BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan sarana untuk menangani masalah
kesehatan, pemulihan, serta pemeliharaan kesehatan. Sebagai layanan
masyarakat, rumah sakit mempunyai kegiatan berupa unit pelayanan gawat
darurat, rawat inap, ruang operasi, dan pelayanan penunjang seperti radiologi, laboratorium, farmasi, dan lain – lain. Rumah sakit diharapkan mampu memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu
dan baik untuk masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Rumah sakit merupakan
tempat yang berisiko
terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) serta Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan pekerja
rumah sakit mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja industri
lain untuk terjadinya penyakit akibat kerja dan
kecelakaan akibat kerja (Kementerian
Kesehatan, 2010).
Perawat merupakan petugas kesehatan dengan presentasi
terbesar dan memegang peranan penting
dalam pemberian pelayanan kesehatan. WHO (2013) mencatat, dari 39,47 juta petugas kesehatan di seluruh dunia,
66,7%-nya adalah perawat. Di Indonesia, perawat juga merupakan bagian terbesar dari tenaga kesehatan yang
bertugas di rumah sakit yaitu sekitar
47,08% dan paling banyak berinteraksi dengan pasien (Depkes RI, 2014). Ada sekitar dua puluh tindakan keperawatan,
delegasi, dan mandat yang dilakukan dan yang
mempunyai potensi bahaya biologis, mekanik,
ergonomik, dan fisik terutama pada pekerjaan mengangkat pasien, melakukan injeksi,
menjahit luka, pemasangan infus, mengambil
sampel darah, sputum dan memasang kateter.
Intensive Care Unit (ICU)
adalah suatu bagian dari Rumah Sakit yang mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan)
dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang
khusus dengan tujuan untuk terapi pasien - pasien yang menderita
penyakit, cedera atau penyulit -
penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis
dubia.
Pelayanan ICU, saat ini, tidak terbatas hanya untuk
menangani pasien pasca-bedah saja
tetapi juga meliputi berbagai jenis pasien dewasa, anak, yang mengalami lebih
dari satu disfungsi/gagal organ.
Kelompok pasien ini dapat berasal dari Unit Gawat Darurat, Kamar Operasi, Ruang Perawatan, ataupun
kiriman dari Rumah Sakit lain.2 Ilmu yang diaplikasikan dalam pelayanan ICU, pada dekade terakhir ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga
telah menjadi cabang ilmu kedokteran tersendiri yaitu “Intensive
Care Medicine”. Meskipun pada umumnya ICU hanya terdiri dari beberapa tempat tidur, tetapi sumber daya tenaga
(dokter dan perawat terlatih) yang dibutuhkan
sangat spesifik dan jumlahnya pada saat ini di Indonesia sangat terbatas.
Penelitian di negara berkembang seperti
India, Sandeep, Shreemathi, Kalyan, Teddy, Kapil,
dan Prachi (2016) melaporkan dalam 1 tahun terakhir 5,4% perawat rumah sakit di India mengalami luka akibat
tertusuk jarum suntik, 7,4% mengalami varises, dan 56,9% mengalami stress kerja. Situasi menegangkan yang sering
dialami perawat adalah tindakan
kekerasan dan pelecehan dari pasien. Sementara itu data-data tentang kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja pada
petugas kesehatan rumah sakit di Indonesia belum tercatat dan dilaporkan dengan baik, hal ini mengindikasikan
penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di rumah
sakit di Indonesia masih memerlukan upaya perbaikan.
Berdasarkan uraian di atas, penyusunan makalah ini ditujukan
untuk mengidentifikasi
penyakit dan kecelakaan akibat kerja yang ada di rumah sakit, khususnya di ruang Intensive Care Unit (ICU). Analisa terhadap potensi tersebut akan
dikaitkan dengan konsep dan teori,
serta penelitian-penelian yang ada. Selanjutnya dari analisis tersebut akan dirumuskan penyelesaian
masalah, sehingga diharapkan upaya penerapan
manajemen resiko bisa dilakukan secara optimal.
B. Tujuan Khusus
1. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu
mengenal penyakit dan kecelakaan akibat kerja
yang ada di rumah sakit
2. Diharapkan kelompok dan pembaca
mampu mengidentifikasi penyakit
dan kecelakaan akibat kerja yang ada
di ruang icu
3. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu
mengenal sistem pengendalian penyakit dan
kecelakaan akibat kerja yang sudah dilakukan di rumah sakit khususnya di ruang icu
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. PENYAKIT AKIBAT
KERJA DI RUANG ICU
A. DEFINISI
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan
oleh pekerjaan, alat kerja, bahan,
proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian, penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang artifisual
atau man made disease. Sejalan dengan hal tersebut terdapat pendapat lain yang
menyatakan bahwa Penyakit Akibat Kerja (PAK)
ialah gangguan kesehatan baik jasmani maupun rohani yang ditimbulkan ataupun diperparah karena aktivitas kerja
atau kondisi yang berhubungan dengan pekerjaan.( Hebbie Ilma Adzim, 2013).
Sedangkan kecelakaan akibat kerja menurut
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/Men/98 adalah suatu kejadian yang
tidak dikehendaki dan tidak diduga semula
yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda. OHSAS 18001:2007 menyatakan bahwa kecelakaan
kerja didefinisikan sebagai kejadian yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan cidera atau kesakitan (tergantung dari keparahannya),
kejadian kematian, atau kejadian yang dapat menyebabkan kematian. Kejadian yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan
atau yang berpontensi menyebabkan merusak lingkungan. Selain itu, kecelakaan kerja atau kecelakaan akibat
kerja adalah suatu kejadian yang tidak terencana
dan tidak terkendali akibat dari suatu tindakan atau reaksi suatu objek, bahan, orang, atau radiasi yang
mengakibatkan cidera atau kemungkinan akibat
lainnya (Heinrich et al., 1980).
B. PENYEBAB
Tedapat beberapa penyebab Penyakit dan Kecelakaan Kerja yang umum terjadi
di Ruang ICU, berikut ini beberapa
jenis yang digolongkan berdasarkan penyebab dari
penyakit yang ada di tempat kerja:
1. Penyebab
Fisik a Mekanik
Resiko bahaya
ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok
yaitu:
1) Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk, terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk
salah satu yang paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik / jarum jahit bekas pasien.
Resiko bahaya ini sebenarnya bukan hanya resiko bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang menusuk
tersebut terkontaminasi dengan kuman dari pasien.
Mengingat bahaya akibat tertular penyakit
tersebut cukup besar,
maka harus ada prosedur tindak
lanjut paska tertusuk jarum yang akan dibahas dibagian lain dalam pelatihan ini.
2) Benda-benda bergerak yang dapat
membentur. Seperti kita ketahui di
rumah sakit banyak digunakan kereta dorong untuk mengangkut pasien dan barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah
pasien jatuh dari brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta dorong, dan lain-lain.
3) Resiko terjepit, tertimbun dan
tenggelam. Resiko ini dapat terjadi dimana saja meskiput kejadiannya tidak terlalu sering.
Hal-hal yang perlu diperhatikan terutama
di ruang perawatan
anak dan ruang
perawatan jiwa. Pastikan
tidak ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang memiliki
resiko untuk terjepit/tenggelam tersebut.
4) Resiko jatuh dari ketinggian yang
sama; terpeleset, tersandung, dan lain-lain.
Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di koridor, ramp atau batas lantai dengan
halaman. Pastikan area yang beresiko
licin sudah ditandai dan jika perlu pasanglah handriil atau pemasangan alat lantai anti licin serta rambu peringatan “awas licin”.
5) Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko
ini pada ruang perawatan anak dan jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika pekerjaan dilakukan
pada ketinggian lebih dari 2 meter
sebaiknya pekerja tersebut menggunakan abuk keselamatan. Pada ruang perawatan
anak dan jiwa yang terletak
di lantai atas pastikan jendela yang ada sudah terpasang
teralis pengaman dan anak-anak selalu
dalam pengawasan orang dewasa saat bermain.
b
Resiko Bahaya Radiasi
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan
untuk pekerja radiasi,
peserta didik, pengunjung dan pasien hamil. Pekerja radiasi harus sudah mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi
dan cara pengendaliannya. Selain APD yang baik, monitoring tingkat paparan radiasi
dan kepatuhan petugas
dalam pengendalian bahaya radiasi merupakan hal yang penting. Sebagai
indikator tingkat paparan, semua pekerja
radiasi harus memakai personal dosimetri untuk mengukur tingkat paparan radiasi yang sudah diterima
sehingga dapat dipantau dan tingkat paparan tidak boleh melebihi
ambang batas yang diijinkan. Untuk pengunjung
dan pasien hamil hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau terapi radiasi terpasang rambu peringatan
“Awas bahaya radiasi, bila hamil harus
melapor kepada petugas”. Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
1) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel yang mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung.
Contoh di rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran nuklir.
2) Bahaya radiasi non pengion
adalah Radiasi elektromagnetik dengan energi yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi
infra merah atau radiasi
gelombang mikro.
c
Resiko Bahaya Akibat
Kebisingan
Resiko kebisingan diakibatkan alat kerja atau lingkungan kerja yang melebihi
ambang batas tertentu.
Resiko ini mungkin
berada di ruang boiler,
generator listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-alat cukup besar dimana tingkat
kebisingannya tidak dipantau
dan dikendalikan. Berdasar
peraturan menteri kesehatan
RI no 1204 tahun 2004 tentang pengendalian lingkungan fisik di rumah sakit, seluruh area pelayanan pasien harus dipantau dan dikendalikan
tingkat kebisingannya minimal 3 bulan
sekali. Di rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS dan hasil temuan
yang tidak memenuhi
persyaratan di analisa
dan dikendalikan bersama IPSRS dan Unit K3 serta dilaporkan kepada Manajemen rumah sakit.
d
Resiko Bahaya Akibat Pencahayaan
Resiko pada lingkungan kerja dengan pencahayaan yang kurang atau berlebih. Tingkat
pencahayaan di seluruh
area rumah sakit juga telah dipantau
dan dilaporkan seperti resiko bahaya kebisingan tersebut. Hal yang harus diperhatikan adalah jika terjadi
kerusakan lampu, pastikan
lampu pengganti setara tingkat pencahayaannya dengan lampu sebelumnya, sehingga tidak terjadi
perubahan dalam tingkat pencahayaan pada
area tersebut.
e
Resiko Bahaya Listrik
Resiko yang diakibatkan oleh bahaya konsleting listrik dan kesetrum arus listrik.
Pengendalian yang telah dilakukan adalah melakukan preventif
maintenance seluruh peralatan
elektrik yang dilakukan
oleh IPSRS. Kalibrasi peralatan medis dan penggantian
peralatan yang telah out off date. Untuk mencegah bahaya kebakaran akibat peralatan listrik
yang dibawa peserta
didik dan keluarga
pasien dilakukan sosialisasi kepada seluruh peserta
didik pada saat orientasi dan untuk keluarga
pasien informasi diberikan
pada saat pasien masuk rumah sakit khususnya pasien rawat inap.
f
Resiko Bahaya Akibat Iklim Kerja
Resiko yang berhubungan dengan suhu ruangan dan tingkat kelembaban. Jika suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan dapat mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas
hasil kerja. Pemantauan secara berkala telah dilakukan oleh ISLRS dan jika ditemukan
kondisi tidak memenuhi
peresyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit K3RS dan ISLRS yang dipimpin
oleh Direktur Umum dan Operasional.
g
Resiko Bahaya Akibat Getaran
Resiko ini tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin masih ada terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan motor listrik dan pada bagian housekeeping/rumah tangga
yang menggunakan mesin pemotong rumput (bagian taman).
2.
Biologi
a
Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau
Infeksi Rumah Sakit (PPIRS)
berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi Lingkungan RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan
langsung kepada pasien.
b
Resiko
dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini dikendalikan oleh ISLRS dan harus
didukung dengan housekeeping yang baik
dari seluruh karyawan dan penghuni
rumah sakit.
3.
Kimia
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah pengadaan B3, penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan pembuangan limbahnya. Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Penyedia
B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan
(Material Safety Data Sheet / MSDS), petugas
yang mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta mempunyai
prosedur penanganan tumpahan
B3. Penyimpanan B3 harus
terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan,
tersedia MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk menangani
tumpahan B3 serta tersedia prosedur
penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3. Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan
oleh satruan kerja yang
kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan
keakuratan serta standar
pelabelan. Dilarang melakukan
pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit. Pemanfaatan B3 oleh
satuan kerja harus dipantau kadar
paparan ke lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus memiliki pelatihan teknis pengelolaan
B3, jika belum harus segera diusulkan
sesuai prosedur yang berlaku. Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan
melalui saluran air kotor yang akan masuk ke
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3 padat harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3
(TPS B3), untuk selanjutnya diserahkan
ke pihak pengolah limbah B3.
1) Resiko dari bahan kimia yang
digunakan dalam proses produksi yang meliputi: Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk
dekontaminasi lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel
lantai, desinfeksi peralatan
dan permukaan peralatan
dan ruangan, dan lain-lain.
2) Antiseptik yaitu bahan-bahan yang
digunakan untuk cuci tangan dan mencuci
permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3) Detergen yaitu bahan-bahan yang
digunakan untuk mencuci linen dan peralatan lainnya.
4) Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi
anatomi.
5) Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan
pasien.
6) Gas medis yaitu gas yang dipergunakan
untuk pengobatan dan bahan penunjang pengobatan pasien seperti oksigen,
karbon dioxide, nitrogen, nitrit oxide, nitrous oxide,
dan lain-lain.
4.
Resiko Bahaya Fisiologi
/ Ergonomi
Resiko ini terdapat
pada hampir seluruh
kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan:
angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian antara peralatan kerja dan
ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan
melalui sosialisasi secara berkala oleh Unit K3.
5.
Resiko Bahaya Psikologi
Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak
harmonisan hubungan antar manusia
didalam rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja dengan pelanggan, maupun pekerja
dengan pimpinan.
C. DAMPAK KECELAKAAN DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA DI RUMAH SAKIT TERHADAP PENURUNAN
KEMAMPUAN DAN PRODUKTIFITAS
Kecelakaan dan penyakit
akibat kerja Bahaya di rumah sakit akan berdampak
pada kesehatan, keselamatan perawat,dan selanjutnya pada kualitas pelayanan di rumah sakit. Hal ini perlu
mendapat perhatian baik dari perawat maupun
rumah sakit. Jika keselamatan dan kesehatan perawat tidak diperhatikan akan terjadi peningkatan absensi,
ketidakpuasan bekerja, produktifitas menurun,
hilangnya kepercayaan diri, kreatifitas dan konsentrasi perawat dalam
bekerja. Mcnamara (2010) menjelaskan
konsekuensi negatif dari keadaan kesehatan dan
keselamatan perawat yang buruk adalah penurunan pendapatan rumah sakit, absensi,
produktivitas berkurang dan kesalahan medis (Palumbo, Mclaughlin, Mcintosh,&Rambur, 2011)
Hasil penelitian di RS UGM menunjukkan bahwa kerugian
akibat kecelakaan berupa biaya
langsung sebesar Rp 11.103.014, 00 (sebelas juta seratus tiga ribu empat belas rupiah) dan banyaknya hari kerja
yang hilang sebanyak 46 hari.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
H.W.Heinrich (1959), ditemukan bahwa perbandingan antara biaya tidak langsung dengan biaya langsung
mengikuti rasio 4 berbanding 1. Dengan rasio tersebut, dapat diperhitungkan kerugian tidak langsung yang ditimbulkan
akibat kecelakaan di RS UGM, yakni sebesar
Rp 44.412.056 (empat puluh empat juta empat ratus dua belas ribu lima puluh enam rupiah), selama periode 1,5
tahun (data kecelakaan kerja Januari 2015 sampai dengan Juni 2016). Belum
lagi penghitungan biaya tidak langsung berupa hilangnya
waktu oleh pekerja
yang terluka untuk menangani lukanya,
hilangnya waktu kerja pekerja lain yang membantu
pekerja yang terluka,
kerusakan alat, penurunan produktivitas
oleh pekerja selama masa pemulihan, yang
semua itu belum diperhitungkan dalam penelitian ini.
Data didapat dari 23 responden di RS UGM, Hasil
penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi kecelakaan kerja menurut
lokasi bagian tubuh yang terluka
paling banyak terjadi pada bagian tubuh lainnya yaitu sebanyak 19
responden (82,6%). Termasuk
dalam kategori bagian tubuh lainnya
adalah jari tangan,
telapak atau lengan. Dilihat
dari jenis cidera yang paling banyak berupa NSI (Needle Stick Injury/tertusuk jarum), di mana NSI ini banyak mengenai
jari tangan responden, baik
jari tangan kanan maupun kiri.
D.
HASIL PENELITIAN TERKAIT PENYAKIT DAN KECELAKAAN AKIBAT KERJA DI
RUANG ICU
Berdasarkan hasil survey kecelakaan kerja, didapatkan hal – hal sebagai
berikut:
1. Penelitian yang dilakukan di RSU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2016,
didapatkan data sebanyak 23,81% perawat Intensive Care Unit (ICU) mengaku
pernah mengalami kejadian
kecelakaan kerja umum seperti terpeleset dan terjatuh. Perawat
yang paling banyak mengalami bahaya mekanik
adalah perawat bagian ICU (32,69%). Rata – rata perawat di seluruh unit mengaku pernah mengalami kejadian
seperti tertusuk benda tajam. Faktor psikososial
seperti beban kerja berlebih, shift kerja, dan stress akibat kerja terbanyak
dialami oleh perawat
pada unit Instalasi
Bedah Sentral (IBS) (31,82%)
perawat pada unit ICU (27,27%), bangsal arafah dan IMC Mina (18,18%).
2. Penelitian yang pernah dilakukan
di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh menunjukkan pola kuman yang berpotensi sebagai infeksi\
nosokomial
adalah Staphylococcus aureus (72,72%), Pseudomonas
aeruginosa (18,18%), dan Acinetobacter
baumannii (9,09%). Team K3 mendapatkan perawat yang melakukan
penanganan atau perawatan
pada pasien di ICU RSUD dr Zainoel
Abidin Banda Aceh hanya 54,5% dalam katagori baik dan perawat ICU bekerja tidak sesuai dengan SOP seperti masker yang telah digunakan digantung di
leher (100%), tidak mencuci tangan sebelum menggunakan sarung tangan (90,9%), tidak mencuci
tangan sebelum kontak
langsung dengan pasien
(86,4%) dan tidak mencuci tangan dengan antiseptik sebelum menangani pasien
yang rentan terhadap
infeksi (45,5%).
3. Hasil penelitian di RSUD Pasar Rebo Jakarta, tentang analisis
faktor yang berhubungan dengan kejadian Needle Stick Injury(NSI) di ruang instalasi
gawat darurat dan Intensive
Care, menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan (p=0,003), pengalaman kerja (p=0,000), pelatihan APD (p=0,004), recapping
needle (p=0,003), sikap (p=0,003), suasana
hati (p=0,003), kelelahan
kerja (p=0,004) dengan kejadian NSI. Kelelahan kerja merupakan faktor dominan
yang dapat meningkatkan kejadian NSI. Hasil
penelitian menunjukkan perlunya
diadakan pelatihan APD untuk mencegah NSI dan menghindari adanya
double shift dan overtime yang tidak diperlukan untuk menghindari kelelahan kerja pada perawat.
4. Hasil penelitian dengan responden 81
perawat di ruang perawatan intensif RSUD
K.R.M.T. Wongsonegoro dan RS. Tugurejo Semarang, menunjukkan bahwa mayoritas responden
(63,0%) mengalami kelelahan
kerja dalam kategori sedang, 23,5% mengalami kelelahan
berat, dan 13,6% mengalami kelelahan
ringan. Kelelahan kerja yang dialami berupa mengantuk, menguap, ingin berbaring, rasa tidak percaya diri,
cenderung melupakan berbagai hal, kurang
sabar, pusing, dan merasa haus. Peneliti menyarankan perawat untuk memaksimalkan motivasi kerja yang dimiliki
dan manajemen kerja perawat seperti,
manajemen stress koping dan manajemen waktu serta bagi rumah sakit untuk rutin melaksanakan program
refresing yang sudah ada seperti piknik minimal
1 tahun sekali.
5. Hasil penelitian analisa faktor yang
mempengaruhi Low Back Pain perawat ICU di Rumah Sakit Wilayah Provinsi Banten
dengan metode menggunakan analitik korelasional dengan potong lintang,
sampel penelitian 82 perawat ICU, dengan total sampling. Pengumpulan data dengan kuesioner
dan observasi.
Terjadinya kecelakaan di Rumah Sakit bisa datang dari unsafe act factor ataupun unsafe
condition factor. Unsafe act misalnya
datang dari sikap dan tingkah laku pekerja yang kurang baik, kurang pengetahuan dan ketrampilan, cacat tubuh
yang tidak terlihat, keletihan kelesuan, dan sebagainya. Sementara
untuk unsafe condition karena mesin yang atau alat yang digunakan, lingkungan kerja, proses
kerja, sifat pekerjaan, cara kerja, dsb. Beberapa regulasi yang mengatur mengenai pelaksanaan K3 di Rumah Sakit
diataranya UU nomor 1 tahun 1970
tentang keselamata kerja, Permenkes nomor 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang pedoman Manajemen K3 Rumah Sakit,
Permenkes nomor 432/Menkes/SK/VIII/2010 tentang Standar K3 Rumah Sakit. Dimana secara keseluruhan memiliki
tujuan spesifik mengenai K3 Rumah
Sakit yaitu untuk terciptanya cara kerja yang sehat, lingkungan kerja yang
aman, nyaman dan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan Rumah
Sakit.
Intensive Care Unit (ICU)
adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi dibawah direktur pelayanan),
dengan staf dan perlengkapan khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang
menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial
mengancam nyawa dengan prognosis
dubia. Ruang ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital
dengan menggunakan ketrampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keaadaan tersebut
Beberapa Penyakit dan Kecelakaan Akibat Kerja yang mungkin terjadi di
Ruang ICU, antara lain:
No. |
Penyebab |
Penyakit dan Kecelakaan Kerja yang Mungkin Terjadi |
|
1. |
Fisik |
Mekanik |
- Tertusuk jarum suntik : tertular HIV,
Hepatitis B. -
Terjepit benda bergerak (trolly emergency,
bed pasien, trolly tindakan),
terpeleset karena lantai licin :
fraktur, dislokasi, cedera kepala. |
Bising |
Suara monitor
atau alarm ventilator : gangguan pendengaran |
||
Getaran |
Tidak ada |
||
Cahaya |
Tidak ada |
||
Radiasi |
Resiko
terpapar radiasi, karena foto
rontgent yang dilakukan di dalam Ruang ICU : Kanker. |
||
Iklim |
Suhu
ruangan yang dingin berhubungan dengan
menjaga suhu optimal
alat-alat medis : influenza, demam, alergi. |
||
Listrik |
- Hampir semua alat-alat di ICU terhubung dengan sumber listrik (resiko tersetrum listrik) : luka bakar, heart attack. |
||
2. |
Kimia |
Cairan |
Menyebabkan alergi dan iritasi
: |
|
|
Oksigen |
Resiko terjadi kebocoran dan ledakan : luka bakar. |
3. |
Biologi |
Darah |
Pengambilan darah,
pemasangan infus, tranfusi
darah : beresiko terinfeksi
HIV/AIDS atau virus Hepatitis B
dari pasien yang dirawat di ICU
bila penggunaan APD tidak
sesuai. |
Droplet |
Terkena percikan
dahak pasien terinfeksi bakteri tuberculosa : TBC. |
||
Keringat |
Kontak
fisik dengan pasien terinfeksi virus
hepatitis : penyakit Hepatitis. |
||
Airborne |
Kontak
dengan udara yang terkontaminasi kuman
/ bakteri : flu
burung, MRSA. |
||
4. |
Fisiologi/Ergonomi |
Pasien |
Mengangkat,
memindahkan, mengubah posisi pasien
tidak menggunakan teknik yang tepat
: low back pain, HNP, kelainan struktur tulang belakang. |
Tindakan Medis |
Posisi yang
kurang tepat saat memasang ETT,
perawatan luka, injeksi, Resusitasi Jantung Paru : low
back pain, HNP, kelainan struktur
tulang belakang. |
||
5. |
Psikologi |
Analisis Beban Kerja |
Jumlah pasien dengan
tenaga perawat tidak
berimbang, |
|
|
Keluarga pasien |
Komplain
keluarga atas ketidakpuasan
pelayanan : stress, vertigo, cephalgia. |
![]() |
|||
![]() |
![]() |
![]() |
||
Beberapa alat dengan
resiko bahaya di ruang ICU:
Defibrilator (resiko bahaya fisik: listrik); bed pasien, trolly emergency (resiko bahaya fisik: mekanik)
BAB IV
PEMBAHASAN
Penyakit
akibat kerja di rumah sakit ruang Intensif
Care Unit (ICU) umumnya berkaitan dengan faktor biologi (kuman patogen yang umumnya berasal
dari pasien, penularan
penyakit melalui airborne, droplet
dan kontak), faktor kimia (antiseptik pada kulit, disinfektan), faktor ergonomi (angkat
dan angkut, posisi duduk/membungkuk lama, body mass pasien, yaitu ukuran fisik perawat-pasien yang timpang ketika perawat melakukan
personal hygiene, perawatan luka, melakukan tindakan RJP/pemasangan ETT
dengan posisi kurang tepat, dsb), faktor fisika (terkena
benda tajam, lancip,
panas, bahaya listrik
spt penggunaan DC Shock tidak sesuai
SPO).
A.
Bahaya Biologi
Bahaya Biologi adalah penyakit atau gangguan kesehatan
yang diakibatkan oleh mikroorganisme hidup seperti bakteri,
virus, riketsia, parasit dan jamur. Sedangkan
infeksi nosokomial adalah suatu keadaan infeksi yang diperoleh dari
dalam lingkungan rumah sakit, dapat merupakan
suatu infeksi endogen
yang berasal dari penderita sendiri
atau suatu infeksi
eksogen yang berasal dari luar penderita.
Upaya pencegahan infeksi di rumah sakit ruang Intensif
terdiri dari penerapan 2 tingkat kewaspadaan, yaitu kewaspadaan universal
dan kewaspadaan khusus.
1. Kewaspadaan Universal :
Prinsip utama prosedur
kewaspadaan universal pelayanan
kesehatan adalah menjaga
higiene sanitasi individu,
higiene sanitasi ruangan
dan sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi 5 (lima)
kegiatan pokok yaitu :
a.
Cuci tangan guna mencegah infeksi silang
b. Pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan guna mencegah kontak
dengan darah serta cairan infeksius
yang lain,
c. Pengelolaan alat kesehatan
bekas
pakai
d.
Pengelolaan jarum suntik dan alat tajam untuk mencegah
perlukaan
e.
Pengelolaan limbah
dan sanitasi ruangan
2. Kewaspadaan khusus terdiri dari tiga jenis
kewaspadaan yaitu :
a.
Kewaspadaan terhadap penularan melalui udara (airborne)
Yaitu digunakan untuk menurunkan penularan
penyakit melalui udara baik yang berupa bintik percikan di udara (ukuran 5 µm atau lebih kecil) atau partikel kecil yang berisi agen infeksi pada pasien yang diketahui
atau diduga menderita
penyakit serius dengan penularan melalui
percikan halus di udara.
Penyakit yang dapat ditularkan melalui
udara antara lain Campak, Varisela,
Tuberkulosis.
b. Kewaspadaan terhadap
penularan melalui percikan
(droplet)
Kewaspadaan ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari pasien yang diketahui atau diduga
menderita penyakit serius dengan penularan percikan partikel besar (diameter> 5 µm) dari orang yang terinfeksi mengenai lapisan
mukosa hidung, mulut
atau konjungtiva mata orang yang
rentan.
Percikan dapat terjadi
pada waktu seseorang
berbicara, batuk, bersin ataupun pada waktu pemeriksaan jalan nafas seperti intubasi atau bronkhoskopi.
Transmisi melalui percikan
besar berbeda dengan transmisi penularan
melalui udara karena pada transmisi percikan memerlukan kontak yang dekat antara sumber
dengan penerima, karena percikan
besar tidak dapat bertahan lama di udara dan hanya dapat berpindah dari dan ke tempat yang dekat.
Beberapa penyakit
yang ditularkan melalui
droplet diantaranya :
1)
Haemophyllus Influenza invasive type
B, termasuk meningitis, pneumonia dan
sepsis.
2) Neisseria Meningitis invasive, termasuk meningitis, pneumonia dan sepsis.
3)
Staphylococcus
Pneumonia invasive multidrug resisten, termasuk meningitis pneumonia, sinusitis, dan otitis media.
4)
Bakteri
infeksi saluran nafas lain dengan transmisi droplet : Diptheria (faringeal), Mycoplasma pneumonia, Pertusis, Pneumonia plague,
Streptococcal pharingitis, fever pada
bayi dan anak, pneumonia, atau scarlet
5) Infeksi virus serius dengan transmisi
percikan, termasuk : Adenovirus, Influenza,
Mumps, Parvovirus B 19, Rubella
c. Kewaspadaan terhadap
penularan melalui kontak
Digunakan untuk mencegah
penularan penyakit dari pasien yang diketahui atau diduga menderita penyakit yang
ditularkan melalui kontak langsung (misalnya kontak tangan atau kulit ke kulit) yang terjadi selama perawatan rutin,
atau kontak tak langsung (persinggungan) dengan benda di lingkungan pasien.
Contoh penyakit
yang ditularkan melalui
kontak adalah :
1. Infeksi gastrointestinal, respirasi, kulit luka atau kolonisasi bakteri
yang multidrug resisten sesuai pedoma n progra m pemberantas an .
2. Infeksi interik dengan
dosis infeksi rendah atau berkepanjangan termasuk :
a. Clostridium difficile
b.
Enterohemorrhagic E. Coli, Shigella, hepatitis A, atau rotavirus pada pasien inkontenensia.
3. RSV, virus para influenza, atau infeksi enteroviral pada bayi dan anak-anak.
4. Infeksi kulit yang sangat
menular atau yang biasa timbul
pada kulit kering,
termasuk:
a. Difteri (kulit)
b. Herpes s implek s ( neonatus atau mukoneonatus)
c.
Impetigo
d.
Abses besar, selulitis atau decubitus
e.
Pedikulosis
f.
Skabies
g.
Stapilococcal furunculosis pada bayi dan anak-anak
h.
Stapilococcal scalded skin syndrome
i.
Zoster (diseminata atau immunocompromised host)
j.
Viral hemorrhagic conjungtivitis
k.
Viral hemorrhagic fever (demam lessa atau virus Marburg)
Ketentuan Umum Pencegahan :
a.
Tempatkan
pasien pada tempat yang terpisah atau bersama pasien lain dengan infeksi aktif organisme yang sama dan tanpa infeksi lain.
b. Melaksanakan kewaspadaan universal.
c.
Perawatan l ingkungan yaitu dengan membersihkan
setiap hari peralatan
dan permukaan lain yang sering tersentuh oleh pasien.
d.
Peralatan perawatan
pasien gunakan terpisah
satu sama lain, jika terpaksa
harus digunakan satu sama lain secara bersama
maka peralatan tersebut
harus selalu dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan pada yang lain.
Tindakan yang harus dilakukan
:
1) Tempatkan pasien pada ruang
tersendiri atau bersama pasien lain dengan ruang kerja lainnya.
2) Mencuci tangan sebelum dan sesudah
bekerja pada air yang mengalir
atau alcuta.
3) Menggunakan alat pelindung kerja seperti masker,
gaun pelindung dan sarung tangan.
4) Melakukan tindakan
desinfeksi, dekontaminasi dan sterilisasi, terhadap
berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja, lantai dan lain-lain
terutama yang sering tersentuh oleh pasien.
5) Melaksanakan penanganan dan pengolahan limbah dengan cara yang benar,
khususnya limbah infeksi.
6) Memberikan pengobatan yang adekuat pada penderita.
3. Penyakit Akibat Kerja Di Ruang ICU
a. Tuberkulosis Paru :
Adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Asam (BTA).
Penularan penyakit ini dapat melalui droplet- droplet yang dibawa oleh
udara tuberkulosis yang berbentuk
batang (basil) dan disebut pula Basil Tahan Asam dari seseorang yang terinfeksi dengan tuberkulosis. Kecurigaan adanya
tuberkulosis paru adalah batuk lebih
dari 4 minggu, dahak bercampur darah, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat pada malam hari, demam dan sesak nafas.
1) Ketentuan Umum Pencegahan :
a)
Melakukan pekerjaan
sesuai dengan prosedur
tetap (SOP).
b)
Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan berkala,
seminar ilmiah, selebaran, poster dan lain- lain.
c) Melaksanakan kewaspadaan universal (Universal Precaution = UP)
d)
Melaksanakan kewaspadaan khusus, dengan cara
menempatkan pasien pada tempat
tersendiri dengan tekanan tinggi terpantau, minimal pergantian udara enam kali setiap
jam, pembuangan udara keluar memadai.
e)
Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan pemeriksaan kesehatan berkala.
2)
Tindakan yang harus dilakukan
:
a)
Mengupayakan ventilasi
dan pencahayaan yang baik dalam ruang perawatan, ruang konseling
dan ruang kerja lainnya.
b)
Mencuci tangan
sebelum dan sesudah
bekerja pada air yang mengalir
atau alcuta.
c) Menggunakan alat pelindung
kerja seperti masker dan sarung
tangan.
d)
Melakukan tindakan
desinfeksi, sterilisasi, dan dekontaminasi terhadap
berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja, lantai dan lain-lain
terutama bila terkena bahan infeksi.
e)
Melaksanakan penanganan dan pengolahan limbah dengan cara yang benar, khususnya
limbah infeksi.
f)
Melaksanakan
pemeriksaan kesehatan secara berkala termasuk pemeriksaan radiologi.
g) Memberikan pengobatan yang adekuat pada penderita.
b.
Influenza :
Adalah penyakit infeksi
saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus influenza, yang penularannya dapat melalui
batuk, bersin, dan tangan yang tidak dicuci setelah kontak dengan cairan hidung/mulut.
Gejala-gejala influenza
dapat berupa : Demam, kedinginan, mata kemerahan, otot/tulang
sakit, batuk, hidung berair yang mungkin menetap selama 1- 2 minggu setelah
gejala lain hilang.
1)
Ketentuan Umum Pencegahan :
a)
Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur
tetap (SOP).
b)
Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan berkala,
seminar ilmiah, leaflet/brosur, poster dan lain-lain.
c)
Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan pemeriksaan kesehatan berkala .
d)
Melakukan pengaturan/ pemisahan penderita untuk menghindari terjadinya penularan.
e) Melaksanakan kewaspadaan universal (Universal Precaution =UP).
f)
Instruksikan
pada pasien untuk tutup mulut saat batuk/bersin.
2) Tindakan yang harus dilakukan :
a)
Mengupayakan
ventilasi dan pencahayaan yang baik dalam ruang perawatan, ruang konseling. Tempatkan pasien pada
ruang tersendiri dan atau bersama pasien
lain dengan ruang kerja lainnya.
b)
Mencuci
tangan sebelum dan sesudah bekerja pada air yang mengalir atau alcuta.
c)
Menggunakan
alat pelindung kerja seperti masker N 95 bila berada/bekerja dengan jarak kurang dari 1 m dari pasien, dan sarung tangan.
d)
Melakukan t indakan desinfeksi,
dekontaminasi dan sterilisasi, terhadap berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja, lantai
dan lain-lain terutama bila terkena bahan infeksi.
e)
Melaksanakan penanganan dan pengolahan limbah dengan cara yang benar, khususnya
limbah infeksi.
f)
Melaksanakan
pemeriksaan kesehatan secara berkala
termasuk pemeriksaan radiologi.
g) Memberikan pengobatan yang adekuat pada pasien.
c.
Hepatitis
Adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV), yang manifestasinya dapat sebagai
Hepatitis B akut maupun dalam
bentuk sebagai pengidap
(karier) kronik HBsAg.
Cara penularannya dapat melalui darah atau cairan tubuh lainnya dari penderita HBV maupun pengidap HBsAg. Gejala penyakitnya dapat berupa demam, lemah, mual/muntah, rasa tak enak di epigastrium dan kemungkinan disertai ikterik.
1) Ketentuan Umum Pencegahan :
a)
Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur
tetap (SOP).
b)
Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan berkala,
seminar ilmiah, selebaran, poster dan lain- lain.
c)
Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan pemeriksaan kesehatan berkala .
d)
Melakukan pengaturan/pemisahan pasien untuk menghindari terjadinya penularan.
e) Tutuplah luka bila ada.
2) Tindakan yang harus dilakukan :
a)
Meningkatkan pengetahuan dan kepedulian perawat terhadap penyakit hepatitis B dan penularannya.
b)
Mencuci tangan
sebelum dan sesudah
bekerja pada air yang mengalir
atau alcuta.
c) Menggunakan alat pelindung
kerja seperti masker dan sarung
tangan.
d)
Melakukan tindakan
desinfeksi, sterilisasi, dan dekontaminasi terhadap
berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja, lantai
dan lain-lain terutama
bila terkena bahan infeksi.
e)
Melaksanakan penanganan dan pengolahan limbah dengan cara yang benar, khususnya
limbah infeksi.
f) Memberikan vaksinasi kepada
petugas.
g)
Melaksanakan
pemeriksaan kesehatan secara berkala
termasuk pemeriksaan radiologi.
h) Memberikan pengobatan yang adekuat pada penderita.
d.
Resistensi
Adalah suatu keadaan
dimana mikroba sudah tidak peka lagi terhadap
antimikroba pada pemberian
yang rasional. Resistensi di instalasi farmasi
dan intensif care dapat terjadi
karena kita menghirup
atau terpajan antimikroba atau sitostatika dalam
pembuatan dan peracikan obat. Ciri-ciri resistensi adalah bila kita terinfeksi dengan mikroba tertentu
kemudian diberi antimikroba yang sesuai namun
tidak memberikan respon yang
positif.
1) Ketentuan Umum Pencegahan :
a)
Melakukan pekerjaan
sesuai dengan prosedur
tetap (SOP).
b)
Melakukan pekerjaan
dengan sarana dan prasaraa yang
Memenuhi syarat.
c)
Memberikan pengetahuan tentang resistensi serta bahaya resistensi terhadap tubuh.
d)
Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan sesudah bekerja
secara berkala.
2) Tindakan yang harus dilakukan :
a)
Cuci tangan
sebelum bekerja.
b)
Gunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker,
baju lab, tutup
kepala sebelum bekerja.
c)
Bekerja pada tempat yang memenuhi syarat.
d)
Laporkan hasil pemeriksaan berkala.
e)
Jika terjadi
kelainan maka perlu dilakukan tindak
lanjut pekerjaan.
f)
Berikan pengobatan sesuai dengan standar medis.
B.
Bahaya Kimia
Adanya zat-zat kimia di rumah sakit dapat menimbulkan
bahaya bagi pasien, maupun bagi para
pekerjanya, baik bagi para dokter, perawat, teknisi dan semua yang berkaitan
dengan pengelolaan rumah sakit terutama
ruang ICU.
Resiko dari bahan kimia
yang digunakan dalam
proses produksi yang meliputi:
1. Desinfektan yaitu bahan-bahan yang
digunakan untuk dekontaminasi lingkungan dan
peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2. Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci
permukaan kulit pasien seperti
alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3. Detergen yaitu bahan-bahan yang
digunakan untuk mencuci linen dan peralatan lainnya.
4. Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5. Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan pasien.
6. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan
untuk pengobatan dan bahan penunjang pengobatan
pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit oxide, nitrous oxide,
dan lain-lain.
Gas Oksigen
a.
Sifat-sifat
oksigen : Stabil pada suhu dan tekanan normal, berbentuk gas dan cair, bersifat oksidator, membantu
pembakaran, tidak berwarna, sedikit berbau dan
tidak berasa. Berat molekul = 31.9988 gr/mol, titik didih pada 1 Atm = - 182,920C, dapat larut di alkohol.
b. Type bahaya : Kebakaran
1) Bahaya : bersifat oksidator, membantu
proses pembakaran/memperbesar nyala api.
2) Pencegahan : jauhkan gas oksigen dari minyak, oli, gemuk, api, dan zat-zat
lain yang mudah terbakar.
3) Tindakan : Jika terjadi kebakaran
gunakan pemadam api; Dry Chemical, CO2, semprotkan air pada silinder O2 yang ada
di sekitarnya supaya dingin.
c. Bahaya : Ledakan.
1)
Bahaya : Bisa menimbulkan ledakan, pecahnya tabung silinder.
2) Pencegahan : jauhkan dari api atau sumber panas lainnya, terutama
pada tabung bertekanan tinggi
(150 atm) dapat meledak/pecah jika terkena panas tinggi, pasang safety.
d. Pemaparan : Inhalasi.
1) Gejala akut: Menyebabkan iritasi,
pusing jika terhirup
oksigen murni dalam
jumlah besar.
2) Pencegahan : Hindari hirup O2 dalam jumlah besar,
Pindahkan, jika ada tabung
bocor.
3) Pertolongan pertama
: Bawa penderita ke tempat yang segar dan istirahatkan.
e. Pemaparan : Kulit.
1) Gejala akut : Kulit melepuh atau luka beku karena pengaruh
dingin jika terkena O2 cair.
2) Pencegahan : Pakai sarung tangan, sepatu pelindung, hindari
kontak kulit dnegan O2 cair.
3) Pertolongan pertama : Siram
dengan air hangat
(30-400C) pada bagian kulit yang terbakar atau luka.
f. Pemaparan : Mata
1)
Gejala akut: Penglihatan kabur
dan iritasi mata.
2)
Pencegahan : Pakai pelindung mata saat menangani
O2 cair.
3)
Pertolongan pertama
: Bilas mata dengan
air bersih ± 15 menit.
g. Penyimpanan :
1)
Harus dijauhkan dari minyak, oli, gemuk, dan bahan lain yang mudah terbakar
2) Harus dijauhkan dari suhu/panas yang
tinggi karena bisa meledak jika terkena panas yang tinggi
3) Harus dijauhkan dari zat-zat yang
dapat menyebabkan terjadinya karatan atau kerusakan.
C.
Bahaya Ergonomi
Risiko bahaya ergonomik, yang merupakan hasil dari
ketidak sesuaian antara kapasitas atau kemampuan pekerja
dengan cara kerja dan lingkungan kerjanya. permasalahan ergonomik
di instalasi perawatan
intensif berkaitan dengan postur, kekuatan dan frekuensi (posture, force,
and frequency).
Permasalahan ergonomik di instalasi perawatan
intensif bisa diidentifikasi berdasarkan:
1. Rutinitas dan pendistribusian, seperti
Angkat dan angkut,
posisi duduk/membungkuk lama
saat melakukan pemasangan infus atau tindakan
keperawatan, ketidak sesuaian antara peralatan dan postur tubuh perawat
(saat memberikan makanan via NGT
posisi tangan terus diangkat), selisih body mass
pasien dengan ukuran fisik perawat (ketika perawat melakukan personal hygiene, perawatan luka,memindahkan pasien
dari brankar ke tempat tidur), saat
melakukan RJP/pemasangan ETT dengan posisi kurang tepat.
2. Permasalahan ergonomik lainnya adalah yang berhubungan dengan lingkungan
kerja seperti display unit, yaitu penataan ruang kerja termasuk pencahayaan dan warna nya yang apabila
tidak ergonomik akan menimbulkan masalah
dan kecelakaan kerja. Spt tinggi tangga lantai dengan langit-langit yang terlalu rendah.
3. Permasalahan yang tidak kalah
pentingnya adalah masalah manajemen waktu dan
hubungan antar manusia dilingkungan pekerjaannya.
Pengendalian ergonomik
Pengendalian ergonomik dipakai untuk menyesuaikan
tempat kerja dengan pekerja.
Pengendalian ergonomik berusaha mengatur agar tubuh pekerja berada di posisi yang baik dan mengurangi risiko kerja. Pengendalian ini harus dapat mengakomodasi segala macam pekerja.
Pengendalian ergonomik dikelompokkan dalam tiga kategori utama, yang disusun sesuai dengan metoda yang
lebih baik dalam mencegah dan mengendalikan risiko ergonomik.
1. Pengendalian teknik adalah metoda
yang lebih diutamakan karena lebih permanen dan efektif
dalam menghilangkan risiko
ergonomi.
Pengendalian teknik yang bisa dilakukan adalah memodifikasi, mendesain
kembali tata ruang atau mengganti
tempat kerja, bahan/objek/desain tempat penyimpan dan pengoperasian peralatan di ruang ICU
2. Pengendalian administratif yang berhubungan dengan bagaimana pekerjaan
disusun, seperti : jadwal
kerja, penggiliran kerja dan waktu istirahat, program
pelatihan dan serta program
perawatan dan perbaikan.
3. Pengendalian cara kerja yang berfokus pada cara pekerjaan
dilakukan, yakni: menggunakan mekanik tubuh yang baik dan
menjaga tubuh untuk berada pada posisi
netral.
D.
Bahaya Fisika
Faktor fisika merupakan salah satu beban tambahan bagi
pekerja di rumah sakit yang apabila tidak dilakukan upaya-upaya penanggulangannya dapat menyebabkan penyakit akibat kerja. Faktor
fisika di ICU terdiri dari mekanik, bising, listrik,
dan radiasi.
1.
Mekanik
a.
Potensial bahaya : Tertusuk
jarum suntik, Terjepit
benda bergerak (trolly
emergency, bed pasien,
trolly tindakan), Terpeleset karena lantai licin.
b.
Pengendalian
resiko bahaya :
1)
Perlunya diadakan pelatihan APD untuk mencegah NSI (Needle Stick Injury) dan menghindari adanya double shift dan
overtime yang tidak diperlukan untuk
menghindari kelelahan kerja pada perawat (Hasil penelitian RSUD Pasar Rebo, Jakarta
timur nopemver 2017 tentang Analisis
Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Needle Stick Injury Di Ruang Instalasi
Gawat Darurat Dan Ruang Intensive Care,
sumber : Jurnal Keperawatan Respati
Yogyakarta), salah satu contoh pengendalian yang dilakukan seperti
penggunaan safety box limbah
tajam dan tidak menutup kembali melainkan langsung
dibuang ke safety box.
2)
Pemasangan keramik
anti licin pada koridor dan lantai yang miring, pemasangan rambu “awas licin”.
2.
Bising
a.
Potensial bahaya:
Suara monitor atau alarm
ventilator`
b.
Pengendalian resiko bahaya : Suara monitor
disetting sesuai dengan standar. Segera
mencari penyebab dan selesaikan masalah mengapa alarm berbunyi
3. Listrik
a. Potensial bahaya :
1)
Hampir semua alat-alat di ICU terhubung dengan sumber listrik
2)
Resiko
tersetrum listrik dari stop kontak yang terbuka atau kabel yang terurai ke lantai atau saat operasional DC Shock
melakukan kardioversi/Defibrilasi tidak sesuai
dengan SPO, sehingga
petugas/perawat ikut terkena
strum aliran listrik.
b. Keluhan : Terasa
panas dan kedutan
c.
Walk through
survey : Adanya
aliran listrik yang tidak terpelihara
d.
Efek Kesehatan
: Luka bakar ditempat tersengat
aliran listrik, Kaku pada otot ditempat
yang tersengat listrik, Tahanan tubuh membesar
e. Pengendalian, Enginering
1)
Pemasangan grounding (pertanahan) sesuai ketentuan.
2)
Pengukuran jaringan/instalasi listrik
3)
NAB bocor
arus 50 miliamper, 60 Hz (sakit)
4)
Pemasangan pengamanan/alat pengamanan sesuai ketentuan
5)
Pemasangan tanda-tanda bahaya dan indikator
4.
Radiasi
Intensive care unit (ICU) adalah pelayanan rumah sakit yang diperuntukkan dan di
tentukan oleh kebutuhan pasien yang sangat kritis. Tujuan dari pelayanan ICU adalah memberikan pelayanan
medic yang berkelanjutan. SK BAPETEN No 1/P/K.A.BAPETEN/IV/1999 untuk keselamatan kerja operasional radiologi
diagnostik. Jarak titik aman Hand swich (titik sumber sejauh 3 meter dengan ketentuan nilai batas dosis (NBD) untuk
pekerja sebesar 10 μSv/jam, NBD untuk masyarakat umum 0,5
μSv/jam.
Penggunaan radiasi sinar X untuk keperluan medis fotografi, sering pula dilakukan di ruangan ICU yang pada ruangan
tersebut terdapat pasien lain, petugas ICU,
dan petugas radiologi sendiri serta ruangan tersebut tanpa dilengkapi dengan proteksi
radiasi. Dengan demikian
diperlukan upaya yang terus menerus
untuk melakukan kegiatan keselamatan dan kesehatan kerja dalam medan
radiasi pengion melalui tindakan
proteksi radiasi. Paparan
dosis yang didapat
akan dibandingkan dengan nilai batas dosis (NBD) yang di
perbolehkan SK BAPETEN No.1 P/K.A. BAPETEN
IV Tahun 1999 untuk keselamatan pekerja sebesar 10 Sv/jam, NBD untuk masyarakat umum 0,5 Sv/jam.
Radiasi dibagi
menjadi :
Radiasi pengion
Radiasi pengion mempunyai kemampuan untuk melepas elektron dari orbitnya
pada suatu atom membentuk suatu
ion. Termasuk disini : Sinar X, Sinar Gamma, Sinar Kosmis, Sifat radioaktifitas yang berasal dari mineral
a.
Efek Kesehatan
Efek radiasi
terhadap kesehatan dapat akut atau kronik
1) Radiasi yang akut dapat menimbulkan :
Sindrom sistem syaraf pusat, Gangguan gastrointestinal, Gangguan sistem hemopeoetik
2) Radiasi yang kronik menimbulkan :
Leukomogenesis, Karsiogenesis, Kerusakan
genetik
Efek kesehatan ini tergantung dosis dan waktu pemajanan mulai dari gejala
akut ringan sampai kematian.
b.
Pengendalian
1) Enginering : Peralatan ditaruh
pada ruang isolasi
(beton-Fb), Operator harus dilindungi
dari paparan
2)
Administrasi : Penggantian operator
X-ray bila film badge telah mencapai NAB.
3) Alat Pelindung Diri : Apron
E.
Bahaya Psikososial Dan Stress
ICU (Intensive Care Unit) merupakan
salah satu lingkungan kerja yang memiliki kecenderungan stres tinggi.
penyebab stres perawat ICU diantaranya adalah:
kondisi klien yang kritis, ruang ICU yang dilengkapi dengan fasilitas canggih,
suasana kerja yang sibuk serta menuntut ketrampilan yang khusus. Jika stres kemudian bertambah maka perawat akan
mengalami berbagai gejala stress yang dapat
mempengaruhi kinerja dan kesehatannya, bahkan
dapat mengancam kemampuannya untuk mengatasi
lingkungannya. Upaya pencegahan stres kerja perawat di Icu dapat melalui pendekatan individual, pendekatan
organisasi, dan pendekatan sosial budaya, agama,
olah raga dan medik / psikiatrik.
Perawat di ruang ICU harus mampu melakukan
interpretasi keadaan klien, mendeteksi
perubahan-perubahan fisiologis yang dapat mengancam jiwa serta dapat bertindak
mandiri dalam menagani
kegawatan sebelum dokter datang. Sehingga
apabila kondisi fisik dan psikologis perawat terganggu akan membahayakan keselamatan klien karena perawat
tidak mampu melaksanakan tugas dengan semestinya.
1. Penyebab Stres di Tempat Kerja.
a.
Bentuk tugas
Monoton, tugas yang tidak berarti,
tidak ada variasi, tugas yang tidak menyenangkan, tugas yang tidak disukai.
b. Beban dan kecepatan
kerja
Terlalu banyak
atau terlalu sedikit
dan bekerja dibawah
tekanan waktu.
c. Jam kerja
Jadwal kerja yang ketat dan tidak fleksibel, Jam kerja
yang panjang, Jam kerja yang tidak
dapat diprediksi. Rancangan sistem shift yang buruk.
d. Kontrol dan partisipasi
Tidak berpartisipasi dalam penentuan kebijakan. Tidak adanya kontrol
dalam sistem kerja misalnya jam kerja, jam lembur.
e. Pengembangan karir, status dan pembayaran
Posisi kerja yang tidak didukung atau tidak aman, Tidak adanya prospek
promosi. Promosi yang kurang atau
berlebihan, Nilai sosial kerja rendah, Sistem penggajian yang tidak memuaskan. Sistem evaluasi yang tidak adil. Tugas
tidak sesuai dengan kemampuan, terlalu tinggi atau
terlalu rendah.
f. Peran di organisasi
Peran tidak jelas, Peran yang menimbulkan masalah, Terlalu besar tanggung
jawab, terus menerus menyelesaikan masalah.
g. Hubungan antar individu
Hubungan antar sesame-antar posisi tidak baik, Tidak ada dukungan,
Terisolasi atau pekerjaan yang terisolasi.
Pelecehan termasuk pelecehan
seks, dijahati, ditekan.
h. Kultur organisasi
Kepemimpinan dan komunikasi yang buruk. Tujuan dan struktur organisasi
yang tidak jelas.
i.
Lingkungan kerja
Tidak nyaman,
berbahaya, bising, polusi.
j.
Lain-lain
Konflik antara beban tugas di tempat kerja dan di rumah.Tidak adanya
dukungan di tempat kerja bila ada
masalah di rumah atau
sebaliknya.
2. Akibat Dari Stres
Pengaruh stress pada setiap orang berbeda. Perubahan yang timbul akibat stres
dapat berupa perubahan perilaku dan mempengaruhi
kesehatan mental dan fisik.
Stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan masalah
psikologis yang mengarah ke psikiatri penyalahgunaan obat, minum alkohol
dan kemudian tidak datang untuk bekerja.
Stres juga dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terserang infeksi.
a. Masalah psikologis yang mungkin muncul
akibat stres.
1) Lebih mudah tersinggung atau sedih
2) Makan berlebihan
3) Tidak dapat berkonsentrasi atau santai
4) Sulit berfikir secara
logis dan sulit mengambil keputusan
5) Sulit menikmati pekerjaan dan tidak patuh
6) Merasa lelah, tertekan
dan terganggu.
7) Sulit/gangguan tidur
8) Histeri dan gangguan
psikiatri
9) Bunuh diri
b. Masalah fisik yang mungkin muncul akibat
stres
1) Penyakit kardiovaskuler seperti
peningkatan tekanan darah
2) Gangguan saluran cerna seperti dispepsia, ulkus peptikus.
3) Gangguan neuro-musculoskeletal seperti
sakit punggung/ pinggang,
sakit kepala.
4) Kanker
c. Pengaruh stres pada organisasi/rumah
sakit
1) Sering tidak masuk
2) Komitmen bekerja menurun
3) Produktivitas menurun
4) Peningkatan terjadinya kecelakaan kerja
5) Peningkatan ketidakpuasan pelanggan
6) Merusak citra
3.
Pencegahan dan Pengelolaan Stres
Adanya masalah stres di tempat kerja merupakan
tantangan organisasi untuk menyehatkan
organisasi dan pekerjanya. Ada dua hal yang dapat dilakukan oleh organisasi yaitu :
a.
Terapi organisasi/Pencegahan stres
Hal ini adalah cara langsung untuk
mengurangi stres di tempat kerja.
Pendekatan yang dilakukan adalah
:
•
Mengidentifikasi penyebab
stress (stressor)
• Mengembangkan strategi untuk menurunkan atau menghilangkan penyebab
stres tersebut.
Metode ini sering tidak disukai pimpinan karena dapat mempengaruhi
rutinitas jadwal kerja atau bahkan dapat mengubah struktur organisasi.
b.
Terapi individu/Pengelolaan stress
Pendekatan ini adalah pendekatan yang berfokus pada
individu dan cara untuk mengatasi sesuai dengan kebutuhan
melalui penyusunan program
pengelolaan stres. Pekerja belajar dari program tersebut
mengenai sifat, sumber stres, efek pada kesehatan dan kemampuan/ketrampilan untuk mengurangi stres.
Cara ini mudah untuk diterapkan tetapi ada kelemahannya yaitu hanya
berkonsentrasi pada individu sehingga sering akar masalah penyebab stres terabaikan.
Perubahan yang terjadi
pada satu RS adalah penurunan
kesalahan medikasi sebanyak
5%. Hasil dari 22 RS menunjukkan penurunan malpraktek sebanyak 70% dan pada 22 RS pembanding yang tidak menerapkan program tersebut tidak terjadi penurunan
malpraktek.
1. Pendekatan – pendekatan Individual
a.
Manajemen waktu
Prinsip – prinsip
yang dianggap terkenal
dalam manajemen waktu adalah :
1) Membuat daftar harian
tentang kegiatan – kegiatan yang harus diselesaikan
2) Memprioritaskan kegiatan – kegiatan atas dasar kepentingan dan urgensinya
3) Membuat jadwal kegiatan
– kegiatan menurut
prioritas yang telah
ditetapkan.
b.
Latihan fisik
Latihan fisik
yang non – kompetitip seperti
aerobik, latihan jalan dan jogging,
berenang dan bersepeda, direkomendasikan oleh para dokter sebagai cara untuk mengatasi
berbagai tingkatan stres, karena bentuk – bentuk latihan
ini dapat meningkatkan kapasitas jantung dan dapat melepaskan diri dari ketegangan.
c. Latihan relaksasi
Melalui tenik – teknik zikir,
meditasi, hinotis dan yoga. Tujuannya adalah untuk mencapai
status relaksasi yang dalam,
dimana seseorang merasa rileks secara fisik, agak menjauhkan diri dari pengaruh
lingkungan dan menjauhkan diri dari sensasi
tubuh. Lima belas atau dua puluh menit
sehari melakukan relaksasi
yang
dalam, dapat melepaskan ketegangan dan memberikan orang yang bersangkutan perasaan penuh kedamaian yang indah.
d. Bantuan sosial
Memiliki banyak kawan, keluarga atau teman – teman
sekerja untuk teman bicara, sebagai pendengar tentang problem yang sedang
dialami, dapat memberikan jalan keluar ketika
tingkat stres menjadi
eksesif. Oleh karena
itu memperluas jaringan sosial dapat berperan dalam pengurangan
ketegangan. Bantuan sosial dapat memoderatkan
akibat dari hubungan stres - kerja, sehingga stress ditempat kerja yang
beratpun tidak dapat meruntuhkan seseorang.
e. Konseling karyawan
Konseling adalah diskusi sebuah problem yang biasanya
memiliki unsur emosional dengan seorang karyawan, supaya dapat membantu karyawan tersebut mengatasi emosinya lebih
baik (Cairo, 1983). Konseling itu mencari cara-cara untuk memperbaiki kesehatan jiwa karyawan. Memiliki
kesehatan yang lebih baik berarti
bahwa orang itu merasa bahagia tentang dirinya,
merasa baik-baik saja dengan orang lain dan dapat memenuhi tuntutan hidupnya.
Menurut Lestari (1994), cara lain penanggulangan stres perlu dilakukan
beberapa pendekatan sosial budaya,
agama, olah raga dan medik / psikiatrik
1) Pendekatan sosial budaya : Secara
teratur menghadiri kegiatan –
kegiatan sosial, berusaha mempunyai
sahabat, setidaknya seminggu sekali
melakukan sesuatu untuk hiburan,
berusaha mengatur waktu secara efektif, secara teratur bercakap – cakap urusan
domestic misalnya keberhasilan dan kehidupan
sehari – hari, berusaha mempererat tali
persaudaraan, berusaha setiap hari untuk menenangkan
diri.
2) Pendekatan agama : Berusaha menambah pengetahuan agama untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beribadah
secara teratur, menghadiri
pertemuan – pertemuan yang bersifat
keagamaan, menyadari
hidup didunia ini hanyalah merupakan
persemaian untuk kehidupan kelak di akhirat.
3) Pendekatan olah raga : Lakukan olah
raga dua kali dalam seminggu,
pilihlah olah raga yang dapat memberikan nilai jasmani yang tinggi
dan
bersifat sosial seperti
lari pagi.
4) Pendekatan medis / psikiatri : Dengan psikoterapi dan pemberian obat – obatan.
BAB IV
PENUTUP
ii. KESIMPULAN
Menurut Kepmenkes NOMOR 432/MENKES/SK/IV/2007 tentang
Pedoman Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit, upaya K3 menyangkut tenaga kerja, cara atau metode kerja, alat kerja,
proses kerja dan lingkungan kerja.
Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan. Kinerja setiap petugas
kesehatan dan non kesehatan merupakan resultan
dari tiga komponen K3 yaitu
kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja.
Penerapan program K3 di Rumah Sakit masih perlu banyak
perbaikan. Salah satunya adalah
melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian akan bahaya dari kecelakaan kerja dalam bentuk apapun.
Oleh karena itu, pencegahan sebagai upaya
meminimalisir kecelakaan akibat kerja di rumah sakit mulai dari identifikasi hazard, investigasi setelah kejadian
kecelakaan, evaluasi, controlling hingga memfollow
up program penanggulangan perlu dilakukan secara sistematis dan lebih ditingkatkan, agar tupoksi
K3RS sendiri dapat tercapai.
iii.
SARAN
4) Merekomendasikan kepada pihak
menajemen rumah sakit untuk membuat instrument
safe/unsafe action khusus perawat
5) Mengadakan refresing SOP baru tiap 3
bulan, training/pelatihan bagi karyawan baru
maupun karyawan lama sehingga dapat meningkatkan kesadaran
masing-masing individu untuk
melatih budaya kerja secara aman (safe act culture). Rumah Sakit perlu secara rutin mengevaluasi penyelenggaraan K3 RS untuk menilai apakah
kinerjanya sudah maksimal ataukah masih memerlukan perbaikan sistem K3RS
yang selanjutnya. Selain itu, rumah
sakit harus selalu mengidentifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko yang selalu ada di
rumah sakit.
6) Membuat kebijakan terkait advokasi
status kesejahteraan perawat dengan memberikan
jaminan kesehatan yang baik melalui pemeriksaan
kesehatan pra pekerja, berkala (baik
yang sudah terpapar/beresiko ataupun tidak) dan pemeriksaan khusus (termasuk pemeriksaan sebelum pensiun) untuk mengetahui adanya Penyakit Akibat Kerja (PAK) serta penatalaksanaannya dan pemberian vaksinasi
sebagai tindakan pencegahannya.
7) Semua pihak yang terkait dengan RS
secara tanggung jawab melaksanakan standar operasional prosedur
(SOP) K3 RS sesuai dengan peraturan, perundangan dan ketentuan mengenai
K3 lainnya yang berlaku. Bagi perawat agar tetap berupaya
meminimalkan factor-faktor pemungkin dan membekali dirinya dengan
meningkatkan pengetahuan melalui
seminar, media internet atau buku guna mendapatkan informasi terbaru
tentang K3 sehingga
dalam menerapkan asuhan keperawatan selalu memperhatikan
budaya kerja K3 secara aman dengan penekanan pada universal pre caution.
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Bina Kesehatan Kerja.
(2010). Pedoman Tata Laksana Penyakit Akibat Kerja bagi Petugas Kesehatan. Departemen
Kesehatan
2. Direktorat Bina Farmasi Komunitas
Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Depkes RI. Pedoman Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (K3
- Ifrs). Jakarta; 2006.
3. Soeripto M. Higiene
Industri. Balai penerbit
FK UI. Jakarta; 2008
4.
Suma’mur. Higiane
perusahaan dan kesehatan
kerja. Jakarta; 2009
5. Workplace Violence Prevention-Health Care and Social Service Workers,
U.S. DEPARTMENT OF LABOR, OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH ADMINISTRATION,
http://1.usa.gov/12rwWAN
(viewed on May 20, 2013).
6. Cooper, CL; Hart, PM; Anderson, DS;
Ones, HK; Sinangil dan Viswesvran, C 2001. Occupational stress: toward a more integrated framework. New York: Oxford. Handbook
of industrial work and organization psychology
7. Neal, A. & Griffin, M. A. (2000).
Safety climate and safety behaviour.
Australian Journal of Management, 27 (special issues), 67‐73.
8. Sinaga, Rohama Alfina. 2018. Judul
Skripsi: Analisis Paparan Dosis Radiasi Jarak
Aman Petugas Dan Pasien Lain di
Ruang ICU. Universitas Sumatera Utara. 21-22.
9. Ifadah, Erlin, Fajar Susanti. Jurnal
Keperawatan Respati Yogyakarta; Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Needle Stick Injury Di Ruang Instalasi Gawat Darurat Dan Ruang Intensive Care Rsud Pasar Rebo. Jakarta; 2018.
10. Suprihatin, Titin. Jurnal Keperawatan: Managemen Stres Kerja Pada Perawat ICU.
RSUD Dr. Soetomo Surabaya;
2015.
11. Dita
Andini Dwi Pratiwi,
Dody Setyawan. Jurnal Keperawatan Universitas Diponegoro: Gambaran Tingkat
Kelelahan Kerja Perawat
Di Ruang Perawatan Intenif. RSUD
K.R.M.T. Wongsonegoro Dan RS Tugurejo.
Semarang; 2017.
12. Sarastuti, Dewi. Publikasi Ilmiah;
Analisis Kecelakaan Kerja Di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Universitas Muhamadiyah Surakarta
Program Studi Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Surakarta;2016.
13. Rochman, Dadang, Hanny S. Mediani, Aan Nuraeni. Jurnal keperawatan Program
Magister: Analisa Faktor Memengaruhi Low Back Pain Perawat ICU RS Wilayah
Provinsi Banten. Universitas Padjadjaran; 2017.
14. Burhami, Mahfud. Skripsi: Survey Kecelakaan Kerja Pada Perawat
Di RSU Salewangang Kabupaten Maros.
UIN Alauddin Makassar; 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar