BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akibat arus modrenisasi
yang meliputi hampir sebagian besar Negara-negara yang dihuni mayoritas umat
islam. Dengan adanya arus modrenisasi tersebut, mangakibatkan munculnya
berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat islam, baik yang menyangkut
Ideologi Politik, Sosial, Budaya dan sebagainya. Berbagai perkembangan tersebut
seakan-akan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama. Hal tersebut
terjadi karena aneka prubahan tersebut banyak melahirkan simbol-simbol sosial
dan kultural yang secara eksplisit tidak memiliki simbol keagamaan yang telah
mapan, atau disebabkan kemajuan modrenisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan
pemikiran keagamaan.
Telah mapannya sistem pemikiran barat di
mayoritas negeri muslim secara faktual lebih mudah diterima dan diamalkan apa
lagi sangat didukung oleh kekuatan yang bersifat struktural maupun kultural,
namun masyarakat islam dalam penerimaan konsepsi barat tersebut tetap merasakan
adanya semacam “kejanggalan” baik secara psikologis, sosiologis maupun politis.
Tetapi karena belum terwujudnya konsepsi islam yang lebih kotekstual, maka
dengan rasa ketidak berdayaan mereka mengikuti saja konsepsi yang tidak islami.
Hal tersebut akhirnya menggugah naluri pakar hukum islam yang lebih relevan
dengan perkembangan zaman.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian fiqh kontemporer?
2. Apa tujuan fiqh kontemporer ?
3. Bagaimana pemikiran islam tentang fiqh
kontemporer ?
4. Apa saja ruang lingkup kajian fiqh
kontemporer?
1.3
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian fiqh
kontemporer.
2. Untuk mengetahui tujuan fiqh kontemporer.
3. Untuk mengetahui pemikiran islam tentang
fiqh kontemporer.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup kajian fiqh
kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Fiqh Kontemporer
Fiqh menurut bahasa
adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti. Adapun fiqh menurut istilah adalah
ilmu tentang hukum syara yang bersifat amali diambil dari dalil-dalil yang
tafsili.
Dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia pengertian kontemporer berarti sewaktu, semasa, pada waktu
atau masa yang sama, pada masa kini,dewasa ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa
fiqh kontemporer adalah tentang perkembangan pemikiran fiqh dewasa ini. Dalam
hal ini yang menjadi titik acuan adalah bagaimana tanggapan dan metodologi hukum
islam dalam memberikan jawaban terhadap masalah-masalah kontemporer.
Perkembangan kehidupan
manusia selalu berjalan sesuai dengan ruang dan waktu, dan ilmu fiqh adalah
ilmu yang selalu berkembang karena tuntutan kehidupan zaman. Fiqh adalah ilmu
yang sangat penting bagi kehidupan umat islam.
Dengan semakin
berkembangnya arus informasi dan jaringan komunikasi dunia, terjadi pulalah apa
yang disebut dengan proses modernisasi. Modernisasi tersebut melahirkan
berbagai macam bentuk perubahan baik secara struktural maupun kultural.
Perubahan struktural
berarti perubahan yang hanya meliputi struktur sosial belaka, yakni jalinan dan
hubungan satu sama lain dari keseluruhan unsur sosial. Unsur-unsur sosial yang pokok adalah kaidah-kaidah,
lembaga-lembaga, kelompok-kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan perubahan
secara kultural lebih bersifat ideologis atau immaterial yakni perubahan
nilai-nilai, pemikiran dan sebagainya. Dalam
era modernisasi dewasa ini, salah satu aspek pemikiran yang turut mengalami
tuntutan perubahan adalah di bidang hukum islam. Mengingat hukum islam
merupakan salah satu bagian ajaran agama yang terpenting, maka perlu ditegaskan
di sini aspek mana yang mengalami perubahan dalam kaitannya dengan hokum islam
tersebut. Karena agama dalam pengertiannnya sebagai wahyu Tuhan tidak akan
berubah, tetapi tentang pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam
hubungan dengan penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat yang
selalu berubah.
Berdasarkan hal
tersebut di atas, bahwa perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan secara
tekstual tetapi secara kontekstual. Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai
perubahan, tetapai pemahaman dan penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks
perkembangan zaman. Karena perubanhan sosial merupakan suatu proses
kemasyarakatan yang berjalan secara terus menerus, maka perubahan penerapan dan
pemahaman ajaran islam juga harus bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan
demikian ialam akan tetap relevan dan actual, serta mampu menjawab tantangan
modernitas.
Pengaruh-pengaruh unsur
perubahan di atas dapat menimbulkan peruhan dalam system pemikiran islam
termasuk pembaharuan dalam hokum islam. Dengan demikian hokum islam akan tetap
mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan zaman (modenitas). Tanpa adanya
upaya pembaharuan pemikiran dimaksud tentu akan menimbulkan kesulitan dalam
kemasyarakatan hukum sebagai salah satu pilar masyarakat, sedangkan kehidupan
masyarakat itu sendiri senantiasa mengalami perkembangan, maka upaya
pembaharuan pemahaman hokum islam pun harus dapat mengikuti perubahan itu.
2.2
Tujuan Fiqh Kontemporer
Dr. Yusuf Qardlawi
dalam salah satu kitabnya secara implisit mengungkapkan betapa perlunya fiqh
kontemporer. Dengan adanya kemajuan yang cukup mendasar, timbul pertanyaan bagi
kita, mampukah ilmu fiqh menghadapi zaman modern?. Masih relevankah hukum islam
-yang lahir 14 abad silam- diterapkan sekarang?. Tentu saja kita, sebagai
muslim, akan menjawabnya. Hukum islam mampu menghadapi zaman, dan masih relevan
untuk diterapkan “tidak asal bicara, memang. Tapi, untuk menuju kesana, perlu
syarat yang harus dijalani secara konsekuen. Untuk merealisir tujuan penciptaan
fiqh kontemporer tersebut Qardlawi menawarkan konsep ijtihad. ijtihad yang
perlu di buka kembali. Manapaak-tilasi apa yang telah dilakukan ulama salaf.
Dalam hal yang berkaitan dengan hukum kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab.
Pandangan Prof. Said
Rramadan tentang hal serupa. Semua pendapat yang harus di timbang dengan
kriteria Al-Qur’an dan As- sunnah. Dan semua manusia sesudah Rasulullah SAW
dapat berbuat keliru. Dalam segala hal dimana tidak ada teks yang mengikat,
maka pertimbangan masalah sajalah yang mengikat. dan bahwa aturan demi maslahah
dapat berubah bersama perubahan keadaan di masa, terdahulu: “Di mana ada maslahah
disanalah letak jalan Allah”. Perbedaan antara syari’ah (Sebagaimana tercantum
dalam Al-Qura’an dan As-sunnah) yang mengikat abadi dengan dalil- dalil yang
diterangkan oleh para fuqoha’ seharusnya memeberikan pengaruh yang sangat sehat
terhadap umat islam pada zaman ini.
Pernyataan diatas dapat
kita ambil kesimpulan khususnya berkenaan dengan munculnya isu fiqih
kontemporer tersebut, yakni: bagaimanapun pemikiran ulama bisa di pertanyakan
kembali berdasarkan kriteria Al-Qur’an dan As-Sunnah di sisi lain pertimbangan
maslahah dapat di jadikan rujukan dalam upaya penyesuaian fiqh dengan zaman
yang berkembang. Terakhir, perbedaan antara syari’ah dengan fiqih menjadi
peluang timbulnya pengkajian fiqih kontemporer. Demikianlah sekelumit beberapa
latar belakang munculnya isu fiqih kontemporer yang dapat penulis kemukakan.
2.3
Berbagai Pemikiran Islam Tentang Fiqh Kontemporer
Prof. Dr. Haru Nasution membagi ciri
pemikiran islam ke dalam tiga zaman, yakni zaman klasik ( abad VII-XII ) zaman
ini disebut juga oleh beliau sebagai zaman rasional, zaman pertengahan (
tradisional ) abad XIII-XVIII dan zaman modern (kontemporer) abad XIX- .
Berdasarkan kriteria di atas, fiqih klasik yang di maksud adalah pola pemahaman
fiqih abad VII-XII, sedangka fiqih kontemporer, adalah pola pemahaman fiqih
abad XIX dan seterusnya. Yang menjadi fokus kajian disini adalah; adakah
relevansinya antara pola pemahaman fiqih kontemporer dengan fiqih klasik, lalu
di mana letak relevansi pemahaman antara kedua zaman tersebut?
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode
berpikir ulama klasik terkait langsung dengan al-qur’an dan hadist, sehingga
banyak melahirkan ijtihad yang kualitatif, hal ini banyak di contohkan oleh
para sahabat nabi terutama Umar bin Khattab. Metode berpikir itu pulalah yang di
tiru oleh imam-imam mazhab fiqih seperti imam Malik, Abu hanafiah, Syafi’i, dan
ibnu hambal. Juga oleh para mutakallimin seperti: Washil bin ‘Atha’, Abu
al-huzail, Al-jubba’i, Al-asy’ari, Al-maturidi, dan Al-ghozali.
Sedangkan pemikiran zaman pertengahan,
berbeda dengan pemikiran zaman klasik, menjadi terikat sekali dengan hasil
pemikiran para ulama zaman klasik. Ruang geraknya sempit, pemikiran rasional
diganti dengan pola pemikiran tradisional. Dalam menghadapi maslah-masalah baru
mereka tidak lagi secara langsung menggali ke al-qur’an dan hadist tetapi lebih
banyak terikat denga produk pemikiran ulama abad klasik. Sehingga orisinalitas
pemikiran semakin berkurang dan cenderung dogmatis. Maka bekulah pemikiran
serta kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Corak pemikiran ini
menampilkan sosok ulama islam abad pertengahan dengan pola penalaran fiqih yang
tradisional. Di zaman modern inipun masih banyak umat islam yang terpaku dengan
pola pemikiran islam abad pertengahan tersebut hanya sebagian kecil yang sudah
mulai memakai pola pemikiran rasional zaman klasik.
2.4
Ruang Lingkup Kajian fiqh Kontemporer
Yang dimaksud dengan ruang lingkup kajian
fiqih kontemporer disini mencakup: pertama, masalah-masalah fiqih yang
berhubungan dengan situasi kontempoerer (modern). Kedua, wilayah kajian dalam
alqur-an dan hadist.
1. Kajian fiqih kontemporer tersebut dapat di kategorikan ke dalam
beberapa aspek:
a) Aspek hukum keluarga, seperti: pembagian harta waris, akad via
telepon, perwakafan, nikah hamil, KB, dll.
b) Aspek ekonomi, seperti: Sistem bungan dalam bank, zakat mal dalam
perpajakan, kredit dan arisan, zakat profesi, asuransi, dll.
c) Aspek pidana, seperti: Hukum potong tangan, hukum pidana islam dalam
sistem nasional,dll.
d) Aspek kewanitaan, seperti: busana muslimah (jilbab), wanita karir,
kepemimpinan wanita, dll.
e) Aspek medis, seperti: pencakokan bagian organ tubuh, pembedaha mayat,
kontasepsi mantap, rekayasa genetika, pemilihan jenis kelamin, ramalan
genetika, konseling genetika, perubahan genetika, revolusi biologik, cloning,
percobaan dengan tubuh manusia, penyeberang jenis kelamin dari pria ke waniat
atau sebaliknya, kornea mata, bayi tabung, bank susu, bank darah, bank sperma,
vasektomi dan tubektomi dalam aneka variasinya, transfusi darah, insemniasi
sperma manusia dengan hewan, dll.
f) Aspek teknologi, seperti: penyembelihan hewan secara mekanis, seruan
azan atau basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau televisi, memberi
salam dengan bel, penggunaan hisab dengan meninggalkan rakyat, dll.
g) Aspek politik (kenegaraan) yakni tentang perdebatan sekitar istilah
‘negara islam’ proses pemilhan pemimpin, loyalitas kepada penguasa, dsb.
h) Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti,; tabungan
haji, tayamum dengan selain tanah (debu), ibadah qurban dengan uang, menahan
haid karena demi ibadah haji, dan lain-lain.
Itulah hal-hal yang sering jadi bahan
kajian di tengah-tengah masyarakat muslim di tengah-tengah masyarakat muslim
dewasa ini.
Mengenai wilayah kajian yang berkenaan
dengan al-qur’an dan hadits yang erat hubungannya dengan fiqih kontemporer,
antara lain adalah masalah metodelogi pemahaman hukum islam, yang perlu
dilakukan pengakajian mendalam lagi, persoalan histories dan sosiologis
ayat-ayat al-qur’an maupu hadist nabi, kajian tentang maqoosiduttasrii’ (tujuan
hukum) dan hubungannya dengan formalitas hukum,keterbukaan kembali pintu
ijtihad, soal kemaslahatan umum, adat istiadat masyarakat yang berlaku, tentang
teori nasakh dan teori I’llat hukum, tentang ijma’, dll.
Ruang lingkup kajian
fiqih kontemporer tidak terlepas dari aspek material dan formalnya hukum islam,
serta mana yang permanen dalam hukum islam dan mana yang bersifat relatif
(berubah) atau ghoiruttasyri’. Kajian tentang aspek moralitas dan formalitas hukum
inilah yang menjadi ajang kajian fiqih kontemporer ini.
Untuk meretas kebekuan
fiqih dalam berinteraksi dengan dinamika kontemporer, A. Qadri Azizi menawarkan
sebelas langkah, sebagai berikut:
1.
Mendahulukan sumber primer (Alqur’an dan sunnah) dalam
menentukan rujukan dan kitab induk imam madzhab dalam bermadzhab ketika
berhadapan dengan masalah hukum kontemporer.
2.
Berani mengkaji pemikiran ulama atau keputusan hukum
organisasi kemasyarakatan Islam dengan pendekatan critical study dan history
of ideas dan tidak hanya terbatas pada tataran doctrinal dan dogmatis.
3.
Karya ulama klasik diposisikan sebagai knowledge baik
produk deduktif maupun empirik.
4.
Mempunyai sikap terbuka dengan dunia luar, baik dalam
kontek iptek maupun budaya dan gagasan pemikiran serta tidak tergesa-gesa
menjastifikasi sesuatu yang baru dengan landasan emosional.
5.
Responsif terhadap permasalah yang muncul karena
masyarakat ingin mendapatkan jawaban cepat dari pakar fiqih.
6.
Menawarkan pola penafsiran aktif dan proaktif, yaitu
pola jawaban masalah hukum yang mampu memberi inspirasi dan guidance untuk
kehidupan yang sedang dijalani umat Islam.
7.
Ahkam al-khamsah (wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah)
agar dijadikan sebagai ajaran etika dan tata nilai di tengah kehidupan
masyarakat.
8.
Menjadikan ilmu fiqih sebagai ilmu hukum secara umum,
yaitu kajian fiqih dilakukan menggunakan pendekatan ilmu hukum sehingga pakar
hukum umum dapat memahami substansi fiqih dengan baik dan benar.
9.
Kajian fiqih harus menyeimbangkan pendekatan deduktif
dan induktif. Proses deduktif adalah bagaimana memahami Alqur’an dan sunnah
dengan segala metodenya termasuk qiyas dan proses induktif adalah bagaimana
memberikan peran akal dalam porsi yang benar untuk mewujudkan hasanah di
dunia dan akhirat bagi umat Islam.
10. Menjadikan maslahah ‘ammah sebagai
landasan penting dalam membangn fiqih.
11. Menjadikan Alqur’an dan sunnah sebagai
barometer dan kontrol terhadap hal-hal ijtihadi, terutama ketika proses ijtihad
itu menggunakan pendekatan induktif dan bukan deduktif.
2.5
Landasan Hukum Fiqih Kontemporer
Sumber
hukum utama dalam fikih kontemporer adalah al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ dan
qiyas. Pada sub bab pembahasan ini hanya memberikan gambaran tentang
landasan hukum utama dalam fikih kontemporer. Tetapi, yang perlu dijadikan
catatan adalah bahwa seluruh landasan dalil hukum mengacu pada wahyu Allah
Ta’ala yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan ijma’ pun adalah hasil pemahaman
final para mujtahid ummat Islam suatu zaman terhadap seluruh nash-nash yang ada
akan suatu hukum tertentu.
Allah Ta’ala
berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan
Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89)
Sumber
hukum ketiga setelah al-Qur’an dan al-Sunnah adalah ijma’. Secara bahasa, ijma
berkamna الاتفاقyaitu kesepakatan dan juga
bermakna العزم yaitu
keinginan kuat.
Di
antara, landasan dalil yang menunjukan bahwa ijma’ adalah hujjah adalah firman
Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 115:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
"Dan
barangsiapa yang menentang rosul sesudah jelas kebenaran baginya serta
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa
ter-hadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.”(QS. An Nisa’ [4]: 115)
Sisi
pendalilan dari ayat ini adalah: bahwasannya Allah Ta’ala mengancam
penyelisihan dari jalan orang-orang beriman, maka jalan orang-orang yang
beriman adalah yang wajib untuk diikuti dan selainnya adalah batil yang wajib
ditinggalkan. Apa-apa yang disepakati oleh mereka adalah mutlak jalan mereka
dan itulah sebuah kebenaran mutlak maka wajib untuk diikuti dan tidak ada makna
ijma’ melainkan seperti ini yang dimaksudkan.[2]
Ayat
di atas banyak dijadikan para ulama, khususnya ahli uhsul sebagai landasan
dalil bahwa ijma’ salah satu sumber hukum. Ibnu Qudamah berkata, “Dan ini
menunjukkan wajibnya mengikuti jalan-jalan orang beriman dan diharamkan
menyelisihi mereka.”[3] Maka, jika mujtahid ummat Islam telah berijma’
akan suatu hukum tertentu, tidak boleh ada seorang pun yang menyelisihi ijma’
tersebut karena ijma' adalah hujjah qhat’i menurut pendapat
jumhur ulama.
Adapun
terkait dengan sumber hukum lainnya selain al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma bisa
dibaca kajiannya di kitab-kitab ushul al-Fiqh yang secara khusus menjelaskan
tentang sumber hukum dalam Islam, baik sumber hukum yang disepakati maupun yang
diperselisihkan oleh para ulama.
Di
sisi yang lain, bisa jadi dalam fikih kontemporer terjadi perbedaan pendapat
tentang status hukumnya di kalangan para ulama. Haja saja, yang harus menjadi
pertimbangan utama oleh setiap muslim adalah pertimbangan kekuatan dalil dan
cara berdalil.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para
ulama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim
Indonesia adalah lembaga paling kompeten bagi pemecahan dan penjawaban setiap
masalah social keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta
telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat mupun dari pemerintah.
Sejalan dengan hal tersebut, makalah ini disusun untuk memahami
bagaimana MUI memutuskan beberapa
permasalahan hukum Islam, dan metode apa yang digunakan MUI dalam
memutuskan bebarapa permasalahan tersebut, serta bagaimana istimbat tersebut
jika disandingkan dengan konteks keIndonesian.
2.5.1
Metode Ijtihad
Berikut ini metode-metode ijtihad pengambilan hukum Islam:
a. Ijtihad
Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-mayaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Adapun definisi ijtihad secara terminologi adalah pengerahan segala
kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
b. Ijma’
Secara etimologi, kata ijma’ merupaka masdar (kata benda verbal) dari
kata “ajma’a” yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu, Ia juga bisa
berarti kesepakatan bulat atau konsensus, sedangkan secara terminologi Ijma’
adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtaid pada suatu masa tertentu sesudah
wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ pada suatu peristiwa
c. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukur sesuatu dengan
yang lain, sedangkan secara istilah qiyas adalah suatu proses penyingkapan
kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu
hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.
d. Al-Istihsan
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut ulama Ushul (Ushuliyin)
ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain
dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
e. Al-Maslahah al-Mursalah
Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan (yang mutlak) sedangkan menurut ahli istilah Al-Maslahah
al-Mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dalil, tetapi juga
tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan
syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan
hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum
syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadorotan atau
untuk menyatakan suatu manfaat, maka Al-Maslahah al-Mursalah adalah
kemashlahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfaatan.
f. Istishhab
Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan.
Sedangkan menurut ulama’ Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keaadan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut
keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahan. Berdasarkan
kaidah:
الأصل في الأشياء الإباحة
Artinya: “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.
g. Al-‘Urf
Arti Al-‘Urf secara harfiyah adalah keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat Al-‘Urf sering
disebut dengan adat.
h. Dzari’ah
Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju
sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang
membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan tetapi
pengertian tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarany Ibn
Qayyim Aj-Jauziyah yang mengatakan bahwa Dzari’ah itu tidak hanya menyangkut
sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih
tepat kalau Dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah (yang
dilarang), dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
2.6
Contoh fiqih kontemporer
2.6.1 Fiqih Kontemporer Munakahat
Kata “munakahat” yang terdapat dalam bahasa
Arab yang berasal dari akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa
Indonesia kawin atau perkawinan. Kata kawin adalah terjemahan dari kata nikah
dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini, dan menikahkan sama
dengan mengawinkan yang berarti menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah
pernikahan mempunyai arti yang sama dengan perkawinan.
A. Hukum
Melihat Situs Porno agar dapat melayani suami/istri lebih baik
Keinginan
Anda untuk memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan kepada suaminya
merupakan sebuah niat yang baik. Namun, niat yang baik dan mulia tersebut tidak
boleh dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan syariat
Menonton
film porno tentu saja dilarang karena berarti melihat aurat orang lain. Oleh
sebab itu, ia termasuk dalam kategori perbuatan dosa (zina mata). Apalagi jika
melihat aurat yang sifatnya mughalladzah (kemaluan).
Dalam
hal ini Rasulullah saw. bersabda,
“Seorang
lelaki tidak boleh melihat kemaluan laki-laki dan seorang wanita tidak boleh
melihat kemaluan wanita.” (HR
Muslim).
“Allah
Swt. melaknat orang yang melihat aurat orang lain dan orang yang memperlihatkan auratnya.”
Masih
banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk bisa memberikan pelayanan kepada
suami. Kebutuhan biologis hanyalah salah satu sarana saja. Dalam hal ini
seorang wanita memang perlu memperhatikan kepuasan suaminya; namun bukan dengan
segala cara. Sentuhan kasih sayang, ungkapan yang halus dan baik, menjaga
kehormatan diri dan keluarga, melaksanakan ibadah secara baik, dan banyak
berdoa kepada Allah merupakan sejumlah cara lain yang sangat efektif agar
keluarga tetap harmonis penuh cinta kasih.
2.6.2 Hukum Memakan Kopi Luwak
Dalam
pandangan para ulama dari kalangan Madzhab Syafi‘i, apabila ada binatang yang
memakan biji kemudian biji itu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka
dalam konteks ini perlu dilihat.
Apabila kekerasan biji tersebut masih tetap terjaga
sehingga sekiranya ditanam bisa tumbuh, maka status hukum biji tersebut adalah
suci akan tetapi wajib dicuci bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis.
قَالَ
أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللهِ إِذَا اَكَلَتِ الْبَهِيمَةُ حَبًّا وَخَرَجَ مِنْ
بَطْنِهَا صَحِيحًا فَاِنْ كَانَتْ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةً بَحَيْثُ لَوْ زُرِعَ
نَبَتَ فَعَيْنُهُ طَاهِرَةٌ لَكِنْ يَجِبُ غَسْلُ ظَاهِرِهِ لِمُلَاقَاةِ
النَّجَاسَةِ
Artinya,
“Para sahabat kami rahimahumullah (para ulama dari kalangan Madzhab Syafi‘i)
berpendapat bahwa apabila seekor binatang memakan biji kemudian biji tersebut
keluar dari perutnya dalam keadaan masih utuh. Dalam konteks ini apabila
kekerasannya masih tetap di mana sekiranya ditanam akan tumbuh, maka biji
tersebut adalah suci, akan tetapi harus dicuci permukaan atau bagian luarnya
karena bersentuhan dengan najis,” (Lihat Muhayiddin Syarf
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz
II, halaman 591).
Jika pandangan yang dikemukakan Imam Nawawi ini kita tarik
dalam konteks pertanyaan di atas, maka pandangan ini mengandaikan, bahwa biji
kopi yang dimakan luwak kemudian keluar lagi melalui duburnya, dan sepanjang
kekerasannya masih tetap dan bisa ditanam kembali, maka masuk kategori barang
suci yang terkena najis (mutanajjis) di mana bagian luarnya terkena
najis sehingga bisa disucikan dengan cara dicucinya, sedang bagian dalamnya
tidak najis.
Argumentasi rasional yang dibangun untuk meneguhkan
pandangan ini adalah bahwa meskipun biji adalah makanan bagi binatang, namun
biji tersebut tidak mengalami kerusakan. Hal ini sama dengan binatang yang
menelan biji kemudian bijinya keluar. Bagian dalam biji tersebut adalah suci,
sedang kulitnya adalah najis dan bisa suci dengan dicuci.
Berbeda kasusnya binatang menelan biji kemudian bijinya
keluar namun kekerasannya telah hilang sehingga sekiranya ditanam tidak akan
tumbuh, maka dalam konteks ini biji tersebut statusnya adalah najis.
لِاَنَّهُ وَاِنْ
صَارَ غِذَاءًا لَهَا فَمَا تَغَيَّرَ إِلَى الْفَسَادِ فَصَارَ كَمَا لَوِ
ابْتَلَعَ نَوَاةً وَخَرَجَتْ فَاِنَّ بَاطِنِهَا طَاهِرٌ وَيَطْهُرُ قَشْرُهَا
بِالْغَسْلِ وَاِنْ كَانَتْ صَلَابَتُهُ قَدْ زَالَتْ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ لَمْ
يَنْبُتْ فَهُوَ نَجِسٌ
Artinya,
“Sebab, kendatipun biji tersebut adalah makanan binatang namun tidak menjadi
rusak. Karenanya menjadi seperti binatang yang menelan biji kemudian biji
keluar (dari duburnya, penerjemah),
maka bagian dalam biji tersebut adalah suci dan kulitnya menjadi suci dengan
dicuci. Berbeda jika kekerasan biji tersebut telah hilang, di mana sekiranya
ditanam tidak akan tumbuh, maka biji tersebut adalah najis,” (Lihat Muhyiddin
Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’
Syarhul Muhadzdzab, juz II, halaman 591).
IV&AIDS telah benar mewabah di Indonesia.
Penyebarannya pun sudah sampai pada hampir semua kabupaten di Indonesia.
Penyakit HIV yang salah satu penularannya disebabkan oleh pola hubungan yang
tidak aman ini sering dialamatkan pada pekerja seks yang menjadi biang
keladinya. Terlepas dari itu, wabah AIDS sudah menjadi ancaman serius bagi
bangsa.<>
Untuk meminimalisir penularan HIV, salah satu
Strategi Nasional dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang dikembangkan
adalah membentuk organisasi komunitas yang akan menjadi wadah bagi mereka untuk
turut berpartisipasi dalam program penanggulangan HIV dan AIDS. Salah satu yang
sudah terbentuk dengan fasilitasi KPAN adalah Organisasi Pekerja Seks Indonesia
(OPSI) yang menghuni tepat-tempat lokalisasi. Ini bisa dipahami, karena
organisasi ini dibentuk oleh negara, maka kehadiran dan aktivitasnya menjadi
legal. Tindakan-tindakan stigmatik dan kriminalisasi terhadap mereka menjadi
tidak bisa dibenarkan. Sementara itu, perzinaan atau seks bebas merupakan
perbuatan yang dilarang agama.
Pada hakikatnya, kewajiban pemerintah adalah
menegakkan keadilan bagi masyarakat sehingga kemaslahatan tercapai. Pemerintah
harus membuat regulasi yang melarang
praktek perzinahan dan pada saat yang sama menegakkan regulasi tersebut.
Inilah maslahah ‘ammah yang wajib dilakukan pemerintah.
تصرف الإمام على
الرعية منوط بالمصلحة
perlakuan
(kebijakan) imam atas rakyat
mengacu pada maslahat”
Lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah
untuk mengurangi dampak negatif perzinahan, bukan menghalalkannya. Dengan
dilokalisir, efek negatif perzinahan dapat dikelola dan dikontrol sehingga
tidak menyebar ke masyarakat secara luas, termasuk penyebaran virus HIV. Dengan
kontrol yang ketat dan penyadaran yang terencana, secara perlahan keberadaan
lokalisasi akan tutup dengan sendirinya karena para penghuninya telah sadar dan
menemukan jalan lain yang lebih santun.
Tujuan ini akan tercapai manakala program
lokalisasi dibarengi dengan konsistensi kebijakan dan usaha secara massif untuk
menyelesaikan inti masalahnya. Kemiskinan, ketimpangan sosial, peyelewengan
aturan, dan tatatan sosial harus diatasi. Mereka yang melakukan praktik
perzinahan di luar lokalisasi juga harus ditindak tegas. Jika saja prasyarat
tersebut dilakukan, tentu mafsadahnya lebih ringan dibanding kondisi yang kita
lihat sekarang.
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف ( ابن النجيم
الحنفي ، تحقيق مطيع الحافظ ,
الأشباه والنظائر، بيروت- دار الفكر ، ص:
96)
“Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan
bahaya yang lebih ringan.” ( Ibn Nujaim Al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nazhair,
tahqiq Muthi` Al-Hafidz, Bairut-Dar Al-Fikr, hal: 96)
فإنكار المنكر أربع درجات الأولى أن يزول
ويخلفه ضده الثانية أن يقل وإن لم يزل بجملته الثالثة أن يخلفه ما هو مثله الرابعة
أن يخلفه ما هو شر منه فالدرجتان الأوليان مشروعتان والثالثة موضع اجتهاد والرابعة
محرمة (ابن قيم الجوزية، إعلام الموقعين عن رب العالمين، تحقيق : طه عبد الرءوف
سعد, بيروت-دار الجيل، 1983م، الجزء الثالث، ص. 4)
"Inkar terhadap perkara yang munkar itu
ada empat tingkatan. Pertama : perkara yang munkar hilang dan digantikan oleh kebalikannya ( yang baik
atau ma’ruf); kedua : perkara munkar berkurang sekalipun tidak hilang secara
keseluruhan; ketiga : perkara munkar hilang digantikan dengan kemunkaran lain
yang kadar kemungkrannya sama. Keempat: perkara munkar hilang digantikan oleh
kemungkaran yang lebih besar. Dua tingkatan yang pertama diperintahkan oleh
syara’, tingkatan ketiga merupakan ranah ijtihad, dan tingkatan keempat
hukumnya haram". (Ibn Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi'in an Rabbi
al-‘Alamin, tahqiq: Thaha Abdurrouf
Saad, Bairut- Dar al-Gel, 1983. M, vol: III, h. 40)
(Sumber: Hasil Bahtsul Masail Diniyah Lembaga
Kesehatan NU tentang Penanggulangan HIV-AIDS/Red. Ulil H)
2.6.3 Hukum Musik Dalam Islam
Ternyata, banyak sekali ayat-ayat dalam
Al-Qur’an yang menerangkan akan hal ini. Satu di antaranya adalah:
Firman Allah ‘Azza wa jalla,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ
الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا
هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia ada orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan
Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu
akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Lukman: 6)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya
menjelaskan bahwasanya setelah Allah menceritakan tentang keadaan orang-orang
yang berbahagia dalam ayat 1-5, yaitu orang-orang yang mendapat petunjuk dari
firman Allah (Al-Qur’an) dan mereka merasa menikmati dan mendapatkan manfaat
dari bacaan Al-Qur’an, lalu Allah Jalla Jalaaluh menceritakan dalam ayat 6 ini
tentang orang-orang yang sengsara, yang mereka ini berpaling dari mendengarkan
Al-Qur’an dan berbalik arah menuju nyanyian dan musik.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu salah
satu sahabat senior Nabi berkata ketika ditanya tentang maksud ayat ini, maka
beliau menjawab bahwa itu adalah musik, seraya beliau bersumpah dan mengulangi
perkataannya sebanyak tiga kali.
Begitu juga dengan sahabat Abdullah bin Abbas
radhiyallahu ‘anhuma yang didoakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar
Allah memberikan kelebihan kepada beliau dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga
beliau dijuluki sebagai Turjumanul Qur’an, bahwasanya beliau juga mengatakan
bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nyanyian.3
Al-Wahidy berkata bahwasanya ayat ini menjadi
dalil bahwa nyanyian itu hukumnya haram.
Dan masih banyak lagi, ayat-ayat lainnya yang
menjelaskan akan hal ini.
Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengkabarkan kepada umatnya tentang musik?
Saudaraku, termasuk mukjizat yang Allah
Ta’ala berikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
pengetahuan beliau tentang hal yang terjadi di masa mendatang. Dahulu, beliau
pernah bersabda,
ليكونن من أمتي أقوام
يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف
”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang
menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.”
Saudaraku, bukankah apa yang telah dikabarkan
oleh beliau itu telah terjadi pada zaman kita saat ini?
Dan juga dalam hadis lain, secara
terang-terangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang
musik. Beliau pernah bersabda,
إني لم أنه عن البكاء ولكني نهيت عن صوتين
أحمقين فاجرين : صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير الشيطان وصوت عند مصيبة لطم وجوه
وشق جيوب ورنة شيطان
“Aku tidak melarang kalian menangis. Namun,
yang aku larang adalah dua suara yang bodoh dan maksiat; suara di saat nyanyian
hiburan/kesenangan, permainan dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi
musibah, menampar wajah, merobek baju, dan jeritan setan.”
Kedua hadis di atas telah menjadi bukti untuk
kita bahwasanya Allah dan Rasul-Nya telah melarang nyanyian beserta alat musik.
Sebenarnya, masih banyak bukti-bukti lain
baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun perkataan ulama yang menunjukkan akan
larangan dan celaan Islam terhadap nyanyian dan alat musik. Dan hal ini bisa
dirujuk kembali ke kitabnya Ibnul Qayyim yang berjudul Ighatsatul Lahafan atau
kitab-kitab ulama lainnya yang membahas tentang hal ini.
Setelah kita mengetahui ketiga dalil di atas, mungkin ada yang bertanya
di antara kita, lalu bagaimana dengan lagu-lagu yang isinya bertujuan untuk
mendakwahkan manusia kepada kebaikan atau nasyid-nasyid Islami yang mengandung
ajakan manusia untuk mengingat Allah? Bukankah hal itu mengandung kebaikan?
Maka kita jawab, ia benar. Hal itu mengandung kebaikan, tapi menurut
siapa? Jika Allah dan Rasul-Nya menganggap hal itu adalah baik dan menjadi
salah satu cara terbaik dalam berdakwah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam beserta para sahabat adalah orang-orang yang paling pertama kali
melakukan hal tersebut. Akan tetapi tidak ada satu pun cerita bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya melakukannya, bahkan mereka
melarang dan mencela hal itu.
Wahai saudaraku, perlu diketahui, bahwasanya nasyid Islami yang banyak
kita dengar sekarang ini itu, bukanlah nasyid yang dilakukan oleh para sahabat
Nabi yang mereka lakukan ketika mereka melakukan perjalanan jauh ataupun ketika
mereka bekerja, akan tetapi nasyid-nasyid saat ini itu merupakan budaya kaum
sufi yang mereka lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Mereka menjadikan hal ini sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, yang
padahal hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya, maka dari mana mereka mendapatkan hal ini?
Maka telah jelas bagi kita, bahwa kaum sufi tersebut telah membuat
syariat baru, yaitu membuat suatu bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta’ala
dengan cara melantunkan nasyid yang hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2.6.4 Hukum Bayi Tabung Menurut
MUI
Teknologi kedokteran modern semakin
canggih. Salah satu tren yang berkembang saat ini adalah fenomena bayi tabung.
Sejatinya, teknologi ini telah dirintis oleh PC Steptoe dan RG Edwards pada
1977. Hingga kini, banyak pasangan yang kesulitan memperoleh anak, mencoba
menggunakan teknologi bayi tabung.
Bayi tabung dikenal dengan istilah
pembuahan in vitro atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai in vitro
fertilisation. Ini adalah sebuah teknik pembuahan sel telur (ovum) di luar
tubuh wanita. Bayi tabung adalah salah satu metode untuk mengatasi masalah
kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil.
Prosesnya terdiri dari mengendalikan
proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan
oleh sel sperma dalam sebuah medium cair. Lalu bagaimanakah hukum bayi tabung
dalam pandangan Islam? Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama
di Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan
suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang
berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Namun, para ulama melarang penggunaan
teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang dititipkan di rahim
perempuan lain. "Itu hukumnya haram," papar MUI dalam fatwanya. Apa
pasal? Para ulama menegaskan, di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah
yang rumit dalam kaitannya dengan warisan.
Para ulama MUI dalam fatwanya juga
memutuskan, bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah
meninggal dunia hukumnya haram. "Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah
yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam hal
kewarisan," tulis fatwa itu.
Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung
yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami-istri yang sah? MUI
dalam fatwanya secara tegas menyatakan hal tersebut hukumnya haram. Alasannya,
statusnya sama dengan hubungan kelamin antarlawan jenis di luar penikahan yang
sah alias zina.
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah
menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang,
Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait
masalah bayi tabung: Pertama, apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam
rahim wanita tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi
tabung hukumnya haram.
Hal itu didasarkan pada sebuah hadis
yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dosa
yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan
perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim
perempuan yang tidak halal baginya."
Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut
milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya
juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara
yang tidak dilarang oleh syara'," papar ulama NU dalam fatwa itu.
Terkait mani yang dikeluarkan secara
muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113.
"Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan
beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri
memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang."
Ketiga, apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara
mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri
sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).
Meski tak secara khusus membahas bayi
tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa
terkait boleh tidak nya menitipkan sperma suami-istri di rahim istri kedua.
Dalam fatwanya, Majelis Tarjih dan Tajdid mengung kapkan, berdasarkan ijitihad
jama'i yang dilakukan para ahli fikih dari berbagai pelosok dunia Islam,
termasuk dari Indonesia yang diwakili Mu hammadiyah, hukum inseminasi buat an
seperti itu termasuk yang dilarang.
"Hal itu disebut dalam ketetapan
yang keempat dari sidang periode ke tiga dari Majmaul Fiqhil Islamy dengan
judul Athfaalul Anaabib (Bayi Tabung)," papar fatwa Majelis Tarjih PP
Muhammadiyah. Rumusannya, "cara kelima inseminasi itu dilakukan di luar
kandungan antara dua biji suami-istri, kemudian ditanamkan pada rahim istri
yang lain (dari suami itu) ... hal itu dilarang menurut hukum Syara'."
Sebagai ajaran yang sempurna, Islam selalu mampu menjawab berbagai masalah yang
terjadi di dunia modern saat ini.
2.6.5 Hukum BitCoin Dalam Islam
Para ulama berpendapat mengenai Bitcoin:
A. Beberapa ulama mengatakan bahwa bitcoin itu adalah alat tukar karena
telah memenuhi karakteristik dari alat tukar yaitu diterima oleh masyarakat
umum sebagai alat tukar sebagaimana definisi dari uang itu sendiri.
B. Bitcoin itu sebagai nilai dari aset atau barang.
C. Bitcoin sebagai standar barang.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa bitcoin itu belum memenuhi
unsur uang karena karateria pertama belum terpenuhi dimana bitcoin itu belum
diterima oleh masyarakat luas :
“النقد هو كل وسيط
للتبادل يلقي قبولا عاما مهما كان ذلك الوسيط وعلى أيّ حال يكون”
“Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang
menjadi media pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam
kondisi seperti apa pun media tersebut.” (Abdullah bin Sulaiman al-Mani‟,
Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami, Mekah: al-Maktab al-Islami, 1996, h. 178)
“النقد: ما اتخذ الناس ثمنا من المعادن
المضروبة أو الأوراق المطبوعة ونحوها، الصادرة عن المؤسسة المالية صاحبة الإختصاص”
“Naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga
(tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak
maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang
otoritas.” (Muhammad Rawas Qal‟ah Ji, al-Mu‟amalat al-Maliyah al-Mu‟ashirah fi
Dhau‟ al-Fiqh wa al-Syari‟ah, Beirut: Dar al-Nafa‟is, 1999, h. 23)
Sehingga kelompok pertama menyimpulkan bahwa bitcoin perlu ada
penjelasan atau analisa lebih lanjut tentang status bitcoin ini. Karena perlu
juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan pengaruh keberadaan bitcoin terhadap
ekonomi makro.
2. Berdasarkan penjelasan dan proses transaksi sebagaimana yang telah
disebutkan dalam sub judul apa itu bitcoin, maka berdasarkan potret dan
identifikasi tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
A. Bitcoin sebagai alat tukar yang tidak resmi itu ada unsur gharar:
“نهار رسول الله صلى لله عليه وسلم عن
الغرر”
“bahwa Rasulullah SAW melarang transaksi
gharar” dan sebagaimana juga standar syariah AAOIFI Bahrain yang melarang
transaksi gharar fahisy atau gharar berat.
Kalau kita telaah gharar yang terjadi dalam alat tukar bitcoin ini
adalah ketidakjelasan yang terjadi pada harga dan juga barang. Karena
seharusnya agar tidak terjadi gharar, maka baik harga ataupun barang baik
bitcoin yang menjadi harga beli ataupun bitcoin yang dijual itu memiliki nilai
yang jelas dan merefresentasikan aset sebagai alat tukar. Tetapi bitcoin yang
tidak diakui sebagai alat tukar tidak merefresentasikan sehingga tidak jelas
dan tidak diakui oleh masyarakat.
B. Jika jual-beli bitcoin itu masuk dalam kategori forex, jika memenuhi
syarat berikut:
– Jika terjadi transaksi antar sesama
bitcoin maka harus tunai dan sama serta tidak boleh ada kelebihan.
– Jika terjadi transaksi penukaran antara
bitcoin dengan mata uang lain, maka harus tunai. Dua ketentuan tersebut
berdasarkan hadits dari Ubadah bin Shamait.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا
بِيَدٍ
“Jika emas dijual dengan emas, perak
dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis
gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual
dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar
kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau
membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR.
Muslim).
Menurut fatwa DSN MUI Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya
boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya
harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar
(kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
2.7 Hikmah
Mempelajari Fiqih Kontemporer
1. Menjadi
pondasi dalam berijtihad
Para
Ulama emutuskan hukum syara’ atau perkara-perkara yang tidak ada dalilnya dalam
Al-quran dan Al-hadist. Tentunya dalam berijtihad tidak boleh dilakukan secara
sembarangan. Sebab nantinya hasil ijtihad ini akan digunakan oleh masyarakat
sebagai landasan hukum. Dengan demikian, pembentukan hukum islam bisa lebih
mendekati kebenaran.
2.
Menerapkan kaidah
islam secara benar
Pada
dasarnya, hukum ilmu fiqih bersumber pada Al-quran, hadist, ijma’ dan qiyas.
Seseorang yang sanggup mempelajari hal tersebut secara terperinci tentunya ia
akan memiliki pengetahuan luas terhadap dalil-dalil islam. Dengan demikian, ia
pun dapat menerapakan kaidah islam secara benar.
3.
Meningkatkan
keimanan
Mempelajari
ilmu fiqh kontemporer tidak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan saja, tapi
juga bisa meningkatkan keimanan. Semakin kita mendalami konsep Al-quran dan
Al-hadist maka iman tentu akan semakin kuat.
4.
Memperkuat
ketaqwaan
Selain
meningkatkan iman, mempelajari ushul fiqih juga memperkuat takwa. Kita semakin
mengetahui tentang dalil-dalil yang benar dan salah, mendalami tentang hukum
Allah Ta’ala. Dengan demikian, akan muncul rasa takut bila durhaka kepada
Allah. Hal ini bisa membuat ketaqwaan semakin meningkat.
5.
Meluruskan
penyimpangan-penyimpangan di masyarakat
Selanjutnya,
dengan mempelajari fiqh kontemporer bisa membantu mengatasi
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat pada masa kini.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Latar belakang munculnya isu Fiqh kontemporer yaitu akibat adanya arus
modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara- Negara yang dihuni oleh
mayoritas umat islam. Modernisasi tersebut melahirkan berbagai macam bentuk
perubahan baik secara struktural maupun kultural.
Dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqih kontemporer di masa akan
datang lebih komplit lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut
disebabkan arus perkembangan zaman yang berdampak kepada semakin terungkapnya
berbagai persoalan umat manusia, baik hubungan antara sesama maupun dengan
kehidupan alam sekitarnya.Kompleksitas masalah tersebut tentunya akan
membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama. Disinilah letak
betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqih kontemporer
tersebut, yang tidak lain bertujuan untuk menjaga keutuhan nilai ketuhanan,
kemanusiaan dan kealaman, terutama yang menyangkut dengan aspek lahiriyah
kehidupan manusia di dunia ini.
Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai perubahan, tetapi pemahaman dan
penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena
perubanhan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara
terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran islam juga harus
bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian islam akan tetap relevan dan
aktual, serta mampu menjawab tantangan modernitas.
3.2
Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari
kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan
tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya
dapat di pertanggung jawabkan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://fazarsodik.blogspot.co.id/2016/03/makalah-problematika-fiqih-kontemporer.html
http://diyahhalimatusadiya.blogspot.co.id/2013/05/fiqh-kontemporer.html
https://muamalatku.com/halal-haram-hukum-bitcoin-dalam-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar