BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam Era
Globalisasi saat ini banyak terdapat sistem peniagaan salah satunya adalah
sistem Multi Lever Marketing (MLM). Pelbagai pendapat dari para ilmuan dan
ulama’ Islam telah dikeluarkan. Ada yang berpendapat MLM adalah haram dan ada
yang berpendapat sebaliknya. Masing-masing mengeluarkan uraian dan hujah
tersendiri. Dalam makalah ini menjelaskan berkenaan tentang pemasaran MLM menurut perspektif Islam dan
konvensional, sehingga kita mampu
membuat kesimpulan berkenaan tentang hukum MLM dalam Perspektif Islam.
1.2 Maksud Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dalam pembuatan makalah
ini adalah selain membuka wawasan kita tentang bagaimana Multi Level Marketing
dijalanakan dan bagaimana perdagangan Islam terhadap sistem Multi Level
Marketing itu, sehingga kita dapat menilai sistem perdagangan dengan sistem
Multi Level Marketing sesuai atau tidak dengan Syariah Islam .
1.3 Rumusan
Masalah
- Bagaimana sistem MLM itu?
- Bagaimana MLM dalam hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Multi Level Marketing
MLM adalah sistem penjualan yang
memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung. Sistem
penjualan ini menggunakan beberapa level (tingkatan) di dalam pemasaran barang
dagangannya.
Promotor (upline) adalah anggota yang
sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan bawahan (downline)
adalah anggota baru yang mendaftar atau direkrut oleh promotor. Akan tetapi,
pada beberapa sistem tertentu, jenjang keanggotaan ini bisa berubah-ubah sesuai
dengan syarat pembayaran atau pembelian tertentu.
Komisi yang diberikan dalam pemasaran
berjenjang dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi yang
otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan
mendapatkan bagian komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan
bawahan. Harga barang yang ditawarkan di tingkat konsumen adalah harga produksi
ditambah komisi yang menjadi hak konsumen karena secara tidak langsung telah
membantu kelancaran distribusi.
Untuk menjadi keanggotaan MLM, seseorang
biasanya diharuskan mengisi formulir dan membayar uang dalam jumlah tertentu
dan kadang diharuskan membeli produk tertentu dari perusahaan MLM tersebut.
Tetapi kadang ada yang tidak mensyaratkan untuk membeli produk tersebut.
Pembayaran dan pembelian produk tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan point
tertentu.
Kadang point bisa didapatkan oleh anggota
jika ada pembelian langsung dari produk yang dipasarkan, maupun melalui
pembelian tidak langsung melalui jaringan keanggotaan. Tetapi kadang point bisa
diperoleh tanpa pembelian produk, namun dilihat dari banyak dan sedikitnya
anggota yang bisa direkrut oleh orang tersebut, yang sering disebut dengan
pemakelaran.
2.2 MLM dalam Hukum Islam
Pakar marketing ternama Don
Failla, membagi marketing menjadi tiga macam. Pertama, retail (eceran), Kedua, direct selling (penjualan langsung ke konsumen),
Ketiga multi level marketing (pemasaran berjenjang melalui jaringan distribusi
yang dibangun dengan memposisikan pelanggan sekaligus sebagai tenaga
pemasaran).
Kemunculan trend-strategi
pemasaran produk melalui sistem MLM di dunia bisnis modern sangat menguntungkan
banyak pihak, seperti pengusaha (baik produsen maupun perusahaan MLM).Hal ini
disebabkan karena adanya penghematan biaya dalam iklan, Bisnis ini juga
menguntungkan para distributor yang berperan sebagai simsar (Mitra Niaga) yang
ingin bebas (tidak terikat) dalam bekerja.
Sistem marketing MLM yang lahir
pada tahun 1939 merupakan kreasi dan inovasi marketing yang melibatkan
masyarakat konsumen dalam kegiatan usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat
konsumen dapat menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat
finansial dalam bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji dan umrah, perlindungan
asuransi, tabungan hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan. (Ahmad
Basyuni Lubis, Al-Iqtishad, November 2000).
a.Perspektif Islam
Bisnis dalam syari’ah Islam pada
dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh berdasarkan
kaedah Fiqh,”Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala
tahrimiha (Pada dasarnya segala hukum dalam muamalah adalah
boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya).
Islam memahami bahwa perkembangan
budaya bisnis berjalan begitu cepat dan dinamis. Berdasarkan kaedah fikih di
atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan
berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam
melakukan perdagangan.
Namun, Islam mempunyai
prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari
unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm ( merugikan atau
tidak adil terhadap salah satu pihak). Sistem pemberian bonus harus adil, tidak
menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas. Bisnis juga harus
terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan
dari lima unsur. 1, Maysir (judi), 2. Aniaya (zhulm), 3. Gharar (penipuan), 4.
Haram,5, Riba (bunga), 6. Iktinaz atau Ihtikar dan 7. Bathil.
Kalau kita ingin mengembangkan
bisnis MLM, maka ia harus terbebas dari unsur-unsur di atas. Oleh karena itu,
barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal,
tidak haram dan tidak syubhat serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syari’ah di atas.
MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat
(levelisasi) mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai
Islam dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila demikian, MLM
dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah. Menurut
Muhammad Hidayat, Dewan Syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan
Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam
pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari
sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat di
terima oleh masyarakat kebanyakan. (Lihat, Azhari Akmal Tarigan, Ekonomi dan
Bank Syari’ah, FKEBI IAIN, 2002, hlm. 30)
Bisnis yang dijalankan dengan
sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga
jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan
imbalan berupa marketing fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung
prestasi, dan level seorang anggota. Jasa marketing yang bertindak sebagai
perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam hal ini
disebut Samsarah / Simsar. (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid II, hlm 159)
Kegiatan samsarah dalam bentuk
distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam
akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan,
insentif atau bonus (ujrah) Semua ulama membolehkan akad seperti ini (Fikih
Sunnah, III, hlm 159).
Sama halnya seperti cara
berdagang yang lain, strategi MLM harus memenuhi rukun jual beli serta akhlak
(etika) yang baik. Di samping itu komoditas yang dijual harus halal (bukan
haram maupun syubhat), memenuhi kualitas dan bermafaat. MLM tidak boleh
memperjualbelikan produk yang tidak jelas status halalnya. Atau menggunakan
modus penawaran (iklan) produksi promosi tanpa mengindahkan norma-norma agama
dan kesusilaan.
b.Insentif dan penghargaan
Perusahaan MLM biasa memberi
reward atau insentif pada mereka yang berprestasi. Islam membenarkan seseorang
mendapatkan insentif lebih besar dari yang lainnya disebabkan keberhasilannya
dalam memenuhi target penjualan tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif
dalam memperluas jaringan dan levelnya secara produktif. Kaidah Ushul Fiqh
mengatakan:” Besarnya ijrah (upah) itu tergantung pada kadar kesulitan dan pada
kadar kesungguhan.”
Penghargaan kepada Up Line yang
mengembangkan jaringan (level) di bawahnya (Down Line) dengan cara
bersungguh-sungguh, memberikan pembinaan (tarbiyah, pengawasan serta
keteladanan prestasi (uswah) memang patut di lakukan. Dan atas jerih payahnya
itu ia berhak mendapat bonus dari perusahaan, karena ini selaras dengan sabda
Rasulullah:” “Barangsiapa di dalam Islam berbuat suatu kebajikan maka kepadanya
diberi pahala, serta pahala dari orang yang mengikutinya tanpa dikurangi
sedikitpun” (hadist).
Intensif diberikan dengan merujuk
skim ijarah. Intensif ditentukan oleh dua kriteria, yaitu dari segi prestasi
penjualan produk dan dari sisi berapa berapa banyak down line yang dibina
sehingga ikut menyukseskan kinerja.
Dalam hal menetapkan nilai
insentif ini, ada tiga syarat syari’ah yang harus dipenuhi, yakni:adil, terbuka,
dan berorientasi falah (keuntungan dunia dan akhirat). Insentif (bonus)
seseorang (Up line ) tidak boleh mengurangi hak orang lain di bawahnya (down
line), sehingga tidak ada yang dizalimi. Sistem intensif juga harus transparan
diinformasikan kepada seluruh anggota, bahkan dalam menentukan sistemnya dan
pembagian insentif (bonus), para anggota perlu diikutsertakan, sebagaimana yang
terjadi di MLM Syari’ah Ahad-Net Internasional. Dalam hal ini tetap dilakukan
musyawarah, sehingga penetapan sistem bonus tidak sepihak. Selanjutnya,
keuntungan dalam bisnis MLM, berorientasi pada keuntungan duniawi dan ukhrawi.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa keuntungan dalam Islam
adalah keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan akhirat maksudnya, bahwa dengan
menjalankan bisnis itu, seseorang telah dianggap menjalankan ibadah, (asalkan
bisnisnya sesuai dengan syari’ah). Dengan bisnis, seseorang juga telah membantu
orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penting disadari, pemberian penghargaan dan cara menyampaikannya hendaknya
tetap dalam koridor tasyakur, untuk menghindarkan penerimanya dari takabur
(bangga/sombong) dan kufur nikmat, apalagi melupakan Tuhan. MLM yang Islami
senantiasa berpedoman pada akhlak Islam.
Sebagaimana disebut di atas bahwa
penghargaan yang diberikan kepada anggota yang sukses mengembangkan jaringan,
dan secara sungguh-sungguh memberikan pembinaan (tarbiyah), pengawasan serta
keteladanan prestasi (uswah), harus selaras dengan ajaran agama Islam. Karena
itu, applause ataupun gathering party yang diberikan atas prestasi seseorang,
haruslah sesuai dengan nilai-nilai aqidah dan akhlak. Ekspresi penghargaan atas
kesuksesan anggota MLM, tidak boleh melampaui batas (bertentangan dengan ajaran
Islam). Applause yang diberikan juga tidak boleh mengesankan kultus individu,
mendewakan seseorang. Karena hal itu dapat menimbulkan penerimanya menjai
takabbur, dan ‘ujub. Perayaan kesuksesan seharusnya dilakukan dalam bingkai
tasyakkur. (Lihat, Drs.H.Muhammad Hidayat, MBA, Analisis Teoritis Normatif MLM
dalam Perspektif Muamalah, 2002)
Karena itu pula, Islam sangat
mengecam seseorang yang dalam menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangannya
semakin jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Firman Allah, ” Mereka tidak lalai
dari mengingat Allah dalam melakukan bisnis dan jual beli. Mereka mendirikan
shalat dan membayar zakat”(QS.24:37)
Dari ayat tersebut dapat ditarik
pemahaman bahwa seluruh aktivitas bisnis tidak boleh melupakan Tuhan dan jauh
dari nilai-nilai keilahian, baik dalam kegiatan produksi, distribusi, strategi
pemasaran, maupun pada saat menikmati kesuksesan (menerima penghargaan dan
applause).
Jadi, dalam menjalankan bisnis
MLM perlu diwaspadai dampak negatif psikologis yang mungkin timbul, sehingga
membahayakan kepribadian, seperti yang dilansir Dewan Syari’ah Partai Keadilan,
yaitu adanya eksploitasi obsesi yang berlebihan untuk mencapai terget jaringan
dan penjualan. Karena terpacu oleh sistem ini, suasana yang tak kondusif kadang
mengarah pada pola hidup hura-hura ala jahiliyah, seperti ketika mengadakan
acara pertemuan para members .
c.Kewajaran harga produk
Setiap perdagangan pasti
berorientasi pada keuntungan. Namun Islam sangat menekankan kewajaran dalam
memperoleh keuntungan tersebut. Artinya, harga produk harus wajar dan tidak
dimark up sedemikian rupa dalam jumlah yang amat mahal, sebagaimana yang banyak
terjadi di perusahaan bisnis MLM saat ini. Sekalipun Al-quran tidak menentukan
secara fixed besaran nominal keuntungan yang wajar dalam perdagangan, namun
dengan tegas Al-quran berpesan, agar pengambilan keuntungan dilakukan secara
fair, saling ridha dan menguntungkan.
Firman Allah : “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridha di antara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha Penyayang kepadamu. (QS.4:29).
Dalam konteks ini, tidak sedikit
masyarakat yang berpendapat bahwa produk yang ditawarkan perusahaan MLM sangat
mahal dan terlalu eksklusif, sehingga kerap kali memberatkan anggota yang
berada di level bawah (down line) serta masyarakat pemakai dan sangat
menguntungkan level di atasnya (up line). Seringkali harga produk dimark up
sampai dua bahkan tiga kali lipat dari harga yang sepatutnya. Hal ini seharusnya
dihindari, karena cara ini adalah mengambil keuntungan dengan cara yang bathil,
karena mengandung unsur kezaliman, yakni memberatkan masyarakat konsumen.
Penetapan harga yang terlalu
tinggi dari harga normal, sehingga memberatkan konsumen, dapat dianalogikan
dengan ghabn, yaitu menjual satu barang dengan harga tinggi dari harga pasar.
d.12 syarat agar MLM menjadi syari’ah
- Produk yang dipasarkan harus
halal, thayyib (berkualitas) dan menjauhi syubhat (Syubhat adalah sesuatu
yang masih meragukan).
- Sistem akadnya harus
memenuhi kaedah dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum
Islam (fikih muamalah)
- Operasional, kebijakan,
corporate culture, maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah.
- Tidak ada excessive mark up
harga barang (harga barang di mark up sampai dua kali lipat), sehingga
anggota terzalimi dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan
kualitas dan manfaat yang diperoleh.
- Struktur manajemennya
memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para ulama yang
memahami masalah ekonomi.
- Formula intensif harus adil,
tidak menzalimi down line dan tidak menempatkan up line hanya menerima
pasif income tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil
jerih payah down linenya.
- Pembagian bonus harus
mencerminkan usaha masing-masing anggota.
- Tidak ada eksploitasi dalam
aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang
akhir.
- Bonus yang diberikan harus
jelas angka nisbahnya sejak awal.
- Tidak menitik beratkan
barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan
kebutuhan primer.
- Cara penghargaan kepada
mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan sikap hura-hura dan pesta
pora, karena sikap itu tidak syari’ah. Praktik ini banyak terjadi pada
sejumlah perusahaan MLM.
- Perusahaan MLM harus
berorientasi pada kemaslahatan ekonomi ummat.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar