatan.[20] Dan pada masanya juga pernah dicetak mata uang dengan ciri khusus. Namun peredarannya sangat terbatas karena keadaan politik saat itu.[21]

Ketika Umar masih menjadi Khalifah, ia memutuskan untuk tidak mendistribusikan seluruh pendapatan Baitul Mal, tetapi menyimpannya sebagai cadangan. Ali menolak seluruh hasil pertemuan itu dengan berpendirian bahwa seluruh pendapatan Baitul Mal harus didistribusikan seluruhnya tanpa menyisakan sedikit pun sebagai cadangan.[22] Oleh karena itu, setelah ia diangkat menjadi Khalifah, Ali mendistribusikan seluruh pendapatan yang ada di Baitul Mal. Pada masa pemerintahannya, prinsip utama dari pemerataan distribusi uanag telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi.

Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, alokasi pengeluaran kurang lebih masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa Khalifah Umar. Dengan adanya penjagaan malam dan patroli yang telah terbentuk sejak masa pemerintahan Umar bin Khattab, Ali membentuk polisi yang terorganisasi secara resmi yang disebut dengan syurthah dan pemimpinnya diberi gelar Shahibus Syurthah. Fungsi lainnya dari Baitul Mal masih tetap sama dan tidak ada perkembangan aktifitas yang berarti pada masa ini.

Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal  yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Suratnya berisi pendeskripsian tugas, kewajiban, serta tanggung jawab para penguasa dan pejabat tinggi serta staf-stafnya. Bagaimana berhubungan dengn masyarakat sipil, lembaga peradilan dan angkatan perang. Ali menekankan Malik agar lebih memerhatikan kesejahteraan para prajurit dan keluarganya. Dalam syarat tersebut, juga terdapat instruksi untuk melawan korupsi dan penindasan, mengontrol pasar, dan memberantas para tukang catut laba, penimbun barang dan memberantas pasar gelap. Beberapa perubahan kebijaksanaan yang dilakukan pada masa khalifah Ali antara lain:

1.         Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada Baitul Mal berbeda dengan Umar yang menyisihkan untuk cadangan.

2.         Pengeluaran angkatan laut dihilangkan.

3.         Adanya kebijakan pengetahuan anggaran. [23]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Perekonomian pada masa Khulafaurrasyidin pada prinsipnya mengikuti ajaran yang diterapkan oleh Rasulullah SAW. dalam mengatur roda perekonomian selama masih menjadi pemimpin umat. Hanya saja dalam beberapa hal mengalami perubahan dan pembaharuan maupun pembuatan kebijakan baru karena keadaan dan kondisi yang telah berubah pada setiap masa pemerintahan. Di samping itu, perbedaan pendapat dan pemikiran dalam suatu hal juga dapat mendukung perbedaan kebijakan yang dilakukan para pemimpin umat setelah wafatnya Rasulullah SAW.

Seluruh kebijakan yang dibuat itu pada akhirnya bertujuan demi kesejahteraan umat Islam dalam pemerintahan Islam. Di antaranya: pendistribusian seluruh harta dari Baitul Mal untuk masyarakat Islam pada masa Abu Bakar sehingga tidak ada yang tersisa sepeser pun. Namun, pada masa Umar bin Khattab, terjadi pemusatan pendapatan negara di Baitul Mal dan penditribusian dilakukan secara bertahap dan terdapat spesifikasi tersendiri terhadapnya. Pada masa Utsman bin Affan terjadi pembagian tanah agar diolah oleh masyarakat sehingga terjadi peningkatan pendapatan yang melonjak drastis daripada pemerintahan khalifah sebelumnya. Dan pada masa Ali, administrasi umum terkonsep dengan begitu matang dan tegas.

 

 

 


                                           Daftar Pustaka

 

A.Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. 1983. Jakarta: Pustaka Al-Husna

Arsyad, Natsir. Seputar Sejarah dan Muamalah. 1993. Bandung :  Al-Bayyan

Hakim, Lukman. Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. 2012. Jakarta: Erlangga

Muhammad. Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam. 2002. Jakarta: Salemba Empat

Nasution, Mustafa Edwin. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. 2007. Jakarta: Kencana

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII-Yogyakarta. Ekonomi Islam. 2008. Jakarta: RajaGrafindo

 

 

 



[1] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam ( Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983) hal  226

[2] Natsir Arsyad, Seputar Sejarah dan Muamalah ( Bandung :  Al-Bayyan, 1993) hal 75-76

[3] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal  236

[4] Natsir Arsyad, Seputar Sejarah dan Muamalah, hal. 75-80

[5] Ibid, hal. 80

[6] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal  266

[7] Natsir Arsyad, Seputar Sejarah dan Muamalah, hal. 83-86

[8] Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2002) hal. 187

[9] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII-Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 2008) hal. 101

[10] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 233-234

[11] Ibid., hal. 234

[12] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGarfindo, 2006) hal. 61

[13] Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2002) hal. 189

[14] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII-Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 2008) hal. 102

[15] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 229

[16] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII-Yogyakarta, Ekonomi Islam, hal. 102

[17] Ibid.,  hal. 103

[18] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 235

[19] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGarfindo, 2006) hal. 81

[20] Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2012) hal. 33

[21] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 246

[22] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGarfindo, 2006) hal. 83

[23] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 236

Tidak ada komentar:

Posting Komentar