BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Seiring dengan berkembangnya
kebutuhan transaksi dan perubahan gaya hidup di masyarakat maka kini berkembang
pula berbagai jenis pelayanan yang diberikan Bank syariah yang dikenal sebagai
pembiayaan multijasa (fee based service).
Pada prinsipnya layanan multi jasa perbankan syariah akan mengacu pada
konsep Ijarah (Ujrah), yaitu pembayaran atas suatu jasa. Berbeda dengan musyarakah dan mudharabah yang
menggunakan pembagian nisbah dalam bentuk persentase, dalam pembiayaan multi
jasa ini bank syariah akan menetapkan ujrah langsung dalam bentuk rupiah.
Dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer,
sekunder maupun tersier.Dalam perkembangannya, bank syariahharus mengikuti
kebutuhan nasabah yang semakin hari semakin bervariasi, yang menyebabkan
munculnya jenis-jenis produk pembiayaan baru. Salah satunya pembiayaan
multijasa.
Pada makalah ini akan dibahas
pembiayaan multijasa sehingga para pembaca khususnya pembuat makalah dapat
lebih memahami akad pembiayaan multijasa.
B.
Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian Pembiayaan Multi
Jasa?
2. Menjelaskan pembiayaan Ijarah Multi Jasa?
3. Menjelaskan tinjauan hukum fiqh terhadap
pembiayaan Multi Jasa?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Pembiayaan Multi Jasa
2. Mengetahui pembiayaan Ijarah Multi Jasa
3. Mengetahui tinjauan fiqih terhadap pembiayaan
Multi Jasa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembiayaan
Multi Jasa
1.
Pengertian pembiayaan
Pengertian pembiayaan
dalam perbankan syariah atau istilah
teknisnya aktiva produktif menurut ketentuan Bank Indonesia adalah
penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk piutang,
qard, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal
sementara, komitmen dan kontinjensi pada rekening
administratif serta
Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia.[1]
Menurut UU No. 21
tahun 2008 dijelaskan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu, berupa transaksi bagi
hasil
(Mudarabah dan Musharakah) transaksi sewa-
menyewa (Ijarah/IMBT),
transaksi jual beli (piutang
murabahah, saham dan istishna’), transaksi pinjam meminjam (piutang qard)dan
transaksi sewa-menyewa
jasa (ijarah multijasa) berdasarkan
persetujuan
atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS
dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi
fasilitas
dana
untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan upah,
tanpa imbalan, atau bagi hasil.[2]
Pembiayaan merupakan
salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk
memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.[3]
2.
Fungsi
pembiayaan
Pembiayaan yang
diberikan oleh Lembaga Keuangan Syariah berfungsi membantu masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan dalam meningkatkan usahanya. Masyarakat merupakan individu,
pengusaha, lembaga, badan usaha, dan lain-lain yang membutuhkan dana.[4]
Secara perinci pembiayaan memiliki fungsi antara lain :
a.
Pembiayaan dapat meningkatkan arus tukar menukar barang dan jasa.
Pembiayaan dapat meningkatkan arus tukar barang, hal ini seandainya belum tersedia uang sebagai alat
pembayaran, maka pembiayaan akan membantu melancarkan lalu lintas pertukaran
barang dan jasa.
b.Pembiayaan merupakan alat yang dipakai untuk memanfatkan idle fund. Bank dapat mempertemukan
pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana. Pembiayaan
merupakan satu cara untuk mengatasi
gap antara pihak
yang memiliki dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Bank dapat
memanfatkan dana yang idle untuk
disalurkan kepada pihak yang membutuhkan.
c.
Pembiayaan sebagai alat pengendali harga.
Ekspansi/perluasan pembiayaan akan mendorong meningkatnya jumlah uang beredar,
dan peningkatan peredaran uang akan mendorong kenaikan harga, begitupun
sebaliknya.
d.
Pembiayaan
dapat mengaktifkan dan meningkatkan manfaat ekonomi yang ada. Pembiayaan
Mudorobah dan Musharakah yang diberikan oleh bank syariah memiliki dampak
pada kenaikan makro-ekonomi. mitra (pengusaha), setelah mendapatkan pembiayaan
dari bank syariah, akan memproduksi barang, mengelola bahan baku menjadi barang
jadi, meningkatkan volume perdagangan, dan melaksanakan kegiatan ekonomi lainnya.[5]
3.
Jenis
– jenis pembiayaan
Menurut sifat penggunaannyaan pembiayaan dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Pembiayaan
produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi
dalam arti luas, yakni untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi,
perdagangan, maupun investasi.
b.
Pembiayaan
konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif,
konsumsi yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.[6]
Dilihat
dari jangka waktu pembiayaan :
a.
Short Term (Pembiayaan
jangka waktu pendek), ialah suatu bentuk pembiayaan yang berjangka waktu
maksimum 1 tahun.
b.
Intermediate Term (Pembiayaan
jangka waktu menengah), ialah suatu
bentuk pembiayaan yang berjangka waktu dari 1- 3 tahun.
c.
Long Term (Pembiayaan
jangka waktu panjang), ialah suatu bentuk pembiayaan yang berjangka waktu lebih
dari 3 tahun.[7]
4.
Produk
pembiayaan perbankan syariah
Secara garis besar produk pembiayaan
terbagi kedalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan
penggunaannya:[8]
a.
Pembiayaan dengan prinsip sewa, seperti ijarah multijasa, IMBT.
b.
Pembiayaan
dengan prinsip jual-beli, seperti murabahah.
c.
Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, seperti
musharakah, mudarabah.
5.
Macam-macam
akad dalam Lembaga Keuangan Syariah Pembagian Akad dari segi ada atau tidaknya
Kompensasi :
a. Akad Tabarru’
Akad tabarru’ merupakan
segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba yang tidak mencari
keuntungan (not for profit), Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan
tolong-menolong dalam rangka berbuat
kebaikan. Dalam akad tabarru’, pihak
yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan dan mengharapkan
imbalan apapun kepada pihak lainnya. Hakekatnya akad tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan
dari Allah SWT semata.[9]
b. Akad Tijarah
Akad tija>rah adalah
akad yang berorientasi pada keuntungan komersial (for profit oriented). Dalam akad ini masing-masing pihak yang
melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Contoh akad tija>rah adalah akad-akad investasi, jual-beli,
sewa-menyewa dan lain –
lain. Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperoleh akad tija>rah dibagi
menjadi dua, yaitu :
1)
Natural Certainty Contracts (NCC), adalah kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan kepastian
pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Cash flow-nya bisa diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh
kedua belah pihak yang bertransaksi di awal akad. Kontrak-kontrak ini secara
menawarkan return yang tetap dan
pasti. Objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di
awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity),
mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Yang termasuk dalam
kategori ini adalah kontrak-kontrak jual-beli, upah-mengupah, sewa-menyewa.
Macam-macam Natural Certainty Contracts (NCC)
sebagai berikut :
a)
Akad
jual beli, seperti :
Murabahah
b)
Akad
sewa-menyewa, seperti :
1.
Ijarah adalah
akad
pemindahan
hak guna
atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
2.
Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT)
adalah ijarah yang membuka kemungkinan
perpindahan kepemilikan atas objek
ijarahnya nya pada akhir periode.[10]
2)
Natural
Uncertainty Contract (NUC), adalah kontrak/akad dalam bisnis yang
tidak memberikan kepastian pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktunya.
Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung
risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Di sini, keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama (loss and
profit sharing). Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak
investasi, seperti musharakah,
mudarabah.[11]
B.
Pembiayaan Ijarah Multi Jasa
Produk pembiayaan Murabahah
diciptakan untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan barang. Adapun untuk memenuhi
kebutuhan nasabah akan jasa, seperti; pendidikan, pelayanan kesehatan dan
ibadah umrah maka Lembaga Keuangan Syariah [LKS] memiliki produk yang dinamakan
dengan Pembiayaan Multijasa.
Pembiayaan Multijasa adalah penyediaan dana atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berupa transaksi multijasa dengan
menggunakan akad ijarah berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan nasabah pembiayaan yang
mewajibkan nasabah pembiayaan untuk melunasi hutang/kewajibannya sesuai dengan
akad.[12]
Fitur dan mekanisme Pembiayaan Multijasa atas
dasar akad Ijarah adalah ;
·
Bank bertindak sebagai penyedia dana
dalam kegiatan transaksi Ijarah dengan nasabah;
·
Bank wajib menyediakan dana untuk
merealisasikan penyediaan objek sewa yang dipesan nasabah;
·
Pengembalian atas penyediaan dana
bank dengan cara cicilan.
Untuk lebih jelasnya, 2 ilustrasi berikut ini
dapat membantu untuk memahami akad yang terjadi dalam pembiayaan Multijasa:
·
A terkena penyakit dan datang ke
rumah sakit untuk berobat. Setelah diberi resep, A mengambil obat kemudian
membayarnya, beserta semua biaya jasa lain dari rumah sakit itu. Karena
biayanya besar dan A tidak memiliki uang tunai maka A meminjam uang B. Lalu
kwitansi pembayaran itu ia simpan. Esoknya A datang ke bank syariah dan meminta
pembiayaan untuk mengganti pinjaman B, sedangkan A sendiri akan membayar kepada
bank secara cicilan sampai lunas. Karena pembiayaan itu dari bank, tentu saja
bank tidak bisa memberikannya tanpa ada pertambahan. Maka fee pun dihitung dan
ditambahkan kepada nilai nominal pembayaran jasa itu.
·
AB mengikuti ujian masuk perguruan
tinggi negri. Karena AB tidak memiliki dana yang cukup untuk melunasi biaya, ia
mengajukan pembiayaan Multijasa ke salah satu Lembaga Keuangan Syariah. Setelah
menyetujui pembiayaan LKS mewakilkan kepada AB untuk menyewa jasa pendidikan
atas nama dan untuk LKS. Kemudian LKS menyewakan jasa pendidikan tersebut
kepada AB dengan pembayaran tidak tunai (angsuran) dengan ditambah fee.
Landasan hukum produk ini adalah fatwa DSN
[Dewan Syariah Nasional] No.44 /DSN-MUI/VIII/2004 Tentang PEMBIAYAAN MULTIJASA.
Yang berbunyi:
Ketentuan Umum
·
Pembiayaan Multijasa hukumnya boleh
(jaiz) dengan menggunakan akad Ijarah
atau Kafalah.
·
Dalam hal LKS menggunakan akad
ijarah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.
·
Dalam kedua pembiayaan multijasa
tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee.[13]
C.
Tijauan Fiqih Terhadap Pembiayaan Multi Jasa
Akad yang terjadi dalam pembiayaan multijasa
adalah Ijarah al Musta'jir (Penyewa
menyewakan kembali jasa yang telah ia
sewa). Dimana LKS bertindak sebagai penyewa pertama dari pemilik barang/jasa
kemudian LKS menyewakan jasa kepada penyewa kedua (nasabah). Dan LKS mendapat
keuntungan dari selisih upah sewa nasabah yang lebih tinggi dari upah sewa LKS
kepada pemilik barang/jasa, karena nasabah membayarnya dengan cara angsuran.
Dalam hal ini ada 3 pembahasan fikih yang akan
dirincikan untuk mengetahui tentang hakikat akad produk ini. Pembahasan ini
termasuk yang diperselisihkan ulama, yaitu; tentang hukum Ijarah al Musta'jir
bolehkan atau tidak? Bolehkah penyewa menyewakan dengan upah sewa yang lebih
tinggi? Bolehkah penyewa menyewakan barang/jasa sebelum diterima? Apakah
praktik Ijarah al Musta'jir di Lembaga Keuangan Syariah telah sesuai dengan
konsep fikih yang dijelaskan oleh para ulama?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini akan
penulis bahas dalam setiap pembahasan.
1.
Hukum Ijarah al Musta'jir
Berbeda halnya dengan jualbeli yang sepakat
para ulama tentang hukum boleh pembeli menjual barang yang dibelinya kepada
pihak lain bila terpenuhi persyaratan jualbeli. Para ulama berbeda pendapat
tentang hukum Ijarah al Musta'jir (penyewa menyewakan kembali manfaat yang
telah dimilikinya kepada pihak lain).
Pendapat pertama: penyewa tidak boleh menyewakan
kembali barang yang telah disewanya, ini merupakan salah satu riwayat dalam
mazhab Imam Ahmad.[14]
Dalil pendapat
ini hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
لا
يجوز الربح من البضائع التي لا تضمنها أنت
"Tidak halal keuntungan barang yang tidak
dalam jaminanmu". (HR. Abu Daud. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan shahih).
Dalam akad ijarah al Musta'jir penyewa tidak
menanggung risiko sama sekali, karena risiko ditanggung oleh pemilik barang.
Maka ini termasuk meraih keuntungan tanpa menanggung risiko. Maka tidak
dibolehkan. Berdasarkan hadis di atas.
Tanggapan: dalil
ini tidak kuat karena penyewa yang menyewakan
kembali tetap ada risiko, yaitu apabila barang yang disewakan ternyata tidak
layak untuk disewakan atau barang tidak berfungsi maka dia bertanggung jawab
kepada penyewa kedua.
Pendapat kedua: penyewa boleh menyewakan kembali jasa yang telah dikuasainya dengan diterimanya barang. Pendapat ini
merupakan pendapat seluruh para ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan
Hanbali.
Dalil pendapat
ini adalah qiyas, bahwa menjual barang yang
telah dibeli dengan akad dan telah diterima hukumnya dibolehkan syariat maka menyewakan
kembali manfaat barang yang telah disewa dengan akad dan telah diterima
barangnya hukumnya boleh, karena akad sewa menyewa merupakan bentuk lain dari
jualbeli. Yaitu jualbeli jasa/manfaat.
Wallahu
a'lam, pendapat yang membolehkan menyewakan kembali barang yang telah disewa hukumnya boleh, karena
kuatnya dalil pendapat tersebut. Namun apakah boleh dia menyewakan dengan harga
yang lebih mahal dari harga yang dia sewa?
2.
Hukum Laba dari Menyewakan Kembali Barang yang Disewa
Apabila penyewa menyewakan kembali barang yang
telah disewanya dengan uang tunai kepada pemilik barang dengan cara tidak tunai
yang harganya lebih mahal maka ini termasuk 'Inah yang diharamkan.
Hal ini dinyatakan keharamannya oleh AAOIFI [Accounting and Auditing Standards for Islamic
Financial Institutions] dalam mikyar Ijarah pasal 3.4, yang berbunyi,
"Penyewa boleh menyewakan barang yang
telah disewanya kepada pemilik barang dengan harga lebih murah atau dengan
harga yang sama atau lebih mahal apabila kedua akad sewa-menyewa tersebut
berlangsung tunai. Tidak boleh hal tersebut apabila mengakibatkan akad jual
beli 'Inah : karena berubahnya harga sewa atau sewa-menyewa dengan pembayaran
tunda. Contoh: sewa-menyewa pertama dengan harga 100 dinar tunai kemudian
penyewa menyewakan kembali kepada pemilik barang dengan harga 110 dinar dengan
tidak tunai, atau sewa-menyewa pertama dengan 110 dinar dengan tidak tunai
kemudian sewa-menyewa kedua dengan 100 dinar tunai, atau kedua akad
sewa-menyewa tersebut dengan harga yang sama akan tetapi akad sewa-menyewa yang
pertama dengan pembayaran penundaan 1 bulan dan pada yang kedua dengan
penundaan dalam masa 2 bulan".[15]
Apabila penyewa kedua bukan pemilik barang
dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat:
Pendapat pertama: tidak boleh penyewa menyewakan
kembali barang yang telah disewanya kepada pihak ketiga dengan harga yang
lebih tinggi, pendapat ini merupakan mazhab Hanafi. Bila itu telah terjadi dia
wajib mensedekahkan keuntungannya tersebut.[16]
Dalil pendapat
ini bahwa penyewa pertama mendapat keuntungan
dari barang yang risiko ditanggung oleh pemilik barang. Dan ini termasuk dalam
larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengambil keuntungan
dari barang yang risiko bukan
ditangannya.
Tanggapan: dalil
ini tidak kuat, karena penyewa pertama
tetap menanggung risiko kepada penyewa kedua.
Pendapat kedua: penyewa boleh menyewakan kembali barang yang telah disewanya kepada pihak ketiga dengan harga yang
lebih mahal. Ini merupakan pendapat seluruh ulama mazhab Maliki, Syafii dan
Hanbali dan disetujui oleh AAOIFI dalam mikyar Ijarah pasal 3.3, yang berbunyi,
"Orang yang menyewa suatu barang boleh
menyewakannya kepada orang lain (bukan sipemilik barang) dengan harga yang sama
atau lebih murah atau lebih mahal baik dengan cara tunai ataupun tidak, (ini
yang dinamakan dengan نطابلا نم يرجاتلا) dengan syarat pemilik
barang tidak melarang untuk disewakan kepada orang lain atau harus atas
kesepakatan pemilik barang".[17]
Dalil dari
pendapat ini bahwa barang yang telah dibeli
dengan akad dan telah diterima boleh dijualkan kembali, demikian juga
halnya dengan menyewakan kembali jasa yang telah disewa dengan akad dan telah
dikuasai manfaatnya.[18]
Wallahu
a'lam, pendapat yang terkuat dalam hal ini boleh penyewa mendapat laba dari menyewakan
kembali jasa/manfaat yang telah dikuasainya. Karena pada dasarnya muamalat
dibolehkan selagi tidak ada larangan dari syariat.
3.
Hukum Menyewakan Kembali Barang Sebelum Dikuasai
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para
ulama bahwa haram hukumnya menyewakan barang yang belum menjadi miliknya atau
menyewakan jasa yang belum dikuasainya, karena akad sewa sama dengan akad
jual-beli, sebagaimana tidak boleh menjual barang yang bukan miliknya begitu
juga tidak boleh menyewakan barang/jasa yang bukan miliknya.
Hal ini yang ditegaskan oleh AAOIFI, dalam
mikyar ijarah, pasal 3.1. yang berbunyi,
"Disyaratkan untuk keabsahan akad sewa
menyewa atas suatu barang tertentu bahwa barang tersebut atau manfaatnya sudah
dimiliki oleh pihak yang menyewakan. Maka apabila barang tersebut atau manfaatnya
sudah menjadi hak milik Lembaga Keuangan Syariah maka baru lah boleh
dilangsungkan akad sewa-menyewa ketika kedua belah pihak telah sepakat. Adapun
apabila barang tersebut baru akan dimiliki oleh Lembaga Keuangan Syariah dengan
cara membeli … Maka sewa-menyewa tidak boleh dilangsungkan akadnya kecuali
setelah Lembaga Keuangan Syariah memiliki barang tersebut … Dasar larangan
menyewakan barang tertentu yang belum dimiliki oleh pihak yang menyewakan
adalah larangan Nabi shallallahu alaihi
wa sallam terhadap seseorang menjual barang yang belum menjadi
miliknya"[19]
Namun, apabila barang/atau jasa sudah dilakukan
akad dan belum diserahterimakan apakah boleh bagi pembeli/penyewa untuk
menyewakan kembali barang/jasa tersebut?
Dalam hal ini sebagian para ulama mazhab Hanafi
menukil kesepakatan para ulama bahwa hal tersebut hukumnya tidak boleh (haram).
Mula Khasru (wafat: 885H) berkata,
"Menyewakan barang sebelum diterima hukumnya tidak boleh. Tidak ada
perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini".[20]
As Syilby (wafat 1021H) juga berkata,
"Jika seseorang menyewa suatu barang kemudian dia menyewakan kembali
barang tersebut sebelum diterimanya hukumnya tidak boleh. Tidak ada perbedaan
pendapat para ulama dalam hal ini".[21]
Namun, setelah diteliti ternyata ulama mazhab
Maliki dan sebagian ulama mazhab Syafii membolehkannya.
Zakariya Al Anshary (wafat: 926H) berkata,
"Apabila seseorang menyewa rumah, dia boleh menyewakan kembali rumah itu
ke pihak lain sebelum rumah diterimanya, karena objek akad ijarah (sewa) adalah manfaat dan manfaat tidak dapat
diserahterimakan"[22]
Akan tetapi, pendapat ini lemah, karena Imam
Syafii sendiri menyatakan bahwa akad sewa sama dengan akad jualbeli.
Sebagaimana jualbeli tidak boleh sebelum barang diterima pembeli
pertama, begitu juga halnya dengan penyewa tidak
boleh menyewakan barang/jasa
yang disewanya sebelum diterima.[23]
Pendapat yang melarang menyewakan kembali barang/jasa sebelum
diterima merupakan pendapat mayoritas para ulama dari berbagai mazhab
berdasarkan hadis Nabi shallallahu alaihi
wa sallam, sebagaimana diriwayatkan dari Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
يا رسول الله ، غالبًا ما أقوم بالبيع والشراء ، ما هو البيع والشراء الحلال
والحرام؟ قال النبي ، "يا ابن أخي! إذا قمت بشراء قطعة ، لا تبيعها قبل أن تحصل
عليها
"Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual-beli, apa
jual-beli yang halal
dan yang haram?
Nabi bersabda, "Wahai anak
saudaraku! Bila engkau
membeli sebuah barang janganlah
engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima". (HR. Ahmad. Imam
Nawawi menyatakan derajat hadis ini hasan).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah menjelaskan beberapa permasalahan fikih
dalam akad Ijarah Mustajir, maka
hukum produk Pembiayaan Multijasa yang diluncurkan oleh LKS nasional melalui 2
ilustrasi yang disebutkan sebelumnya bahwa:
Bentuk yang
pertama dimana nasabah mengajukan pembiayaan setelah mendapat pelayanan kesehatan dan
setelah dia membayar upah jasanya, lalu membawa kwitansi ke LKS dan disetujui,
ini bukanlah akad Ijarah Mustajir. Karena tidak terpenuhi syarat yang
terpenting dalam hal ini, yaitu pihak yang menyewakan (LKS) tidak memiliki jasa
yang disewakannya kepada nasabah.
Hakikat dari akad ini adalah qardh (pinjaman) oleh LKS kepada
nasabah. Dan karena yang dibayar kembali oleh nasabah ke LKS dengan cara
cicilan adalah nominal yang lebih besar dari nominal yang dipinjamnya, maka
hukum akad ini sejatinya qardh jarra
manfa'atan wa huwa riba (pinjaman yang mendatangkan manfaat bagi pemberi
pinjaman dan hukumnya adalah riba).
Bentuk yang
kedua dimana nasabah mengajukan pembiayaan sebelum melakukan akad ijarah jasa
pendidikan dengan salah satu perguruan tinggi dan LKS menyetujuinya. Lalu pihak
LKS mewakilkan kepada nasabah untuk melakukan akad ijarah atas nama dan
untuk LKS dan membawa kwitansinya kepada LKS, namun akad Pembiayaan Multijasa
ditandatangani oleh kedua belah pihak sebelum akad ijarah antara nasabah dengan
perguruan tinggi dilaksanakan maka ini termasuk menyewakan jasa yang belum
dimiliki LKS dan sebelum diterimanya juga.
Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma ketika ditanya kenapa Nabi melarang menjual barang sebelum diterima,
dia menjawab,
لأنه
يتم استبدال درهم مقابل درهم بينما يتم تعليق الطعام
"Karena dirham ditukar dengan
dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan (riba)". (HR. Bukhari).
Karena yang terjadi sesungguhnya
dalam skema ini LKS memberikan sejumlah uang kemudian nasabah mengembalikan
dengan nominal berlebih dan tidak tunai (riba).
DAFTAR PUSTAKA
Veithzal Rivai, Dkk, Bank And Finacial Institution Managemant, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007)
Irma Devita Purnamasari, Suswinardo, Panduan Lengkap Hukum Praktis Kiat-kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah
Akad syariah, (Bandung: Mizan Media Utama, 2011)
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, Ed. Ke 3, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006)
Nurul Huda Dk, Lembaga Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Kencana
Pranada Media Group,2009 ), cet. Ke-1
Ascarya, Akad
& produk Bank Syari’ah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008)
Muhammad, Manajemen Dana Bank
Syariah, cet. Kedua (Yogyakarta : Ekonosia, 2005)
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani, 2001)
Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2011)
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani, 2001)
Adiwarman A. Karim, Bank
Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, edisi kelima (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004)
Ikatan Bankir Indonesia, Mengelola
Bisnis Pembiayaan Bank Syariah (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015)
Ikatan Bankir Indonesia, Memahami
Bisnis Bank Syariah (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014)
Imam Wahyudi , et.al, Manajemen
Risiko Bank Islam (Jakarta : Salemba Empat, 2013)
Siddiq, Achmad, Aspek Hukum Jaminan dalam Hukum Positif dan Hukum
Islam,dalam Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syariah,2008.
Yulianti,“Prospek Perbankan Syariah di Indonesia: Cerah atau
Buram?” dalam Dialog Jurnal Pnelitian dan Kajian Keagamaa,Jakarta, 2009.
Laili Nur Amalia, TINJAUAN
EKONOMI ISLAM TERHADAP PENERAPAN AKAD IJARAH PADA BISNIS JASALAUNDRY, Economic:
Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No. 2 Sekolah
Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
Khan, F. 2010. How ‘Islamic’ is Islamic Bank-ing? Journal of
Economic Behavior & Or-ganization, 76 (3), 805-820.
Atmeh, Muhannad dan
Jamal Abu Serdaneh. 2012. A Proposed Model for Accounting Treatment of Ijarah.
International Journal of Business and Management, Vol. 7, No. 18.
Almilia, Luciana Spica, dkk.
“Analisis Rasio Camel Terhadap Prediksi Kondisi Bermasalah Pada
LembagaPerbankan Perioda 2002-2012”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 7, No.
2, Nopember 2005,.
Ariyanto, Taufik. 2011. “Faktor
Penentu Net Interest Margin Perbankan Indonesia”, Finance and Banking Journal,
Vol. 13, No. 1, Juni 2011,
[1] Muhammad, Manajemen Dana Bank
Syariah, cet. Kedua (Yogyakarta : Ekonosia, 2005), 196.
[2] UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 1 ayat 25.
[3] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori
ke Praktik (Jakarta : Gema Insani, 2001), 160.
[4] Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2011), 108.
[5] Khan, F. 2010.
How ‘Islamic’ is Islamic Bank-ing? Journal of Economic Behavior &
Or-ganization, 76 (3), 805-820.
[6] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori
ke Praktik (Jakarta : Gema Insani, 2001), 160.
[7] Veitzhal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2010), 717.
[8] Adiwarman A.
Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,
edisi kelima (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 97.
[9] Ibid., 70
[10] Ibid., 71-74
[11] Ibid., 75
[12] Atmeh, Muhannad dan Jamal Abu
Serdaneh. 2012. A Proposed Model for Accounting Treatment of Ijarah. International
Journal of Business and Management, Vol. 7, No. 18, hal 24
[13] Laili Nur Amalia, TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP
PENERAPAN AKAD IJARAH PADA BISNIS JASALAUNDRY, Economic:
Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No. 2 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi, hal 103.
[14] Ibnu Qudamah, Al Mughni,
jilid. V, hal. 354.
[15] Al Ma'ayir as Syar'iyyah, hal. 113.
[16] Lihat Al Mabsuth, jilid. XV, hal. 130.
[17] Al Ma'ayir as Syar'iyyah, hal. 113.
[18] Lihat Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid. V, hal. 355
[19] Al Ma'ayir as Syar'iyyah, hal. 112.
[20] Durar Al-Hukkam, jilid. II, hal. 183.
[21] Tabyiin al Haqaiq, jilid. V, hal. 121.
[22] Asna al Mathalib, jilid. II, hal. 82.
[23] Lihat Al Umm, jilid. IV, hal. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar