Rabu, 25 Mei 2022

MAKALAH KAIDAH-KAIDAH FIQH DI BIDANG PENENTUAN SKALA PRIORITAS

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Kajian tentang fikih merupakan kajian yang akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini karena fikih merupakan produk pemikiran yang berusaha untuk menjawab tantangan zaman yang juga selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itulah maka fikih sebagai sebuah cabang keilmuan pun mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Fikih yang pada mulanya menyangkut semua aspek hukum yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan negara, kini mulai mengalami penyempitan makna, pembahasan dan penamaan. Hal ini untuk mengantisipasi adanya perkembangan yang begitu pesat pada masing-masing pembahasan yang tetntunya semakin menuntut ketelitian dan spesialisasi para ahli fikih. Misalnya saja mulainya ada pembagian fikih dalam kategori fikih ibadah, fikih mu’amalah, fikih jinayah, fikih kontemporer (masa’il al-fiqh), dsb.

Salah satu cabang ilmu fikih yang beberapa saat lalu muncul dan menjadi salah satu hal yang layak untuk ditindaklanjuti adalah apa yang dinamakan dengan Fikih Prioritas (Fiqh al-Aulawiyyat). Makalah ini berusaha memberikan sedikit gambaran tentang pengertian, kedudukan, macam-macam dan contohnya.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Pengertian Fikih Prioritas?

2.      Bagaimana Kedudukan Fikih Prioritas?

3.      Apa saja Macam-Macam Fiqh Prioritas?

4.      Bagaimana Contoh Fikih Prioritas?

 

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui Pengertian Fikih Prioritas

2.      Untuk mengetahui Kedudukan Fikih Prioritas

3.      Untuk mengetahui Macam-Macam Fiqh Prioritas

4.      Untuk mengetahui Contoh Fikih Prioritas

 

 

 

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Fikih Prioritas

Fikih prioritas, merupakan kajian yang membicarakan suatu topik yang sangat penting. Sebab kajian ini akan memecahkan masalah seputar kerancuan dan kekacauan dalam menilai dan memberikan skala prioritas terhadap perintah-perintang Allah, pemikiran, serta amal-amal. Mana diantaranya yang mesti didahulukan dan mana yang mesti diakhirkan, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikemudiankan dalam tingkatan perintah Allah dan petunjuk Nabi.[1]

Dalam Hadis Nabi SAW. dijelaskan bahwa Nabi Muhammad meprioritaskan anak yang menangi dengan meringankan sholatnya dengan maksud membantu ibu dari anak yang menangis. Artinya: dari Abu Qatadah, Nabi bersabda, “(ketika) aku berdiri sholat, aku ingin memanjangkannya. Namun, aku mendengan tangis anak maka aku ringankan sholatku karena tidak ingin memberatkan ibunya.” (HR. al-Bukhari: 707, al-Fath: 2/256-257).

 Hadis tentang meringankan sholat ketika anak menangis ini, memberitahukan bahwa memperioritaskan sesuatu harus dimaksudkan untuk tujuan yang baik atau mulia. Dalam memperioritaskan suatu hal harus benar-benar dipertimbangkan tentang suatu hal tersebut, apakah memang tepat jika diprioritaskan atau lebih memberikan manfaat jika diakhirkan.

Ungkapan kewajiban harus dikerjakan terlebih dahulua sebelum hak dan kentingan pribadi harus dikesampingkan jika berhadapan dengan kepentingan kelompok, memberitahukan bahwa ada hal-hal yang memang harus diprioritaskan dari yang lain. Misalnya, seorang muslim harus memnuhi kewajibannya sebagai muslim terlebih dahulu sebelum menuntut hak-haknya, seorang anggota masyarakat harus memnuhi semua kewajiban sebagai anggota masyarakat sebelum menuntut yang lain, dan lain sebagainya.

Hal-hal tersebut di atas menjelaskan bahwa fikih prioritas adalah suatu hal yang penting dan suatu hal yang perlu ditindaklanjuti. Karena, fikih prioritas dapat dijadikan sebagai rambu-rambu dalam menjalankan aktivitas dalam keseharian hidup manusia, baik yang bersinggungan dengan Allah, sesama manusia, maupun lingkungannya.[2]

Fikih prioritas adalah suatu analisis Islami tentang bagaimana umat selayaknya memilih amal-amal terpenting dari yang penting dan mengutamakanpenuaian amal terpenting dari yang pentingsehingga memberikan konsekuensi logis yang memungkinkan umat untuk dapat mengantisipasi problema sosial, budaya, politik dan ekonomi umat. Kajian ini berusaha melihat sejumlah persoalan prioritas dari sudut pandang hukum Islam yang berdasarkan berbagai argumen, dengan harapan dapat meluruskan pemikiran, memperkokoh metodologi, dan mampu merumuskan paradigma baru dalam fikih.

Kajian tentang fikih prioritas ini akan menjadi acuan untuk semua manusia khususnya umat Islam dan segala hal yang berhubungan dengan mereka. Dari kajian fikih prioritas ini umat Islam diharapkan bisa memilah-milah apa yang diprioritaskan oleh ajaran agama Islam dan mana yang diakhirkan, mana yang ditekankan dan mana yang diringankan, serta apa yang harus segera dilaksanakan dan mana yang masih bisa ditolerir oleh hukum agama.

 

B.     Kedudukan Fikih Prioritas

Dalam bukunya, syaikh yusuf qardhawi menyinggung kebutuhan umat kepada fiqih priorias, kedudukan fiqh prioritas di antara fiqih yang lainnya, prioritas kualitas atas kuantitas, prioritas ilmu atas amal, prioritas dalam bidang fatwa dan dakwah, prioritas dalam berbagai bidang amal, prioritas dalam perkara yang diperintahkan, prioritas dalam perkara-perkara yang dilarang, prioritas dalam bidang reformasi, fiqih prioritas dalam warisan pemikiran, hingga fiqih prioritas dalam dakwah para ulama mujaddid (pembaharu) yang berkiprah di zaman modern.

Bagi saya sendiri ada beberapa persoalan menarik untuk disoroti dalam pembahasan fiqih prioritas ini. Pertama, bagaimana mendahulukan masalah-masalah pokok/inti yang sudah disepakati umat islam atas masalah masalah cabang yang masih terjadi perdebatan dikalangan umat islam. 

Saya sangat sepakat karena prinsip ini sangat jitu untuk melejitkan potensi umat dalam berbagai bidang apabila dapat dikelola dengan baik. Sudah waktunya energi umat digunakan untuk hal sifatnya solutif dan konstruktif dibanding terkuras oleh perdebatan-perdebatan furu' yang sebetulnya dapat ditoleransi bersama.

Kedua, prioritas amalan hati yang lebih utama dibandingkan dengan amalan anggota badan. Pembahasan dalam fiqh prioritas dalam tema ini akan sangat menyentuh bagi setiap muslim yang membacanya. Dahsyatnya kekuatan batiniyyah dibanding lahiriyyah. Apabila kita berperasangka baik, menjalin silaturahmi dan berkasih sayang terhadap sesama makhluk itu lebih utama dibanding perhatian berlebih terhadap masalah jenggot (misal) namun sifat dengki masih ditemukan dalam hatinya. 

Saya kira prinsip ini dapat menjawab bagaimana menjadi seorang hamba taat tanpa disertai kesombongan. Bagaimana menjadi disiplin dalam sholat namun kesehariannya jauh dari yang namanya maksiat. Hingga bagaimana menarik hati orang-orang awam untuk dekat dengan agamanya sendiri. Kajian fiqh prioritas ini sangatlah komprehensif dan menyentuh titik-titik yang membentuk konsep ajaran islam. Mudah diterapkan dan aplikatif untuk diterapkan. Sangat mencerahkan para pejuang dan da'i karena dapat menjawab bagaimana mendahulukan amalan atas amalan yang lain sehingga menciptakan nafas islam yang hidup dan seimbang di lingkungan kita hidup sehari-hari dengan dilandasi dalil-dalil yang kuat. 

Sebagaimana yang dikatakan oleh syakh yusuf qardhawi bahwa kajian fiqh prioritas karyanya merupakan harapan sumbangsih pemikiran islam di era modern. Ada baiknya kita sebagai generasi penerus senantiasa belajar untuk memberi perhatian dari perkembangan dan penerapan fiqih prioritas dari masa ke masa.[3]

 

C.    Macam-Macam Fiqh Prioritas

1.      Prioritas Keilmuwan

a.       Prioritas ilmu dari amal: Belajar lebih baik dari ibadah Sunnah lainnya (seperti sholat tahajjud dan puasa senin kamis).

Jadi dalam hal ini, kita harus berilmu dulu sebelum beramal. Mengapa demikian? Karena bila kita melakukan suatu amal seperti sholat, tapi tidak memiliki pengetahuan tentang sholat seperti rukun dan syarat sah sholat, maka sholat yang kita lakukan selama berpuluh-puluh tahun tidak akan diterima.[4]

Kebanyakan yang terjadi di sekitar kita sekarang ini adalah beramal dulu, baru belajar. Ini tentu saja pemahaman yang salah. Kita bayangkan saja, bila kita beramal dengan amalan yang salah, kemudian anak cucu mengikuti amalan kita, yang terjadi kita akan menyesatkan banyak orang. Untuk itu, belajar lebih utama dari pada ibadah Sunnah.

b.      Prioritas dalam masalah aqidah di atas masalah-masalah yang lainnya. (al-ushuul qabla al-furuu’). Pokok itu lebih utama dari pada cabang. Yang dimaksud disini adalah belajar matan sebelum syarah, belajar qat’I sebelum dhanni, belajar yang sudah disepakati sebelum yang diperselisihkan.

Dalam shalat misalnya, akan lebih baik kita belajar terlebih dahulu rukun-rukun dan syarat sah sholat, daripada belajar furu’nya yang berisi tentang perbedaan gerakan sholat ( Seperti dalam takbir,sujud, menggerakkan jari waktu tasyahud dan lain-lain).

c.       Prioritas pemahaman akan suatu ilmu dari pada menghafal. Maka dalam belajar, lebih baik kita fahami terlebih dahulu sebelum menghafalnya. Belajar yang mudah terlebih dahulu, baru yang susah.

Disini kita bisa ambil contoh dengan memahami tafsir al-qur’an terlebih dahulu sebelum menghafalnya. Atau melakukannya bersama-sama. Menghafal, memahami dan mengamalkannya seperti yang dilakukan para sahabat. Kalau sekarang, kita akan menemukannya dengan cara terbalik. Orang akan berlomba-lomba menghafal al-qur’an namun tidak berusaha untuk memahaminya. Maka jangan heran kalau kita bertemu huffadzul qur’an tapi pacaran.

Itulah sebabnya, memahami itu lebih didahulukan dari pada menghafal. Tentu saja agar tidak salah kaprah, tidak salah ambil tindakan.[5]

2.      Prioritas dalam Amal.

a.       Beramal yang manfaatnya luas lebih baik dari pada amalan pribadi yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri. Ada banyak contoh dalam permasalahan ini.[6]

1)      Seperti contohnya peristiwa pengangkatan Abu Bakar untuk menjadi amirul mukminin setelah wafatnya Rasulullah. Saat itu, sebelum Abu Bakar di angkat sebagai khalifah, jasad Rasulullah dibiarkan selama 3 hari. Karena dengan dilangsungkannya penguburan Rasulullah tanpa ada pengganti, akan membuat muslim berkecamuk berantakan. Ini menjukkan bahwa memilih pemimpin bagi umat muslim itu lebih baik dari pada menguburkan mayat.

2)      Da’wah melalui tulisan di buku dan mass media seperti televise, website, WA, Faceebook, Twitter, Youtube, itu lebih diprioritaskan dari da’wah konvensional. Infaq untuk umat lebih baik dari pada haji berkali-kali. Wakaf dengan tanah, membangun sekolah, lebih baik dari pada infaq.

3)      Membangun sekolah islam, lebih baik dari pada membangun masjid. Karena yang terjadi saat ini, muslim sedang kekurangan generasi. Masjid sekarang sudah banyak, dan banyak yang kosong. Namun tidak dengan sekolah. Umat membutuhkan sekolah berkualitas yang akan menghasilkan para ulama, da’I, pemimpin, dan penerus bangsa.

b.      Beramal dengan amalan yang tahan lama dan langgeng lebih baik dari pada beramal dengan amalan yang terputus. Contoh dari hal ini adalah:

1)      Beramal jariyah dengan mewakafkan tanah bagi kepentingan umat islam itu lebih baik dari shalat Sunnah. Amal jariyah itu memiliki pahala yang terus mengalir, selama apa yang kita wakafkan dipakai dan digunakan orang lain. Dengan beramal jariyah, akan membuat kita seakan memiliki dua nyawa. Disitu kita mati, tapi masih bisa menghasilkan pahala dari apa yang kita lakukan.
Rasulullah bersabda, “ Apabila seorang anak adam mati, maka semua amalannya akan terputus, kecuali tiga hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaoleh yang mendo’akan kedua orang tuanya.”

2)      Ilmu yang bermanfaat tidak harus menjadi guru, ustadz, kiai. Tapi bisa membeli buku berisi kajian keislaman, kemudian diberikan pada khalayak umum. Dan lain-lain.[7]

c.       Prioritas amalan hati dari pada amalan lahir.

1)      Misalnya dalam shalat, prioritas terhadap kekhusyu’an dan tadabbur terhadap ayat dan bacaan lebih baik dari pada perhatian gerakan, posisi dan lamanya waktu shalat.

Contohnya disini adalah apa yang terjadi pada Abdullah bin Ubay bin Salul. Dia adalah tokoh munafiq yang selalu shalat di belakang Rasulullah. Namun sayangnya dia menjadi ahli neraka. Karena dia hanya memberikan action saja, dan hatinya dipenuhi kebencian kepada Rasulullah dan islam.

2)      Keikhlsan dalam beramal, berkeyakinan, keridhaan serta kepasrahan kepda ketetapan Allah lebih diprioritaskan. Contohnya adalah sahabat Utsman bin Affan saat menjadi khalifah. Beliau saat itu memimpin Negara islam yang luas wilayahnya 3 kali lipat lebih besar dibanding Indonesia. Karena keikhlasan, niat yang tertanam beliau, serta kecintaan beliau pada al-qur’an, beliau pernah shalat satu raka’at dengan menghatamkan 30 juz al-qur’an. Itu adalah contoh pemimpin yang baik, tidak seperti saat ini.[8]

3)      Iman dan amalan yang ada didalam hati adalah prioritas utama.
   Kita tentu mengenal Abu Bakar As-Shiddiq. Beliau adalah sahabat paling utama dan yang pertama kali masuk syurga. Bahkan Rasulullah mengatakan bahwa jika iman Abu Bakar ditimbang dengan iman seluruh dunia, tetap berat iman yang dimiliki Abu Bakar. Padahal menurut para sahabat, amalan Abu Bakar biasa, bukan banyak shalat dan dzikir. Itu semua karena amalan yang ada di dalam hatinya. Abu Bakar selalu yakin pada Allah, mengimani semua yang disampaikan Rasulullah, tidak pernah berkeluh kesah, bahkan saat sakit malah senang karena dengan begitu, dosa-dosa akan berguguran.

4)      Prioritas amalan yang wajib dari amalan yang Sunnah. Seperti halnya, memberi nafkah untuk keluarga lebih utama dari pada bersedekah pada orang lain.

5)      memprioritaskan fardhu kifayah yang bertingkat-tingkat. Seperti mengantar orang sakita lebih baik dari pada I’tikaf di dalam masjid. Mengajar lebih baik dari pada I’tikaf di dalam masjid karena umat tentu lebih membutuhkan ilmu. Sedang dengan I’tikaf, pahala hanya akan kita raih sendiri.

6)      Prioritas amal jama’I seperti berorganisasi lebih baik dari pada amal fardhi. (berorganisasi dalam da’wah lebih baik prioritas dari pada aktivitas pribadi). Contoh-contoh seperti ini bisa ditemukan dalam organissasi Rohis yang ada di sekolah-sekolahan. Karena da’wah itu berat, melelahkan. Sehinga kita butuh komunitas untuk mendukung aktivitas kita.

3.      Prioritas dalam Berda’wah.

a.       Merubah hati sebelum merubah Negara. Karena pada hakikatnya, da’wah itu penekanannya ada pada hati. Contoh dalam hal ini adalah da’wah yang dilakukan Rasulullah di Makkah selama 13 tahun. Da’wah di sana, Rasulullah mengokohkan hati para sahabat terlebih dulu dengan aqidah. Sehingga selama di Makkah, tidak pernah ada orang munafiq. Karena kokohnya hati serta keimanan yang dimiliki para sahabat saat itu.

b.      Pendidikan sebelum jihad. Pembinaan sebelum kekuasaan. Karena kalau yang terjadi adalah kekuasaan tanpa pembinaan, maka yang terjadi adalah kerunyaman Negara. Negara akan morat-marit. Seperti Indonesia, yang dipimpin oleh orang-orang yang salah. Maka tidak heran bila saat ini kita temukan pesta bikini setelah UN, korupsi merebak di setiap pejabat, pelacuran dilegalkan, dan masih banyak lagi.

c.       Merubah pemikiran sebelum perbuatan. Pemikiran bila sudah teracuni baratisme, seperti sekulerisme, liberalisme, feminisme, dan lain-lain akan berbahaya. Ini sudah banyak terjadi di Negara kita yang diisini orang-orang yang dituhankan banyak kaum, namun memiliki otak yang sesat.[9]

 

 

 

4.      Prioritas dalam Hak.

a.       Hak manusia lebih utama dari pada hak Allah saja.

Pemimpin kurang shaleh tapi adil lebih diutamakan dari pada pemimpin shaleh, rajin ibadah, tapi dzalim. Membayar hutang lebih diutamakan dari pada haji dan jihad fi sabilillah. Karena bila seseorang mati syahid, tapi masih memiliki hutang, dia akan tertahan. Sehingga sebelum haji atau sebelum jihad, lebih baik membayar hutang terlebih dahulu.

b.      Keshalehan social lebih baik dari pada keshalehan pribadi.

1)      Indonesia adalah Negara nomer satu dalam urusan keshalehan pribadi. Orang-orang Indonesia begitu rajin shalat, sedekah, zakat. Namun dalam keshalehan social yang berisi kebersihan jalan, ketertiban orang-orangnya, Indonesia menduduki nomer 114. Jauh dibawah Negara-negara berisi orang-orang kafir seperti Finlandia, Jepang, Singapura, dan yang lain.

2)      Saat berhijrah ke kota Madinah, Abdurrahman bin Auf meninggalkan seluruh harta dan kelurganya. Sesampainya di Madinah, dia dipersaudarakan dengan Rabi’ bin Aff yang kemudian meminta Abdurrahman untuk memilih salah satu istri dari 2 istrinya dan 1 rumah dari 2 rumahnya.[10]

 

D.    Contoh Fikih Prioritas

Kajian terhadap fiqih prioritas merupakan satu bentuk terobosan untuk menjawab kebutuhan umat terhadap perkara-perkara amalan di zaman yang serba kompleks ini. Beliau mengembangkan pembahasan fiqh yang pernah dibahas oleh ulama terdahulu semisal ibnu taimiyyah dan imam alghazali yang memberikan perhatian terhadap prioritas amalan.[11]

Fiqih prioritas membahas mengenai amalan yang utama sangat tergantung terhadap waktu, tempat, dan keadaan. Contoh ketika seseorang keatangan tamu maka prioritas amalan yang paling utama adalah dengan menghormati dan menyibukkan diri dalam menyambut tamu walaupun orang tersebut harus meninggalkan wirid dan sunnah. Begitu juga ibadah yang paling utama pada waktu adzan adalah mennggalkan wirid dan segera menyambut seruan muadzin.

 


 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Fikih berasal dari bahasa arab fiqh  yang mengandung makna mengerti atau mengetahui. Zainuddin Ali mengemukakan bahwa kata fikih secara etimologi artinya paham, pengertian, dan pengetahuan. Fikih menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang sudah terperinci. Para Fuqaha mendefinisikan fikih dengan ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshil. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, prioritas diartikan sebagai diutamakan, dinomorsatukan, dan didahulukan. Pengertian tersebut memberitahukan, bahwa prioritas terjadi karena ada dua hal atau lebih (pilihan, kegitan, metode, cara dan lain-lain), yang mana dari hal-hal tersebut ada yang didahulukan dan di akhirkan sehingga terbentuk urutan.

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, prioritas diartikan sebagai diutamakan, dinomorsatukan, dan didahulukan. Pengertian tersebut memberitahukan, bahwa prioritas terjadi karena ada dua hal atau lebih (pilihan, kegitan, metode, cara dan lain-lain), yang mana dari hal-hal tersebut ada yang didahulukan dan di akhirkan sehingga terbentuk urutan.

 

B.     Saran

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Wahab Khalaf,. 1978. Ilmu Ushul al- Fiqh. Al- Qabbah Ath-Thab’ah wa an-Nasyar.

 

‘Ainain (al), Badran Abu, Ushul Fiqh al-Islamy, Iskandariyah : Muassasah Syabab al-Jamiah,t.t.

 

Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz  fi usul al-Fiqh, Mesir: Dar at-Tauzi, 1993.

 

Al-Amidi, Ali ibn Muhammad, 1986, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Tahqiq Sayyid al-Jamili, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut.

 

Muhammad Khudari Beik, Usul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

 

Al Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh Ala Islami Wa’adillatuh, Terjemah : Agus Affandi Dan Badruddin Fannany “Zakat Kajian Berbagai Madhab”, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995

 

 

 



[1] Abdul Wahab Khalaf,. Ilmu Ushul al- Fiqh. (Al- Qabbah Ath-Thab’ah wa an-Nasyar. 1978) h. 78

[2] Muhammad Khudari Beik, Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) h. 44

[3] Al-Amidi, Ali ibn Muhammad, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam,(Beirut: Tahqiq Sayyid al-Jamili, Dar al-Kitab al-Arabi, 1986) h. 122

[4] ‘Ainain (al), Badran Abu, Ushul Fiqh al-Islamy, (Iskandariyah : Muassasah Syabab al-Jamiah,t.t) h. 78

[5] Muhammad Khudari Beik, Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) h. 12

[6] Al-Amidi, Ali ibn Muhammad, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam,(Beirut: Tahqiq Sayyid al-Jamili, Dar al-Kitab al-Arabi, 1986) h. 87

[7] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz  fi usul al-Fiqh, (Mesir: Dar at-Tauzi, 1993) h. 90

[8] Al Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh Ala Islami Wa’adillatuh, Terjemah : Agus Affandi Dan Badruddin Fannany “Zakat Kajian Berbagai Madhab”, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995) h. 44

[9] Al-Amidi, Ali ibn Muhammad, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam,(Beirut: Tahqiq Sayyid al-Jamili, Dar al-Kitab al-Arabi, 1986) h. 65

[10] Abdul Wahab Khalaf,. Ilmu Ushul al- Fiqh. (Al- Qabbah Ath-Thab’ah wa an-Nasyar. 1978) h. 32

[11] Muhammad Khudari Beik, Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) h. 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar