Senin, 01 November 2021

Makalah Ekologi Pertanian Hutan Mangrove

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.   Latar Belakang

Akhir-akhir ini semakin banyak masalah yang timbul disebabkan oleh antropogenik, khususnya tentang lingkungan. Antropogenik adalah istilah yang umum dipakai untuk menyatakan segala sesuatu yang terjadi di alam karena  campur tangan manusia (efek, proses,obyek dan material), kejadian tersebut sebagai lawan kata dari kejadian alami.

Sangat disayangkan banyak pihak-pihak yang belum menyadari arti dari keberadaan dirinya di muka bumi ini, seperti yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an “Sesungguhnya  hendak  aku  jadikan  khlaifah  di  muka  bumi ( Al Baqarah ayat 30)”, “Orang yang merusak  lingkungan berati  telah melanggar dan memerangi  perintah  Allah  SWT  dan  RasulNya  dan  telah  berbuat  kerusakan  di muka  bumi  yang  berdampak  pada  kerusakan  fasilitas  umum  (lingkungan)  yang menjadikan  kebutuhan  dasar  hidup  semua  makhluk  di  muka  bumi”.  (Arie Budiman & Ahmad Jauhar Arief, 2007, p 244).

Oleh karena itu, penulis membuat makalah ini dengan harapan bahwa masyarakat bisa menyadari betapa pentingnya menjaga kestabilan lingkungan (ekosistem), sebab bila manusia terus melakukan tindakan atau perbuatan yang berdampak langsung pada keseimbangan ekosistem, maka keseimbangan ekosistem ini akan hancur, dan secara tidak langsung juga berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis akan membahas tentang Hutan Mangrove atau Hutan Bakau. Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).

Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang). 

Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan. Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken.1986).

Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.

1.2.    Rumusan Masalah

1.      Apa definisi dari Hutan Mangrove ?

2.      Apa saja fungsi dari Hutan Mangrove ?

3.      Permasalahn apa saja yang terjadi pada Hutan Mangrove?

4.      Apa saja dampak yang di timbulkan dari permasalahan tersebut ?

 

1.3.   Tujuan

Untuk menjelaskan definisi dari Hutan Mangrove, fungsi dari Hutan Mangrove tersebut, keanekaragaman yang berada dalam  ekosistem Hutan Mangrove, permasalahan yang di alami, dan dampak yang di timbulkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

Hutan Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Sebagian ilmuwan mendefinisikan, hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Sebagian lainnya mendefinisikan bahwa hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan).  Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan, misalnya penelitian Darmiyati dkk tahun 1995 menemukan jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu dan penelitian Saefullah tahun 1995 menginformasikan pada daun Avicennia marina terdapat akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm,   Ni ³ 2,4 ppm. Unsur-unsur tersebut merupakan pulutan berupa logam berat jika berada dilingkungan akan berbahaya bagi flora lain dan fauna, termasuk bagi manusia. Dengan demikian hutan mampu mereduksi polutan dari lingkungan.

Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Seorang peneliti, White (1987) melaporkan produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya. Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi.

Vegetasi mangrove memiliki adaptasi anatomi dalam merespon berbagai kondisi tempat tumbuhnya, (1) seperti adanya kelenjar garam pada golongan secreter, dan kulit yang mengelupas pada golongan non-secreter sebagai tanggapan terhadap lingkungan yang salin, (2) system perakaran yang khas, dan lentisel debagai tanggapan terhadap tanah yang jenuh air, (3) struktur dan posisi daun yang khas sebagai tanggapan terhadap radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi.

Hutan mangrove mempunyai tiga fungsi utama bagi kelestarian sumber daya, yakni : (1) Fungsi fisik, hutan mangrove secara fisik menjaga dan menstabilkan garis pantai serta tepian sungai, pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, mempercepat pembentukan lahan baru serta melindungi pantai dari erosi laut/abrasi (green belt). (2) Fungsi biologis adalah sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makanan (feeding ground) ) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang, tempat berkembang biak (spawning ground), sebagai penghasil serasah/zat hara yang cukup tinggi produktivitsnya, dan habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah. (3) Fungsi ekonomi yakni kawasan hutan mangrove berpotensi sebagai tempat rekreasi (ecotourism), lahan pertambakan, dan penghasil devisa dengan produk bahan baku industri. ( Saparinto, Cahyo. 2007)

Selain itu, secara khusus hutan mangrove juga berguna sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, mengolah limbah organik, dan sebagainya. Setiap saat pantai terancam abrasi akibat arus dan gelombang laut yang selalu bergerak. Tanpa keberadaan hutan mangrove dan hutan pantai, sangat besar peluang pinggir pantai tergerus oleh arus dan gelombang yang terus menerpanya.

Beberapa contoh hasil penelitian juga menunjukkan fungsi hutan mangrove dan hutan pantai dalam meredam energi arus gelombang laut, seperti tergambar dari hasil penelitian Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto dkk (2003). Pratikto melaporkan bahwa hutan mangrove di Teluk Grajagan - Banyuwangi mampu mereduksi atau mengurangi energi gelombang yang menerpa kawasan pantai tersebut. Istiyanto dkk (2003) melalui pengujian laboratorium juga menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut.

Selain itu, Hutan Mangrove juga merupakan potret ekosistem yang miliki keanekaragaman hayati yang banyak di dalamnya. Keanekaragaman hayati tersebut membentuk hubungan yang erat dan saling menjaga satu sama lain, layaknya keluarga besar, serta menjadi contoh potret keluarga yang harmonis.

Mereka menghasilkan akar panggung mana proyek di atas lumpur dan air untuk menyerap oksigen. Terendam di air asin dan sampai berlutut di lumpur, tanaman di Rawa Mangrove memiliki cara cerdas untuk mengatasi lingkungan mereka. Tanaman mangrove membentuk komunitas yang membantu untuk menstabilkan bank dan garis pantai dan menjadi rumah bagi berbagai jenis hewan. .

Disamping itu Hutan Mangrove juga memiliki manfaat yang lain, yaitu menyediakan buffer untuk negeri itu, bakau juga berinteraksi dengan laut. Sedimen terperangkap oleh akar mencegah pendangkalan habitat laut yang berdekatan di mana air keruh mungkin membunuh karang atau padang rumput melimpahi lamun. Selain itu, tanaman bakau dan sedimen telah terbukti untuk menyerap polusi, termasuk logam berat. Mangrove juga sangat efektif dalam menyimpan karbon.

Bila diamati dan dipahami dengan baik, Hutan Mangrove mempunyai  banyak manfaat yang mendukung kelangsungan kehidupan manusia. Namun, manusia selalu merasa belum puas dan ingin mendapatkan lebih banyak keuntungan, sehingga menggunakan segala upaya untuk memperoleh keuntungan yang besar walaupun harus merusak ekosistem Hutan Mangrove.

Kerusakan hutan mangrove di Indonesia mencapai 70% dari total potensi mangrove yang ada seluas 9,36 juta hektare. Yaitu 48% atau seluas 4,51 juta hektare rusak sedang dan 23% atau 2,15 juta hektare dalam kondisi rusak berat. Seperti yang telah diutarakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam keterangannya ketika membuka Jambore Mangrove di Pantai Depok, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (19/3), ia mengatakan bahwa kerusakan sebagian besar hutan mangrove di Indonesia diakibatkan oleh ulah manusia, baik berupa konversi mangrove menjadi pemanfaatan lain seperti pemukiman, industeri, rekreasi dan lain sebagainya

Seperti contoh kasus yang terjadi di daerah Sumatera Utara yaitu adanya pengalihan fungsi lahan hutan mangrove menjadi tambak masyarakat dan dikonversi lagi menjadi lahan kelapa sawit. Seperti yang sudah kita ketahui Hutan mangrove atau bakau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau, terletak pada garis pantai dan dipengaruhi pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Hal-hal utama yang menjadi permasalahan dan penyebabnya antara lain, (1)     Tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi. Penduduk disini lebih mementingkan kebutuhannya sendiri-sendiri dibandingkan kepentingan ekologis dan kepedulian akan dampak lingkungan hidup. Banyaknya pihak yang tidak bertanggung jawab juga dengan meminta untuk mengkonversi lahan mangrove tapi setelah dikonversi lahan tersebut mereka tidak menindak lanjutinya. Mereka lebih paham bahwa manfaat dengan dikonversinya hutan mangrove menjadi tambak dan lahan kelapa sawit akan lebih menguntungkan padahal kalau ditinjau secara keuntungan jangka panjang hutan mangrove akan lebih bermanfaat. (2) Perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral. Dari sini kita mengetahui bahwa pengelolaan yang sektoral ini akan mengakibatkan terjadinya perusakan hutan mangrove berat yang akan berdampak pada masa yang akan datang. Kemudian rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem mangrove. (3)     Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternative. Reklamasi seperti itu telah memusnakan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek – efek yang negatif teradap perikanan di perairan pantai sekitarnya.

Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di Tanjung Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut.  Dilaporkan bahwa nyamuk  Anopheles  sp., nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya areal-areal pertambakan perikanan.  Kajian lain yang berkaitan dengan polutan, dilaporkan oleh Gunawan dan Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove (silvofishery).  Saat ini sedang diteliti, di mana kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar perairan, atau pun ikan).

Dampak ekologis secara umum akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya.

Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang  terjadi adalah rantai makanan  detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun mangrove yang  jatuh ke perairan oleh bakteri dan fungi (Romimohtarto dan Juwana 1999).

Description: gbr-2.jpg

Gambar Rantai Makanan Detritus

Description: rantai-makanan-tidak-langsung.jpg

Gambar Rantai Makanan Detritus

Rantai  makanan detritus dimulai  dari proses penghancuran  luruhan dan ranting mangrove oleh bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus.  Hancuran bahan organic (detritus) ini kemudian menjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi  cacing, crustacea, moluska, dan hewan lainnya (Nontji, 1993). Setyawan dkk (2002) menyatakan nutrient di dalam ekosistem mangrove dapat   juga berasal dari luar ekosistem, dari sungai atau laut. Lalu ditambahkan oleh Romimohtarto dan Juwana (1999) yang menyatakan bahwa bakteri dan fungi tadi dimakan oleh sebagian   protozoa dan avertebrata.

Kemudian protozoa dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang selanjutnya dimakan oleh karnivor tingkat tinggi. Karena dengan adanya lahan hutan mangrove yang dikonversi ini fauna-fauna baik itu pemangsa maupun yang dimangsa akan berpindah ke lahan yang belum mengalami kerusakan. Contohnya saja spesies monyet dan bangau mungkin tidak aka ada lagi karena spesies ikan yang ada akan berkurang dan habitat mereka telah rusak. Pengaruh bahan-bahan kimia dari pupuk pertanian juga. Secara tidak langsung akan mengubah siklus biogeokimianya karena unsur-unsur yang ada akan berubah dan berkurang.

Ternyata dengan adanya lahan perkebunan kelapa sawit ini tentu saja akan menurunkan tingkat kualitas tanah sebagai salah satu indikator dan pemegang peranan penting didalam ekosistem apalagi dengan semua aspek fungsi ekologis yang dimilikinya. Juga akan terjadi pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap dihutan mangrove. Dengan begitu hutan mangrove yang asalnya tempat pemijahan ikan dan udang secara alami akan beralih fungsi dan bahkan tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemijahan. Sebagaimana kita ketahui bahwa lahan tersebut secara struktur akan berubah dan mungkin tercemar oleh bahan-bahan kimia yang berasal dari pupuk pertanian untuk lahan kelapa sawit. Sehingga dengan melihat tingkat degradasi dan konversi pada areal hutan mangrove tersebut maka harus direncanakan suatu penelitian untuk mengetahui dan mengkaji kualitas tanah sebagai akibat dari konversi mangrove yang telah dilakukan. (Anonim, 2009)

Dari situ kita tahu bahwa dengan adanya lahan konversi baik itu menjadi tambak atau pun lahan perkebunan kelapa sawit. Ternyata akan merusak ekositem mangrove dan akan mengubah struktur kimia fisika dan fungsi ekologisnya yaitu rantai makanan, rantai energy dan siklus biogeokimianya. Seharusnya kita menyadari dan menyadarkan masyarakat akan fungsi dan peranan masing-masing ekosistem karena untuk ke depannya alam ini akan merugikan kita apabila kita merusaknya. Mungkin secara waktu dekat lahan kelapa sawit akan menguntungkan tapi untuk jangka panjang dan dampak yang ditimbulkan akan merugikan.  persepsi yang menganggap mangrove  merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain harus diluruskan. Karena apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan hutan mangrove Indonesia dan juga hutan mangrove dunia akan menjadi sangat suram.

Oleh karena itu, diperlukan solusi yang dapat menolong ekosistem Hutan Mangrove tersebut dari segala ancaman. Berikut adalah beberapa solusinya: Pertama, Keterlibatan/partisipasi Masyarakat. Peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove sangan penting dan perlu dilakukan. Pemerintah baik pusat maupun daerah harus memberikan kesempatan pada masyarakat untuk ikut serta terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Selanjutnya masyarakat perlu diberikan bimbingan dan penyuluhan tentang arti pentingnya hutan mangrove pada kehidupan ini terutama kehidupan di masa yang akan datang.

Masyarakat harus tahu bahwa keberhasilan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi- khususnya dalam bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain. Kayu tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar, bahan tekstil dan penghasil tanin, bahan dasar kertas, keperluan rumah tangga, obat dan minuman, dan masih banyak lagi lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang kehidupan manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi misalnya untuk menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove dapat pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah penghasilan petani tambak dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan garam.

Kedua, Supremasi Hukum Lingkungan yaitu Undang-undang no 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Setelah masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan, pengembangan hutan mangrove dan diberi penyuluhan atau wawasan mengenai arti pentingan lingkungan hutan mangrove, maka pemerintah harus menindaklanjuti dengan menegakkan hukum sesuai dengan ketetapan undang-undang yang berlaku. Masyarakat baik perorangan maupun berkelompok atau perseroan harus ditindak tegas bilamana melakukan pelanggaran. Selama ini yang terjadi adalah di samping pemerintah kurang dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat, aspek penegakan hukum pun sangat lemah. Apalagi jika yang melanggar seorang pejabat atau pengusaha kaya. Sering kali si pelanggar dapat dengan mudah terbebas dari jeratan hukum.

Pada akhirnya banyak  manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan hutan mangrove, dengan ini masyarakat, khususnya masyarakat pesisir harus turut diberdayakan dalam usaha pelestarian maupun rehabilitasi hutan mangrove. Baik dengan memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat akan pentingnya ekosistem hutan mangrove, maupun dengan turut memberdayakan masyarakat dalam usaha rehabilitasi hutan mangrove tersebut. Di samping itu, juga supremasi hukum harus ditegakkan agar program-program pemerintah yang telah di rencanakan dan dilaksanakan dapat berjalan lancar dan berhasil guna. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi dalam mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan hidup khususnya kelestarian hutan mangrove yang kita punya ini. Tak ada lagi kesalahpahaman antara pemerintah dan masyarakat, semuanya harus bersama-sama bertanggung jawab sebagai upaya melaksanakan undang-undang no 32 tahun 2009. (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1 Simpulan

Ekosistem Hutan Mangrove sangat berperan penting terhadap kehidupan makhluk hidup. Bila keseimbangan ekosistem Hutan Mangrove terganggu ataupun dengan sengaja dirusak, maka secara langsung hal tersebut akan berdampak pada kelangsungan hidup makhluk hidup, baik manusia, tumbuhan maupun hewan, sebab beberapa makhluk hidup bergantung pada ekosistem Hutan Mangrove.

Selain itu, bila Hutan Mangrove di alih fungsikan menjadi tambak, lalu dialih fungsikan lagi menjadi perkebunan kelapa sawit, hal itu tidak dapat memberikan investasi yang lama disebabkan salinitas diwilayah tersebut sangat tinggi, dan juga jenis tanah yang digunakan sebagai perekebunan tersebut kurang cocok untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit,serta hal itu hanya akan menurunkan kualitas tanah.

Dan juga, bila ekosistem Hutan Mangrove terusik, secara tidak langsung akan berdampak pada ekosistem yang lain, karena ekosistem yang satu dengan yang lain saling memiliki keterkaitan atau hubungan. Disamping itu, flora fauna yang hidup dalam ekosistem tersebut dapat terganggu pertumbuhan dan perkembangannya, dan yang paling parah flora fauna tersebut punah. Bila hal itu terjadi, maka manusia pun akan merasakan dampaknya sendiri.

3.2 Saran

Ada beberpa saran atau solusi yang dapat membantu menjaga dan memlihara ataupun membudidayakn Hutan Mangrove, yaitu : 1) Mengharidi pertemuan kota dan menyambaikan suara keberatan atas pembangunan mengganggu habitat satwa liar maupun suatu ekosistem, 2) Pelajari semua tetang pentinganya Rawa Mangrove, dan membuat orang lain terkesan mengenai pentingnya Rawa Mangrove terhadap keanekaragaman hayati di Bumi, 3) gunakan produk yang ramah lingkungan untuk mengurangi polusi air.

3.3 Daftar Pustaka

Anonim. 2011. Hutan Mangrove. Di akses pada tanggal 30 September 2011 di

http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ar_id=NjkxOQ

Anwar, Chairil dan Hendra Gunawan. 2011. Diakses pada tanggal 15 september 2011 di

www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf

FAO. Management and Utilization of mangroves in Asia Pasific. FAO Environmental Paper 3, FAO, Rome. 1983 Hutching, P and P.Saenger. Ecology of Mangroves. University of Queensland,London. 1987 Mann, K.H. Ecology of Coastal Waters. Second Edition. Blackwell Science. 2000 Saenger, P. E.J, Hegerl, and J.P.S. Davie. Global Status of Mangrove Ecosystems. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar