BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Begitu banyaknya kasus pelanggaran hak cipta yang terjadi di
Indonesia, tentunya merupakan suatu hal yang meresahkan para pencipta suatu
karya. Suatu bentuk kreativitas seseorang yang harusnya dihargai, justru
dijadikan sebagai kesempatan untuk mencari keuntungan bagi berbagai pihak yang
tidak bertanggung jawab.
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman
etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan
pengembangan pengembangannya yang memerlukan perlindungan hak cipta terhadap
kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut. perkembangan di
bidang perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga
memerlukan peningkatan perlindungan bagi pencipta dan pemilik hak terkait
dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
Melihat pemberitaan yang disampaikan oleh Vivanews pada
tanggal 1 Mei 2012 menyatakan bahwa Amerika Serikat kembali menggolongkan
Indonesia dalam daftar negara yang sangat bermasalah dalam pelanggaran hak
cipta atau kekayaan intelektual. Amerika Serikat berkepentingan dalam
penyusunan daftar ini mengingat sebagian besar ekspor mereka terkait dengan hak
cipta.
Amerika Serikat tahun ini, menggolongkan Indonesia dalam
daftar "priority watch list" untuk pelanggaran hak cipta. Daftar
negara yang paling bermasalah dengan pelanggaran hak cipta ini tidak berakibat
munculnya sanksi. Namun, sekadar untuk membuat efek malu bagi pemerintah negara
yang bersangkutan untuk lebih giat lagi memberantas pembajakan dan pemalsuan
merek dagang serta memperbaiki penegakan hukum masing-masing di bidang
perlindungan kekayaan intelektual.
Indonesia yang sebenarnya memiliki banyak kreativitas daya
cipta, memang tidak terlepas dari adanya realita bahwa memang ada sebagian
masyarakat yang memiliki mental plagiatisme.
Semakin hari, kasus pelanggaran hak cipta di Indonesia,
semakin meningkat. Kasus ini harusnya dijadikan kasus utama yang harus segera
diatasi, bukan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Sebagian besar
masyarakat mungkin tidak memandang hal ini sebagai suatu masalah besar,
sehingga masalah ini tidak segera diatasi dan memberikan sanksi jera bagi si
pelanggar hak cipta.
Atas pemikiran tersebut dan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Aspek Hukum dalam Ekonomi, maka penulis menyusun makalah “Hak Cipta” ini,
dengan memberikan penjelasan mengenai berbagai hal yang menyangkut hak cipta,
yang disertai dengan contoh kasus pelanggaran hak cipta yang akan kami bahas.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah :
1.2.1. Apakah yang dimaksud dengan hak cipta?
1.2.2. Apa saja istilah-istilah dalam hak cipta?
1.2.3. Bagaimana pengaturan tentang hak cipta?
1.2.4. Undang-undang manakah yang menjadi
Undang-Undang Hak Cipta?
1.2.5. Bagaimana prosedur pendaftaran hak cipta?
1.2.6. Berapa lama jangka waktu perlindungan hak
cipta?
1.2.7. Bagaimana pengelompokan jenis ciptaan?
1.2.8. Apakah yang dimaksud dengan pelanggaran hak
cipta?
1.3. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka
tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
1.3.1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Aspek
Hukum Dalam Ekonomi.
1.3.2. Untuk mengetahui pengertian hak cipta.
1.3.3. Untuk mengetahui istilah-istilah dalam hak
cipta.
1.3.4. Untuk mengetahui tentang pengaturan tentang
hak cipta.
1.3.5. Untuk mengetahui Undang-Undang Hak Cipta.
1.3.6. Untuk mengetahui prosedur pendaftaran hak
cipta.
1.3.7. Untuk mengetahui jangka waktu perlindungan
hak cipta.
1.3.8. Untuk mengetahui pengelompokan jenis
ciptaan.
1.3.9. Untuk mengetahui pelanggaran hak cipta.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
PENGERTIAN HAK CIPTA
Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, pengertian hak
cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa hak cipta itu hanya dapat dimiliki oleh si
pencipta atau si penerima hak. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang hak
khususnya yang boleh menggunakan hak cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan
haknya terhadap subjek lain yang menggangu atau yang menggunakannya tidak
dengan cara yang diperkenankan oleh aturan hukum.
Hak cipta merupakan hak ekslusif, yang memberi arti bahwa
selain pencipta maka orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin
penciptanya. Hak itu muncul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan.
Hak cipta tidak dapat dilakukan dengan cara penyerahan nyata karena ia
mempunyai sifat manunggal dengan penciptanya dan bersifat tidak berwujud
videnya penjelasan pasal 4 ayat 1 dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002. Sifat
manunggal itu pula yang menyebabkan hak cipta tidak dapat digadaikan, karena
jika digadaikan itu berarti si pencipta harus pula ikut beralih ke tangan
kreditur.
Menurut Wikipedia, hak cipta (lambang internasional: ©,
Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada
dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak
cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan
tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa
berlaku tertentu yang terbatas.
2.2.
ISTILAH-ISTILAH DALAM HAK CIPTA
2.2.1. Pencipta
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara
bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan
pikiran, imajinasi, cekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam
bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
2.2.2. Pemegang hak
cipta
Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik
hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain
yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
2.2.3. Ciptaan
Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam
bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan,
seni, dan sastra.
2.3.
PENGATURAN TENTANG HAK CIPTA
Sejak zaman Belanda, hak cipta diatur pada Auteurswet tahun
1912 Stb. No. 600. Aturan tentang hak cipta ini tampaknya sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan masyarakat serta cita-cita Hukum nasional, sehingga
auteurswet ini disebut. Untuk pertama kalinya setelah Indonesia merdeka hak
cipta diatur pada Undang-Undang No. 6 Tahun 1982, yang diubah UUHC No. 7 tahun
1987, selajutnya diubah kembali dengan UUHC No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta
terakhir kali diundangkan UUHC No. 19 Tahun 2002. Undang-Undang ini dikeluarkan
untuk merealisasi amanah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam rangka
pembangunan di bidang hukum, dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi
pencipta dan hasil karya ciptaanya diharapkan penyebarluasan hasil kebudayaan
dibidang karya ilmu seni dan sastra dapat dilindungi secara yuridis yang pada
gilirannya dapat mempercepat proses pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
2.3.1. Pengaturan
Hak Cipta Menurut Konvensi Internasional
Perhatian dunia internasional terhadap masalah hak
cipta telah melahirkan beberapa konvensi internasional di bidang hak cipta.
Sejak pertama kali disepakati pemberian perlindungan terhadap karya sastra dan
karya seni dalam Berne Convention 1886, telah mengilhami lahirnya beberapa
konvensi susulan yang. merupakan kesepakatan antar negara" dalam mengatur
masalah hak cipta secara lebih spesifik, termasuk di dalamnya pemberian
perhatian terhadap karya cipta yang dihasilkan karena perkembangan teknologi,
misalnya karya cipta di bidang phonograms, distribution programme carrying
signals transmitted by Satelite.
Beberapa kesepakatan bersama antar negara yang
mengatur masalah hak cipta antara lain :
2.3.1.1. Bern Convention for the Protection af
Uteraray 2nd Artistic Works 1886.
2.3.1.2. Universal Copyright Conventian 1955.
2.3.1.3. Rome
Canventian far tile Pratection af Performers, Producers of Phonograms and
Broadcasting Organizations 1961.
2.3.1.4. WIPO Copyright Treaty (WC7) 1996.
2.3.1.5. WIPO Performances and Phanograms
Treaty(WPP7) 1996.
2.3.1.6. (Brussels
Convention relating to the Oisirioution of Prograrnme carrying signals
transmitted by Satelite 1974.
2.3.1.7. Convention
for tile Protection of Producers of Phonograms Against Unauthorized Duplication
of Their Phonograms 1971.
2.3.1.8. Treah on the International registration
of Audiovisual Works (Film Register Treaty) 1991.
Selain itu, terdapat pula konvensi internasional
yang mengatur juga masalah hak cipta sebagai bagian dari hak milik intelektual
pada umumnya, yaitu :
2.3.1.1. Trips (Marakesh Agreement 15-04-1994)
2.3.1.2. OAPI (Bangui Agreement Revising Extracts
24-02-1999)
2.3.1.3. OAPI (Bangui Agreement 02-03-1977)
2.3.1.4. NAFTA (Intellectual Property Excerpts
08-12-1993)
Dari rangkaian kesepakatan bersama di bidang hak cipta maka
Bern Convention merupakan konvensi tertua yang mengatur masalah hak cipta.
Konvensi Bern ditandatangani di Bern, ibukota Swidzerland, pada tanggal 9
September 1886 oleh sepuluh negara peserta asli (Belgium, France, Germany,
Great Britain, Haiti, ltaly, Liberia, Spain, Swidzerland, Tunisia) dan tujuh
negara yang menjadi peserta dengan cara aksesi (Denmark, Japan, Luxemburg,
Monaco, Montenegro, Norway, Sweden).
Dalam mukadimah naskah asli Bern Convention, para kepala
negara waktu itu menyatakan bahwa yang melatarbelakangi diadakannya konvensi
ini adalah : …………being equaily animated by the desire to protec, in as effective
and uniform a manner as possible, the right of authors in their literary and
artistic works.
Berdasarkan dasar pemikiran yang demikian ini. ternyata
konvensi Bern semenjak ditandatangani sampai dengan 1 Januari 1996 telah 117
negara yang meratifikasinya. Belanda yang menjajah Indonesia pada 1 November
1912 juga memberlakukan keikutsertaannya pada konvensi Bern berdasarkan asas
konkordansi bagi lndonesia. Dengan perkataan lain Indonesia semenjak tahun 1912
telah mempunyai UU hak cipta (Auteuresvlet 1912) berdasarkan UU Belanda tanggal
29 Juni 1911 (Staatbled Belanda No. 197) yang memberi wewenang pada Ratu
Belanda untuk memberlakukan bagi negara Belanda sendiri dan negara-negara
jajahannya konvensi Bern 1886 berikut revisi yang dilakukan pada 13 November 1908
di Berlin.
Namun demikian, semenjak 15 Maret 1958 Indonesia menyatakan
berhenti menjadi anggota konvensi Bern berdasarakan surat No.15.140 XII tanggal
15 Maret 1958. Menteri luar negeri, Soebandrio waktu itu menyatakan pada
Direktur Biro Bern Convention menyatakan tidak menjadi anggota The Bern
Convention. Dalam kurun waktu hampir 100 tahun keberadaan konvensi Bern,
tercatat lima negara anggota yang menyatakan berhenti menjadi anggota konvensi,
yaitu : Haiti (1887-1943), Montenegro (1893-1900), Liberia (19081930),
lndonesia (1913-1960), Syiria (1924-1962). Tiga puluh tujuh tahun kemudian,
tepatnya 7 Mei 1997, lndonesia menyatakan ikut serta kembali menjadi anggota
konvensi Bern dengan melakukan ratifikasi dengan Keppres Rl No.16 tahun 1997,
hal ini sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam forum WTO, yang
diratifikasi dengan UU No.7 tahun 1994.
2.3.2. Pengaturan Hak Cipta dalam Hukum Nasional
Sejak Indonesia menyatakan berdaulat penuh pada 17
Agustus 1945 diikuti dengan dibuatnya UUD 45 tanggal 18 Agustus, maka
berdasarkan pasal 2 Aturan Peralihan UUD 45 maka semua peraturan perundangan
peninggalan zaman kolonial Belanda tetap langsung berlaku sepanjang belum
dibuat yang baru dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka khusus yang
berkaitan dengan pengaturan hak cipta diberlakukan Auteurswef 1912 peninggalan
kolonial Belanda. Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1982 baru
Pemerintah RI dapat membuat UU hak cipta nasional yang dituangkan dalam UU No.6
tahun 1982 tentang hak cipta ini banyak mengalami perubahan serta penambahan
peraturan pelaksana, sbb.
2.3.2.1. UU No.6 tahun 1982 tentang hak cipta.
2.3.2.2. UU No.7 tahun 1987 tentang perubahan UU
No. 6 tahun
1982 tentang hak cipta.
2.3.2.3. UU No.12 tahun 1997 tentang perubahan UU
No. 6 tahun 1982 sebagaimana diubah dengan UU No.7 tahun 1987 tentang hak
cipta.
2.3.2.4. UU No.19 tahun 2002 tentang hak cipta
yang menyatakan mencabut UU lama tentang hak cipta.
2.3.2.5. UU No.4 tahun 1990 tentang wajib serah
simpan karya cetak dan karya rekam. Selain diatur dalam UU maka sebagai
kelengkapan pengaturan hak cipta juga diatur dalam beberapa peraturan
pelaksanaan, yaitu :
2.3.2.1. PP
No.14 tahun 1986 dan PP No.7 tahun 1989 tentang dewan hak cipta.
2.3.2.2. PP No.1 tahun 1989 tentang penerjemahan
dan perbanyakan ciptaan untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan.
penelitian dan pengembangan.
2.3.2.3. Keppres
RI No.18 tahun 1997 tentang pengesahan Berne
Convention for the Protection of Literaray and
Artistic works.
2.3.2.4. Keppres RI No.17 tahun 1988 tentang
pengesahan persetujuan mengenai perlindungan hukum secara timbal balik terhadap
hak cipta atas rekaman suara antara RI dengan masyarakat Eropa.
2.3.2.5. Keppres RI No.25 tahun 1989 tentang
pengesahan persetujuan mengenai perlindungan hukum secara timbal balik terhadap
hak cipta antara RI dengan Amerika Serikat.
2.3.2.6. Keppres RI No.38 tahun 1993 tentang
pengesahan persetujuan perlindungan hukum secara timbai balik terhadap hak
cipta antara Rl dengan Australia.
2.3.2.7. Keppres RI No.56 tahun 1994 tentang
pengesahan persetujuan mengenai perlindungan terhadap hak cipta antara RI
dengan lnggris.
2.3.2.8. Peraturan
Menteri Kehakiman Rl No. M.01-HC.03.01 tahun 1987 tentang pendaftaran ciptaan.
2.3.2.9. Keputusan Menteri Kehakiman Rl No.
M.04.PW.07.03 tahun 1988 tentang penyidikan hak cipta.
2.3.2.10. Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No.
M.01.PW 07.03 tahun 1990 tentang kewenangan menyidik tindak pidana hak cipta.
2.3.2.11. Surat Edaran Menteri Kehakiman RI No.
M.02 .IC.03.01 tahun 1991 tentang kewajiban melampirkan NPWP dalam permohonan
pendaftaran ciptaan dan pencatatan pemindahan hak cipta terdaftar.
2.4.
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA
Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia adalah UU
No. 19 Tahun 2002, yang sebelumnya UU ini berawal dari UU No. 6 Tahun 1982
menggantikan Auteurswet 1982.
Undang-undang ini dikeluarkan sebagai upaya pemerintah untuk
rombak sistem hukum yang ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada
suatu sistem hukum yang dijiwai falsafah negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Pekerjaan membuat satu perangkat materi hukum yang sesuai dengan hukum yang
dicita-citakan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Undang-Undang hak cipta
1982 yang diperbaharui dengan UU No. 7 Tahun 1987 dan diperbaharui lagi dengan
UU No. 12 Tahun 1997, terakhir dengan UU No. 19 Tahun 2002.
2.5.
PROSEDUR PENDAFTARAN HAK CIPTA
Permohonan pendaftaran hak cipta diajukan kepada Menteri
Kehakiman melalui Direktorat Jenderal HAKI dengan surat rangkap dua, ditulis
dalam bahasa Indonesia di atas kertas folio berganda. dalam surat permohonan
itu tertera :
2.5.1. Nama, kewarganegaraan, dan alamat pencipta.
2.5.2. Nama, kewarganegaraan, dan alamat pemegang
hak cipta.
2.5.3. Nama, kewarganegaraan, dan alamat kuasa.
2.5.4. Jenis dan judul ciptaan.
2.5.5. Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk
pertama kali.
2.5.6. Uraian ciptaan rangkap tiga.
Apabila surat permohonan pendaftaran ciptaan telah memenuhi
syarat-syarat tersebut, ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya didaftarkan oleh
Direktorat Hak Cipta, Paten, dan Merek dalam daftar umum ciptaan dengan
menerbitkan surat pendaftaraan ciptaan dalam rangkap 2. Kedua lembaran tersebut
ditandatangi oleh Direktur Jenderal HAKI atau pejabat yang ditunjuk, sebagai
bukti pendaftaran, sedangkan lembar kedua surat pendaftaran ciptaan tersebut
beserta surat permohonan pendaftaran ciptaan dikirim kepada pemohon dan lembar
pertama disimpan di Kantor Direktorat Jenderal HAKI.
2.6.
JANGKA WAKTU PERLINDUNGAN HAK CIPTA
Jangka waktu perlindungan hak cipta, yaitu :
2.6.1. Ciptaan buku, ceramah, alat peraga, lagu,
drama, tari, seni rupa, arsitektur, peta, seni batik terjemahan, tafsir,
saduran, berlaku selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta
meninggal dunia.
2.6.2. Ciptaan program komputer, sinematografi,
fotografi, database, karya hasil pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun sejak
pertama kali diumumkan.
2.6.3. Ciptaan atas karya susunan perwajahan karya
tulis yang diterbitkan, berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali diterbitkan.
2.6.4. Ciptaan yang dimiliki atau dipegang oleh
badan hukum berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
2.6.5. Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan
oleh negara berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (2) huruf b, berlaku tanpa
batas.
2.7. PENGELOMPOKAN
JENIS CIPTAAN
Pemerintah telah mengelompokkan beberapa jenis ciptaan yang
dilindungi dan tidak termasuk dalam perlindungan hak cipta, antara lain :
|
Ciptaan yang Dilindungi (Pasal 12 UU Hak Cipta) |
Tidak ada Perlindungan Hak Cipta (Pasal 13 UU
Hak Cipta) |
|
Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay
out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain. |
Hasil rapat terbuka lembagalembaga negara. |
|
Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang
sejenis dengan itu. |
Peraturan Perundangundangan. |
|
Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan. |
Pidato kenegaraan atau pidato pejabat
Pemerintah. |
|
Lagu atau musik dengan atau tanpa teks. |
Putusan pengadilan atau penetapan hakim. |
|
Drama atau drama musikal, tari, koreografi,
pewayangan, dan pantomime. |
Keputusan badan arbitrase atau keputusan
badan-badan sejenis lainnya. |
|
Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni
lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat,seni patung, kolase, dan
seni terapan. |
|
|
Arsitektur. |
|
|
Peta. |
|
|
Seni batik. |
|
|
Fotografi. |
|
|
Sinematografi. |
|
|
Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai,
database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. |
|
2.8.
PELANGGARAN HAK CIPTA
Suatu pelanggaran terhadap sebuah karya ciptaan
terjadi apabila :
w
Terjadi pengeksploitasian (pengumuman, penggandaan dan
pengedaran) untuk kepentingan komersial sebuah karya cipta tanpa terlebih
dahulu meminta izin atau mendapatkan Lisensi dari penciptanya/atau ahli
warisnya. Termasuk di dalamnya tindakan penjiplakan.
w
Peniadaan nama pencipta pada ciptaannya.
w
Penggantian atau perubahan nama pencipta pada ciptaannya yang
dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik hak ciptanya.
w
Penggantian atau perubahan judul sebuah ciptaan tanpa persetujuan
dari penciptanya atau ahli warisnya.
Di dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
diatur pula tentang dianggap atau tidak dianggapnya sebagai suatu pelanggaran
terhadap ciptaan, antara lain terhadap :
|
Tidak Dianggap Sebagai Pelanggaran (Pasal 14 UU
Hak Cipta) |
Dengan Syarat Dicantumkan Sumbernya (Pasal 15 UU
Hak Cipta) |
|
Pengumuman dan atau perbanyakan lambang negara
dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli. |
Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang
wajar dari pencipta. |
|
Pengumuman dan atau perbanyakan segala sesuatu
yang diumumkan dan atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali
apabila hak cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan
perundangundangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau
ketika ciptaan itu diumumkan dan atau diperbanyak. |
Pengambilan ciptaan pihak lain, baik
seluruhnya maupun sebagian, guna
keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan. |
|
Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun
sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber
lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap. |
Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya
maupun sebagian, guna keperluan: w Ceramah yang
semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau w Pertunjukan atau
pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari pencipta. |
|
Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf Braille guna keperluan para
tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial. |
|
|
Perbanyakan suatu ciptaan selain program
komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang
serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan
pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata |
|
|
untuk keperluan aktivitasnya. |
|
|
Perubahan yang dilakukan berdasarkan
pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti ciptaan
bangunan. |
|
|
Pembuatan salinan cadangan suatu program
komputer oleh pemilik program computer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan
sendiri. |
|
Pelanggaran terhadap suatu hasil ciptaan selain dilakukan
oleh orang perorangan, dalam kenyataannya banyak dilakukan pula oleh korporasi
(corporate) atau badan hukum. Pertanggungjawaban pidana terhadap suatu
korporasi yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar hak cipta
seseorang atau badan hukum dapat dikenakan kepada badan hukum yang
bersangkutan, dalam hal ini adalah pengurus dari badan hukum tersebut sesuai
dengan pertanggung-jawabannya menurut AD/ART dari badan hukum tersebut.
Undang-Undang Hak Cipta juga telah menyediakan dua sarana
hukum, yang dapat dipergunakan untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap hak
cipta, yaitu melalui sarana instrumen hukum pidana dan hukum perdata, bahkan
dalam Undang-Undang Hak Cipta, penyelesaian sengketa di bidang hak cipta dapat
dilakukan di luar pengadilan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa lainnya. Dalam pasal 66 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002
dinyatakan bahwa: “hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 55, pasal 56, dan pasal 65 tidak mengurangi hak negara untuk melakukan
tuntutan terhadap pelanggaran hak cipta”.
2.8.1.
Bentuk-bentuk Pelanggaran Hak Cipta
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta antara lain berupa
pengambilan, pengutipan, perekaman, pertanyaan, dan pengumuman sebagian atau
seluruh ciptaan orang lain dengan cara apapun tanpa izin pencipta/pemegang hak
cipta, bertentangan dengan undang-undang atau melanggar perjanjian. Dilarang
undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak memperkenankan perbuatan
itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal yakni :
w
Merugikan pencipta,/pemegang hak cipta, misalnya memfotokopi
sebagian atau seluruhnya ciptaan orang lain kemudian dijualbelikan kepada
masyarakat luas ;
w
Merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan
yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan
atau ;
w
Bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya
memperbanyak dan menjual video compact disc (VCD) porno.
Pelanggaran hak cipta menurut ketentuan Ikatan
Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tanggal 15 Februari 1984 dapat dibedakan dua
jenis, yakni :
w
Mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam
ciptaan sendiri seolaholah ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain
seolah-olah ciptaan sendiri.
Perbuatan ini disebut palgiat atau penjiplakan
yang dapat terjadi antara lain pada karya cipta berupa buku, lagu, dan notasi
lagu, dan;
w
Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan
sebagaimana yang aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta, dan
penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan piracy (pembajakan) yang banyak
dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan
gambar (VCD), karena menyangkut dengan masalah a commercial scale.
Pasal 72 UU No.19 Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan
pelanggaran hak cipta sebagai delik undang-undang yang dibagi tiga kelompok,
yakni :
w
Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara
lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk
itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang
pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, dan ketertiban umum;
w
Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk
perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan VCD bajakan;
w
Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu program komputer.
2.8.2. Unsur-unsur Pelanggaran Hak Cipta
Berdasarkan rumusan pasal 72 ayat (1), (2), (3)
Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, maka unsur-unsur pelanggaran adalah
sebagai berikut :
2.8.2.1.
Barang siapa
Unsur ini menandakan yang menjadi subjek delik
adalah siapapun. Kalau menurut KUH Pidana yang berlaku sekarang, hanya manusia
yang menjadi subyek delik, sedangkan badan hukum tidak menjadi subyek delik.
Tetapi dalam undang-undang khusus seperti Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi,
badan hukum atau korporasi termasuk juga menjadi subyek delik. Dalam hal ini,
barang siapa termasuk pula badan hukum atau korporasi.
Dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002,
barang siapa bisa ditujukan, antara lain kepada pelaku dan produser rekaman
suara. Pelaku adalah aktor, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan,
memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau
memainkan karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya.
Produser rekaman suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam
dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau bunyi, baik
perekaman dari suatu pertunjukkan maupun perekaman suara atau perekaman bunyi
lainnya.
2.8.2.1. Dengan
sengaja
Unsur ini menandakan kebanyakan tindak pidana
mempunyai dasar kesengajaan atau opzet bukan unsur culpa (kelalaian). Ini
adalah layak, oleh karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu
ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.
2.8.2.2. Tanpa hak
Mengenai arti tanpa hak dari sifat melanggar
hukum, dapat dikatakan, bahwa mungkin seseorang, tidak mempunyai hak untuk
melakukan suatu perbuatan, yang sama sekali tidak dilarang oleh suatu peraturan
hukum.
Menurut pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Hak Cipta
No. 19 Tahun 2002, pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta
atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta. Pemilik hak cipta dapat
mengalihkan atau menguasakan sebagian atau seluruh haknya kepada orang/badan
hukum baik melalui perjanjian, surat kuasa maupun dihibahkan atau diwariskan.
Tanpa pengalihan tersebut, maka tindakan itu adalah merupakan tanpa hak.
2.8.2.3.
Mengumumkan, memperbanyak, menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan
atau menjual
Unsur perbuatan dapat diklasifikasikan dalam bentuk
mengumumkan, menurut pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun
2002, pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran,
atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media
internet, atau melakukan dengan cara apapun, sehingga suatu ciptaan dapat
dibaca, didengar, atau dilihat orang lain; dan unsur memperbanyak
(perbanyakan), menurut pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun
2002, adalah penambahan jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun
sebagian yang sangat substantial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama
ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
2.8.2.4.
Hak cipta dan hak terkait
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun
2002, adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu, dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hak terkait menurut pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Hak Cipta No. 19
Tahun 2002, adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta, yaitu hak eksklusif
bagi pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi produser
rekaman suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau
rekaman bunyinya; dan bagi lembaga penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau
menyiarkan karya siarannya.
2.8.3. Referensi Hukum Atas Hak Cipta
2.8.3.1. Undang-Undang Hak Cipta Republik
Indonesia
§
UU No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun
1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara
RI Tahun 1987 Nomor 42).
§
UU No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan UU No. 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun
1997 No. 29).
§
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
2.8.3.2. Peraturan Pemerintah Bidang Hak Cipta
§
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1986 tentang Dewan Hak
Cipta ditetapkan Tanggal 5 April 1989.
§
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 1 Tahun 1989
tentang Penterjemahan dan atau Perbanyakan Ciptaan untuk Kepentingan
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan ditetapkan Tanggal 14
Januari 1989.
§
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 14 Tahun 1986
tentang Dewan Hak Cipta ditetapkan Tanggal 6 Maret 1986.
§
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004
tentang Sarana Produksi Berteknologi Tinggi Untuk Cakram Optik (optic Disc)
ditetapkan Tanggal 5 Oktober 2004 .
2.8.3.3. Keputusan Presiden Republik Indonesia
§
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 74 Tahun 2004
tentang Pengesahan WIPO Performances and Phonograms Treaty, 1996/Traktat WIPO
Mengenai Pertunjukan dan Perekam Suara.
§
Traktat WIPO Mengenai Pertunjukan dan Perekaman Suara.
2.8.4. Ketentuan
Sanksi Pidana Pelanggaran Hak Cipta
Berdasarkan pasal 56 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun
2002, bahwa hak untuk mengajukan gugatan ganti rugi sebagaimana diatur dalam
pasal 66 ayat (1) UndangUndang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, tidak mengurangi
hak negara untuk melakukan tuntutan pidana pada setiap pelanggaran hak cipta.
Negara berkewajiban mengusut setiap pelanggaran hak cipta yang terjadi. Hal ini
didasarkan pada kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan pelanggaran hak cipta,
yang tidak saja diderita oleh pemilik atau pemegang hak cipta dan hak terkait,
tetapi juga oleh negara, karena kurangnya pendapatan negara yang seharusnya
bisa didapat dari pemegang hak cipta atau hak terkait. Selain itu negara harus
melindungi kepentingan pemilik hak, agar haknya jangan sampai dilanggar oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Perlindungan melalui ketentuan-ketentuan pidana, seperti yang
diatur dalam pasal 382 bis KUH Pidana yang lazim dikenal sebagai persaingan
curang (oneerlijke concurrentie). Persaingan curang merupakan perbuatan untuk
menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu dengan maksud untuk
mendapatkan, melangsungkan, atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan
kepunyaan sendiri atau orang lain.
Dengan Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, pengaturan
mengenai ketentuan pidana telah berubah secara mendasar. Pada Undang-Undang Hak
Cipta sebelumnya tidak ada ketentuan yang mengatur tentang hukuman penjara
minimum. Jika terdakwa dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan, maka
terdakwa dapat dipidana penjara paling singkat satu bulan atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Di samping itu, juga terdapat
kenaikan denda yang sangat tinggi dari Rp 100.000.000,menjadi Rp
5.000.000.000,-. Kenaikan hukuman denda yang sangat besar itu dimaksudkan agar
ada efek jera bagi mereka yang melakukan pelanggaran, karena denda Rp
100.000.000,- dianggap masih ringan oleh para pelanggar, karena keuntungan
(profit gain) yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan denda yang
dijatuhkan.
Bentuk pelanggaran hak cipta yang pertama adalah dengan
sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin
untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan
untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang
bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan
negara, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pelanggaran hak cipta ini melanggar
pasal 72 ayat (1).
Pasal 72 ayat (1) menyebutkan, bahwa bagi yang tanpa hak
mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat atau pidana minimum 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Bentuk pelanggaran hak cipta yang kedua adalah dengan sengaja
memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini
antara lain penjualan buku dan VCD bajakan. Pelanggaran hak cipta ini melanggar
pasal 72 ayat (2).
Pasal 72 ayat (2), kemudian menyatakan, bahwa bagi yang
sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Bentuk
pelanggaran hak cipta yang ketiga adalah dengan sengaja dan tanpa hak
memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
Pelanggaran hak cipta ini melanggar pasal 73 ayat (1). Selanjutnya pasal 72
ayat (3), menyebutkan, bahwa bagi yang tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.
KASUS PEMBAJAKAN SOFTWARE
Menurut laporan Business Software Alliance (BSA) dalam Studi
Pembajakan Software Global 2011, sekitar 59 persen pengguna komputer di
Indonesia mengaku bahwa mereka memperoleh software (piranti lunak) bajakan.
Sebagian pengguna mengatakan mereka selalu atau sering menggunakan software
bajakan. Sebagian lainnya mengatakan hanya pada saat tertentu atau sesekali
saja menggunakan software bajakan. Hal ini yang membuat tingkat pembajakan
software di Indonesia tahun lalu mencapai 86 persen, artinya lebih dari 8 dari 10 program yang
diinstal oleh pengguna komputer adalah tanpa lisensi. Nilai komersial dari
pembajakan ini sebesar US$ 1.467 milyar (sekitar Rp12,8 triliun).
Dari 59 persen responden di Indonesia yang mengaku memperoleh
software secara ilegal, 5 persen mengatakan mereka “selalu” memperolehnya
secara ilegal, 14 persen mengatakan mereka “sering”, 23 persen mengatakan hanya
“pada saat tertentu”, sedangkan 17 persen lainnya mengatakan hanya “sesekali”
memperoleh software secara ilegal. Studi ini juga menemukan bahwa pengguna yang
mengaku menggunakan software bajakan di Indonesia didominasi perempuan dengan
rentang usia 25 hingga 34 tahun.
“Jika 59 persen konsumen mengaku mereka mencuri dari toko,
para aparat penegak hukum seyogyanya bereaksi dengan meningkatkan jumlah
pengamanan dan denda. Pembajakan software juga seharusnya mendapat reaksi yang
sama untuk mendidik masyarakat dan menegaskan penegakan hukum yang ketat,” kata
Tarun Sawney, Direktur Senior Anti Pembajakan, Asia Pasifik, Business Software
Alliance.
3.1.1. Analisa Kasus
Mengamati kasus ini, dapat disimpulkan bahwa cukup banyak
masyarakat Indonesia yang tidak peduli dan tidak menyadari bahwa hal tersebut
adalah salah satu bentuk pelanggaran atas hak cipta. Dengan persentase yang
cukup tinggi, yaitu sebesar ± 59 persen pengguna komputer di Indonesia
menggunakan software bajakan, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat
Indonesia masih kurang menghargai hasil karya cipta seseorang dan kurang
memahami isi Undang-Undang Hak Cipta, sehingga mereka melakukan tindakan
tersebut. Dapat disimpulkan pula bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
memiliki mental pembajak.
Data di atas yang menunjukkan persentase penggunaan software
bajakan di Indonesia yang cukup tinggi, bukanlah kasus yang mudah untuk
diselesaikan. Namun tentunya kasus ini dapat diselesaikan, jika semua kalangan
masyarakat ikut berpartisipasi dengan pemerintah untuk segera menyelesaikan
kasus ini.
3.2.
KASUS PEMBAJAKAN BUKU
Mesin foto copy yang masuk ke Indonesia di tahun 2010 sudah
jauh lebih canggih. Tidak hanya hitam putih lagi, Ada yang berwarna. Mampu
menyimpan data atas apa yang dicopy. Jadi, kalau ingin meng-copy sebuah buku
teks, simpan dahulu datanya lalu di-copy sesuai dengan permintaan. Langsung
bolak-balik dua halaman juga bisa. Sampul buku bisa di-copy persis aslinya.
Tukang foto copy ini bekerja siang-malam. Banyak yang sampai pagi hari. Coba
saksikan di daerah Rawamangun. Inilah yang membuat pembajakan buku versi foto
copy semakin meraja-lela melengkapi pembajakan buku lewat proses pencetakan
dengan mesin cetak . Sungguh-sungguh Print On Demand. Kita bisa melihat usaha
fotocopy jenis ini di kawasan pinggiran kampus-kampus.
Bisa dimaklumi apabila para penerbit yang bergerak di bidang
penerbitan buku teks untuk perguruan tinggi merasa kesal. Begitu mengeluarkan
buku terbaru, dalam waktu singkat buku bajakannya dan bajakan versi fotocopy
sudah muncul di mana-mana. Penjualan jeblok, target omset tidak tercapai.
Penerbit yang menangisi nasib seperti ini tidak saja dari
Indonesia. Para penerbit AS dan Singapura yang mempunyai cabang atau perwakilan
di Jakarta juga mengalaminya. Tim PMPB IKAPI DKI Jakarta menjadi tempat mengadu
dan salah satu sumber harapan agar menolong menindak para pelakunya. Penegak
hukum sudah kewalahan juga. Lagi pula, para penerbit sudah tidak sabar dengan
berbagai persyaratan yang diminta. Terkadang malah sulit dipenuhi. Minta bukti
ini atau itu.
Mulai bulan Oktober 2009, Tim PMPB menerapkan pendekatan
baru. Di samping masih tetap bekerja sama dengan pihak penegak hukum, dilakukan
juga sidak langsung ke lapangan dengan mengajak para penerbit buku teks yang
sudah menjadi korban. Gerakan dimulai dari Proyek Senen. Polsek Senen membantu
penggerebegan ini. Beberapa pelaku langsung ditangkap beserta barang buktinya.
Semuanya dibawa ke Polsek Senen.
Sudah menjadi pemandangan umum, apabila anda berada di
kawasan pusat penjualan buku bajakan di proyek Senen, kita pasti akan bisa
melihat “salesman” buku bajakan yang membawa barang haram itu dengan sepeda
motor. Buku itu dibungkus kertas koran atau kertas semen coklat.
Tak akan pernah paket buku itu terbungkus dengan merk
penerbitnya. Sembilan puluh sembilan proses kemungkinannya paket buku itu
adalah bajakan. Maka, ketika Tim PMPB dan Polisi sedang memeriksa barang-barang
bukti, lewatlah seorang porter membawa dos besar. Tim PMPB langsung mencegat.
Dan ketika dos dibuka, Tim PMPB menemukan buku bajakan Pengantar Anatomi dan
Fisiologi untuk Paramedis terbitan Gramedia dalam jumlah ratusan eksemplar. Si
porter langsung diminta menunjukkan truk yang membawa barang itu yang diparkir
di Proyek Senen. Ketika truk yang berasal dari Bandung itu dibuka, Tim PMPB
menemukan lagi beberapa dos buku bajakan dari berbagai penerbit.
3.2.1. Analisis Kasus
Mengamati kasus pembajakan buku seperti yang telah
diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus ini merupakan kasus
pelanggaran hak cipta. Memperbanyak suatu ciptaan tanpa seizin si pencipta,
untuk kepentingan komersial adalah tindakan yang jelasjelas melanggar hak
cipta. Si pembajak buku harus menerima sanksi atas tindakan yang telah
dilakukannya. Sanksi yang diberikan harus sesuai dengan peraturan atau
ketentuan hukum yang berlaku.
Suatu karya cipta yang telah diciptakan seseorang,
harusnya dihargai dengan membeli karya yang telah diciptakannya secara legal. Meskipun
harga buku asli yang dikenakan jauh lebih mahal dibanding membeli buku bajakan.
Daya kreativitas seseorang sudah seharusnya kita hargai sejak dini. Supaya
setiap orang berkompetisi untuk semakin meningkatkan daya kreativitasnya. Bukan
disambut dengan tindakan-tindakan illegal seperti membajak buku.
3.3.
KASUS PENIRUAN MOTIF BATIK
Di Salatiga tahun 2009 hadir Batik Selotigo. Motif dasarnya
sama bergambar motif batu, hanya saja divariasi dengan motif lain. Setiap orang
awam yang memperhatikan motif itu, bila tidak membaca tulisan labelnya akan
beranggapan itu kain Batik Plumpungan.
Ciri-ciri dasarnya sama. Adanya kesamaan itu, patut diduga
batik itu meniru, menjiplak motif dasar Batik Plumpungan, divariasi, bukan
hasil kreativitas ide orisinil pribadi pembuatnya. Juga pada batik buana dan
batik intyas.
Melalui event pameran internasional di Pameran Batik
Internasional 2 Pekalongan, Solo Batik Carnival 2, Festival Borobudur
Internasional, Batik Plumpungan mulai dikenal khas dari Salatiga. Perintis dan
pelopor batik motif batu Indonesia akan mengangkat Salatiga.
Adanya duplikasi corak dasar batik motif batu dari satu
daerah, beda nama, telah mengaburkan nama Plumpungan, yang telah menjadi ikon
batik yang mulai dikenal melalui promosi dan publikasi batik. Dalam sejarah,
nama Selotigo itu setara legenda. Perlu ada perhatian pemerintah untuk sepakati
satu nama. Selotigo misalnya layak untuk
merek dagang seperti produsen batik keris atau semar.
3.3.1. Analisis
Kasus
Dalam kasus ini, terdapat suatu kontroversi, dimana kasus ini
dapat dikatakan sebagai tindakan pelanggaran hak cipta dan juga tidak merupakan
tindakan pelanggaran hak cipta.
w
Dikatakan kasus ini merupakan tindakan pelanggaran hak cipta,
karena motif dasar batik Selotigo sama dengan motif dasar batik Plumpungan,
hanya saja sedikit diberi variasi. Adanya kesamaan tersebut, dapat dikatakan
bahwa batik Selotigo meniru atau menjiplak motif dasar Batik Plumpungan, bukan
hasil kreativitas asli si penciptanya.
w
Dikatakan kasus ini bukan merupakan pelanggaran hak cipta,
karena terdapat perbedaan antara batik Selotigo dengan batik Plumpungan, yaitu
pada variasinya. Sebagian masyarakat Pekalongan berpendapat bahwa menjiplak
atau meniru motif batik adalah hal biasa. Jadi, tidak perlu dibesar-besarkan
karena seni batik merupakan peninggalan nenek moyang dan orang sekarang bisa
membatik juga hasil meniru pendahulunya.
BAB IV
PENUTUP
4.1.
KESIMPULAN
Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta merupakan hak ekslusif, yang memberi
arti bahwa selain pencipta maka orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas
izin penciptanya.
Pengaturan mengenai hak cipta dimuat dalam Undang-Undang No.
19 Tahun 2002 yang bertujuan untuk merealisasi amanah Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) dalam rangka pembangunan di bidang hukum, dimaksudkan untuk mendorong
dan melindungi pencipta dan hasil karya ciptaanya.
Berbicara mengenai hak cipta, tentunya tidak terlepas
mengenai pelanggaran hak cipta. Suatu pelanggaran terhadap sebuah karya ciptaan
terjadi apabila :
w
Terjadi pengeksploitasian (pengumuman, penggandaan dan
pengedaran) untuk kepentingan komersial sebuah karya cipta tanpa terlebih
dahulu meminta izin atau mendapatkan Lisensi dari penciptanya / atau ahli
warisnya. Termasuk di dalamnya tindakan penjiplakan.
w
Peniadaan nama pencipta pada ciptaannya.
w
Penggantian atau perubahan nama pencipta pada ciptaannya yang
dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik hak ciptanya.
w
Penggantian atau perubahan judul sebuah ciptaan tanpa
persetujuan dari penciptanya atau ahli warisnya.
Dengan mengamati ketiga kasus yang kami bahas dalam makalah
ini, dapat disimpulkan bahwa begitu banyak kasus pelanggaran hak cipta yang
terjadi di Indonesia. Masih banyak kasus-kasus pelanggaran hak cipta lainnya
yang belum kami bahas dalam makalah ini. Dari pembahasan kasus yang telah kami
jelaskan, kita dapat melihat masih kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia
terhadap ketentuan hak cipta yang telah diberlakukan.
4.2.
SARAN
Adapun saran yang dapat kami sampaikan mengenai
kasus pelanggaran hak cipta di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
·
Pemerintah harus memberikan sosialisasi kepada semua
masyarakat untuk menghargai hasil karya cipta seseorang.
·
Pemerintah harus bertindak tegas untuk menghukum pelaku yang
terlibat dalam kasus pelanggaran hak cipta di Indonesia.
·
Pemerintah mengharuskan setiap pencipta suatu karya untuk
segera mendaftarkan karya ciptaannya, agar tidak terjadi plagiatisme atau
pembajakan terhadap hasil karyanya.
·
Pemerintah mempermudah pencipta suatu karya untuk
mendaftarkan karya ciptaannya, melalui prosedur-prosedur yang sederhana dan
tidak berbelit-belit.
·
Setiap masyarakat ikut berpartisipasi menerapkan peraturan
mengenai hak cipta yang berlaku.
·
Setiap masyarakat, khususnya konsumen atau pengguna suatu
karya, harusnya membeli karya cipta orang yang orisinil, bukan membeli
barang-barang atau produk bajakan.
·
Setiap masyarakat yang melihat adanya tindakan berupa
pembajakan atau plagiatisme terhadap suatu karya, sebaiknya melapor kepada
aparat yang berwajib untuk segera menangani kasus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tamotsu Hozumi. 2006. Asian Copyright Handbook
(Buku Panduan Hak Cipta Asia Versi Indonesia). Jakarta : IKAPI
Rachmadi Usman, S.H.2003. Hukum Hak Atas Kekayaan
Intelektual (Perlindungan dan
Dimensi Hukumnya di Indonesia). Bandung :
PT.Alumni Mulyatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta
Situs Internet:
http://www.kemenkumham.go.id/attachments/article/156/uu19_tahun%202002.pdf
http://www.dgip.go.id/hak-cipta/referensi-hukum-cipta
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta
http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/perundangan/2006/08/25/hak-cipta-ok.pdf
http://hakintelektual.com/hak-cipta/prosedur-pendaftaran-ciptaan/
http://hakintelektual.com/hak-cipta/masa-berlaku-hak-cipta/
http://dunia.vivanews.com/news/read/309208-as--ri-masuk-daftar-pelanggaran-hak-cipta
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24918/3/Chapter%20II.pdf
http://pusdiklat.kemenperin.go.id/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=
167&Itemid=353
http://eprints.undip.ac.id/17575/1/UNING_KUSUMA_HIDAYAH.pdf
http://www.bsa.org/country/News%20and%20Events/News%20Archives/global/05152012idc-globalpiracystudy.aspx
http://portal.bsa.org/globalpiracy2011/downloads/study_pdf/2011_BSA_Piracy_Study-
Standard.pdf
http://www.ikapi.org/entertainment/entertainment-news/movies/1554-jangan-takutmenghadapi-mafia-pembajakan-buku.html
http://www.mediasionline.com/readnews.php?id=2864
Tidak ada komentar:
Posting Komentar