I.
LATAR BELAKANG MASALAH
Kehadiran lembaga pegadaian di Indonsia bukanlah hal yang
asing lagi. Bahkan lembaga ini menjadi sangat populer dikalangan masyarakat
(khususnya Jakarta), ketika menjelang lebaran tiba. Sudah merupakan
tradisi bagi pemudik di ibukota untuk menggadaikan barang berharga mereka
menjelang bulan syawal.
Dengan menitipkan emas, kendaraan bermotor atau barang
berharga lainnya sebagai jaminan atas uang yang dipinjam, keinginan untuk
bertemu sanak saudara dikampung dengan kerinduan yang sangat pun terobati.
Bukan tanpa alasan karena disaat ongkos dan harga kebutuhan untuk oleh-oleh
yang semakin menggila yang tidak lagi dapat diatasi oleh gaji maupun pendapatan
selama di Jakarta, maka pegadaian merupakan alternatif yang dapat menjawab
tersebut.
Sekilas lembaga ini memang terlihat sangat membantu. Dan
tentu saja dengan menyuarakan motto “ mengatasi masalah tanpa masalah”-nya, lembaga
ini berhasil menafsir dan mencitrakan dirinya di mata masyarakat sangat baik.
Akan tetapi, disadari atau tidak ternyata dalam prakteknya lembaga ini belum
dapat terlepas dari persoalan.Dengan berkaca mata pada syariat islam, ketika
perjanjian gadai ditunaikan terdapat unsur-unsur yang dilarang syariat. Hal ini
dapat terlihat dari praktek gadai itu sendiri yang menentukan adanya bunga
gadai, yang mana pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Dan tentu saja
pembayarannya haruslah tepat waktu karena jika terjadi keterlambatan
pembayaran, maka bunga gadai akan bertambah menjadi dua kali lipat dari
kewajibannya.Bukan hanya riba, ketidak jelasan (gharar), dan qimar juga ikut
serta menghiasi aktifitas lembaga ini. Yang secara jelas terdapat kencenderungan
merugikan salah satu pihak.
Memang hal ini tidaklah terlalu diperhatikan oleh masyarakat.
Tetapi, ketika mereka terjebak dengan bunga yang membengkak serta ketidak
sanggupan uintuk membayar,maka di sinilah masalah letak permasalahan itu
muncul.Oleh karena itu, berangkat dari uraian yang telah dikemukakan di
atas,maka saya selaku penulis membuat esai ini dengan maksud untuk menganalisa
dan memberikan sebuah solusi dengan pendekatan fiqh islam sebagai jawaban atas
ketidak syari’an atas praktek pegadaian saat ini.
II.
POKOK-POKOK PERMASALAHAN
Dengan melihat latar belakang di atas maka yang akan menjadi
pokok-poko permasalahan yang akan dibahas dalamn esai ini adalah
1. Apa definisi dari gadai
menurut konvensional dan syari’at Islam?
2. apa yang menjadi dasar hukum
gadai konvensional dan syariah?
3. Bagaimana pandangan syari’at
Islam terhadap gadai?
III.
ANALISIS
A.
Pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah
1.
Pengertian Gadai Konvensional
Mengutip pendapat Susilo (1999), pengertian pegadaian adalah
suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang
bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh
seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang
mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada
orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan
untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi
kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang
diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan
oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa
dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh
tempo.Sedangkan pengertian Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu ban usaha di
Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga
keuangan berupa pembiayaan dalambentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar
hukum gadai.[1]
2.
Pengertian Gadai Syariah
Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang
secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi
arti al-hab (tertahan).[2] Sedangkan
definisi al-rahn menurut
istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan
syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh
atau sebagaian utang dari benda itu.[3]
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang
diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.[4] Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki
mendefinisikan rahn sebagai
“harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat
mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu
barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan
Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang)
sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang
berhutang tidak bisa membayar hutangnya.[5]
Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip
pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang
mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu
utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bilautang tidak
dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah
jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan
bisnis, jual beli mitra.[6]
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah
sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari
harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari yang
berpiutang. [7]
Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan
suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta
menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil utang.[8]
B.
Landasan Hukum Gadai Konvensional dan Gadai Syariah
1.
Landasan Hukum Gadai Konvensional
Pada awalnya lembaga pegadaian pertamakali didirikan pada
tanggal 1 April 1901. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, pegadaian
beberapakali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan (1901), Perusahaan
di bawah IBW (1928),Perusahaan Negara (1960),dan kembali ke perusahan jawatan
1969. baru sekitar tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April 1990,
sampai dengan terbitnya PP103 tahun 2000, pegadaian berstatus sebagai
Perusahaan Umum dan masuk sebagai salah satu BUMN dalam lingkungan Dep.
Keuangan RI. hingga sekarang.Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6, dijelaskan
bahwa sifat usaha pegadaian adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum
dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Sedangkan isi pasal 7,dijabarkan:(1) Turut meningkatkan kesejahteraan
masyarakat terutama golonganmenengah ke bawah melalui penyediaan dana atas
dasar hukum gadai, dan jasa di bidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.(2) Menghindarkan masyarakat dari gadai
gelap,praktek riba dan pinjaman tidak wajar.[9]
2.
Landasan Hukum Gadai Syariah
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk
membolehkannya rahn yakni
bersumber pada al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya
bermuamalah tidak secara tunai.[10]
Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli
makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.[11]
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat
bahwa rahn merupakan
transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur)
ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn),
barang-barang yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin)
sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn.[12] Sedangkan
untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak
yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan
jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang
menerima gadai (marhun) atau
yang mewakilinya.[13]
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat
dilakukan karena kejelasan akan rahin, murtahin danmarhun merupakan keharusan dalam akad rahn.
Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akadrahn, al-Qur’an dan al-Sunah serta
ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual
beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn.
Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rusdy
bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala
macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan
pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan
karena pada shaf pada salam disyaratkan
tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat
bahwa akad gadai (rahn) tidak
boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada
ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang
barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.[14]
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian
ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang
bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan
dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang
ada pada murtahin yang
harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar
benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang
tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan
barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama
berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang
gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
C.
Solusi Mekanisme Operasional Pegadaian dengan Penerapan berdasarkan Prinsip
Syariah
Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, sungguh
merupakan suatu hal yang ironis, ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal
( pemerintah) tidak bisa memperoleh pendapatan yang dapat menunjang
kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Adapun lembaga pegadaian, seandainya
dalam aktivitasnya tidak menggunakan sistem bunga ( memungut bunga dari pinjman
pokok ), maka tentunya lembaga tersebut akan mengalami hal yang demikian. Akan
tetapi, di sisi lain sistem tersebut sangat memberatkan bagi nasabah, karena
pemungutan bunganya yang ditetapkan setiap 15 hari sekali.
Memang hal ini tidaklah terlihat berat jika pinjaman tersebut
bersifat kecil, namun jika uang yang dipinjamkan tersebut sangat besar
jumlahnya, maka akan sangat memberatkan bagi nasabah.Persoalan ini cukup
kompleks. Jika salah satu dimenangkan, maka hal ini akan terlihat tidak
adil. Karena pihak penerima gadai yang saat ini bestatus lembaga
pegadaian, akan merasa dirugikan jika dalam operasional usahanya tidak mendapay
keuntungan yang akan menunjang kegiatan usahanya. Sedangkan pihak yang
menggadaikan diwajibkan membayar berupa bunga setiap 15 harinya, maka hal ini
juga akan merugikan pihak penggadai.
Karena barang atau hartanya telah ditahan oleh penerima
gadai. Selain itu hal yang menjadi sangat pokok dalam persoalan ini adalah
penerapan bunga yang berbuntut riba yang jelas-jelas dilarang oleh
syara’.Berangkat dari persolan tersebut, maka berikut sebuah solusi yang bisa
dijalankan guna lembaga pegadaian yang merupakan lembaga penolong dapat tetap
eksis dalam menjalankan mottonya “ mengatasi masalah tanpa masalah.”
1.
Kategori Barang Gadai
Muhammad Shalikul hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa
jenis barang gadai yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis
barang bergerak dab tak bergerak, sehingga barang yang dapat digadaikan bisa
semua barang asal memenuhi syarat:
(1) Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’
(2) Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi
(3) Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.
2.
Pemeliharaan Barang Gadai
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam halpemeliharaaan
barang gadai. Ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat
biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai karena
barang tersebut merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya. Sedangkan para
ulama Hanafiah berpendapat
bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai yang
mana dalam posisinya sebagai penerima amanat. Berdasarkan pendapat di atas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeliharaan barang gadai adalah hak rahin dalam
kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang
jaminan tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan di izinka oleh maka biaya
pemeliharaan jatuh pada murtahin.
Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya,
apabila murtahin mendapat
izin dari rahin maka murtahin dapat
memungut hasil marhun sesuai
dan senilai dengan yang telah ia keluarkan. Tetapi apabila rahin tidak
mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang rahin kepada murtahin.
Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Shalikul Hadi dari Sabiq (2003).[15]Resiko Atas Kerusakan Menurut para ulama
Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahintidak
bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja. Sedangkan
ulama Hanafiah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan murtahin sebesar
harga barang minimum, dihitung mulai waktu diserahkannya barang gadai
kepada murtahin sampai
barang tersebut rusak.
Shalikul Hadi mengutip Basyir (2003: 84) Pembayaran Atau
Pelunasan Hutang GadaiApabila sudah samapai jatuh tempo dan rahin belum
membayarkan kembali utangnya maka murtahin boleh memaksa rahin untuk
menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk menebus utang tersebut
sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang tersebut, maka akan
dikembalikan kepada rahin. Prosedur Pelelangan GadaiJika ada persyaratan akan menjual
barang gadai pada saat jatuh tempo, maka ini diperbolehkan dengan ketentuan:[16]
(1) Murtahin harus mengetahui terlebih dahulu
keadaan rahin
(2) Dapat memeperpanjang tenggang waktu
pemabayaran
(3) Kalau keadaan mendesak murtahin boleh
memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan izin rahin
(4) Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi,
maka murtahin boleh
menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.
3.
Pembentukan Laba Pegadaian
Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa pegadaian memperoleh
laba dari bunga gadai. Tetapi dari segi kaca mata syariah hal ini dilarang.
Tentunya jika bunga gadai dihapuskan maka lembaga pegadaian tidak akan dapat
melanjutkan operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini diperbolehkan hukum
haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah satu pihak akan
terjadi.untuk mengatasi hal tersebut dapat diterapkan sebagai berikut:
(1) Melakukan transaksi gadai dengan akad Rahn
(2) Melakukan transaksi gadai dengan akad Bai’ al Muqoyyadah
(3) Melakukan Akad al Mudharabah.
(4) Melakukan dengan akad Qardhul Hasan
Itulah beberapa alternatif yang bisa dijalankan guna
mengeliminir praktek riba dalam pegadaian konvensional. Danjuga sebagai solusi
atas persoalan yang terdapat dalampegadaian saat sekarang ini, sehingga
diharapkan natinya lembaga ini benar-benar telah menjalankan mottonya sebagai
lembaga yang mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah.[17]
III. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan sekaligus penutup esai ini adalah:
1. Pengertian gadai menurut
konvensional adalah gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang
berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang
sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang
berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.sedangkan gadai
menurut syariat adalah menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta
dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan
mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.
2. yang menjadi dasar hukum
gadai konvensional adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 pasal 6 dan pasal 7,
sedangkan dasar hukum gadai syariah adalah al-Qur’an (2): 283 yang menjelaskan
tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai. Dan Hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang
menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi
dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
3. Dalam pandangan Islam bahwa
pegadaian diperbolehkan oleh syariat. Dan tentunya harus sesuai dengan yang
digariskan dalamAl-Qur’an dan As-Sunnah. Seterusnya, bukan tidak mungkin bahwa
segala sesuatu yang bersifat konvensional yang ternyata banyak menyimpan
persoalan dapat dijawab dengan menerapkan prinsip-prinsip syari’ah. Bunga
bukanlah satu-satunya jalan yang tepat untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi
dengan memberdayakan akad-akad syariah pendapatan atau laba pun dapat diperoleh
dan tentunya hasil yang didapatkan pun bersih dan halal.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Abdul Ghafur Ansori,. Gadai Sariah di
Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005.
2. Departemen Agama
RI, Al
Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : CV. Diponegoro, 2003.
3. Ghufran Sofiyanah, Mengatasi Masalah Dengan
Pegadaian Syariah, Jakarta : RENAISAN Anggota IKAPI, 2005.
4. Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih
bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991.
5. Imam al’ama Ibn
Mandur, Lisan
al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999.
6. Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub
al-Tis’ah (CD).
7. Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah,
Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.
8. Muhammad Syafi’i
Antonio, Bisnis
dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan
Ekonomi, Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1997.
9. Prof. DR. H. Racmat
Syafee’i, M.A.. Fiqih Muamalah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001.
10. Sabiq, Sayyid, Fiqh us-Sunnah, Muhammad Sa‘eed Dabas,
Jamal al-Din M. Zarabozo, translators,Indianapolis, Ind., USA: American Trust
Publications, c1985.
11. Susilo, Y. Sri, dkk. Bank Dan Lembaga
Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat, 1999.
12. Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam,
Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996.
[1] Susilo,
Y. Sri, dkk. Bank
Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat, 1999. hal. 132
[2]Sayyid
Sabiq, Fiqh
Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr, tt, hal. 187.
[3] Ibid., hal
187.
[4] Imam
al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999, hal.
347.
[5] Van
Hope, Ensiklopedi
Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996, hal.1480.
[6]Muhammad
Sholikul Hadi. Pegadaian
Syariah, Jakarta : Salemba Diniyah, 2003.
[7] Dr.
Muhammad Firdaus NH, dkk. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah,
Jakarta : RENAISAN Anggota IKAPI, 2005.
[8]Dr.
Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H. Gadai Syariah Di Indonesia, Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press Anggota IKAPI, 2005.
[9] Susilo,
Y. Sri, dkk. Bank
Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat, 1999. hal. 156
[10] Al-Qur’an
surat al-Baqarah, ayat 283 yang dapat diartikan sebagai berikut: “Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang)”.
[11] Imam
Bukhari, Sahih
Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).
[12] Ibnn
Rusdy, Bidaya
al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991,
hal. 351.
[13] Sayyid
Sabiq, op.cit., hal, 188.
[14] Ibn
Rusdy, op.cit., hal, 351.
[15] Muhammad
Sholikul Hadi, Op.
Ci., hal.17
[16] Muhammad
Sholikul Hadi, Op.
Ci., hal.85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar