PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu fiqih dan ushul fiqih merupakan bagian tak
terpisahkan dari ajaran Islam. Dengan keduanya, ajaran Islam dapat dipelajari
dan dilaksanakan oleh seluruh umat Muslim. Oleh karena itu, pengetahuan tentang
ilmu ini menjadi sangat penting. Apalagi untuk mengetahui hukum-hukum atau
peraturan yang digunakan dalam kehidupan manusia di dunia khususnya bagi umat
Islam sendiri.
Banyak objek pembahasan di dalam ilmu fiqih. Namun
makalah ini sendiri, akan membahas mengenai kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip
yang perlu mendapatkan perhatian untuk memecahkan suatu masalah.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah fiqih ?
b.
Apa saja kaidah-kaidah fiqih itu ?
c.
Apa dasar-dasar pengambilan kaidah-kaidah fiqih tersebut ?
d.
Apa Perubahan Perkembangan Fiqh?
C.
Tujuan
a.
Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai
kaidah-kaidah fiqih.
b.
Membantu pelajar mengerti dan memahami macam-macam
kaidah-kaidah fiqih secara umum.
c.
Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.
d.
Untuk mengetahui Perubahan Perkembangan Fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kaidah Fiqih
Secara
etimologi, arti kaidah adalah asas (dasar) yang menjadi dasar berdirinya
sesuatu. Bisa juga diartikan dasar sesuatu atau fondasinya (pokoknya).
Adapun
menurut istilah atau terminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, antara
lain:
1.
Dalam kitab At-Ta’rifat
Artinya: “Ketentuan
universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya.
2.
Dalam kitab Syarah Jamu’ al-Jawami’
Artinya: “Ketentuan
pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan
bagian-bagiannya.
3.
Dalam kitab At-Talwih ‘ala at-Taudih
Artinya: “Hukum universal
(kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui hukumnya”.
4.
Dalam kitab Al-Ashbah wa An-Nadzair
Artinya: “Ketentuan yang
bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari
perkara tersebut”.
5.
Dalam kitab Syarh Mukhtashor al-Raudah fi Ushul Fiqih
Artinya: “Ketentuan
universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui penalaran”.
Jadi kaidah fiqih adalah
kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqih yang menjadi
pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyah baik yang telah
ditunjuk oleh nash maupun yang belum ada nashnya sama sekali.[1]
Dan penggalian hukumnya bisa dilakukan dengan menyamakan sebuah kasus yang
telah ada hukumnya dalam fiqih dengan kasus yang belum ada[2].
B.
Sejarah Ringkas Kaidah-kaidah
Fiqih (Qawa’idul Fiqih)
Tinjauan
terhadap sejarah perkembangan dan penyusunan qawa’idul fiqihiyah dapat dibagi
menjadi tiga fase:
1.
Fase Pertama
Fase
pertama ini merupakan fase kemunculan dan berdirinya kaidah fiqih yang dimulai
dari zaman Rasulullah hingga akhir abad III H atau IX M.[3]
Jika kaidah fiqih didefinisikan sebagai ketentuan hukum yang dapat mencakup
berbagai masalah furu’, maka banyak hadits yang dapat dikategorikan sebagai
kaidah fiqih. Misalnya dalam beberapa hadits berikut ini:
a.
“Sesuatu yang banyaknya dapat memabukkan, maka yang
sedikitnya juga haram”
b.
“Bukti yang dinyatakan dari penggugat dan sumpah bagi yang
inkar (tergugat)”
c.
“Tidak madharat dan tidak memadharatkan”
2.
Fase Kedua
Fase
kedua ini dimulai pada abad 4 H atau 10 M sampai lahir kompilasi hukum Islam
pada masa Turki Utsmani pada abad 13 H atau 19 M. Pada masa ini, kitab-kitab
fiqih sangat banyak. Masing-masing madzhab fiqih memiliki kitab pegangan
tertentu. Ketika itu, tampaknya para ulama merasa puas dengan kitab fiqih yang
ada dan melimpah ruah. Masa ini merupakan masa kejayaan fiqih.
Masa
keemasan dari pembukuan kaidah-kaidah fiqih terjadi pada abad 8 H. Pada abad
ini banyak lahir kitab kaidah, terutama di kalangan ulama Syafi’iyah.
Kaidah-kaidah fiqih tersebut kemudian disempurnakan secara sistematis pada abad
9 H. Hal ini terlihat jelas dari kitab Al-Asybah
wa An-Nazhair karya Ibnu Mulaqqin (723-804 H/1323-1402 M) atau kitab Al-Qawaid karya Abu Bakr Al-Hishal
(752-829 H/1351-1425 M). Dan akhirnya, puncak keemasan pembukuan kaidah fiqih
terjadi pada abad 10 H yang ditandai oleh lahirnya kitab al-Ashbah An-Nazhair karya Jalal Ad-Din Ay-Suyuthi yang merupakan
kitab kaidah fiqih terbaik.[4]
Penulisan
kaidah fiqih dimulai oleh Al-Karakhi dan Ad-Dabusi dari kalangan ulama
Hanafiyah. Pada fase ini, umumnya ulama menulis kaidah fiqih dengan cara mengutip
dan menghimpun kaidah-kaidah yang terdapat pada kitab-kitab fiqih masing-masing
madzhab. Selain itu, merekapun melakukannya dengan jalan mencantumkan
kaidah-kaidah fiqih daam kitab fiqih, yaitu ketika mereka mencari illat dan men-tarjih suatu pendapat. Sebagai contoh, ketika Al-Juwaini (w. 478
H/1085 M) menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat bergantung pada kemampuan
seseorang, ia mencantumkan kaidah yang artinya “Sesuatu yang bisa dilakukan tak
bisa gugur karena ada yang tidak dapat dilakukan” yang selanjutnya berkembang
dan berubah menjadi “Sesuatu yang mudah dilakukan tidak gugur dengan adanya
yang sulit dilakukan”.
3.
Fase Ketiga
Fase ini dimulai dengan
kelahiran Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (Kompilasi Hukum Islam di masa Turki
Utsmani) Kompilasi ini pada dasarnya merupakan hasil usaha para ulama Turki di
zaman Sultan ‘Abd Al-Aziz Khan Al-Utsmani yang ditetapkan pada tanggal 26
Sya’ban 1292 H atau 28 September 1875 M. Ia merupakan ensiklopedi fiqih Islam
dalam bidang mu’amalah dan hukum acara dengan bahasa perundang-undangan. Di
antara kaidah fiqih adalah:
a.
Pasal 12
“Ashal dalam suatu perkataan
adalah makna hakikat”.
b.
Pasal 13
“Petunjuk lafazh tidak
dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit”.
c.
Pasal 14
“Tidak dibenarkan berijtihad
ketika ada nash (qath’i)”.
C.
Beberapa Kaidah Fiqih
Ada
lima kaidah fiqih yang dianggap oleh sebagian ulama menjadi dasar dan prinsip
umum dari seluruh materi fiqih. Kelima kaidah itu adalah:
1.
Segala Urusan Tergantung pada Tujuannya
الْاُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Setiap perkara itu menurut maksudnya”
Niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan menjadi
kriteria yang menjadikan nilai dan status hukum yang dilakukannya. Apakah nilai
dari perbuatan itu sebagai amal syari’at atau perbuatan kebiasaan dan apakah
status hukumnya jika sebagai amal
syari’at wajib atau sunnah atau lainnya. Itulah sebabnya, kaidah ini bisa
diterapkan hampir pada seluruh masalah fiqhiyah. Dalam kaidah ini, ulama
menetapkan bahwa niat merupakan rukun (bagian yang tak terpisahkan) dan tanpa
adanya niat, suatu perbuatan tidak sah. Landasan dari kaidah ini adalah
beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya:
Surah Al-Bayyinah (98) ayat 5:
Artinya: “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Ny dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
Surah Ali Imran (3) ayat 145:
Artinya: “Sesuatu yang
bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang
telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami
berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat,
Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur”.
Ada juga hadits Nabi SAW., tentang hal ini misalnya:
إنما الأعمال
بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung
pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.
2.
Keyakinan Tidak Dapat Dihapus dengan
Keraguan
اَلْيَقِيْنُ لا يُزَالُ بِا لشَّكِّ
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Yang
dimaksud yakin adalah
اَلْيَقِيْنُ هُوَ مَاكَانَ ثَابِتًا بِا لنَّظْرِ وَالدَّلِيْلُ
“Sesuatu yang tetap , baik dengan penganalisaan
maupun dengan dalil”.
Sedangkan
yang dimaksud dengan syak adalah
الْشَّكُّ هُوَ
مَاكَانَ مُتَرَدِّدًا بَيْنَ
الثُّبُوْتِ وَعَدَمِهِ مَعَ
تَسَاوِى طَرَفَىْ الصَّوَابِ
وَالْخَطَاءِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ
اَحَدِهِمَا عَلَى الأَخَرِ
“Sesuatu yang
tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan itu sama antara
batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.”
Contoh apabila ada bukti kuitansi seseorang berhutang,
kemudian timbul perselisihan tentang sudah membayar menurut yang berhutang dan
belum membayar menurut yang mengutangkan, maka yang dipegang perkataannya
adalah dari yang berhutang karena memiliki kuitansi tersebut. Atau seseorang ragu-ragu berapa raka’at yang
ia lakukan dalam shalatnya, maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit,
karena yang paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak merupakan
yang diragu-ragukan.
3.
Kesukaran Itu
Menarik Kemudahan
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِرُ
“Kesukaran
itu dapat menarik kemudahan”.
Dalam kaidah ini, memberikan keringanan pelaksanaan
aturan-aturan syari’ah dalam keadaan khusus. Keringanan tersebut dalam Islam
dikenal dengan istilah rukhsah. Rukhsah merupakan jalan agar syari’at
Islam dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Yaitu dengan memberi
kelonggaran atau keringanan dalam menjumpai suatu kesukaran dan kesempitan[5].
Hal itu antara lain dikarenakan kemampuan seorang mukallaf itu terbatas.
Contohnya, orang yang sedang bepergian jauh dibolehkan
mengqashar atau menjamak shalat, dan boleh berbuka puasa apabila sedang
mengalami kesulitan misalnya sakit atau bepergian jauh. Ayat-ayat Al-Qur’an
yang berhubungan dengan kaidah ini antara lain:
Surah
Al-Baqarah ayat 185:
ۚوَالْفُرْقَانِ الْهُدَىٰ مِنَ وَبَيِّنَاتٍ لِلنَّاسِ هُدًى الْقُرْآنُ فِيهِ أُنْزِلَ الَّذِي رَمَضَانَ شَهْرُ
ۗ خَرَأُأَيَّامٍ مِنْ فَعِدَّةٌ سَفَرٍ عَلَىٰ أَوْ رِيضًا كَانَ وَمَنْ ۖفَلْيَصُمْهُ الشَّهْرَ مِنْكُمُ شَهِدَ فَمَنْ
هَدَاكُمْ مَا عَلَىٰ اللَّهَ وَلِتُكَبِّرُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكْمِلُوا الْعُسْرَ بِكُمُ رِيدُ وَلَا الْيُسْرَ بِكُمُ اللَّهُ يُرِيدُ
تَشْكُرُونَ وَلَعَلَّكُمْ
“(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
Surah Al-Hajj ayat 78:
Artinya:
“dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
Dan hadits Nabi Muhammad SAW.:
الدِّيْنُ
يُسْرٌ اَحَبُّ الدِّيْنِ اِلَى اللهِ الْحَنِيْفَةُ السَّمْحَةُ (رواه البخارى)
“Agama
itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”.
(HR Bukhori).
4.
Kemudharatan Itu
harus Dilenyapkan
الضَّرَارُ يُزَالُ
“Kemadharatan
itu harus dihilangkan”
Kaidah ini mengharuskan
menghilangkan kemudharatan serta pengaruh dari kemudharatan tersebut[6].
Dengan kata lain, kaidah ini menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu atau yang
dapat mendatangkan kerugian itu tidak dibolehkan oleh agama Islam. Contohnya
seperti memakan makanan yang haram dalam keterpaksaan karena tak ada makanan
lain dan apabila tidak memakannya bisa mati. Kaidah ini berdasarkan pada
beberapa ayat Al-Qur’an antara lain:
Surah
Al A’raf ayat 56:
Artinya:
“dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan di bumi.”
Surah Al Qoshosh ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا
تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُفْسِدِينَ
Artinya:
“sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan.”
Dan hadits Nabi Muhammad SAW.:
لاَضَرَرَ
وَلاَضِرَارَ
“Tidak
boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
5.
Adat Kebiasaan Itu Ditetapkan sebagai Hukum
اَلْعَادَ ةُ مُحْكَمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Suatu kebiasaan bisa dijadikan
patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai ‘urf
atau ‘adah. Walaupun sebagian ulama juga ada yang membedakan keduanya.
Namun, menurut jumhur ulama, suatu ‘adah bisa diterima jika memenuhi
syarat-syarat berikut:
a. Tidak
bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunah.
b. Tidak
mendatangkan kemadharatan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.
c. Tidak
mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat.
d.
Perbuatan,
perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata sudah mendarah
daging pada perilaku masyarakat.
Contoh dari kaidah ini antara
lain:
a.
Menjual buah di
pohon adalah tidak boleh menurut qiyas
karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan (‘adah) maka ulama membolehkan.
b.
Orang-orang
mengajarkan Al-Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar
Al-Qur’an tetap eksis di kalangan umat Islam.
Dasar nash kaidah ini adalah:
Firman Allah SWT. pada surah Al
A’raf ayat 199:
“dan
serulah orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang
yang bodoh.” (QS. Al A’raf: 199)
Sabda
Nabi SAW:
“apa
yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula di sisi Allah.” (HR.
Ahmad)
Inilah macam kaidah fiqhiyah yang banyak digunakan sebagai
pembuka jalan untuk memahami kaidah-kaidah lainnya. Oleh karena kaidah fiqih
ini berkaitan dengan sikap dan tingkah laku manusia, maka sering digunakan
secara luas, diperlukan dalam kehidupan dan untuk memecahkan masalah-masalah
yang bersifat pribadi, masalah-masalah dalam keluarga, atau juga
masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya.
Jadi, apabila kita sederhanakan, proses pembentukan kaidah
fiqih dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
6.
Manfaat
Mengetahui Kaidah Fiqih
Beberapa
manfaat yang dapat kita peroleh dengan mengetahui kaidah-kaidah fiqih ini
antara lain:
a.
Dengan mengetahui
kaidah-kaidah fiqih, kita akan mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqih.
b.
Dengan mengetahui
kaidah-kaidah fiqih, akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah
yang dihadapi.
c.
Dengan kaidah fiqih
akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fiqih dalam waktu dan tempat
yang berbeda serta untuk keadaan yang berbeda.
D.
Perubahan Perkembangan Fiqh
1.
Perubahan Rasulullah SAW
Perkembangan Fiqih periode ini bermula dari turunnya wahyu
dan berakhir
dengan wafatnya Nabi SAW pada tahun ke 11 H[7],
yang berlangsung
selama 22 tahun, beberapa bulan, sejak dari tahun 13
sebelum hijrah
s/d tahun 11 hijrah, atau tahun 611 M s/d 632 M.[8]
-
Adanya penugasan Rasulullah
SAW kepada sahabat ke suatu tempat tertentu,
seperti pada kasus Muaz ibn Jabal :
:فبسنة رسول ﷲ، قال
:فإن لم تجد فى كتاب ﷲ؟ قال :أقضى بكتاب ﷲ، قال :كيف تقضى إذا عرض
لك القضاء؟ قال
أجتهد رأ ى ولا آلو، فضرب رسول
ﷲ صلى ﷲ عليه و سلم بيده :فإن لم تجد بسنة
رسول اللهه ولا فى كتاب ﷲ؟ قال .(رواه أبو داود)
ل الذى وفق رسول رسول و لما يرضى رسول ﷲ مددال :على صدره ، وقال[9]
-
Artinya: Bagaimana cara
memutuskan perkara jika diajukan masalah kepadamu? Muaz
menjawab : Aku akan memutuskan (perkara tersebut) berdasarkan Kitab Allah (al-Qur’an).
Nabi bertanya: Jika kamu tidak mendapatkan
dalam Kitab Allah? Muaz Menjawab: aku akan putuskan \ berdasarkan
sunnah Rasulullah SAW. Nabi SAW bertanya
kembali: Kalau tidak
kamu jumpai dalam sunnah Rasulullah SAW dan Kitab Allah?
Muaz menjawab:
Aku akan ijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah SAW menepuk-nepuk dada Muaz
dengan tangannya seraya berkata: Segala puji bagi Allah
yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah SAW terhadap apa yang
diridhai Nya. (HR. Abu Dawud)
-
Ijtihad yang dilakukan
sahabat terkadang disetujui Rasulullah SAW atau tidak disetujui Rasulullah
SAW semua itu tidak lepas dari bimbingan langsung dari Allah SWT melalui
wahyu yang dibawa Malaikat Jibril as sebagaimana
dijelaskan dalam QS. Al- Najm(53): 3-4:
Artinya:
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.(3)
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).(4)
-
Bila terjadi kasus di
kalangan sahabat yang belum ada jawabannya, lalu mereka bertanya
kepada Rasulullah SAW. Terkadang terhadap masalah tersebut, Rasulullah SAW
tidak dapat langsung menjawabnya, akan tetapi Allah SWT menurunkan wahyu untuk
menjawabnya. Inilah yang kemudian menjadi sabab turun ayat tersebut (sabab nuzul),
yang pada umumnya
ayat-ayat jawaban suatu peristiwa diawali dengan redaksi : يسألونك .[10]
Adapun beberapa contoh kasus ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW langsung adalah
sebagai berikut:
1)
Dalam menghadapi kasus tawanan
perang Badar, Rasulullah SAW mengadakan musyawarah
dengan para sahabat untuk mencari solusi pemecaahan masalah tawanan
tersebut. Ketika itu ada dua pendapat yang
muncul; Pendapat Abu Bakar al-Shiddik dan Umar ibn Khattab. Abu Bakar mengajukan
pendapat untuk mengambil tebusan (fidyah) dari para tawanan itu.
Adapun Umar ibn Khattab berpendapat untuk membunuh seluruh tawanan
perang Badar tersebut.[11] Menyikapi
dua pendapat
tersebut, Nabi SAW memilih pendapat Abu Bakar al-Shiddik (menerima tebusan dari
para tawanan perang Badar itu). Pada kasus
ini, Rasulullah SAW telah memilih salah satu pendapat
sahabat dan
menolak pendapat salabat lainnya. Pemilihan
dan keberpihakan Nabi
SAW kepada pendapat Abu. Bakar al-Shiddik disebut Fiqih
ql Nabi
atau Ijtihad al -Nabi. Hasil ijtihad kemudian
dikuatkan dengan turunnya
wahyu pada QS. Al-Anfal (8): 67-69: Artinya:
Tidak patut, bagi
seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi.
2)
Penolakan seorang laki-laki
atas kelahiran seorang anak dari Bani Fazarah
yang dilahirkan dari istrinya karena anak tersebut berkulit hitam, sedangkan ayah ibunya berkulit
putih. Orang tersebut menyampaikan
masalahnya kepada Nabi SAW. Lalu Nabi
SAW menjawab
dengan bahasa analogi dengan mengajukan pertanyaan kembali:
Apakah engkau memiliki unta merah yang di antara anaknya berwarna hitam?
Orang itu menjawab: Benar. Nabi SAW bertanya kembali: Darimana datangnya
warna hitam pada ontamu? Orang tersebut
menjawab kembali: Boleh jadi adanya pengaruh
keturunan. Kemudian
Naabi SAW menegaskan: Hal ini juga (keadaan
anakmu yang
berwarna hitam dari kedua orang tua berwarna putih) boleh jadi
disebabkan karena factor keturunan.[12]
3)
Kasus penyesalan Umar ibn
Khattab atas perbuatannya yang dianggap membatalkan
puasa. Pada suatu hari Umar ibn Khattab memeluk dan mencium istrinya,
sementara ia telah melaksanakan ibadah puasa. Kemudian Umar ibn Khattab
menyampaikan hal tersebut kepada Nabi SAW
seraya berkata: Sungguh aku telah melakukan perbuatan
luar biasa
(mencium istriku dalam kondisi puasa).
4)
Kasus yang terkait dengan dua
orang sahabat Nabi SAW dalam perjalanan
jauh, mereka berdua melaksanakan shalat tanpa wudlu dan bertayammum karena tidak memperoleh
air. Setelah melaksanakan shalat,
tiba-tiba mereka mendapatkan air. Salah
satu sahabat mengulangi
shalat karena waktu shalat masih ada dengan berwudlu kembali sebelum shalat.
Sahabat Nabi yang lain tidak mengulangi shalatnya
karena ia berkeyakinan shalatnya sah. Ketika berjumpa dengan Nabi SAW
mereka menceritakan apa yang mereka lakukan di tengah perjalanan yang tidak
mendapat air ketika akan shalat. Maka Rasulullah
SAW menjawab: Kalian berdua benar. Kepada yang
tidak menglangi
shalatnya, Rasulullah SAW bersabda; Kamu
memperolah satu
pahala. Sedangkan kepada yang mengulangi shalatnya, Rasulullah
SAW bersabda: kamu memperoleh dua pahala.[13]
2.
Periode Sahabat dan Tabi’in
Periode sahabat, fiqih secara praktis sudah terjadi dan sudah
dilakukan oleh
para sahabat karena Rasulullah SAW sebagai sumber informasi
dan Pembina
hukum telah tiada. Namun aktifitas
mereka dalam bidang fiqih sangat
terbatas, dengan menunggu kasus hukum yang terjadi,
dimana hal tersebut
secara tekstual belum tersentuh al-Qur’an dan
sunnah. lustrasi ini dapat dikemukakan apa yang dilakukan oleh
Abu Bakar al-Siddik ketika ditanya tentang suatu kasus
hukum, maka pertama yang ia lakukan adalah mencermati
apakah kasus tersebut sudah dijelaskan dalam al-Qur’an. Bila telah dijelaskan,
maka ia putuskan dengan dasar al-Qur’an. Bila kasus tersebut tidak terdapat dalam
al-Qur’an, maka ia cari jawabannya dalam sunnah Rasulullah SAW. Bila ia
jumpai, maka ia putuskan permasalahan hokum tersebut berdasarkan sunnah
Rasulullah SAW, tapi jika belum ia jumpai,
maka ia kumpulkan para sahabat dan bertanya kepada mereka seraya
berkata: Apakah
kalian mengetahui bahwa Rasulullah SAW pernah memutuskan perkara
kasus ini? Maka para sahabat terkadang menjawab pernah dan kadang belum.[14]
3.
Periode Pembentukan Madzhab Fiqih
Periode Keemasan fiqih berbarengan dengan zaman keemasan
Islam dalam berbagai bidang. Adapun indikasi
pertumbuhan fiqih adalah terwujudnya
fiqih sebagai disiplin ilmu secara mandiri
secara teratur dan sistematis.
Disamping itu, digalakkannya pembukuan tafsir, sunnah,
ushul fiqih
dan filsafat. Faktor utama yang mendukung perkembangan
fiqih periode ini
tidak lain adalah adanya hubungan harmonis antara ulama dan
khalifah bahkan
ada khalifah yang merangkap sebagai ulama. Juga adanya realitas kebebasan
bagi masyrakat umum bahwa ijtihad adalah hak setiap warga masyarakat.[15]
Pase ini dalam sejarah dikenal dengan istilah “ Periode
ijtihad dan keemasan fiqih Islam” yang melahirkan
para imam besar di bidang fiqih, seperti:
Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad
Idris al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal.[16]
Juga merupakanperiode munculnya para mujtahid mutlak dan atau mustaqil. Umat
Islam saat itu, bersikap obyektif terhadap madzhab yang dianutnya dan masing-masing
mujtahid tetap mengakui kelebihan
dan kekurangan masing-masing.[17]
4.
Periode Kejumudan
Periode ini ditandai munculnya fanatisme madzhab yang mulai
tumbuh di kalangan umat Islam. Mereka saling menyalahkan
pendapat Imam Madzhab yang
tidak sejalam dengan pandangan Imam Madzhab mereka. Hal ini mengilhami gairah dan semangat
berijtihad mengendor tidak seperti priode sebelumnya. Begitu
pula dalam pola diskusi yang terkait dengan fiqih antara pengikut madzhab pada
saat itu dikenal dengan istilah al-Munadzarah wa al Jadal. Dari hari ke hari fanatic madzhab
semakin kuat sehingga bila seorang pengikut
madzhab sedang berhadapan dengan pengikut madzhab
lain, maka seakan-akan
mereka sedang berhadapan dengan orang
yang bukan Islam.[18]
Periode ini, ulama tidak lagi melakukan ijtihad mustaqil akan tetapi
mereka memberikan syarah, khulashah, taklimah, taklimah dan koleksi fatwa yang dibutuhkan.[19] Para ulama telah memutuskan
perhatian dan pembahasannya
hanya terbatas pada teks matan, syarah,
mukhtashar, dan khasyiyah
dan tidak mempelajari kitab-kitab terdahulu
dan bernilai lebih tinggi.
Terputusnya komunikasi antara ulama satu daerah dengan
daerah lain, sehingga
tidak ada pertukaran informasi ilmiah diantara mereka. Dari
runtutan sejarah munculnya fuqaha di beberapa kota besar disekitar wilayah
Hijaz, maka
dapat dipahami bahwa fiqih sudah mulai berkembang secara dimanis
dan menghantarkan kepada periode kemajuan kajian fiqih.[20]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kaidah-kaidah fiqih yang ada hingga saat ini merupakan
warisan ulama terdahulu. Termasuk lima kaidah fiqih yang telah dikemukakan di
atas. Ia berupa hasil perenungan dan penelitian yang telah teruji. Oleh karena
itu dapat dijadikan solusi alternatif karena dapat dijadikan landasan dalam
memecahkan persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat secara benar,
adil, dan arif. Hal ini perlu karena perubahan waktu, tempat dan adat kebiasaan
masyarakat dapat mengakibatkan pengecualian atas kaidah-kaidah fiqih tertentu.
Bahkan, tidak mustahil akibat beban dan tuntutan masyarakat,
akan timbul kaidah-kaidah yang lebih baru. Barangkali, ini menjadi tugas para
peminat kajian hukum Islam untuk ikut andil dalam perkembangan hukum Islam dan
pencapaian kebenaran, kebaikan, dan keindahan perilaku individu, dan masyarakat
berdasarkan syari’at Islam.
B.
Kritik
dan Saran
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami
sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan dari berbagai pihak demi kebaikan pemakalah yang
akan datang. Dan sebagai umat Islam hendaknya kita juga ikut andil dalam
mengetahui kaidah-kaidah fiqih untuk menjalani kehidupan sehari-hari dan
menggunakannya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul di sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. 2011. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Syafe’I , Prof. Dr. Rachmat, M.A. Ilmu Ushul Fiqih. 2010.
Bandung: Pustaka Setia
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih
The Noble
Al-Qur’an
Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih. 2013.
Surabaya: Pena Salsabila
[1]
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih &
Ushul Fiqih (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
[2]
Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih (Surabaya: Pena
Salsabila, 2013)
[3]Prof.
Dr. Rachmat Syafe’I, M.A, Ilmu Ushul
Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
[4] Ibid
[5] Suyatno,
Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
[6]
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih
[7] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih.
Islam, Surabaya: Risalah. Gusti, 1995, h. 22
[8] M. Hasbi Ash-Sh.iddieqy,
Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet ke-8, h.33
[9] Adu Dawud, Sunan Abi Dawud,
Juz III, Cairo, Dar al-Fikr , tth., h303
[10] Muhammad Khudori Beik, Tarikh
Tasyri Islami, Beirut: Dar al-Fikr , 1967, h. 17
[11] Umar Sulaiman al-Syaqar,
Tasyri’ al-Fiqh al-Islami, Kuwait: Maktabah al-Falah, 1982, h. 11
[12] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Damaskus, Dar al-Qalam, 1997, h. 57
[13] Ibn Qayyim al-Jauziyah,
I’lamul Muwaqi’in an Rabbil ‘Alamin, Juz I, Beirut: Dar al-Jail, t. th. h. 204
[14] Muhammad Khudari Beik, Op.
Cit., h. 95-96
[15] 3 Ahmad Amin, Fajr al-Islam,
Beirut: Dar al-Kitab al-Arobi, 1969, h. 230
[16] Muhammad Khudhari Beik, Ushul
Fiqh, Beirut: Dar al-Fikri, 1967, h. 124-127.
[17] Muhammad Tahir al-Naifir,
Ush.ul Fiqh. al-Nah.dh.ah. al-Ilmiyah. wa Atsaruh.a fi Ush.ul Fiqh., ttp. Dar
al-Buslamah., tt., h..
9-10
[18] Muh.ammad Ma’ruf al-Dawalibi,
al-Madkh.al ila Ilmil Ush.ul Fiqh., ttp., Dar al-Ilm al-Malayin,
1385/1985, h.. 104-5
[19] Ahmad Amin, Duha Islam,
al-Qahirah: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1952, h. 152
[20] TM. Hasbi As-Siddieqy,
Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta; Bulan
Bintang, 1992, h. 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar