MENGENAL RIBA,
GHARAR, TADLIS DAN MAYSIR
Seiring
dengan berjalannya waktu maka globalisasi pun kini hadir di tengah masyarakat
kita, globalisasi ini melahirkan berbagai sistem tatanan hidup yang semakin
berkembang, teknologi yang semakin canggih, dan gaya hidup masyarakat yang
semakin modern.
Dengan kecanggihan
teknologi maka banyak dampak positif yang di dapat oleh masyarakat, namun sisi
negatif pun tetap mengiringi perjalanan dari sebuah kemajuan teknoligi.
Terdapat
berbagai kemajuan dalam gaya hidup masyarakat modern mulai dari gaya hidup
menabung yang sudah beralih ke bank-bank konvensional,cara menjual dan membeli
barang yang haram, hal ini memiliki dampak yang negatif yang sangat
dikhawatirkan oleh setiap umat karena bertentangan dengan al-quran dan sunnah.
Sistem bunga
yang ada di bank konvensional, jual beli barang yang tidak jelas, gaya hidup
yang suka berjudi, dan penipuan yang marak terjadi di tengah masyarakat saat
ini sungguh menjadi hal yang patut di perangi.
Salah
satu cara nya adalah dengan mensosialisasikan apa saja hal-hal yang
bertentangan itu. Mulai dari menjelaskan sistem bunga yang ada di bank itu
seperti apa, jual beli apa saja yang diperbolehkan dan diharamkan dalam islam,
hingga mengapa berjudi dan riba itu diharamkan, permasalahan seperti ini patut
untuk dijelaskan kepada masyarakat agar mereka mengetahui dan sadar akan imbas
negatif yang akan didapat.
A. RIBA
1.
Pengertian Riba
Riba dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai bunga uang. Ada banyak sekali
literatur yang memberikan arti dari riba. Secara sederhana, kita dapat
mengartikan riba sebagai tambahan pendapatan yang tidak sah. Kamus Besar Bahasa
Indonesia menyatakan pengertian riba sebagai pelepas uang, lintah darat, bunga
uang, dan rente. Sedangkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah disebutkan bahwa:
“riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas,
dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima
melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah)”.
Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syariah mengatakan bahwa: “riba
adalah tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara
batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam”.[1]
Defenisi riba yang banyak digunakan dalam literature ekonomi syariah adalah
defenisi yang dirumuskan oleh Imam Sarakhsi sebagai berikut
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”[2]
2.
Hukum Riba
Riba diharamkan dalam semua agama samawi. Riba
dilarang dalam Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dalam perjanjian lama disebutkan ,
“Jika
engkau meminjamkanuang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin
diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih utang
terhadapnya. Janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya,” (keluaran 22:25)
Dalam perjanjian lama juga disebutkan,
”Apabila
saudaramu membutuhkan maka pikullah dia. Janganlah kamu meminta keuntungan atau
manfaat darinya.” (lewi 25: 35)
Hanya saja orang-orang Yahudi memandang tidak
adanya penghalang untuk mengambil riba dari selain orang Yahudi, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 23 ayat 20 dari kitab Ulangan.
Dan Al-Qur’an telah membantah pandangan mereka
ini. Dalam surah an-Nisa’, Allah swt. Berfirman,
“....dan karena
mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya...”(an-Nisa’[4]: 161)
Dalam perjanjian baru disebutkan,
“dan jikalah kamu
meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu
darinya, apakah jasamu?” (lukas 6: 34)
“Tetapi kamu,
kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar.” (Lukas 6: 35)
Para tokoh gereja menyepakati pengraman riba
secara tegas dengan bersandar pada
nash-nash ini.
Al-Qur’an berbicara tentang riba dalam beberapa
tempat sesuai dengan urutan waktu. Pada periode Mekah, turunlah firman Allah
swt.
“Dan sesuatu riba(tambahan) yagng jamu berikan agar harta manusia
bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan, apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
Pada periode Madinah, turunlah pengharaman riba
secara jelas dalam firman Allah swt.,
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ҕB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”(Ali ‘imran [3]:
130)
Dan, ayat yang dengannya penyariatan ditutup
adalah firman Allah swt.
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râ‘sŒur $tB u’Å+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷s•B ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qß™u‘ur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ‘ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba(yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak
melaksanakannya, maka umumkan perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu
bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim
(merugikan)dan tidak di zalimi(dirugikan).” (Al-Baqarah [2]: 278-279)
Ayat ini adalah bantahan yang tegas bagi orang
yag mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali apabila berlipat ganda karena
Allah tidak membolehkan selain pengembalian pokok harta tanpa tambahan. Dan,
ini adalah ayat terakhir yang diturunkan berkaita dengan perkara ini.
Allah melaknat semua orang yang terlibat dalam
akad riba Allah melaknat kreditor(pemberi utang) yang mengambil riba,
debitor(pemilik utang) yang memberikan riba, juru tulis yang menulis riba, da
dua saksi yang menyaksikan riba.[3]
Selain dalam Al-Qur’an,
larangan melakukan riba juga diatur dalam hadits Nabi Muhammad SAW seperti yang
diriwayatkan kembali oleh Ubadah bin Samit yang terdapat dalam Abu Daud hadits
nomor 3343 dan dalam At-Tirmidzi hadits nomor 2819, seperti yang ditulis oleh
Rizal Yaya dkk. dalam bukunya Akuntansi Perbankan Syariah, yang isinya sebagai
berikut:
“Emas dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung
gandum dengan tepung gandum dalam ukuran yang sama. Jika seseorang memberi
lebih atau meminta lebih, ia telah berhubungan dengan riba. Tetapi tidak
diharamkan penjualan emas dengan perak dan perak dengan emas dalam berat yang
tidak sama. Pembayaran dilakukan pada saat itu juga dan janganlah menjual jika
dibayar belakangan. Dan tidak diharamkan menjual gandum dengan tepung gandum
dan tepung gandum (dengan gandum) dalam ukuran yang berbeda, pembayaran
dilakukan pada saat itu. Jika pembayaran dilakukan kemudian, janganlah
menjualnya.”
3.
Jenis-Jenis Riba
Berdasarkan ayat suci Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW, kita bisa
mengkategorikan riba, berdasarkan cara terjadinya, menjadi dua jenis yaitu:
·
Riba akibat jual-beli
Riba akibat jual beli dapat kita bagi menjadi dua bagian yaitu:
1)
Riba fadl, disebut juga riba buyu’ yaitu riba yang terjadi
akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya
(mistlan bi mistlin), sama
kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan
sama waktu penyerahannya (yadin bi yadin).
Contoh : menukar
emas seberat 15 gram dengan emas 17 gram; atau menukar emas 15 gram dengan 15
gram emas tidak tunai. Pertukaran sejenis yang tidak sama waktu penyerahannya
selain menimbulkan riba juga mengandung gharar
karena mengandung unsur ketidakjelasan wujud barang yang ditukarkan.
2)
Riba nasi’ah, disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat
utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama risiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha
muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman).
Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan
atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang
ribawi lainnya. Riba nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang
diserahkan hari ini dan barang yang diserahkan kemudian.
Contoh riba nasi’ah dapat kita lihat pada transaksi
bank konvensional, di mana bank sebagai pemberi pinjaman atau kreditur
menetapkan jumlah tertentu sebagai bunga atas uang yang dipinjamkannya kepada
debitur yang sifatnya tetap padahal nasabah yang meminjam atau debitur belum
tentu memperoleh keuntungan dengan jumlah yang tetap, karena bisnis selalu ada
kemungkinan untung atau rugi.
·
Riba akibat utang-piutang.
Riba akibat utang-piutang dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1)
Riba qardh yaitu suatu manfaat
atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Riba
qardh ini adalah jenis riba yang terjadi pada umumnya dalam kehidupan
sehari-hari, dimana atas utang yang dimiliki si peminjam, diharuskan membayar
sejumlah tertentu yang disebut bunga sebagai balas jasa atas uang yang
dipinjamnya.
2)
Riba jahiliyyah. Menurut buku
pintar ekonomi syariah, ada dua pengertian riba
jahilliyyah, yang pertama adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok
pinjaman karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu
yang telah ditetapkan. Pengertian yang kedua adalah utang yang dibayar melebihi
dari pokok pinjaman karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman
pada waktu yang telah ditetapkan. Riba jahiliyyah dilarang karena pelanggaran
kaedah kullu qardin jarra manfaah fahuwa
riba (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi
penundaan waktu penyerahannya, riba
jahiliyyah tergolong riba nasi’ah,
dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong riba fadl.
Contoh riba jahiliyyah pada perbankan
konvensional dapat dilihat dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit
yang tidak dibayar penuh pada saat jatuh tempo penagihannya.
Pelaksanaan riba terjadi pada hampir semua kegiatan perbankan dan lembaga
keuangan konvensional. Pada saat kita menabung, membuka deposito, meminjam dana
dari bank bunga yang dibayarkan atau yang diterima oleh nasabah merupakan contoh riba nasi’ah. Riba fadl dapat
kita lihat pada transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara
tunai. Sedangkan riba jahiliyyah
dapat kita lihat pada transaksi pembayaran bunga atas tagihan kartu kredit yang
tidak dibayar seluruhnya pada saat jatuh tempo.
Walaupun jelas-jelas riba itu dilarang oleh berbagai agama, tetapi praktik
riba sangat marak di dalam perekonomian dunia. Riba terjadi hampir dalam semua
transaksi keuangan. Dilarangnya riba oleh Tuhan tentu karena praktik riba itu
tidak baik bagi kehidupan manusia, bahkan akan menyebabkan kehancuran umat
manusia seperti yang sudah pernah terjadi pada jaman krisis ekonomi global (great depression) baik tahun 1930-an
maupun pada tahun 2008 yang lalu yang disebabkan maraknya praktik riba, maysir,
dan gharar dalam perekonomian dunia pada saat itu. Jadi dapat disimpulkan bahwa
praktik riba yang terjadi saat ini berdampak secara negatif baik terhadap
perekonomian maupun terhadap sosial masyarakat.
Demi kesejahteraan bersama umat manusia, Islam menawarkan solusi atas semua
permasalahan perekonomian yang diakibatkan oleh riba yang tentunya sesuai
dengan syariat yaitu sistem bagi hasil. Dengan sistem bagi hasil ini, pemberi
pinjaman dan peminjam akan sama-sama diuntungkan.[4]
Perbedaan antara sistem riba dengan bagi hasil dapat disarikan sbb:
Riba |
Bagi Hasil |
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung |
Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi |
Besarnya persentase bunga didasarkan pada jumlah uang yang ditanamkan/
dipinjamkan |
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan atau
pendapatan usaha yang diperoleh |
Pembayaran bunga adalah tetap, seperti yang dijanjikan, tanpa
pertimbangan apakah usaha yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau
rugi. |
Bagi hasil tergantung pada keuntungan atau pendapatan usaha yang
dijalankan. Bila usaha mengalami kerugian. Kerugian akan ditanggung bersama
oleh kedua belah pihak. |
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkatkan jumlah keuntungan berlipat
atau keadaan ekonomi sedang booming dan juga tidak menurun ketika usaha
merugi |
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan dan bisa menurun ketika usaha merugi |
4.
Hikmah Diharamkannya Riba
a.) Riba menimbulkan
permusuhan dan menghancurkan ruh tolong menolong diantara manusia. Sementara
semua agama, terutama islam, menyeru kepada tolong-menolong dan altruisme,
serta membenci egoisme dan eksploitasi jerih payah orang lain.
b.) Riba mengakibatkan
terciptanya kelas borjuis yang tidak bekerja sedikitpun, sebagaimana
mengakibatkan penumpukan harta di tangan mereka tanpa ada usaha yang mereka
kerahkan, sehingga mereka menjadi seperti tumbuhan parasit yang tumbuh di atas
tumbuhan lain. Sementara islam menggunakan kerja, memuliakan para pekerja, dan
menjadikan kerja sebagai sarana terbaik untuk memperoleh penghasilam karena
dapat menciptakan keterampilan dan meninggikan spirit dalam diri seseorang.
c.) Riba adalah sarana
imperialisme. Oleh karena itu, dikatakan bahwa imperialisme berjalan dibelakang
pedagang dan pendeta. Kita pun telah melihat riba dan pengaru-pengaruhnya dalam
penjajah negeri kita.[5]
d.) Riba adalah bencana besar serta malapetaka
yang menghancurkan masyarakat. Ia ibarat penyakit ironis dan bakteri yang
mematikan. Sehingga, seseorang yang mngambil riba,dengan seketika ia akan
mnjadi miskin, terjerat dalam kesusahan, dan tergolek dalam kehinaan.[6]
B. GHARAR
1.
Pengertian Gharar
Menurut bahasa
Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan). Sehingga Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul
al-‘aqibah). Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah
(pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori
perjudian.
Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan dapat dikatakan bahwa
gharar adalah jual-beli yang mengandung usur-unsur penipuan dan pengkhianatan,
baik karena ketidajelasan dalam objek jual-beli atau ketidakpastian dalam cara
pelaksanaannya.[7]
Dalam syari’at Islam, jual beli /gharar ini terlarang dengan dasar sabda Rasulullah SAW dalam hadits Abu
Hurairah yang berbunyi:
“Rasulullah SAW melarang jual beli al-hashah
dan jual beli gharar.”
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur
memakan harta orang lain dengan cara batil padahal Allah melarang memakan harta
orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ô‰è?ur !$ygÎ/ ’n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 `ÏiB$Z)ƒÌsùô ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
“Dan janganlah kamu makan
harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap
dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan
sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah 2: 188).
Sedangkan jula-beli gharar, menurut
keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti
menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak
buahnya, dan jual beli al-hashah,
seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an.
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar
sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari
ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan:
“Larangan jual beli gharar merupakan
pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya
di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak,
tidak terhitung.”
2.
Jenis-Jenis Gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual beli gharar yang
diharamkan bisa ditinjau dari tiga sisi, yaitu:
1)
Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al
habalah (janin dari hewan ternak).
2) Jual beli barang yang tidak jelas (majhul),
baik yang mutlak, seperti pernyataan seseorang: “Saya menjual barang dengan
harga seribu rupiah,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau
seperti ucapan seseorang: “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga
sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga
karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “Aku jual tanah
kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
3) Jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan. Seperti jual beli budak
yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri. Ketidakjelasan ini juga terjadi
pada harga, barang dan pada akad jual belinya.
Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya,
seperti segenggam dinar. Sedangkan ketidakjelasan pada barang, yaitu
sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun ketidakjelasan pada akad, seperti
menjual dengan harga 10 dinar bila kontan dan 20 dinar bila diangsur, tanpa
menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Selain gharar
yang diharamkan, ada pula gharar yang
diperbolehkan atau dimaafkan. Ibnul Qayyim juga mengatakan: “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar,
apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi
penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidakjelasan)
yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah
terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas
darinya. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak
sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.”
Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang
diperbolehkan adalah gharar yang ringan, atau gharar-nya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan
kesulitan. Oleh karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang
ada ghararnya apabila ada hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin
melepasnya kecuali dengan susah, atau ghararnya ringan.
Di luar gharar
yang diharamkan dan yang diperbolehkan, terdapat gharar yang masih diperselisihkan para ulama. Para ulama sepakat
tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda
dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka,
diantaranya Imam Malik, memandang gharar-nya
ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual,
sehingga memperbolehkannya. Sebagian yang lain, di antaranya Imam Syafi’i dan
Abu Hanifah, memandang gharar-nya
besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya sehingga mengharamkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim
menguatkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan:
“Dalam permasalahan ini, madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan
melakukan jual beli perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit gharar-nya, sehingga memperbolehkan
jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan
sebagainya”. Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual beli yang tidak tampak din permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena gharar-nya ringan dan tidak mungkin
dilepas.[8]
- TADLIS
- Pengertian
Tadlis
Tadlis (Unknown to One Party) Kondisi
ideal dalam pasar adalah apabila penjual dan pembeli mempunyai informasi yang
sama tentang barang akan diperjualbelikan. apabila salah satu pihak tidak
mempunyai informasi seperti yang dimiliki oleh pihak lain, maka salah satu
pihak lain, maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi
kecurangan/penipuan.
2.
Macam-macam Tadlis
·
Tadlis dalam Kuantitas Tadlis (penipuan)
dalam kuantitas termasuk juga kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan
harga barang kuntitas banyak. Misalnya menjual baju sebanyak satu container
karena jumlah banyak dan tidak mungkin untuk menghitung satu persatu penjual
berusaha melakukan penipuan dengan mengurangi jumlah barang yang dikirim kepada
pembeli. Perlakuan penjual yang tidak jujur selain merugikan pihak penjual juga
merugikan pihak pembeli. Apapun tindakan penjual maupun pembeli yang tidak
jujur akan mengalami penurunan utility.
·
Tadlis dalam Kualitas Tadlis (penipuan)
dalam kualitas termasuk juga menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang
buruk yang tidak sesuai dengan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Contoh
tadlis dalam kualitas adalah pada pasar penjualan computer bekas. Pedagang
menjual computer bekas denagn kualifikasi Pentium III dalam kondisi 80% baik
dengan harga Rp. 3.000.000,- pada kenyataanya tidak semua penjual menjual
computer bekas dengan kualifikasi yang sama. Sebagian penjual menjual computer
dengan kualifikasi dengan kualifikasi yang lebih rendah tetapi menjualnya
dengan harga yang sama, pembeli yidak dapat membedakan mana computer denagn
kualitas rendah mana computer dengan kulaitas yang lebih tinggi, hanya penjual
saja yang mengetahui dengan pasti kualifikasi computer yang dijualnya.
·
Tadlis dalam Harga Tadlis (penipuan) dalam
harga ini termasuk menjual harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga
pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual. Telah terjadi di zaman
Rasulullah SAW terhadap tadlis dalam harga yaitu: diriwayatkan oleh Abdullah
Ibnu Umar “ kami pernah keluar mencegat orang-orang yang datang membawa hasil
panen mereka dari luar kota, lalu kami mmembelinya dari mereka. Rasulullah SAW
melarang kami membelinya sampai nanti barang tersebut dibawa kepasar”.[9]
3.
Diharamkannya Tadlis
·
Berdasarkan Firman Allah SWT
Al-Qur’an Surat al-An’am ayat 152:
(#qèù÷rr&ur......... Ÿ@ø‹x6ø9$# tb#u”ÏJø9$#ur ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿw ß#Ïk=s3çR $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèó™ãr ( ...
“...dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil, kami tidak memikul beban kepada seseorang melainkan
sekadar kesanggupannya”.
·
Berdasarkan hadits
-
“Orang muslim
adalah bersaudara. Tidak halal bagi seseorang menjual barang yang cacat kepada
saudaranya, tanpa menerangkan cacat benda itu”. (H.R. Ahmad).
-
“Barang siapa
menjual barang yang ada cacatnya, tetapi tidak diterangkannya kepada pembeli,
maka ia senantiasa dalam kebencian Allah, dan malaikat senantiasa mengutuknya
(H.R. Ibnu Majah)[10]
D.
MAYSIR
1.
Pengertian Maysir
Kata maysir dalam arti harfiahnya adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Oleh
karena itu disebut berjudi. Prinsip berjudi itu adalah terlarang, baik itu
terlibat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan
sama sekali. Dalam berjudi kita menggantungkan keuntungan hanya pada
keberuntungan semata, bahkan sebagian orang yang terlibat melakukan kecurangan,
kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan
suatu kesempatan. Kata azlam dalam bahasa arab yang di gunakan dalam Al
Qur’an juga berarti praktek perjudian.
Sementara itu maysir, menggunakan segala bentuk harta dengan maksud
untuk memperoleh suatu keuntungan misalnya , lotre, bertaruh, atau berjudi dan
sebagainya. Judi pada umumnya dan penjualan undian khususnya (azlam) dan
segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk
perjudian adalah haram dalam Islam.
Dalam peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 dalam penjelasan
pasal 2 ayat 3 menjelaskan bahwa maysir
adalah transaksi yang mengandung perjudian, untung-untungan
atau spekulatif yang tinggi.
Beberapa dalil yang menjelaskan keharaman berjudi adalah sebagai berikut :
* y7tRqè=t«ó¡o„ ÇÆtã ÌôJy‚ø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 ... ÇËÊÒÈ
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan maysir.
Katakanlah, ”Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya….” ( QS
Al-Baqarah 2:219).
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9ø—F{$#ur Ó§ô_Í‘ ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø‹¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, maysir,
(berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung” (QS Al-Maidah 5:90).
Ayat-ayat tersebut secara tegas menunjukkan keharaman judi. Selain judi itu
rijs yang berarti busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga
sangat berdampak negatif pada semua aspek kehidupan. Mulai dari aspek ideologi,
politik, ekonomi, sosial, moral, sampai budaya. Bahkan, pada gilirannya akan
merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sebab setiap perbuatan
yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka.
Selain itu di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) pasal 303 ayat
3, ditegaskan bahwa “permainan judi ialah permainan yang kemungkinan mendapat
untung tergantung pada peruntungan belaka, juga apabila kemungkinan itu makin
besar karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir”.
Dari beberapa dalil di atas maka para ulama sepakat bahwa perjudian
adalah haram. Akan tetapi, mereka terkadang berbeda pendapat apakah sebuah
produk yang diciptakan itu mengandung unsur maysir ataukah tidak.
- Maysir dalam Bisnis
Modern
Bisnis modern sekarang ini banyak sekali mengandung tiga unsur yang sangat
dilarang dalam perekonomian Islam, yakni riba,
maysir dan gharar. Hal ini
terjadi tidak lepas dari keinginan pelaku bisnis untuk mendapatkan keuntungan
yang besar, cepat dan mudah.
Berikut ini sebuah contoh maysir dalam bisnis modern yang kami
dapatkan dari sebuah artikel mengenai maysir yaitu pada industri
asuransi. Suatu penyelidikan sementara terhadap bisnis asuransi konvensional
menunjukkan bahwa asuransi tersebut sangat menyerupai perjudian dan
perusahan-perusahan asuransi sama halnya dengan ‘bank taruhan’ karena menerima
premi dari peserta asuransi, membayar klaim kerugian resiko atau kematian pada
penderita. Dan sejumlah ahli ekonomi telah menyatakan bahwa asuransi konvensional
adalah suatu bentuk perjudian atau spekulasi. Oleh karena itu, asuransi
konvensional tidak dapat dianggap sebagai aktivitas yang berlatar belakang
kerja sama.
Kontrak asuransi
mempunyai mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut:
- Adanya sejumlah pembayaran dari peserta asuransi kepada perusahaan
asuransi.
- Kesanggupan membayar sejumlah keuntungan yang belum pasti dari
perusahaan asuransi kepada peserta asuransi.
- Peristiwa yang dimaksud bersifat tidak pasti, jumlah kerugian yang
dialami juga tidak diketahui jumlahnya.
Mohd. Fadzli Yusof menjelaskan bahwa unsur maysir dalam asuransi
konvensional terjadi karena di dalamnya terdapat faktor gharar, beliau mengatakan: “adanya unsur al-maysir
(perjudian) akibat adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi
jiwa. Apabila pemegang asuransi jiwa meninggal dunia, sebelum akhir periode
polis asuransi, namun telah membayar sebagian preminya, maka tertanggungnya
akan menerima sejumlah uang tertentu. Bagaimana cara memperoleh uang dan dari
mana asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal inilah yang
dipandang sebagai al-maysir (perjudian) dalam asuransi konvensional”.
Syafi`i Antonio menjelaskan tentang maysir dalam asuransi konvensional
sebagai berikut: Maysir adalah suatu
bentuk kesepahaman antara beberapa pihak, namun ending yang dihasilkan
hanya satu atau sebagian kecil saja yang diuntungkan. Maysir (gambling/untung-untungan) dalam asuransi konvensional
terjadi dalam tiga hal:
- Ketika seorang pemegang polis mendadak kena musibah sehingga
memperoleh hasil klaim, padahal baru sebentar menjadi klien asuransi dan
baru sedikit membayar premi. Jika ini terjadi, nasabah diuntungkan.
- Sebaliknya jika hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu,
sementara ia sudah membayar premi secara penuh/lunas, maka perusahaanlah
yang diuntungkan.
- Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan
kontraknya sebelum masa reserving period, maka yang bersangkutan
tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan (cash value)
kecuali sebagian kecil saja, bahkan uangnya dianggap hangus.[11]
KESIMPULAN
- Riba
diharamkan dalam semua agama samawi. Riba dilarang dalam Yahudi, Nasrani,
dan Islam.
- Allah
melaknat semua orang yang terlibat dalam akad riba Allah melaknat
kreditor(pemberi utang) yang mengambil riba, debitor(pemilik utang) yang
memberikan riba, juru tulis yang menulis riba, da dua saksi yang
menyaksikan riba.
- Riba menimbulkan permusuhan dan menghancurkan ruh tolong menolong
diantara manusia. Sementara semua agama, terutama islam, menyeru kepada
tolong-menolong dan altruisme, serta membenci egoisme dan eksploitasi
jerih payah orang lain.
- Gharar adalah jual beli yang memuat ketidaktahuan atau memuat
pertaruhan da perjudian, syariat telah melarang dan mecegahnya.
- Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar
sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber
dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya
- Tadlis adalah kecurangan atau penipuan, karena dalam berjual beli ada
salah satu pihak yang tidak mendapatkan informasi mengenai suatu barang
yang diperjual belikan.
- Prinsip berjudi itu adalah terlarang, baik itu terlibat secara
mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama
sekali. Dalam berjudi kita menggantungkan keuntungan hanya pada
keberuntungan semata, bahkan sebagian orang yang terlibat melakukan
kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau
menghilangkan suatu kesempatan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jarawi,Ali
Ahmad,2006, Indahnya syarit islam,Jakarta:Gema
Insani
Akun, Ari. 2010. Larangan
Terhadap Transaksi yang Diharamkan Sistem Dan Prosedur Perolehan Keuntungannya. AKUNTANSI SYARIAH, (online), (http://susiari-n10tangsel.blogspot.com/2010/06/larangan-terhadap-transaksi-yang_30.html,
diakses 25
Maret 2015 11.18)
Kareinadesu, Nida. 2009. Tadlis dan Ghisy. Nida’ Ekonom Rabbani, (online), (http://nidaekonomrabbani.blogspot.com/2013/01/tadlis.html, diakses 25 Maret 2015
10.06)
Maxzhum. 2009. Distorsi Pasar
Dalam Islam. Tentang
Ekonomi Islam, (online), (http://masmashum.students.uii.ac.id/2009/06/11/distorsi-pasar-menurut-perspektif-islam/, diakses 25 Maret 2015
10.37)
Permadi, Kangmas
Galih. 2011. Riba, Maysir, dan
Gharar. KangmasGalihPermadi, (online), (http://kangmasgalihpermadi.blogspot.com, diakses 25 Maret 2015 11.21)
Sabbiq,sayyid,2013,Fiqh Sunnah, Jakarta:PT. Tinta Abadi Gemilang
Syamhudi, Abu Asma
Kholid. 2010. Jual Beli Gharar.
Al Manhaj : Berjalan di atas
as-salafus-shalih,
(online), (http://almanhaj.or.id, diakses 25 Maret
Syarifuddin, Amir.
2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta:
Prenada Media
[1] Permadi,
Kangmas Galih, “Riba,
Maysir, dan Gharar”, KangmasGalihPermadi, diakses dari
http://kangmasgalihpermadi.blog spot.com/2011, pada tanggal 25 Maret 2015 11.21
[2] Akun, Ari, “LARANGAN
TERHADAP TRANSAKSI YANG DIHARAMKAN SISTEM DAN PROSEDUR PEROLEHAN KEUNTUNGANNYA”, AKUNTANSI
SYARIAH, diakses dari http://susiari-n10tangsel.blogspot.com/2010/06/larangan-terhadap-transaksi-yang_30.html
pada tanggal 25 Maret 2015 11.18
[3] Sabbiq
sayyid,fiqh sunnah ,cetakan
II,(Jakarta Timur,PT.Tinta Abadi Gemilang,2013) hal 103-105
[4] Op. cit
[5] Sabbiq
sayyid,fiqh sunnah ,cetakan
II,(Jakarta Timur,PT.Tinta Abadi Gemilang,2013) hal. 106-107
[6]
Al –jarawi ali ahmad, Indahnya syarit
islam,(Jakarta,Pustaka Al-Husna,2006), hal.439
[7]
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh,
(Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm 201
[8] Syamhudi,
Abu Asma Kholid, “Jual Beli Gharar”, Al Manhajj :berjalan di atas as-salafus-salih,
diakses dari http://almanhaj.or.id/2010 pada tanggal 25 Maret 2015 11.05.
[9] Maxzhum, “Distorsi Pasar
Dalam Islam”, Tentang Ekonomi Islam, diakses dari http://masmashum.students.uii.ac.id/2009/06/11/distorsi-pasar-menurut-perspektif-islam/
pada tanggal 25
Maret 2015 10.37
[10] Kareinadesu,
Nida, “Tadlis dan Ghisy”,
Nida’ Ekonom Rabbani, diakses dari http://nidaekonomrabbani.blogspot.com/2013/01/tadlis.html
pada tanggal 25
Maret 2015 10.06
[11] Permadi,
Kangmas Galih, “Riba,
Maysir, dan Gharar”, KangmasGalihPermadi, diakses dari http://kangmasgalihpermadi.blogspot.com/2011,, pada tanggal 25 Maret 2015 11.21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar