Senin, 01 November 2021

MAKALAH TENTANG PERIKATAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Perikatan pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-udanglah yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar hukum. Perikatan berasal dari bahasa Belanda “Verbintenis” atau dalam bahasa Inggris “Binding”. Verbintenis berasal dari perkataan bahasa Perancis “Obligation” yang terdapat dalam “code civil Perancis”, yang selanjutnya merupakan terjemahan dari kata “obligation” yang terdapat dalam Hukum Romawi ”Corpusiuris Civilis”. Subekti memberikan definisi dari Perikatan sebagai suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Menurut Hofmann, Perikatan atau ”Verbintenis” adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu, sedangkan menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi. Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Ketentuan Umum dalam Perikatan

Pengertian Perikatan

Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda Verbintenis  Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun. Pristiwa hukum itu menciptakan hubungan hukum. Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain,dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yangberhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi. Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum. Hubungan hukum itu timbul karena adanya pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan. Objek hubungan itu adalah harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan itu disebut debitur. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum mengenai harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur.

2.2  Prestasi dan Wanprestasi

       A. Prestasi

Yang dimaksud dengan prestasi (performance) dari suatu perjanjian adalah pelaksanaan terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan atau yang telah ditulis dalam suatu perjanjian oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu. Jadi, memenuhi prestasi dalam perjanjian adalah ketika para pihak memenuhi janjinya.[1] Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1234 KUH Perdata, maka prestasi dari suatu perjanjian terdiri dari :

1.         Memberikan sesuatu

2.         Berbuat sesuatu

3.         Tidak berbuat sesuatu[2]

Dengan demikian kita dapat katakan, bahwa semua perikatan sebagai yang dikenal oleh K.U.H. Perdata dapat kita golongkan ke dalam salah satu dari ketiga kelompok perikatan tersebut diatas.

B. Bentuk-bentuk atau wujud Prestasi

1. Perikatan untuk memberikan sesuatu

Yang menjadi ukuran disini adalah objek perikatannya, wujud prestasinya, yaitu berupa suatu kewajiban bagi debitur untuk memberikan sesuatu kepada kreditur. Arti “memberikan sesuatu” kiranya akan menjadi jelas, kalau kita meninjaunya dengan hubungan obligator selalu perlu diikuti dengan levering /penyerahan, yang berupa memberikan sesuatu, baik berupa benda bertubuh maupun tidak bertubuh. Hubungan obligatoir dapat muncul baik atas dasar perjanjain maupun undang-undang. Sebagai contoh dari perikatan untuk memberikan sesuatu dapat kita kemukakan kewajiban penjual untuk menyerahkan benda objek jual beli. Asal diingat, bahwa kewajiban untuk memberikan sesuatu tidak harus berupa penyerahan untuk dimiliki oleh yang menerima, tetapi termasuk juga didalamnya kewajiban orang yang menyewakan untuk menyerahkan objek sewa kepada si penyewa.

2. Perikatan untuk melakukan sesuatu

Pembuat undang-undang lalai untuk memberikan kepada kita suatu patokan untuk membedakan antara perikatan untuk memberikan dan untuk melakukan sesuatu, karena “memberikan sesuatu” sebenarnya juga “melakukan sesuatu”. Itulah sebabnya ada yang mengusulkan pembagian antara perikatan untuk “memberikan sesuatu” dan perikatan untuk “melakukan atau tidak melakukan tindakan yang lain”;yang lain daripada memberikan sesuatu.

Orang yang menutup perjanjian pemborongan atau untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, memikul kewajiban perikatan untuk melakukan sesuatu,demikian pula kewajiban debitur dalam suatu perjanjian pengangkutan.

1.    Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu

Di sini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif, tetapi justru sebaliknya, bersifat pasif, yang dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung. Seorang majikan ada kalanya dalam perjanjian dengan buruhnya, sengaja mencantumkan klausula, agar sesudah berakhirnya hubungan kerja si buruh dalam jangka waktu tertentu-tidak bekerja pada perusahaannya yang menghasilkan / memproduksi produk-produk yang sama (yang demikian terkenal dengan sebuta “concurrentie beding” , vide pasal 1602x K.U.H. Perdata). Perjanjian seperti itu menimbulkan perikatan yang berisi kewajiban pada si buruh untuk tidak melakukan sesuatu, yang dalam hal ini berupa “tidak bekerja pada perusahaan lain” yang menghasilkan produk sejenis dengan yang dihasilkan oleh perusahaan dengan siapa ia menutup perjanjian itu.

C. Sifat Prestasi

a. Prestasi Tertentu

Prestasi itu harus tertentu atau paling tidak dapat ditentukan,karena kalau tidak, bagaimana kita bisa menilai apakah debitur telah memenuhi kewajiban prestasinya dan apakah kreditur sudah mendapat sepenuhnya apa yang memang menjadi haknya? Prestasi tersebut bisa berupa kewajiban untuk menyerahkan sesuatu,melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

 

b. Tidak disyaratkan bahwa prestasi harus mungkin dipenuhi

Memang rasanya adalah logis bahwa prestasi tersebut harus sesuatu yang mungkin untuk dipenuhi, kalau tidak tentunya perikatan tersebut  adalah Batal. Namun apa ukuran  "tidak mungkin" dipenuhi? tidak mungkin untuk siapa? Atas dasar orang itu lalu orang diwaktu dulu membedakan antara obyektif tidak mungkin dan subjektif tidak mungkin. Dikatakan bahwa prestasinya obyektif tidak mungkin,kalau siapun berkedudukan si si debitur dalam perikatan tersebut tidak mungkin untuk memenuhi kewajiban itu. Umpamanya saja kewajiban untuk menyerahkan matahari. Pada yang subyektif tidak mungkin,orang memperhitungkan akan diri/subyek debitur. Debitur yang bersangkutan tidak mungkin untuk memenuhi kewajibannya,umpama saja si lumpuh akan membawa mobil (menjadi sopir) kreditur ke Semarang

c. Prestasi yang halal

Sebagai nanti akan dibicarakan lebih lanjut, perikatan lahir-adanya – dari perjanjian atau undang-undang. Karena untuk sahnya perjanjian disyaratkan ,bahwa ia tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,kesusilaan dan ketertiban umum (pasal 1337 jo pasal 23 A.B.),maka perikatan pun tidak mungkin mempunyai isi prestasi yang dilarang oleh undang-undang,sudah tentu tidak mungkin berisi suatu kewajiban yang terlarang.

D. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk.[3] Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan.[4] Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan:

·       Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian;

·       Karena keadaan memaksa (force majeure) di luar kemampuan debitor, sehingga debitor tidak bersalah.

Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi apabila seseorang:

1)        Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

2)        Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3)        Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;                  

4)        Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.

E. Akibat Hukum Wanprestasi dan Penyelesaian sengketa di Pengadilan

Akibat hukum atau sanksi hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi ialah sebagai berikut:

·            Debitur diharuskan membayar ganti rugi yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUHPdt)

·            Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat meminta pembatalan perjanjian melalui pengadilan (pasal 1266 KUHPdt)

·            Kreditur dapat minta pemenuhan perikatan, atau pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan pembatalan perjanjian dengan ganti rugi (pasal 1267 KUHPdt)

·            Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan debitur dinyatakan bersalah.[5]

Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut:

o    Dapat menuntut pemenuhan perjanjian, walaupun pelaksanaannya terlambat;

o    Dapat menuntut penggantian kerugian, berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi tersebut dapat berupa biaya, rugi atau bunga;

o    Dapat menuntut pemenuhan prestasi disertai penggantian kerugian

o    Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian; dan

o    Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian, ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.

2.3  Jenis-Jenis Perikatan

1. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)

Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau terjadi. Mungkin untuk memperjanjikan bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul itu. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde).[6] Menurut Pasal 1253 KUHperdata tentang perikatan bersyarat “suatu perikatn adalah bersyarat mankala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.

Pasal ini menerangkan tentang perikatan bersyarat yaitu perikatan yang lahir atau berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi tetapi belum tentu akan terjadi atau belum tentu kapan terjadinya. Berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwa perikatan bersyarat dapat dibedakan atas dua, yakni: a. Perikatan dengan syarat tangguh; b. Perikatan dengan syarat berakhir.

a.    Perikatan dengan syarat tangguh

Apabila syarat “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHpdt). Sejak peristiwa itu terjadi, keawjiban debitor untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya, A setuju apabila B adiknya mendiami paviliun rumahnya setelah B menikah. Nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan, jika B nikah A wajib menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.

b.    Perikatan dengan syarat batal

Perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi (pasal 1265 KUHpdt). Misalnya, K seteju apabila F kakaknya mendiami rumah K selam dia tugas belajar di Inggris dengan syarat bahwa F harus mengosongkan rumah tersebut apabila K selesai studi dan kembali ketanah air. Dalam contoh, F wajib menyerahkan kembali rumah tersebut kepada K adiknya.[7]

2.      Perikatan Dengan ketetapan Waktu (tidjsbepaling)

Maksud syarat “ketetapan waktu” ialah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya sudah pasti, atau berupa tanggal yang sudah tetap. Contonya:”K berjanji pada anak laki-lakinya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandung isterinya itu telah dilahirkan”. Menurut KUHperdata pasal 1268 tentang perikatan-perikatan ketetapan waktu, berbunyi “ suatu ketetapan waktu tidak, menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaanya”. Pasal ini menegaskan bahwa ketetapan waktu tudak menangguhkan lahirnya perikatan, tetapi hanya menangguhkan pelaksanaanya.Ini berarti bahwa perjajian dengan waktu ini pada dasarnya perikatan telah lahir, hanya saja pelaksanaanya yang tertunda sampai waktu yang ditentukan.[8]

 

 

3.      Perikatan mana suka (alternatif)

Pada perikatan mana suka objek prestasinya ada dua macam benda. Dikatan perikatan mana suka keran dibitur boleh memenuhi presatasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitur tidak dapat memaksakan kreditur untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak milik prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor.[9]

4.      Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng (hoofdelijk atau solidair)

Ini adalah suatu perikatan diaman beberapa orang bersama-sam sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek. Bebrapa orang yang bersama-sama mengahadapi orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka pemabayaran ini juga membaskan semua temen-temen yang berhutang. Itulah yang dimaksud suatu periktan tanggung-menanggung. Jadi, jika dua A dan B secara tangggung-menanggung berhutang Rp. 100.000, kepada C maka A dan B masing-masing dapat dituntut membayar Rp. 100.000.

5.      Perikatan yang dapat dibagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi

Suatu perikatan dapat dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Persoalan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat lebih dari seorang debitor atau lebih dari sorang kreditor. Jika hanya seorang kreditor perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi.

6.      Perikatan dengan penetapan hukuman (strabeding)

Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melaikan kewajibannya dalam praktek banyak dipakai perjanjian diamana siberhutang dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak menepati janjinya. Hukuman itu, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Menurut pasal 1304 tentang mengenai perikatan-perikatan dengan ancaman hukuman, berbunyi “ anman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk imbalan jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi”.[10]

2.4  Perbuatan Melawan Hukum

Istilah “perbuatan melawan hukum” dalam istilah bahasa Belanda disebut dengan onrechtmatige daad. Sebenarnya, istilah perbuatan melawan hukum ini bukanlah satu-satunya yang dapat diambil sebagai terjemahan dari onrechtmatige daad, akan tetapi masih ada istilah lainnya, seperti[11] :

1)        Perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

2)        Perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum.

3)        Perbuatan yang melanggar hukum.

4)        Tindakan melawan hukum.

5)        Penyelewengan perdata.

Sebenarnya, semua istilah tersebut pada hakikatnya adalah bersumber dari ketentuan Pasal 1365 KUHPer yang mengatakan, bahwa tiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Selanjutnya menurut Pasal 1366 KUHPer, setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Adapun menurut Pasal 1367 ayat (1) KUHPer, seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasan.

2.5  Perwakilan Sukarela.

Perwakilan sukarela termasuk dalam perikatan yang lahir karena undang-undang. Perwakilan sukarela adalah suatu perbuatan, di mana seseorang secara sukarela menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain, dengan perhitungan dan resiko ditanggung oleh orang tersebut. Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa perwakilan sukarela terjadi karena dua hal, yaitu :

·           seseorang yang diwakili tidak berada di tempat.

·           oleh karena sebab-sebab lain orang yang diwakili tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri.

Dalam perwakilan sukarela perbuatan-perbuatan hukum dapat dilakukan atas nama orang yang mewakili secara sukarela sendiri atau atas nama orang yang diwakili.

·       Jika dilakukan atas nama orang yang diwakili dan kepentingannya telah diurus dengan baik, maka terjadi hubungan antara orang yang diwakili dengan pihak ketiga.

·       Dalam hal orang yang mewakili secara sukarela bertindak atas nama sendiri, maka terjadi hubungan hukum antar orang yang mewakili dengan pihak ketiga.

A.    Hak dan Kewajiban dari Seorang Wakil Sukarela dan Orang yang Diwakilinya.

Hak dan kewajiban dari seorang wakil sukarela dan orang yang diwakilinya diatur dalam beberapa ketentuan sebagai berikut :

1.    Pasal 1355 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Ia diwajibkan meneruskan kepengurusannya, meskipun orang yang kepentingannya diurusnya meninggal dunia sebelum urusan diselesaikan, hingga ahli waris-ahli waris orang itu dapat mengoper pengurusan tersebut.

2.    Pasal 1356 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Ia diwajibkan dalam hal melakukan pengurusan tersebut, memenuhi kewajiban-kewajiban seorang bapak rumah yang baik. Meskipun demikian, hakim adalah berkuasa meringankan penggantian biaya, kerugian dan bunga yang disebabkan kesalahan atau kelalaian orang yang mewakili pengurusan.

3.    Pasal 1357 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :

Pihak yang kepentingan-kepentingannya diwakili oleh seorang lain dengan baik, diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan yang diperbuat oleh si wakil itu atas namanya, memberikan ganti rugi kepada si wakil itu tentang segala perikatan yang secara perseorangan dibuatnya, dan mengganti segala pengeluaran yang berfaedah atau perlu.

Dari ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak dan kewajiban dari pihak yang mewakili dan yang diwakili dalam perwakilan sukarela adalah sebagai berikut :

·         Seorang wakil sukarela dalam melakukan pengurusan, harus bertindak sebagai bapak rumah tangga yang baik.

·         Seorang wakil sukarela dalam melakukan pengurusan, harus mengurus dengan patut dan layak kepentingan orang yang diwakili.

·         Seorang yang bertindak selaku wakil sukarela secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan pekerjaannya, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusannya.

·         Seorang wakil sukarela berkewajiban meneruskan pengurusannya, jika orang yang diwakilinya meninggal dunia sebelum urusannya selesai, sampai ahli warisnya dapat mengambil alih kewajibannya.

·         Seorang wakil sukarela berkewajiban memberikan laporan dan perhitungan mengenai apa yang ia terima.

·         Seorang wakil sukarela bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh orang yang diwakili, yang disebabkan karena pelaksanaan tugas yang kurang baik.

·         Seorang wakil sukarela tidak berhak menuntut upah. Tetapi berhak mendapat penggantian biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pekerjaannya selaku wakil sukarela.

·         Seorang wakil sukarela mempunyai hak retensi, yaitu hak menahan barang-barang kepunyaan orang yang diwakilinya sampai pengeluaran-pengeluarannya dibayar kembali.[12]

2.6  Pembayaran Tanpa Hutang

Pembayaran Yang Tidak Terutang (Onverschuldigde Betaling). Berkaitan dengan terjadinya perikatan tersebut, pembayaran yang tidak terutang termasuk dalam perikatan yang lahir karena undang-undang. Yang dimaksud dengan pembayaran di sini harus selalu berkaitan dengan utang. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan pembayaran yang tidak terutang akan selalu berkaitan dengan ketentuan pasal-pasal sebagai berikut :

1.    Pasal 1359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan bahwa : Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang, apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan-perikatan bebas, yang secara sukarela telah terpenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali.

2.    Pasal 1360 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Barang siapa secara khilaf atau dengan mengetahuinya, telah menerima sesuatu yang tak harus dibayarkan kepadanya, diwajibkan mengembalikan barang yang tak harus dibayarkan itu kepada orang dari siapa ia telah menerimanya.

Dari ketentuan pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pembayaran yang tidak terutang adalah seseorang yang membayar tanpa adanya utang. Konsekuensi dari tindakan tersebut adalah seorang yang melakukan pembayaran tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali apa yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak mempunyai kewajiban untuk mengembalikan.

3.    Pasal 1361 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Jika seorang yang secara khilaf mengira bahwa ia berutang, membayar suatu utang, maka ia adalah berhak menuntut kembali dari si berpiutang apa yang telah dibayarkannya.

Meskipun demikian, hak ini hilang jika si berpiutang sebagai akibat pembayaran tersebut telah memusnahkan surat pengakuan berutangnya, dengan tidak mengurangi hak orang yang telah membayar itu untuk menuntutnya kembali dari orang yang sungguh-sungguh berutang.

4.    Pasal 1362 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Siapa yang, dengan itikad buruk, telah menerima sesuatu yang tidak harus dibayarkan kepadanya, diwajibkan mengembalikannya dengan bunga dan hasil-hasil, terhitung dari hari pembayaran, dan yang demikian itu tidak mengurangi penggantian biaya, rugi dan bunga, jika barangnya telah menderita kemerosotan.

Jika barangnya telah musnah, meskipun ini terjadi di luar salahnya, maka ia diwajibkan membayar harganya, dengan disertai penggantian biaya, rugi dan bunga, terkecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barang itu akan musnah juga, seandainya ia berada pada orang kepada siapa ia seharusnya diberikan. Jadi, maksud dari istilah pembayaran dalam ketentuan-ketentuan tersebut harus diartikan sebagai setiap pemenuhan prestasi. Harus diartikan secara luas, tidak hanya pembayaran uang saja, akan tetapi juga penyerahan barang, memberikan kenikmatan dan mengerjakan sesuatu pekerjaan. Dalam hal sesuatu yang tidak mungkin dikembalikan, maka akan diperhitungkan nilai harganya.

Dengan demikian, hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembayaran yang tidak terutang adalah :

·       Kekhilafan atau kekeliruan bukanlah merupakan syarat untuk menuntut pengembalian pembayaran yang tidak terutang. Oleh karena itu seseorang yang dengan sadar membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut pengembaliannya. Misalnya, seseorang yang telah membayar utang, ditagih kembali untuk kedua kalinya, dan untuk menghindari pertikaian ia membayar lagi sekalipun ia sudah tidak mempunyai utang.

·       Jika seseorang karena kekhilafannya mengira bahwa ia berutang dan telah membayar utang tersebut, maka ia dapat menuntut kembali apa yang ia telah bayarkan. Hak untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika surat pengakuan utang telah dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran. Sekalipun demikian orang yang telah membayar berhak untuk menuntut pengembaliannya dari orang yang sebenarnya berutang.

·       Barang siapa dengan itikad buruk menerima sesuatu pembayaran  tanpa hak, harus mengembalikan hasil dan bunganya.

·       Orang yang menerima pembayaran yang tidak terutang juga harus pula membayar ganti rugi jika nilai barangnya menjadi berkurang. Jika barangnya musnah di luar kesalahannya, ia harus mengganti harga barangnya beserta biaya, kerugian dan bunga, kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barangnya tetap akan musnah sekalipun berada pada orang yang berhak.

·       Barang siapa dengan itikad baik menerima pembayaran yang tidak terutang dan telah menjual barang tersebut, maka ia hanya wajib membayar kembali harganya.

·       Jika ia dengan itikad baik menghadiahkan barangnya kepada orang lain, maka ia tidak wajib mengembalikan sesuatu apapun. 

 

 

 

 

 

 

2.7  Terhapusnya Perikatan

Menurut ketentuan pasal 1381 KUH Perdata suatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang dapat berakhir karena beberapa hal diantaranya adalah:[13]

a.    Pembayaran, yaitu jika kewajiban terhadap perikatan itu telah dipenuhi (pasal 1382 KUH Perdata).

b.    Penawaran bayar tunai diikuti penyimpanan atau penitipan.

c.    Pembaharuan utang, yaitu apabila utang yang lama digantikan oleh utang yang baru.

d.   Kompensasi atau imbalan, yaitu apabila kedua belah pihak saling berhutang, maka utang mereka masing-masing diperhitungkan.

e.    Percampuran utang yaitu apabila pada suatu perikatan kedudukan kreditur dan debitur ada di satu tangan seperti warisan.

f.     Pembebasan utang, yaitu apabila kreditur membebaskan segala utang-tang dan kewajiban hak debitur.

g.    Batal dan pembatalan, yaitu apabila perikatan itu batal atau dibatalkan.

h.    Hilangnya benda yang diperjanjikan, yaitu apabila benda yang diperjanjikan binasa,  hilang, atau menjadi tidak dapat diperdagangkan.

i.      Timbul syarat yang membatalkan, yaitu ketentuan si perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.

j.      Kedaluarsa atau lewat waktu.

Sementara itu, hapusnya suatu perjanjian berbeda dengan perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.[14] Misalnya, pada persetujuan jual beli, dengan dibayarkanya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Suatu perjanjian akan berakhir atau hapus apabila:[15]

a.         Telah lampau waktunya (kadaluarsa).

b.        Telah mencapai tujuannya.

c.         Dinyatakan berhenti. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus.

d.        Dicabut kembali.

e.         Diputuskan oleh hakim.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1    Kesimpulan

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang dapat berakhir karena beberapa hal diantaranya adalah karena pembayaran, kompensasi, pembayaran utang dll. Sementara itu, hapusnya suatu perjanjian berbeda dengan perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Menurut Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. .Konsep Hukum Perdata

Menurut J.Satrio S.H. Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991

Djaja s.Meliala, Perkemabangan hukum perdata tentang benda dan hukum perikatan,(bandung: CV nuansa aulia, 2008)

Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001,

Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011,

  P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015),

  https://legalstudies71.blogspot.com/2015/09/perwakilan-sukarela-zaakwaarneming.html Diakses pada tanggal 29 Oktober 2021

Elsi Kartika Sari, et. All, Hukum Dalam Ekonomi

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional

 



[1] Menurut Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. .Konsep Hukum Perdata,hal 207

[2] Menurut J.Satrio S.H. Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya,hal 50

[3] Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, hlm. 45

[4] Ibid, hlm.241

[5] Djaja s.Meliala, Perkemabangan hukum perdata tentang benda dan hukum perikatan,(bandung: CV nuansa aulia, 2008) hal. 99

[6] Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001, hlm 128

[7] Op.cit. Abdulkadir Muhammad, hal. 249.

[8] Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011, hlm 31.

[9] Op.cit. Abdulkadir Muhammad, hal. 250-251.

[10] Op.cit. Amadi Miru dan Sakka Pati, hal. 55.

[11] P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hal 200

[13] Elsi Kartika Sari, et. All, Hukum Dalam Ekonomi, 36-37

[14] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional,  237.

[15] Ibid, 237-238.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar