Jumat, 17 Juni 2022

Makalah Pembiayaan Multi Jasa

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Seiring dengan  berkembangnya kebutuhan transaksi dan perubahan gaya hidup di masyarakat maka kini berkembang pula berbagai jenis pelayanan yang diberikan Bank syariah yang dikenal sebagai pembiayaan multijasa (fee based service).

Pada prinsipnya layanan multi jasa perbankan syariah akan mengacu pada konsep Ijarah (Ujrah), yaitu pembayaran atas suatu jasa.  Berbeda dengan musyarakah dan mudharabah yang menggunakan pembagian nisbah dalam bentuk persentase, dalam pembiayaan multi jasa ini bank syariah akan menetapkan ujrah langsung dalam bentuk rupiah.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier.Dalam perkembangannya, bank syariahharus mengikuti kebutuhan nasabah yang semakin hari semakin bervariasi, yang menyebabkan munculnya jenis-jenis produk pembiayaan baru. Salah satunya pembiayaan multijasa.

Pada makalah ini akan dibahas pembiayaan multijasa sehingga para pembaca khususnya pembuat makalah dapat lebih memahami akad pembiayaan multijasa.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Menjelaskan pengertian Pembiayaan Multi Jasa?

2.      Menjelaskan pembiayaan Ijarah Multi Jasa?

3.      Menjelaskan tinjauan hukum fiqh terhadap pembiayaan Multi Jasa?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui pengertian Pembiayaan Multi Jasa

2.      Mengetahui pembiayaan Ijarah Multi Jasa

3.      Mengetahui tinjauan fiqih terhadap pembiayaan Multi Jasa

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pembiayaan Multi Jasa

1.      Pengertian pembiayaan

         Pengertian pembiayaan dalam perbankan syariah atau istilah  teknisnya aktiva produktif menurut ketentuan Bank Indonesia adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam   bentuk   piutang, qard, surat berharga   syariah,   penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi  pada  rekening  administratif  serta  Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia.[1]

         Menurut UU No. 21 tahun 2008 dijelaskan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berupa transaksi    bagi    hasil (Mudarabah dan Musharakah) transaksi    sewa- menyewa  (Ijarah/IMBT),  transaksi  jual  beli  (piutang murabahah, saham dan istishna’), transaksi pinjam   meminjam (piutang qard)dan transaksi sewa-menyewa   jasa (ijarah multijasa)   berdasarkan   persetujuan   atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan  pihak  yang  dibiayai  dan/atau  diberi  fasilitas  dana  untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan upah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.[2]

         Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.[3]

2.      Fungsi pembiayaan

         Pembiayaan yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syariah berfungsi membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dalam meningkatkan usahanya. Masyarakat merupakan individu, pengusaha, lembaga, badan usaha, dan lain-lain yang membutuhkan dana.[4]

Secara perinci pembiayaan memiliki fungsi antara lain :

a.   Pembiayaan dapat meningkatkan arus tukar menukar barang dan jasa. Pembiayaan dapat meningkatkan arus tukar barang, hal ini  seandainya belum tersedia uang sebagai alat pembayaran, maka pembiayaan akan membantu melancarkan lalu lintas pertukaran barang dan jasa.

b.Pembiayaan merupakan alat yang dipakai untuk memanfatkan idle fund. Bank dapat mempertemukan pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana. Pembiayaan merupakan satu cara  untuk mengatasi gap antara pihak yang memiliki dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Bank dapat memanfatkan dana yang idle untuk disalurkan kepada pihak yang membutuhkan.

c.    Pembiayaan sebagai alat pengendali harga. Ekspansi/perluasan pembiayaan akan mendorong meningkatnya jumlah uang beredar, dan peningkatan peredaran uang akan mendorong kenaikan harga, begitupun sebaliknya.

d.      Pembiayaan dapat mengaktifkan dan meningkatkan manfaat ekonomi yang  ada.  Pembiayaan Mudorobah dan Musharakah yang  diberikan oleh bank syariah memiliki dampak pada kenaikan makro-ekonomi. mitra (pengusaha), setelah mendapatkan pembiayaan dari bank syariah, akan memproduksi barang, mengelola bahan baku menjadi barang jadi, meningkatkan volume perdagangan, dan melaksanakan kegiatan ekonomi lainnya.[5]

3.      Jenis – jenis pembiayaan

         Menurut sifat penggunaannyaan  pembiayaan dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a.       Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yakni untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.

b.      Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, konsumsi yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.[6]

Dilihat dari jangka waktu pembiayaan :

a.       Short Term (Pembiayaan jangka waktu pendek), ialah suatu bentuk pembiayaan yang berjangka waktu maksimum 1 tahun.

b.      Intermediate Term (Pembiayaan jangka waktu menengah), ialah  suatu bentuk pembiayaan yang berjangka waktu dari 1- 3 tahun.

c.       Long Term (Pembiayaan jangka waktu panjang), ialah suatu bentuk pembiayaan yang berjangka waktu lebih dari 3 tahun.[7]

4.      Produk pembiayaan perbankan syariah

         Secara garis besar produk pembiayaan terbagi kedalam  empat  kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya:[8]

a.       Pembiayaan dengan prinsip sewa, seperti ijarah multijasa, IMBT.

b.      Pembiayaan dengan prinsip jual-beli, seperti murabahah.

c.       Pembiayaan     dengan            prinsip bagi     hasil, seperti musharakah, mudarabah.

5.      Macam-macam akad dalam Lembaga Keuangan Syariah Pembagian Akad dari segi ada atau tidaknya Kompensasi :

a.       Akad Tabarru’

            Akad tabarru’ merupakan segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba yang tidak mencari keuntungan (not for profit), Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan dan mengharapkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Hakekatnya akad tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah SWT semata.[9]

b.      Akad Tijarah

            Akad  tija>rah adalah  akad  yang  berorientasi  pada  keuntungan komersial (for profit oriented). Dalam akad ini masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Contoh akad tija>rah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa dan lain – lain. Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperoleh akad tija>rah dibagi menjadi dua, yaitu :

1)      Natural Certainty Contracts (NCC), adalah kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Cash flow-nya bisa diprediksi dengan  relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak yang bertransaksi di awal akad. Kontrak-kontrak ini secara menawarkan return yang tetap dan pasti. Objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak-kontrak jual-beli, upah-mengupah, sewa-menyewa. Macam-macam Natural Certainty Contracts (NCC) sebagai berikut :

a)      Akad jual beli, seperti : Murabahah

b)      Akad sewa-menyewa, seperti :

1.      Ijarah adalah  akad   pemindahan   hak  guna   atas  suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti  dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

2.      Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT)  adalah ijarah yang membuka kemungkinan perpindahan kepemilikan atas objek ijarahnya nya pada akhir periode.[10]

2)      Natural Uncertainty Contract (NUC), adalah kontrak/akad dalam bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Di sini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama (loss and profit sharing). Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi, seperti musharakah, mudarabah.[11]

B.     Pembiayaan Ijarah Multi Jasa

Produk pembiayaan Murabahah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan barang. Adapun untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan jasa, seperti; pendidikan, pelayanan kesehatan dan ibadah umrah maka Lembaga Keuangan Syariah [LKS] memiliki produk yang dinamakan dengan Pembiayaan Multijasa.

Pembiayaan     Multijasa adalah penyediaan   dana    atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berupa transaksi multijasa dengan menggunakan akad ijarah berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan nasabah pembiayaan yang mewajibkan nasabah pembiayaan untuk melunasi hutang/kewajibannya sesuai dengan akad.[12]

Fitur dan mekanisme Pembiayaan Multijasa atas dasar akad Ijarah adalah ;

·         Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi Ijarah dengan nasabah;

·         Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan objek sewa yang dipesan nasabah;

·         Pengembalian atas penyediaan dana bank dengan cara cicilan.

Untuk lebih jelasnya, 2 ilustrasi berikut ini dapat membantu untuk memahami akad yang terjadi dalam pembiayaan Multijasa:

·         A terkena penyakit dan datang ke rumah sakit untuk berobat. Setelah diberi resep, A mengambil obat kemudian membayarnya, beserta semua biaya jasa lain dari rumah sakit itu. Karena biayanya besar dan A tidak memiliki uang tunai maka A meminjam uang B. Lalu kwitansi pembayaran itu ia simpan. Esoknya A datang ke bank syariah dan meminta pembiayaan untuk mengganti pinjaman B, sedangkan A sendiri akan membayar kepada bank secara cicilan sampai lunas. Karena pembiayaan itu dari bank, tentu saja bank tidak bisa memberikannya tanpa ada pertambahan. Maka fee pun dihitung dan ditambahkan kepada nilai nominal pembayaran jasa itu.

·         AB mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negri. Karena AB tidak memiliki dana yang cukup untuk melunasi biaya, ia mengajukan pembiayaan Multijasa ke salah satu Lembaga Keuangan Syariah. Setelah menyetujui pembiayaan LKS mewakilkan kepada AB untuk menyewa jasa pendidikan atas nama dan untuk LKS. Kemudian LKS menyewakan jasa pendidikan tersebut kepada AB dengan pembayaran tidak tunai (angsuran) dengan ditambah fee.

Landasan hukum produk ini adalah fatwa DSN [Dewan Syariah Nasional] No.44 /DSN-MUI/VIII/2004 Tentang PEMBIAYAAN MULTIJASA. Yang berbunyi:

Ketentuan Umum

·         Pembiayaan Multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah.

·         Dalam hal LKS menggunakan akad ijarah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.

·         Dalam kedua pembiayaan multijasa tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee.[13]

 

C.    Tijauan Fiqih Terhadap Pembiayaan Multi Jasa

Akad yang terjadi dalam pembiayaan multijasa adalah Ijarah al Musta'jir (Penyewa menyewakan kembali jasa yang telah ia sewa). Dimana LKS bertindak sebagai penyewa pertama dari pemilik barang/jasa kemudian LKS menyewakan jasa kepada penyewa kedua (nasabah). Dan LKS mendapat keuntungan dari selisih upah sewa nasabah yang lebih tinggi dari upah sewa LKS kepada pemilik barang/jasa, karena nasabah membayarnya dengan cara angsuran.

Dalam hal ini ada 3 pembahasan fikih yang akan dirincikan untuk mengetahui tentang hakikat akad produk ini. Pembahasan ini termasuk yang diperselisihkan ulama, yaitu; tentang hukum Ijarah al Musta'jir bolehkan atau tidak? Bolehkah penyewa menyewakan dengan upah sewa yang lebih tinggi? Bolehkah penyewa menyewakan barang/jasa sebelum diterima? Apakah praktik Ijarah al Musta'jir di Lembaga Keuangan Syariah telah sesuai dengan konsep fikih yang dijelaskan oleh para ulama?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini akan penulis bahas dalam setiap pembahasan.

1.      Hukum Ijarah al Musta'jir

Berbeda halnya dengan jualbeli yang sepakat para ulama tentang hukum boleh pembeli menjual barang yang dibelinya kepada pihak lain bila terpenuhi persyaratan jualbeli. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Ijarah al Musta'jir (penyewa menyewakan kembali manfaat yang telah dimilikinya kepada pihak lain).

Pendapat pertama: penyewa tidak boleh menyewakan kembali barang yang telah disewanya, ini merupakan salah satu riwayat dalam mazhab Imam Ahmad.[14]

Dalil pendapat ini hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لا يجوز الربح من البضائع التي لا تضمنها أنت

"Tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu". (HR. Abu Daud. Menurut Al-Albani derajat hadis ini hasan shahih).

Dalam akad ijarah al Musta'jir penyewa tidak menanggung risiko sama sekali, karena risiko ditanggung oleh pemilik barang. Maka ini termasuk meraih keuntungan tanpa menanggung risiko. Maka tidak dibolehkan. Berdasarkan hadis di atas.

Tanggapan: dalil ini tidak kuat karena penyewa yang menyewakan kembali tetap ada risiko, yaitu apabila barang yang disewakan ternyata tidak layak untuk disewakan atau barang tidak berfungsi maka dia bertanggung jawab kepada penyewa kedua.

Pendapat kedua: penyewa boleh menyewakan kembali jasa yang telah dikuasainya dengan diterimanya barang. Pendapat ini merupakan pendapat seluruh para ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali.

Dalil pendapat ini adalah qiyas, bahwa menjual barang yang telah dibeli dengan akad dan telah diterima hukumnya dibolehkan syariat maka menyewakan kembali manfaat barang yang telah disewa dengan akad dan telah diterima barangnya hukumnya boleh, karena akad sewa menyewa merupakan bentuk lain dari jualbeli. Yaitu jualbeli jasa/manfaat.

Wallahu a'lam, pendapat yang membolehkan menyewakan kembali barang yang telah disewa hukumnya boleh, karena kuatnya dalil pendapat tersebut. Namun apakah boleh dia menyewakan dengan harga yang lebih mahal dari harga yang dia sewa?

2.      Hukum Laba dari Menyewakan Kembali Barang yang Disewa

Apabila penyewa menyewakan kembali barang yang telah disewanya dengan uang tunai kepada pemilik barang dengan cara tidak tunai yang harganya lebih mahal maka ini termasuk 'Inah yang diharamkan.

Hal ini dinyatakan keharamannya oleh AAOIFI [Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions] dalam mikyar Ijarah pasal 3.4, yang berbunyi,

"Penyewa boleh menyewakan barang yang telah disewanya kepada pemilik barang dengan harga lebih murah atau dengan harga yang sama atau lebih mahal apabila kedua akad sewa-menyewa tersebut berlangsung tunai. Tidak boleh hal tersebut apabila mengakibatkan akad jual beli 'Inah : karena berubahnya harga sewa atau sewa-menyewa dengan pembayaran tunda. Contoh: sewa-menyewa pertama dengan harga 100 dinar tunai kemudian penyewa menyewakan kembali kepada pemilik barang dengan harga 110 dinar dengan tidak tunai, atau sewa-menyewa pertama dengan 110 dinar dengan tidak tunai kemudian sewa-menyewa kedua dengan 100 dinar tunai, atau kedua akad sewa-menyewa tersebut dengan harga yang sama akan tetapi akad sewa-menyewa yang pertama dengan pembayaran penundaan 1 bulan dan pada yang kedua dengan penundaan dalam masa 2 bulan".[15]

Apabila penyewa kedua bukan pemilik barang dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat:

Pendapat pertama: tidak boleh penyewa menyewakan kembali barang yang telah disewanya kepada pihak ketiga dengan harga yang lebih tinggi, pendapat ini merupakan mazhab Hanafi. Bila itu telah terjadi dia wajib mensedekahkan keuntungannya tersebut.[16]

Dalil pendapat ini bahwa penyewa pertama mendapat keuntungan dari barang yang risiko ditanggung oleh pemilik barang. Dan ini termasuk dalam larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengambil keuntungan dari barang yang risiko bukan ditangannya.

Tanggapan: dalil ini tidak kuat, karena penyewa pertama tetap menanggung risiko kepada penyewa kedua.

Pendapat kedua: penyewa boleh menyewakan kembali barang yang telah disewanya kepada pihak ketiga dengan harga yang lebih mahal. Ini merupakan pendapat seluruh ulama mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali dan disetujui oleh AAOIFI dalam mikyar Ijarah pasal 3.3, yang berbunyi,

"Orang yang menyewa suatu barang boleh menyewakannya kepada orang lain (bukan sipemilik barang) dengan harga yang sama atau lebih murah atau lebih mahal baik dengan cara tunai ataupun tidak, (ini yang dinamakan dengan نطابلا نم يرجاتلا) dengan syarat pemilik barang tidak melarang untuk disewakan kepada orang lain atau harus atas kesepakatan pemilik barang".[17]

Dalil dari pendapat ini bahwa barang yang telah dibeli dengan akad dan telah diterima boleh dijualkan kembali, demikian juga halnya dengan menyewakan kembali jasa yang telah disewa dengan akad dan telah dikuasai manfaatnya.[18]

Wallahu a'lam, pendapat yang terkuat dalam hal ini boleh penyewa mendapat laba dari menyewakan kembali jasa/manfaat yang telah dikuasainya. Karena pada dasarnya muamalat dibolehkan selagi tidak ada larangan dari syariat.

 

3.      Hukum Menyewakan Kembali Barang Sebelum Dikuasai

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa haram hukumnya menyewakan barang yang belum menjadi miliknya atau menyewakan jasa yang belum dikuasainya, karena akad sewa sama dengan akad jual-beli, sebagaimana tidak boleh menjual barang yang bukan miliknya begitu juga tidak boleh menyewakan barang/jasa yang bukan miliknya.

Hal ini yang ditegaskan oleh AAOIFI, dalam mikyar ijarah, pasal 3.1. yang berbunyi,

"Disyaratkan untuk keabsahan akad sewa menyewa atas suatu barang tertentu bahwa barang tersebut atau manfaatnya sudah dimiliki oleh pihak yang menyewakan. Maka apabila barang tersebut atau manfaatnya sudah menjadi hak milik Lembaga Keuangan Syariah maka baru lah boleh dilangsungkan akad sewa-menyewa ketika kedua belah pihak telah sepakat. Adapun apabila barang tersebut baru akan dimiliki oleh Lembaga Keuangan Syariah dengan cara membeli … Maka sewa-menyewa tidak boleh dilangsungkan akadnya kecuali setelah Lembaga Keuangan Syariah memiliki barang tersebut … Dasar larangan menyewakan barang tertentu yang belum dimiliki oleh pihak yang menyewakan adalah larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap seseorang menjual barang yang belum menjadi miliknya"[19]

Namun, apabila barang/atau jasa sudah dilakukan akad dan belum diserahterimakan apakah boleh bagi pembeli/penyewa untuk menyewakan kembali barang/jasa tersebut?

Dalam hal ini sebagian para ulama mazhab Hanafi menukil kesepakatan para ulama bahwa hal tersebut hukumnya tidak boleh (haram).

Mula Khasru (wafat: 885H) berkata, "Menyewakan barang sebelum diterima hukumnya tidak boleh. Tidak ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini".[20]

As Syilby (wafat 1021H) juga berkata, "Jika seseorang menyewa suatu barang kemudian dia menyewakan kembali barang tersebut sebelum diterimanya hukumnya tidak boleh. Tidak ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini".[21]

Namun, setelah diteliti ternyata ulama mazhab Maliki dan sebagian ulama mazhab Syafii membolehkannya.

Zakariya Al Anshary (wafat: 926H) berkata, "Apabila seseorang menyewa rumah, dia boleh menyewakan kembali rumah itu ke pihak lain sebelum rumah diterimanya, karena objek akad ijarah (sewa) adalah manfaat dan manfaat tidak dapat diserahterimakan"[22]

Akan tetapi, pendapat ini lemah, karena Imam Syafii sendiri menyatakan bahwa akad sewa sama dengan akad jualbeli. Sebagaimana jualbeli tidak boleh sebelum barang diterima  pembeli  pertama,  begitu  juga  halnya  dengan penyewa   tidak   boleh   menyewakan   barang/jasa   yang disewanya sebelum diterima.[23]

Pendapat yang melarang menyewakan kembali barang/jasa sebelum diterima merupakan pendapat mayoritas para ulama dari berbagai mazhab berdasarkan hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan dari Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

يا رسول الله ، غالبًا ما أقوم بالبيع والشراء ، ما هو البيع والشراء الحلال والحرام؟ قال النبي ، "يا ابن أخي! إذا قمت بشراء قطعة ، لا تبيعها قبل أن تحصل عليها

"Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual-beli, apa jual-beli  yang  halal  dan  yang  haram?  Nabi  bersabda, "Wahai  anak  saudaraku!  Bila  engkau  membeli  sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima". (HR. Ahmad. Imam Nawawi menyatakan derajat hadis ini hasan).                              

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Setelah menjelaskan beberapa permasalahan fikih dalam akad Ijarah Mustajir, maka hukum produk Pembiayaan Multijasa yang diluncurkan oleh LKS nasional melalui 2 ilustrasi yang disebutkan sebelumnya bahwa:

Bentuk yang pertama dimana nasabah mengajukan pembiayaan setelah mendapat pelayanan kesehatan dan setelah dia membayar upah jasanya, lalu membawa kwitansi ke LKS dan disetujui, ini bukanlah akad Ijarah Mustajir. Karena tidak terpenuhi syarat yang terpenting dalam hal ini, yaitu pihak yang menyewakan (LKS) tidak memiliki jasa yang disewakannya kepada nasabah.

Hakikat dari akad ini adalah qardh (pinjaman) oleh LKS kepada nasabah. Dan karena yang dibayar kembali oleh nasabah ke LKS dengan cara cicilan adalah nominal yang lebih besar dari nominal yang dipinjamnya, maka hukum akad ini sejatinya qardh jarra manfa'atan wa huwa riba (pinjaman yang mendatangkan manfaat bagi pemberi pinjaman dan hukumnya adalah riba).

Bentuk yang kedua dimana nasabah mengajukan pembiayaan sebelum melakukan akad ijarah jasa pendidikan dengan salah satu perguruan tinggi dan LKS menyetujuinya. Lalu pihak LKS mewakilkan kepada nasabah untuk melakukan akad ijarah atas nama dan untuk LKS dan membawa kwitansinya kepada LKS, namun akad Pembiayaan Multijasa ditandatangani oleh kedua belah pihak sebelum akad ijarah antara nasabah dengan perguruan tinggi dilaksanakan maka ini termasuk menyewakan jasa yang belum dimiliki LKS dan sebelum diterimanya juga.

Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ketika ditanya kenapa Nabi melarang menjual barang sebelum diterima, dia menjawab,

لأنه يتم استبدال درهم مقابل درهم بينما يتم تعليق الطعام

"Karena dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan (riba)". (HR. Bukhari).

Karena yang terjadi sesungguhnya dalam skema ini LKS memberikan sejumlah uang kemudian nasabah mengembalikan dengan nominal berlebih dan tidak tunai (riba).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

*     Veithzal Rivai, Dkk, Bank And Finacial Institution Managemant, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)

*     Irma Devita Purnamasari, Suswinardo, Panduan Lengkap Hukum Praktis Kiat-kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Akad syariah, (Bandung: Mizan Media Utama, 2011)

*     Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, Ed. Ke 3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)

*     Nurul Huda Dk, Lembaga Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,2009 ), cet. Ke-1

*     Ascarya, Akad & produk Bank Syari’ah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008)

*     Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, cet. Kedua (Yogyakarta : Ekonosia, 2005)

*     Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani, 2001)

*     Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011)

*     Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani, 2001)

*     Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, edisi kelima (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004)

*     Ikatan Bankir Indonesia, Mengelola Bisnis Pembiayaan Bank Syariah (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015)

*     Ikatan Bankir Indonesia, Memahami Bisnis Bank Syariah (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014)

*     Imam Wahyudi , et.al, Manajemen Risiko Bank Islam (Jakarta : Salemba Empat, 2013)

*     Siddiq, Achmad, Aspek Hukum Jaminan dalam Hukum Positif dan Hukum Islam,dalam Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syariah,2008.

*     Yulianti,“Prospek Perbankan Syariah di Indonesia: Cerah atau Buram?” dalam Dialog Jurnal Pnelitian dan Kajian Keagamaa,Jakarta, 2009.

*     Laili Nur Amalia, TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PENERAPAN AKAD IJARAH PADA BISNIS JASALAUNDRY, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No. 2 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi

*     Khan, F. 2010. How ‘Islamic’ is Islamic Bank-ing? Journal of Economic Behavior & Or-ganization, 76 (3), 805-820.

*     Atmeh, Muhannad dan Jamal Abu Serdaneh. 2012. A Proposed Model for Accounting Treatment of Ijarah. International Journal of Business and Management, Vol. 7, No. 18.

*     Almilia, Luciana Spica, dkk. “Analisis Rasio Camel Terhadap Prediksi Kondisi Bermasalah Pada LembagaPerbankan Perioda 2002-2012”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 7, No. 2, Nopember 2005,.

*     Ariyanto, Taufik. 2011. “Faktor Penentu Net Interest Margin Perbankan Indonesia”, Finance and Banking Journal, Vol. 13, No. 1, Juni 2011,

 

 



[1] Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, cet. Kedua (Yogyakarta : Ekonosia, 2005), 196.

[2] UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 1 ayat 25.

[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani, 2001), 160.

[4] Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011), 108.

[5] Khan, F. 2010. How ‘Islamic’ is Islamic Bank-ing? Journal of Economic Behavior & Or-ganization, 76 (3), 805-820.

[6] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani, 2001), 160.

[7] Veitzhal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2010), 717.

[8] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, edisi kelima (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 97.

[9] Ibid., 70

[10] Ibid., 71-74

[11] Ibid., 75

[12] Atmeh, Muhannad dan Jamal Abu Serdaneh. 2012. A Proposed Model for Accounting Treatment of Ijarah. International Journal of Business and Management, Vol. 7, No. 18, hal 24

[13] Laili Nur Amalia, TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP PENERAPAN AKAD IJARAH PADA BISNIS JASALAUNDRY, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No. 2 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi, hal 103.

[14] Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid. V, hal. 354.

 

[15] Al Ma'ayir as Syar'iyyah, hal. 113.

[16] Lihat  Al Mabsuth, jilid. XV, hal. 130.

[17] Al Ma'ayir as Syar'iyyah, hal. 113.

[18] Lihat  Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid. V, hal. 355

[19] Al Ma'ayir as Syar'iyyah, hal. 112.

[20] Durar Al-Hukkam, jilid. II, hal. 183.

[21] Tabyiin al Haqaiq, jilid. V, hal. 121.

[22] Asna al Mathalib, jilid. II, hal. 82.

[23] Lihat Al Umm, jilid. IV, hal. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar