BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perikatan pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya
hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan
uang maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat
satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau
melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada
jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat saja
dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-udanglah
yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah
melahirkan perikatan atau hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan
melanggar hukum. Perikatan berasal dari bahasa Belanda “Verbintenis” atau dalam
bahasa Inggris “Binding”. Verbintenis berasal dari perkataan bahasa Perancis
“Obligation” yang terdapat dalam “code civil Perancis”, yang selanjutnya
merupakan terjemahan dari kata “obligation” yang terdapat dalam Hukum Romawi
”Corpusiuris Civilis”. Subekti memberikan definisi dari Perikatan sebagai suatu
hubungan antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya
berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Menurut Hofmann, Perikatan atau
”Verbintenis” adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas
subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang mengikatkan dirinya untuk
bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas
sikap yang demikian itu, sedangkan menurut Pitlo, perikatan adalah suatu
hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas
dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban
(debitur) atas sesuatu prestasi. Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan
oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga
terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi,
sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk
menunaikan prestasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Ketentuan Umum dalam
Perikatan
Pengertian
Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari
istilah aslinya dalam bahasa Belanda Verbintenis Perikatan artinya hal yang mengikat antara
orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah pristiwa
hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat
berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya
pekarangan berdampingan, rumah bersusun. Pristiwa hukum itu menciptakan
hubungan hukum. Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban
secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari
pihak yang lain,dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya.
Pihak yangberhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib
memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi. Dari
uraian diatas dapat dinyatakan bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum.
Hubungan hukum itu timbul karena adanya pristiwa hukum yang dapat berupa
perbuatan, kejadian, keadaan. Objek hubungan itu adalah harta kekayaan yang
dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur,
dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan itu disebut debitur. Dengan demikian
dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum mengenai harta kekayaan
yang terjadi antara kreditur dan debitur.
2.2 Prestasi dan Wanprestasi
A. Prestasi
Yang dimaksud
dengan prestasi (performance) dari suatu perjanjian adalah pelaksanaan terhadap
hal-hal yang telah diperjanjikan atau yang telah ditulis dalam suatu perjanjian
oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu. Jadi, memenuhi
prestasi dalam perjanjian adalah ketika para pihak memenuhi janjinya.[1]
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1234 KUH Perdata, maka prestasi dari suatu
perjanjian terdiri dari :
1.
Memberikan
sesuatu
2.
Berbuat
sesuatu
3.
Tidak
berbuat sesuatu[2]
Dengan demikian kita dapat katakan, bahwa semua perikatan sebagai
yang dikenal oleh K.U.H. Perdata dapat kita golongkan ke dalam salah satu dari
ketiga kelompok perikatan tersebut diatas.
B. Bentuk-bentuk atau wujud Prestasi
1. Perikatan
untuk memberikan sesuatu
Yang menjadi ukuran disini adalah
objek perikatannya, wujud prestasinya, yaitu berupa suatu kewajiban bagi
debitur untuk memberikan sesuatu kepada kreditur. Arti “memberikan sesuatu”
kiranya akan menjadi jelas, kalau kita meninjaunya dengan hubungan obligator
selalu perlu diikuti dengan levering /penyerahan, yang berupa memberikan
sesuatu, baik berupa benda bertubuh maupun tidak bertubuh. Hubungan obligatoir
dapat muncul baik atas dasar perjanjain maupun undang-undang. Sebagai contoh
dari perikatan untuk memberikan sesuatu dapat kita kemukakan kewajiban penjual
untuk menyerahkan benda objek jual beli. Asal diingat, bahwa kewajiban untuk
memberikan sesuatu tidak harus berupa penyerahan untuk dimiliki oleh yang
menerima, tetapi termasuk juga didalamnya kewajiban orang yang menyewakan untuk
menyerahkan objek sewa kepada si penyewa.
2. Perikatan untuk melakukan sesuatu
Pembuat undang-undang lalai untuk
memberikan kepada kita suatu patokan untuk membedakan antara perikatan untuk
memberikan dan untuk melakukan sesuatu, karena “memberikan sesuatu” sebenarnya
juga “melakukan sesuatu”. Itulah sebabnya ada yang mengusulkan pembagian antara
perikatan untuk “memberikan sesuatu” dan perikatan untuk “melakukan atau tidak
melakukan tindakan yang lain”;yang lain daripada memberikan sesuatu.
Orang yang menutup perjanjian
pemborongan atau untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, memikul kewajiban
perikatan untuk melakukan sesuatu,demikian pula kewajiban debitur dalam suatu
perjanjian pengangkutan.
1.
Perikatan
untuk tidak melakukan sesuatu
Di sini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif,
tetapi justru sebaliknya, bersifat pasif, yang dapat berupa tidak berbuat
sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung. Seorang majikan ada kalanya dalam
perjanjian dengan buruhnya, sengaja mencantumkan klausula, agar sesudah
berakhirnya hubungan kerja si buruh dalam jangka waktu tertentu-tidak bekerja
pada perusahaannya yang menghasilkan / memproduksi produk-produk yang sama
(yang demikian terkenal dengan sebuta “concurrentie beding” , vide pasal 1602x
K.U.H. Perdata). Perjanjian seperti itu menimbulkan perikatan yang berisi
kewajiban pada si buruh untuk tidak melakukan sesuatu, yang dalam hal ini
berupa “tidak bekerja pada perusahaan lain” yang menghasilkan produk sejenis
dengan yang dihasilkan oleh perusahaan dengan siapa ia menutup perjanjian itu.
C. Sifat Prestasi
a. Prestasi
Tertentu
Prestasi itu harus tertentu atau
paling tidak dapat ditentukan,karena kalau tidak, bagaimana kita bisa menilai
apakah debitur telah memenuhi kewajiban prestasinya dan apakah kreditur sudah
mendapat sepenuhnya apa yang memang menjadi haknya? Prestasi tersebut bisa
berupa kewajiban untuk menyerahkan sesuatu,melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu.
b. Tidak disyaratkan bahwa prestasi harus mungkin dipenuhi
Memang rasanya adalah logis bahwa
prestasi tersebut harus sesuatu yang mungkin untuk dipenuhi, kalau tidak
tentunya perikatan tersebut adalah
Batal. Namun apa ukuran "tidak
mungkin" dipenuhi? tidak mungkin untuk siapa? Atas dasar orang itu lalu
orang diwaktu dulu membedakan antara obyektif tidak mungkin dan subjektif tidak
mungkin. Dikatakan bahwa prestasinya obyektif tidak mungkin,kalau siapun
berkedudukan si si debitur dalam perikatan tersebut tidak mungkin untuk
memenuhi kewajiban itu. Umpamanya saja kewajiban untuk menyerahkan matahari.
Pada yang subyektif tidak mungkin,orang memperhitungkan akan diri/subyek
debitur. Debitur yang bersangkutan tidak mungkin untuk memenuhi
kewajibannya,umpama saja si lumpuh akan membawa mobil (menjadi sopir) kreditur
ke Semarang
c. Prestasi
yang halal
Sebagai nanti akan dibicarakan lebih
lanjut, perikatan lahir-adanya – dari perjanjian atau undang-undang. Karena
untuk sahnya perjanjian disyaratkan ,bahwa ia tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang,kesusilaan dan ketertiban umum (pasal 1337 jo pasal 23 A.B.),maka
perikatan pun tidak mungkin mempunyai isi prestasi yang dilarang oleh
undang-undang,sudah tentu tidak mungkin berisi suatu kewajiban yang terlarang.
D. Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari bahasa
Belanda, yang berarti prestasi buruk.[3]
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam
perikatan.[4]
Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan:
· Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian;
· Karena keadaan memaksa (force majeure) di luar kemampuan debitor,
sehingga debitor tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang
debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan
bagaimana debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Menurut
Pasal 1234 KUHPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang
menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya
dianggap wanprestasi apabila seseorang:
1)
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2)
Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3)
Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4)
Melakukan
sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.
E. Akibat Hukum Wanprestasi dan Penyelesaian sengketa di Pengadilan
Akibat hukum atau sanksi hukum bagi debitur yang telah melakukan
wanprestasi ialah sebagai berikut:
·
Debitur
diharuskan membayar ganti rugi yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUHPdt)
·
Apabila
perikatan itu timbal balik, kreditur dapat meminta pembatalan perjanjian
melalui pengadilan (pasal 1266 KUHPdt)
·
Kreditur
dapat minta pemenuhan perikatan, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi
dan pembatalan perjanjian dengan ganti rugi (pasal 1267 KUHPdt)
·
Debitur
wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan debitur
dinyatakan bersalah.[5]
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang
dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada
lima kemungkinan sebagai berikut:
o
Dapat
menuntut pemenuhan perjanjian, walaupun pelaksanaannya terlambat;
o
Dapat
menuntut penggantian kerugian, berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi
tersebut dapat berupa biaya, rugi atau bunga;
o
Dapat
menuntut pemenuhan prestasi disertai penggantian kerugian
o
Dapat
menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian; dan
o
Dapat
menuntut pembatalan dan penggantian kerugian, ganti rugi itu berupa pembayaran
uang denda.
2.3 Jenis-Jenis Perikatan
1.
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu
perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih
belum tentu akan atau terjadi. Mungkin untuk memperjanjikan bahwa perikatan itu
barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul itu. Suatu
perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu
syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde).[6]
Menurut Pasal 1253 KUHperdata tentang perikatan bersyarat “suatu perikatn
adalah bersyarat mankala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan yang masih belum terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga
terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan menurut terjadi
atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
Pasal ini menerangkan tentang
perikatan bersyarat yaitu perikatan yang lahir atau berakhirnya digantungkan
pada suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi tetapi belum tentu akan terjadi
atau belum tentu kapan terjadinya. Berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwa
perikatan bersyarat dapat dibedakan atas dua, yakni: a. Perikatan dengan syarat
tangguh; b. Perikatan dengan syarat berakhir.
a.
Perikatan
dengan syarat tangguh
Apabila syarat “peristiwa” yang
dimaksud itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHpdt). Sejak
peristiwa itu terjadi, keawjiban debitor untuk berprestasi segera dilaksanakan.
Misalnya, A setuju apabila B adiknya mendiami paviliun rumahnya setelah B
menikah. Nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti
terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan, jika B nikah A wajib
menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.
b.
Perikatan
dengan syarat batal
Perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang
dimaksud itu terjadi (pasal 1265 KUHpdt). Misalnya, K seteju apabila F kakaknya
mendiami rumah K selam dia tugas belajar di Inggris dengan syarat bahwa F harus
mengosongkan rumah tersebut apabila K selesai studi dan kembali ketanah air.
Dalam contoh, F wajib menyerahkan kembali rumah tersebut kepada K adiknya.[7]
2.
Perikatan
Dengan ketetapan Waktu (tidjsbepaling)
Maksud syarat “ketetapan waktu”
ialah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan.
Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan
terjadinya sudah pasti, atau berupa tanggal yang sudah tetap. Contonya:”K berjanji
pada anak laki-lakinya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila
bayi yang sedang dikandung isterinya itu telah dilahirkan”. Menurut KUHperdata
pasal 1268 tentang perikatan-perikatan ketetapan waktu, berbunyi “ suatu
ketetapan waktu tidak, menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan
pelaksanaanya”. Pasal ini menegaskan bahwa ketetapan waktu tudak menangguhkan
lahirnya perikatan, tetapi hanya menangguhkan pelaksanaanya.Ini berarti bahwa
perjajian dengan waktu ini pada dasarnya perikatan telah lahir, hanya saja
pelaksanaanya yang tertunda sampai waktu yang ditentukan.[8]
3.
Perikatan
mana suka (alternatif)
Pada perikatan mana suka objek
prestasinya ada dua macam benda. Dikatan perikatan mana suka keran dibitur
boleh memenuhi presatasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang
dijadikan objek perikatan. Namun, debitur tidak dapat memaksakan kreditur untuk
menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur
telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia
dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak milik prestasi itu ada pada debitor jika
hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor.[9]
4.
Perikatan
tanggung menanggung atau tanggung renteng (hoofdelijk atau solidair)
Ini adalah suatu perikatan diaman
beberapa orang bersama-sam sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu
orang yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak
menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan
ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek. Bebrapa orang yang bersama-sama
mengahadapi orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut
untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka
pemabayaran ini juga membaskan semua temen-temen yang berhutang. Itulah yang
dimaksud suatu periktan tanggung-menanggung. Jadi, jika dua A dan B secara
tangggung-menanggung berhutang Rp. 100.000, kepada C maka A dan B masing-masing
dapat dituntut membayar Rp. 100.000.
5.
Perikatan
yang dapat dibagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dapat dikatakan
dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan
dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan lagi pula pembagian itu tidak
boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Persoalan dapat dibagi atau
tidak dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat
lebih dari seorang debitor atau lebih dari sorang kreditor. Jika hanya seorang
kreditor perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi.
6.
Perikatan
dengan penetapan hukuman (strabeding)
Untuk mencegah jangan sampai si
berhutang dengan mudah saja melaikan kewajibannya dalam praktek banyak dipakai
perjanjian diamana siberhutang dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak
menepati janjinya. Hukuman itu, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang
tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula
sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Menurut
pasal 1304 tentang mengenai perikatan-perikatan dengan ancaman hukuman,
berbunyi “ anman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana
seorang untuk imbalan jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan
sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi”.[10]
2.4 Perbuatan Melawan Hukum
Istilah “perbuatan melawan hukum”
dalam istilah bahasa Belanda disebut dengan onrechtmatige daad. Sebenarnya,
istilah perbuatan melawan hukum ini bukanlah satu-satunya yang dapat diambil
sebagai terjemahan dari onrechtmatige daad, akan tetapi masih ada istilah
lainnya, seperti[11]
:
1)
Perbuatan
yang bertentangan dengan hukum.
2)
Perbuatan
yang bertentangan dengan asas-asas hukum.
3)
Perbuatan
yang melanggar hukum.
4)
Tindakan
melawan hukum.
5)
Penyelewengan
perdata.
Sebenarnya, semua istilah tersebut
pada hakikatnya adalah bersumber dari ketentuan Pasal 1365 KUHPer yang
mengatakan, bahwa tiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian
itu mengganti kerugian tersebut. Selanjutnya menurut Pasal 1366 KUHPer, setiap
orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Adapun menurut Pasal 1367 ayat (1) KUHPer, seseorang tidak saja bertanggung
jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasan.
2.5 Perwakilan Sukarela.
Perwakilan
sukarela termasuk dalam perikatan yang lahir karena undang-undang. Perwakilan
sukarela adalah suatu perbuatan, di mana seseorang secara sukarela menyediakan
dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain, dengan perhitungan dan
resiko ditanggung oleh orang tersebut. Dari pengertian tersebut, dapat
dikatakan bahwa perwakilan sukarela terjadi karena dua hal, yaitu :
·
seseorang
yang diwakili tidak berada di tempat.
·
oleh
karena sebab-sebab lain orang yang diwakili tidak dapat mengurus kepentingannya
sendiri.
Dalam
perwakilan sukarela perbuatan-perbuatan hukum dapat dilakukan atas nama orang
yang mewakili secara sukarela sendiri atau atas nama orang yang diwakili.
· Jika dilakukan atas nama orang yang diwakili dan kepentingannya
telah diurus dengan baik, maka terjadi hubungan antara orang yang diwakili
dengan pihak ketiga.
· Dalam hal orang yang mewakili secara sukarela bertindak atas nama
sendiri, maka terjadi hubungan hukum antar orang yang mewakili dengan pihak
ketiga.
A.
Hak
dan Kewajiban dari Seorang Wakil Sukarela dan Orang yang Diwakilinya.
Hak dan
kewajiban dari seorang wakil sukarela dan orang yang diwakilinya diatur dalam
beberapa ketentuan sebagai berikut :
1.
Pasal
1355 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Ia diwajibkan meneruskan
kepengurusannya, meskipun orang yang kepentingannya diurusnya meninggal dunia
sebelum urusan diselesaikan, hingga ahli waris-ahli waris orang itu dapat
mengoper pengurusan tersebut.
2.
Pasal
1356 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Ia diwajibkan dalam hal melakukan
pengurusan tersebut, memenuhi kewajiban-kewajiban seorang bapak rumah yang
baik. Meskipun demikian, hakim adalah berkuasa meringankan penggantian biaya,
kerugian dan bunga yang disebabkan kesalahan atau kelalaian orang yang mewakili
pengurusan.
3.
Pasal
1357 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
Pihak yang
kepentingan-kepentingannya diwakili oleh seorang lain dengan baik, diwajibkan
memenuhi perikatan-perikatan yang diperbuat oleh si wakil itu atas namanya,
memberikan ganti rugi kepada si wakil itu tentang segala perikatan yang secara
perseorangan dibuatnya, dan mengganti segala pengeluaran yang berfaedah atau
perlu.
Dari ketentuan
pasal-pasal tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak dan kewajiban
dari pihak yang mewakili dan yang diwakili dalam perwakilan sukarela adalah
sebagai berikut :
·
Seorang
wakil sukarela dalam melakukan pengurusan, harus bertindak sebagai bapak rumah
tangga yang baik.
·
Seorang
wakil sukarela dalam melakukan pengurusan, harus mengurus dengan patut dan
layak kepentingan orang yang diwakili.
·
Seorang
yang bertindak selaku wakil sukarela secara diam-diam mengikat dirinya untuk
meneruskan serta menyelesaikan pekerjaannya, hingga orang yang diwakili
kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusannya.
·
Seorang
wakil sukarela berkewajiban meneruskan pengurusannya, jika orang yang
diwakilinya meninggal dunia sebelum urusannya selesai, sampai ahli warisnya
dapat mengambil alih kewajibannya.
·
Seorang
wakil sukarela berkewajiban memberikan laporan dan perhitungan mengenai apa
yang ia terima.
·
Seorang
wakil sukarela bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh orang yang
diwakili, yang disebabkan karena pelaksanaan tugas yang kurang baik.
·
Seorang
wakil sukarela tidak berhak menuntut upah. Tetapi berhak mendapat penggantian
biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pekerjaannya selaku wakil
sukarela.
·
Seorang
wakil sukarela mempunyai hak retensi, yaitu hak menahan barang-barang kepunyaan
orang yang diwakilinya sampai pengeluaran-pengeluarannya dibayar kembali.[12]
2.6 Pembayaran Tanpa Hutang
Pembayaran
Yang Tidak Terutang (Onverschuldigde Betaling). Berkaitan dengan terjadinya
perikatan tersebut, pembayaran yang tidak terutang termasuk dalam perikatan
yang lahir karena undang-undang. Yang dimaksud dengan pembayaran di sini harus
selalu berkaitan dengan utang. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan
pembayaran yang tidak terutang akan selalu berkaitan dengan ketentuan
pasal-pasal sebagai berikut :
1.
Pasal
1359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan bahwa : Tiap-tiap
pembayaran memperkirakan adanya suatu utang, apa yang telah dibayarkan dengan
tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan-perikatan bebas,
yang secara sukarela telah terpenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali.
2.
Pasal
1360 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Barang siapa secara khilaf atau
dengan mengetahuinya, telah menerima sesuatu yang tak harus dibayarkan
kepadanya, diwajibkan mengembalikan barang yang tak harus dibayarkan itu kepada
orang dari siapa ia telah menerimanya.
Dari ketentuan
pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pembayaran yang
tidak terutang adalah seseorang yang membayar tanpa adanya utang. Konsekuensi
dari tindakan tersebut adalah seorang yang melakukan pembayaran tanpa adanya
utang, berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan. Dan yang menerima
tanpa hak mempunyai kewajiban untuk mengembalikan.
3.
Pasal
1361 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Jika seorang yang secara khilaf
mengira bahwa ia berutang, membayar suatu utang, maka ia adalah berhak menuntut
kembali dari si berpiutang apa yang telah dibayarkannya.
Meskipun
demikian, hak ini hilang jika si berpiutang sebagai akibat pembayaran tersebut
telah memusnahkan surat pengakuan berutangnya, dengan tidak mengurangi hak
orang yang telah membayar itu untuk menuntutnya kembali dari orang yang
sungguh-sungguh berutang.
4.
Pasal
1362 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Siapa yang, dengan itikad buruk,
telah menerima sesuatu yang tidak harus dibayarkan kepadanya, diwajibkan
mengembalikannya dengan bunga dan hasil-hasil, terhitung dari hari pembayaran,
dan yang demikian itu tidak mengurangi penggantian biaya, rugi dan bunga, jika
barangnya telah menderita kemerosotan.
Jika barangnya
telah musnah, meskipun ini terjadi di luar salahnya, maka ia diwajibkan
membayar harganya, dengan disertai penggantian biaya, rugi dan bunga,
terkecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barang itu akan musnah juga,
seandainya ia berada pada orang kepada siapa ia seharusnya diberikan. Jadi,
maksud dari istilah pembayaran dalam ketentuan-ketentuan tersebut harus
diartikan sebagai setiap pemenuhan prestasi. Harus diartikan secara luas, tidak
hanya pembayaran uang saja, akan tetapi juga penyerahan barang, memberikan kenikmatan
dan mengerjakan sesuatu pekerjaan. Dalam hal sesuatu yang tidak mungkin
dikembalikan, maka akan diperhitungkan nilai harganya.
Dengan
demikian, hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembayaran yang tidak terutang
adalah :
· Kekhilafan atau kekeliruan bukanlah merupakan syarat untuk menuntut
pengembalian pembayaran yang tidak terutang. Oleh karena itu seseorang yang
dengan sadar membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut pengembaliannya.
Misalnya, seseorang yang telah membayar utang, ditagih kembali untuk kedua
kalinya, dan untuk menghindari pertikaian ia membayar lagi sekalipun ia sudah
tidak mempunyai utang.
· Jika seseorang karena kekhilafannya mengira bahwa ia berutang dan
telah membayar utang tersebut, maka ia dapat menuntut kembali apa yang ia telah
bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika surat pengakuan utang
telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran. Sekalipun demikian orang yang
telah membayar berhak untuk menuntut pengembaliannya dari orang yang sebenarnya
berutang.
· Barang siapa dengan itikad buruk menerima sesuatu pembayaran tanpa hak, harus mengembalikan hasil dan
bunganya.
· Orang yang menerima pembayaran yang tidak terutang juga harus pula
membayar ganti rugi jika nilai barangnya menjadi berkurang. Jika barangnya
musnah di luar kesalahannya, ia harus mengganti harga barangnya beserta biaya,
kerugian dan bunga, kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya tetap
akan musnah sekalipun berada pada orang yang berhak.
· Barang siapa dengan itikad baik menerima pembayaran yang tidak
terutang dan telah menjual barang tersebut, maka ia hanya wajib membayar
kembali harganya.
· Jika ia dengan itikad baik menghadiahkan barangnya kepada orang
lain, maka ia tidak wajib mengembalikan sesuatu apapun.
2.7 Terhapusnya Perikatan
Menurut
ketentuan pasal 1381 KUH Perdata suatu perikatan baik yang lahir dari
perjanjian maupun undang-undang dapat berakhir karena beberapa hal diantaranya
adalah:[13]
a.
Pembayaran,
yaitu jika kewajiban terhadap perikatan itu telah dipenuhi (pasal 1382 KUH Perdata).
b.
Penawaran
bayar tunai diikuti penyimpanan atau penitipan.
c.
Pembaharuan
utang, yaitu apabila utang yang lama digantikan oleh utang yang baru.
d.
Kompensasi
atau imbalan, yaitu apabila kedua belah pihak saling berhutang, maka utang
mereka masing-masing diperhitungkan.
e.
Percampuran
utang yaitu apabila pada suatu perikatan kedudukan kreditur dan debitur ada di
satu tangan seperti warisan.
f.
Pembebasan
utang, yaitu apabila kreditur membebaskan segala utang-tang dan kewajiban hak
debitur.
g.
Batal
dan pembatalan, yaitu apabila perikatan itu batal atau dibatalkan.
h.
Hilangnya
benda yang diperjanjikan, yaitu apabila benda yang diperjanjikan binasa, hilang, atau menjadi tidak dapat
diperdagangkan.
i.
Timbul
syarat yang membatalkan, yaitu ketentuan si perjanjian yang disetujui kedua
belah pihak.
j.
Kedaluarsa
atau lewat waktu.
Sementara itu, hapusnya suatu perjanjian berbeda dengan perikatan,
karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan
sumbernya masih tetap ada.[14]
Misalnya, pada persetujuan jual beli, dengan dibayarkanya harga maka perikatan
mengenai pembayaran menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena
perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Suatu perjanjian akan
berakhir atau hapus apabila:[15]
a.
Telah
lampau waktunya (kadaluarsa).
b.
Telah
mencapai tujuannya.
c.
Dinyatakan
berhenti. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa terjadinya
peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus.
d.
Dicabut
kembali.
e.
Diputuskan
oleh hakim.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perikatan adalah
suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, yang mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi
tuntutan itu. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perikatan
baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang dapat berakhir karena
beberapa hal diantaranya adalah karena pembayaran, kompensasi, pembayaran utang
dll. Sementara itu, hapusnya suatu perjanjian berbeda dengan perikatan, karena
suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya
masih tetap ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Menurut
Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. .Konsep Hukum Perdata
Menurut
J.Satrio S.H. Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya
Subekti,
Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991
Djaja
s.Meliala, Perkemabangan hukum perdata tentang benda dan hukum perikatan,(bandung:
CV nuansa aulia, 2008)
Prof.
Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet 31, 2001,
Amadi
Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456
BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011,
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2015),
https://legalstudies71.blogspot.com/2015/09/perwakilan-sukarela-zaakwaarneming.html
Diakses pada tanggal 29 Oktober 2021
Elsi
Kartika Sari, et. All, Hukum Dalam Ekonomi
Titik
Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional
[1] Menurut Dr.
Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. .Konsep Hukum Perdata,hal 207
[2] Menurut
J.Satrio S.H. Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya,hal 50
[3] Subekti, Hukum
Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, hlm. 45
[4] Ibid, hlm.241
[5] Djaja
s.Meliala, Perkemabangan hukum perdata tentang benda dan hukum
perikatan,(bandung: CV nuansa aulia, 2008) hal. 99
[6] Prof. Subekti,
POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet 31, 2001, hlm 128
[7] Op.cit.
Abdulkadir Muhammad, hal. 249.
[8] Amadi Miru dan
Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW,
Jakarta: Rajawali Pers,2011, hlm 31.
[9] Op.cit.
Abdulkadir Muhammad, hal. 250-251.
[10] Op.cit. Amadi
Miru dan Sakka Pati, hal. 55.
[11] P.N.H.
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hal 200
[12] https://legalstudies71.blogspot.com/2015/09/perwakilan-sukarela-zaakwaarneming.html Diakses pada
tanggal 29 Oktober 2021
[13] Elsi Kartika
Sari, et. All, Hukum Dalam Ekonomi, 36-37
[14] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem
Hukum Nasional, 237.
[15] Ibid, 237-238.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar