BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Akhir-akhir ini semakin banyak masalah yang timbul
disebabkan oleh antropogenik, khususnya tentang lingkungan. Antropogenik adalah
istilah yang umum dipakai untuk menyatakan segala sesuatu yang terjadi di alam
karena campur tangan manusia (efek,
proses,obyek dan material), kejadian tersebut sebagai lawan kata dari kejadian
alami.
Sangat disayangkan banyak pihak-pihak yang belum
menyadari arti dari keberadaan dirinya di muka bumi ini, seperti yang telah
dijelaskan dalam Al Qur’an “Sesungguhnya
hendak aku jadikan
khlaifah di muka
bumi ( Al Baqarah ayat 30)”, “Orang yang merusak lingkungan berati telah melanggar dan memerangi perintah
Allah SWT dan
RasulNya dan telah
berbuat kerusakan di muka
bumi yang berdampak
pada kerusakan fasilitas
umum (lingkungan) yang menjadikan kebutuhan
dasar hidup semua
makhluk di muka
bumi”. (Arie Budiman & Ahmad
Jauhar Arief, 2007, p 244).
Oleh karena itu, penulis membuat makalah ini dengan
harapan bahwa masyarakat bisa menyadari betapa pentingnya menjaga kestabilan lingkungan
(ekosistem), sebab bila manusia terus melakukan tindakan atau perbuatan yang
berdampak langsung pada keseimbangan ekosistem, maka keseimbangan ekosistem ini
akan hancur, dan secara tidak langsung juga berdampak pada kehidupan manusia
itu sendiri.
Pada
kesempatan yang baik ini, penulis akan membahas tentang Hutan Mangrove atau
Hutan Bakau. Hutan-hutan
bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling
khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di
subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di
dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97
ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Hutan mangrove sering disebut hutan
bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar
vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena
hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti
mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di
daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika.
Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran apa yang
mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot)
dan industri (pakan ternak, kertas, arang).
Mangrove mempunyai kecenderungan
membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan penting
sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan
biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan
sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya
sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan.
Selain itu, tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan
bagi hewan-hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan
dan pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken.1986).
Hutan ini tumbuh khususnya di
tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan
mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas,
baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta
mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis
tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini
kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Apa
definisi dari Hutan Mangrove ?
2. Apa
saja fungsi dari Hutan Mangrove ?
3. Permasalahn
apa saja yang terjadi pada Hutan Mangrove?
4. Apa
saja dampak yang di timbulkan dari permasalahan tersebut ?
1.3.
Tujuan
Untuk menjelaskan definisi dari
Hutan Mangrove, fungsi dari Hutan Mangrove tersebut, keanekaragaman yang berada
dalam ekosistem Hutan Mangrove,
permasalahan yang di alami, dan dampak yang di timbulkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Hutan Mangrove
adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang
membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe
hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada
saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem
mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik
yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.
Sebagian
ilmuwan mendefinisikan, hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang
tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi
istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa
pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Sebagian lainnya mendefinisikan bahwa
hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat
dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup disepanjang areal
pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati
ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.
Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi
pencemaran (polutan). Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap
bahan polutan, misalnya penelitian Darmiyati dkk tahun 1995 menemukan jenis Rhizophora mucronata
dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu dan penelitian Saefullah tahun
1995 menginformasikan pada daun Avicennia marina terdapat
akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm, Ni ³ 2,4 ppm. Unsur-unsur
tersebut merupakan pulutan berupa logam berat jika berada dilingkungan akan
berbahaya bagi flora lain dan fauna, termasuk bagi manusia. Dengan demikian
hutan mampu mereduksi polutan dari lingkungan.
Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang
tinggi. Seorang peneliti, White (1987) melaporkan produktivitas primer
ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah
tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya. Oleh
karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi.
Vegetasi
mangrove memiliki adaptasi anatomi dalam merespon berbagai kondisi tempat
tumbuhnya, (1) seperti adanya kelenjar garam pada golongan secreter, dan kulit
yang mengelupas pada golongan non-secreter sebagai tanggapan terhadap
lingkungan yang salin, (2) system perakaran yang khas, dan lentisel debagai
tanggapan terhadap tanah yang jenuh air, (3) struktur dan posisi daun yang khas
sebagai tanggapan terhadap radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi.
Hutan
mangrove mempunyai tiga fungsi utama bagi kelestarian sumber daya, yakni :
(1) Fungsi
fisik, hutan mangrove secara fisik menjaga dan menstabilkan garis pantai serta
tepian sungai, pelindung terhadap hempasan gelombang dan arus, mempercepat
pembentukan lahan baru serta melindungi pantai dari erosi laut/abrasi (green
belt). (2) Fungsi biologis adalah sebagai
tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makanan (feeding ground)
) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang, tempat berkembang
biak (spawning ground), sebagai penghasil serasah/zat hara yang cukup tinggi
produktivitsnya, dan habitat berbagai satwa liar
antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan
mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah. (3) Fungsi ekonomi yakni kawasan hutan
mangrove berpotensi sebagai tempat rekreasi (ecotourism), lahan pertambakan,
dan penghasil devisa dengan produk bahan baku industri. ( Saparinto, Cahyo.
2007)
Selain itu, secara khusus hutan mangrove juga
berguna sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan
lahan, mengolah limbah organik, dan sebagainya. Setiap saat pantai terancam
abrasi akibat arus dan gelombang laut yang selalu bergerak. Tanpa keberadaan
hutan mangrove dan hutan pantai, sangat besar peluang pinggir pantai tergerus
oleh arus dan gelombang yang terus menerpanya.
Beberapa contoh hasil penelitian juga menunjukkan
fungsi hutan mangrove dan hutan pantai dalam meredam energi arus gelombang
laut, seperti tergambar dari hasil penelitian Pratikto et al.
(2002) dan Instiyanto dkk (2003). Pratikto
melaporkan bahwa hutan mangrove di Teluk Grajagan - Banyuwangi mampu mereduksi
atau mengurangi energi gelombang yang menerpa kawasan pantai tersebut.
Istiyanto dkk (2003) melalui pengujian laboratorium juga menyimpulkan bahwa
rumpun bakau (Rhizophora)
memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan
dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun
tersebut.
Selain itu, Hutan Mangrove juga merupakan potret
ekosistem yang miliki keanekaragaman hayati yang banyak di dalamnya.
Keanekaragaman hayati tersebut membentuk hubungan yang erat dan saling menjaga
satu sama lain, layaknya keluarga besar, serta menjadi contoh potret keluarga
yang harmonis.
Mereka
menghasilkan akar panggung mana proyek di atas lumpur dan air untuk menyerap
oksigen. Terendam di air asin dan sampai berlutut di lumpur, tanaman di Rawa
Mangrove memiliki cara cerdas untuk mengatasi lingkungan mereka. Tanaman
mangrove membentuk komunitas yang membantu untuk menstabilkan bank dan garis
pantai dan menjadi rumah bagi berbagai jenis hewan. .
Disamping itu Hutan Mangrove juga
memiliki manfaat yang lain, yaitu menyediakan buffer untuk negeri itu, bakau
juga berinteraksi dengan laut. Sedimen terperangkap oleh akar mencegah
pendangkalan habitat laut yang berdekatan di mana air keruh mungkin membunuh
karang atau padang rumput melimpahi lamun. Selain itu, tanaman bakau dan
sedimen telah terbukti untuk menyerap polusi, termasuk logam berat. Mangrove
juga sangat efektif dalam menyimpan karbon.
Bila
diamati dan dipahami dengan baik, Hutan Mangrove mempunyai banyak manfaat yang mendukung kelangsungan
kehidupan manusia. Namun, manusia selalu merasa belum puas dan ingin
mendapatkan lebih banyak keuntungan, sehingga menggunakan segala upaya untuk
memperoleh keuntungan yang besar walaupun harus merusak ekosistem Hutan
Mangrove.
Kerusakan
hutan mangrove di Indonesia mencapai 70% dari total potensi mangrove yang ada
seluas 9,36 juta hektare. Yaitu 48% atau seluas 4,51 juta hektare rusak sedang
dan 23% atau 2,15 juta hektare dalam kondisi rusak berat. Seperti yang telah
diutarakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam
keterangannya ketika membuka Jambore Mangrove di Pantai Depok, Kabupaten
Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (19/3), ia mengatakan bahwa kerusakan sebagian
besar hutan mangrove di Indonesia diakibatkan oleh ulah manusia, baik berupa
konversi mangrove menjadi pemanfaatan lain seperti pemukiman, industeri,
rekreasi dan lain sebagainya
Seperti contoh kasus yang terjadi di
daerah Sumatera Utara yaitu adanya pengalihan fungsi lahan hutan mangrove
menjadi tambak masyarakat dan dikonversi lagi menjadi lahan kelapa sawit. Seperti
yang sudah kita ketahui Hutan mangrove atau bakau adalah hutan yang tumbuh di
atas rawa-rawa berair payau, terletak pada garis pantai dan dipengaruhi
pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana
terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air
melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Hal-hal
utama yang menjadi permasalahan dan penyebabnya antara lain, (1)
Tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan
konversi mangrove juga semakin tinggi. Penduduk disini lebih mementingkan
kebutuhannya sendiri-sendiri dibandingkan kepentingan ekologis dan kepedulian
akan dampak lingkungan hidup. Banyaknya pihak yang tidak bertanggung jawab juga
dengan meminta untuk mengkonversi lahan mangrove tapi setelah dikonversi lahan
tersebut mereka tidak menindak lanjutinya. Mereka lebih paham bahwa manfaat
dengan dikonversinya hutan mangrove menjadi tambak dan lahan kelapa sawit akan
lebih menguntungkan padahal kalau ditinjau secara keuntungan jangka panjang
hutan mangrove akan lebih bermanfaat. (2) Perencanaan dan pengelolaan
sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral. Dari sini kita
mengetahui bahwa pengelolaan yang sektoral ini akan mengakibatkan terjadinya
perusakan hutan mangrove berat yang akan berdampak pada masa yang akan datang.
Kemudian rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan fungsi ekosistem
mangrove. (3) Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan
anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang yang marginal atau sama
sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan
pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap
sebagai lahan alternative. Reklamasi seperti itu telah memusnakan ekosistem
mangrove dan juga mengakibatkan efek – efek yang negatif teradap perikanan di
perairan pantai sekitarnya.
Rusminarto
et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di Tanjung Karawang
menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut. Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles
sp., nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin meningkat
populasinya seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove.
Ini mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan makin
terbukanya areal-areal pertambakan perikanan.
Kajian lain yang berkaitan dengan polutan, dilaporkan oleh Gunawan dan
Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan
pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan
mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove
(silvofishery). Saat ini sedang diteliti,
di mana kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar perairan, atau
pun ikan).
Dampak ekologis secara umum akibat berkurang dan
rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna
yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan
mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir
umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah
mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu
meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin
jauh ke arah darat, malaria dan lainnya.
Pada ekosistem mangrove, rantai
makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus. Sumber
utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun mangrove yang jatuh
ke perairan oleh bakteri dan fungi (Romimohtarto dan Juwana 1999).
Gambar Rantai Makanan Detritus
Gambar Rantai Makanan Detritus
Rantai makanan detritus
dimulai dari proses penghancuran luruhan dan ranting mangrove oleh
bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus. Hancuran bahan
organic (detritus) ini kemudian menjadi bahan makanan penting (nutrien)
bagi cacing, crustacea, moluska, dan hewan lainnya (Nontji, 1993).
Setyawan dkk (2002) menyatakan nutrient di dalam ekosistem mangrove dapat
juga berasal dari luar ekosistem, dari sungai atau laut. Lalu ditambahkan oleh
Romimohtarto dan Juwana (1999) yang menyatakan bahwa bakteri dan fungi tadi
dimakan oleh sebagian protozoa dan avertebrata.
Kemudian protozoa dan avertebrata
dimakan oleh karnivor sedang, yang selanjutnya dimakan oleh karnivor tingkat
tinggi. Karena dengan adanya lahan hutan mangrove yang dikonversi ini
fauna-fauna baik itu pemangsa maupun yang dimangsa akan berpindah ke lahan yang
belum mengalami kerusakan. Contohnya saja spesies monyet dan bangau mungkin
tidak aka ada lagi karena spesies ikan yang ada akan berkurang dan habitat
mereka telah rusak. Pengaruh bahan-bahan kimia dari pupuk pertanian juga.
Secara tidak langsung akan mengubah siklus biogeokimianya karena unsur-unsur
yang ada akan berubah dan berkurang.
Ternyata dengan adanya lahan
perkebunan kelapa sawit ini tentu saja akan menurunkan tingkat kualitas
tanah sebagai salah satu indikator dan pemegang peranan penting didalam
ekosistem apalagi dengan semua aspek fungsi ekologis yang dimilikinya. Juga
akan terjadi pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang
sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap dihutan mangrove. Dengan begitu
hutan mangrove yang asalnya tempat pemijahan ikan dan udang secara alami akan
beralih fungsi dan bahkan tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemijahan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa lahan tersebut secara struktur akan berubah dan
mungkin tercemar oleh bahan-bahan kimia yang berasal dari pupuk pertanian untuk
lahan kelapa sawit. Sehingga dengan melihat tingkat degradasi dan konversi pada
areal hutan mangrove tersebut maka harus direncanakan suatu penelitian untuk
mengetahui dan mengkaji kualitas tanah sebagai akibat dari konversi mangrove
yang telah dilakukan. (Anonim, 2009)
Dari situ kita tahu bahwa dengan
adanya lahan konversi baik itu menjadi tambak atau pun lahan perkebunan kelapa
sawit. Ternyata akan merusak ekositem mangrove dan akan mengubah struktur kimia
fisika dan fungsi ekologisnya yaitu rantai makanan, rantai energy dan siklus
biogeokimianya. Seharusnya kita menyadari dan menyadarkan masyarakat akan
fungsi dan peranan masing-masing ekosistem karena untuk ke depannya alam ini
akan merugikan kita apabila kita merusaknya. Mungkin secara waktu dekat lahan
kelapa sawit akan menguntungkan tapi untuk jangka panjang dan dampak yang
ditimbulkan akan merugikan. persepsi yang menganggap mangrove
merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan
sampah atau dikonversi untuk keperluan lain harus diluruskan. Karena apabila
persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan hutan mangrove
Indonesia dan juga hutan mangrove dunia akan menjadi sangat suram.
Oleh karena itu, diperlukan solusi
yang dapat menolong ekosistem Hutan Mangrove tersebut dari segala ancaman.
Berikut adalah beberapa solusinya: Pertama, Keterlibatan/partisipasi
Masyarakat. Peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam upaya pengembangan
wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove sangan penting dan perlu
dilakukan. Pemerintah baik pusat maupun daerah harus memberikan kesempatan pada
masyarakat untuk ikut serta terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan
mangrove. Selanjutnya masyarakat perlu diberikan bimbingan dan penyuluhan
tentang arti pentingnya hutan mangrove pada kehidupan ini terutama kehidupan di
masa yang akan datang.
Masyarakat harus tahu bahwa
keberhasilan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak pada adanya
peningkatan pembangunan ekonomi- khususnya dalam bidang perikanan, pertambakan,
industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain. Kayu tumbuhan mangrove dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar, bahan tekstil dan penghasil
tanin, bahan dasar kertas, keperluan rumah tangga, obat dan minuman, dan masih
banyak lagi lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang kehidupan
manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi misalnya untuk
menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai habitat bagi
biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove dapat pula
dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah penghasilan petani tambak
dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan garam.
Kedua, Supremasi Hukum Lingkungan
yaitu Undang-undang no 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Setelah masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan,
pengembangan hutan mangrove dan diberi penyuluhan atau wawasan mengenai arti
pentingan lingkungan hutan mangrove, maka pemerintah harus menindaklanjuti
dengan menegakkan hukum sesuai dengan ketetapan undang-undang yang berlaku.
Masyarakat baik perorangan maupun berkelompok atau perseroan harus ditindak
tegas bilamana melakukan pelanggaran. Selama ini yang terjadi adalah di samping
pemerintah kurang dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap
masyarakat, aspek penegakan hukum pun sangat lemah. Apalagi jika yang melanggar
seorang pejabat atau pengusaha kaya. Sering kali si pelanggar dapat dengan
mudah terbebas dari jeratan hukum.
Pada
akhirnya banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan hutan
mangrove, dengan ini masyarakat, khususnya masyarakat pesisir harus turut
diberdayakan dalam usaha pelestarian maupun rehabilitasi hutan mangrove. Baik
dengan memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat akan pentingnya ekosistem
hutan mangrove, maupun dengan turut memberdayakan masyarakat dalam usaha
rehabilitasi hutan mangrove tersebut. Di samping itu, juga supremasi hukum
harus ditegakkan agar program-program pemerintah yang telah di rencanakan dan
dilaksanakan dapat berjalan lancar dan berhasil guna. Pemerintah dan masyarakat
harus bersinergi dalam mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan hidup
khususnya kelestarian hutan mangrove yang kita punya ini. Tak ada lagi
kesalahpahaman antara pemerintah dan masyarakat, semuanya harus bersama-sama
bertanggung jawab sebagai upaya melaksanakan undang-undang no 32 tahun 2009.
(*)
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Ekosistem
Hutan Mangrove sangat berperan penting terhadap kehidupan makhluk hidup. Bila
keseimbangan ekosistem Hutan Mangrove terganggu ataupun dengan sengaja dirusak,
maka secara langsung hal tersebut akan berdampak pada kelangsungan hidup makhluk
hidup, baik manusia, tumbuhan maupun hewan, sebab beberapa makhluk hidup
bergantung pada ekosistem Hutan Mangrove.
Selain
itu, bila Hutan Mangrove di alih fungsikan menjadi tambak, lalu dialih
fungsikan lagi menjadi perkebunan kelapa sawit, hal itu tidak dapat memberikan
investasi yang lama disebabkan salinitas diwilayah tersebut sangat tinggi, dan
juga jenis tanah yang digunakan sebagai perekebunan tersebut kurang cocok untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit,serta hal itu hanya
akan menurunkan kualitas tanah.
Dan juga,
bila ekosistem Hutan Mangrove terusik, secara tidak langsung akan berdampak
pada ekosistem yang lain, karena ekosistem yang satu dengan yang lain saling
memiliki keterkaitan atau hubungan. Disamping itu, flora fauna yang hidup dalam
ekosistem tersebut dapat terganggu pertumbuhan dan perkembangannya, dan yang
paling parah flora fauna tersebut punah. Bila hal itu terjadi, maka manusia pun
akan merasakan dampaknya sendiri.
3.2 Saran
Ada
beberpa saran atau solusi yang dapat membantu menjaga dan memlihara ataupun
membudidayakn Hutan Mangrove, yaitu : 1) Mengharidi pertemuan kota dan
menyambaikan suara keberatan atas pembangunan mengganggu habitat satwa liar
maupun suatu ekosistem, 2) Pelajari semua tetang pentinganya Rawa Mangrove, dan
membuat orang lain terkesan mengenai pentingnya Rawa Mangrove terhadap
keanekaragaman hayati di Bumi, 3) gunakan produk yang ramah lingkungan untuk
mengurangi polusi air.
3.3 Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Hutan Mangrove. Di
akses pada tanggal 30 September 2011 di
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ar_id=NjkxOQ
Anwar, Chairil dan Hendra Gunawan.
2011. Diakses pada tanggal 15 september 2011 di
www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf
FAO. Management and Utilization of
mangroves in Asia Pasific. FAO Environmental Paper 3, FAO, Rome. 1983 Hutching,
P and P.Saenger. Ecology of Mangroves. University of Queensland,London. 1987
Mann, K.H. Ecology of Coastal Waters. Second Edition. Blackwell Science. 2000
Saenger, P. E.J, Hegerl, and J.P.S. Davie. Global Status of Mangrove
Ecosystems.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar