I.
PENDAHULUAN
Fiqih
muamalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia
lainya dalam sebuah masyrakat. Segala tindakan manusia yang bukan merupakan
ibadah termasuk dalam kategori ini. Didalamnya termasuk kegiatan perekonomian
masyarakat. Salah satu jenis trangsaksi ekonomi yang dibahas dalam fiqih
muamalah ialah al-Ijarah.
Ijarah merupakan salah
satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan Ijarah ini yang menjadi objek transaksinya
adalah manfaat yang terdapat pada sebuah zat. Rasulullah SAW. bersabda:
اعطوا
الاجير اجره قبل ان يجف عرقه. (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya:
“Berikanlah upah
pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR.
Ibn Majah dari Ibn Umar)
Hadits di atas dapat dismpulkan bahwa poroses Ijarah
sudah ada sejak zaman Nabi.
Untuk lebih jelasnya, didalam makalah ini akan dibahas permasalahan ijarah
yang meliputi pengertian, dasar hukumnya, rukun dan syaratnya, hal-hal yang
dapat membatalkannya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa
pengertian Al-Ijarah?
B.
Apa
dasar hukum Al-Ijarah?
C.
Apa
Syarat-syarat dan rukun Al-Ijarah?
D.
Bagaimana
pembatalan dan berakhirnya Al-Ijarah?
E.
Bagaimana
contoh Al-Ijarah dalam masyarakat?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-Ijarah
Al-Ijarah
berasal dari kata al-Ajru (الأجر) yang arti menurut
bahasanya ialah al-‘Iwadh yang arti dalam bahsa indonesianya ialah ganti
dan upah.[1] Adapun
menurut Istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikam Ijarah,
antara lain sebagai berikut:
a)
Menurut
Ulama Hanafiyah
عُقْدٌ
يُفِيْدُ
تَمْلِيْكُ
مَنْفَعَةٍ
مَعْلُوَمَةٍ
مَقْصُوْدَةٍ
مِنَ
الْعَيْنِ
الْمُسْتَأ
جِرَةِ
بِعَوْضٍ
Ijarah akad untuk
membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang
disewa dengan imbalan.
b)
Menurut
Malikiyah
تَسْمِيَةُ التَّعَاقُدِ عَلَى مَنْفَعَةِ الآدَمِىِّ وَ بَعْضِ المَنْقُوْلاَنِ
Ijarah adalah nama
bagai akad-akad untuk kemangfaatn yang bersifat manusiawi dan untuk sebagain
yang dapat di pindahkan.
c)
Menurut
Sayyid sabiq
Ijarah ialah suatu
jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
d)
Menurut
Hasbi Ash-Shiddiqie
Ijarah adalah akad
yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan
manfaat dengan imabalan, sama dengan menjual manfaat.[2]
e)
Menurut
Amir Syarifuddin
Ijarah secara sederhana
dapat diartikan dengan akad atau tansaksi manfaat atau jasa dengan imbalan
tertentu.[3]
Dari
definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa ijarah atau sewa-menyewa
adalah akad atas manfaat dengan imbalan.[4] Adapun
istilah-istilah dalam Al-Ijarah pemilik yang menyewakan manfaat
disebut Mu’ajjir (orang yang menyawakan). Pihak lain yang
memberikan sewa disebut Musta’jir ( orang yang menyawa =
penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk diambil manfaatnya disebut Ma’jur (
Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat
disebut Ajran atau Ujrah (upah). Dan
setelah terjadi akad Ijarah telah berlangsung orang yang menyewakan
berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa berhak mengambil manfaat, akad
ini disebut pula Mu’addhah (penggantian).[5]
Al-Ijarah
ada dua macam yaitu Ijarah al’Ain dan Ijarah ad-Dzaimah.
1.
Ijarah
atas manfaat (Ijarah al’Ain) disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijarah
bagaian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda.
2.
Ijarah
atas pekerjaan (Ijarah ad-Dzaimah) disebut juga upah-mengupah. Dalam
Ijarah bagaian kedua ini, objek akadnya dalah amal atau pekerjaan seseorang.[6]
B.
Dasar
Hukum Al-Ijarah
Al-Ijarah
dalam bentuk sewa-menyewa maupun dalam bentuk upah-mengupah merupakan muamallah
yang telah disyariatkan dalam Islam. Hukum asalnya menurut Jumhur Ulama adalah
Mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
syara’. Adapun dasar hukum tentang kebolehan Al-Ijarah sebagai
berikut:
فَإِنْ
أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَأْتُوْ هُنَّ أُجُوْرَهُنَّ
“Jika
mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka (Al-Thalaq: 6)”.
Dasar
Hukum ijarah dari Hadits/sunnah:
أُعُطُوا اْلأَجِيْرَأَجْرَهُث
قَبْلَ اَنْ يَّجِفَ عُرُقُهُ
“Berikanlah
upah pekerja sebelum keringatnya kering” (Riwayat
Ibnu Majah).
Perlu
diketahui bahwa tujuan di syariatkan al-Ijarah itu adalah untuk
memberikan keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup.[7]
C.
Rukun
dan syarat Ijarah
Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya
satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun
menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat yaitu:
1.
Dua orang yang berakad (akid) yaitu mua’jir (orang yang menyewakan atau orang
yang memberi upah) dan musta’jir (orang yang menyewa sesuatu atau
menerima upah).
2.
Sighat (Ijab dan kabul)
3.
Sewa atau imbalan
4.
Manfaat[8]
Adapun syarat-syarat ijarah sebagaimana yang
ditulis Nasrun Haroen yaitu sebagai berikut:
1.
Berkaitan
dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
disyaratkan telah baligh dan berakal. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah
bahwa kedua orang tersebut tidak harus mencapai usia baligh hanya pengesahannya
perlu persetujuan walinya.
2.
Kedua
belah pihak yng berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad ijarah.
3.
Manfaat
yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui, sehigga tidak muncul
perselisihan dikemudian hari.
4.
Objek
al-Ijarah itu boleh diserahkan dan digunaknan secara langsung dan tidak
ada cacatnya.
5.
Objek
al-Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
6.
Yang
disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
7.
Objek
Al-Ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti rumah,
kendaraan, dan alat-alat perkantoran.al-ijarah harus jelas, tertentu, dan
8.
Ujrah
atau upah, disyaratkan
diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun
dalam upah-mengupah. [9]
Adapun fitur dan Mekanisme Al-Ijarah
adalah sebagi berikut:
a. Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai
pemberi sewa (muajjir), yaitu memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya
lainnya dari penyewa (musta’jir);dan mengakhiri akad Ijarah dan menarik
objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana
diperjanjikan.
b. Kewajiban perusahaan pembiayaan
sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
1. menyediakan objek ijarah yang
disewakan
2. menanggung biaya pemeliharaan
objek ijarah
3. menjamin objek ijarah yang
disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
c. Hak penyewa (musta’jir),
antara lain meliputi:
1.
menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap
dioperasikan;
2.
menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.
d. Kewajiban penyewa antara lain
meliputi:
1.
membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang
diperjanjikan
2.
mengembalikan objek iajrah apabila tidak mampu
membayar sewa
3.
menjaga dan menggunakan objek ijarah sesuai yang
diperjanjikan
4.
tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan
objek ijarah kepada pihak lain.[10]
5.
D.
Pembatalan
dan berakhirnya Al-Ijarah
Ijarah
merupakan akad yang tidak membolehkan adanya pembatalan pada salah satu pihak,
kecuali jika adanya faktor yang mewajibkan terjadinya pembatalan. Faktor-faktor
penyebab ijaroh menjadi batal.
1.
Terjadinya cacat pada barang sewaan
ketika barang sewaan berada di tangan orang yang menyewa. Missal: barang yang
disewakan rusak, seperti rumah yang disewa roboh atau binatang yang disewa
mati.
2.
Terpenuhinya
manfaat benda Ijarah atau selesainya dan juga berakhirnya waktu yang
telah ditentukan, kecuali ada alasan yang melarang membatalkanya. Missal:
masa Ijarah terhadap tanah
pertanian yang telah habis masa sewanya sebelum tiba masa panenya. Dalam kondisi
demikian, status benda ijarah masih berada di tangan
penyewa dengan syarat dia harus membayar uang sewa lagi kepada pemilik
tanahsesuai kesepakatan.
Ketika
masa ijarah
telah berakhir, musta’jir harus mengembalikan benda Ijarah kepada mu’jir.
Apabila benda Ijarah berupa benda
bergerak, benda tersebut diserahkan kepada pemiliknya, untuk benda yang tidak
bergerak, musta’jir harus menyerahkanya dalam keadaan kopsong dari harta
miliknya, jika benda ijarohnya berupa tanah pertanian, maka tanah terseut
diserahkan dalam keadaan kosong dari tanaman.[11]
E.
Contoh
Al-Ijarah dalam masyarakat
Dalam
hal ini banayk hal yang bisa disebut Ijarah akan tetapi kami pemakalah hanya
menebutkan beberapa saja:
1.
Sewa rumah, toko dan semacamnya
Jika seseorang menyewa rumah dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuaikemauannya,
baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang orang lain,
bahkan bolehdisewakan lagi atau dipinjamkan pada orang
lain.
2.
Sewa Tanah
Sewa tanah diharuskan untuk tujaunya,
apakah untuk pertanian dan disebutkan pula jenis tanamannya, dan apabila
tujuannya tidak dijelaskan, maka Ijarah akan fasid atau rusak.
3. Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik
hewan maupun kendaraan lainya, harus dijelaskan salah satu dari dua hal, yaitu
waktu dan tempat. Demikian pula barang yang akan dibawa, dan benda atau orang
yang akan diangkut harus dijelaskan.[12]
IV.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Al-ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan
imbalan. Adapun istilah-istilah dalam Al-Ijarah pemilik yang menyewakan
manfaat disebut Mu’ajjir (orang yang menyawakan). Pihak lain
yang memberikan sewa disebut Musta’jir ( orang yang menyawa =
Penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk diambil manfaatnya disebut Ma’jur (
Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat
disebut Ajran atau Ujrah (upah), Ijarah
di bagi menjadi dua al-Ain dan ad-dzimmah.
Hukum asalnya menurut Jumhur Ulama adalah Mubah atau
boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’.
Adapun Rukun Ijarah adanya dua orang yang
berakad,
Sighat (Ijab dan
kabul, Sewa atau
imbalan, Manfaat. Ijarah
merupakan akad yang tidak membolehkan adanya pembatalan pada salah satu pihak,
kecuali jika adanya faktor yang mewajibkan terjadinya pembatalan.
b.
Penutup
Demikianlah yang dapat kelompok kami
paparkan dari makalah yang berjudul Al-Ijarah. Kami masih menyadari
dalam penyusunan makalah yang kami susun masih terdapat banyak kesalahan. Untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran dari saudara untuk menyempurnakan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abdul
Rahman, Ghufron Ihsan, dkk.
Fiqh
Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010.
Huda, Qomarul, Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Teras,
2011.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap),
Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994.
Sabiq, Sayyiid, Fiqih Sunah 13, Bandung
: PT. AL – Ma’arif,
1987.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2008.
Syarifuddin, Amir, Garis-garis besar Fiqih, Jakarta:
Kencana, 2003.
Wardi Muslich, Ahmad, Fiqh Muamalah, Jakarta:
Amzah, 2010.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Sayfi’i, Jakarta: PT.
Niaga Swadaya, 2010
http://fileperbankansyariah.blogspot.com/2011/03/definisi-ijarah.html, diakses pada hari rabu 15 Oktober 2014.
[7] Abdul Rahman Ghazaly,Ghufron
Ihsan, dkk. Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.
277-278.
[8] Sulaiman Rasjid, Fiqh
Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994), hal. 304.
[9] Abdul Rahman Ghazaly,Ghufron
Ihsan, dkk. Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.
278-280.
[10] http://fileperbankansyariah.blogspot.com/2011/03/definisi-ijarah.html,
diakses pada hari rabu 15 Oktober 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar