Rabu, 25 Mei 2022

MAKALAH KAIDAH-KAIDAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERUBAHAN KAIDAH FIQH

 

PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

Ilmu fiqih dan ushul fiqih merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Dengan keduanya, ajaran Islam dapat dipelajari dan dilaksanakan oleh seluruh umat Muslim. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ilmu ini menjadi sangat penting. Apalagi untuk mengetahui hukum-hukum atau peraturan yang digunakan dalam kehidupan manusia di dunia khususnya bagi umat Islam sendiri.

Banyak objek pembahasan di dalam ilmu fiqih. Namun makalah ini sendiri, akan membahas mengenai kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang perlu mendapatkan perhatian untuk memecahkan suatu masalah.

B.            Rumusan Masalah

a.       Apa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah fiqih ?

b.      Apa saja kaidah-kaidah fiqih itu ?

c.       Apa dasar-dasar pengambilan kaidah-kaidah fiqih tersebut ?

d.      Apa Perubahan Perkembangan Fiqh?

C.           Tujuan

a.       Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai kaidah-kaidah fiqih.

b.      Membantu pelajar mengerti dan memahami macam-macam kaidah-kaidah fiqih secara umum.

c.       Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.

d.      Untuk mengetahui Perubahan Perkembangan Fiqh

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.           Definisi Kaidah Fiqih

Secara etimologi, arti kaidah adalah asas (dasar) yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan dasar sesuatu atau fondasinya (pokoknya).

Adapun menurut istilah atau terminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, antara lain:

1.        Dalam kitab At-Ta’rifat

Artinya: “Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya.

2.        Dalam kitab Syarah Jamu’ al-Jawami’

Artinya: “Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.

3.        Dalam kitab At-Talwih ‘ala at-Taudih

Artinya: “Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui hukumnya”.

4.        Dalam kitab Al-Ashbah wa An-Nadzair

Artinya: “Ketentuan yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut”.

5.        Dalam kitab Syarh Mukhtashor al-Raudah fi Ushul Fiqih

Artinya: “Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui penalaran”.

Jadi kaidah fiqih adalah kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqih yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash maupun yang belum ada nashnya sama sekali.[1] Dan penggalian hukumnya bisa dilakukan dengan menyamakan sebuah kasus yang telah ada hukumnya dalam fiqih dengan kasus yang belum ada[2].

B.            Sejarah Ringkas Kaidah-kaidah Fiqih (Qawa’idul Fiqih)

Tinjauan terhadap sejarah perkembangan dan penyusunan qawa’idul fiqihiyah dapat dibagi menjadi tiga fase:

1.        Fase Pertama

Fase pertama ini merupakan fase kemunculan dan berdirinya kaidah fiqih yang dimulai dari zaman Rasulullah hingga akhir abad III H atau IX M.[3] Jika kaidah fiqih didefinisikan sebagai ketentuan hukum yang dapat mencakup berbagai masalah furu’, maka banyak hadits yang dapat dikategorikan sebagai kaidah fiqih. Misalnya dalam beberapa hadits berikut ini:

a.         “Sesuatu yang banyaknya dapat memabukkan, maka yang sedikitnya juga haram”

b.         “Bukti yang dinyatakan dari penggugat dan sumpah bagi yang inkar (tergugat)”

c.         “Tidak madharat dan tidak memadharatkan”

2.      Fase Kedua

Fase kedua ini dimulai pada abad 4 H atau 10 M sampai lahir kompilasi hukum Islam pada masa Turki Utsmani pada abad 13 H atau 19 M. Pada masa ini, kitab-kitab fiqih sangat banyak. Masing-masing madzhab fiqih memiliki kitab pegangan tertentu. Ketika itu, tampaknya para ulama merasa puas dengan kitab fiqih yang ada dan melimpah ruah. Masa ini merupakan masa kejayaan fiqih.

Masa keemasan dari pembukuan kaidah-kaidah fiqih terjadi pada abad 8 H. Pada abad ini banyak lahir kitab kaidah, terutama di kalangan ulama Syafi’iyah. Kaidah-kaidah fiqih tersebut kemudian disempurnakan secara sistematis pada abad 9 H. Hal ini terlihat jelas dari kitab Al-Asybah wa An-Nazhair karya Ibnu Mulaqqin (723-804 H/1323-1402 M) atau kitab Al-Qawaid karya Abu Bakr Al-Hishal (752-829 H/1351-1425 M). Dan akhirnya, puncak keemasan pembukuan kaidah fiqih terjadi pada abad 10 H yang ditandai oleh lahirnya kitab al-Ashbah An-Nazhair karya Jalal Ad-Din Ay-Suyuthi yang merupakan kitab kaidah fiqih terbaik.[4]

Penulisan kaidah fiqih dimulai oleh Al-Karakhi dan Ad-Dabusi dari kalangan ulama Hanafiyah. Pada fase ini, umumnya ulama menulis kaidah fiqih dengan cara mengutip dan menghimpun kaidah-kaidah yang terdapat pada kitab-kitab fiqih masing-masing madzhab. Selain itu, merekapun melakukannya dengan jalan mencantumkan kaidah-kaidah fiqih daam kitab fiqih, yaitu ketika mereka mencari illat dan men-tarjih suatu pendapat. Sebagai contoh, ketika Al-Juwaini (w. 478 H/1085 M) menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat bergantung pada kemampuan seseorang, ia mencantumkan kaidah yang artinya “Sesuatu yang bisa dilakukan tak bisa gugur karena ada yang tidak dapat dilakukan” yang selanjutnya berkembang dan berubah menjadi “Sesuatu yang mudah dilakukan tidak gugur dengan adanya yang sulit dilakukan”.

3.      Fase Ketiga

Fase ini dimulai dengan kelahiran Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (Kompilasi Hukum Islam di masa Turki Utsmani) Kompilasi ini pada dasarnya merupakan hasil usaha para ulama Turki di zaman Sultan ‘Abd Al-Aziz Khan Al-Utsmani yang ditetapkan pada tanggal 26 Sya’ban 1292 H atau 28 September 1875 M. Ia merupakan ensiklopedi fiqih Islam dalam bidang mu’amalah dan hukum acara dengan bahasa perundang-undangan. Di antara kaidah fiqih adalah:

a.       Pasal 12

“Ashal dalam suatu perkataan adalah makna hakikat”.

b.      Pasal 13

“Petunjuk lafazh tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit”.

c.       Pasal 14

“Tidak dibenarkan berijtihad ketika ada nash (qath’i)”.

C.           Beberapa Kaidah Fiqih

Ada lima kaidah fiqih yang dianggap oleh sebagian ulama menjadi dasar dan prinsip umum dari seluruh materi fiqih. Kelima kaidah itu adalah:

1.    Segala Urusan Tergantung pada Tujuannya

الْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

   Setiap perkara itu menurut maksudnya

Niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria yang menjadikan nilai dan status hukum yang dilakukannya. Apakah nilai dari perbuatan itu sebagai amal syari’at atau perbuatan kebiasaan dan apakah status hukumnya  jika sebagai amal syari’at wajib atau sunnah atau lainnya. Itulah sebabnya, kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh masalah fiqhiyah. Dalam kaidah ini, ulama menetapkan bahwa niat merupakan rukun (bagian yang tak terpisahkan) dan tanpa adanya niat, suatu perbuatan tidak sah. Landasan dari kaidah ini adalah beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya:

Surah Al-Bayyinah (98) ayat 5:

Description: 98:5

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Ny dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus”.

Surah Ali Imran (3) ayat 145:

Description: 3:145

Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.

Ada juga hadits Nabi SAW., tentang hal ini misalnya:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي

Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.

 

2.    Keyakinan Tidak Dapat Dihapus dengan Keraguan

 

اَلْيَقِيْنُ لا يُزَالُ بِا لشَّكِّ

“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.

Yang dimaksud yakin adalah

اَلْيَقِيْنُ هُوَ مَاكَانَ ثَابِتًا بِا لنَّظْرِ وَالدَّلِيْلُ

 “Sesuatu yang tetap , baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil”.

Sedangkan yang dimaksud dengan syak adalah

الْشَّكُّ هُوَ مَاكَانَ مُتَرَدِّدًا بَيْنَ الثُّبُوْتِ وَعَدَمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفَىْ الصَّوَابِ وَالْخَطَاءِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ اَحَدِهِمَا عَلَى الأَخَرِ

 Sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.

Contoh apabila ada bukti kuitansi seseorang berhutang, kemudian timbul perselisihan tentang sudah membayar menurut yang berhutang dan belum membayar menurut yang mengutangkan, maka yang dipegang perkataannya adalah dari yang berhutang karena memiliki kuitansi tersebut. Atau seseorang ragu-ragu berapa raka’at yang ia lakukan dalam shalatnya, maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak merupakan yang diragu-ragukan.

3.      Kesukaran Itu Menarik Kemudahan

الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِرُ

Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.

Dalam kaidah ini, memberikan keringanan pelaksanaan aturan-aturan syari’ah dalam keadaan khusus. Keringanan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah rukhsah. Rukhsah merupakan jalan agar syari’at Islam dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Yaitu dengan memberi kelonggaran atau keringanan dalam menjumpai suatu kesukaran dan kesempitan[5]. Hal itu antara lain dikarenakan kemampuan seorang mukallaf itu terbatas.

Contohnya, orang yang sedang bepergian jauh dibolehkan mengqashar atau menjamak shalat, dan boleh berbuka puasa apabila sedang mengalami kesulitan misalnya sakit atau bepergian jauh. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan kaidah ini antara lain:

 

Surah Al-Baqarah ayat 185:

ۚوَالْفُرْقَانِ الْهُدَىٰ مِنَ وَبَيِّنَاتٍ لِلنَّاسِ هُدًى الْقُرْآنُ فِيهِ أُنْزِلَ الَّذِي رَمَضَانَ شَهْرُ

ۗ خَرَأُأَيَّامٍ مِنْ فَعِدَّةٌ سَفَرٍ عَلَىٰ أَوْ رِيضًا كَانَ وَمَنْ ۖفَلْيَصُمْهُ الشَّهْرَ مِنْكُمُ شَهِدَ فَمَنْ

 هَدَاكُمْ مَا عَلَىٰ اللَّهَ وَلِتُكَبِّرُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكْمِلُوا الْعُسْرَ بِكُمُ رِيدُ وَلَا الْيُسْرَ بِكُمُ اللَّهُ يُرِيدُ

تَشْكُرُونَ وَلَعَلَّكُمْ

 “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.

 

Surah Al-Hajj ayat 78:

Artinya: “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”

Dan hadits Nabi Muhammad SAW.:

الدِّيْنُ يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ اِلَى اللهِ الْحَنِيْفَةُ السَّمْحَةُ (رواه البخارى)

“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”. (HR Bukhori).

 

4.      Kemudharatan Itu harus Dilenyapkan

الضَّرَارُ يُزَالُ

Kemadharatan itu harus dihilangkan”

Kaidah ini mengharuskan menghilangkan kemudharatan serta pengaruh dari kemudharatan tersebut[6]. Dengan kata lain, kaidah ini menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu atau yang dapat mendatangkan kerugian itu tidak dibolehkan oleh agama Islam. Contohnya seperti memakan makanan yang haram dalam keterpaksaan karena tak ada makanan lain dan apabila tidak memakannya bisa mati. Kaidah ini berdasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an antara lain:

Surah Al A’raf ayat 56:

Description: 7:56

Artinya: “dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan di bumi.”

Surah Al Qoshosh ayat 77:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا

 أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

 

Artinya: “sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan.”

Dan hadits Nabi Muhammad SAW.:

لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ

“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

 

5.      Adat Kebiasaan Itu Ditetapkan sebagai Hukum

اَلْعَادَ ةُ مُحْكَمَةٌ

“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.

Suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai ‘urf atau ‘adah. Walaupun sebagian ulama juga ada yang membedakan keduanya. Namun, menurut jumhur ulama, suatu ‘adah bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:

a.       Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunah.

b.      Tidak mendatangkan kemadharatan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.

c.       Tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat.

d.      Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.

Contoh dari kaidah ini antara lain:

a.       Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan (‘adah) maka ulama membolehkan.

b.      Orang-orang mengajarkan Al-Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar Al-Qur’an tetap eksis di kalangan umat Islam.

Dasar nash kaidah ini adalah:

Firman Allah SWT. pada surah Al A’raf ayat 199:

Description: 7:199

“dan serulah orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh.” (QS. Al A’raf: 199)

Sabda Nabi SAW:

“apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula di sisi Allah.” (HR. Ahmad)

Inilah macam kaidah fiqhiyah yang banyak digunakan sebagai pembuka jalan untuk memahami kaidah-kaidah lainnya. Oleh karena kaidah fiqih ini berkaitan dengan sikap dan tingkah laku manusia, maka sering digunakan secara luas, diperlukan dalam kehidupan dan untuk memecahkan masalah-masalah yang bersifat pribadi, masalah-masalah dalam keluarga, atau juga masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya.

Jadi, apabila kita sederhanakan, proses pembentukan kaidah fiqih dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

6.      Manfaat Mengetahui Kaidah Fiqih

Beberapa manfaat yang dapat kita peroleh dengan mengetahui kaidah-kaidah fiqih ini antara lain:

a.       Dengan mengetahui kaidah-kaidah fiqih, kita akan mengetahui  prinsip-prinsip umum fiqih.

b.      Dengan mengetahui kaidah-kaidah fiqih, akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.

c.       Dengan kaidah fiqih akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fiqih dalam waktu dan tempat yang berbeda serta untuk keadaan yang berbeda.

 

D.    Perubahan Perkembangan Fiqh

1.      Perubahan Rasulullah SAW

Perkembangan Fiqih periode ini bermula dari turunnya wahyu dan berakhir dengan wafatnya Nabi SAW pada tahun ke 11 H[7], yang berlangsung selama 22 tahun, beberapa bulan, sejak dari tahun 13 sebelum hijrah s/d tahun 11 hijrah, atau tahun 611 M s/d 632 M.[8]

-          Adanya penugasan Rasulullah SAW kepada sahabat ke suatu tempat tertentu, seperti pada kasus Muaz ibn Jabal :
:فبسنة رسول ﷲ، قال :فإن لم تجد فى كتاب ﷲ؟ قال :أقضى بكتاب ﷲ، قال :كيف تقضى إذا عرض لك القضاء؟ قال
أجتهد رأ ى ولا آلو، فضرب رسول ﷲ صلى ﷲ عليه و سلم بيده :فإن لم تجد بسنة رسول اللهه ولا فى كتاب ﷲ؟ قال .(رواه أبو داود) ل الذى وفق رسول رسول و لما يرضى رسول ﷲ مددال :على صدره ، وقال[9]

-          Artinya: Bagaimana cara memutuskan perkara jika diajukan masalah kepadamu? Muaz menjawab : Aku akan memutuskan (perkara tersebut) berdasarkan Kitab Allah (al-Qur’an). Nabi bertanya: Jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah? Muaz Menjawab: aku akan putuskan \ berdasarkan sunnah Rasulullah SAW. Nabi SAW bertanya kembali: Kalau tidak kamu jumpai dalam sunnah Rasulullah SAW dan Kitab Allah? Muaz menjawab: Aku akan ijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah SAW menepuk-nepuk dada Muaz dengan tangannya seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah SAW terhadap apa yang diridhai Nya. (HR. Abu Dawud)

-          Ijtihad yang dilakukan sahabat terkadang disetujui Rasulullah SAW atau tidak disetujui Rasulullah SAW semua itu tidak lepas dari bimbingan langsung dari Allah SWT melalui wahyu yang dibawa Malaikat Jibril as sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al- Najm(53): 3-4:

Artinya: Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.(3) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).(4)

-          Bila terjadi kasus di kalangan sahabat yang belum ada jawabannya, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang terhadap masalah tersebut, Rasulullah SAW tidak dapat langsung menjawabnya, akan tetapi Allah SWT menurunkan wahyu untuk menjawabnya. Inilah yang kemudian menjadi sabab turun ayat tersebut (sabab nuzul), yang pada umumnya ayat-ayat jawaban suatu peristiwa diawali dengan redaksi : يسألونك .[10]

Adapun beberapa contoh kasus ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW langsung adalah sebagai berikut:

1)        Dalam menghadapi kasus tawanan perang Badar, Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan para sahabat untuk mencari solusi pemecaahan masalah tawanan tersebut. Ketika itu ada dua pendapat yang muncul; Pendapat Abu Bakar al-Shiddik dan Umar ibn Khattab. Abu Bakar mengajukan pendapat untuk mengambil tebusan (fidyah) dari para tawanan itu. Adapun Umar ibn Khattab berpendapat untuk membunuh seluruh tawanan perang Badar tersebut.[11] Menyikapi dua pendapat tersebut, Nabi SAW memilih pendapat Abu Bakar al-Shiddik (menerima tebusan dari para tawanan perang Badar itu). Pada kasus ini, Rasulullah SAW telah memilih salah satu pendapat sahabat dan menolak pendapat salabat lainnya. Pemilihan dan keberpihakan Nabi SAW kepada pendapat Abu. Bakar al-Shiddik disebut Fiqih ql Nabi atau Ijtihad al -Nabi. Hasil ijtihad kemudian dikuatkan dengan turunnya wahyu pada QS. Al-Anfal (8): 67-69: Artinya: Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.

2)        Penolakan seorang laki-laki atas kelahiran seorang anak dari Bani Fazarah yang dilahirkan dari istrinya karena anak tersebut berkulit hitam, sedangkan ayah ibunya berkulit putih. Orang tersebut menyampaikan masalahnya kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW menjawab dengan bahasa analogi dengan mengajukan pertanyaan kembali: Apakah engkau memiliki unta merah yang di antara anaknya berwarna hitam? Orang itu menjawab: Benar. Nabi SAW bertanya kembali: Darimana datangnya warna hitam pada ontamu? Orang tersebut menjawab kembali: Boleh jadi adanya pengaruh keturunan. Kemudian Naabi SAW menegaskan: Hal ini juga (keadaan anakmu yang berwarna hitam dari kedua orang tua berwarna putih) boleh jadi disebabkan karena factor keturunan.[12]

3)        Kasus penyesalan Umar ibn Khattab atas perbuatannya yang dianggap membatalkan puasa. Pada suatu hari Umar ibn Khattab memeluk dan mencium istrinya, sementara ia telah melaksanakan ibadah puasa. Kemudian Umar ibn Khattab menyampaikan hal tersebut kepada Nabi SAW seraya berkata: Sungguh aku telah melakukan perbuatan luar biasa (mencium istriku dalam kondisi puasa).

4)        Kasus yang terkait dengan dua orang sahabat Nabi SAW dalam perjalanan jauh, mereka berdua melaksanakan shalat tanpa wudlu dan bertayammum karena tidak memperoleh air. Setelah melaksanakan shalat, tiba-tiba mereka mendapatkan air. Salah satu sahabat mengulangi shalat karena waktu shalat masih ada dengan berwudlu kembali sebelum shalat. Sahabat Nabi yang lain tidak mengulangi shalatnya karena ia berkeyakinan shalatnya sah. Ketika berjumpa dengan Nabi SAW mereka menceritakan apa yang mereka lakukan di tengah perjalanan yang tidak mendapat air ketika akan shalat. Maka Rasulullah SAW menjawab: Kalian berdua benar. Kepada yang tidak menglangi shalatnya, Rasulullah SAW bersabda; Kamu memperolah satu pahala. Sedangkan kepada yang mengulangi shalatnya, Rasulullah SAW bersabda: kamu memperoleh dua pahala.[13]

2.      Periode Sahabat dan Tabi’in

Periode sahabat, fiqih secara praktis sudah terjadi dan sudah dilakukan oleh para sahabat karena Rasulullah SAW sebagai sumber informasi dan Pembina hukum telah tiada. Namun aktifitas mereka dalam bidang fiqih sangat terbatas, dengan menunggu kasus hukum yang terjadi, dimana hal tersebut secara tekstual belum tersentuh al-Qur’an dan sunnah. lustrasi ini dapat dikemukakan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Siddik ketika ditanya tentang suatu kasus hukum, maka pertama yang ia lakukan adalah mencermati apakah kasus tersebut sudah dijelaskan dalam al-Qur’an. Bila telah dijelaskan, maka ia putuskan dengan dasar al-Qur’an. Bila kasus tersebut tidak terdapat dalam al-Qur’an, maka ia cari jawabannya dalam sunnah Rasulullah SAW. Bila ia jumpai, maka ia putuskan permasalahan hokum tersebut berdasarkan sunnah Rasulullah SAW, tapi jika belum ia jumpai, maka ia kumpulkan para sahabat dan bertanya kepada mereka seraya berkata: Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah SAW pernah memutuskan perkara kasus ini? Maka para sahabat terkadang menjawab pernah dan kadang belum.[14]

3.      Periode Pembentukan Madzhab Fiqih

Periode Keemasan fiqih berbarengan dengan zaman keemasan Islam dalam berbagai bidang. Adapun indikasi pertumbuhan fiqih adalah terwujudnya fiqih sebagai disiplin ilmu secara mandiri secara teratur dan sistematis. Disamping itu, digalakkannya pembukuan tafsir, sunnah, ushul fiqih dan filsafat. Faktor utama yang mendukung perkembangan fiqih periode ini tidak lain adalah adanya hubungan harmonis antara ulama dan khalifah bahkan ada khalifah yang merangkap sebagai ulama. Juga adanya realitas kebebasan bagi masyrakat umum bahwa ijtihad adalah hak setiap warga masyarakat.[15]

Pase ini dalam sejarah dikenal dengan istilah “ Periode ijtihad dan keemasan fiqih Islam” yang melahirkan para imam besar di bidang fiqih, seperti: Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad Idris al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal.[16] Juga merupakanperiode munculnya para mujtahid mutlak dan atau mustaqil. Umat Islam saat itu, bersikap obyektif terhadap madzhab yang dianutnya dan masing-masing mujtahid tetap mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing.[17]

 

4.      Periode Kejumudan

Periode ini ditandai munculnya fanatisme madzhab yang mulai tumbuh di kalangan umat Islam. Mereka saling menyalahkan pendapat Imam Madzhab yang tidak sejalam dengan pandangan Imam Madzhab mereka. Hal ini mengilhami gairah dan semangat berijtihad mengendor tidak seperti priode sebelumnya. Begitu pula dalam pola diskusi yang terkait dengan fiqih antara pengikut madzhab pada saat itu dikenal dengan istilah al-Munadzarah wa al Jadal. Dari hari ke hari fanatic madzhab semakin kuat sehingga bila seorang pengikut madzhab sedang berhadapan dengan pengikut madzhab lain, maka seakan-akan mereka sedang berhadapan dengan orang yang bukan Islam.[18]

Periode ini, ulama tidak lagi melakukan ijtihad mustaqil akan tetapi mereka memberikan syarah, khulashah, taklimah, taklimah dan koleksi fatwa yang dibutuhkan.[19]  Para ulama telah memutuskan perhatian dan pembahasannya hanya terbatas pada teks matan, syarah, mukhtashar, dan khasyiyah dan tidak mempelajari kitab-kitab terdahulu dan bernilai lebih tinggi. Terputusnya komunikasi antara ulama satu daerah dengan daerah lain, sehingga tidak ada pertukaran informasi ilmiah diantara mereka. Dari runtutan sejarah munculnya fuqaha di beberapa kota besar disekitar wilayah Hijaz, maka dapat dipahami bahwa fiqih sudah mulai berkembang secara dimanis dan menghantarkan kepada periode kemajuan kajian fiqih.[20]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Kaidah-kaidah fiqih yang ada hingga saat ini merupakan warisan ulama terdahulu. Termasuk lima kaidah fiqih yang telah dikemukakan di atas. Ia berupa hasil perenungan dan penelitian yang telah teruji. Oleh karena itu dapat dijadikan solusi alternatif karena dapat dijadikan landasan dalam memecahkan persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat secara benar, adil, dan arif. Hal ini perlu karena perubahan waktu, tempat dan adat kebiasaan masyarakat dapat mengakibatkan pengecualian atas kaidah-kaidah fiqih tertentu.

Bahkan, tidak mustahil akibat beban dan tuntutan masyarakat, akan timbul kaidah-kaidah yang lebih baru. Barangkali, ini menjadi tugas para peminat kajian hukum Islam untuk ikut andil dalam perkembangan hukum Islam dan pencapaian kebenaran, kebaikan, dan keindahan perilaku individu, dan masyarakat berdasarkan syari’at Islam.

B.     Kritik dan Saran

Demikianlah makalah ini kami buat. Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari berbagai pihak demi kebaikan pemakalah yang akan datang. Dan sebagai umat Islam hendaknya kita juga ikut andil dalam mengetahui kaidah-kaidah fiqih untuk menjalani kehidupan sehari-hari dan menggunakannya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul di sekitar kita.

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

 

Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. 2011.  Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Syafe’I , Prof. Dr. Rachmat, M.A. Ilmu Ushul Fiqih. 2010.  Bandung: Pustaka Setia

Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih

The Noble Al-Qur’an

Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih. 2013. Surabaya: Pena Salsabila

 

 



[1] Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)

[2] Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih (Surabaya: Pena Salsabila, 2013)

[3]Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, M.A, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010)

[4] Ibid

[5] Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)

 

[6] Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih

[7] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih. Islam, Surabaya: Risalah. Gusti, 1995, h. 22

[8] M. Hasbi Ash-Sh.iddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet ke-8, h.33

[9] Adu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz III, Cairo, Dar al-Fikr , tth., h303

[10] Muhammad Khudori Beik, Tarikh Tasyri Islami, Beirut: Dar al-Fikr , 1967, h. 17

[11] Umar Sulaiman al-Syaqar, Tasyri’ al-Fiqh al-Islami, Kuwait: Maktabah al-Falah, 1982, h. 11

[12] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Damaskus, Dar al-Qalam, 1997, h. 57

[13] Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in an Rabbil ‘Alamin, Juz I, Beirut: Dar al-Jail, t. th. h. 204

[14] Muhammad Khudari Beik, Op. Cit., h. 95-96

[15] 3 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Beirut: Dar al-Kitab al-Arobi, 1969, h. 230

[16] Muhammad Khudhari Beik, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikri, 1967, h. 124-127.

[17] Muhammad Tahir al-Naifir, Ush.ul Fiqh. al-Nah.dh.ah. al-Ilmiyah. wa Atsaruh.a fi Ush.ul Fiqh., ttp. Dar
al-Buslamah., tt., h.. 9-10

[18] Muh.ammad Ma’ruf al-Dawalibi, al-Madkh.al ila Ilmil Ush.ul Fiqh., ttp., Dar al-Ilm al-Malayin,
1385/1985, h.. 104-5

[19] Ahmad Amin, Duha Islam, al-Qahirah: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1952, h. 152

[20] TM. Hasbi As-Siddieqy, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta; Bulan
Bintang, 1992, h. 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar